Anda di halaman 1dari 4

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN DISEKITAR

ILMU BUDAYA DASAR

Oleh :
NABILA ALYA RAHMAN
2003020028

PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BUMIGORA
2022
SEJARAH PERESEAN

Lombok memiliki sebuah warisan budaya dan tradisi unik adat setempat berupa kegiatan seni
bela diri yang dikenal dengan Peresean, budaya asli yang diwariskan turun temurun oleh nenek
moyang suku Sasak di Lombok ini. PERESEAN DI LOMBOK Pementasan seni bela diri
Peresean ini, merupakan ajang adu nyali yang melibatkan 2 orang petarung laki-laki, mereka ini
disebut Pepadu, masing-masing membawa sebatang tongkat rotan yang dinamakan penjalin
untuk menyerang lawan dan sebuah perisai yang dinamakan ende terbuat dari kulit kerbau atau
sapi untuk menangkis serangan lawan.

Di ujung penjalin tersebut dilapisi aspal agar beling halus bisa menempel, bisa dibayangkan
bagaimana seandainya ujung penjalin tersebut mengenai tubuh. Pertarungan mereka dipimpin
oleh dua orang wasit yang dikenal dengan istilah Pakembar. Tradisi unik suku adat Sasak di
Lombok ini memang unik dan menantang. Budaya adat dan tradisi tersebut sudah berlangsung
dari ratusan tahun yang lalu. Sejarah dan latar belakang tradisi Peresean ini adalah merupakan
pelampiasan rasa emosional raja-raja lombok yang menang setelah berperang di medan
pertempuran saat melawan musuh-musuhnya.

Tradisi peresean Suku Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) masih dilestarikan sampai
saat ini. Peresean adalah salah satu dari deretan budaya yang diturunkan dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Dimulai sejak abad ke-13, mulanya tradisi ini bertujuan untuk memanggil
hujan pada musim kemarau. Namun, peresean telah berkembang menjadi seni ketangkasan
seiring berkembangnya zaman. Tradisi ini adalah pertarungan yang penuh darah, di mana dua
laki-laki yang beradu disebut dengan Pepadu.

Pekembar dari penonton lah yang menentukan siapa yang akan bertarung. Bagi yang terpilih
harus bersiap turun ke arena perang. Kedua, Pepadu dibekali senjata rotan yang disebut penjalin,
serta perisai dari kulit kerbau untuk adu jotos selama tiga menit. Peraturan peresean sangat
simpel, yakni tidak boleh meyerang bagian perut ke bawah. Peserta hanya diperbolehkan
memukul tubuh lawan bagian atas, seperti kepala, pundak, dan punggung.

Persean juga sebagai media melatih ketangkasan, keberanian serta ketangguhan dalam
bertanding, kemudian diwariskan secara turun-temurun sebagai acara ritual untuk memohon
turunnya hujan di musim kemarau, tentunya sangat disakralkan oleh suku Sasak Lombok.
Pada perkembanganya kini Peresean juga dipentaskan sebagai sarana penyambutan para tamu
atau wisatawan yang berkunjung ke Pulau Lombok. Salah satunya jika anda berkunjung ke Gili
Trawangan yang merupakan salah satu sentral pariwisata di Lombok, bisa anda temukan
pementasannya. Petarung atau pemain bisa juga dipilih dari para penonton, sehingga Peresean ini
juga bisa diikuti oleh para wisatawan yang sedang menonton, dengan mematuhi aturan-aturan
yang ada.

Wasit atau pakembar akan menunjuk langsung pemain/pepadu dari penonton dan memilih
pepadu atau lawan yang seimbang. Penonton juga berhak menolak, tidak dipaksakan. Dalam adu
tanding dalam tradisi Peresean, jumlah petarung tidak dibatasi, dua orang wasit yang memimpin
pertandingan berfungsi berbeda, wasit tengah (Pakembar Tengaq) bertugas untuk memimpin
pertandingan, sedangkan wasit pinggir (Pakembar Sedi) bertugas untuk melakukan penilaian.

Pertarungan dinyatakan selesai jika salah satu pepadu kena pukul dan mengeluarkan darah atau
salah satu petarung menyatakan menyerah. Jika tidak maka pertarungan dilanjutkan terbatas
sampai 5 ronde saja, dan wasit pinggir berhak menentukan siapa pemenangnya.

Budaya tradisional Peresean ini selalu menjunjung nilai sportifitas, walaupun mereka saling
pukul dengan sengit dalam arena, bahkan sampai ada yang mengeluarkan darah, setelah
pementasan selesai mereka tetaplah sahabat, saling berpelukan dan tidak punya rasa dendam.
Karena dibalik budaya Peresean, selain sebagai pelestarian budaya juga sebagai ajang
silaturahmi dan persahabatan bukan bertujuan mencari lawan tetapi mencari kawan ataupun
saudara.

Budaya ini tergolong sangat keras tidak hanya butuh keberanian, tapi juga ketangkasan. Namun
sampai sekarang masih terjaga lestari untuk menguji nyali para pemuda bahkan anak-anak suku
Sasak. Budaya dan tradisi Peresean di Lombok ini sekilas mirip dengan tradisi Gebug Ende di
desa Seraya di Karangasem Bali, Gebug Ende Seraya ini juga melibatkan dua petarung laki-laki
dengan perlengkapan penjalin dan ende yang bertujuan juga untuk memohon hujan.

Yang membedakannya pada saat Peresean, petarung tidak disiapkan secara khusus, bisa berasal
dari penonton dan dalam arena tidak menggunakan tongkat pemisah sebagai batas areal masing-
masing petarung. Sedangkan dalam Gebug Ende petarung sudah disiapkan khusus dan ada batas
pemisah sehingga tidak bisa memasuki areal lawan. Belum admin ketahui hubungan antara
Peresean di Lombok dengan Gebug Ende di Seraya ini.

PERKEMBANGAN PERESEAN

Dalam perkembangannya, kesenian ini terus dilestarikan di Lombok, NTB. Selain


diselenggarakan sebagai tradisi, peresean juga sering ditampilkan untuk menyambut tamu-tamu
kehormatan atau wisatawan yang berkunjung kesana, khususnya ke desa adat sasak yakni Desa
Sade. Peresean juga ditampilkan pada tempat pariwisata yaitu Gili Terwangan Lombok.

Anda mungkin juga menyukai