Anda di halaman 1dari 11

Kafein. Kafein menghambat kerja hormon antidiuretik (ADH).

Hormon itu
memastikan bahwa tidak terlalu banyak air dalam urin. Hambatan terhadap ADH
membuat produksi air urin meningkat. Disarankan bahwa untuk setiap cangkir kopi
Anda meminum segelas air putih untuk mengisi kekurangan tersebut.

Di dalam kopi, teh dan coklat terdapat senyawa kimia dari golongan yang sama yaitu xantin .
Derivat xantin terdiri dari kafein, teofilin dan teobromin . Di dalam kopi disebut kafein , teh
mengandung kafein dan teofilin, sedangkan coklat mengandung kafein dan teobromin.
Di dalam tubuh, derivat xantin dapat menyebabkan perangsangan terhadap susunan saraf pusat,
sistem pernafasan, sistem pembuluh darah dan jantung. Itulah sebabnya jika kita minum
minuman yang mengandung derivat xantin dalam jumlah wajar, dapat menyebabkan tubuh terasa
lebih segar dan energik..
Pada sistem pembuluh darah dan jantung, senyawa xantin khususnya teofilin menyebabkan
perangsangan jantung dan mengurangi tahanan pembuluh darah, sehingga meningkatkan aliran
darah ke berbagai organ tubuh. Perangsangan pada jantung akan menyebabkan kenaikan
frekuensi denyut jantung, meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung, menurunkan jumlah
darah yang masuk ke jantung dan melebarkan pembuluh darah jantung sehingga meninggikan
kerja jantung. Namun, kalau kadar yang dipergunakan lebih tinggi, pada individu tertentu yang
sensitif dapat menyebabkan denyut jantung yang tidak teratur.
Kafein dan teofilin, terutama kafein secara tidak langsung merangsang pula sistem simatoadrenal
yang dapat menaikkan tekanan darah baik sistolik (tekanan ketika darah dipompa keluar dari
jantung) maupun diastolik (tekanan ketika darah masuk jantung). Oleh karena itu bagi penderita
hipertensi harus hati-hati dalam mengkonsumsi obat yang mengandung xantin , meminum teh,
kopi, coklat, ataupun soft drink tertentu ( cola) serta minuman suplemen yang mengandung
senyawa xantin.
Dengan adanya peningkatan aliran darah ke ginjal, maka produksi urin bertambah, akibatnya
setelah seseorang meminum senyawa xantin akan menyebabkan kandung kencing cepat
penuh.sehingga akan cenderung untuk bolak-balik ke kamar mandi.
Sumber: http://id.shvoong.com/medicine-and-health/epidemiology-public-health/2110822pengaruh-kopi-teh-dan-coklat/#ixzz1qD7Mkbt8
HORMON ADH
Fungsi Fisiologis ADH
Penyunyikan sejumlah ADH yang sangat sedikit sebesar 2 nanogram dapat
menyebabkan berkurangnya ekskresi air oleh ginjal (antidiuresis). Singkatnya, bila hormon ADH
ini tidak ada, maka tubulus dan duktus koligentes hampir tidak permeabel terhadap air, sehingga
mencegah reabsorbsi air dalam jumlah yang signifikan dan karena itu mempermudah keluarnya
air yang sangat banyak ke dalam urin, yang juga menyebabkan urin menjadi sangat encer.
Sebaliknya, bila ada ADH, maka permeabilitas tubulus dan duktus koligentes terhadap air sangat

meningkat dan menyebabkan sebagian besar air direabsorbsi sewaktu cairan tubulus melewati
duktus koligentes, sehingga air yang disimpan dalam tubuh akan lebih banyak dan menghasilkan
urin yang sangat pekat.
Mekanisme yang tepat mengenai kerja ADH pada duktus untuk meningkatkan
permeabilitas duktus koligentes hanya diketahui sebagian. Tanpa ADH, membran luminal sel
epitel tubulus pada duktus koligentes hampir tidak permeabel terhadap air. Akan tetapi, di dalam
membran sel, terdapat sejumlah besar vesikel khusus yang mempunyai pori-pori yang sangat
permeabel terhadap air, yang disebut aquaporin. Bila ADH bekerja pada sel, ADH mula-mula
akan bergabung dengan reseptor membran yang mengaktifkan adenilil siklase dan menyebabkan
pembentukan cAMP di dalam sitoplasma sel tubulus. cAMP ini menyebabkan fosforilasi elemen
di dalam vesikel khusus, yang kemudian menyebabkan vesikel masuk ke dalam membran sel
apikal, sehingga menyediakan banyak daerah yang bersifat permeabel terhadap air. Semua proses
ini terjadi dalam waktu 5 sampai 10 menit. Kemudian, bila tidak ada ADH, seluruh proses
berbalik dalam waktu 5 sampai 10 menit berikutnya. Jadi, proses ini secara sementara
menyediakan banyak pori baru yang mempermudah difusi bebas air dari cairan tubulus melewati
sel epitel tubulus dan masuk ke dalam cairan interstisial ginjal. Kemudian air diabsorbsi dari
tubulus dan duktus koligentes dengan cara osmosis.
Pengaturan produksi ADH
Pengaturan osmosis
Bila larutan elektrolit yang pekat disuntikan ke dalam arteri yang menyuplai hipotalamus,
neuron ADH yang terdapat di dalam nukleus supraoptik dan paraventrikular segera menjalarkan
impuls ke kelenjar hipofisis posterior agar melepaskan banyak ADH ke dalam sirkulasi darah,
kadang-kadang peningkatan sekresi ADH dapat mencapai 20 kali dari normal. Sebalikanya,
penyuntikan larutan encer ke dalam arteri akan menyebabkan penghentian impuls sehingga
sekresi ADH hampir terhenti sama sekali. Jadi, dalam waktu beberapa menit saja, konsentrasi
ADH dalam cairan tubuh dapat berubah dari sedikit menjadi banyak atau sebaliknya.
Cara pengaturan sekresi ADH oleh konsentrasi osmotik cairan ekstrasel masih belum
diketahui secara tepat. Namun, di suatu tempat di hipotalamus atau di dekat hipotalamus,
terdapat reseptor neuron yang sudah dimodifikasi yang disebut osmoreseptor. Bila cairan
ekstrasel menjadi terlalu pekat, cairan akan ditarik dengan cara osmosis keluar dari sel
osmoreseptor, sehingga ukurannya berkurang dan menimbulkan sinyal saraf yang tepat di dalam
hipotalamus agar menghasilkan sekresi ADH tambahan. Sebaliknya, bila cairan ekstrasel
menjadi terlalu encer, air bergerak dengan cara osmosis ke arah yang berlawanan, yaitu masuk ke
dalam sel, dan menurunkan sinyal untuk sekresi ADH. Walaupun beberapa peneliti meyakini
letak osmoreseptor di dalam hipotalamus itu sendiri (bahkan mungkin di dalam nukleus
supraoptik sendiri), peneliti lainnya meyakini bahwa osmoreseptor terletak di organum
vaskulosum, suatu struktur kaya pembuluh darah yang terletak di ventrikel ketiga pada dinding
anteroventralnya.
Tanpa menghiraukan mekanismenya, cairan tubuh yang pekat akan merangsang nukleus
supraoptik, sedangkan cairan tubuh yang encer akan menghambatnya, terdapat sistem pengaturan
umpan balik yang dapat mengatur tekanan osmotik total cairan tubuh.
Zat Vasokonstriktor

Vasopressin yang juga disebut hormone antidiuretik, bahkan lebih kuat daripada
angiotensin II sebagai vasokonstriktor, sehingga menjadikannya sebagai salah satu zat
vasokonstriktor terkuat tubuh. Zat ini dibentuk di sel saraf di dalam hipotalamus otak namun
kemudian diangkut ke bawah oleh akson saraf ke kelenjar hipofise posterior tempat zat tersebut
berada yang akhirnya disekresi ke dalam darah.
Jelaslah bahwa vasopressin dapat memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap
fungsi sirkulasi. Namun, dalam keadaan normal, hanya sejumlah kecil vasopressin yang
disekresikan, sehingga banyak ahli faal menganggap bahwa vasopressin berperan kecil dalam
pengaturan vascular. Akan tetapi, beberapa percobaan telah memperlihatkan bahwa konsentrasi
vasopressin dalam sirkulasi darah setelah terjadinya perdarahan hebat dapat meningkat cukup
tinggi untuk meningkatkan tekanan arteri sebanyak 60 mmHg. Dalam banyak keadaan, hal
tersebut dapat mengembalikan tekanan arteri mendekati normal.
Vasopressin memiliki fungsi utama meningkatkan reabsorbsi air dari tubulus renal
kembali ke dalam darah, dan karena itu akan membantu mengatur volume cairan tubuh. Hal
tersebut merupakan alas an vasopressin mendapat sebutan lain sebagai hormone antidiuretik.
Efek vasokonstriktor dan penekan dari ADH, dan peningkatan sekresi ADH yang
disebabkan oleh volume darah yang rendah
Karena dengan konsentrasi ADH yang sangat kecil saja dapat menyebabkan peningkatan
penahanan air oleh ginjal, konsentrasi ADH yang lebih tinggi mempunyai efek yang kuat untuk
menyebabkan konstriksi arteriol di seluruh tubuh sehingga meningkatkan tekanan arteri. Karena
alasan inilah, ADH mempunyai nama lain, yaitu vasopressin.
Salah satu rangsangan yang menyebabkan sekresi ADH menjadi kuat adalah penurunan
volume darah. Keadaan ini terjadi secara hebat terutama saat volume darah turun 15 sampai 25
persen, atau lebih; kecepatan sekresi kadang-kadang meningkat sampai 50 kali dari normal.
Penyebabnya adalah sebagai berikut.
Atrium mempunyai reseptor regangan yang dieksitasi oleh pengisian yang berlebihan.
Bila reseptor regangan ini tereksitasi, reseptor akan mengirimkan sinyal ke otak agar
menghambat sekresi ADH. Sebaliknya, bila reseptor tidak tereksitasi akibat pengisian yang tidak
penuh, akan terjadi proses yang berlawanan, yaitu peningkatan sekresi ADH yang sangat besar.
Penurunan regangan baroreseptor di daerah karotis, aorta, dan paru juga merangsang sekresi
ADH.
Sel interkalatus banyak menyekresi ion hidrogen serta mereabsorbsi ion bikarbonat dan
kalium
Ion hidrogen yang disekresi oleh sel interkalatus diperantai oleh mekanisme transpor
hidrogen-ATPase. Hidrogen dihasilkan dalam sel-sel ini melalui kerja karbonik anhidrase
terhadap air dan karbon dioksida untuk membentuk asam karbonat, yang kemudian berdisosiasi
menjadi ion hidrogen dan ion bikarbonat. Ion hidrogen kemudian disekresikan ke dalam lumen
tubulus, dan untuk setiap ion hidrogen yang disekresikan, tersedia sebuat ion bikarbonat untuk
diresorbsi melewati membran basolateral. Sel interkalatus juga mereabsorbsi ion kalium.
Karakteristik fungsional dari bagian akhir tubulus distal dan tubulus koligentes dapat
diringkas sebagai berikut :
1. membran tubulus kedua segmen hampir seluruhnya impermeabel terhadap ureum, mirip
dengan segmen pengencer pada bagian awal tubulus distal; jadi, hampir semua ureum

yang memasuki segmen-segmen ini berjalan melewati dan masuk ke dalam duktus
koligentes untuk diekskresikan dalam urin, walaupun beberapa reabsorbsi ureum terjadi
di dalam duktus koligentes bagian medula.
2. tubulus distal bagian akhir dan segmen tubulus koligentes kortikalis mereabsorbsi ion
natrium dan kecepatan reabsorbsi ini dikontrol oleh hormon, terutama aldosteron. Pada
waktu yang bersamaan, segmen ini menyekresikan ion kalium dari darah kapiler
peritubulus ke dalam lumen tubulusm suatu proses yang juga dikontrol oleh aldosteron
dan faktor-faktor lain seperti konsentrasi ion kalium dalam cairan tubuh.
3. sel interkalatus dari segmen-segmen nefron ini banyak menyekresikan ion hidrogen
melalui mekanisme hidrogen-ATPase aktif. Proses ini berbeda dengan sekresi aktif
sekunder ion hidrogen melalui tubulus proksimal, karena proses ini mampu
menyekresikan ion hidrogen melawan gradien konsentrasi yang besar, sebesar 1000
terhadap 1. Hal ini kebalikan dedngan gradien ion hidrogen yang relatif kecil (4 sampai
10 kali) yang dapat dicapai melalui sekresi aktif sekunder di dalam tubulus proksimal.
Jadi, sel interkalatus memainkan peranan kunci dalam regulasi asam-basa cairan tubuh.
4. permeabilitas tubulus distal bagian akhir dan duktus koligentes kortikalis terhadap air
dikontrol oleh konsentrasi ADH, yang juga disebut vasopressin. Dengan kadar ADH yang
tinggi, segmen-segmen ini sesungguhnya impermeabel terhadap air. Karakteristik yang
khusus ini menyediakan suatu mekanisme penting untuk pengaturan derajat pengenceran
atau pemekatan urin.
Duktus koligentes medula
Walaupun duktus koligentes bagian medula mereabsorbsi kurang dari 10 persen air dan
natrium yang difiltrasi, duktus ini adalah bagian terakhir dari pemprosesan urin dan, karena itu,
memainkan peranan yang sangat penting dalam menentukan keluaran akhir dari air dan zat
terlarut dalam urin.
Sel epitel duktus koligentes mendekati bentuk kuboid dengan permukaan yang halus dan
relatif sedikit mitokondria. Ciri-ciri khusus segmen tubulus ini adalah sebagai berikut :
1. permeabilitas duktus koligentes bagian medula terhadap air dikontrol oleh kadar ADH.
Dengan kadar ADH yang tinggi, air banyak direabsorbsi ke dalam interstisium medula,
sehingga mengurangi volume urin dan memekatkan sebagian besar zat terlarut dalam
urin.
2. tidak seperti tubulus koligentes kortikalis, duktus koligentes bagian medula bersifat
permeabel terhadap ureum. Oleh karena itu, beberapa ureum tubulus direabsorbsi ke
dalam interstisium medula, membantu meningkatkan osmolalitas daerah ginjal ini dan
turut berperan pada seluruh kemampuan ginjal untuk membentuk urin yang pekat.
3. duktus koligentes bagian medula mampu menyekresikan ion hidrogen melawan gradien
konsentrasi yang besar, seperti yang juga terjadi dalam tubulus koligentes kortikalis. Jadi,

duktus koligentes bagian medula juga memainkan peranan kunci dalam mengatur
keseimbangan asam-basa.
ADH meningkatkan reabsorbsi air
Kerja ADH ginjal yang paling penting adalah meningkatkan permeabilitas air pada
tubulus distal, tubulus koligentes, dan epitel duktus koligentes. Hal ini membantu tubuh untuk
menyimpan air dalam keadaan seperti dehidrasi. Bila tidak ada ADH, permeabilitas tubulus distal
dan duktus koligentes terhadap air menjadi rendah, menyebabkan ginjal mengeksrkresi sejumlah
besar urin yang encer. Jadi, kerja ADH memegang peranan penting dalam mengontrol derajat
pengenceran atau pemekatan urin.
ADH berikatan dengan reseptor V2 spesifik di bagian akhir tubulus distal, tubulus
koligentes dan duktus koligentes, yang meningkatkan pembentukan cAMP dan mengaktivasi
protein kinase. Kemudia kedua hal tersebut merangsang pergerakan suatu protein intrasel, yang
disebut aquaporin-2 (AQP-2), ke sisi luminal membran sel.molekul-molekul AQP-2
berkelompok dan bergabung dengan membran sel melalui eksositosis untuk membentuk kanal air
yang menyebabkan difusi air secara cepat melalui sel. Juga terdapat aquaporin lainnya, AQP-3
dam AQP-4. di sisi basolatera; dari membran sel yang menyediakan suatu jalur bagi air untuk
keluar dari sel secara cepat, walaupun hal ini tidak diyakini diatur oleh ADH. Peningkatan kadar
ADH secara kronis juga meningkatkan pembentukan AQP-2 di sel tubulus ginjal dengan
merangsang transkripsi gen AQP-2. bila konsentrasi ADH menurun, molekul AQP-2 berpindah
kembali ke sitoplasma sel, dengan demikian memindahkan kanal air dari membran luminal dan
menurunkan permeabilitas air.
Hormon ADH mengatur konsentrasi urin
Ada suatu sistem umpan balik yang kuat untuk mengatur osmolaritas plasma dan
konsentrasi natrium, yang bekerja dengan cara mengubah ekskresi air oleh ginjal dan tidak
bergantung pada kecepatan ekskresi zat terlarut. Pelaku utama dari sistem umpan balik ini adalah
hormon antidiuretik (ADH), yang juga disebut vasopressin.
Bila osmolaritas cairan tubuh meningkat di atas normal (yaitu, zat terlarut dalam cairan
tubuh menjadi terlalu pekat), kelenjar hipofisis posterior akan menyekresi lebih banyak ADH,
yang meningkatkan permeabilitas tubulus distal dan tubulus koligentes terhadap air. Keadaan ini
memungkinkan terjadinya reabsorbsi air dalam jumlah besar dan penurunan volume urin, tetapi
tidak mengubah kecepatan ekskresi zat terlarut oleh ginjal secara nyata.
Bila terdapat kelebihan air di dalam tubuh dan osmolaritas cairan extrasel menurun,
sekresi ADH oleh hipofisis posterior akan menurun. Oleh sebab itu, permeabilitas tubulus distal
dan tubulus koligentes terhadap air akan menurun, yang menghasilkan sejumlah besar urin encer.
Jadi, kecepatan sekresi ADH sangat menentukan encer atau pekatnya urin yang akan dikeluarkan
oleh ginjal.
Segmen akhir tubulus dan tubulus koligentes kortikalis
Pada segmen akhir tubulus distal dan tubulus koligentes kortikalis, osmolaritas cairan
bergantung pada kadar ADH. Dengan kadar ADH yang tinggi, tubulus-tubulus ini sangat
permeabel terhadap air, dan sejumlah air akan direabsorbsi. Akan tetapi, ureum, tidak begitu
permeabel di bagian nefron ini, sehingga menyebabkan peningkatan konsentrasi ureum sewaktu

air direabsorbsi. Keadaan ini membuat sebagian besar ureum yang dikirim ke tubulus distal dan
tubulus koligentes, masuk ke dalam duktus koligentes di bagian dalam medula, dan dari tempat
inilah ureum akhirnya direabsorbsi atau diekskresikan dalam urin. Bila tidak ada ADH, hanya
sedikit air yang akan direabsorbsi di segmen akhir tubulus distal dan tubulus koligentes
kortikalis; oleh karena itu, osmolaritas akan menurun lebih lanjut akibat reabsorbsi aktif ion yang
terus menerus dari segmen-segmen tersebut.
Duktus koligentes di bagian dalam medula
Konsentrasi cairan duktus koligentes di bagian dalam medula juga bergantung pada ADH
dan osmolaritas interstisium medula yang dibentuk oleh mekanisme arus balik. Dengan adanya
ADH dalam jumlah besar, duktus-duktus ini sangat permeabel terhadap air, dan air berdifusi dari
tubulus ke dalam interstisium hingga tercapai keseimbangan osmotik, dengan konsentrasi cairan
tubulus yang kurang lebih sama dengan interstisium medula ginjal (1200-1400 mOsm/L). Jadi,
saat kadar ADH tinggi, dihasilkan urin yang sangat pekat tetapi berjumlah sedikit. Kareana
reabsorbsi air meningkatkan konsentrasi ureum dalam cairan tubulus dan karena duktus
koligentes di bagian dalam medula memiliki pengangkut ureum yang spesifik yang sangat
membantu terjadinya difusi, banyak ureum dengan kepekatan yang tinggi di duktus berdifusi
keluar dari lumen tubulus masuk ke dalam interstisium medula. Absorbsi ureum ini ke dalam
medula ginjal turut membantu membentuk osmolaritas interstisium medula yang tinggi dan
kemampuan pemekatan ginjal yang tinggi.
Ada beberapa hal penting yang patut dipertimbangkan yang mungkin tidak jelas dalam
diskusi ini. Pertama, walaupun natrium klorida adalah salah satu zat terlarut utama yang turut
membentuk hiperosmolaritas interstisium medula, bila diperlukan, ginjal mampu mengeluarkan
urin dengan kepekatan yang tinggi yang mengandung sedikit NaCl. Hiperosmolaritas urin pada
keadaan ini disebabkan oleh tingginya konsentrasi zat terlarut lain, terutama produk buangan
seperti ureum dan kreatinin. Satu keadaan yang menyebabkan hal ini terjadi adalah dehidrasi
yang disertai dengan asupan Na yang rendah. Asupan Na yang rendah akan merangsang
pembentukan hormon angiotensin II dan aldosteron, yang bersama-sama menimbulkan
reabsorbsi Na yang hebat dari tubulus sambil meninggalkan ureum dan zat terlarut lainnya untuk
mempertahankan kepekatan urin yang tinggi.
Kedua, sejumlah besar urin encer dapat dikeluarkan tanpa meningkatkan pengeluaran
natrium. Keadaan ini dapat dicapai dengan menurunkan sekresi ADH, yang akan mengurangi
reabsorbsi air di segmen tubulus yang lebih distal tanpa mengubah reabsorbsi natrium secara
bermakna.
Dan akhirnya, kita harus mengingat bahwa ada volume urin yang diwajibkan, yang
dihasilkan oleh kemampuan pemekatan maksimum ginjal dan jumlah zat terlarut yang harus
diekskresikan. Oleh karena itu, jika sejumlah besar zat terlarut harus diekskresikan, zat tersebut
harus disertai dengan jumlah air minimal yang diperlukan untuk mengeluarkan zat-zat tersebut.
Gangguan kemampuan pemekatan urin
Gangguan kemampuan ginjal untuk memekatkan atau mengencerkan urin dengan tepat
dapat terjadi pada satu atau lebih dari abnormalitas berikut ini :
1. sekresi ADH yang tidak tepat. Sekresi ADH yang terlalu banyak atau terlalu sedikit dapat
menghasilkan pengaturan cairan yang abnormal oleh ginjal.

2. kerusakan mekanisme arus balik. Hiperosmotik interstisium medula dibutuhkan untuk


kemampuan pemekatan urin yang maksimal. Tidak peduli banyaknya ADH yang tersedia,
kepekatan urin maksimal dibatasi oleh derajat hiperosmolaritas interstisium medula
3. ketidakmampuan tubulus distal, tubulus koligentes dan duktus koligentes untuk berespon
terhadap ADH.
Sistem umpan balik osmoreseptor-ADH
Bila osmolaritas (konsentrasi natrium plasma) meningkat di atas normal akibat
kekurangan air, sistem umpan balik ini akan bekerja sebagai berikut :
1. peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel (yang secara praktis berarti peningkatan
konsentrasi natrium plasma) menyebabkan sel saraf khusus yang disebut sel
osmoreseptor, yang terletak di hipotalamus anterior dekat nukleus supraoptik, mengkerut
2. pengkerutan sel osmoreseptor menyebabkan sel tersebut terangsang, yang akan
mengirimkan sinyal saraf ke sel saraf tambahan di nukleus supraoptik, yang kemudian
meneruskan sinyal ini menyusuri tangkai kelenjar hipofise ke hipofisis posterior.
3. potensial aksi yang disalurkan ke hipofisis posterior akan merangsang pelepasan ADH,
yang disimpan dalam granula sekretorik (atau vesikel) di ujung saraf.
4. ADH memasuki aliran darah dan ditranspor ke ginjal, tempat ADH meningkatkan
permeabilitas di bagian akhir tubulus distal, tubulus koligentes kortikalis dan duktus
koligentes medula.
5. peningkatan permeabilitas air di segmen nefron distal menyebabkan peningkatan
reabsorbsi air dan ekskresi sejumlah kecil urin yang pekat.
Jadi, air disimpan dalam tubuh sedangkan natrium dan zat terlarut lainnya terus
dikeluarkan dalam urin. Hal ini menyebabkan pengenceran zat terlarut dalam cairan ekstrasel,
yang akan memperbaiki kepekatan cairan ekstrasel mula-mula yang berlebihan.
Terjadi serangkaian kejadian yang berlawanan saat cairan ekstrasel menjadi terlalu encer
(hipo-osmotik). Contohnya, pada asupan air yang berlebihan dan penurunan osmolaritas cairan
ekstrasel, lebih sedikit ADH yang terbentuk, lalu tubulus ginjal mengurangi permeabilitasnya
terhadap air, sehingga lebih sedikit air yang direabsorbsi, dan sejumlah besar urin encer
dibentuk. Hal tersebut kemudian memekatkan cairan tubuh dan mengembalikan osmolaritas
plasma kembali ke nilai normal.
Sintesis ADH di nukleus supraoptik dan nukleus paraventrikular hipotalamus dan pelepasan
ADH dari hipofisis posterior

Hipotalamus terdiri dari 2 jenis neuron-neuron magnosel (besar) yang mengsintesis ADH
di nukleus supraoptik dan nukleus paraventrikular hipotalamus, kira-kira sebanyak lima perenam
di nukleus supraoptik dan seperenam di nukleus paraventrikular. Kedua nukleus ini mempunyai
perpanjangan akson sampai ke hipofisis posterior. Setelah disintesis, ADH ditranspor melalui
akson-akson neuron ke bagian ujungnya, yang berakhir di kelenjar hipofisis posterior. Bila
nukleus supraoptik dan nukleus paraventrikular dirangsang oleh peningkatan osmolaritas atau
faktor lain, impuls saraf berjalan ke bagian ujung saraf ini, yang akan mengubah permeabilitas
membrannya dan meningkatkan pemasukan kalsium. ADH yang disimpan dalam granula
sekretorik (juga disebut vesikel) pada ujung-ujung saraf dilepaskan sebagai respons terhadap
peningkatan pemasukan kalsium. ADH yang dilepaskan kemudian dibawa dalam kapiler darah
hipofisis posterior ke dalam sirkulasi sistemik.
Sekresi ADH sebagai respons terhadap rangsangan osmotik sifatnya cepat, sehingga
kadar ADH plasma dapat meningkat beberapa kali lipat dalam beberapa menit. Oleh sebab itu,
sekresi ADH merupakan suatu cara cepat untuk menghambat ekskresi air oleh ginjal.
Area neuronal kedua yang penting dalam mengontrol osmolaritas dan sekresi ADH
terletak di sepanjang regio anteroventral ketiga, yang disebut regio AV3V. Pada bagian atas regio
ini terdapat suatu struktur yang disebut organ subfornikal, dan pada bagian inferior terdapat
struktur lain yang disebut organum vaskulosum lamuna terminalis. Di antara kedua organ ini
terdapat nukleus preoptik median, yang mempunyai banyak sambungan saraf dengan kedua
organ sebagaimana halnya dengan nukleus supraoptik dan pusat pengaturan tekanan darah di
medula otak. Lesi pada regio AV3V menyebabkan berbagai defisit dalam pengontrolan sekresi
ADH, rasa haus, keinginan natrium (sodium appetite), dan tekanan darah. Rangsangan listrik
pada daerah ini atau rangsangan oleh angiotensin II dapat mengubah sekresi ADH, rasa haus, dan
rangsangan natrium.
Di sekitar daerah AV3V dan nukleus supraoptik terdapat sel-sel neuronal yang dirangsang
oleh sedikit peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel; oleh sebab itu, istilah osmoreseptor telah
digunakan untuk menjelaskan neuron-neuron ini. Sel-sel ini mengirim sinyal saraf ke nukleus
supraoptik untuk mengontrol perangsangannya dan sekresi ADH. Sel-sel tersebut agaknya juga
menginduksi rasa haus sebagai respons terhadap peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel.
Organ subfornikal dan organum vaskulosum lamina terminalis memiliki pembuluh darah
yang tidak memiliki sawar darah otak, yang menghalangi difusi sebagaina besar ion dari darah
ke dalam jaringan otak. Hal ini membuat ion dan zat terlarut lainnya dapat melintas antara darah
dan cairan interstisial setempat di sekitar daerah ini. Akibatnya, osmoreseptor dengan cepat
berespons terhadap perubahan osmolaritas cairan ekstrasel, yang memberi pengaruh besar
terhadap sekresi ADH dan rasa haus.
Stimulasi refleks kardiovaskular terhadap pelepasan ADH dengan menurunkan tekanan arteri
dan/atau menurunkan volume darah
Pelepasan ADH juga dikontrol oleh refleks-refleks kardiovaskular yang berespons
terhadap penurunan tekenan darah dan/atau volume darah, meliputi refleks baroreseptor arterial
dan refleks kardiopulmonal. Jalur refleks ini berasal dari daerah sirkulasi bertekanan tinggi,
seperti arkus aorta dan sinus karotikus, dan dari daerah bertekanan rendah, terutama di atrium
jantung. Rangsangan aferen dibawa oleh nervus vagus dan nervus glosofaringeus dengan sinapssinaps di nukleus traktus solitarius. Tonjolan dari nukleus ini meneruskan sinyal ke nukleus
hipotalamik yang mengatur sintesis dan sekresi ADH.

Jadi, selain untuk meningkatkan osmolaritas, 2 stimulus berikut dapat meningkatkan


sekresi ADH yaitu penurunan tekanan arteri dan penurunan volume darah. Kapanpun tekanan
darah dan volume darah berkurang, seperti yang terjadi selama perdarahan, peningkatan sekresi
ADH akan menyebabkan peningkatan reabsorbsi cairan oleh ginjal, yang membantu
mengembalikan tekanan darah dan volume darah ke keadaan normal.
Stimulasi lain untuk sekresi ADH
Sekresi ADH dapat juga ditingkatkan atau diturunkan oleh stimulus lain terhadap sistem
saraf pusat dan oleh berbagai obat dan hormon. Misalnya nausea adalah stimulus yang kuat
untuk pelepasan ADH, yang dapat meningkat sampai sebanyak 100 kali normal setelah muntah.
Juga, obat-obatan seperti nikotin dan morfin merangsang pelepasan ADH, sedangkan beberapa
obat, seperti alkohol, menghambat pelepasan ADH. Diuresis berat yang terjadi setelah meminum
alkohol sebagian diakibatkan oleh hambatan pelepasan ADH.
Peranan rasa haus dalam mengatur osmolaritas cairan ekstrasel dan konsentrasi natrium
Ginjal meminimalkan kehilangan cairan selama terjadi kekurangan air, melalui sistem
umpan balik osmoreseptor-ADH. Akan tetapi, asupan cairan yang adekuat diperlukan untuk
mengimbangi kehilangan cairan yang terjadi melalui keringat dan napas serta melalui saluran
pencernaan. Asupan cairan diatur oleh mekanisme rasa haus, yang, bersama dengan mekanisme
osmoreseptor-ADH, mempertahankan kontrol osmolaritas cairan ekstrasel dan konsentrasi
natrium secara tepat.
Banyak faktor yang sama yang merangsang sekresi ADH juga akan meningkatkan rasa
haus, yang didefinisikan sebagai keinginan sadar terhadap air.
Pusat rasa haus di sistem saraf pusat
Daerah yang sama di sepanjang dinding anteroventral dari ventrikel ketiga yang
meningkatkan pelepasan ADH juga merangsang rasa haus. Terdapat suatu daerah kecil yang
terletak anterolateral dari nukleus preoptik, yang bila distimulasi secara listrik, menyebabkan
kegiatan minum dengan segera dan berlanjut selama rangsangan berlangsung. Semua daerah ini
bersama-sama disebut pusat rasa haus.
Neuron-neuron di pusat rasa haus memberi respon terhadap penyuntikan larutan garam
hipertonik dengan cara merangsang perilaku minum. Sel-sel ini hampir berfungsi sebagai
osmoreseptor untuk mengaktivasi mekanisme rasa haus, dengan cara yang sama saat
osmoreseptor merangsang pelepasan ADH.
Peningkatan osmolaritas cairan serebrospinal di ventrikel ketiga memberi pengaruh yang
pada dasarnya sama, yaitu menimbulkan keinginan untuk minum. Organum vaskulosum lamina
terminalis yang terletak tepat di bawah permukaan ventrikel pada ujung inferior daerah AV3V,
agaknya ikut memperantarai respons tersebut.
Stimulus terhadap rasa haus
Salah satu yang terpenting beberapa stimulus rasa haus yang diketahui adalah
peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel, yang menyebabkan dehidrasi intrasel di pusat rasa

haus, yang akan merangsang sensasi rasa haus. Kegunaan respon ini sangat jelas : membantu
mengencerkan cairan ekstrasel dan mengembalikan osmolaritas ke keadaan normal.
Penurunan volume cairan ekstrasel dan tekanan arteri juga merangsang rasa haus melalui
suatu jalur yang tidak bergantung pada jalur yang distimulasi oleh peningkatan osmolaritas
plasma. Jadi, kehilangan volume darah melalui perdarahan akan merangsang rasa haus walaupun
mungkin tidak terjadi perubahan osmolaritas plasma. Hal ini mungkin terjadi akibat input netral
dari baroreseptor kardiopulmonal dan baroreseptor arteri sistemik di sirkulasi.
Stimulus rasa haus ketiga yang penting adalah angiotensin II. Penelitian terhadap
binatang telah menunjukkan bahwa angiotensin II bekerja pada organ subfornikal dan pada
organum vaskulosum lamina terminalis. Daerah-daerah ini berada di sisi luar sawar otak, dan
peptida-peptida seperti angiotensin II berdifusi ke dalam jaringan. Karena angiotensin II juga
distimulasi oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan hipovolemia dan tekanan darah rendah,
pengaruhnya pada rasa haus membantu memulihkan volume darah dan tekanan darah kembali
normal, bersama dengan kerja lain dari angiotensin II pada ginjal untuk menurunkan ekskresi
cairan.
Kekeringan pada mulut dan membran mukosa eksofagus dapat mendatangkan sensasi
rasa haus. Akibatnya, seseorang yang kehausan dapat segera melepaskan dahaganya setelah dia
minum air, walaupun air tersebut belum diabsorbsi dari saluran pencernaan dan belum memberi
efek terhadap osmolaritas cairan ekstrasel.
Stimulus gastrointestinal dan faring memengaruhi timbulnya rasa haus. Contohnya, pada
binatang yang memiliki esofagus ke arah eksterior, sehingga air tidak pernah diabsorbsi ke dalam
darah, kelegaan yang terjadi setelah minum hanya bersifat sebagian, walaupun kelegaan itu
bersifat sementara. Distensi saluran pencernaan juga dapat sedikit mengurangi rasa haus;
contohnya, peniupan sebuah balon dalam lambung dapat menghilangkan rasa haus. Akan tetapi,
penurunan sensasi rasa haus melalui mekanisme gastrointestinal atau faringeal hanya bertahan
singkat; keinginan untuk minum hanya dapat dipuaskan sepenuhnya bila osmolaritas plasma
dan/atau volume darah kembali normal.
Kemampuan binatang dan manusia untuk mengukur asupan cairan sangat penting
karena dapat mencegah hidrasi yang berlebihan. Setelah seseorang minum air, mungkin
dibutuhkan waktu 30 sampai 60 menit agar air direabsorbsi dan didistribusikan ke seluruh tubuh.
Bila sensasi rasa haus tidak hilang sebagian setelah minum air, orang tersebut akan terus minum
lebih banyak lagi, yang akhirnya menimbulkan hidrasi dan pengenceran cairan tubuh yang
berlebihan. Penelitian dan percobaan yang berulang kali menunjukan bahwa binatang meminum
jumlah air yang hampir sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan untuk mengembalikan
osmolaritas dan volume plasma ke keadaan normal.
Respon osmoreseptor-ADH dan mekanisme rasa haus yang terintegrasi dalam pengaturan
osmolaritas cairan ekstrasel dan konsentrasi natrium
Pada seseorang yang sehat, mekanisme osmoreseptor-ADH dan rasa haus bekerja secara paralel
untuk mengatur osmolaritas cairan ekstrasel dan konsentrasi natrium dengan tepat, walaupun
rangsangan dehidrasi bersifat konstan. Bahkan dengan perangsangan tambahan, seperti konsumsi
garam tinggi, sistem umpan balik ini mampu mempertahankan osmolaritas plasma agar tetap
konstan. Peningkatan asupan natrium sampai setinggi 6 x normal hanya memberi sedikit
pengaruh terhadap konsentrasi natrium plasma selama mekanisme rasa haus dan ADH berfungsi
normal.

Bila mekanisme ADH atau mekanisme rasa haus gagal, mekanisme yang lain biasanya masih
dapat mengatur osmolaritas ekstrasel dan konsentrasi natrium dengan efektivitas yang memadai,
selama tersedia asupan cairan yang cukup untuk mengimbangi volume urin harian dan
kehilangan air melalui pernapasan, keringat atau saluran pencernaan. Akan tetapi, bila
mekanisme ADH dan rasa haus gagal secara bersamaan, konsentrasi natrium dan osmolaritas
plasma tidak dapat dikontrol dengan baik; jadi, bila asupan natrium meningkat setelah
menghambat sistem ADH-rasa haus, terjadi perubahan konsentrasi natrium plasma yang relatif
besar, dalam keadaan tidak adanya mekanisme ADH-rasa haus, tidak ada mekanisme umpan
balik lain yang mampu mengatur konsentrasi natrium dan osmolaritas plasma secara adekuat.

Anda mungkin juga menyukai