Ansia Tette
Pembimbing:
Dibawakan dalam rangka tugas stase neuroinfeksi pada bagian Ilmu Penyakit Saraf
Makassar
2013
1
SYNDROME OF INAPROPRIATE ANTIDIURETIK HORMONE
Pendahuluan
2
manifestasi umum akibat meningitis tuberkulosa itu sendiri dan mungkin asimptomatik
sebelum kadar natrium serum turun di bawah 120 mEq/L.2,3
Area neuronal kedua yang penting dalam mengontrol osmolaritas dan sekresi ADH
terletak di sepanjang regio anteroventral ventrikel ketiga, yang disebut regio AV3V dimana
sekitar daerah AV3V dan nukleus supraoptik terdapat sel-sel neuronal yang dirangsang
3
oleh sedikit peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel; oleh sebab itu, istilah osmoreseptor
digunakan untuk menjelaskan neuron-neuron ini. Sel-sel ini mengirim sinyal saraf ke
nukleus supraoptik untuk mengontrol perangsangan dan sekresi ADH.
Hormon antidiuretik (ADH) bekerja pada tubulus dan duktus koligentes ginjal.
ADH menyebabkan peningkatan permeabilitas tubulus dan duktus koligentes terhadap air
menyebabkan sebagian besar air direapsorbsi sewaktu cairan tubulus melewati duktus
koligentes, sehingga air yang disimpan dalam tubuh akan lebih banyak dan menghasilkan
urin yang pekat. Tanpa ADH, maka tubulus dan duktus koligentes hampir tidak permeabel
terhadap air sehingga mencegah reabsorpsi air dalam jumlah yang signifikan dan karena itu
mempermudah keluarnya air yang sangat banyak ke dalam urin menyebabkan urin menjadi
sangat encer.
4
Pengaturan sekresi ADH 4,6
Jadi, air disimpan dalam tubuh sedangkan natrium dan zat terlarut lainnya terus
dikeluarkan dalam urin. Hal ini menyebabkan pengenceran zat terlarut dalam cairan
ekstrasel yang akan memperbaiki kepekatan cairan ekstrasel.
Terjadi serangkaian kejadian yang berlawanan saat cairan ekstrasel menjadi terlalu
encer (hipo-osmotik), dimana lebih sedikit ADH yang terbentuk, lalu tubulus ginjal
mengurangi permeabilitasnya terhadap air sehingga lebih sedikit air yang direabsorbsi
5
dan sejumlah besar urin encer dibentuk. Hal tersebut kemudian memekatkan cairan
tubuh dan mengembalikan osmolaritas plasma kembali ke nilai normal
6
nervus vagus dan nervus glossofaringeus dengan sinaps-sinaps di nukleus traktus
solitarius. Tonjolan dari nukleus ini meneruskan sinyal ke nukleus hipotalamik yang
mengatur sintesis dan sekresi ADH. Bila tekanan darah dan volume darah berkurang
seperti yang terjadi selama perdarahan, peningkatan sekresi ADH akan menyebabkan
peningkatan reabsorbsi cairan oleh ginjal, yang akan membantu mengembalikan
tekanan darah dan volume darah ke keadaan normal.
3. Stimulasi lain untuk sekresi ADH
Sekresi ADH dapat juga ditingkatkan atau diturunkan oleh stimulus lain terhadap
sistem saraf pusat dan oleh berbagai obat dan hormon. Nausea, adalah stimulus
yang kuat untuk pelepasan ADH yang dapat meningkat sebanyak 100 kali normal
setelah muntah. Obat-obatan seperti alkohol, menghambat pelepasan ADH.
Terjadinya meningitis bukan karena peradangan langsung pada selaput otak secara
hematogen, tetapi melalui pembentukan tuberkel-tuberkel kecil (beberapa millimeter
sampai 1 sentimeter) berwarna putih, terdapat pada permukaan otak. Tuberkel tersebut
selanjutnya melunak, pecah, dan masuk dalam ruang subaraknoid dan ventrikel sehingga
terjadi peradangan difus. Penyebaran kuman dalam ruang subaraknoid menyebabkan reaksi
radang pada piamater dan araknoid, CSS, ruang subaraknoid, dan ventrikel.1,7
Akibat reaksi radang ini maka terbentuk eksudat kental, serofibrinosa dan gelatinosa
oleh kuman-kuman serta toksin yang mengandung sel-sel mononuklear, limfosit, sel
plasma, makrofag, sel raksasa, dan fibroblast. Eksudat ini tidak terbatas di dalam ruang
subaraknoid saja tetapi terutama berkumpul di dasar tengkorak. Eksudat juga menyebar
7
melalui pembuluh-pembuluh darah piamater dan menyerang jaringan otak di bawahnya
sehingga proses sebenarnya adalah meningoensefalitis. Eksudat juga dapat menyumbat
akuaduktus, fissura sylvii, foramen magendi, foramen luschka, dengan akibat terjadinya
hidrosefalus, edema papil, akibat peningkatan tekanan intrakranial. Kelainan ini juga terjadi
pada pembuluh-pembuluh darah yang berjalan di dalam ruang subaraknoid berupa
kongesti, peradangan dan penyumbatan, sehingga selain arteritis dan flebitis juga
menyebabkan infark otak terutama pada bagian korteks, medula oblongata, dan ganglia
basalis. 1,7
8
menyebabkan gejala neurologis yang serius, seperti kejang dan koma , karena peningkatan
tekanan intrakranial. Pada tahap ini, hiponatremia merupakan keadaan darurat medis yang
membutuhkan perawatan segera. Gejala muncul jauh lebih cepat jika penurunan natrium
plasma terjadi lebih cepat. Hiponatremia kronis dapat hadir sebagai kondisi yang relatif
tanpa gejala, bahkan dalam kasus di mana terdapat hiponatremia parah. Dalam
hiponatremia akut, konsekuensi patologis utama adalah perkembangan edema serebral,
yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, herniasi otak, hipoksia dan bahkan
kematian. Pasien dengan hiponatremia kronis menunjukkan gambaran klinis yang tidak
jelas, meskipun tingkat hiponatremianya parah karena adanya mekanisme adaptif otak.
Mekanisme adaptif awal adalah hilangnya cairan intraserebral, dengan menurunnya natrium
dan kalium untuk mencegah edema serebral. Kemudian, glutamat, myo-inositol, N-
acetylaspartate, aspartat, kreatine, taurin, asam g-aminobutyric dan phosphoethanolamine
hilang dari otak, lebih lanjut menyebabkan penurunan osmolalitas intraserebral. Hal ini
memungkinkan keseimbangan osmolalitas plasma dan mencegah perkembangan edema
serebral. Meskipun mekanisme adaptif melindungi otak terhadap edema serebral,
hiponatremia kronis tidak sepenuhnya jinak, sebagian adaptasi tampaknya gagal pada
beberapa pasien, terutama pada pasien usia lanjut.
9
Gambar 4. 11,12
Penatalaksanaan
10
tindakan terapeutik, infus saline dapat digunakan sebagai landasan pengobatan. Larutan
saline isotonik (0,9%) harus diberikankan pada pasien dengan gejala ringan dan kasus-
kasus yang sulit dibedakan antara status hipovolemik dan euvolemik. Selain itu, infus
larutan isotonik pada pasien dengan SIADH dapat tetap meninggikan osmolalitas urin,
menyebabkan pengenceran lebih lanjut dan penurunan kadar natrium serum. Fenomena ini,
dikenal juga sebagai desalinasi, tergantung pada retensi air elektrolit bebas yang terjadi
ketika osmolalitas solusi yang diinfus lebih rendah dari osmolalitas urin pasien.11
Kondisi akut dan lebih parah membutuhkan pemberian larutan saline hipertonik (3
atau 5 %); kecepatan koreksi harus adekuat dan lebih lambat dari 12 mmol/l/hari karena
risiko sindrom demielinasi osmotik. Demielinasi osmotik menyebabkan mielinolisis
ireversibel baik pada pontine sentral maupun ekstrapontine. Dalam praktek klinis strategi
yang paling sederhana adalah pemberian infus larutan garam hipertonik 3% pada kecepatan
1-2 ml/kgBB/jam, meningkatkan kadar natrium serum sebesar 0,5 mmol/l/jam, dan monitor
kadar natrium plasma setiap 2 jam. Infus dapat ditingkatkan sampai dengan 4 ml/kgBB/jam
untuk jangka waktu terbatas pada keadaan koma atau kejang. Konsentrasi natrium tidak
harus naik melebihi kadar 2 mmol/l/jam dan 12 mmol/l/24jam; menghindari peningkatan
lebih dari 18 mmol/l selama 48 jam pertama dan tidak melebihi 8 mmol/l selama 24 jam
pertama pengobatan pada pasien diabetes atau kecanduan alkohol yang berisiko lebih besar
terjadi mielinolisis.11
Furosemide telah dilaporkan sebagai pengobatan aditif untuk SIADH, efektif dalam
tahap awal karena kemampuannya dalam meningkatkan ekskresi air bebas melalui induksi
diuresis hipertonik dan hilangnya gradient konsentrasi medulla. Namun, tampaknya bahwa
strategi ini dapat efektif hanya selama koreksi fase akut. Pilihan terapi untuk SIADH
namun tidak banyak digunakan dalam praktek klinis rutin yaitu Demeclocycline
hidroklorida (300-600 mg dua kali sehari), merupakan derivat tetrasiklin, namun
mekanismenya belum secara penuh diketahui, menginduksi diabetes insipidus diabetes
nefrogenik, mengurangi osmolalitas urine dan meningkatkan kadar natrium serum.
sayangnya, penggunaannya telah dilarang karena efek samping yang sering, seperti
mual, fotosensitivitas kulit dan nefrotoksisitas. Lithium karbonat juga menyebabkan
11
diabetes insipidus nefrogenik dan mengurangi kemampuan ginjal mengkonsentrasikan urin
melalui penurunan regulasi AQP2; karena berhubungan dengan toksisitas ginjal dan nefritis
interstitial, obat ini telah ditinggalkan sebagai obat untuk SIADH. Intake urea oral (15-
60g/hari) efektif dalam meningkatkan klirins air bebas dan berguna pada anak-anak yang
mengalami SIADH, tetapi pemberian jangka panjang sangat dibatasi oleh karena kurangnya
palatabilitas dan rasanya yang pahit. Baru-baru ini, pilihan terapi baru telah dievaluasi,
yaitu antagonis reseptor vasopresin, yang disebut vaptans.6,8,11
Vaptans, nonpeptide vasopressin receptor antagonist adalah obat kelas baru yang
saat ini sedang dalam penelitian untuk terapi SIADH. Molekul ini memblok reseptor ADH
V2 dan menurunkan AQP2 pada duktus koligentes ginjal sehingga tidak peka terhadap
ADH dan kurang permeabel terhadap air dan selanjutnya meningkatkan ekskresi air bebas
pada urin. Beberapa golongan obat ini seperti conivaptan, satavaptan, tolvaptan, dan
lixivaptan telah dilaporkan dapat meningkatkan natrium serum pasien hiponatremia.
Sampai saat ini hanya dua vaptan yang telah beredar yaitu conivaptan untuk pemberian
intravena, dan tolvaptan sebagai tablet oral. 11
12
Gambar 5. Algoritma terapi SIADH-dihubungkan dengan hiponatremia\
13
Prognosa
14
Daftar Pustaka
1. Meiti F. Meningitis tuberkulosa. Infeksi pada sistem saraf. Kelompok studi neuro infeksi.
Pusat penerbitan dan percetakan unair. 2011. Hal 13-20
2. Anderson NE, Somaratne J, Mason DF. Neurological and systemic complications of
tuberculous meningitis and its treatment at Auckland City Hospital, New Zealand. 2010.
Journal of clinical Neuriscience 17:1114-1118.
3. Singh BS, Patwari AK, Deb M. Serum sodium and osmolal changes in tuberculous
meningitis. Indian Pediatrics. Vol.31. 1994
4. Guyton AC. Pengaturan osmolalitas cairan ekstrasel dan konsentrasi natrium. Buku ajar
fisiologi kedokteran. Penerbit buku kedokteran EGC. Edisi 11. 2008. Hal 366-382.
5. Guyton AC. Hormon-hormon hipofisis dan pengaturannya oleh hipotalamus. Buku ajar
fisiologi kedokteran. Penerbit buku kedokteran EGC. Edisi 11. 2008. Hal 964-967.
6. Dagogo S, Jack MD. Posterior pituitary (neurohypofisis)
7. Ropper AH, Brown RH. Tuberculous Meningitis. In Adam’s and Victor’s. Principles of
Neurology. Eigth edition. Mac Graw Hill. 2005. Pg 609-612.
8. Smith J, et al. Hypersecretion of anti-diuretic hormone due to tuberculous meningitis.
Postgraduate Medical Journal (January 1980) 56, 41-44
9. Danial A. Meningitis tuberkulosa. Bagian ilmu penyakit saraf, Universitas Hasanuddin.
10. Hannon MJ, Thompson CJ. The syndrome of inappropriate antidiuretic hormone:
prevalence, causes and consequences. European Journal of Endocrinology (2010) 162
S5–S12
11. Esposito P, et al. The Syndrome of Inappropriate Antidiuresis: Pathophysiology, Clinical
Management and New Therapeutic Options. Nephron Clin Pract 2011;119:c62–c73 DOI:
10.1159/000324653
12. Kim DK, Joo KW. Hyponatremia in Patients with Neurologic Disorders. Electrolytes
15