Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

ASKEB NEONATUS,BAYI DAN BALITA


Bd.5016
DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH ASKEB NEONATUS,
BAYI,DAN BALITA
DOSEN PENGAMPU : Lydia Febri Kurniatin,S.ST.,M.Keb

DISUSUN OLEH KELOMPOK 8 :


1.

POLTEKKES KEMENKES PONTIANAK


JURUSAN KEBIDANAN
PRODI SARJANA TERAPAN
2021
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT, karena hanya dengan izin,
rahmat dan kuasa-Nyalah kami masih diberikan kesehatan sehingga dapat menyelesaikan
makalah ini.
Pada kesempatan ini tak lupa penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak terutama kepada Dosen pengajar Mata Kuliah Askeb
Neonatus,Bayi dan Balita yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita khususnya mengenai Neonatus,Bayi dan Balita . Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan masih jauh dari
apa yang diharapkan.
Untuk itu, kami berharap dan kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah ini di
masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang
membangun. Semoga makalah sederhana ini dapat bermanfaat bagi siapa pun yang
membacanya.

Pontianak, September 2022

Penyusun

Kelompok 8

i
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
KIPI merupakan kejadian medik yang terjadi setelah pemberian imunisasi dan diduga
berhubungan dengan imunisasi. Untuk itu diperlukan kajian dari tim ahli yang independen
untuk menilai apakah ada kaitan dengan imunisasi atau tidak.
Imunisasi telah diakui sebagai upaya pen- cegahan suatu penyakit infeksi yang paling
sempurna dan berdampak pada peningkatan kesehatan masyarakat. Oleh karena itu,
kebutuhan akan vaksin makin meningkat seiring dengan keinginan dunia untuk mencegah
berbagai penyakit yang dapat menimbulkan kecacatan dan kematian. Peningkatan kebutuhan
vaksin telah ditunjang dengan upaya perbaikan dalam produksi vaksin guna meningkatkan
efektifitas dan keamanan.
Faktor terpenting yang harus dipertimbangkan dalam pembuatan vaksin adalah
keseimbangan antara imunitas yang akan dicapai dengan reaksi yang tidak diinginkan yang
mungkin timbul.
Untuk mencapai imunogenisitas yang tinggi, vaksin harus berisi antigen yang efektif
untuk merangsang respons imunprotektif resipien dengan nilai antibodi di atas ambang
pencegahan untuk jangka waktu yang cukup panjang. Sebaliknya antigen harus diupayakan
mempunyai sifat reaktogenisitas yang rendah sehingga tidak menimbulkan efek samping
yang berat, dan yang jauh lebih ringan apabila dibandingkan dengan komplikasi penyakit
yang bersangkutan secara alami. Pada kenyataannya, tidak ada satu jenis vaksin pun yang
sempurna. Namun dengan kemajuan di bidang bioteknologi saat ini telah dapat dibuat vaksin
yang relatif efektif dan aman.
Seiring dengan cakupan imunisasi yang tinggi, maka penggunaan vaksin juga meningkat
sehingga reaksi vaksinasi yang tidak diinginkan juga meningkat. Hal yang penting dalam
menghadapi reaksi vaksinasi yang tidak diinginkan ialah: Apakah kejadian tersebut
berhubungan dengan vaksin yang diberikan? Ataukah bersamaan dengan penyakit lain yang
telah diderita sebelum pemberian vaksin (koinsidensi)? Seringkali hal ini tidak dapat
ditentukan dengan tepat sehingga oleh WHO digolongkan dalam kelompok adverse events
following immunisation (AEFI) atau kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan KIPI ?
2. Apa penyebab KIPI ?

1
3. Apa yang di maksud dengan kelompok resiko tinggi KIPI ?
4. Bagaimana mengetahui cara pemantauan dan penanggulangan KIPI?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian KIPI
2. Mengetahui penyebab – penyebab KIPI
3. Mengetahui kelompok resiko tinggi KIPI
4. Mengetahui cara pemantauan dan penanggulangan KIPI

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Pengertian KIPI
KIPI merupakan efek samping pasca imunisasi yang dapat muncul dengan gejala sangat
ringan, hingga berat (WHO, 2021b). KIPI merupakan respon tubuh terhadap vaksin yang
disuntikkan ke dalam tubuh. Gejalanya bervariasi di setiap orang. KIPI dikategorikan
menjadi 2 jenis yaitu KIPI ringan dan KIPI berat (Jateng, 2021).
Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) adalah suatu kejadian sakit yang terjadi setelah
menerima imunisasi yang diduga disebabkan oleh imunisasi. Untuk mengetahui hubungan
antara pemberian imunisasi dengan KIPI diperlukan pelaporan dan pencatatan semua reaksi
yang tidak diinginkan yang timbul setelah pemberian imunisasi. Surveilans KIPI sangat
membantu program imunisasi, khususnya untuk memperkuat keyakinan masyarakat akan
pentingnya imunisasi sebagai upaya pencegahan penyakit yang paling efektif.
1.2. Klasifikasi KIPI
Tidak semua kejadian KIPI yang diduga itu benar.Sebagian besar ternyata tidak ada
hubungannya dengan imunisasi. Oleh karena itu untuk menentukan KIPI diperlukan
keterangan mengenai berapa besar frekuensi kejadian KIPI pada pemberian vaksin tertentu;
bagaimana sifat kelainan tersebut, lokal atau sistemik; bagaimana derajat kesakitan resipien,
apakah memer-lukan perawatan, apakah menyebabkan cacat, atau menyebabkan kematian;
apakah penyebab dapat dipastikan, diduga, atau tidak terbukti; dan akhirnya apakah dapat
disimpulkan bahwa KIPI berhubungan dengan vaksin, kesalahan produksi, atau kesalahan
pemberian. Berdasarkan data yang diperoleh, maka KIPI dapat di klasifikasikan dalam 5
macam :
1. Induksi vaksin (vaccine induced). Terjadinya KIPI disebabkan oleh karena faktor intrinsik
vaksin terhadap individual resipien. Misalnya, seorang anak menderita poliomielitis setelah
mendapat vaksin polio oral.
2. Provokasi vaksin (vaccine potentiated). Gejala klinis yang timbul dapat terjadi kapan saja,
saat ini terjadi oleh karena provokasi vaksin. Contoh: Kejang demam pasca imunisasi yang
terjadi pada anak yang mempunyai predisposisi kejang.
3. Kesalahan (pelaksanaan) program (programmatic errors). Gejala KIPI timbul sebagai
akibat kesalahan pada teknik pembuatan dan pengadaan vaksin atau teknik cara pemberian.
Contoh: terjadi indurasi pada bekas suntikan disebabkan vaksin yang seharusnya diberikan
secara intramuskular diberikan secara subkutan.

3
4. Koinsidensi (coincidental). KIPI terjadi bersamaan dengan gejala penyakit lain yang
sedang diderita. Contoh: Bayi yang menderita penyakit jantung bawaan mendadak sianosis
setelah diimunisasi.
1.3. Penyebab KIPI

4.2 Tujuan dan Manfaat Humaniora dalam Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
Telah dijelaskan diatas, Humaniora secara singkat diartikan sebagai ilmu untuk
memuliakan manusia baik dari segi fisik maupun psikis.
Lantas, alasan apa yang menyebabkan Humaniora ini bisa sangat penting artinya
diterapkan dalam pelayanan kebidanan ? Beberapa alasan Untuk menunjang dan
menjawab dari pertanyaan tersebut antara lain :
1. Bidan sebagai barisan pertama dalam masyarakat untuk menangani masalah
kesehatan. Hal ini menambah peluang bidang untuk menangani masalah
kemasyarakatan yang sangat memerlukan aturan Humaniora dalam menjalankan
kehidupanya.
2. Bidan sebagai pelayan kesehatan yang menangani mempersiapkan kehamilan,
menolong persalinan, nifas, dan menyusui, masa interval dan pengaturan kesuburan,
klimakterium dan menopause yang keseluruhan mencakup setengah dari masa
kehidupan manusia.
3. Bidan memiliki peluang besar dalam hal aborsi, pembatasan kelahiran yang hingga
kini masih menjadi teka-teki masih kurang jelasnya status illegal dari aborsi.
Penerapan Ilmu Humaniora dalam Memberikan Pelayanan Kebidanan
Pemberian Asuhan Kebidanan
Dalam memberikan pelayanan kepada klien, bidan harusnya memenuhi kode
etik dan sumpah profesi yang telah dilakukan sebelum terjun menjadi bidan antara lain :
1. Kewajiban bidan terhadap klien dan masyarakat
2. Kewajiban bidan terhadap tugasnya
3. Kewajiban bidan terhadap sejawat dan tenaga kesehatan
4. Kewajiban bidan terhadap profesinya
5. Kewajiban bidan terhadap diri sendiri

4
6. Kewajiban bidan terhadap pemerintah, nusa bangsa dan tanah air
Kode etik ilmiah yang menjadi pembatas tindakan-tindakan yang boleh dan
tidak boleh dilakukan oleh bidan yang tentunya harus dilandasi ilmu humaniora sehingga
mampu memuliakan klien.
Aborsi
Aborsi adalah berhentinya kehamilan sebelum usia kehamilan 20 minggu yang
mngakibatkan kematian jamin. Aborsi ini menjadi illegal bila dilakukan dengan sengaja
khususnya dalam hal ini adalah dilakukan oleh tenaga bidan untuk menghentikan
kehamilan kliennya.
Ilmu humaniora di sini sangat dibutuhkan sebagai penguat dasar kode etik
bidan, secara otomatis bidan, secara otomatis bidan yang memegang teguh kode etik dan
memegang konsep humaniora tidak akan melakukan aborsi ini. Karena selain bukan
merupakan kewenangannya, juga diluar dari kode etiknya.
Pembatasan Kehamilan
Semakin melunjaknya jumlah penduduk yang tidak diimbangi dengan
meningkatnya sumber daya alam yang dibutuhkan memacu adanya prosedur
diberlakukannya pembatasan kehamilan. Dalam hal ini merujuk pada 2 sistem
pembatasan kelahiran yaitu promotif untuk memiliki 2 anak saja dan adanya keluarga
berencana. Sebenarnya KB ini dapat memicu kontra terkait pelanggaran hak manusia
dalam meneruskan keturunan. Namun setelah dikaji lebih mendalam, hal ini tidaklah
melanggar peri kemanusiaan yang tentunya juga disendingkan dengan alasan-alasan
yang logis. Sehingga diperlukan bidan professional yang mampu memahami penerapan
ilmu humaniora dalam melakukan tugasnya.
Kajian Humaniora Kebidanan ?
Ilmu kebidanan dan humaniora merupakan 2 ilmu berbeda namun memiliki
hubungan yang saling melengkapi. Pelayanan kebidanan tanpa dilandasi konsep
humaniora bisa dikategorikan tindak kriminal karena baik secara langsung maupun tidak
langsung, tindakan tidak manusiawi tersebut akan merampas hak klien sebagai pengguna
layanan kebidanan. Hal ini tentunya merugikan bagi pengguna jasa maupun pelaksana
pelayanan dalam hal ini adalah bidan. Bagi bidan yang tidak menerapkan ilmu
humaniora bisa dikatakan telah melanggar kode etiknya dan kepadanya diberikan sanksi
yang tegas atas kelalaian yang dibuat baik sengaja maupun tidak disengaja.

5
Karakteristik Humaniora
J. Drost (2002) dalam artikelnya di KOMPAS, Humaniora, mengatakan bahwa
bidang Humaniora yang menjadikan manusia (humanus) lebih manusiawi (humanior)
itu, pada mulanya adalah trivium yang terdiri atas :
1. Gramatika (tata bahasa), bermaksud membentuk manusia terdidik yang menguasai
sarana komunikasi secara baik.
2. Logika, bertujuan untuk membentuk manusia terdidik agar dapat menyampaikan
sesuatu sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti dan masuk akal.
3. Reterotika, bertujuan untuk membentuk manusia terdidik agar mampu merasakan
perasaan dan kebutuhan pendengar, dan mampu menyesuaikan diri dan uraian dengan
perasaan dan kebutuhan itu.
Alasan Penerapan Humaniora Dalam Ilmu Kebidanan
1. Bidan sebagai barisan pertama dalam masyarakat untuk menangani masalah
kesehatan. Hal ini menambah peluang bidang untuk menangani masalah
kemasyarakatan yang sangat memerlukan aturan humaniora dalam menjalankan
kehidupannya.
2. Bidan sebagai pelayan kesehatan yang menangani, mempersiapkan kehamilan,
menolong persalinan, nifas, dan menyusui, masa interval dan pengaturan kesuburan,
klimakterium (akhir reproduksi) dan menopause yang keseluruhan mencangkup
setengah dari masa kehidupan manusia.
3. Bidan memiliki peluang besar dalam hal aborsi, pembatasan kelahiran yang hingga
kini masih menjadi teka-teki masih kurang jelasnya status illegal dari aborsi.
Humaniora Dan Pengembangan Ilmu dan Teknologi
Penguasaan dan pengembangan ilmu dan teknologi adalah amanat kemanusiaan,
oleh karena itu harus memberi manfaat bagi kesejahteraan manusia. Humaniora
membawa nilai-nilai budaya manusia. Nilai-nilai tersebut adalah universal. Tanpa
humaniora pengembangan ilmu dan teknologi tidak lagi bermanfaat bagi manusia.
Pengembangan atau perkembangan yang banyak disusupi nilai-nilai bisnis menimbulkan
hedonism yang bermula di masyarakat bisnis, yang berlanjut pada umumnya.
Mengapa Bidan Juga Harus Mampu Menolong Pasien yang Dalam Kondisi
Darurat ?
Bidan harus mampu menolong pasien yang dalam kondisi darurat. Beberapa
alasannya adalah karena bidan merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan di

6
masyarakat yang mana berhadapan langsung dengan masyarakat itu sendiri. Bidan
seringkali dianggap sebagai seseorang yang tau segala hal, mampu mengobati banyak
penyakit baik yang berhubungan dengan kebidanan maupun masalah kesehatan secara
umum. Selain itu, kontak pertama antara pasien dengan tenaga kesehatan seringkali
melibatkan bidan terlebih dahulu, baik itu dalam kondisi darurat maupun tidak. Beragam
kasus yang mungkin sekali ditemui dalam kondisi kedaruratan tersebut sementara
cakupan wewenang bidan terbatas pada diagnose tertentu saja. Hal ini bukan berarti
bidan lepas tangan saja bila menjumpai kasusyang tidak sesuai wewenangnya karena
dialah yang paling dekat dengan masyarakat. Oleh karena itu, hendaknya bidan
meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya, supaya mampu menangani kedaruratan
yang kemungkinan dapat ditemui, setidaknya pertolongan pertama sebelum mencapai
pelayanan kesehatan yang memadai.
Jika Pasien Anda Tidak Mau Dirujuk, Padahal Anda Tidak Mampu Melakukan
Pelayanan Tersebut, Bagaimana Sikap Humanis yang Harus Dibangun
Kepercayaan adalah modal utama seorang petugas kesehatan bisa diterima
ditengah masyarakat. Kerja sama yang baik antara petugas kesehatan dalam hal ini bidan
dengan masyarakat sebagai klien terakhir dari kepercayaan yang kuat antara klien
terhadap bidan. Untuk itu perlu upaya yang harus dilakukan bidan dalam rangka
meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadapnya.
Salah satunya adalah menjalin komunikasi yang baik. Ada banyak faktor yang
menyebabkan pasien tidak mau dirujuk, namun kebanyakan masalahnya terletak pada
pengetahuan dan sudut pandang mereka yang kurang mendukung terhadap pengambilan
keputusan yang tepat. Sudah menjadi tugas seorang bidan untuk mengkomunikasikan
sebaik mungkin tentang informasi-informasi yang perlu klien dan keluarganya tahu
supaya pandangan mereka terbuka, berikan penjalasan kepada pasien bahwa kondisinya
kini memerlukan penanganan yang lebih lanjut dan kita sebagai bidan tidak dapat/tidak
berwenang melakukan tindakan tersebut. Jelaskan kepada pasien tentang faktor resiko
yang dapat terjadi bila pasien tidak segera dirujuk.
Bukan hanya meningkatkan pengetahuan mereka, bidan sebagai komponen
sosial di masyarakat juga harus bisa menunjukkan empatinya di hadapan anggota
keluarga, sehingga tercermin bahwa keputusan yang dia ambil semata-mata memang
untuk kepentingan klien.

7
Perlunya menjalin kerja sama yang baik dengan tokoh masyarakat ataupun
pejabat desa memang kerap membantu apalagi pada kasus pasien yang tidak mau
dirujuk. Ketika bidan sudah benar-benar tidak sanggup untuk meyakinkan kliennya
untuk dirujuk, mungkin pilihan yang paling mungkin adalah meminta bantuan tokoh
masyarakat untuk membantu mengkomunikasikan kepada keluarga.
Jika semua upaya sudah dilakukan, namun keputusan tetap tidak mau dirujuk
sesuai prosedur bidan harus menyiapkan informed consent berupa penolakan dilakukan
tindakan.

8
BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Secara umum, definisi humaniora adalah disiplin akademik yang
mempelajari kondisi manusia, menggunakan metode yang terutama analitik, kritikal,
atau spekulatif, sebagaimana dicirikan dari sebagian besar pendekatan empiris alami
dan ilmu sosial.
Humaniora terdiri atas unsur - unsur seni, etika, kearifan, nilai - nilai
kejujuran, kebenaran, kelembutan, memanusiakan manusia, menyingkirkan beban
dari dan berbuat baik bagi manusia. Tanpa nilai - nilai tersebut, manusia atau
perilakunya dapat dikategorikan tidak human, tidak manusiawi, tidak berbudaya atau
barbar. Pengembangan ilmu dan teknologi adalah amanat kemanusiaan, untuk
kesejahteraan manusia. Oleh karena itu perlu dipandu oleh nilai-nilai humaniora, agar
terjamin kemanfaatannya untuk manusia.
Agama seharusnya merupakan nilai yang paling azasi dari seluruh nilai-nilai
humaniora. Nilai-nilai agama diharapkan dapat dikembangkan oleh
agamawan/ruhaniawan untuk memandu pengembangan ilmu / teknologi dan
penerapannya. Ilmu kebidanan adalah ilmu yang sarat dengan nilai-nilai, namun hal
ini sering dilupakan. Oleh karena itu humaniora perlu diberikan untuk membuat
profesi medik lebih sensitif terhadap adanya nilai - nilai tersebut dan pengetrapannya
dalam praktek.
Humaniora diharapkan dapat meningkatkan kualitas berfikir, yang ditengarai
sebagai sifat kritis, lentur dalam perspektif, tidak terpaku pada dogma, tanggap
terhadap nilai- nilai, dan sifat empati.
1.2 Saran
Makalah yang kami susun semoga bisa membantu kita lebih memahami
tentang landasan dan tujuan pendidikan humaniora yang lebih mendalam. Mohon
permakluman dari semuanya jika dalam makalah kami ini masih terdapat banyak
kekeliruan baik bahasa maupun pemahaman.

9
DAFTAR PUSTAKA
Aprina, dan Lathifah, Neneng Siti. 2017. HUMANIORA. Bandar Lampung : CV. Anugrah
Utama Raharja.
Darmawan, W., & Winarti, M. (2019). HUMANIORA DI ERA GLOBALISASI,
MASIHKAH RELEVAN?.
Daulay, H. A. S. (2016). Pendidikan Humaniora untuk Mengembangkan Wawasan
Kemanusiaan dan Kebangsaan. Jurnal Ilmu Pendidikan, 9(1).
Herina, H. (2018, July). KONSEP PENDIDIKAN HUMANIORA TERHADAP MAKHLUK
BERBUDAYA. In PROSIDING SEMINAR NASIONAL PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PGRI PALEMBANG (Vol. 5, No. 05).
Suardipa, I. P. (2018). PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF SOSIAL
HUMANIORA MENGUAK GRADASI KEMANUSIAAN. Maha Widya Bhuwana:
Jurnal Pendidikan, Agama dan Budaya, 1(2), 78-86.

10

Anda mungkin juga menyukai