0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
6 tayangan8 halaman
Strategi pembelajaran afektif bertujuan untuk mencapai pendidikan kognitif dan dimensi lain seperti sikap dan keterampilan afektif. Proses pembentukan sikap melalui strategi pembelajaran afektif terdiri dari pola pembiasaan dan modeling, dimana pola pembiasaan melibatkan penguatan dan modeling melibatkan mencontoh orang lain. Model strategi pembelajaran afektif meliputi model konsiderasi dan model pengembangan kognit
Strategi pembelajaran afektif bertujuan untuk mencapai pendidikan kognitif dan dimensi lain seperti sikap dan keterampilan afektif. Proses pembentukan sikap melalui strategi pembelajaran afektif terdiri dari pola pembiasaan dan modeling, dimana pola pembiasaan melibatkan penguatan dan modeling melibatkan mencontoh orang lain. Model strategi pembelajaran afektif meliputi model konsiderasi dan model pengembangan kognit
Strategi pembelajaran afektif bertujuan untuk mencapai pendidikan kognitif dan dimensi lain seperti sikap dan keterampilan afektif. Proses pembentukan sikap melalui strategi pembelajaran afektif terdiri dari pola pembiasaan dan modeling, dimana pola pembiasaan melibatkan penguatan dan modeling melibatkan mencontoh orang lain. Model strategi pembelajaran afektif meliputi model konsiderasi dan model pengembangan kognit
Strategi pembelajaran afektif adalah strategi yang bukan hanya bertujuan untuk mencapai pendidikan kognitif saja, akan tetapi juga bertujuan untuk mencapai dimensi lainya. Yaitu sikap dan keterampilan afektif berhubungan dengan volume yang sulit di ukur karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam, afeksi juga dapat muncul dalam kejadian behavioral yang diakibatkan dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru.[5] Kemampuan aspek afektif berhubungan dengan minat dan sikap yang dapat berupa tanggung jawab, kerja sama, disiplin, komitmen, percaya diri, jujur, menghargai pendapat orang lain dan kemampuan mengendalikan diri. Semua kemampuan ini harus menjadi bagian dari tujuan pembelajaran di sekolah, yang akan dicapai melalui kegiatan pembelajaran yang tepat.[6] Dalam pengertian lain disebutkan bahwa ranah afektif sangat mempengaruhi perasaan dan emosi. Sehingga seorang anak dapat dilihat dari bagaimana perkembanganya bukan pada apa yang telah dirasakannya. Aspek afektif yang penting diketahui adalah sikap dan minat peserta didik melalui lima jenjang yaitu, menerima, menjawab, menilai, organisasi, dan karakteristik dengan suatu nilai. Dengan demikian pendekatan yang dipakai lebih bersifat paedegogis (melihat dari bagaimana metode pengajaranya), karena mengutamakan transfer of values.[7] Pengajaran yang efektif menuntut kesediaan kerjasama dari siswa. Kesediaan ini harus diperoleh: ia tak bisa diambil secara paksa.[8]
C. Proses Pembentukan Sikap
Proses strategi pembelajaran afektif juga disebut dengan istilah proses pembentukan sikap, ada dua proses yang termasuk kedalam strategi pembelajaran afektif, yaitu: 1. Pola Pembiasaan Menurut penelitian Watson seorang psikolog cara belajar sikap yang disebabkan dengan kebiasaan dapat menjadi dasar penanaman sikap tertentu terhadap suatu objek. Dalam proses pembelajaran di sekolah, baik secara disadari maupun tidak, guru dapat menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan misalnya, siswa yang setiap kali menerima perlakuan yang tidak mengenakan dari guru seperti mengejek atau menyinggung perasaan anak, maka lama-kelamaan akan timbul perasaan kesal dari anak tersebut yang pada akhirnya dia tidak menyukai guru dan mata pelajarannya.[9] Belajar membentuk sikap melalui pembiasaan juga dilakukan oleh Skinner melalu teorinya “operant conditioning” proses pembentukan sikap melalui pembiasaan yang dilakukan Watson berbeda dengan proses pembiasaan sikap yang dilakukan Skinner. Skinner menekankan pada proses peneguhan respons anak, dimana setiap kali anak menunjukan prestasi yang baik diberikan penguatan dengan cara memberikan hadiah atau prilaku yang menyenangkan.[10] Dari Watson dan Skinner, menurut kelompok kami dapat diambil kesimpulan bahwa proses pembentukan sikap dengan pola pembiasaan bukan hanya melalui proses pembiasaan yang dilakukan secara terus menerus melainkan juga memberikan penguatan sehingga anak akan berusaha dan bersemangat untuk meningkatkan sikap positifnya[11] 2. Modeling Pembelajaran sikap seseorang yang dilakukan melalui proses modeling yaitu pembentukan sikap melalui proses asimilasi atau proses mencontoh. Proses modeling ini adalah proses peniruan anak terhadap orang lain yang menjadi idolanya atau orang yang dihormatinya yang dimulai rasa kagum. Salah satu karakteristik anak didik yang sedang berkembang adalah keinginannya untuk melakukan peniruan (imitasi). Hal yang ditiru itu adalah perilaku-perilaku yang diperagakan atau didemonstrasikan oleh orang yang menjadi idolanya. Prinsip peniruan ini yang dimaksud dengan modeling.[12] Proses penanaman sikap anak terhadap suatu objek melalui proses modeling pada mulanya dilakukan secara mencontoh, namun anak perlu diberi pemahaman mengapa hal itu dilakukan. Misalnya, guru perlu menjelaskan mengapa kita harus berpakaian bersih atau mengapa kita harus telaten menjaga dan memelihara tanaman.[13]
D. Model strategi pembelajaran afektif
Setiap strategi pembelajaran sikap pada umumnya menghadapkan siswa pada situasi yang mengandung konflik atau situasi yang problematis. Adapun contoh model strategi pembentukan sikap: 1. Model Konsiderasi Model Konsiderasi (the conderation model) dikembangkan oleh Mc. Paul, seorang humanis. Pembelajaran moral siswa menurutnya ialah pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual. Model ini menekankan kepada strategi pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian. Pembelajaran sikap pada dasarnya adalah membantu anak agar dapat mengembangkan kemampuan untuk bisa hidup bersama secara harmonis, peduli, dan merasakan apa yang dirasakan orang lain. Implementasi model konsiderasi guru dapat mengikuti tahapan pembelajaran seperti dibawah ini: a) Menghadapkan siswa pada suatu masalah yang mengandung konflik, yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. b) Menyuruh siswa untuk menganalisis situasi masalah dengan melihat bukan hanya yang tampak, tapi juga yang tersirat dalam permasalahan tersebut, misalnya perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain. c) Menyuruh siswa untuk menuliskan tanggapannya terhadap permasalahan yang terjadi. d) Mengajak siswa untuk menganalisis respons orang lain serta membuat katagori dari setiap respons yang diberikan siswa. e) Mendorong siswa untuk merumuskan akibat atau konsekuensi dari setiap tindakan yang diusulkan siswa. f) Mengajak siswa untuk memandang permasalahan dari berbagai sudut pandangan untuk menambah wawasan agar mereka dapat menimbang sikap tertentu sesuai dengan nilai yang dimilikinya. g) Mendorong siswa agar merumuskan sendiri tindakan yang harus dilakukan sesuai dengan pilihannya berdasarkan pertimbangannya sendiri. [14] 2. Model Pengembangan Kognitif Model pengembangan Kognitif dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg. Model ini banyak diilhami oleh pemikiran John Dewey dan Jean Piaget yang berpendapat bahwa perkembangan manusia terjadi sebagai proses dari restrukturisasi kognitif yang berlangsung secara berangsur-angsur menurut urutan tertentu. Menurut Kohlberg, moral manusia itu berkembang melalui 3 tingkat, setiap tingkat mempunyai 2 tahap : a. Tingkat Prakonvensional Pada tingkat ini setiap individu memandang moral berdasarkan kepentingannya sendiri. Artinya, pertimbangan moral didasarkan pada pandangan secara individual tanpa menghiraukan rumusan dan aturan yang dibuat oleh masyarakat. Pada tingkat ini terdapat 2 tahap, yakni · Tahap 1 : Orientasi hukuman dan kepatuhan Pada tahap ini perilaku anak didasarkan kepada konsekuensi fisik yang akan terjadi. Artinya, anak hanya berpikir bahwa perilaku yang benar itu adalah perilaku yang tidak akan mengakibatkan hukuman. Dengan demikian, setiap peraturan harus dipatuhi agar tidak menimbulkan konsekuensi negatife. · Tahap 2 : Orientasi instrumental relatif Pada tahap ini perilaku anak didasarkan kepada rasa “adil” berdasarkan aturan permainan yang telah disepakati. Diaktakan adil manakala orang membalas perilaku kita yang dianggap baik. Dengan demikian perilaku itu didasarkan kepada saling menolong dan saling memberi.[15] b. Tingkat Konvensional Pada tingkat ini anak mendekati masalah didasarkan pada hubungan individu- masyarakat. kesadaran dalam diri anak mulai tumbuh bahwa perilaku itu harus sesuai dengan norma-norma dan aturan masyarakat yang berlaku. Pada tingkat konvensional itu mempunyai 2 tahap sebagai kelanjutan dari tahap yang ada pada tingkat prakonvensional, yaitu tahap keselarasan interpersonal serta tahap sistem social dan kata hati. · Tahap 3 : Keselarasan interpersonal Pada tahap ini ditandai dengan setiap perilaku yang ditampilkan individu didorong oleh keinginan untuk memenuhi harapan orang lain. · Tahap 4 : Sistem sosial dan kata hati Pada tahap ini perilaku individu bukan didasarkan pada dorongan untuk memenuhi harapan orang lain yang dihormatinya, tetapi didasarkan pada tuntutan dan harapan masyarakat. c. Tingkat Postkonvensional Pada tingkat ini prilaku bukan hanya didasarkan pada kepatuhan terhadap norma-norma masyarakat yang berlaku, akan tetapi didasari oleh adanya kesadaran sesuai dengan nilai-nilai yang dimilikinya secara individu. Pada tingkat ini mempunyai 2 tahap, yakni : · Tahap 5 : Kontrak sosial Pada tahap ini perilaku individu didasarkan pada kebenaran-kebenaran yang diakui oleh masyarakat. Kesadaran berperilaku tumbuh karena kesadaran untuk menerapkan prinsip-prinsip sosial. · Tahap 6 : Prinsip etis yang universal Pada tahap terakhir, perilaku manusia didasarkan pada prinsip-prinsip universal. Segala macam tindakan bukan hanya didasarkan sebagai kontrak sosial yang harus dipatuhi, akan tetapi didasarkan pada suatu kewajiban sebagai manusia.[16] 3. Teknik Mengklarifikasi Nilai Teknik mengklarifikasi nilai atau sering disingkat VCT (value clarification technique) dapat diartikan sebagai teknik pengajaran untuk membantu siswa dalam mencari dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa. Kelemahan yang sering terjadi dalam proses pembelajaran nilai atau sikap adalah proses pembelajaran yang dilakukan secara langsung oleh guru, artinya guru menanamkan nilai-nilai yang dianggapnya baik tanpa memperhatikan nilai yang sudah tertanam dalam diri siswa. Salah satu karakteristik VCT sebagai suatu model dalam suatu strategi pembelajaran sikap adalah proses penanaman nilai dilakukan melalui proses analisis nilai yang sudah ada sebelumnya dalam diri siswa kemudian menyelaraskannya dengan nilai-nilai baru yang hendak ditanamkan VCT sebagai suatu model dalam strategi pembelajaran moral VCT bertujuan : a. Untuk mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai. b. Membina kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang dimilikinya baik tingkatannya maupun sifatnya (positif dan negatifnya) untuk kemudian dibina kearah peningkatan dan pembetulannya. c. Untuk menanamkan nilai-nilai tertentu kepada siswa melalui cara yang rasional dan diterima siswa, sehingga pada akhirnya nilai tersebut akan menjadi milik siswa. d. Melatih siswa bagaimana cara menilai, menerima, serta mengambil keputusan terhadap suatu persoalan dalam hubungannya dengan kehidupan sehari-hari dimasyarakat. Langkah pembelajaran dengan VCT dalam tujuh tahap yang dibagi dalam 3 tingkat : 1) Kebebasan memilih Pada tingkat ini terdapat 3 tahap : a) Memilih secara bebas b) Memilih dari beberapa alternative c) Memilih setelah dilakukan analisis pertimbangan konsekuensi yang akan timbul sebagai akibat pilihannya. 2) Menghargai Terdiri dari 2 tahap pembelajaran : a) Adanya perasaan senang dan bangga dengan nilai yang menjadi pilihannya. b) Menegaskan nilai yang sudah menjadi bagian integral dalam dirinya di depa umum. 3) Berbuat Terdiri atas : a) Kemauan dan kemampuan untuk mencoba melaksanakannya b) Mengulangi prilaku sesuai dengan nilai pilihannya. VCT menekankan bagaimana sebenarnya seseorang membangun nilai yang menurut anggapannya baik, yang pada gilirannya nilai-nilai tersebut akan mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Beberapa hal yang harus diperhatikan guru dalam mengimplementasikan VCT melalui proses dialog • Hindari penyampaian pesan melalui proses pemberian nasihat, yaitu memberikan pesan-pesan moral • Jangan memaksa siswa untuk memberi respons tertentu apabila siswa tidak menghendakinya • Usahakan dialog dilaksanakan secara bebas dan terbuka, sehingga siswa akan mengungkapkan perasaannya secara jujur dan apa adanya. • Dialog dilaksanakan kepada individu, bukan pada kelompok kelas. • Hindari respons yang dapat menyebabkan siswa terpojok, sehingga ia menjadi defensive • Tidak mendesak siswa pada pendirian tetentu • Jangan mengorek alasan siswa lebih dalam.[17] 4. Model pembentukan rasional Dalam kehidupannya, orang berpegang pada nilai-nilai sebagai standar bagi segala aktivitasnya. Nilai-nilai ini ada yang tersembunyi, dan ada pula yang dapat dinyatakan secara eksplisit. Nilai juga bersifat multidimensional, ada yang relatif dan ada yang absolut. Model pembentukan rasional (rational building model) bertujuan mengembangkan kematangan pemikiran tentang nilai-nilai. Langkah-langkah pembelajaran rasional: a. Mengidentifikasi situasi dimana ada ketidakserasian atau penyimpangan tindakan. b. Menghimpun informasi tambahan. c. Menganalisis situasi dengan berpegang pada norma, prinsip atau ketentuan- ketentuan yang berlaku dalam masyarakat. d. Mencari alternatif tindakan dengan memikirkan akibat-akibatnya. e. Mengambil keputusan dengan berpegang pada prinsip atau ketentuan-ketentuan legal dalam masyarakat.[18] 5. Model Nondirektif Para siswa memiliki potensi dan kemampuan untuk berkembang sendiri. Perkembangan pribadi yang utuh berlangsung dalam suasana permisif dan kondusif. Guru hendaknya menghargai potensi dan kemampuan siswa dan berperan sebagai fasilitator/konselor dalam pengembangan kepribadian siswa. Penggunaan model ini bertujuan membantu siswa mengaktualisasikan dirinya. Langkah-langkah pembelajaran nondirekif: a. Menciptakan sesuatu yang permisif melalui ekspresi bebas. b. Pengungkapan siswa mengemukakan perasaan, pemikiran dan masalah-masalah yang dihadapinya, guru menerima dan memberikan klarifikasi. c. Pengembangan pemahaman (insight), siswa mendiskusikan masalah, guru memberrikan dorongan. d. Perencanaan dan penentuan keputusan, siswa merencanakan dan menentukan keputusan, guru memberikan klarifikasi. e. Integrasi, siswa memperoleh pemahaman lebih luas dan mengembangkan kegiatan- kegiatan positif.
E. Kelebihan dan Kelemahan dalam pembelajaran afektif
1. Kelebihan a. Dalam pelaksanaan pembelajaran afektif akan dapat Membentuk watak serta peradaban Bangsa yang bermatabat. b. Mengembangkan potensi peserta didik dalam hal nilai dan sikap. c. Menjadi sarana pembentukan manusia yang beriman, dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. d. Peserta didik akan lebih mengetahui mana yang hal yang baik dan mana yang tidak baik. e. Peserta didik akan mengetahui hal yang berguna atau berharga (sikap positif) dan tidak berharga atau tidak berguna (sikap negatif). f. Dengan pelaksanaannya strategi pembelajaran afektif akan memperkuat karakter bangsa indonesia, apalagi apabila diterapkan pada anak sejak dini. g. Dengan pelaksanaan pembelajaran afektif siswa dapat berperilaku sesuai dengan pandangan yang di anggap baik dan tidak bertentangan dengan norma- norma yang berlaku.[19] 2. Kelemahan a. Kurikulum yang berlaku selama ini cendrung diarahkan untuk pmbentukan intelektual (kemampuan kognitif) dimana anak diarahkan kepada menguasai materi tanpa memperhatikan pembentukan sikap dan moral. b. Sulitnya melakukan kontrol karena banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan sikap seseorang. c. Keberhasilan pembentukan sikap tidak bisa dievaluasi dengan segera, karena perubahan sikap dilihat dalam rentang waktu yang cukup lama. d. Pengaruh kemampuan teknologi, khususnya teknologi informasi yang menyuguhkan aneka pilihan program acara yang berdampak pada pembentukan karakter anak.[20]
F. Strategi Pembelajaran Afektif dalam Mapel PAI
Strategi pembelajaran afektif erat kaitannya dengan nilai (value) yang dimiliki seseorang, yang sulit diukur, karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam. Sikap merupakan refleksi dari nilai yang dimiliki. Maka pendidikan sikap pada dasarnya adalah pendidikan nilai. Nilai adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifatnya tersembunyi, tidak berada di dalam dunia yang empiris. Nilai berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik dan buruk, indah dan tidak indah, layak dan tidak layak, adil dan tidak adil, dan lain sebagainya sebagai. Pandangan seseorang tentang semua itu tidak bisa diraba, kita hanya mungkin dapat mengetahuinya dari perilaku yang bersangkutan. Oleh karenanya itulah nilai pada dasarnya standar perilaku, ukuran yang menentukan atau kriteria seseorang, sehingga standar itu yang akan mewarnai perilaku sesorang. Dengan demikian pendidikan nilai melalui pembelajaran afektif pada dasarnya merupakan proses penanaman nilai kepada peserta didik yang diharapkan.Siswa dapat berperilaku sesuai dengan pandangan yang dianggapnya baik dan tidak bertentangan dengan norma-norma agama yang berlaku. Pada pengajaran afektif sangat sulit diukur karena masalah afektif ini bersifat kejiwaan. Pembelajaran afektif ini perlu dilakukan pada mata pelajaran PAI karena dalam setiap materi pelajaran memiliki nilai yang harus ditanamkan pada siswa yaitu nilai-nilai moral. Penerapan pembelajaran afektif dilaksanakan sesuai dengan materi dan target nilai yang akan ditanamkan kepada siswa. Melalui pembelajaran afektif siswa dibina kesadaran emosionalnya melalui cara kritis rasional, melalui klarifikasi dan mampu menguji kebenaran, kebaikan keadilan, kelayakan dan ketepatan. Pembelajaran afektif pada mata pelajaran PAI dapat dilaksanakan oleh seorang guru dengan menggunakan metode percontohan dan pengaplikasian materi pembelajaran melalui learning by doing. Penerapan pembelajaran afektif akan berhasil baik apabila ada keterbukaan dan kesediaan atau kesiapan para siswa dalam memberikan tanggapan setiap stimulus yang diberikan guru. Melalui metode stimulus ini siswa akan menemukan jati dirinya sehingga guru dapat memahami potret diri siswa itu sendiri. Oleh karena itu, maka tugas utama guru adalah menjelajahi jenis ragam dan tigkat kesadaran nilai-nilai yang ada dalam diri siswa melalui berbagai indikator, meluruskan nilai yang kurang baik dan menangkal masuknya nilai yang naif dan negatif, membina, mengembangkan dan meningkatkan nilai yang ada dalam diri siswa baik kualitatif maupun kuantitatif, menanamkan nilai-nilai baru. Sehingga dalam pembelajaran afektif akan mengantarkan terbentuknya akhlak mulia dalam diri setiap siswa sehingga akan memudahkan bagi guru dan siswa dalam mencapai tujuan pendidikan agama islam yaitu menjadi insan kamil.[21]
ILMU PERUBAHAN DALAM 4 LANGKAH: Strategi dan teknik operasional untuk memahami bagaimana menghasilkan perubahan signifikan dalam hidup Anda dan mempertahankannya dari waktu ke waktu