Anda di halaman 1dari 28

Fisiologi Hormon antidiuretik (ADH)

Hormon antidiuretik ((ADH) adiuretin, vasopresin) dibentuk di nucleus supraoptikus dan


paraventrikular hipotalamus, dan ditransport ke lobus posterior kelenjar hipofisis melalui
akson neuron penghasil hormon. ADH melalui reseptor V2 dan cAMP menyebabkan
penggabungan kanal air ke dalam membran lumen sehingga meningkatkan reabsorsi air
pada tubulus distal dan duktus koligentes ginjal. ADH juga merangsang absorsi Na+ dan
urea di tubulus. Konsentrasi ADH yang tinggi juga menyebabkan vasokonstriksi (melalui
reseptor V1 dan IP3).

Rangsangan untuk pelepasan ADH adalah hiperosmolaritas ekstrasel (atau penyusutan


sel) dan penurunan pengisian di kedua atrium, serta muntah, nyeri, stress, dan gairah
(seksual). Sekresi ADH selanjutnya dirangsang oleh angiotensin II, dopamine, dan
beberapa obat atau toksin (misal nikotin, morfin, barbiturat). Peningkatan perenggangan
atrium serta asam aminobutirat-γ (GABA), alkohol, dan pajanan terhadap dingin
menimbulkan efek penghambatan.

Patofisiologi Hormon antidiuretik


Kelebihan ADH
Sering kali terjadi akibat penigkatan pembentukan ADH di hipotalamus, missal, karena
stress. Selain itu, ADH dapat dibentuk secara ektopik pada tumor (terutama small cell
carsinoma bronchus) atau penyakit paru. Hal ini menyebabkan penurunan eksresi air
(oligouria). Konsentrasi komponen urin yang sukar larut dalam jumlah yang bermakna
dapat menyebabkan pembentukan batu urin (urolitiasis). Pada waktu yang bersamaan
terjadi penurunan osmolaritas ekstrasel (hiperhidrasi hipotonik) sehingga terjadi
pembengkakan sel. Hal ini terutama berbahaya jika menyebabkan edema serebri.

Defisiensi ADH 
Terjadi jika pelepasan ADH berkurang, seperti pada diabetes insipidus sentralis yang
diturunkan secara genetic, pada kerusakan neuron, missal oleh penyakit autoimun, atau
trauma kelenjar hipofisis lainnya. Penyebab eksogen lainnya termasuk alkohol atau
pajanan terhadap dingin. Di sisi lain, ADH mungkin gagal mempengaruhi ginjal, bahkan
jika jumlah yang dieksresikan normal, misal pada kerusakan kanal air, atau jika
kemampuan pemekatan ginjla terganggu, seperti pad defisiensi K+, kelebihan Ca2+,
atau inflamasi medilla ginjal. Penurunan pelepasan ADH atau efek yang timbul akibat
pengeluaran urin yang kurangpekat dalam jumlah besar dan dehidrasi hipertonik
menyebabkan penyusutan sel. Pasien akan dipaksa mengkompensasi kehilangan air
melalui ginjal dengan meminum banyak air (polidipsia). Jika osmoreseptor dihipotalamus
rusak, defisiensi ADH akan disertai dengan hipodipsia dan dehidrasi hipertonik akan
menjadi sangat nyata.

Antidiuresis Hormon (ADH) fungsinya : Merangsang penyerapan semula air di tubul


ginjal
Fisiologi Hormon antidiuretik (ADH)
Hormon antidiuretik ((ADH) adiuretin, vasopresin) dibentuk di nucleus supraoptikus
dan paraventrikular hipotalamus, dan ditransport ke lobus posterior kelenjar hipofisis melalui
akson neuron penghasil hormon. ADH melalui reseptor V2 dan cAMP menyebabkan
penggabungan kanal air ke dalam membran lumen sehingga meningkatkan reabsorsi air pada
tubulus distal dan duktus koligentes ginjal. ADH juga merangsang absorsi Na + dan urea di
tubulus. Konsentrasi ADH yang tinggi juga menyebabkan vasokonstriksi (melalui reseptor
V1 dan IP3).
Rangsangan untuk pelepasan ADH adalah hiperosmolaritas ekstrasel (atau penyusutan
sel) dan penurunan pengisian di kedua atrium, serta muntah, nyeri, stress, dan gairah
(seksual). Sekresi ADH selanjutnya dirangsang oleh angiotensin II, dopamine, dan beberapa
obat atau toksin (misal nikotin, morfin, barbiturat). Peningkatan perenggangan atrium serta
asam aminobutirat-γ (GABA), alkohol, dan pajanan terhadap dingin menimbulkan efek
penghambatan. 

Patofisiologi Hormon antidiuretik

Kelebihan ADH
Sering kali terjadi akibat penigkatan pembentukan ADH di hipotalamus, missal, karena
stress. Selain itu, ADH dapat dibentuk secara ektopik pada tumor (terutama small cell
carsinoma bronchus) atau penyakit paru. Hal ini menyebabkan penurunan eksresi air
(oligouria). Konsentrasi komponen urin yang sukar larut dalam jumlah yang bermakna dapat
menyebabkan pembentukan batu urin (urolitiasis). Pada waktu yang bersamaan terjadi
penurunan osmolaritas ekstrasel (hiperhidrasi hipotonik) sehingga terjadi pembengkakan
sel. Hal ini terutama berbahaya jika menyebabkan edema serebri. 

Defisiensi ADH
Terjadi jika pelepasan ADH berkurang, seperti pada diabetes insipidus sentralis yang
diturunkan secara genetic, pada kerusakan neuron, missal oleh penyakit autoimun, atau
trauma kelenjar hipofisis lainnya. Penyebab eksogen lainnya termasuk alkohol atau pajanan
terhadap dingin. Di sisi lain, ADH mungkin gagal mempengaruhi ginjal, bahkan jika jumlah
yang dieksresikan normal, misal pada kerusakan kanal air, atau jika kemampuan pemekatan
ginjla terganggu, seperti pad defisiensi K+, kelebihan Ca2+, atau inflamasi medilla ginjal.
Penurunan pelepasan ADH atau efek yang timbul akibat pengeluaran urin yang kurangpekat
dalam jumlah besar dan dehidrasi hipertonik menyebabkan penyusutan sel. Pasien akan
dipaksa mengkompensasi kehilangan air melalui ginjal dengan meminum banyak air
(polidipsia). Jika osmoreseptor dihipotalamus rusak, defisiensi ADH akan disertai dengan
hipodipsia dan dehidrasi hipertonik akan menjadi sangat nyata.
Antidiuresis Hormon (ADH) fungsinya : Merangsang penyerapan semula air di tubul ginjal
FISIOLOGI (FAAL) ANTI DIURETIC HORMONE (ADH)
FISIOLOGY

KELENJAR HIPOFISIS POSTERIOR dan HUBUNGANNYA DENGAN HIPOTALAMUS

Kelenjar hipofisis posterior, yang juga disebut neurohipófisis, terutama terdiri dari sel-sel
seperti glia yang disebut pituisit. Pituisit ini tidak menyekresikan hormon; sel ini hanya bekerja
sebagai struktur penunjang bagi banyak sekali serabut saraf terminal dan Ujung saraf terminal dari
jaras saraf yang berasal dari nukleus supraoptik dan nukleus paraventrikular di hipotalamus. Jaras
saraf ini berjalan menuju ke neurohipófisis melalui tangkai hipofisis (tangkai pituitary). Bagian akhir
saraf ini merupakan kenop bulbosa yang mengandung banyak granula sekretorik. Bagian Ujung ini
terletak pada permukaan kapiler, tempat granula tersebut menyekresikan 2 hormon hipofisis posterior
: (1) hormon antidiuretik (ADH), juga disebut sebagai vasopressin, dan (2) oksitosin.
Bila tangkai hipofisis dipotong di atas kelenjar hipofisis tetapi seluruh hipotalamusnya
dibiarkan untuh, hormon hipofisis posterior akan terus disekresikan secara normal, sesudah
mengalami penurunan sekresi sementara selama beberapa hari; kemudian hormon-hormon tersebut
disekresikan oleh ujung serabut yang terpotong yang terletak di dalam hipotalamus dan bukan oleh
bagian akhir saraf yang terletak di dalam kelenjar hipofisis posterior. Hal ini terjadi karena pada
awalnya hormon disintesis di dalam badan sel nukleus supraoptik dan nukleus paraventrikular dan
kemudian bergabung dengan proteína “pembawa” yang disebut neurofisin akan diangkut ke Ujung
saraf di dalam kelenjar hipofisis posterior, dan untuk dapat mencapai kelenjar itu dibutuhkan waktu
beberapa hari.
ADH dibentuk terutama di dalam nukleus supraoptik, sedangkan oksitosin dibentuk terutama
di dalam nukleus paraventrikular. Masing-masing nukleus ini dapat mensintesis hormon kedua kira-
kira seperenam dari hormon primernya.
Bila impuls saraf dijalarkan sepanjang serabut yang berjalan dari nukleus supraoptik atau
nukleus paraventrikel, hormon segera dilepaskan dari granula sekretorik di ujung saraf melalui
mekanisme sekresi yang biasa, yakni dengan cara eksositosis, dan akan diabsorbsi oleh kapiler di
dekatnya. Neurofisin dan hormon disekresi secara bersamaan, namun karena keduanya berikatan
secara longgar, keduanya hampir dengan segera terpisar. Belum diketahui apa fungsi neurofisin
setelah meninggalkan ujung saraf.

STRUKTUR KIMIA ADH dan OKSITOSIN

Oksitosin dan ADH (vasopressin) merupakan polipeptida yang mengandung sembilan asam
amino. Rangkaian asam aminonya adalah sebagai berikut :

1. Vasopressin : Cys-Tyr-Phe-Gln-Asn-Cys-Pro-Arg-GlyNH 2
2. Oksitosin : Cys-Tyr-Ile-Gln-Asn-Cys-Pro-Leu-GlyNH 2

Perhatikan bahwa kedua hormon ini hampir identik kecuali pada vasopressin, fenilalanin dan
arginin menggantikan isoleusin dan leusin pada molekul oksitosin. Kesamaan kedua molekul ini
menjelaskan kesamaan sebagian fungsi keduanya.

HORMON OKSITOSIN

Oksitosin menyebabkan kontraksi pada uterus yang hamil


Hormon oksitosin, sesuai dengan namanya, sangat kuat merangsang uterus yang hamil,
terutama pada akhir kehamilan. Oleh karena itu, banyak ahli kebidanan yang meyakini bahwa
hormon ini setidaknya berperan sebagian dalam persalinan bayi. Hal ini ditunjang dengan fakta-fakta
berikut : (1) pada hewan yang hipofisisnya telah dipotong (hipofisektomi), lama waktu persalinannya
memanjang, menunjukkan adanya kemungkinan efek oksitosin selama proses pelahiran. (2) jumlah
oksitosin dalam plasma meningkat selama persalinan, terutama pada akhir persalinan. (3)
perangsangan serviks pada hewan yang hamil membangkitkan sinyal saraf yang berjalan menuju
hipotalamus dan menyebabkan peningkatan sekresi oksitosin.

Oksitosin membantu pengeluaran air susu melalui payudara


Oksitosin juga berperan sangat penting dalam proses laktasi – suatu peran yang jauh lebih
dipahami daripada peran oksitosin dalam persalinan. Pada saat laktasi, oksitosin menyebabkan
timbulnya pengiriman air susu dari alveoli ke duktus payudara sehingga dapat diisap oleh bayi.
Mekanismenya adalah sebagai berikut : stimulus isapan pada puting susu menimbulkan sinyal
yang dijalarkan melalui saraf sensorik ke neuron oksitosin yang ada di dalam nukleus paraventrikular
dan supraoptik di hipotalamus, yang menyebabkan timbulnya pelepasan oksitosin diangkut oleh
kelenjar hipofisis posterior. Selanjutnya oksitosin diangkut oleh darah ke payudara untuk
menimbulkan kontraksi sel mioepitel yang teletak di luar dan untuk membentuk kisi-kisi di sekitar
alveoli kelenjar payudara. Dalam waktu kurang dari 1 menit sesudah pengisapan dimulai, air susu
mulai mengalir. Mekanisme ini disebut sebagai pengaliran susu (milk letdown) atau ejeksi susu (milk
ejection).

HORMON ADH

Fungsi Fisiologis ADH

Penyunyikan sejumlah ADH yang sangat sedikit – sebesar 2 nanogram – dapat menyebabkan
berkurangnya ekskresi air oleh ginjal (antidiuresis). Singkatnya, bila hormon ADH ini tidak ada, maka
tubulus dan duktus koligentes hampir tidak permeabel terhadap air, sehingga mencegah reabsorbsi
air dalam jumlah yang signifikan dan karena itu mempermudah keluarnya air yang sangat banyak ke
dalam urin, yang juga menyebabkan urin menjadi sangat encer. Sebaliknya, bila ada ADH, maka
permeabilitas tubulus dan duktus koligentes terhadap air sangat meningkat dan menyebabkan
sebagian besar air direabsorbsi sewaktu cairan tubulus melewati duktus koligentes, sehingga air yang
disimpan dalam tubuh akan lebih banyak dan menghasilkan urin yang sangat pekat.
Mekanisme yang tepat mengenai kerja ADH pada duktus untuk meningkatkan permeabilitas
duktus koligentes hanya diketahui sebagian. Tanpa ADH, membran luminal sel epitel tubulus pada
duktus koligentes hampir tidak permeabel terhadap air. Akan tetapi, di dalam membran sel, terdapat
sejumlah besar vesikel khusus yang mempunyai pori-pori yang sangat permeabel terhadap air, yang
disebut aquaporin. Bila ADH bekerja pada sel, ADH mula-mula akan bergabung dengan reseptor
membran yang mengaktifkan adenilil siklase dan menyebabkan pembentukan cAMP di dalam
sitoplasma sel tubulus. cAMP ini menyebabkan fosforilasi elemen di dalam vesikel khusus, yang
kemudian menyebabkan vesikel masuk ke dalam membran sel apikal, sehingga menyediakan banyak
daerah yang bersifat permeabel terhadap air. Semua proses ini terjadi dalam waktu 5 sampai 10
menit. Kemudian, bila tidak ada ADH, seluruh proses berbalik dalam waktu 5 sampai 10 menit
berikutnya. Jadi, proses ini secara sementara menyediakan banyak pori baru yang mempermudah
difusi bebas air dari cairan tubulus melewati sel epitel tubulus dan masuk ke dalam cairan interstisial
ginjal. Kemudian air diabsorbsi dari tubulus dan duktus koligentes dengan cara osmosis.

Pengaturan produksi ADH

Pengaturan osmosis
Bila larutan elektrolit yang pekat disuntikan ke dalam arteri yang menyuplai hipotalamus,
neuron ADH yang terdapat di dalam nukleus supraoptik dan paraventrikular segera menjalarkan
impuls ke kelenjar hipofisis posterior agar melepaskan banyak ADH ke dalam sirkulasi darah, kadang-
kadang peningkatan sekresi ADH dapat mencapai 20 kali dari normal. Sebalikanya, penyuntikan
larutan encer ke dalam arteri akan menyebabkan penghentian impuls sehingga sekresi ADH hampir
terhenti sama sekali. Jadi, dalam waktu beberapa menit saja, konsentrasi ADH dalam cairan tubuh
dapat berubah dari sedikit menjadi banyak atau sebaliknya.
Cara pengaturan sekresi ADH oleh konsentrasi osmotik cairan ekstrasel masih belum
diketahui secara tepat. Namun, di suatu tempat di hipotalamus atau di dekat hipotalamus, terdapat
reseptor neuron yang sudah dimodifikasi yang disebut osmoreseptor.  Bila cairan ekstrasel menjadi
terlalu pekat, cairan akan ditarik dengan cara osmosis keluar dari sel osmoreseptor, sehingga
ukurannya berkurang dan menimbulkan sinyal saraf yang tepat di dalam hipotalamus agar
menghasilkan sekresi ADH tambahan. Sebaliknya, bila cairan ekstrasel menjadi terlalu encer, air
bergerak dengan cara osmosis ke arah yang berlawanan, yaitu masuk ke dalam sel, dan menurunkan
sinyal untuk sekresi ADH. Walaupun beberapa peneliti meyakini letak osmoreseptor di dalam
hipotalamus itu sendiri (bahkan mungkin di dalam nukleus supraoptik sendiri), peneliti lainnya
meyakini bahwa osmoreseptor terletak di organum vaskulosum, suatu struktur kaya pembuluh darah
yang terletak di ventrikel ketiga pada dinding anteroventralnya.
Tanpa menghiraukan mekanismenya, cairan tubuh yang pekat akan merangsang nukleus
supraoptik, sedangkan cairan tubuh yang encer akan menghambatnya, terdapat sistem pengaturan
umpan balik yang dapat mengatur tekanan osmotik total cairan tubuh.

Zat Vasokonstriktor

Vasopressin yang juga disebut hormone antidiuretik, bahkan lebih kuat daripada angiotensin
II sebagai vasokonstriktor, sehingga menjadikannya sebagai salah satu zat vasokonstriktor terkuat
tubuh. Zat ini dibentuk di sel saraf di dalam hipotalamus otak namun kemudian diangkut ke bawah
oleh akson saraf ke kelenjar hipofise posterior tempat zat tersebut berada yang akhirnya disekresi ke
dalam darah.
Jelaslah bahwa vasopressin dapat memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap fungsi
sirkulasi. Namun, dalam keadaan normal, hanya sejumlah kecil vasopressin yang disekresikan,
sehingga banyak ahli faal menganggap bahwa vasopressin berperan kecil dalam pengaturan vascular.
Akan tetapi, beberapa percobaan telah memperlihatkan bahwa konsentrasi vasopressin dalam
sirkulasi darah setelah terjadinya perdarahan hebat dapat meningkat cukup tinggi untuk
meningkatkan tekanan arteri sebanyak 60 mmHg. Dalam banyak keadaan, hal tersebut dapat
mengembalikan tekanan arteri mendekati normal.
Vasopressin memiliki fungsi utama meningkatkan reabsorbsi air dari tubulus renal kembali ke
dalam darah, dan karena itu akan membantu mengatur volume cairan tubuh. Hal tersebut merupakan
alas an vasopressin mendapat sebutan lain sebagai hormone antidiuretik.

Efek vasokonstriktor dan penekan dari ADH, dan peningkatan sekresi ADH yang
disebabkan oleh volume darah yang rendah
Karena dengan konsentrasi ADH yang sangat kecil saja dapat menyebabkan peningkatan
penahanan air oleh ginjal, konsentrasi ADH yang lebih tinggi mempunyai efek yang kuat untuk
menyebabkan konstriksi arteriol di seluruh tubuh sehingga meningkatkan tekanan arteri. Karena
alasan inilah, ADH mempunyai nama lain, yaitu vasopressin.
Salah satu rangsangan yang menyebabkan sekresi ADH menjadi kuat adalah penurunan
volume darah. Keadaan ini terjadi secara hebat terutama saat volume darah turun 15 sampai 25
persen, atau lebih; kecepatan sekresi kadang-kadang meningkat sampai 50 kali dari normal.
Penyebabnya adalah sebagai berikut.
Atrium mempunyai reseptor regangan yang dieksitasi oleh pengisian yang berlebihan. Bila
reseptor regangan ini tereksitasi, reseptor akan mengirimkan sinyal ke otak agar menghambat sekresi
ADH. Sebaliknya, bila reseptor tidak tereksitasi akibat pengisian yang tidak penuh, akan terjadi proses
yang berlawanan, yaitu peningkatan sekresi ADH yang sangat besar. Penurunan regangan
baroreseptor di daerah karotis, aorta, dan paru juga merangsang sekresi ADH.

Sel interkalatus banyak menyekresi ion hidrogen serta mereabsorbsi ion bikarbonat dan
kalium
Ion hidrogen yang disekresi oleh sel interkalatus diperantai oleh mekanisme transpor
hidrogen-ATPase. Hidrogen dihasilkan dalam sel-sel ini melalui kerja karbonik anhidrase terhadap air
dan karbon dioksida untuk membentuk asam karbonat, yang kemudian berdisosiasi menjadi ion
hidrogen dan ion bikarbonat. Ion hidrogen kemudian disekresikan ke dalam lumen tubulus, dan untuk
setiap ion hidrogen yang disekresikan, tersedia sebuat ion bikarbonat untuk diresorbsi melewati
membran basolateral. Sel interkalatus juga mereabsorbsi ion kalium.
Karakteristik fungsional dari bagian akhir tubulus distal dan tubulus koligentes dapat diringkas
sebagai berikut :

1. membran tubulus kedua segmen hampir seluruhnya impermeabel terhadap ureum, mirip
dengan segmen pengencer pada bagian awal tubulus distal; jadi, hampir semua ureum yang
memasuki segmen-segmen ini berjalan melewati dan masuk ke dalam duktus koligentes
untuk diekskresikan dalam urin, walaupun beberapa reabsorbsi ureum terjadi di dalam duktus
koligentes bagian medula.
2. tubulus distal bagian akhir dan segmen tubulus koligentes kortikalis mereabsorbsi ion natrium
dan kecepatan reabsorbsi ini dikontrol oleh hormon, terutama aldosteron. Pada waktu yang
bersamaan, segmen ini menyekresikan ion kalium dari darah kapiler peritubulus ke dalam
lumen tubulusm suatu proses yang juga dikontrol oleh aldosteron dan faktor-faktor lain
seperti konsentrasi ion kalium dalam cairan tubuh.
3. sel interkalatus dari segmen-segmen nefron ini banyak menyekresikan ion hidrogen melalui
mekanisme hidrogen-ATPase aktif. Proses ini berbeda dengan sekresi aktif sekunder ion
hidrogen melalui tubulus proksimal, karena proses ini mampu menyekresikan ion hidrogen
melawan gradien konsentrasi yang besar, sebesar 1000 terhadap 1. Hal ini kebalikan
dedngan gradien ion hidrogen yang relatif kecil (4 sampai 10 kali) yang dapat dicapai melalui
sekresi aktif sekunder di dalam tubulus proksimal. Jadi, sel interkalatus memainkan peranan
kunci dalam regulasi asam-basa cairan tubuh.
4. permeabilitas tubulus distal bagian akhir dan duktus koligentes kortikalis terhadap air
dikontrol oleh konsentrasi ADH, yang juga disebut vasopressin. Dengan kadar ADH yang
tinggi, segmen-segmen ini sesungguhnya impermeabel terhadap air. Karakteristik yang
khusus ini menyediakan suatu mekanisme penting untuk pengaturan derajat pengenceran
atau pemekatan urin.

Duktus koligentes medula


Walaupun duktus koligentes bagian medula mereabsorbsi kurang dari 10 persen air dan
natrium yang difiltrasi, duktus ini adalah bagian terakhir dari pemprosesan urin dan, karena itu,
memainkan peranan yang sangat penting dalam menentukan keluaran akhir dari air dan zat terlarut
dalam urin.
Sel epitel duktus koligentes mendekati bentuk kuboid dengan permukaan yang halus dan
relatif sedikit mitokondria. Ciri-ciri khusus segmen tubulus ini adalah sebagai berikut :

1. permeabilitas duktus koligentes bagian medula terhadap air dikontrol oleh kadar ADH.
Dengan kadar ADH yang tinggi, air banyak direabsorbsi ke dalam interstisium medula,
sehingga mengurangi volume urin dan memekatkan sebagian besar zat terlarut dalam urin.
2. tidak seperti tubulus koligentes kortikalis, duktus koligentes bagian medula bersifat
permeabel terhadap ureum. Oleh karena itu, beberapa ureum tubulus direabsorbsi ke dalam
interstisium medula, membantu meningkatkan osmolalitas daerah ginjal ini dan turut
berperan pada seluruh kemampuan ginjal untuk membentuk urin yang pekat.
3. duktus koligentes bagian medula mampu menyekresikan ion hidrogen melawan gradien
konsentrasi yang besar, seperti yang juga terjadi dalam tubulus koligentes kortikalis. Jadi,
duktus koligentes bagian medula juga memainkan peranan kunci dalam mengatur
keseimbangan asam-basa.

ADH meningkatkan reabsorbsi air


Kerja ADH ginjal yang paling penting adalah meningkatkan permeabilitas air pada tubulus
distal, tubulus koligentes, dan epitel duktus koligentes. Hal ini membantu tubuh untuk menyimpan air
dalam keadaan seperti dehidrasi. Bila tidak ada ADH, permeabilitas tubulus distal dan duktus
koligentes terhadap air menjadi rendah, menyebabkan ginjal mengeksrkresi sejumlah besar urin yang
encer. Jadi, kerja ADH memegang peranan penting dalam mengontrol derajat pengenceran atau
pemekatan urin.
ADH berikatan dengan reseptor V2 spesifik di bagian akhir tubulus distal, tubulus koligentes
dan duktus koligentes, yang meningkatkan pembentukan cAMP dan mengaktivasi protein kinase.
Kemudia kedua hal tersebut merangsang pergerakan suatu protein intrasel, yang disebut aquaporin-2
(AQP-2), ke sisi luminal membran sel.molekul-molekul AQP-2 berkelompok dan bergabung dengan
membran sel melalui eksositosis untuk membentuk kanal air yang menyebabkan difusi air secara
cepat melalui sel. Juga terdapat aquaporin lainnya, AQP-3 dam AQP-4. di sisi basolatera; dari
membran sel yang menyediakan suatu jalur bagi air untuk keluar dari sel secara cepat, walaupun hal
ini tidak diyakini diatur oleh ADH. Peningkatan kadar ADH secara kronis juga meningkatkan
pembentukan AQP-2 di sel tubulus ginjal dengan merangsang transkripsi gen AQP-2. bila konsentrasi
ADH menurun, molekul AQP-2 berpindah kembali ke sitoplasma sel, dengan demikian memindahkan
kanal air dari membran luminal dan menurunkan permeabilitas air.

Hormon ADH mengatur konsentrasi urin

Ada suatu sistem umpan balik yang kuat untuk mengatur osmolaritas plasma dan konsentrasi
natrium, yang bekerja dengan cara mengubah ekskresi air oleh ginjal dan tidak bergantung pada
kecepatan ekskresi zat terlarut. Pelaku utama dari sistem umpan balik ini adalah hormon antidiuretik
(ADH), yang juga disebut vasopressin.
Bila osmolaritas cairan tubuh meningkat di atas normal (yaitu, zat terlarut dalam cairan tubuh
menjadi terlalu pekat), kelenjar hipofisis posterior akan menyekresi lebih banyak ADH, yang
meningkatkan permeabilitas tubulus distal dan tubulus koligentes terhadap air. Keadaan ini
memungkinkan terjadinya reabsorbsi air dalam jumlah besar dan penurunan volume urin, tetapi tidak
mengubah kecepatan ekskresi zat terlarut oleh ginjal secara nyata.
Bila terdapat kelebihan air di dalam tubuh dan osmolaritas cairan extrasel menurun, sekresi
ADH oleh hipofisis posterior akan menurun. Oleh sebab itu, permeabilitas tubulus distal dan tubulus
koligentes terhadap air akan menurun, yang menghasilkan sejumlah besar urin encer. Jadi, kecepatan
sekresi ADH sangat menentukan encer atau pekatnya urin yang akan dikeluarkan oleh ginjal.

Segmen akhir tubulus dan tubulus koligentes kortikalis


Pada segmen akhir tubulus distal dan tubulus koligentes kortikalis, osmolaritas cairan
bergantung pada kadar ADH. Dengan kadar ADH yang tinggi, tubulus-tubulus ini sangat permeabel
terhadap air, dan sejumlah air akan direabsorbsi. Akan tetapi, ureum, tidak begitu permeabel di
bagian nefron ini, sehingga menyebabkan peningkatan konsentrasi ureum sewaktu air direabsorbsi.
Keadaan ini membuat sebagian besar ureum yang dikirim ke tubulus distal dan tubulus koligentes,
masuk ke dalam duktus koligentes di bagian dalam medula, dan dari tempat inilah ureum akhirnya
direabsorbsi atau diekskresikan dalam urin. Bila tidak ada ADH, hanya sedikit air yang akan
direabsorbsi di segmen akhir tubulus distal dan tubulus koligentes kortikalis; oleh karena itu,
osmolaritas akan menurun lebih lanjut akibat reabsorbsi aktif ion yang terus menerus dari segmen-
segmen tersebut.
Duktus koligentes di bagian dalam medula
Konsentrasi cairan duktus koligentes di bagian dalam medula juga bergantung pada ADH dan
osmolaritas interstisium medula yang dibentuk oleh mekanisme arus balik. Dengan adanya ADH
dalam jumlah besar, duktus-duktus ini sangat permeabel terhadap air, dan air berdifusi dari tubulus
ke dalam interstisium hingga tercapai keseimbangan osmotik, dengan konsentrasi cairan tubulus yang
kurang lebih sama dengan interstisium medula ginjal (1200-1400 mOsm/L). Jadi, saat kadar ADH
tinggi, dihasilkan urin yang sangat pekat tetapi berjumlah sedikit. Kareana reabsorbsi air
meningkatkan konsentrasi ureum dalam cairan tubulus dan karena duktus koligentes di bagian dalam
medula memiliki pengangkut ureum yang spesifik yang sangat membantu terjadinya difusi, banyak
ureum dengan kepekatan yang tinggi di duktus berdifusi keluar dari lumen tubulus masuk ke dalam
interstisium medula. Absorbsi ureum ini ke dalam medula ginjal turut membantu membentuk
osmolaritas interstisium medula yang tinggi dan kemampuan pemekatan ginjal yang tinggi.
Ada beberapa hal penting yang patut dipertimbangkan yang mungkin tidak jelas dalam
diskusi ini. Pertama, walaupun natrium klorida adalah salah satu zat terlarut utama yang turut
membentuk hiperosmolaritas interstisium medula, bila diperlukan, ginjal mampu mengeluarkan urin
dengan kepekatan yang tinggi yang mengandung sedikit NaCl. Hiperosmolaritas urin pada keadaan
ini disebabkan oleh tingginya konsentrasi zat terlarut lain, terutama produk buangan seperti ureum
dan kreatinin. Satu keadaan yang menyebabkan hal ini terjadi adalah dehidrasi yang disertai dengan
asupan Na yang rendah. Asupan Na yang rendah akan merangsang pembentukan hormon
angiotensin II dan aldosteron, yang bersama-sama menimbulkan reabsorbsi Na yang hebat dari
tubulus sambil meninggalkan ureum dan zat terlarut lainnya untuk mempertahankan kepekatan urin
yang tinggi.
Kedua, sejumlah besar urin encer dapat dikeluarkan tanpa meningkatkan pengeluaran
natrium. Keadaan ini dapat dicapai dengan menurunkan sekresi ADH, yang akan mengurangi
reabsorbsi air di segmen tubulus yang lebih distal tanpa mengubah reabsorbsi natrium secara
bermakna.
Dan akhirnya, kita harus mengingat bahwa ada volume urin yang diwajibkan, yang dihasilkan
oleh kemampuan pemekatan maksimum ginjal dan jumlah zat terlarut yang harus diekskresikan. Oleh
karena itu, jika sejumlah besar zat terlarut harus diekskresikan, zat tersebut harus disertai dengan
jumlah air minimal yang diperlukan untuk mengeluarkan zat-zat tersebut.

Gangguan kemampuan pemekatan urin

Gangguan kemampuan ginjal untuk memekatkan atau mengencerkan urin dengan tepat
dapat terjadi pada satu atau lebih dari abnormalitas berikut ini :
1. sekresi ADH yang tidak tepat. Sekresi ADH yang terlalu banyak atau terlalu sedikit dapat
menghasilkan pengaturan cairan yang abnormal oleh ginjal.
2. kerusakan mekanisme arus balik. Hiperosmotik interstisium medula dibutuhkan untuk
kemampuan pemekatan urin yang maksimal. Tidak peduli banyaknya ADH yang tersedia,
kepekatan urin maksimal dibatasi oleh derajat hiperosmolaritas interstisium medula
3. ketidakmampuan tubulus distal, tubulus koligentes dan duktus koligentes untuk berespon
terhadap ADH.

Sistem umpan balik osmoreseptor-ADH

Bila osmolaritas (konsentrasi natrium plasma) meningkat di atas normal akibat kekurangan
air, sistem umpan balik ini akan bekerja sebagai berikut :

1. peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel (yang secara praktis berarti peningkatan konsentrasi
natrium plasma) menyebabkan sel saraf khusus yang disebut sel osmoreseptor, yang terletak
di hipotalamus anterior dekat nukleus supraoptik, mengkerut
2. pengkerutan sel osmoreseptor menyebabkan sel tersebut terangsang, yang akan
mengirimkan sinyal saraf ke sel saraf tambahan di nukleus supraoptik, yang kemudian
meneruskan sinyal ini menyusuri tangkai kelenjar hipofise ke hipofisis posterior.
3. potensial aksi yang disalurkan ke hipofisis posterior akan merangsang pelepasan ADH, yang
disimpan dalam granula sekretorik (atau vesikel) di ujung saraf.
4. ADH memasuki aliran darah dan ditranspor ke ginjal, tempat ADH meningkatkan
permeabilitas di bagian akhir tubulus distal, tubulus koligentes kortikalis dan duktus
koligentes medula.
5. peningkatan permeabilitas air di segmen nefron distal menyebabkan peningkatan reabsorbsi
air dan ekskresi sejumlah kecil urin yang pekat.

Jadi, air disimpan dalam tubuh sedangkan natrium dan zat terlarut lainnya terus dikeluarkan
dalam urin. Hal ini menyebabkan pengenceran zat terlarut dalam cairan ekstrasel, yang akan
memperbaiki kepekatan cairan ekstrasel mula-mula yang berlebihan.
Terjadi serangkaian kejadian yang berlawanan saat cairan ekstrasel menjadi terlalu encer
(hipo-osmotik). Contohnya, pada asupan air yang berlebihan dan penurunan osmolaritas cairan
ekstrasel, lebih sedikit ADH yang terbentuk, lalu tubulus ginjal mengurangi permeabilitasnya terhadap
air, sehingga lebih sedikit air yang direabsorbsi, dan sejumlah besar urin encer dibentuk. Hal tersebut
kemudian memekatkan cairan tubuh dan mengembalikan osmolaritas plasma kembali ke nilai normal.

Sintesis ADH di nukleus supraoptik dan nukleus paraventrikular hipotalamus dan pelepasan ADH dari
hipofisis posterior

Hipotalamus terdiri dari 2 jenis neuron-neuron magnosel (besar) yang mengsintesis ADH di
nukleus supraoptik dan nukleus paraventrikular hipotalamus, kira-kira sebanyak lima perenam di
nukleus supraoptik dan seperenam di nukleus paraventrikular. Kedua nukleus ini mempunyai
perpanjangan akson sampai ke hipofisis posterior. Setelah disintesis, ADH ditranspor melalui akson-
akson neuron ke bagian ujungnya, yang berakhir di kelenjar hipofisis posterior. Bila nukleus
supraoptik dan nukleus paraventrikular dirangsang oleh peningkatan osmolaritas atau faktor lain,
impuls saraf berjalan ke bagian ujung saraf ini, yang akan mengubah permeabilitas membrannya dan
meningkatkan pemasukan kalsium. ADH yang disimpan dalam granula sekretorik (juga disebut
vesikel) pada ujung-ujung saraf dilepaskan sebagai respons terhadap peningkatan pemasukan
kalsium. ADH yang dilepaskan kemudian dibawa dalam kapiler darah hipofisis posterior ke dalam
sirkulasi sistemik.
Sekresi ADH sebagai respons terhadap rangsangan osmotik sifatnya cepat, sehingga kadar
ADH plasma dapat meningkat beberapa kali lipat dalam beberapa menit. Oleh sebab itu, sekresi ADH
merupakan suatu cara cepat untuk menghambat ekskresi air oleh ginjal.
Area neuronal kedua yang penting dalam mengontrol osmolaritas dan sekresi ADH terletak di
sepanjang regio anteroventral ketiga, yang disebut regio AV3V. Pada bagian atas regio ini terdapat
suatu struktur yang disebut organ subfornikal, dan pada bagian inferior terdapat struktur lain yang
disebut organum vaskulosum lamuna terminalis. Di antara kedua organ ini terdapat nukleus preoptik
median, yang mempunyai banyak sambungan saraf dengan kedua organ sebagaimana halnya dengan
nukleus supraoptik dan pusat pengaturan tekanan darah di medula otak. Lesi pada regio AV3V
menyebabkan berbagai defisit dalam pengontrolan sekresi ADH, rasa haus, keinginan natrium
(sodium appetite), dan tekanan darah. Rangsangan listrik pada daerah ini atau rangsangan oleh
angiotensin II dapat mengubah sekresi ADH, rasa haus, dan rangsangan natrium.
Di sekitar daerah AV3V dan nukleus supraoptik terdapat sel-sel neuronal yang dirangsang
oleh sedikit peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel; oleh sebab itu, istilah osmoreseptor telah
digunakan untuk menjelaskan neuron-neuron ini. Sel-sel ini mengirim sinyal saraf ke nukleus
supraoptik untuk mengontrol perangsangannya dan sekresi ADH. Sel-sel tersebut agaknya juga
menginduksi rasa haus sebagai respons terhadap peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel.
Organ subfornikal dan organum vaskulosum lamina terminalis memiliki pembuluh darah yang
tidak memiliki sawar darah otak, yang menghalangi difusi sebagaina besar ion dari darah ke dalam
jaringan otak. Hal ini membuat ion dan zat terlarut lainnya dapat melintas antara darah dan cairan
interstisial setempat di sekitar daerah ini. Akibatnya, osmoreseptor dengan cepat berespons terhadap
perubahan osmolaritas cairan ekstrasel, yang memberi pengaruh besar terhadap sekresi ADH dan
rasa haus.

Stimulasi refleks kardiovaskular terhadap pelepasan ADH dengan menurunkan tekanan arteri
dan/atau menurunkan volume darah

Pelepasan ADH juga dikontrol oleh refleks-refleks kardiovaskular yang berespons terhadap
penurunan tekenan darah dan/atau volume darah, meliputi refleks baroreseptor arterial dan refleks
kardiopulmonal. Jalur refleks ini berasal dari daerah sirkulasi bertekanan tinggi, seperti arkus aorta
dan sinus karotikus, dan dari daerah bertekanan rendah, terutama di atrium jantung. Rangsangan
aferen dibawa oleh nervus vagus dan nervus glosofaringeus dengan sinaps-sinaps di nukleus traktus
solitarius. Tonjolan dari nukleus ini meneruskan sinyal ke nukleus hipotalamik yang mengatur sintesis
dan sekresi ADH.
Jadi, selain untuk meningkatkan osmolaritas, 2 stimulus berikut dapat meningkatkan sekresi
ADH yaitu penurunan tekanan arteri dan penurunan volume darah. Kapanpun tekanan darah dan
volume darah berkurang, seperti yang terjadi selama perdarahan, peningkatan sekresi ADH akan
menyebabkan peningkatan reabsorbsi cairan oleh ginjal, yang membantu mengembalikan tekanan
darah dan volume darah ke keadaan normal.

Stimulasi lain untuk sekresi ADH

Sekresi ADH dapat juga ditingkatkan atau diturunkan oleh stimulus lain terhadap sistem saraf
pusat dan oleh berbagai obat dan hormon. Misalnya nausea adalah stimulus yang kuat untuk
pelepasan ADH, yang dapat meningkat sampai sebanyak 100 kali normal setelah muntah. Juga, obat-
obatan seperti nikotin dan morfin merangsang pelepasan ADH, sedangkan beberapa obat, seperti
alkohol, menghambat pelepasan ADH. Diuresis berat yang terjadi setelah meminum alkohol sebagian
diakibatkan oleh hambatan pelepasan ADH.

Peranan rasa haus dalam mengatur osmolaritas cairan ekstrasel dan konsentrasi natrium

Ginjal meminimalkan kehilangan cairan selama terjadi kekurangan air, melalui sistem umpan
balik osmoreseptor-ADH. Akan tetapi, asupan cairan yang adekuat diperlukan untuk mengimbangi
kehilangan cairan yang terjadi melalui keringat dan napas serta melalui saluran pencernaan. Asupan
cairan diatur oleh mekanisme rasa haus, yang, bersama dengan mekanisme osmoreseptor-ADH,
mempertahankan kontrol osmolaritas cairan ekstrasel dan konsentrasi natrium secara tepat.
Banyak faktor yang sama yang merangsang sekresi ADH juga akan meningkatkan rasa haus,
yang didefinisikan sebagai keinginan sadar terhadap air.

Pusat rasa haus di sistem saraf pusat

Daerah yang sama di sepanjang dinding anteroventral dari ventrikel ketiga yang
meningkatkan pelepasan ADH juga merangsang rasa haus. Terdapat suatu daerah kecil yang terletak
anterolateral dari nukleus preoptik, yang bila distimulasi secara listrik, menyebabkan kegiatan minum
dengan segera dan berlanjut selama rangsangan berlangsung. Semua daerah ini bersama-sama
disebut pusat rasa haus.
Neuron-neuron di pusat rasa haus memberi respon terhadap penyuntikan larutan garam
hipertonik dengan cara merangsang perilaku minum. Sel-sel ini hampir berfungsi sebagai
osmoreseptor untuk mengaktivasi mekanisme rasa haus, dengan cara yang sama saat osmoreseptor
merangsang pelepasan ADH.
Peningkatan osmolaritas cairan serebrospinal di ventrikel ketiga memberi pengaruh yang
pada dasarnya sama, yaitu menimbulkan keinginan untuk minum. Organum vaskulosum lamina
terminalis yang terletak tepat di bawah permukaan ventrikel pada ujung inferior daerah AV3V,
agaknya ikut memperantarai respons tersebut.

Stimulus terhadap rasa haus

Salah satu yang terpenting beberapa stimulus rasa haus yang diketahui adalah peningkatan
osmolaritas cairan ekstrasel, yang menyebabkan dehidrasi intrasel di pusat rasa haus, yang akan
merangsang sensasi rasa haus. Kegunaan respon ini sangat jelas : membantu mengencerkan cairan
ekstrasel dan mengembalikan osmolaritas ke keadaan normal.
Penurunan volume cairan ekstrasel dan tekanan arteri juga merangsang rasa haus melalui
suatu jalur yang tidak bergantung pada jalur yang distimulasi oleh peningkatan osmolaritas plasma.
Jadi, kehilangan volume darah melalui perdarahan akan merangsang rasa haus walaupun mungkin
tidak terjadi perubahan osmolaritas plasma. Hal ini mungkin terjadi akibat input netral dari
baroreseptor kardiopulmonal dan baroreseptor arteri sistemik di sirkulasi.
Stimulus rasa haus ketiga yang penting adalah angiotensin II. Penelitian terhadap binatang
telah menunjukkan bahwa angiotensin II bekerja pada organ subfornikal dan pada organum
vaskulosum lamina terminalis. Daerah-daerah ini berada di sisi luar sawar otak, dan peptida-peptida
seperti angiotensin II berdifusi ke dalam jaringan. Karena angiotensin II juga distimulasi oleh faktor-
faktor yang berhubungan dengan hipovolemia dan tekanan darah rendah, pengaruhnya pada rasa
haus membantu memulihkan volume darah dan tekanan darah kembali normal, bersama dengan
kerja lain dari angiotensin II pada ginjal untuk menurunkan ekskresi cairan.
Kekeringan pada mulut dan membran mukosa eksofagus dapat mendatangkan sensasi rasa
haus. Akibatnya, seseorang yang kehausan dapat segera melepaskan dahaganya setelah dia minum
air, walaupun air tersebut belum diabsorbsi dari saluran pencernaan dan belum memberi efek
terhadap osmolaritas cairan ekstrasel.
Stimulus gastrointestinal dan faring memengaruhi timbulnya rasa haus. Contohnya, pada
binatang yang memiliki esofagus ke arah eksterior, sehingga air tidak pernah diabsorbsi ke dalam
darah, kelegaan yang terjadi setelah minum hanya bersifat sebagian, walaupun kelegaan itu bersifat
sementara. Distensi saluran pencernaan juga dapat sedikit mengurangi rasa haus; contohnya,
peniupan sebuah balon dalam lambung dapat menghilangkan rasa haus. Akan tetapi, penurunan
sensasi rasa haus melalui mekanisme gastrointestinal atau faringeal hanya bertahan singkat;
keinginan untuk minum hanya dapat dipuaskan sepenuhnya bila osmolaritas plasma dan/atau volume
darah kembali normal.
Kemampuan binatang dan manusia untuk ”mengukur” asupan cairan sangat penting karena
dapat mencegah hidrasi yang berlebihan. Setelah seseorang minum air, mungkin dibutuhkan waktu
30 sampai 60 menit agar air direabsorbsi dan didistribusikan ke seluruh tubuh. Bila sensasi rasa haus
tidak hilang sebagian setelah minum air, orang tersebut akan terus minum lebih banyak lagi, yang
akhirnya menimbulkan hidrasi dan pengenceran cairan tubuh yang berlebihan. Penelitian dan
percobaan yang berulang kali menunjukan bahwa binatang meminum jumlah air yang hampir sesuai
dengan jumlah yang dibutuhkan untuk mengembalikan osmolaritas dan volume plasma ke keadaan
normal.

Respon osmoreseptor-ADH dan mekanisme rasa haus yang terintegrasi dalam pengaturan
osmolaritas cairan ekstrasel dan konsentrasi natrium

Pada seseorang yang sehat, mekanisme osmoreseptor-ADH dan rasa haus bekerja secara paralel
untuk mengatur osmolaritas cairan ekstrasel dan konsentrasi natrium dengan tepat, walaupun
rangsangan dehidrasi bersifat konstan. Bahkan dengan perangsangan tambahan, seperti konsumsi
garam tinggi, sistem umpan balik ini mampu mempertahankan osmolaritas plasma agar tetap
konstan. Peningkatan asupan natrium sampai setinggi 6 x normal hanya memberi sedikit pengaruh
terhadap konsentrasi natrium plasma selama mekanisme rasa haus dan ADH berfungsi normal.
Bila mekanisme ADH atau mekanisme rasa haus gagal, mekanisme yang lain biasanya masih dapat
mengatur osmolaritas ekstrasel dan konsentrasi natrium dengan efektivitas yang memadai, selama
tersedia asupan cairan yang cukup untuk mengimbangi volume urin harian dan kehilangan air melalui
pernapasan, keringat atau saluran pencernaan. Akan tetapi, bila mekanisme ADH dan rasa haus gagal
secara bersamaan, konsentrasi natrium dan osmolaritas plasma tidak dapat dikontrol dengan baik;
jadi, bila asupan natrium meningkat setelah menghambat sistem ADH-rasa haus, terjadi perubahan
konsentrasi natrium plasma yang relatif besar, dalam keadaan tidak adanya mekanisme ADH-rasa
haus, tidak ada mekanisme umpan balik lain yang mampu mengatur konsentrasi natrium dan
osmolaritas plasma secara adekuat.
LAPORAN PENDAHULUAN SIADH(Syndrome of Inappropriate Antidiuretic
Hormone Scretion)
 

Konsep Dasar

Asuhan Keperawatan SIADH

A.    Pengertian

Sindrom sekresi hormone antidiuretik yang tidak sesuai (SIADH): Syndrome of 


Inappropriate  Antidiuretic Hormone Scretion  mengacu pada sekresi ADH yang berlebihan dari
kelenjar hipofisis dalammenghadapi osmolalitas serum subnormal.(Smeltzer:2001).

SIADH adalah suatu karakteristik atau ciri dan tanda yang disebabkan oleh ketidakmampuan
ginjal mengabsorpsi atau menyerap air dalam bentuk ADH yang berasal dari hipofisis posterior.
(Barbara K.Timby2000)

SIADH adalah gangguan yang berhubungan dengan peningkatan jumlah ADH akibat
ketidakseimbangan cairan. (Corwin, 2001)

SIADH adalah gangguan pada hipofisis posterior akibat peningkatan pengeluaran ADH
sebagai respon terhadap peningkatan osmolaritas darah dalam tingkat yang lebih ringan. (Corwin,
2001)

B.     Etiologi

       SIADH dapat disebabkan oleh kanker paru dan kanker lainnya. Penyakit paru (pneumonia,TB)
dan penyakit SSP( sistem saraf pusat) seperti atrofi serebrum senilis, hidrosefalus, delifiumtremens,
psilosis akut, penyakit demielinisasi dan degenerative, penyakit peradangan,trauma/cedera
kepala/cerebrovaskular accident , pembedahan pada otak, tumor (karsinuma bronkus,leukemia,
limfoma, timoma, sarkoma) atau infeksi otak (ensepalitis, meningitis)dapat menimbulkan SIADH
melalui stimulasi langsung kelenjar hipofisis. Dan beberapa obat (vasopressin, desmopresin asetat,
klorpropamid, klofibrat, karbamazepin,vinkristin, fenotiazin, antidepresan trisiklik, preparat diuretic
tiazida, dan lain-lain) dannikotin dapat terlibat terjadinya SIADH; zat-zat tersebut dapat menstimulasi
langsungkelenjar hipofisis atau meningkatkan sensitifitas tubulus renal terhadap ADH yang
beredardalam darah.

                                                                                                        (Grabe, Mark A. 2006)

SIADH sering muncul pada dari masalah nonendokrin. Dengan kata lain sindrom tersebut dapat
terjadi pada penderita karsinoma bronkogenik tempat sel-sel paru yang ganas mensintesis dan
melepaskan ADH. SIADH juga bisa terjadi pada pneumonia berat, pneumotoraks dan penyakit paru
lainya. Kelainan pada sistem saraf pusat diperkirakan juga bisa menimbulkan SIADH  melalui stimulus
langsung kelenjar hipofisis seperti:

1.    Cidera kepala

2.    Pembedahan pada otak

3.    Tumor

4.    Infeksi otak

5.    Beberapa obat (Vinkristin, fenotiazin, antidepresan trisiklik, preparat diuretik tiazida dll)

(Brunner& sudart. 2003).

C.    Patofisiologi

SIADH ditandai oleh peningkatan pelepasan ADH dari hipofisis posterior tanpa adanya
rangsangan normal untuk melepaskan ADH. Pengeluaran ADH yang berlanjut menyebabkan retensi
air dari tubulus ginjal dan duktus. Volume cairan ekstra seluler meningkat dengan
hiponatremi.  Dalam kondisi hiponatremi dapat menekan rennin dan sekresi aldosteron
menyebabkan penurunan Na diabsorbsi tubulus proximal. Dalam keadaan normal ADH mengatur
osmolalitas plasma, bila osmolalitas menurun mekanisme Feed back akan menyebabkan inhibisi
ADH. Hal ini akan mengembalikan dan meningkatkan ekskresi cairan oleh ginjal untuk meningkatkan
osmolalitas plasma menjadi normal. Pada SIADH osmolalitas plasma terus berkurang akibat ADH
merangsang reabsoprbsi air oleh ginjal.

                                                                                          (Ellen, Lee, dkk, 2000)

Hormon Antidiuretik (ADH) bekerja pada sel-sel duktus koligentes ginjal untuk meningkatkan
permeabilitas terhadap air. Ini mengakibatkan peningkatan reabsorbsi air tanpa disertai reabsorbsi
elektrolit. Air yang direabsorbsi ini meningkatkan volume dan menurunkan osmolaritas cairan
ekstraseluler (CES). Pada saat yang sama keadaan ini menurunkan volume dan meningkatkan
konsentrasi urine yang diekskresi

Pengeluaran berlebih dari ADH menyebabkan retensi air dari tubulus ginjal dan duktus.
Volume cairan ekstra selluler meningkat dengan hiponatremi.Dimana akan terjadi penurunan
konsentrasi air dalam urin sedangkan kandungan natrium dalam urin tetap,akibatnya urin menjadi
pekat.

Dalam keadaan normal, ADH mengatur osmolaritas serum. Bila osmolaritas serum menurun,
mekanisme feedback akan menyebabkan inhibisi ADH. Hal ini akan mengembalikan dan
meningkatkan ekskresi cairan oleh ginjal untuk meningkatkan osmolaritas serum menjadi normal.

Terdapat berapa keadaan yang dapat mengganggu regulasi cairan tubuh dan dapat
menyebabkan sekresi ADH yang abnormal . Tiga mekanisme patofisiologi yang bertanggung jawab
akan SIADH , yaitu

1.  Sekresi ADH yang abnormal sari system hipofisis. Mekanisme ini disebabkan oleh kelainan
system saraf pusat, tumor, ensafalitis , sindrom guillain Barre. Pasien yang mengalami syok, status
asmatikus, nyeri hebat atau stress tingkat tinggi, atau tidak adanya tekanan positif pernafasan juga
akan mengalami SIADH.
2. ADH atau substansi ADH dihasilkan oleh sel-sel diluar system supraoptik – hipofisis , yang
disebut sebagai sekresi ektopik ( misalnya pada infeksi).
3. Kerja ADH pada tubulus ginjal bagian distal mengalami pemacuan . bermacam-macam obat-
obat menstimulasi atau mempotensiasi pelepasan ADH . obat-obat tersebut termasuk nikotin ,
transquilizer, barbiturate, anestesi umum, suplemen kalium, diuretic tiazid , obat-obat hipoglikemia,
asetominofen , isoproterenol dan empat anti neoplastic : sisplatin, siklofosfamid, vinblastine dan
vinkristin.
(Otto, Shirley 2003,)

D.    Manifestasi Klinik

Manifestasi yang berhubungan dengan SIADH adalah :

1.      Hiponatremi, kebingungan, kesadaran menurun/letargi sensitive koma, mobilitas gastrointestinal


menurun (Anorexia).

2.      Takhipnea.

3.      Kelemahandan Letargi

4.      Peningkatan BB
5.      Sakit kepala

6.      Mual dan muntah

7.      Kekacauan mental dan Kejang.

8.      Penurunan keluaran urine

Tanda dan gejala yang dialami pasien dengan SIADH tergantung pada derajat lamanya retensi
air dan hiponatremia misalnya:

1.      Na serum >125 mEq/L.

a.       Anoreksia.

b.      Gangguan penyerapan nutrisi.

c.       Kram otot.

2.      Na serum = 115 – 120 mEq/L.

a.       Sakit kepala,

b.      Perubahan kepribadian.

c.       Kelemahan dan letargia.

d.      Mual dan muntah.Kram abdomen

3.      Na serum < 1115 mEq/L.

a.       Kejang dan koma.

b.      Reflek tidak ada atau terbatas

c.       Tanda babinski.

d.      Papiledema.

( Sylvia, 2005)

E.    
Vasopresin oleh sel tumor
Obat-obat diuretik

Kelainan sistem saraf pusat

Pathways 

Urine menjadi pekat

Retensi urine
Gangguan pola pikir

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan


tubuh

Desmopresin asetat

Atrofi serebrum

hidrosefalus

delifiumtremens

vasopresin

Akibat pengunaan obat


cholorpropamid

klopropamid

bronkogenik

pankreatik

limfoma

Hipofisis postarior terganggu

Menstimulasi kelenjar hipofisis

Produksi vasopresin meningkat

Mempengaruhi produksi hormon ADH

Meningkatkan sensitifitas tubulus renal terhadap ADH dalam darah

Pengeluaran ADH meningkat

SIADH

Pengeluaran ADH yang berlebihan

Akan terjadi retensi air

Lalu terjadi hiponatremi

Dimana akan terjadi penurunan kosentrasi air dalam urin

Natrium urin tetap

Menurunnya osmolaritas cairan ekstraseluler

Hal ini dapat meningkatkan volume air

Volume cairan berlebihan

Pelepasan hormon ADH tanpa kontrol

Akan terjadi hiponatremi

Akan mengakibatkan
Suplai darah ke otak yang kekurangan natrium

hipoglikemia

  

F.     Pemeriksaan Penunjang

1.      Natrium serum menurun  <15 M Eq/L.


2.      Natrium urin > 20 M Eq/L menandakan SIADH.

3.      Osmolalitas,umumnya rendah tetapi mungkin normal atau tinggi.Osmolalitas urin,dapat turun/biasa


< 100 m osmol/L kecuali pada SIADH dimana kasus ini akan melebihi osmolalitas serum. Berat jenis
urin:meningkat (< 1,020) bila ada SIADH.

4.      Hematokrit (Ht dan Hb), tergantung pada keseimbangan cairan,misalnya:kelebihan cairan melawan


dehidrasi.

5.      Osmolalitas plasma dan hiponatremia (penurunan konsentrasi natrium,natrium serum menurun


sampai 170 M Eq/L.

6.      Prosedur khusus :tes fungsi ginjal(nitrogen urea darah (blood urea nitrogen/BUN, atau kadang
disebut sebagai urea) dan kreatinin).

7.      Pengawasan di tempat tidur : peningkatan tekanan darah (dilakukan pada pasien yang menjalani
rawat inap dirumah sakit dan pemantauan dilakukan untuk menghidari atau mencegah terjadinya
hal yang memperberat penyakit klien).

(Sacher, Ronald A. 2004)

G.    Komplikasi

Komplikasi atau gejala sisa dari SIADH, meliputi:

1.      hipourikemia

Hipourikemia adalah kadar urea dalam darah sangat rendah. Nilai normal urea dalam darah
adalah 20 mg – 40 mg setiap 100 ccm darah. Penurunan kadar urea sering dijumpai pada penyakit
hati yang berat. Pada nekrosis hepatik akut, sering urea rendah asam-asam amino tidak dapat
dimetabolisme lebih lanjut. Pada sirosis hepatis, terjadipengurangan sintesis dan sebagian karena
retensi air oleh sekresi hormone antidiuretik yang tidak semestinya.

2.      overload tipe hipotonik

Lazim disebut “Keracunan Air”. Ketidakseimbangan cairan tubuh dimana seluruh tubuh akan
berada dalam keadaan hipotonik, disertai dengan osmolaritas tubuh menurun. Sehingga didalam
tubuh, cairan ekstraseluler akan pindah ke kompartemen intraseluler. Terjadi expansi air berlebihan
diseluruh kompartemen cairan dan kadar elektrolit berkurang karena dilusi (rendahnya elektrolit
serum). Dalam kondisi berpindahnya cairan seperti ini, tubuh sangat sulit mengkompensasinya.
Faktor penyebab tubuh menjadi overload hipotonik adalah SIADH (kumpulan gejala karena
malfungsi hormon antidiuretik)

3.      penurunan Osmolaritas (plasma)


Tekanan normal osmolaritas plasma darah ialah 285+ 5 mOsm/L. Sementara penurunan osmolaritas
plasma terjadi akibat Kerja hormon ADH yang berlebihan dan gangguan pada ginjal dalam
meekskresikan cairan.Pada keadaan ini tertjadi perpindahan cairan dari ekstrasel ke intrasel,
termasuk ke sel otak. Hal ini akan menyebabkan terjadinya edema otak yang mana keadaan ini
merupakan keadaan berat yang dapat menyebabkan kejang dan penurunan kesadaran.

4.      hipokalemia

Nilai norman kalium dalam darah adalah  (3,5 -  5,0 MEQ/L). Penyebab utama kehilangan kalium
adalah penggunaan obat-obatan diuretik yang juga menarik kalium misalnya: tiazid dan furosemid)
(Tamsuri anas 2009).

5.      hipomagnesemia

Nilai normal magnesium dalam darah adalah (1,4 – 2,1 Mg/l). Hipomagnesemia dapat terjadi karena
penggunaan beberapa obat dalam jangka waktu lama (diuretik, siplantin) (Tamsuri anas 2009).

Semua komplikasi atau gejala SIADH diatas bersifat sekunder dan agak mirip. Pada banyak
kasus beda antara gejala dan komplikasi SIADH kurang jelas dan sulit dibedakan.

(Source - Diseases Database from http://www.wrongdiagnosis.com)

H.    Penatalaksanaan

Pada umumnya pengobatan SIADH  terdiri dari restriksi cairan (manifestasi klinis SIADH
biasanya menjadi jelas ketika mekanisme haus yang mengarah kepada peningkatan intake cairan.
Larutan hipertonis 3% tepat di gunakan pada pasien dengan gejala neurologis akibat hiponatremi
( Bodansky & Latner)

a.       Penatalaksanaan SIADH terbagi menjadi 3 kategori yaitu:

a)      Pengobatan penyakit yang mendasari, yaitu pengobatan yang ditunjukkan untuk mengatasi penyakit
yang menyebabkan SIADH, misalnya berasal dari tumor ektopik, maka terapi yang ditunjukkan
adalah untuk mengatasi tumor tersebut.

b)      Mengurangi retensi cairan yang berlebihan.

Pada kasus ringan retensi cairan dapat dikurangi dengan membatasi masukan cairan. Pedoman
umum penanganan SIADH adalah bahwa sampai konsenntrasi natrium serum dapat dinormalkan
dan gejala-gejala dapatdiatasi.Pada kasus yang berat, pemberian larutan normal cairan
hipertonik(Adalah cairan infus yang osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga
“menarik” cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah. Mampu
menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin. Penggunaannya kontradiktif dengan
cairan hipotonik. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-Lactate, Dextrose
5%+NaCl 0,9%, produk darah (darah) dan albumin)dan furosemid (lasix)  adalah terapi pilihan.
c)      Semua asuhan yang diperlukan saat pasien mengalami penurunan tingkat kesadaran (kejang, koma,
dan kematian) seperti pemantauan yang cermat masukan dan haluaran urine. Kebutuhan
nutrisi/ diit dengan garam Na dan K dengan aman terpenuhi dan dukungan emosional.

b.      Rencana non farmakologi

a)      Pembatasan cairan (pantau kemungkinan kelebihan cairan)

b)      Pemberian diit dengan garam Na dan K dengan aman

c.       Rencana farmakologi

a)      Penggunaan diuretic untuk mencari plasma osmolaritas rendah

b)      Obat/penggunaan obat demeeloculine, untuk menekan vosopresin

c)      Hiperosmolaritas, volume oedema menurun

d)     Ketidakseimbangan system metabolic, kandungan dari hipertonik saline 3 % secara perlahan-lahan


mengatasihiponatremi dan peningkatan osmolaritas serum (dengan peningkatan = overload) cairan
dengan cara penyelesaian ini mungkin disebabkan oleh kegagalan jantung kongestif.

e)      Pengobatan khusus = prosedur pembedahan

d.      Penyuluhan yang dilakukan bagi penderita SIADH antara lain :

a)      Pentingnya memenuhi batasan cairan untuk periode yang di programkan untuk membantu pasien
merencanakan masukan cairan yang diizinkan(menghemat cairan untuk situasi social dan rekreasi).

b)      Perkaya diit dengan garam Na dan K dengan aman. Jika perlu, gunakan diuretic secara kontinyu.

c)      Timbang berat badan pasien sebagai indicator dehidrasi.

d)     Indikator intoksikasi air dan hiponat : sakit kepala, mual, muntah, anoreksia segera lapor dokter.

e)      Obat-obatan yang meliputi nama obat, tujuan, dosis, jadwal, potensial efek samping.

f)       Pentingnya tindak lanjut medis : tanggal dan waktu.

g)      Untuk kasus ringan,retreksi cairan cukup dengan mengontrol gejala sampai sindrom secara spontan
lenyap.Apabila penyakit lebih parah,maka diberikan diuretik dan obat yang menghambat kerja ADH
di tubulus pengumpul.Kadang-kadang digunakan larutan natrium klorida hipertonik untuk
meningkatkan konsentrasi natrium plasma.

(Tisdale , James & Miller, Douglas . 2010)


I.       Fokus pengkajian

1.      Identitas pasien meliputi nama, umur, pekerjaan, dan alamat.

2.      Riwayat penyakit dahulu.

adakah penyakit atau trauma pada kepala yang pernah diderita klien,serta riwayat radiasi pada
kepala.

3.      Riwayat penyakit sekarang,

Harus ditanya dengan jelas tetang gejala yang timbul seperti sakit kepala, demam, dan keluhan
kejang. Kapan mulai serangan, sembuh atau bertambah buruk, bagaimana sifat timbulnya, dan
stimulus apa yang sering menimbulkan kejang.

4.      Riwayat penyakit keluarga

riwayat penyakit keluarga terutama yang mempunyai penyakit menular.

5.      Pantau status cairan dan elektrolit.

6.      Monitor status neurologis yang berhubungan dengan hiponatremi dan segera lakukan tindakan
untuk mengatasinya.

7.      Catat perubahan berat badan (BBI jika ada peningkatan dari 1 kg laporkan pada dokter).

8.       Pengkajian Fisik:

a.       Inspeksi: Vena leher penuh.

b.      Perkusi: Penurunan refleks tendon dalam.

c.       Auskultasi: Kardiovaskuler : Takikardia.

                                                            (Doengoes,Marilyn C. 2003)

J.      Diagnosa Keperawatan

1.      Volume cairan berlebih berhubungan dengan sekresi ADH yang berlebihan.

2.       Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan absorbsi nutrisi
dan natrium.

3.      Retensi urine berhubungan dengan hiponatremia      

4.      Gangguan proses pikir berhubungan dengan penurunan kadar Na

                                                (Diagnosa Keperawatan NANDA. 2005-2006)


K.    Intervensi

1.      Volume cairan berlebih berhubungan dengan sekresi ADH yang berlebihan.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan terjadi
keseimbangan cairan dan pengeluaran urin kembali seimbang.

Kriteria Hasil :

a.       Volume cairan dan elektrolit dapat kembali dalam batas normal

b.       klien dapat mempertahankan berat badan dan volume urin 800 – 2000 ml/hari

c.       Input sama dengan output

Intervensi:

a)      Pantau  masukan dan haluaran cairan dan tanda tanda kelebihan cairan setiap 1 – 2 jam.

Rasional: Catatan masukan dan haluaran membantu mendeteksi tanda dini ketidakseimbangan

b)      Catat seri Berat badan, bandingkan dengan pemasukan pengeluaran

Rasional: Seri berat badan adalah indikator akurat status Volume cairan. Keseimbangan cairan positif
dengan peningkatan Berat badan menunjukan retensi Cairan.

c)      Evaluasi terjadinya takipnea,dispnea, peningkatan upaya pernapasan dan beritahu dokter

Rasional: distensi abdomen dapat menyebabkan sesulitan bernapas

d)     Kaji sakit kepala,kram otot, kacau mental, disorientasi

Rasional: gejala menunjukan hiponatremia atau intoksikasi air

e)      Pantau elektrolit atau osmolalitas serum resiko gangguan signifikan bila serum Na kurang dari 125
mEq/L

Rasional: Untuk mengetahui keadaan natrium serum

f)       Batasi masukan cairan.

Rasional: Mencegah intoksikasi air.

g)      Monitor TTV

Rasional: Tanda-tanda vital menjadi indikasi dari kondisi klien.

h)      Kolaborasi medis untuk pemberian obat-obatan.

Rasional: Untuk memberikan terapi medis pada klien


2.      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan absorbsi nutrisi
dan natrium.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan BB


stabil,pasien bebas dari tanda-tanda malnutrisi dan pasien dapat mengumpulkan energi untuk
beraktivitas kembali.

Kriteria Hasil :

a.       Asupan nutrisi terpenuhi.

b.      Asupan makanan dan cairan.    

c.       BB meningkat.

d.      Kekuatan dapat terkumpul kembali.

Intervensi :

a)      Kaji riwayat nutrisi termasuk makanan yang disukai

Rasional: mengidentifikasi atau menduga kemungkinan intervensi yang akan di beriakan

b)      Observasi dan catat masukan makanan pasien

Rasional: Mengawasi Jumlah kalori/ kualitas kekurangan konsumsi makanan

c)      Timbang berat badan setiap hari.

Rasional: Memberikan informasi tentang keadaan masukan diet atau penentuan kebutuhan nutrisi.

d)     Buat pilihan menu yang ada dan ijinkan pasien untuk mengontrol pilihan sebanyak mungkin.

Rasional: Untuk membuat klien meningkat kepercayaan dirinya dan merasa mengontrol lingkungan
lebih suka menyediakan makanan untuk dimakan.

e)      Berikan makanan tinggi kalori untuk peningkatan energi.

Rasional: Untuk meningkatkan atau mengembalikan tenaga klien

f)       Tingkatkan makanan yang mengandung protein,vitamin dan besi apabila dianjurkan.

Rasional: Untuk mempercepat proses pembentukan sel-sel yang rusak

g)      Pantau hasil pemeriksaan Lab. Misal: Hb/Ht, BUN, Albumin, Protein dan elektrolit serum

Rasional: meningkatkan efektivitas program pengobatan termasuk sumber diet nutrisi yang
dibutuhkan.

h)      Konsul pada ahli gizi


Rasional: memantau dalam membuat rencana diet untuk memenuhi kebutuhan klien.

i)        Kolaborasi, Berikan cairan IV hiperalimentasi dan lemak sesuai indikasi1. Kaji BB

Rasional: Memenuhi kebutuhan cairan atau nutrisi sampai masukan oral dapat dimulai.

3.      Retensi urine berhubungan dengan hiponatremia            .

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 X 24 jam, pengeluaran urin kembali
normal

Kriteria hasil :

a. Volume urine kembali normal.

b. Urin dapat keluar dengan lancar.

c. Na serum dapat kembali normal.

Intervensi :

a)      Kaji dengan mengidentifikasi dan penanganan penyebab yang mendasari

Rasional : memberikan petunjuk untuk intervensi dini.

b)      Batasi masukan cairan.

Rasional : menjaga keseimbangan cairan tubuh.

c)      Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan apabila tiba-tiba dirasakan

Rasional: meminimalkan retensi urine distensi yang berlebihan pada kandung kemih

d)     Awasi dan catat waktu dan jumlah tiap berkemih, perhatikan penurunan haluaran urine dan
perubahan berat jenisnya

Rasional: retensi urin meningkatkan tekanan saluran perkemihan atas, yang mempengaruhi fungsi
ginjal.

e)      Observasi aliran urin, perhatikan ukuran dan kekuatannya.

Rasional: berguna untuk mengevaluasi kemungkinan penyebab obstruksi dan pilihan intervensi

f)       Perhatikan pola berkemih dan awasi keluaran urine.

Rasional: dapat mengidentifikasi retensi urine bila berkemih sering dalam jumlah sedikit

g)      Periksa residu volume urin, setelah berkemih bila di indikasikan

Rasional: Tidak dapat mengosongkan kandung kemih secara lengkap bisa meningkatkan
kemungkinan infeksi dan nyeri.

h)      Pemberian lasix atau furosemid untuk memudahkan pengeluaran cairan.


Rasional : untuk mempermudah pengeluaran urin.

4.      Gangguan proses pikir berhubungan dengan penurunan kadar Na.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan tingkat
kesadaran dapat meningkat kembali.

Kriteria hasil :

a.       Pasien mampu berkomunikasi dengan baik.

b.      Pasien bisa meningkatkan konsentrasinya.

c.       Orientasi pasien kembali normal.

d.      Proses informasi bisa kembali lancar.

Intervensi:

a)      Kaji keadaan umum pasien.

Rasional: untuk mengetahui tingkat kesadaran akibat hiponatrimea

b)      Pantau tentang kebingungan, dan catat tingkat anxietas pasien.

Rasional: Rentang perhatian untuk berkonsentrasi mungkin memendek secara tajam yang
berpotensi terhadap terjadinya ansietas yang mempengaruhi prose pikir pasien

c)      Batasi aktivitas pasien dalam batas-batas wajar untuk mengumpulkan energi.

Rasional: Tingkah laku yang sesuai tidak akan memerlukan energi yang banyak dan mungkin
bermanfaat dalam proses belajar struktur internal.

d)     Monitor TTV.

Rasional: Tanda-tanda vital menjadi indikasi dari kondisi klien

e)      Monitor fungsi ginjal

Rasional: untuk mengetahui keadaan ginjal karena hiponatremi

f)       Kurangi stimulus yang merangsang, kritik yang negatif, argumentasi, dan konfrontasi

Rasional: Menurunkan resiko terjadinya respon penolakan atau pertengkaran

g)      Ajarkan untuk melakukan teknik relaksasi.

Rasional: Dapat membantu memfokuskan kembali perhatian klien dan untuk menurunkan
ansietaspada tingkat yang dapat ditanggulangi.

h)      Pertahankan harapan realitas dari kemampuan pasien untuk mengontrol tingkah lakunya sendiri,
memahami, dan mengingat informasiKaji keadaan umum pasien.
Rasional: Penting untuk mmepertahankan harapan dari kemampuan untuk mempertahankan
harapan,dan meningkatkan aktivitas rehabilitasi

                                                      (Diagnosa Keperawatan NANDA. 2005-2006)

DAFTAR PUSTAKA

Ellen, Lee, dkk, 2000, Pathofisiology, Phiadelpia: W, B, Soundres.

Black M. Matassarin and Jacob M.Ester, 1997. Medical Surgical Nursing Ed.3 . Philadelphia : W.B.
sounders.

Corwin,J.Elizabet. 2001. Patofisiologi:Sistem Endokrin. Jakarta : EGC.

Doengoes,Marilyn C. 2003. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan


Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3. Jakarta : EGC.

Price,Sylvia. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC.

Otto, shirley E. 2003.Buku saku keperawatan onkologi.  Jakarta: EGC.

Source - Diseases Database from http://www.wrongdiagnosis.com. Diakses

Tisdale , James & Miller, Douglas . 2010. Drug-Induced Diseases: Prevention, Detection,

and Management, page   892. U.S : heartside publishing.


Grabe, Mark A dkk. 2006. Buku saku dokter keluarga. Jakarta:EGC.
Sacher, Ronald A. 2004.  Tinjauan kasus hasil pemeriksaan laboratorium. Jakarta: EGC
Barbara K.Timby.2000.KeterampilanDasardan KonsepdiPerawatan Pasien.Jakarta:EGC

Anda mungkin juga menyukai