Anda di halaman 1dari 15

Referat Neuroinfeksi

SYNDROME OF INAPROPRIATE ANTIDIURETIK HORMONE

PADA MENINGITIS TUBERKULOSA

Ansia Tette

Pembimbing:

Dr.dr.Jumraini Tammasse, Sp.S

Dibawakan dalam rangka tugas stase neuroinfeksi pada bagian Ilmu Penyakit Saraf

Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

Makassar

2013
1
SYNDROME OF INAPROPRIATE ANTIDIURETIK HORMONE

PADA MENINGITIS TUBERKULOSA

Pendahuluan

Meningitis tuberkulosa termasuk salah satu tuberkulosa ekstrapulmoner dan


merupakan penyakit infeksi susunan saraf pusat (SSP) subakut dari infeksi primer di paru.
Menurut WHO (2003), diperkirakan 8 juta orang terjangkit tuberkulosa (TBC) setiap tahun
dan 2 juta di antaranya mengalami kematian. Pada tahun 1997 diperkirakan TBC
menyebabkan kematian lebih dari 1 juta penduduk di negara-negara Asia. Meningitis TBC
lebih sering pada anak terutama anak usia 0-4 tahun di daerah dengan prevalensi TBC
tinggi. Sebaliknya di daerah dengan prevalensi TBC rendah, meningitis TBC lebih sering
dijumpai pada orang dewasa.1

Meningitis tuberkulosa merupakan meningitis yang paling banyak menyebabkan


kematian dan kecacatan. Dibandingkan dengan meningitis bakterialis akut, perjalanan
penyakit meningitis TBC lebih lama dan perubahan atau kelainan dalam cairan
serebrospinalis (CSS) tidak begitu hebat. 1

Komplikasi neurologik dan sistemik adalah penyebab penting morbiditas dan


mortalitas pada meningitis tuberkulosa. Komplikasi yang umum terjadi antara lain adalah
hiponatremia, hidrosefalus, hemiparese, hemihipertesi, parese nervus kranial, kejang,
diabetes insipidus, tuberkuloma, myeloradikulopati, dan sindrom hipotalamik. Komplikasi
iatrogenik umum yang tersering adalah hepatotoksisitas akibat terapi antituberkulosis. 2

Hiponatremia merupakan komplikasi sistemik tersering pada meningitis tuberkulosa


mencapai 85%, dan salah satu penyebabnya adalah syndrome of inappropriate antidiuretic
hormone (SIADH). Diagnosis SIADH mungkin luput dari perkiraan karena gambaran
kliniknya seperti kejang, perubahan sensorik, pusing, dan gangguan kesadaran, adalah juga

2
manifestasi umum akibat meningitis tuberkulosa itu sendiri dan mungkin asimptomatik
sebelum kadar natrium serum turun di bawah 120 mEq/L.2,3

Hormon Antidiuretik (ADH) 4,5

Hormon antidiuretik (ADH) disintesis oleh neuron-neuron magnoseluler pada


nukleus supraoptik di hipotalamus. Setelah disintesis, ADH ditranspor melalui akson-akson
neuron ke bagian ujungnya, yang berakhir di kelenjar hipofise posterior. Bila nukleus
supraoptik dirangsang oleh peningkatan osmolaritas atau faktor lain, impuls saraf berjalan
ke bagian ujung saraf ini, yang akan mengubah permeabilitas membrannya dan
meningkatkan pemasukan kalsium. ADH yang disimpan dalam granula sekretorik (vesikel)
pada ujung-ujung saraf dilepaskan sebagai respon terhadap peningkatan pemasukan
kalsium. ADH yang dilepaskan kemudian dibawa dalam kapiler darah hipofisis posterior ke
dalam sirkulasi sistemik.

Gambar 1. Pengaturan hipofisis


posterior oleh hipotalamus

Area neuronal kedua yang penting dalam mengontrol osmolaritas dan sekresi ADH
terletak di sepanjang regio anteroventral ventrikel ketiga, yang disebut regio AV3V dimana
sekitar daerah AV3V dan nukleus supraoptik terdapat sel-sel neuronal yang dirangsang

3
oleh sedikit peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel; oleh sebab itu, istilah osmoreseptor
digunakan untuk menjelaskan neuron-neuron ini. Sel-sel ini mengirim sinyal saraf ke
nukleus supraoptik untuk mengontrol perangsangan dan sekresi ADH.

Hormon antidiuretik (ADH) bekerja pada tubulus dan duktus koligentes ginjal.
ADH menyebabkan peningkatan permeabilitas tubulus dan duktus koligentes terhadap air
menyebabkan sebagian besar air direapsorbsi sewaktu cairan tubulus melewati duktus
koligentes, sehingga air yang disimpan dalam tubuh akan lebih banyak dan menghasilkan
urin yang pekat. Tanpa ADH, maka tubulus dan duktus koligentes hampir tidak permeabel
terhadap air sehingga mencegah reabsorpsi air dalam jumlah yang signifikan dan karena itu
mempermudah keluarnya air yang sangat banyak ke dalam urin menyebabkan urin menjadi
sangat encer.

Gambar 2. Neuroanatomi hipotalamus,


tempat hormon antidiuretik (ADH)
disintesis, dan kelenjar hipofise posterior,
tempat ADH dilepaskan.

4
Pengaturan sekresi ADH 4,6

Terdapat beberapa mekanisme yang mempengaruhi pengaturan sekresi ADH yaitu :

1. Pengaturan osmolaritas cairan ekstrasel


Pengaturan osmolaritas cairan ekstrasel berhubungan erat dengan konsentrasi natrium
karena natrium merupakan ion terbanyak dalam ruang ekstrasel. Secara normal
konsentrasi natrium plasma diatur dalam batas yang kecil 140 sampai 145 mEq/L
dengan konsentrasi rata-rata sekitar 142 mEq/L. Bila osmolaritas (konsentrasi natrium
plasma) meningkat di atas normal akibat kekurangan air, sistem umpan balik ini akan
bekerja sebagai berikut:
- Peningkanan osmolaritas cairan ekstrasel (yang secara praktis berarti peningkatan
konsentrasi natrium plasma) menyebabkan osmoreseptor mengkerut.
- Pengerutan sel osmoreseptor menyebabkan sel tersebut dirangsang, yang akan
mengirimkan sinyal saraf ke nukleus supraoptik, yang kemudian meneruskan
sinyal ini menyusuri tangkai kelenjar hipofise ke hipofisis posterior.
- Potensial aksi yang disalurkan ke hipofisis posterior akan merangsang pelepasan
ADH yang disimpan dalam granula sekretorik (vesikel) ujung saraf.
- ADH memasuki aliran darah dan ditranspor ke ginjal, tempat ADH meningkatkan
permeabilitas air di bagian akhir tubulus distal, tubulus koligentes kortikalis, dan
duktus koligentes medula.
- Peningkatan permeabilitas air di segmen nefron distal menyebabkan peningkatan
reabsorbsi air dan ekskresi sejumlah kecil urin yang pekat.

Jadi, air disimpan dalam tubuh sedangkan natrium dan zat terlarut lainnya terus
dikeluarkan dalam urin. Hal ini menyebabkan pengenceran zat terlarut dalam cairan
ekstrasel yang akan memperbaiki kepekatan cairan ekstrasel.

Terjadi serangkaian kejadian yang berlawanan saat cairan ekstrasel menjadi terlalu
encer (hipo-osmotik), dimana lebih sedikit ADH yang terbentuk, lalu tubulus ginjal
mengurangi permeabilitasnya terhadap air sehingga lebih sedikit air yang direabsorbsi

5
dan sejumlah besar urin encer dibentuk. Hal tersebut kemudian memekatkan cairan
tubuh dan mengembalikan osmolaritas plasma kembali ke nilai normal

Gambar 3. Mekanisme umpan


balik osmoreseptor-ADH untuk
pengaturan osmolaritas cairan
ekstrasel sebagai respon terhadap
kekurangan air. 4

2. Stimulasi refleks kardiovaskuler


Pelepasan ADH juga dikontrol oleh refleks-refleks kardiovaskuler yang berespon
terhadap penurunan tekanan darah dan/atau volume darah, meliputi (1) refleks
baroreseptor arterial dan (2) refleks kardiopulmonal. Jalur refleks ini berasal dari
daerah sirkulasi bertekanan tinggi, seperti arkus aorta dan sinus karotikus, dan dari
daerah bertekanan rendah terutama di atrium jantung. Rangsangan aferen dibawa oleh

6
nervus vagus dan nervus glossofaringeus dengan sinaps-sinaps di nukleus traktus
solitarius. Tonjolan dari nukleus ini meneruskan sinyal ke nukleus hipotalamik yang
mengatur sintesis dan sekresi ADH. Bila tekanan darah dan volume darah berkurang
seperti yang terjadi selama perdarahan, peningkatan sekresi ADH akan menyebabkan
peningkatan reabsorbsi cairan oleh ginjal, yang akan membantu mengembalikan
tekanan darah dan volume darah ke keadaan normal.
3. Stimulasi lain untuk sekresi ADH
Sekresi ADH dapat juga ditingkatkan atau diturunkan oleh stimulus lain terhadap
sistem saraf pusat dan oleh berbagai obat dan hormon. Nausea, adalah stimulus
yang kuat untuk pelepasan ADH yang dapat meningkat sebanyak 100 kali normal
setelah muntah. Obat-obatan seperti alkohol, menghambat pelepasan ADH.

SIADH pada meningitis tuberkulosa.

Meningitis tuberkulosa disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis jenis hominis,


jarang oleh jenis bovinum atau aves, selalu terjadi sekunder dari proses tuberkulosa dimana
fokus primernya berada di luar otak. Fokus primer biasanya di paru tetapi bisa juga pada
kelenjar getah bening, tulang, sinus nasalis, traktus gastrointestinal, ginjal, dan
sebagainya.1,7

Terjadinya meningitis bukan karena peradangan langsung pada selaput otak secara
hematogen, tetapi melalui pembentukan tuberkel-tuberkel kecil (beberapa millimeter
sampai 1 sentimeter) berwarna putih, terdapat pada permukaan otak. Tuberkel tersebut
selanjutnya melunak, pecah, dan masuk dalam ruang subaraknoid dan ventrikel sehingga
terjadi peradangan difus. Penyebaran kuman dalam ruang subaraknoid menyebabkan reaksi
radang pada piamater dan araknoid, CSS, ruang subaraknoid, dan ventrikel.1,7

Akibat reaksi radang ini maka terbentuk eksudat kental, serofibrinosa dan gelatinosa
oleh kuman-kuman serta toksin yang mengandung sel-sel mononuklear, limfosit, sel
plasma, makrofag, sel raksasa, dan fibroblast. Eksudat ini tidak terbatas di dalam ruang
subaraknoid saja tetapi terutama berkumpul di dasar tengkorak. Eksudat juga menyebar

7
melalui pembuluh-pembuluh darah piamater dan menyerang jaringan otak di bawahnya
sehingga proses sebenarnya adalah meningoensefalitis. Eksudat juga dapat menyumbat
akuaduktus, fissura sylvii, foramen magendi, foramen luschka, dengan akibat terjadinya
hidrosefalus, edema papil, akibat peningkatan tekanan intrakranial. Kelainan ini juga terjadi
pada pembuluh-pembuluh darah yang berjalan di dalam ruang subaraknoid berupa
kongesti, peradangan dan penyumbatan, sehingga selain arteritis dan flebitis juga
menyebabkan infark otak terutama pada bagian korteks, medula oblongata, dan ganglia
basalis. 1,7

Sindrom inappropriate hormon antidiuretik (SIADH) adalah keadaan dimana


terdapat konsentrasi hormon antidiuretik yang tinggi dalam sirkulasi yang tidak sesuai
dengan rangsangan osmolalitas plasma. Dengan demikian, walaupun intake air normal,
fungsi ginjal dan adrenal normal, dan tidak ada bukti gagal jantung atau deplesi cairan,
tetapi terdapat retensi air yang selanjutnya menyebabkan hiponatremia dan hipo-
osmolalitas. 6,8

Pada meningitis tuberkulosa, terjadinya SIADH dihubungkan dengan sekresi ADH


akibat inflamasi atau peradangan meningeal yang lebih banyak terjadi pada dasar otak, atau
oleh granuloma tuberkular dan basil tuberkulosa itu sendiri, serta reaksi akibat stres atau
hipoksia. 3,9

Manifestasi klinis dan laboratorium 10

Gejala SIADH pada meningitis tuberkulosa bervariasi terkait dengan hiponatremia,


dan umumnya berhubungan dengan tingkat keparahan hiponatremia, kecepatan perubahan
konsentrasi natrium plasma, dan gradien osmotik antara cairan intraseluler dan cairan
ekstraseluler. Pasien dengan hiponatremia ringan (konsentrasi natrium plasma >130
mmol/l) secara tradisional dianggap sebagai asimtomatik, meskipun asumsi ini masih
diperdebatkan. Pada konsentrasi natrium plasma antara 125 dan 130 mmol/l, dapat terjadi
anoreksia, mual, muntah dan nyeri perut. Ketika konsentrasi natrium plasma turun antara
115 dan 125 mmol/l, gejala-gejala neurologi yang terjadi adalah agitasi, kebingungan,
halusinasi, inkontinensia dan lainnya. Hiponatremia di bawah 115 mmol/l dapat

8
menyebabkan gejala neurologis yang serius, seperti kejang dan koma , karena peningkatan
tekanan intrakranial. Pada tahap ini, hiponatremia merupakan keadaan darurat medis yang
membutuhkan perawatan segera. Gejala muncul jauh lebih cepat jika penurunan natrium
plasma terjadi lebih cepat. Hiponatremia kronis dapat hadir sebagai kondisi yang relatif
tanpa gejala, bahkan dalam kasus di mana terdapat hiponatremia parah. Dalam
hiponatremia akut, konsekuensi patologis utama adalah perkembangan edema serebral,
yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, herniasi otak, hipoksia dan bahkan
kematian. Pasien dengan hiponatremia kronis menunjukkan gambaran klinis yang tidak
jelas, meskipun tingkat hiponatremianya parah karena adanya mekanisme adaptif otak.
Mekanisme adaptif awal adalah hilangnya cairan intraserebral, dengan menurunnya natrium
dan kalium untuk mencegah edema serebral. Kemudian, glutamat, myo-inositol, N-
acetylaspartate, aspartat, kreatine, taurin, asam g-aminobutyric dan phosphoethanolamine
hilang dari otak, lebih lanjut menyebabkan penurunan osmolalitas intraserebral. Hal ini
memungkinkan keseimbangan osmolalitas plasma dan mencegah perkembangan edema
serebral. Meskipun mekanisme adaptif melindungi otak terhadap edema serebral,
hiponatremia kronis tidak sepenuhnya jinak, sebagian adaptasi tampaknya gagal pada
beberapa pasien, terutama pada pasien usia lanjut.

9
Gambar 4. 11,12

Penatalaksanaan

Penatalaksanan SIADH diprioritaskan kepada koreksi kondisi yang mengancam


jiwa, yang biasanya menyertai gambaran gejala akut hiponatremia. Pembatasan cairan
kurang dari kecepatan ekskresi air kemih telah dianjurkan sebagai pengobatan awal pada
pasien stabil tanpa gejala. Karena sulitnya tingkat kepatuhan pasien dan keterlambatan

10
tindakan terapeutik, infus saline dapat digunakan sebagai landasan pengobatan. Larutan
saline isotonik (0,9%) harus diberikankan pada pasien dengan gejala ringan dan kasus-
kasus yang sulit dibedakan antara status hipovolemik dan euvolemik. Selain itu, infus
larutan isotonik pada pasien dengan SIADH dapat tetap meninggikan osmolalitas urin,
menyebabkan pengenceran lebih lanjut dan penurunan kadar natrium serum. Fenomena ini,
dikenal juga sebagai desalinasi, tergantung pada retensi air elektrolit bebas yang terjadi
ketika osmolalitas solusi yang diinfus lebih rendah dari osmolalitas urin pasien.11

Kondisi akut dan lebih parah membutuhkan pemberian larutan saline hipertonik (3
atau 5 %); kecepatan koreksi harus adekuat dan lebih lambat dari 12 mmol/l/hari karena
risiko sindrom demielinasi osmotik. Demielinasi osmotik menyebabkan mielinolisis
ireversibel baik pada pontine sentral maupun ekstrapontine. Dalam praktek klinis strategi
yang paling sederhana adalah pemberian infus larutan garam hipertonik 3% pada kecepatan
1-2 ml/kgBB/jam, meningkatkan kadar natrium serum sebesar 0,5 mmol/l/jam, dan monitor
kadar natrium plasma setiap 2 jam. Infus dapat ditingkatkan sampai dengan 4 ml/kgBB/jam
untuk jangka waktu terbatas pada keadaan koma atau kejang. Konsentrasi natrium tidak
harus naik melebihi kadar 2 mmol/l/jam dan 12 mmol/l/24jam; menghindari peningkatan
lebih dari 18 mmol/l selama 48 jam pertama dan tidak melebihi 8 mmol/l selama 24 jam
pertama pengobatan pada pasien diabetes atau kecanduan alkohol yang berisiko lebih besar
terjadi mielinolisis.11

Furosemide telah dilaporkan sebagai pengobatan aditif untuk SIADH, efektif dalam
tahap awal karena kemampuannya dalam meningkatkan ekskresi air bebas melalui induksi
diuresis hipertonik dan hilangnya gradient konsentrasi medulla. Namun, tampaknya bahwa
strategi ini dapat efektif hanya selama koreksi fase akut. Pilihan terapi untuk SIADH
namun tidak banyak digunakan dalam praktek klinis rutin yaitu Demeclocycline
hidroklorida (300-600 mg dua kali sehari), merupakan derivat tetrasiklin, namun
mekanismenya belum secara penuh diketahui, menginduksi diabetes insipidus diabetes
nefrogenik, mengurangi osmolalitas urine dan meningkatkan kadar natrium serum.
sayangnya, penggunaannya telah dilarang karena efek samping yang sering, seperti
mual, fotosensitivitas kulit dan nefrotoksisitas. Lithium karbonat juga menyebabkan

11
diabetes insipidus nefrogenik dan mengurangi kemampuan ginjal mengkonsentrasikan urin
melalui penurunan regulasi AQP2; karena berhubungan dengan toksisitas ginjal dan nefritis
interstitial, obat ini telah ditinggalkan sebagai obat untuk SIADH. Intake urea oral (15-
60g/hari) efektif dalam meningkatkan klirins air bebas dan berguna pada anak-anak yang
mengalami SIADH, tetapi pemberian jangka panjang sangat dibatasi oleh karena kurangnya
palatabilitas dan rasanya yang pahit. Baru-baru ini, pilihan terapi baru telah dievaluasi,
yaitu antagonis reseptor vasopresin, yang disebut vaptans.6,8,11

Vaptans, nonpeptide vasopressin receptor antagonist adalah obat kelas baru yang
saat ini sedang dalam penelitian untuk terapi SIADH. Molekul ini memblok reseptor ADH
V2 dan menurunkan AQP2 pada duktus koligentes ginjal sehingga tidak peka terhadap
ADH dan kurang permeabel terhadap air dan selanjutnya meningkatkan ekskresi air bebas
pada urin. Beberapa golongan obat ini seperti conivaptan, satavaptan, tolvaptan, dan
lixivaptan telah dilaporkan dapat meningkatkan natrium serum pasien hiponatremia.
Sampai saat ini hanya dua vaptan yang telah beredar yaitu conivaptan untuk pemberian
intravena, dan tolvaptan sebagai tablet oral. 11

12
Gambar 5. Algoritma terapi SIADH-dihubungkan dengan hiponatremia\

13
Prognosa

Meskipun mortalitas meningitis tuberkulosa cukup tinggi tapi tidak berhubungan


langsung dengan SIADH karena banyak faktor yang berperan pada luaran akhirnya. Namun
demikian, mortalitas dalam 72 jam pertama berhubungan kuat dengan SIADH. Pada pasien
meningitis tuberkulosa yang didiagnosa dini SIADH dan dilakukan restriksi cairan sejak
awal, luarannya lebih baik dan pada beberapa kasus dapat bertahan lebih dari 72 jam.
Dibutuhkan pengetahuan akan tingginya insiden SIADH pada meningitis tuberkulosa,
diagnosis dini, dan restriksi cairan yang tepat dari awal. Kembalinya kesadaran setelah
koreksi osmolalitas plasma mungkin merupakan tanda prognostik yang baik pada kondisi
ini.3,8

14
Daftar Pustaka

1. Meiti F. Meningitis tuberkulosa. Infeksi pada sistem saraf. Kelompok studi neuro infeksi.
Pusat penerbitan dan percetakan unair. 2011. Hal 13-20
2. Anderson NE, Somaratne J, Mason DF. Neurological and systemic complications of
tuberculous meningitis and its treatment at Auckland City Hospital, New Zealand. 2010.
Journal of clinical Neuriscience 17:1114-1118.
3. Singh BS, Patwari AK, Deb M. Serum sodium and osmolal changes in tuberculous
meningitis. Indian Pediatrics. Vol.31. 1994
4. Guyton AC. Pengaturan osmolalitas cairan ekstrasel dan konsentrasi natrium. Buku ajar
fisiologi kedokteran. Penerbit buku kedokteran EGC. Edisi 11. 2008. Hal 366-382.
5. Guyton AC. Hormon-hormon hipofisis dan pengaturannya oleh hipotalamus. Buku ajar
fisiologi kedokteran. Penerbit buku kedokteran EGC. Edisi 11. 2008. Hal 964-967.
6. Dagogo S, Jack MD. Posterior pituitary (neurohypofisis)
7. Ropper AH, Brown RH. Tuberculous Meningitis. In Adam’s and Victor’s. Principles of
Neurology. Eigth edition. Mac Graw Hill. 2005. Pg 609-612.
8. Smith J, et al. Hypersecretion of anti-diuretic hormone due to tuberculous meningitis.
Postgraduate Medical Journal (January 1980) 56, 41-44
9. Danial A. Meningitis tuberkulosa. Bagian ilmu penyakit saraf, Universitas Hasanuddin.
10. Hannon MJ, Thompson CJ. The syndrome of inappropriate antidiuretic hormone:
prevalence, causes and consequences. European Journal of Endocrinology (2010) 162
S5–S12
11. Esposito P, et al. The Syndrome of Inappropriate Antidiuresis: Pathophysiology, Clinical
Management and New Therapeutic Options. Nephron Clin Pract 2011;119:c62–c73 DOI:
10.1159/000324653
12. Kim DK, Joo KW. Hyponatremia in Patients with Neurologic Disorders. Electrolytes

Blood Press 7:51-57, 2009ㆍdoi: 10.5049/EBP.2009.7.2.51

15

Anda mungkin juga menyukai