Anda di halaman 1dari 3

Nama : Florencia

Nim : 2003020012
Kasus Banding Pajak Agri Asian Group
Penjelasan:
~ Awal mula kasus dan pengajuan banding
Kasus ini bermula saat Vincentius Amin Sutanto yang berusaha mencuri uang
perusahaan Asian Agri Group, namun gagal. Vincent tidak tinggal diam, dia membocorkan
penyimpangan pajak perusahaan yang notabene dia juga terlibat dalam penyimpangan
tersebut, kasus ini menjadi heboh setelah berbagai media massa membahasnya. Ditjen Pajak
kemudian melakukan penyelidikan dan penyidikan atas kasus terkait. Penyidik menemukan
pelanggaran administrasi sekaligus pelanggaran pidana yang dilakukan Suwir Laut dan
lainnya. Putusan kasus pajak terbesar dalam sejarah itu penting bagi catatan perpajakan
nasional dalam penanganan kasus serupa. Ditjen Pajak memutuskan besaran pajak terutang
yang harus dipenuhi AAG sepanjang periode 2002-2005 sebesar Rp1,94 triliun.
Pihak AAG kemudian melakukan banding atas besaran pajak tersebut dengan alasan
melebihi total keuntungan perusahaannya yang pada 2002-2005 hanya mencapai Rp 1,24
triliun. Pajak terutang tersebut belum termasuk denda yang dijatuhkan Mahkamah Agung
sesuai vonis pada 18 Desember 2012 terhadap mantan manajer Pajak Asian Agri Suwir Laut,
dengan hukuman dua tahun penjara yang terbukti menggelapkan pajak sepanjang periode
2002 hingga 2005 senilai Rp 1,259 Triliun. Keempatbelas anak perusahaan AAG itu
menyatakan keberatannya terhadap 108 SKP yang diterbitkan Ditjen Pajak.
Saat ini, pengadilan pajak sudah menggelar sidang banding atas 14 anak usaha AAG.
Pengadilan pajak ini digelar menyusul keberatan Asian Agri yang divonis denda dan harus
membayar Rp 2,5 triliun oleh Mahkamah Agung pada 18 Desember 2012. Sanksi tersebut
dua kali lebih besar dari denda keterlambatan pembayaran pokok pajak senilai Rp 1,25
triliun. Itu belum termasuk kekurangan bayar dan sanksi dari Direktorat Jenderal Pajak yang
tercatat Rp 1,96 triliun. Dengan demikian, total yang harus dibayarkan perusahaan mencapai
Rp 4,5 triliun.
Pada tanggal 5 November Tahun 2014, Pengadilan pajak memutuskan tidak dapat
menerima permohonan banding PT. Rigunas Agri Utama dan PT. Raja Garuda Mas Sejati
anak perusahaan Asian Agri Group (AAG) terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
(SKPKB) dari Ditjen Pajak. Pengadilan pajak menjelaskan sengketa pajak antara AAG dan
Ditjen Pajak Kemenkeu tidak termasuk dalam wilayah peradilan tata usaha negara. Dengan
kata lain, pengadilan pajak tidak berwewenang mengadili sengketa tersebut. Selain itu,
permohonan banding kedua perusahaan tidak memiliki dasar hukum, atau tidak memenuhi
ketentuan formal seperti yang diatur dalam UU No. 28/2007 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan, dan UU No. 14/2002 tentang Pengadilan Pajak.
Dengan demikian, pemeriksaan ketentuan formal terkait surat banding, surat
keberatan, surat keputusan keberatan, surat ketetapan pajak kurang bayar, serta materi
sengketa tidak perlu dilakukan lebih lanjut. “Majelis hakim pengadilan pajak memutuskan
usulan banding PT. Rigunas Agri Utama tidak dapat diterima,” ujar Hakim Ketua Majelis XV
A Pengadilan Pajak Didi Hardiman, dalam Sidang Pengucapan Putusan di Pengadilan Pajak,
Rabu (05/11). Putusan serupa juga diberikan kepada PT. Raja Garuda Mas yang dibacakan
oleh Hakim Ketua Majelis XV B Pengadilan Pajak Tonggo Aritonang. Dengan demikian, dua
dari 14 perusahaan AAG yang melakukan banding di pengadilan pajak telah selesai.
Dimintai tanggapan, Direktur Keberatan dan Banding Ditjen Pajak Catur Rini
Widosari menuturkan penagihan pajak terutang kedua anak perusahaan (AAG) akhirnya bisa
ditagih setelah pengadilan pajak menolak permohonan banding AAG. “Jika melihat
aturannya, kami punya waktu satu bulan untuk melakukan eksekusi setelah dokumen putusan
dari pengadilan sudah kami terima. Kami harap awal tahun depan, pajak yang terutang
perusahaan-perusahaan AAG bisa dibayar,” jelasnya. Catur juga memastikan eksekusi
penagihan pajak terutang tersebut akan dilakukan,meskipun pihak AAG mengambil upaya
hukum luar biasa, atau peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Pasalnya, ketentuan
putusan pengadilan pajak itu adalah final dan mengikat.
Di tempat yang sama, Dirjen Pajak Fuad Rahmany mengaku puas dengan hasil
keputusan kedua majelis hakim terhadap sidang banding dari kedua perusahaan AAG. Fuad
berharap putusan ini bisa menjadi pesan bagi wajib pajak untuk tidak melakukan
penyimpangan. Fuad juga berharap majelis hakim yang menangani 12 perusahaan AAG
lainnya bisa bertindak adil dan independen dalam putusannya. Sekadar informasi, total pajak
terutang plus sanksi administrasi dari 14 perusahaan AAG mencapai Rp1,9 triliun.
Pada tanggal 18 Februari Tahun 2015, Pengadilan Pajak kembali menolak banding
anak usaha Asian Agri. Kali ini hakim menolak banding PT. Andalas Intiagro Lestari.
Sebelumnya, lima perusahaan anak usaha Asian Agri Group yang mengajukan keberatan
pajak juga telah ditolak. Dalam proses banding, Andalas Intiagro Lestari mengajukan delapan
berkas keberatan pajak. Total nilai keberatan atas tagihan pajak yang diajukan Andalas
Intiagro sekitar Rp 58,9 miliar. Perusahan itu menyatakan masih mempelajari putusan
pengadilan. Pada hari Kamis (19/2/2015) Freddy Wijaya, selaku General Manager Asian
Agri Group, mengatakan Asian Agri akan tetap mencari keadilan, sebagaimana diatur dalam
undang-undang. Freddy menilai putusan banding kali ini tidak mencerminkan keadilan
karena perusahaan tidak pernah didakwa, disidang, dan diberi hak untuk membela diri selama
persidangan. Menurut Freddy , perusahaan dikenakan denda serta diwajibkan membayar
kekurangan pajak dengan penentuan angka final yang perhitungannya ditentukan tanpa
adanya pemeriksaan pajak sesuai ketentuan yang ada.
Dalam sidang putusan yang digelar Rabu (18/2/2015), hakim berbeda pendapat
(dissenting opinion), yakni antara hakim ketua Sigit Henryanto dan hakim anggota Nany
Wartiningsih, dengan hakim anggota Entis Sutisna. Menurut Entis Sutisna, keberatan pajak
yang diajukan bukan objek yang dapat ditangani Pengadilan Pajak. Karena surat ketetapan
pajak yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pajak berdasarkan putusan peradilan sebelumnya
di Mahkamah Agung. Merujuk pada Undang-undang Tata Usaha Negara No 5/1986 pasal 2
(e), Entis menilai ketetapan pajak yang diajukan banding adalah putusan tata usaha negara
yang tak bisa diteruskan ke pengadilan manapun. Sedangkan, dua hakim lain berpendapat
putusan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dapat diproses di Pengadilan Pajak sehingga langkah
Direktorat Jenderal Pajak sudah benar dan hakim memproses keberatan pajak PT Andalas
Intiagro Lestari.
Ditjen Pajak Catur Rini Widosari menyebut, selama ini Asian Agri Group khususnya
Andalas Intiagro Lestari sudah memiliki itikad baik dengan membayar seluruh kekurangan
pajak sebelum putusan dikeluarkan.
Sebelumnya Asian Agri Group dinyatakan memiliki kekurangan pajak periode 2002-
2005 senilai Rp 1,25 triliun oleh Mahkamah Agung (MA). Perusahaan milik Taipan Soekanto
Tanoto ini harus membayar kekurangan pajak plus denda Rp 2,5 triliun. Pihak AAG
kemudian melakukan banding atas besaran pajak tersebut dengan alasan melebihi total
keuntungan perusahaannya yang pada 2002-2005 hanya mencapai Rp 1,24 triliun. Kini masih
ada delapan anak usaha Asian Agri dalam proses banding. Proses banding ini ditempuh oleh
Asian Agri untuk menghindari denda.
~Penyelesaiannya:
PT Asian Agri Group (AAG) akhirnya melunasi denda Rp 2,5 triliun. Pembayaran
tersebut merupakan denda wajib yang harus dibayarkan oleh AAG berdasarkan keputusan
Mahkamah Agung (MA) terkait perkara penyimpangan pajak yang dilakukan 14 perusahaan
yang tergabung dengan AAG.
Pada akhir Januari 2014, pihak AAG menyatakan kesiapannya dieksekusi pihak
Kejaksaan dengan sistem pelunasan secara bertahap atau mencicil setiap bulan hingga
tanggal 15 Oktober 2014. Akan tetapi AAG justru mampu melunasinya secara total pada 17
September 2014 atau hampir sebulan sebelum jatuh tempo. Pihak Kejaksaan mengapresiasi
hal tersebut.
Pembayaran dicicil mulai Januari 2014 sebesar Rp 719,9 miliar dan pembayaran
sisanya sebesar Rp 1,8 triliun dicicil hingga Oktober 2014 sebesar Rp 200 miliar per bulan.
Sebagai jaminan itikad baik, AAG berkomitmen melunasi seluruh denda dengan
mengeluarkan bilyet giro lebih dari 100 lembar yang sudah dititipkan kepada Bank Mandiri
dan tiap bulan dapat dicairkan.
Pihak Kejaksaan sebagai eksekutor ketika itu sepakat memberikan kesempatan pada
AAG untuk melakukan pembayaran dengan sistem mencicil karena lembaga Kejaksaan juga
harus mempertimbangkan aspek mendasar dari hukum itu sendiri yakni keadilan.

Anda mungkin juga menyukai