Oleh:
Taurisia Kristiani, dr
Peserta PPDS I Program Studi Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
Pembimbing:
dr. Martha Kurnia Kusumawardani, Sp.KFR-K
Staf Pengajar Lab/SMF Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA RSUD Dr. SOETOMO
SURABAYA
2022
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI................................................................................................................ ii
GAMBAR .................................................................................................................... v
TABEL......................................................................................................................... vi
ii
3.1 Definisi, Klasifikasi dan Patofisiologis Nyeri pada Cedera Medulla
Spinalis ......................................................................................................... 15
3.1.6 Klasifikasi untuk Nyeri Kronis pada Cedera Medulla Spinalis .............. 26
3.2 Gejala dan tanda Nyeri pada Cedera Medulla Spinalis .................................. 23
4.1.3 Narkotika................................................................................................ 34
4.2.1 Modalitas................................................................................................ 36
iii
4.2.1.2 Teknik stimulasi .......................................................................... 37
iv
GAMBAR
v
TABEL
vi
DIAGRAM
vii
BAB I
PENDAHULUAN
Cedera medulla spinalis yang terjadi akibat kerusakan tulang belakang yang
menyebabkan ligamen, sendi, diskus, dan jaringan lunak yang terkena menimbulkan rasa
nyeri akut (Beric 1997). Nyeri merupakan salah satu keluhan yang disering dikeluhkan
penderita dengan cedera medulla spinalis. (Thomas, 2020) Nyeri akibat cedera medulla
spinalis bersifat multifaktorial dan membutuhkan perawatan yang lebih optimal karena
memerlukan evaluasi secara individual dan perawatan selanjutnya (Mehta S, 2014) Sebagian
besar, rasa nyeri tersebut berkurang dengan pengobatan nyeri pada umumnya dan dengan
manajemen cedera medulla spinalis yang akut (Cairns 1996, Sved 1997). Biasanya nyeri
cedera medulla spinalis muncul setelah beberapa bulan dan tidak jarang setelah beberapa
tahun, terkadang mengubah karakteristik nyeri saat muncul atau menghilang. Ini sebenarnya
adalah rasa nyeri kronis yang mungkin sangat mengganggu sehingga dapat mengenai motorik,
kandung kemih dan usus, dan juga ketidakmampuan fungsi pada fase pascaakut
(Nepomuceno 1979). Nyeri yang timbul pada pasien dapat berbeda-beda dan juga rasa sakit
yang berbeda timbul pada pasien yang sama dan pada waktu yang berbeda atau bersamaan.
(Beric 1997, Loeser 2001). Perawatan cedera medulla spinalis adalah yang sangat sulit. Tidak
ada obat khusus nyeri cedera medulla spinalis, yang mencerminkan pemahaman kita yang
buruk tentang mekanisme dasar nyeri. Karena adanya berbagai gangguan nyeri, klasifikasi
praktis akan membantu dalam mengembangkan pedoman terapi klinis. Namun, ini hanya
bagian dari solusi, karena terapi masih belum optimal untuk beberapa rasa nyeri, misalnya
pusat nyeri. Faktor sulit lainnya adalah rapuhnya kondisi medis pasien cedera medulla
spinalis dan kurangnya pengetahuan mengenai terapi terhadap nyeri, spastisitas, fungsi
1
kandung kemih dan usus, pengaturan tekanan darah, dan keluhan lain yang dipengaruhi oleh
Nyeri pada cedera medulla spinalis akut dapat berbeda-beda. Nyeri dapat membaik
dengan atau tanpa pengobatan pada saat kelainan muskuloskeletal ditangani lebih awal. Jika
disebabkan oleh nerve root atau cedera medulla spinalis, juga dapat membaik apabila
cederanya ringan dan tidak menyebabkan perubahan sentral yang persisten atau mungkin bias
menetap sampai menjadi nyeri kronis (Stormer, 1997). Sekitar 80%-94% penderita cedera
medulla spinalis mengeluhkan adanya nyeri kronis, sedangkan hanya sebagian kecil dari
pasien (Bonica 1991) yaitu sebanyak 1/3 atau sekitar 30%-40% mengeluhkan nyeri kronis
yang sangat parah yang mengganggu aktivitas sehari-hari dan mempengaruhi kualitas hidup
Nyeri tidak dapat dievaluasi secara spesifik tanpa mempertimbangkan keadaan psikologis
pasien, seperti diketahui bahwa nyeri jelas dipengaruhi oleh komponen perilaku. Nyeri kronis
mengurangi rasa nyeri telah terbukti memiliki efek yang signifikan dalam mengurangi
depresi (Cairns 1996). Pada tinjauan pustaka ini membahas beberapa macam nyeri yang
dapat membantu menganalisis nyeri pada setiap kasus dan memberi pengetahuan tentang
penatalaksaan nyeri pada cedera medulla spinalis yang diharapkan dapat meningkatkan
2
BAB II
Cedera medulla spinalis adalah kerusakan pada medulla spinalis yang menyebabkan defisit
sensoris dan motorik atau lesi traumatis akut pada elemen saraf di tulang belakang,
mengakibatkan gangguan sementara atau permanen berupa defisit sensorik dan motorik serta
Gejala pada berbagai level cedera pada cedera medulla spinalis lengkap dapat
berbeda-beda sesuai dengan level cederanya. Pada dasarnya ada kelemahan otot atau
hilangnya kekuatan otot dan kelainan sensorik yang diamati di area tubuh tersebut di bawah
3
Beberapa gejala yang timbul sesuai level lesi yaitu pada :
Kehilangan sensorik dan motorik dengan cedera pada level cervical yang lebih tinggi
dapat menyebabkan kelemahan diafragma dan semua otot tubuh termasuk lengan, badan dan
kaki yang menyebabkan ketidakmampuan untuk bernapas dan kehilangan semua gerakan
tubuh. Saat level bergeser lebih rendah kemampuan bernapas dapat dipertahankan dan
beberapa otot lengan juga masih mampu untuk melakukan gerakan parsial pada anggota
tubuh bagian atas. Hilangnya kontrol terhadap usus dan kandung kemih yang normal timbul
pada semua pasien cedera level cervical yang komplit. Pada cedera inkomplit timbul
gangguan sensoris parsial, motorik parsial, kekuatan dan fungsi kandung kemih atau usus
masih dapat dipertahankan. Spastisitas adalah gejala utama pada cedera pada level cervical.
Spastisitas adalah peningkatan tonus atau ketegangan otot. Otot akan tetap dalam keadaan
4
kontraksi terus menerus dan menyebabkan ketidakmampuan untuk melakukan gerakan dan
hentakan yang tiba-tiba saat menekuk atau meluruskan anggota badan, sehingga hal ini
terkadang menimbulkan rasa nyeri. Selain itu timbulnya disrefleksia otonom, yaitu respons
tubuh yang abnormal terhadap perubahan mendadak dalam posisi tubuh dan timbulnya
hipotensi postural, yaitu penurunan tekanan darah secara tiba-tiba pada saat duduk atau
Cedera pada medulla spinalis regio thorax level tinggi menyebabkan gangguan sensorik
dan motorik pada trunk dan tungkai bawah sedangkan tungkai atas tidak terpengaruh.
Kontrol usus dan kandung kemih juga terganggu. Pada cedera dada yang lebih tinggi,
gejala seperti disrefleksia otonom, hipotensi postural dan spastisitas akan terlihat lebih sering
Pada level Lumbo-Sacral di bawah level vertebra L2 gejalanya berbeda dari cedera level
yang lebih tinggi. Meskipun terdapat gangguan kekuatan motorik dan sensoris, spastisitas
jarang timbul pada cedera ini. Bila timbul spastisitas maka ada kelemahan otot yang berarti
hilangnya tonus dan atrofi otot di tungkai bawah dengan pola pemulihan tungkai bawah
diikuti oleh usus dan kandung kemih diikuti oleh ekstremitas atas proksimal, ekstremitas atas
Sindrom dengan gejala ini jarang terjadi dalam kasus cedera traumatis dan cedera selektif
pada tulang belakang yaitu hilangnya fungsi sensoris dan terdapat kelemahan pada sisi
ipsilateral level cedera. Semua sensoris superfisial dan dalam terganggu pada sisi ipsilateral.
Sedangkan gejala nyeri dan sentuhan terganggu pada sisi kontralateral. Perbedaan tersebut
disebabkan oleh persimpangan serat spinotalamikus yang merangsang rasa nyeri dan suhu.
5
Varian dari Brown Sequard Syndrome yaitu Brown Sequard Plus syndrome
menunjukkan kelemahan motorik atau kelumpuhan pada sisi ipsilateral dan penurunan
Sindrom ini disebabkan karena kerusakan pada bagian anterior medulla spinalis, yaitu
cedera traumatis atau penyakit yang secara selektif mempengaruhi arteri yang mensuplai
bagian saluran ini. Secara klinis, kekuatan motorik terganggu di bawah level lesi dan sensasi
superficial seperti tusukan jarum mungkin terganggu tetapi sensasi yang dalam seperti
proprioceptif dan tekanan dalam masih berfungsi. Prognosis pemulihan motorik pada
Sindrom ini paling sering terlihat pada cedera dengan fraktur elemen posterior tulang
belakang. Ada memar pada kolumna posterior sehingga pasien memiliki kekuatan dan rasa
nyeri dan suhu yang normal tetapi kadang-kadang ada ataksia karena hilangnya proprioseptif
Efek cedera pada medula sakral (conus medullaris) dan akar saraf lumbal, berupa
hilangnya refleks kandung kemih, usus, dan ekstremitas bawah. Lesi letak tinggi di conus
dapat mewakili bagian atas dari kecacatan dan fungsi neuron motoric yang kemudian dapat
dipertahankan dalam refleks sakral, misalnya refleks bulbocavernosus dan berkemih. .(Swain,
2002)
Cedera pada akar saraf lumbosakral dapat menyebabkan arefleksia kandung kemih, usus,
dan tungkai bawah. Fase terakhir dalam diagnosis trauma tulang belakang memerlukan
radiologi tulang belakang untuk menilai tingkat dan sifat cedera.(Melzack, 1982)
6
Gambar 3. Sindrom Cedera Medulla Spinalis(Jacob, 2015)
mendiagnosis pasien dengan cedera medulla spinalis. Pemeriksaan awal yaitu dengan cara
membangun hubungan baik dengan pasien dan melakukan anamnesis yang lebih terperinci
untuk mengetahui detail tentang riwayat penyakit dahulu. Evaluasi dilakukan untuk
hipotesis dan proses pengambilan keputusan untuk intervensi pengobatan. Hal ini dapat
dilakukan dalam menyaring data formal atau informal, data dari rekam medis, anamnesis,
observasi dan menggunakan tes standar untuk cedera medulla spinalis(Cardenas, 2006)
7
Pengamatan sebelum pemeriksaan dengan melihat adanya penonjolan tulang dan area
kulit yang rentan, adanya jaringan parut, luka tekan, postur sekunder yang buruk karena luka
Pemeriksaan sensorik dilakukan dari penilaian sensorik superfisial dan dalam untuk
menentukan level cedera tulang belakang. Untuk klasifikasi ASIA dilakukan sentuhan
superfisial dan tes tusuk jarum yang digunakan pada peta dermatomal tubuh. Penting juga
untuk memeriksa sensasi dubur karena biasanya merupakan tanda pertama pemulihan dan
tanda tersebut dapat mengubah klasifikasi neurologis ASIA. (American Spinal Injury
Association,2019)
8
Gambar 5. Pemeriksaan sensorik berdasarkan dermatome (Jacob, 2015)
1. Penilaian tonus
Dalam beberapa tahun terakhir pembagian patofisiologi peningkatan tonus otot terbagi
(2) Spastisitas phasic intrinsik (Refleks tendon ) yang dimanifestasikan sebagai reflex
(3) Spastisitas ekstrinsik (Spasme) yang dimanifestasikan sebagai gerakan tiba-tiba dan
Teknik: Gerakkan sendi melalui 1 atau 2 gerakan cepat melalui seluruh jangkauan dari
gerak.(Harb, 2022)
9
Skala Ashworth yang Dimodifikasi
Skala yang paling umum digunakan untuk mengukur spastisitas adalah skala Modified
Ashworth. Skala ini mengukur aspek kelenturan yaitu resistensi terhadap gerakan pasif untuk
di evaluasi.
Deskripsi Level :
1 = Sedikit peningkatan tonus otot, dimanifestasikan dengan catch and release atau
dengan resistensi minimal pada akhir rentang gerak saat terpengaruh saat diarahkan ke
1+ = Sedikit peningkatan tonus otot, dimanifestasikan oleh catch, diikuti oleh resistensi
2 = Peningkatan tonus otot yang lebih nyata melalui sebagian besar ROM, tetapi bagian
Teknik: Dengan palu lutut, ketuk tendon dengan lembut dan amati pergerakan
persendiannya.
Penafsiran:
Cepat: Gerakan melalui rentang yang sama dengan refleks normal tetapi lebih tinggi
kecepatannya
Berlebihan: Peningkatan kecepatan lebih tinggi dan jangkauan gerakan yang tiba-tiba
10
1.3 Penilaian spastisitas ekstrinsik:
Mungkin tidak ada spastisitas pada gerakan pasif namun pasien mungkin menunjukkan
adanya spasme pada tubuh yang merupakan bentuk peningkatan tonus dan spastisitas.
Adanya riwayat kejang sebelumnya dan gerakan atau faktor pemicu kejang harus dipastikan
2. Penilaian kekuatan:
jangkauan gerakan dan jika dilakukan dengan bantuan gravitasi. Penilaian otot dengan
MMT
0 = paralisis total
1 = teraba/terlihat kontraksi
4 = gerakan aktif (full ROM) melawan tahanan sedang dalam posisi khusus
5 = gerakan aktif (full ROM) melawan tahanan maksimal dalam posisi khusus
Meskipun pengujian otot manual digunakan untuk otot, otot sebaiknya diuji secara pola
2019)
Miotom:
Ekstensi leher C3
Mengangkat bahu/elevasi C4
Abduksi bahu C5
11
Fleksi siku C6
Ekstensi lutut L3
Ekstensi kaki L5
5. Trapezius dapat digunakan untuk fleksi dan abduksi bahu melalui shouler dan elevasi
skapula
6. Ekstensi pergelangan tangan dapat digunakan untuk fleksi jari melalui tenodesis
7. Pronasi dapat digunakan untuk fleksi pergelangan tangan pada bidang yang dibantu
gravitasi
8. Supinasi dapat digunakan untuk ekstensi pergelangan tangan dengan bantuan gravitasi
mengangkat panggul
10. Obliques eksternal dan internal dapat digunakan untuk mengangkat panggul serta
12
11. Fleksor samping dapat meniru gerakan abduksi pinggul secara gravitasi
Kompensasi otot ini harus diidentifikasi dan digunakan untuk mendapatkan manfaat
fungsional. Jika pasien tidak dapat melakukan gerakan menggunakan kompensasi ini harus
Limitasi ROM menghalangi kemampuan fungsional yang dilakukan oleh pasien sehingga
pemeriksaan limitasi ROM harus dilakukan dan pasien harus diperlakukan sama. Terapis
harus melakukan penilaian range of motion (ROM) untuk semua sendi. Penilaian luas gerak
sendi harus diperiksa melalui gerakan aktif yang dilakukan oleh pasien sendiri serta gerakan
pasif yang dilakukan oleh terapis atau orang lain. Saat pemeriksaan limitasi ROM untuk
passive range of motion (PROM), ketidakmampuan melakukan gerakan aktif adalah karena
kelemahan otot agonis atau kelenturan otot antagonis, oleh karena itu periksa kelenturan otot
antagonis saat melakukan PROM. Dalam hal limitasi AROM dan limitasi PROM, perhatikan
endfeelnya. Endfeel springy adalah ketegangan atau kontraktur otot yang sugestif, endfeel
tulang bisa jadi fiksasi sugestif bedah atau myositis. Untuk endfeel hard disarankan
4. Keseimbangan/Balance
Keseimbangan akan terganggu pada semua pasien cedera medulla spinalis. Penting untuk
limitasi rotasi trunk karena fiksasi bedah dan limitasi ROM pinggul karena paha belakang
yang spasme secara signifikan dapat merusak keseimbangan duduk. Cedera dan patah tulang
tertentu dapat membatasi ROM sendi bahu dan tulang rusuk yang juga akan mempengaruhi
keseimbangan duduk. Dengan mengidentifikasi faktor-faktor ini sangat penting untuk melatih
13
keseimbangan. Setelah keselarasan postural telah dinilai, minta pasien untuk
mempertahankan postur selama 30 detik dalam duduk dan berdiri, untuk menilai
keseimbangan statis. Kemudian lakukan berbagai gerakan trunk dan lengan untuk menilai
yang kurang, ROM yang kurang dan proprioceptif yang terganggu.(Jacob, 2015)
14
BAB III
Banyak jenis rasa nyeri yang berbeda yang dialami oleh penderita cedera medulla
spinalis. Klasifikasi nyeri cedera medulla spinalis yang terjadi setelah mengalami cedera
medulla spinalis, terdiri dari tiga macam, yaitu : Nyeri Nosiseptif (Musculoskeletal), Nyeri
Nyeri Nosiseptif (Musculoskeletal) merupakan nyeri yang timbul dari aktivasi ujung
saraf perifer atau reseptor sensorik yang mampu mentransduksi dan memrespon rangsangan
berbahaya, dimana nyeri yang terjadi pada beberapa daerah sensasi yang dirasakan, nyeri
timbul dari nosiseptor dalam struktur muskuloskeletal (otot, tendon, ligamen, sendi, tulang).
15
Bisa terjadi di setiap lokasi di mana terdapat struktur muskuloskeletal, termasuk daerah di
bawah Nerve Level Injury. Hal utama yang harus diperhatikan pada anggota tubuh atas
penderita cedera medulla spinalis adalah pada saat melakukan aktivitas sehari-hari, saat
bekerja, dan berolahraga yang menyebabkan insiden cedera yang berlebihan dan
berulang dan mikrotrauma berulang, yang dapat diperburuk oleh cedera akut yang lebih besar.
Perawatan cedera berlebihan pada ekstremitas atas tergantung pada etiologi spesifik yang
• Kontrol peradangan dan nyeri dengan alat pelindung, istirahat, kompres es, kompresi,
• Restorasi fungsional
dengan ketinggian kursi roda) dan peralatan (misalnya, penggunaan kursi roda
ultralightweight atau power-assist add-on untuk kursi roda manual) untuk meminimalkan
aktifitas yang berlebihan dengan tujuan untuk mencapai tingkat fungsi sebelumnya,
disamping itu mencegah terulangnya kembali cedera yang menyebabkan nyeri. (Eide, 1998)
Nyeri bahu adalah yang paling umum dan dapat melemahkan ekstremitas bagian atas
akibat cedera yang berlebihan, diantaranya seperti tendonitis bicipital, sindrom impingement
rotator cuff, bursitis subakromial, capsulitis, dan osteoartritis. Prevalensi nyeri bahu pada
orang dengan cedera medulla spinalis, baik paraplegia atau tetraplegia, kira-kira 50% etiologi
nyeri bahu pada tetraplegia, berbeda dengan bahu nyeri pada paraplegia, lebih sering
termasuk nyeri yang berasal dari ketidakstabilan bahu, hal ini akibat dari kelemahan otot-otot
16
yang menyebabkan ketidakstabilan dari sendi bahu, capsulitis dan kontraktur yang
disebabkan oleh kurangnya ROM pasif atau aktif dan spastisitas yang mendasarinya.
Penggunaan otot yang berbeda pada penderita cedera medulla spinalis, dimana stabilisator
bahu tidak sepenuhnya dipersarafi dan digunakan secara berlebihan merupakan penyebab
yang paling banyak terjadi. Penting juga untuk mengurangi gerakan yang berbeda dengan
menekankan otot yang berbeda. Misalnya, otot infra spinatus secara signifikan lebih
ditekankan selama semua fase transfer di lengan belakang dibandingkan dengan lengan
bagian depan, yang diukur dengan intensitas kontraksi otot sebaliknya, subscapularis secara
signifikan lebih banyak digerakkan di lengan bagian depan. Dengan demikian jika salah satu
ditemukan memiliki gejala cedera unilateral infraspinatus rotator cuff, hubungan ke arah
transfer dapat mengurangi stres pada stabilisator bahu tersebut. Strategi pengobatan dan
pencegahan spesifik lainnya untuk nyeri bahu yang berasal dari rotator cuff pada penderita
cedera medulla spinalis terdiri dari latihan penguatan, peregangan, optimalisasi postur, dan
menghindari aktivitas lain yang mencetus terjadinya cedera. Penguatan stabilisator bahu
dinamis harus terjadi secara seimbang. Sebuah program harus menekankan penguatan otot
bahu posterior, termasuk posisi rotator eksternal, otot skapula posterior (rhomboids dan
trapezius) dan adduktor. Penggunaan kursi roda meningkatkan penguatan antagonis untuk
otot-otot tersebut yaitu otot bahu bagian anterior. Peregangan stabilisator bahu dinamis,
terutama otot bahu anterior, juga diperlukan untuk mencapai keseimbangan bahu. Ini karena
otot-otot ini sering menjadi hipertrofi dan berkontraksi akibat penggunaan terus-menerus
selama aktifitas propulsi dan transfer di kursi roda. Pada penelitian dengan latihan, yang
semuanya termasuk peregangan dan komponen penguatan yang dilakukan setiap hari di
rumah, menunjukkan hasil yang signifikan dalam menurunkan intensitas nyeri yang dinilai
17
Nyeri siku pada penderita cedera medulla spinalis juga umum dan paling sering
disebabkan oleh epikondilitis lateral atau medial. Olecranon bursitis sering terjadi pada orang
yang sering menahan berat badan dengan siku, baik untuk meningkatkan stabilitas penderita
pada saat duduk jika posisi tempat duduk tidak optimal dan penderita tersebut cenderung
jatuh atau pada penderita dengan gangguan kemampuan untuk menstabilkan siku
( kelemahan atau tidak adanya kekuatan pada ekstensor siku) dan yang mengandalkan siku
Penyebab nyeri pergelangan tangan pada penderita cedera medulla spinalis termasuk de
Quervain tenosinovitis dan inflamasi/arthritis sendi metacarpophalangeal pada ibu jari, yang
sering dipicu oleh genggaman berulang pada pushrim kursi roda, juga pada radang sendi
Nyeri nosiseptif (visceral) merupakan nyeri yang timbul sebagai akibat langsung dari lesi
atau penyakit yang mempengaruhi sistem somatosensori. Nyeri terjadi di daerah dada, perut,
atau panggul yang terutama terdapat dalam struktur visceral. Kategori ini termasuk nyeri
perut disebabkan oleh impaksi tinja, obstruksi usus, infark usus, perforasi usus, kolesistitis,
choledocholithiasis, pankreatitis, radang usus buntu, ruptur limpa, perforasi kandung kemih,
pielonefritis, atau sindrom mesenterika superior. Adanya nyeri nosiseptif visceral ditunjukkan
dengan adanya bukti patologi pada struktur visceral pada pencitraan atau pengujian lain yang
konsisten dengan presentasi nyeri. Meskipun rasa sakitnya khas dan samar-samar dan tidak
terlokalisasi dengan baik, kelembutan daerah visceral yang strukturnya teraba pada palpasi
perut, tergantung pada tingkat dan adanya cedera. Nyeri nosiseptif visceral dapat
berhubungan dengan gejala anoreksia, perubahan pola buang air besar (konstipasi), mual atau
muntah, dimana keluhan tersebut salah satunya dapat lebih menonjol daripada rasa nyeri itu
18
sendiri. Kram adalah deskripsi nyeri paling sering dari nyeri viseral, dan hal ini berhubungan
Merupakan nyeri yang terjadi ketika tidak ada stimulus berbahaya yang dapat
diidentifikasi atau kerusakan yang terdeteksi pada sistem saraf yang bertanggung jawab atas
rasa nyeri. Nyeri kepala bisa menjadi parah dan biasanya digambarkan sebagai rasa terpukul.
Hal ini paling sering terjadi pada penderita cedera medulla spinalis dengan Nerve Level Injury
pada level lesi T6 ke atas. Nyeri kepala dikaitkan dengan peningkatan tekanan darah dan
sering dengan diaphoresis, piloerection, vasodilatasi kulit di atas level lesi, bradikardia atau
takikardia, hidung tersumbat, kongesti konjungtiva, dan midriasis. Nyeri kepala juga biasanya
dipicu oleh stimulus caudal yang mengganggu ke Nerve Level Injury dan berhubungan
dengan organ usus atau kandung kemih (misalnya, impaksi usus atau ISK). (German Medical
Science, 2019)
Nyeri pada cedera medulla spinalis berikutnya yaitu nyeri Neuropatik dimana nyeri ini
mengacu pada nyeri yang dirasakan dalam pola segmen di mana saja di dalam dermatom
yang mewakili Nerve Level Injury atau pada tiga dermatom di bawah level lesi dan tidak di
setiap dermatom yang lebih rendah. Kondisi yang diperlukan untuk mengklasifikasikan
tingkat rasa nyeri cedera medulla spinalis adalah bahwa lesi atau penyakit mengenai medulla
spinalis atau root nerve, dan rasa nyeri diyakini timbul sebagai akibat dari kerusakan pada
area tulang belakang. Rasa nyerinya bisa unilateral atau bilateral. Nyeri neuropatik yang
terjadi pada distribusi dermatom yang tidak berkaitan dengan medulla spinalis atau kerusakan
root nerve harus diklasifikasikan sebagai nyeri lainnya (neuropatik). Timbulnya nyeri cedera
medulla spinalis pada level lesi dapat berupa allodynia atau hiperalgesia dalam distribusi
nyeri seperti rasa panas terbakar, kesemutan, tertusuk, tajam, tertembak, terjepit, terasa dingin,
19
tersengat listrik, dan mati rasa. Hal ini seringkali sulit dibedakan antara dua subkategori dari
level nyeri cedera medulla spinalis, karena nyeri cedera medulla spinalis dan rasa nyeri
radikular terjadi akibat cedera medulla spinalis yang traumatis. Nyeri radikular sering terjadi
meskipun tidak selalu unilateral dan menjalar dalam pola dermatomal. Sifat nyeri radikular
biasanya paroksismal, sedangkan nyeri medula spinalis bersifat konstan. Ketika tingkat nyeri
cedera medulla spinalis dikaitkan dengan ketidakstabilan tulang belakang di mana gerakan
tulang belakang memperburuk rasa nyeri, hal ini menimbulkan nyeri radikular. (Cardenas,
2006)
20
3.1.5 Nyeri di Bawah Level Cedera Medulla Spinalis (Neuropatik)
Nyeri di bawah level cedera medulla spinalis berupa nyeri neuropatik yang dirasakan
pada lebih dari tiga dermatom di bawah dermatom mewakili BNN. Itu mungkin dirasakan
ataupun tidak dirasakan pada dermatom yang mewakili Nerve Level Injury dan tiga dermatom
di bawah BNN. Kondisi yang diperlukan untuk mengklasifikasikan nyeri sebagai cedera
medulla spinalis di bawah level adalah bahwa lesi atau penyakit harus mempengaruhi
medulla spinalis dan rasa nyeri tersebut kemungkinan muncul sebagai akibat dari lamanya
bendungan tersebut. Nyeri neuropatik yang terjadi pada distribusi yang tidak dapat dikaitkan
dengan cedera medulla spinalis harus diklasifikasikan sebagai nyeri neuropatik lainnya.
Adanya nyeri cedera medulla spinalis di bawah level lesi disebutkan berupa Allodynia atau
hiperalgesia dapat timbul pada penderita cedera medulla spinalis yang inkomplit. Distribusi
nyeri cedera medulla spinalis di bawah level lesi pada umumnya tidak bersifat dermatom
tetapi regional, dan berada disekitar area yang luas seperti daerah anus, kandung kemih, alat
kelamin, kaki, atau di seluruh tubuh di bawah Nerve level injury. Nyeri berlangsung terus
menerus, meskipun intensitas nyeri dapat berubah-ubah sebagai respons terhadap beberapa
bawah level cedera, dan perubahan cuaca. Ada tiga hal yang dapat menentukan prognosis
nyeri neuropatik, yang pertama riwayat memburuknya rasa sakit yang terkait dengan
perubahan neuroplasti yang sedang berlangsung yang terjadi di dalam sistem saraf pada tahun
pertama setelah cedera medulla spinalis. Hal kedua yaitu adanya perburukan cedera
neurologis karena perubahan level kompresi nerve root atau cedera medulla spinalis,
penarikan atau PTS yang dapat terjadi kapan saja. Namun, hal tersebut dapat disingkirkan
jika nyeri muncul lebih dari satu tahun setelah cedera medulla spinalis. Ketiga, rasa nyeri
memburuk dari subakut ke kronis apabila disertai kondisi lain yang memperburuk nyeri
neuropatik. Kondisi lain tersebut yaitu kondisi ―red flag‖, dapat disebabkan oleh pengaktifan
21
nosiseptor di bawah nerve level injury yang menyebabkan bertambah parahnya rasa nyeri.
Contoh umum termasuk ISK, sembelit dan ulkus dekubitus. Memberatnya spatisitas dapat
merupakan kondisi dari red flag. Penatalaksanaan cedera medulla spinalis pada level lesi dan
di bawah level nyeri neuropatik terbukti sangat efektif. Pengobatan dengan pregabalin,
gabapentin, tramadol, dan amitriptyline telah menunjukkan keefektifan pada beberapa orang
dalam randomized controlled trial untuk pengobatan nyeri neuropatik setelah cedera medulla
lini pertama dengan tramadol sebagai intervensi lini kedua untuk nyeri cedera medulla
Kategori nyeri diketahui dengan terlebih dahulu membandingkan lokasi nyeri dan
distribusi dengan level cedera pada subjek. Informasi ini digabungkan dengan klasifikasi
nyeri kronis cedera medulla spinalis yang menggunakan matriks yang membandingkan jenis
nyeri dengan lokasi dan dengan efek aktivitas, posisi, dan sentuhan ringan nyeri (lihat tabel di
bawah). Jika rasa nyeri tampaknya tidak sesuai dengan kategori tertentu pada berdasarkan
informasi, sumber nyeri yang dilaporkan sendiri oleh subjek (musculoskeletal atau sistem
saraf) dan eksaserbasi nyeri digunakan untuk membantu membuat penilaian kategori nyeri
(Jacob, 2015)
22
Tabel Kalsifikasi Nyeri Kronis pada cedera medulla spinalis(Jacob, 2015)
Pemeriksaan pada pasien cedera medulla spinalis dengan keluhan nyeri harus termasuk
riwayat lengkap nyeri dalam kaitannya dengan timbulnya nyeri akibat cedera medulla
spinalis. Kumpulan karakteristik nyeri harus diperoleh, yaitu berapa lama, kualitas, distribusi,
faktor yang mempengaruhi rasa nyeri, adanya spasme, kemampuan transfer dan efek dari
terapi fisik. Hubungan onset nyeri untuk pemulihan atau kerusakan sensorik dan fungsi
motorik dan status fungsional keseluruhan juga harus ditentukan. Selain itu, riwayat infeksi
berulang, operasi, cedera, dan perawatan nyeri, diikuti oleh perubahan dalam karakter nyeri,
juga penting untuk latihan untuk nyeri pasca cedera medulla spinalis. Pain Questioner (PQ)
biasanya berguna dalam penelitian selanjutnya. Kuesioner harus mencakup skala analog
visual, gambaran nyeri(WBFS) dan McGill Pain Questioner Modification. (Melzack, 1982)
23
Gambar 6. McGill Pain Questionnaire (Melzack, 1982)
Pemeriksaan neurologis adalah wajib dan harus termasuk sensorik, motorik, dan
penilaian fungsional seperti yang direkomendasikan oleh ASIA. Rasa nyeri terlokalisasi
dalam area defisit sensorik yang luas. Adanya allodynia dan hiperalgesia sangat membantu,
jika tidak ada penyebab lokal lesi. Meskipun sentuhan ringan allodynia atau allodynia
proprioseptif dapat memiliki manifestasi klinis yang mengganggu, intoleransi terhadap kulit
menjadi hangat atau dingin juga sering muncul sebagai nyeri tumpul atau terbakar terus
24
3.4 Diagnosis Nyeri pada Cedera Medulla Spinalis
Untuk mendiagnosis nyeri pada cedera medulla spinalis selain melakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, kita perlu juga memeriksa skala nyeri pada
Tool yang sering digunakan untuk menilai nyeri pada cedera medulla spinalis yaitu skala
Brief Pain Inventory merupakan kuesioner yang pada awalnya dibuat sendiri untuk
menilai nyeri kanker. Namun sekarang dapat juga digunakan sebagai kuesioner nyeri pada
umumnya dan untuk kondisi nyeri kronis lainnya. Kuesioner ini terdiri dari 2 bentuk yaitu
kuesioner singkat yang terdiri dari sembilan item dan kuesioner panjang terdiri dari 17 item.
Bentuk kuesioner singkat lebih sering digunakan terutama dalam penelitian. (Bonafé, 2018)
25
26
Gambar 7. Pengukuran Brief Pain Inventory (Jacob, 2015)
Item pertama adalah pertanyaan tentang nyeri responden pada hari tersebut. Kuesioner
kemudian tersusun dalam bentuk gambar kemudian terdapat empat item tentang intensitas
nyeri dengan pilihan (Sangat nyeri, nyeri sedang, nyeri sedikit, nyeri sekarang) kemudian dua
item tentang nyeri saat perawatan atau pengobatan, dan satu item tentang gangguan nyeri
yang terdiri dari tujuh sub item yaitu aktivitas pada umumnya, suasana hati, kemampuan
27
berjalan, berjalan normal, hubungan dengan orang lain, waktu tidur dan kesenangan dalam
hidup). Penilaian Brief Pain Inventory terdiri dari dua, yaitu skor keparahan nyeri dan skor
gangguan nyeri. Skor keparahan nyeri dihitung dari empat item tentang intensitas nyeri.
Setiap item dinilai dari 0 (tidak nyeri) hingga 10 (Nyeri sekali) dengan total penilaian mulai
dari 0 - 40. Skor gangguan nyeri sesuai dengan item tentang gangguan nyeri. Terdiri dari
tujuh item dengan nilai dari 0 (tidak mengganggu) sampai 10, (Sangat terganggu), dengan
total penilaian mulai dari 0 - 70. Item pertama berupa diagram gambar rasa sakit (area yang
paling nyeri) kemudian terdapat item tentang pengobatan yang digunakan dan perawatan
yang didapatkan (daftar pengobatan dan jenis perawatan) namun item tersebut tidak memiliki
skor. Dibutuhkan sekitar 5 menit untuk melengkapi Brief Pain Inventory. (Poquet, 2015)
Pemeriksaan laboratorium tidak berguna dalam diagnosis dan klasifikasi nyeri. Namun,
pemeriksaan ini sangat penting dalam menyingkirkan adanya infeksi saluran kemih dan
kondisi terkait nyeri non cedera medulla spinalis lainnya. Pemeriksaan sistem gastrointestinal
menyingkirkan gangguan pada nerve root dan cauda equina seperti lesi pada conus medullaris
mendiagnosis syringomyelia. Selain dapat memungkinkan untuk mengetahui level lesi, MRI
dapat memberikan manfaat informasi mengenai vaskular di bawah level lesi. Pemeriksaan
dengan pencitraan ini dapat memberikan bukti dugaan perluasan vaskular dari lesi, dan infark
yang meluas serta atrofi medulla spinalis. MRI tidaklah banyak manfaatnya, terutama untuk
28
menilai lesi complete, kecuali jika vaskularisasinya terpisah pada level lesi, namun hal
Evaluasi urodinamik penting untuk membedakan gangguan kandung kemih terdapat pada
lesi upper motor neuron (UMN) atau lower motor neuron (LMN). Jika nyeri atau disestesia
menyebar dan terletak di segmen lumbar dan sakral, sindrom central disestesia (CDS) dan
sindrom double lesion (DLS) dapat dibedakan berdasarkan gangguan kandung kemih level
UMN pada CDS atau level LMN pada DLS. (German Medical Science, 2019)
sensory (QST) yang pada level lesi dan di bawah level lesi diperlukan untuk menggambarkan
lesi incomplete dan level lesi sensoris yang terkena. Pada syringomyelia, QST dapat
digunakan untuk penilaian lebih lanjut. Beberapa sindrom nyeri dapat dikenali dengan lebih
baik dengan pemeriksaan tes tambahan, sementara yang lain ditentukan hanya melalui
penelitian dengan pengobatan dan modifikasi dari fisioterapi dan aktivitas penderita
modifikasi digunakan sebagai alat penilaian selain dari efek terapeutik. (German Medical
Science, 2019)
pada penderita nyeri cedera medulla spinalis. Hamilton depression scale and inventory Beck
diperlukan untuk menilai penderita nyeri cedera medulla spinalis, yaitu pendekatan melalui
29
BAB IV
Manajemen nyeri pada cedera medulla spinalis dapat dibagi menjadi pengobatan
non-farmakologis dan farmakologis. Kedua jenis pengobatan ini merupakan hal yang sangat
penting dilakukan. Banyak faktor yang mungkin berpengaruh terhadap rasa nyeri pada
individu. Pengobatan yang tepat akan tergantung pada: individu pasien, jenis cedera atau
penyakit, jenis rasa sakit dan lainnya faktor penyebab nyeri. Perawatan Non Farmakologis
ditujukan untuk nyeri nosiseptif dan neuropatik. Aplikasinya dapat secara fisik yaitu dengan
metode RICE (Istirahat, es, kompresi dan elevasi cedera), pembedahan mungkin diperlukan,
nursing care, akupunktur, pijat dan fisioterapi. Kemudian secara psikologis dengan
memberikan penjelasan dan edukasi serta memerlukan bantuan melalui petugas spiritual.
Untuk perawatan secara farmakologi pada nyeri nosiseptif pemberian parasetamol, NSAID,
tramadol, kodein, morfin, penggunaan kombinasi parasetamol, NSAID dan opioid. Kemudian
menggunakan Step Ladder Reserve WHO untuk nyeri akut dan kronis dimana saat awal di
atas tangga menggunakan dosis kecil morfin IV, kemudian turun tangga ketika rasa nyeri
membaik. Namun untuk nyeri kanker progresif dimulai dari tangga bawah kemudian naik.
Untuk nyeri neuropatik Step Ladder Reserve WHO tidak memberikan hasil yang baik.
2001)
Berikut algoritma manajemen nyeri pada cedera spinalis yang dapat dilakukan. Sehingga
terapi dapat lebih spesifik lagi dilakukan termasuk algoritma manajemen nyeri pada keluhan
30
MANAJEMEN NYERI PADA CEDERA MEDULLA SPINALIS
31
Diagram 3. Algoritma untuk pengobatan nyeri pergelangan tangan setelah cedera tulang
belakang(Thomas, 2021)
32
Diagram 4. Algoritma untuk pengobatan nyeri bahu setelah cedera tulang belakang(Thomas,
2021)
Penatalaksanaan sindrom nyeri kronis dilakukan dengan mengikuti aturan umum dan
antinoradrenergik adalah terapi lini pertama, biasanya diikuti oleh obat stabilisasi membran
dan antikonvulsan. Narkotika harus digunakan sebagai terapi tambahan, terutama pada nyeri
yang parah atau saat periode intensitas nyeri meningkat. (Fenollosa 1993, Gonzales 1994)
4.1.1 Antidepresan
Antidepresan dengan sifat noradrenergik adalah terapi lini pertama untuk sebagian besar
nyeri cedera medulla spinalis. Penelitian pada penderita dengan sindrom nyeri kronis dengan
33
metode case control dan double blind menunjukkan obat golongan antidepresan trisiklik
terbukti efektif dalam mengurangi nyeri. Amitriptyline merupakan jenis yang paling efektif,
tetapi juga memiliki efek samping yang paling banyak, terutama efek antikolinergik seperti
retensi urin, mulut kering, mengantuk, dan menimbulkan glaukoma. Dosis antidepresan yang
disarankan adalah dosis yang paling rendah pada awal memulai pengobatan karena
banyaknya efek samping yang akan terjadi. Peningkatan dosis dilakukan bertahap, apabila
sampai 2 minggu penggunaan dengan dosis harian rata-rata tidak mengurangi nyeri sama
sekali, penggunaan kombinasi dua jenis antidepresan yang berbeda dari kelompok yang sama
atau dengan golongan adrenergik dapat dilakukan. (Leijon 1989, Sanford 1992).
Terapi lini kedua termasuk antiepilepsi dan obat stabilisasi membran. Karbamazepin
merupakan jenis yang paling efektif (Sanford 1992). Dosis yang direkomendasikan kadarnya
diatas antikonvulsan. Obat ini tidak mempengaruhi tekanan darah, kecuali terkait
ketidakpatuhan dalam meminum obat. Pembatasan penggunaan obat dan pemeriksaan darah
rutin dilakukan karena adanya efek samping merupakan hal yang sering terjadi. Penelitian
lain menunjukkan kurang efektifnya penggunaan jenis valproat pada nyeri cedera medulla
spinalis (Drewes 1994). Ada sejumlah obat yang relatif baru, seperti gabapentin dan
lamotrigin, yang belum dilakukan penelitian dengan metode double-blind yang ketat atau uji
dengan waktu saja. Karena profil efek samping yang relatif rendah, sehingga penelitian
terhadap obat-obt baru tersebut juga dikombinasikan dengan obat-obat lain dalam menangani
4.1.3 Narkotika
Narkotika dosis rendah sangat bermanfaat untuk cedera medulla spinalis yang mana
terbukti efektif digunakan pada nyeri nosiseptif. Namun penggunaan narkotika tidak efektif
pada nyeri neurogenik seperti sindrom central disestesia (Arner 1988). Dosis tinggi dibatasi
34
karena adanya efek samping (Portenoy 1990). Narkotika sebaiknya digunakan sebagai
pengobatan tambahan bukan yang utama, terutama pada keadaan tingginya rasa nyeri atau
periode dimana terjadi peningkatan intensitas rasa nyeri, dengan kombinasi dengan
antidepresan atau anti epilepsi. Kombinasi dengan NSAID bermanfaat untuk terapi jangka
pendek, tetapi penggunaan NSAID jangka panjang dapat menyebabkan gangguan lambung
atau toksik pada ginjal sehingga harus dihindari. Selain itu opioid intratekal dapat juga
Obat golongan GABA-A agonis telah digunakan sejak lama, seperti Valium yang
memiliki efek antispastik dan analgesik. Namun, obat-obatan tersebut merupakan golongan
sedatif non-spesifik yang efek sampingnya mengganggu fungsi kognitif dan toleransi. Seperti
baclofen dalam sediaan oral tidak efektif untuk menghilangkan nyeri. Sehingga GABA- B
agonis yang memiliki efek analgesik diberikan secara intratekal pada penderita nyeri cedera
medulla spinalis. Namun, tidak jelas apakah obat tersebut mempengaruhi sindrom nyeri
kronis atau nyeri tulang neurogenik, spastik, dan keluhan muskuloskeletal lainnya pada
penderita cedera medulla spinalis, karena semua keluhan tersebut dialami bersamaan.
Terdapat jenis obat yang digunakan pada penderita nyeri pada cedera medulla spinalis
yang memiliki efek potensial yang menguntungkan dari penggunaan golongan obat antagonis
oleh efek sampingnya dan hanya digunakan untuk percobaan pada penelitian. (Eide 1998).
Kemudian obat golongan antagonis N-metil-D aspartate lain yaitu Clonidine, neuroleptik dan
35
4.2 Terapi Non Farmakologi
4.2.1 Modalitas
Modalitas termasuk dalam stimulasi pasif dengan menggunakan stimulasi arus searah
transkranial dengan atau tanpa ilusi visual, teknik desensitisasi untuk membangkitkan rasa
nyeri, pijat, dan terutama olahraga juga dapat bermanfaat. Intervensi secara psikologis
termasuk edukasi, cognitive behavior therapy, tehnik relaksasi, dan hipnotis dapat
memungkinkan orang untuk mengelola rasa nyeri tersebut dalam jangka panjang dan
dekompresi nerve root dan injeksi steroid epidural transforaminal untuk nyeri radikular, dan
mikrokoagulasi zona dorsal nerve root untuk nyeri cedera medulla spinalis merupakan terapi
yang efektif, meskipun tindakan yang terakhir merupakan tindakan darurat yang
menggunakan opioid sebagai pengobatan untuk nyeri yang tidak tertahankan, keputusan
menggunakan opioid harus direncanakan dengan hati-hati. Efek samping penggunaan opioid
memperparah cedera medulla spinalis. ini secara langsung berhubungan dengan kondisi
sekunder cedera medulla spinalis (penurunan VO2Max) pada penderita dengan level cedera
yang lebih tinggi, peningkatan prevalensi gangguan pernapasan saat tidur, konstipasi karena
neurogenic usus, dan lain sebagainya. Pada akhirnya opioid selain tramadol tidak
spinalis.(Thomas,2021)
36
4.2.1.2 Teknik stimulasi
Dalam beberapa kasus penanganan nyeri pada cedera medulla spinalis, teknik stimulasi
dapat juga berguna untuk menghilangkan nyeri seperti TENS dengan frekuensi rendah dan
tinggi, kemudian stimulasi pada sumsum tulang belakang dan stimulasi pada otak yang lebih
lainnya sangat membantu mengatasi nyeri pada masa transisi(Portenoy, 1990), dengan terapi
tambahan injeksi blok pada area interkostal dan daerah perifer, cedera konus medullaris atau
kauda equina, selain sebelumnya tindakan yang disebutkan untuk nyeri masa transisi dapat
dilakukan operasi DREZ, yaitu dengan memindahkan level neurologis ke segmen yang lebih
proksimal dengan efek akan terjadi peningkatan kecacatan. Sindrom central disestesia sangat
sulit untuk diobati namun pada penelitian pengobatan dengan antidepresan, antikonvulsan,
dan congener oral anestesi lokal dapat terbukti efektif mengurangi nyeri. Pada akhirnya
intervensi pembedahan selalu diperlukan dalam terapi sindrom nyeri seperti drainase dan
shunting kista (Vernon 1983). Pada beberapa pasien sindrom double lesion, menunjukkan
kemanjuran penggunaan stimulasi sumsum tulang belakang di bawah level lesi, serta TENS
atau dikombinasikan dengan blok tulang belakang dan analgesik (Beric 1990, Beric 1992).
Sindrom nyeri muskuloskeletal biasanya berespon baik terhadap analgesik, blok lokal, dan
injeksi. Nyeri yang timbul karena kejang dapat merespon dengan sangat baik terhadap
relaksan otot yaitu baclofen, terutama untuk intratekal(Loubser 1996). Intervensi psikologis
juga harus dilakukan (Umlauf 1992), karena ada substansial implikasi psikososial dari rasa
sakit dan kecacatan pada pasien cedera medulla spinalis. Sehingga bahan kimia yang bersifat
merusak dan prosedur bedah harus dihindari karena selanjutnya akan mengubah fungsi
abnormal yang sudah ada sebelumnya dari sistem saraf dan memperluas kesenjangan antara
37
fungsi sistem saraf normal dengan yang tidak normal. Meskipun beberapa dari prosedur ini
untuk sementara dapat meringankan rasa nyeri, namun dalam jangka panjang penggunaannya
merugikan. (Richards 1980, Lundquist 1991, Summers 1991, Mariano 1992, Stormer 1997)
38
BAB V
PENUTUP
Nyeri merupakan komplikasi yang sering terjadi pada cedera medula spinalis dimana
nyeri merupakan faktor utama penyebab penurunan kualitas hidup. Meskipun mengalami
kelumpuhan, pasien masih dapat mengalami rasa sakit di lokasi cedera. Nyeri pada cedera
medulla spinalis dapat terbagi atas nyeri neuropatik, nyeri nosiseptif dan nyeri lainnya, yang
Manajemen nyeri pada pasien cedera tulang belakang sangat kompleks karena berbagai
faktor yang dapat berkontribusi terhadap rasa sakit, baik fisik maupun emosional. Manajemen
nyeri cedera medulla spinalis terbagi atas pengobatan secara Farmakologis dan Non
Farmakologis.
Dengan diketahuinya manajemen nyeri pada cedera medulla spinalis diharapkan dapat
39
DAFTAR PUSTAKA
Aisen, 1994. Shoulder–hand syndrome in cervical spinal cord injury. Paraplegia 32: 588–592
Arner, 1988. Lack of analgesic effect of opioids on neuropathic and idiopathic forms of pain.
Baranidharan, 2014. Spinal Cord Stimulation for Visceral Pain-A Novel Approach.
doi:10.1111/ner.12166 (https://doi.org/10.1111/ner.12166)
Beric, 1997. Pain in spinal cord injury with occult caudal lesions. European Journal of Pain
13: 1–7
Beric, 2003. Pain in spinal cord injury with occult caudal lesions. European Journal of Pain
14 : 1-7
Bonafé, 2018. Brief Pain Inventory: a proposal to extend its clinical application. European
Bonica, 1991. Introduction: sematic, epidemiologic, and educational issues. In: Casey KL (ed)
Pain and central nervous system disease: the central pain syndromes. Raven, New York, pp
13–29
Cairns, 1996. Pain and depression in acute traumatic spinal cord injury: origins of chronic
Cardenas, 2006. Treatments for Chronic Pain in Persons With Spinal Cord Injury: A Survey
doi:10.1080/10790268.2006.11753864 (https://doi.org/10.1080/10790268.2006.11753864)
40
Chiou-Tan, 1996. Effect of mexiletine on spinal cord injury dysesthetic pain. American
Davidoff, 1991 Clinical characteristics of central (dysesthetic) pain in spinal cord injury
patients. In: Casey KL(ed) Pain and central nervous system disease: the central pain
Davis, 1975. Pain and suffering following spinal cord injury. Clinical Orthopedics 112: 76–
80
Drewes, 1994. Valproate for treatment of chronic pain after spinal cord injury. A double
Eide, 1998. Pathophysiological mechanisms of central neuropathic pain after spinal cord
Fenollosa, 1993. Chronic pain in the spinal cord injured: statistical approach and
German Medical Science, 2019. Management of pain in individuals with spinal cord injury:
Guideline of the German-Speaking Medical Society for Spinal Cord Injury, doi:
10.3205/000271
Harb, 2022. Modified Ashworth Scale. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing.
Herman, 1992. 2 Intrathecal baclofen suppresses central pain in patients with spinal lesions.
Jacob, 2015. Neurorehabilitation of Spinal Cord Injury A Guidebook for Therapists and
Leijon, 1989. Central post-stroke pain—a controlled trial of amitriptyline and carbamazepine.
41
Loubser, 1996. Effects of intrathecal baclofen on chronic spinal cord injury pain. Journal of
Lundquist, 1991. Spinal cord injuries: clinical, functional and emotional status. Spine 16:
78–83
Mariano, 1992. Chronic pain and spinal cord injury. Clinical Journal of Pain 8: 87–92
Mehta S, 2014. Spinal cord injury rehabilitation evidence: pain following spinal cord injury.
Version 5.0
Melzack, 1982. Acute pain in an emergency clinic: latency of onset and description patterns.
Pain 14: 33
(suppl): 17–25
Middleton, 1996. Intrathecal clonidine and baclofen in the management of spasticity and
neuropathic pain following spinal cord injury: a case study. Archives of Physical Medicine
Nepomuceno, 1979. Pain in patients with spinal cord injury. Archives of Physical Medicine
j.jphys.2015.07.001
Portenoy, 1990. The nature of opioid responsiveness and its implications for neuropathic
pain: new hypotheses derived from studies of opioid infusions. Pain 43: 273–286
Richards, 1980. Psycho-social aspects of chronic pain in spinal cord injury. Pain 8: 355–366
Richardson, 1995. Deep brain stimulation for the relief of chronic pain. Neurosurgery
Clinics 6: 135–143
42
Sanford, 1992. Amitriptyline and carbamazepine in the treatment of dysesthesia pain in
spinal
Siddall, 1997. Classification of Pain Following Spinal Cord Injury. International Medical
Siddall, 2001. Pain following spinal cord injury. Spinal Cord, 39(2), 63–73.
doi:10.1038/sj.sc.3101116 (https://doi.org/10.1038/sj.sc.3101116)
Simpson, 1999. Spinal cord and brain stimulation. In: Wall PD, Melzack R (eds) Textbook of
Summers, 1991. 1 Psychosocial factors in chronic spinal cord injury pain. Pain 47: 183–189
Sved, 1997 Relationship between surgery and pain following spinal cord injury. Spinal Cord
35: 526–530
Swain, 2002. Evacuation and initial management at hospital, ABC of Spinal Cord Injury,
Thomas , 2021. Braddom’s Physical Medicine and Rehabilitation 6th Edition, Elsevier,
Umlauf, 1992. Psychological interventions for chronic pain following spinal cord injury.
Waring, 1991. Shoulder pain in acute traumatic quadriplegia. Spinal Cord, 29(1), 37–42.
doi:10.1038/sc.1991.5 (https://doi.org/10.1038/sc.1991.5)
Wennemer, 2017. Pain in the Spinal Cord Injury Rehabilitation Patient, Comprehensive Pain
43
WHO, 2013. International perspectives on spinal cord injury. The International Spinal Cord
Society. Page 31
44