Anda di halaman 1dari 10

HORMON ADH

Fungsi Fisiologis ADH


Penyunyikan sejumlah ADH yang sangat sedikit sebesar 2 nanogram dapat
menyebabkan berkurangnya ekskresi air oleh ginjal (antidiuresis). Singkatnya, bila
hormon ADH ini tidak ada, maka tubulus dan duktus koligentes hampir tidak permeabel
terhadap air, sehingga mencegah reabsorbsi air dalam jumlah yang signifikan dan karena
itu mempermudah keluarnya air yang sangat banyak ke dalam urin, yang juga
menyebabkan urin menjadi sangat encer. Sebaliknya, bila ada ADH, maka permeabilitas
tubulus dan duktus koligentes terhadap air sangat meningkat dan menyebabkan
sebagian besar air direabsorbsi sewaktu cairan tubulus melewati duktus koligentes,
sehingga air yang disimpan dalam tubuh akan lebih banyak dan menghasilkan urin yang
sangat pekat.
Mekanisme yang tepat mengenai kerja ADH pada duktus untuk meningkatkan
permeabilitas duktus koligentes hanya diketahui sebagian. Tanpa ADH, membran luminal
sel epitel tubulus pada duktus koligentes hampir tidak permeabel terhadap air. Akan
tetapi, di dalam membran sel, terdapat sejumlah besar vesikel khusus yang mempunyai
pori-pori yang sangat permeabel terhadap air, yang disebut aquaporin. Bila ADH bekerja
pada sel, ADH mula-mula akan bergabung dengan reseptor membran yang mengaktifkan
adenilil siklase dan menyebabkan pembentukan cAMP di dalam sitoplasma sel tubulus.
cAMP ini menyebabkan fosforilasi elemen di dalam vesikel khusus, yang kemudian
menyebabkan vesikel masuk ke dalam membran sel apikal, sehingga menyediakan
banyak daerah yang bersifat permeabel terhadap air. Semua proses ini terjadi dalam
waktu 5 sampai 10 menit. Kemudian, bila tidak ada ADH, seluruh proses berbalik dalam
waktu 5 sampai 10 menit berikutnya. Jadi, proses ini secara sementara menyediakan
banyak pori baru yang mempermudah difusi bebas air dari cairan tubulus melewati sel
epitel tubulus dan masuk ke dalam cairan interstisial ginjal. Kemudian air diabsorbsi dari
tubulus dan duktus koligentes dengan cara osmosis.
Pengaturan produksi ADH
Pengaturan osmosis
Bila larutan elektrolit yang pekat disuntikan ke dalam arteri yang menyuplai
hipotalamus, neuron ADH yang terdapat di dalam nukleus supraoptik dan paraventrikular
segera menjalarkan impuls ke kelenjar hipofisis posterior agar melepaskan banyak ADH
ke dalam sirkulasi darah, kadang-kadang peningkatan sekresi ADH dapat mencapai 20
kali dari normal. Sebalikanya, penyuntikan larutan encer ke dalam arteri akan
menyebabkan penghentian impuls sehingga sekresi ADH hampir terhenti sama sekali.
Jadi, dalam waktu beberapa menit saja, konsentrasi ADH dalam cairan tubuh dapat
berubah dari sedikit menjadi banyak atau sebaliknya.
Cara pengaturan sekresi ADH oleh konsentrasi osmotik cairan ekstrasel masih
belum diketahui secara tepat. Namun, di suatu tempat di hipotalamus atau di dekat
hipotalamus, terdapat reseptor neuron yang sudah dimodifikasi yang disebut
osmoreseptor. Bila cairan ekstrasel menjadi terlalu pekat, cairan akan ditarik dengan
cara osmosis keluar dari sel osmoreseptor, sehingga ukurannya berkurang dan
menimbulkan sinyal saraf yang tepat di dalam hipotalamus agar menghasilkan sekresi
ADH tambahan. Sebaliknya, bila cairan ekstrasel menjadi terlalu encer, air bergerak
dengan cara osmosis ke arah yang berlawanan, yaitu masuk ke dalam sel, dan

menurunkan sinyal untuk sekresi ADH. Walaupun beberapa peneliti meyakini letak
osmoreseptor di dalam hipotalamus itu sendiri (bahkan mungkin di dalam nukleus
supraoptik sendiri), peneliti lainnya meyakini bahwa osmoreseptor terletak di organum
vaskulosum, suatu struktur kaya pembuluh darah yang terletak di ventrikel ketiga pada
dinding anteroventralnya.
Tanpa menghiraukan mekanismenya, cairan tubuh yang pekat akan merangsang
nukleus supraoptik, sedangkan cairan tubuh yang encer akan menghambatnya, terdapat
sistem pengaturan umpan balik yang dapat mengatur tekanan osmotik total cairan
tubuh.
Zat Vasokonstriktor
Vasopressin yang juga disebut hormone antidiuretik, bahkan lebih kuat daripada
angiotensin II sebagai vasokonstriktor, sehingga menjadikannya sebagai salah satu zat
vasokonstriktor terkuat tubuh. Zat ini dibentuk di sel saraf di dalam hipotalamus otak
namun kemudian diangkut ke bawah oleh akson saraf ke kelenjar hipofise posterior
tempat zat tersebut berada yang akhirnya disekresi ke dalam darah.
Jelaslah bahwa vasopressin dapat memberikan pengaruh yang sangat besar
terhadap fungsi sirkulasi. Namun, dalam keadaan normal, hanya sejumlah kecil
vasopressin yang disekresikan, sehingga banyak ahli faal menganggap bahwa
vasopressin berperan kecil dalam pengaturan vascular. Akan tetapi, beberapa percobaan
telah memperlihatkan bahwa konsentrasi vasopressin dalam sirkulasi darah setelah
terjadinya perdarahan hebat dapat meningkat cukup tinggi untuk meningkatkan tekanan
arteri sebanyak 60 mmHg. Dalam banyak keadaan, hal tersebut dapat mengembalikan
tekanan arteri mendekati normal.
Vasopressin memiliki fungsi utama meningkatkan reabsorbsi air dari tubulus renal
kembali ke dalam darah, dan karena itu akan membantu mengatur volume cairan
tubuh. Hal tersebut merupakan alas an vasopressin mendapat sebutan lain sebagai
hormone antidiuretik.
Efek vasokonstriktor dan penekan dari ADH, dan peningkatan sekresi ADH
yang disebabkan oleh volume darah yang rendah
Karena dengan konsentrasi ADH yang sangat kecil saja dapat menyebabkan
peningkatan penahanan air oleh ginjal, konsentrasi ADH yang lebih tinggi mempunyai
efek yang kuat untuk menyebabkan konstriksi arteriol di seluruh tubuh sehingga
meningkatkan tekanan arteri. Karena alasan inilah, ADH mempunyai nama lain, yaitu
vasopressin.
Salah satu rangsangan yang menyebabkan sekresi ADH menjadi kuat adalah
penurunan volume darah. Keadaan ini terjadi secara hebat terutama saat volume darah
turun 15 sampai 25 persen, atau lebih; kecepatan sekresi kadang-kadang meningkat
sampai 50 kali dari normal. Penyebabnya adalah sebagai berikut.
Atrium mempunyai reseptor regangan yang dieksitasi oleh pengisian yang
berlebihan. Bila reseptor regangan ini tereksitasi, reseptor akan mengirimkan sinyal ke
otak agar menghambat sekresi ADH. Sebaliknya, bila reseptor tidak tereksitasi akibat
pengisian yang tidak penuh, akan terjadi proses yang berlawanan, yaitu peningkatan
sekresi ADH yang sangat besar. Penurunan regangan baroreseptor di daerah karotis,
aorta, dan paru juga merangsang sekresi ADH.
Sel interkalatus banyak menyekresi ion hidrogen serta mereabsorbsi ion
bikarbonat dan kalium

Ion hidrogen yang disekresi oleh sel interkalatus diperantai oleh mekanisme
transpor hidrogen-ATPase. Hidrogen dihasilkan dalam sel-sel ini melalui kerja karbonik
anhidrase terhadap air dan karbon dioksida untuk membentuk asam karbonat, yang
kemudian berdisosiasi menjadi ion hidrogen dan ion bikarbonat. Ion hidrogen kemudian
disekresikan ke dalam lumen tubulus, dan untuk setiap ion hidrogen yang disekresikan,
tersedia sebuat ion bikarbonat untuk diresorbsi melewati membran basolateral. Sel
interkalatus juga mereabsorbsi ion kalium.
Karakteristik fungsional dari bagian akhir tubulus distal dan tubulus koligentes
dapat diringkas sebagai berikut :
1. membran tubulus kedua segmen hampir seluruhnya impermeabel terhadap
ureum, mirip dengan segmen pengencer pada bagian awal tubulus distal; jadi,
hampir semua ureum yang memasuki segmen-segmen ini berjalan melewati dan
masuk ke dalam duktus koligentes untuk diekskresikan dalam urin, walaupun
beberapa reabsorbsi ureum terjadi di dalam duktus koligentes bagian medula.
2. tubulus distal bagian akhir dan segmen tubulus koligentes kortikalis mereabsorbsi
ion natrium dan kecepatan reabsorbsi ini dikontrol oleh hormon, terutama
aldosteron. Pada waktu yang bersamaan, segmen ini menyekresikan ion kalium
dari darah kapiler peritubulus ke dalam lumen tubulusm suatu proses yang juga
dikontrol oleh aldosteron dan faktor-faktor lain seperti konsentrasi ion kalium
dalam cairan tubuh.
3. sel interkalatus dari segmen-segmen nefron ini banyak menyekresikan ion
hidrogen melalui mekanisme hidrogen-ATPase aktif. Proses ini berbeda dengan
sekresi aktif sekunder ion hidrogen melalui tubulus proksimal, karena proses ini
mampu menyekresikan ion hidrogen melawan gradien konsentrasi yang besar,
sebesar 1000 terhadap 1. Hal ini kebalikan dedngan gradien ion hidrogen yang
relatif kecil (4 sampai 10 kali) yang dapat dicapai melalui sekresi aktif sekunder di
dalam tubulus proksimal. Jadi, sel interkalatus memainkan peranan kunci dalam
regulasi asam-basa cairan tubuh.
4. permeabilitas tubulus distal bagian akhir dan duktus koligentes kortikalis terhadap
air dikontrol oleh konsentrasi ADH, yang juga disebut vasopressin. Dengan kadar
ADH yang tinggi, segmen-segmen ini sesungguhnya impermeabel terhadap air.
Karakteristik yang khusus ini menyediakan suatu mekanisme penting untuk
pengaturan derajat pengenceran atau pemekatan urin.

Duktus koligentes medula


Walaupun duktus koligentes bagian medula mereabsorbsi kurang dari 10 persen
air dan natrium yang difiltrasi, duktus ini adalah bagian terakhir dari pemprosesan urin
dan, karena itu, memainkan peranan yang sangat penting dalam menentukan keluaran
akhir dari air dan zat terlarut dalam urin.
Sel epitel duktus koligentes mendekati bentuk kuboid dengan permukaan yang
halus dan relatif sedikit mitokondria. Ciri-ciri khusus segmen tubulus ini adalah sebagai
berikut :

1. permeabilitas duktus koligentes bagian medula terhadap air dikontrol oleh kadar
ADH. Dengan kadar ADH yang tinggi, air banyak direabsorbsi ke dalam
interstisium medula, sehingga mengurangi volume urin dan memekatkan
sebagian besar zat terlarut dalam urin.
2. tidak seperti tubulus koligentes kortikalis, duktus koligentes bagian medula
bersifat permeabel terhadap ureum. Oleh karena itu, beberapa ureum tubulus
direabsorbsi ke dalam interstisium medula, membantu meningkatkan osmolalitas
daerah ginjal ini dan turut berperan pada seluruh kemampuan ginjal untuk
membentuk urin yang pekat.
3. duktus koligentes bagian medula mampu menyekresikan ion hidrogen melawan
gradien konsentrasi yang besar, seperti yang juga terjadi dalam tubulus
koligentes kortikalis. Jadi, duktus koligentes bagian medula juga memainkan
peranan kunci dalam mengatur keseimbangan asam-basa.

ADH meningkatkan reabsorbsi air


Kerja ADH ginjal yang paling penting adalah meningkatkan permeabilitas air pada
tubulus distal, tubulus koligentes, dan epitel duktus koligentes. Hal ini membantu tubuh
untuk menyimpan air dalam keadaan seperti dehidrasi. Bila tidak ada ADH, permeabilitas
tubulus distal dan duktus koligentes terhadap air menjadi rendah, menyebabkan ginjal
mengeksrkresi sejumlah besar urin yang encer. Jadi, kerja ADH memegang peranan
penting dalam mengontrol derajat pengenceran atau pemekatan urin.
ADH berikatan dengan reseptor V 2 spesifik di bagian akhir tubulus distal, tubulus
koligentes dan duktus koligentes, yang meningkatkan pembentukan cAMP dan
mengaktivasi protein kinase. Kemudia kedua hal tersebut merangsang pergerakan suatu
protein intrasel, yang disebut aquaporin-2 (AQP-2), ke sisi luminal membran sel.molekulmolekul AQP-2 berkelompok dan bergabung dengan membran sel melalui eksositosis
untuk membentuk kanal air yang menyebabkan difusi air secara cepat melalui sel. Juga
terdapat aquaporin lainnya, AQP-3 dam AQP-4. di sisi basolatera; dari membran sel yang
menyediakan suatu jalur bagi air untuk keluar dari sel secara cepat, walaupun hal ini
tidak diyakini diatur oleh ADH. Peningkatan kadar ADH secara kronis juga meningkatkan
pembentukan AQP-2 di sel tubulus ginjal dengan merangsang transkripsi gen AQP-2. bila
konsentrasi ADH menurun, molekul AQP-2 berpindah kembali ke sitoplasma sel, dengan
demikian memindahkan kanal air dari membran luminal dan menurunkan permeabilitas
air.
Hormon ADH mengatur konsentrasi urin
Ada suatu sistem umpan balik yang kuat untuk mengatur osmolaritas plasma dan
konsentrasi natrium, yang bekerja dengan cara mengubah ekskresi air oleh ginjal dan
tidak bergantung pada kecepatan ekskresi zat terlarut. Pelaku utama dari sistem umpan
balik ini adalah hormon antidiuretik (ADH), yang juga disebut vasopressin.
Bila osmolaritas cairan tubuh meningkat di atas normal (yaitu, zat terlarut dalam
cairan tubuh menjadi terlalu pekat), kelenjar hipofisis posterior akan menyekresi lebih
banyak ADH, yang meningkatkan permeabilitas tubulus distal dan tubulus koligentes
terhadap air. Keadaan ini memungkinkan terjadinya reabsorbsi air dalam jumlah besar

dan penurunan volume urin, tetapi tidak mengubah kecepatan ekskresi zat terlarut oleh
ginjal secara nyata.
Bila terdapat kelebihan air di dalam tubuh dan osmolaritas cairan extrasel
menurun, sekresi ADH oleh hipofisis posterior akan menurun. Oleh sebab itu,
permeabilitas tubulus distal dan tubulus koligentes terhadap air akan menurun, yang
menghasilkan sejumlah besar urin encer. Jadi, kecepatan sekresi ADH sangat
menentukan encer atau pekatnya urin yang akan dikeluarkan oleh ginjal.
Segmen akhir tubulus dan tubulus koligentes kortikalis
Pada segmen akhir tubulus distal dan tubulus koligentes kortikalis, osmolaritas
cairan bergantung pada kadar ADH. Dengan kadar ADH yang tinggi, tubulus-tubulus ini
sangat permeabel terhadap air, dan sejumlah air akan direabsorbsi. Akan tetapi, ureum,
tidak begitu permeabel di bagian nefron ini, sehingga menyebabkan peningkatan
konsentrasi ureum sewaktu air direabsorbsi. Keadaan ini membuat sebagian besar ureum
yang dikirim ke tubulus distal dan tubulus koligentes, masuk ke dalam duktus koligentes
di bagian dalam medula, dan dari tempat inilah ureum akhirnya direabsorbsi atau
diekskresikan dalam urin. Bila tidak ada ADH, hanya sedikit air yang akan direabsorbsi di
segmen akhir tubulus distal dan tubulus koligentes kortikalis; oleh karena itu, osmolaritas
akan menurun lebih lanjut akibat reabsorbsi aktif ion yang terus menerus dari segmensegmen tersebut.
Duktus koligentes di bagian dalam medula
Konsentrasi cairan duktus koligentes di bagian dalam medula juga bergantung
pada ADH dan osmolaritas interstisium medula yang dibentuk oleh mekanisme arus
balik. Dengan adanya ADH dalam jumlah besar, duktus-duktus ini sangat permeabel
terhadap air, dan air berdifusi dari tubulus ke dalam interstisium hingga tercapai
keseimbangan osmotik, dengan konsentrasi cairan tubulus yang kurang lebih sama
dengan interstisium medula ginjal (1200-1400 mOsm/L). Jadi, saat kadar ADH tinggi,
dihasilkan urin yang sangat pekat tetapi berjumlah sedikit. Kareana reabsorbsi air
meningkatkan konsentrasi ureum dalam cairan tubulus dan karena duktus koligentes di
bagian dalam medula memiliki pengangkut ureum yang spesifik yang sangat membantu
terjadinya difusi, banyak ureum dengan kepekatan yang tinggi di duktus berdifusi keluar
dari lumen tubulus masuk ke dalam interstisium medula. Absorbsi ureum ini ke dalam
medula ginjal turut membantu membentuk osmolaritas interstisium medula yang tinggi
dan kemampuan pemekatan ginjal yang tinggi.
Ada beberapa hal penting yang patut dipertimbangkan yang mungkin tidak jelas
dalam diskusi ini. Pertama, walaupun natrium klorida adalah salah satu zat terlarut
utama yang turut membentuk hiperosmolaritas interstisium medula, bila diperlukan,
ginjal mampu mengeluarkan urin dengan kepekatan yang tinggi yang mengandung
sedikit NaCl. Hiperosmolaritas urin pada keadaan ini disebabkan oleh tingginya
konsentrasi zat terlarut lain, terutama produk buangan seperti ureum dan kreatinin. Satu
keadaan yang menyebabkan hal ini terjadi adalah dehidrasi yang disertai dengan asupan
Na yang rendah. Asupan Na yang rendah akan merangsang pembentukan hormon
angiotensin II dan aldosteron, yang bersama-sama menimbulkan reabsorbsi Na yang
hebat dari tubulus sambil meninggalkan ureum dan zat terlarut lainnya untuk
mempertahankan kepekatan urin yang tinggi.
Kedua, sejumlah besar urin encer dapat dikeluarkan tanpa meningkatkan
pengeluaran natrium. Keadaan ini dapat dicapai dengan menurunkan sekresi ADH, yang
akan mengurangi reabsorbsi air di segmen tubulus yang lebih distal tanpa mengubah
reabsorbsi natrium secara bermakna.
Dan akhirnya, kita harus mengingat bahwa ada volume urin yang diwajibkan,
yang dihasilkan oleh kemampuan pemekatan maksimum ginjal dan jumlah zat terlarut

yang harus diekskresikan. Oleh karena itu, jika sejumlah besar zat terlarut harus
diekskresikan, zat tersebut harus disertai dengan jumlah air minimal yang diperlukan
untuk mengeluarkan zat-zat tersebut.
Gangguan kemampuan pemekatan urin
Gangguan kemampuan ginjal untuk memekatkan atau mengencerkan urin
dengan tepat dapat terjadi pada satu atau lebih dari abnormalitas berikut ini :
1. sekresi ADH yang tidak tepat. Sekresi ADH yang terlalu banyak atau terlalu sedikit
dapat menghasilkan pengaturan cairan yang abnormal oleh ginjal.
2. kerusakan mekanisme arus balik. Hiperosmotik interstisium medula dibutuhkan
untuk kemampuan pemekatan urin yang maksimal. Tidak peduli banyaknya ADH
yang tersedia, kepekatan urin maksimal dibatasi oleh derajat hiperosmolaritas
interstisium medula
3. ketidakmampuan tubulus distal, tubulus koligentes dan duktus koligentes untuk
berespon terhadap ADH.

Sistem umpan balik osmoreseptor-ADH


Bila osmolaritas (konsentrasi natrium plasma) meningkat di atas normal akibat
kekurangan air, sistem umpan balik ini akan bekerja sebagai berikut :
1. peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel (yang secara praktis berarti peningkatan
konsentrasi natrium plasma) menyebabkan sel saraf khusus yang disebut sel
osmoreseptor, yang terletak di hipotalamus anterior dekat nukleus supraoptik,
mengkerut
2. pengkerutan sel osmoreseptor menyebabkan sel tersebut terangsang, yang akan
mengirimkan sinyal saraf ke sel saraf tambahan di nukleus supraoptik, yang
kemudian meneruskan sinyal ini menyusuri tangkai kelenjar hipofise ke hipofisis
posterior.
3. potensial aksi yang disalurkan ke hipofisis posterior akan merangsang pelepasan
ADH, yang disimpan dalam granula sekretorik (atau vesikel) di ujung saraf.
4. ADH memasuki aliran darah dan ditranspor ke ginjal, tempat ADH meningkatkan
permeabilitas di bagian akhir tubulus distal, tubulus koligentes kortikalis dan
duktus koligentes medula.
5. peningkatan permeabilitas air di segmen nefron distal menyebabkan peningkatan
reabsorbsi air dan ekskresi sejumlah kecil urin yang pekat.

Jadi, air disimpan dalam tubuh sedangkan natrium dan zat terlarut lainnya terus
dikeluarkan dalam urin. Hal ini menyebabkan pengenceran zat terlarut dalam cairan
ekstrasel, yang akan memperbaiki kepekatan cairan ekstrasel mula-mula yang
berlebihan.
Terjadi serangkaian kejadian yang berlawanan saat cairan ekstrasel menjadi
terlalu encer (hipo-osmotik). Contohnya, pada asupan air yang berlebihan dan
penurunan osmolaritas cairan ekstrasel, lebih sedikit ADH yang terbentuk, lalu tubulus
ginjal mengurangi permeabilitasnya terhadap air, sehingga lebih sedikit air yang
direabsorbsi, dan sejumlah besar urin encer dibentuk. Hal tersebut kemudian
memekatkan cairan tubuh dan mengembalikan osmolaritas plasma kembali ke nilai
normal.
Sintesis ADH di nukleus supraoptik dan nukleus paraventrikular hipotalamus dan
pelepasan ADH dari hipofisis posterior
Hipotalamus terdiri dari 2 jenis neuron-neuron magnosel (besar) yang
mengsintesis ADH di nukleus supraoptik dan nukleus paraventrikular hipotalamus, kirakira sebanyak lima perenam di nukleus supraoptik dan seperenam di nukleus
paraventrikular. Kedua nukleus ini mempunyai perpanjangan akson sampai ke hipofisis
posterior. Setelah disintesis, ADH ditranspor melalui akson-akson neuron ke bagian
ujungnya, yang berakhir di kelenjar hipofisis posterior. Bila nukleus supraoptik dan
nukleus paraventrikular dirangsang oleh peningkatan osmolaritas atau faktor lain, impuls
saraf berjalan ke bagian ujung saraf ini, yang akan mengubah permeabilitas
membrannya dan meningkatkan pemasukan kalsium. ADH yang disimpan dalam granula
sekretorik (juga disebut vesikel) pada ujung-ujung saraf dilepaskan sebagai respons
terhadap peningkatan pemasukan kalsium. ADH yang dilepaskan kemudian dibawa
dalam kapiler darah hipofisis posterior ke dalam sirkulasi sistemik.
Sekresi ADH sebagai respons terhadap rangsangan osmotik sifatnya cepat,
sehingga kadar ADH plasma dapat meningkat beberapa kali lipat dalam beberapa menit.
Oleh sebab itu, sekresi ADH merupakan suatu cara cepat untuk menghambat ekskresi air
oleh ginjal.
Area neuronal kedua yang penting dalam mengontrol osmolaritas dan sekresi
ADH terletak di sepanjang regio anteroventral ketiga, yang disebut regio AV3V. Pada
bagian atas regio ini terdapat suatu struktur yang disebut organ subfornikal, dan pada
bagian inferior terdapat struktur lain yang disebut organum vaskulosum lamuna
terminalis. Di antara kedua organ ini terdapat nukleus preoptik median, yang mempunyai
banyak sambungan saraf dengan kedua organ sebagaimana halnya dengan nukleus
supraoptik dan pusat pengaturan tekanan darah di medula otak. Lesi pada regio AV3V
menyebabkan berbagai defisit dalam pengontrolan sekresi ADH, rasa haus, keinginan
natrium (sodium appetite), dan tekanan darah. Rangsangan listrik pada daerah ini atau
rangsangan oleh angiotensin II dapat mengubah sekresi ADH, rasa haus, dan rangsangan
natrium.
Di sekitar daerah AV3V dan nukleus supraoptik terdapat sel-sel neuronal yang
dirangsang oleh sedikit peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel; oleh sebab itu, istilah
osmoreseptor telah digunakan untuk menjelaskan neuron-neuron ini. Sel-sel ini mengirim
sinyal saraf ke nukleus supraoptik untuk mengontrol perangsangannya dan sekresi ADH.
Sel-sel tersebut agaknya juga menginduksi rasa haus sebagai respons terhadap
peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel.
Organ subfornikal dan organum vaskulosum lamina terminalis memiliki pembuluh
darah yang tidak memiliki sawar darah otak, yang menghalangi difusi sebagaina besar
ion dari darah ke dalam jaringan otak. Hal ini membuat ion dan zat terlarut lainnya dapat

melintas antara darah dan cairan interstisial setempat di sekitar daerah ini. Akibatnya,
osmoreseptor dengan cepat berespons terhadap perubahan osmolaritas cairan ekstrasel,
yang memberi pengaruh besar terhadap sekresi ADH dan rasa haus.
Stimulasi refleks kardiovaskular terhadap pelepasan ADH dengan menurunkan tekanan
arteri dan/atau menurunkan volume darah
Pelepasan ADH juga dikontrol oleh refleks-refleks kardiovaskular yang berespons
terhadap penurunan tekenan darah dan/atau volume darah, meliputi refleks baroreseptor
arterial dan refleks kardiopulmonal. Jalur refleks ini berasal dari daerah sirkulasi
bertekanan tinggi, seperti arkus aorta dan sinus karotikus, dan dari daerah bertekanan
rendah, terutama di atrium jantung. Rangsangan aferen dibawa oleh nervus vagus dan
nervus glosofaringeus dengan sinaps-sinaps di nukleus traktus solitarius. Tonjolan dari
nukleus ini meneruskan sinyal ke nukleus hipotalamik yang mengatur sintesis dan
sekresi ADH.
Jadi, selain untuk meningkatkan osmolaritas, 2 stimulus berikut dapat
meningkatkan sekresi ADH yaitu penurunan tekanan arteri dan penurunan volume darah.
Kapanpun tekanan darah dan volume darah berkurang, seperti yang terjadi selama
perdarahan, peningkatan sekresi ADH akan menyebabkan peningkatan reabsorbsi cairan
oleh ginjal, yang membantu mengembalikan tekanan darah dan volume darah ke
keadaan normal.
Stimulasi lain untuk sekresi ADH
Sekresi ADH dapat juga ditingkatkan atau diturunkan oleh stimulus lain terhadap
sistem saraf pusat dan oleh berbagai obat dan hormon. Misalnya nausea adalah stimulus
yang kuat untuk pelepasan ADH, yang dapat meningkat sampai sebanyak 100 kali
normal setelah muntah. Juga, obat-obatan seperti nikotin dan morfin merangsang
pelepasan ADH, sedangkan beberapa obat, seperti alkohol, menghambat pelepasan ADH.
Diuresis berat yang terjadi setelah meminum alkohol sebagian diakibatkan oleh
hambatan pelepasan ADH.
Peranan rasa haus dalam mengatur osmolaritas cairan ekstrasel dan konsentrasi natrium
Ginjal meminimalkan kehilangan cairan selama terjadi kekurangan air, melalui
sistem umpan balik osmoreseptor-ADH. Akan tetapi, asupan cairan yang adekuat
diperlukan untuk mengimbangi kehilangan cairan yang terjadi melalui keringat dan
napas serta melalui saluran pencernaan. Asupan cairan diatur oleh mekanisme rasa
haus, yang, bersama dengan mekanisme osmoreseptor-ADH, mempertahankan kontrol
osmolaritas cairan ekstrasel dan konsentrasi natrium secara tepat.
Banyak faktor yang sama yang merangsang sekresi ADH juga akan meningkatkan
rasa haus, yang didefinisikan sebagai keinginan sadar terhadap air.
Pusat rasa haus di sistem saraf pusat
Daerah yang sama di sepanjang dinding anteroventral dari ventrikel ketiga yang
meningkatkan pelepasan ADH juga merangsang rasa haus. Terdapat suatu daerah kecil
yang terletak anterolateral dari nukleus preoptik, yang bila distimulasi secara listrik,
menyebabkan kegiatan minum dengan segera dan berlanjut selama rangsangan
berlangsung. Semua daerah ini bersama-sama disebut pusat rasa haus.

Neuron-neuron di pusat rasa haus memberi respon terhadap penyuntikan larutan


garam hipertonik dengan cara merangsang perilaku minum. Sel-sel ini hampir berfungsi
sebagai osmoreseptor untuk mengaktivasi mekanisme rasa haus, dengan cara yang
sama saat osmoreseptor merangsang pelepasan ADH.
Peningkatan osmolaritas cairan serebrospinal di ventrikel ketiga memberi
pengaruh yang pada dasarnya sama, yaitu menimbulkan keinginan untuk minum.
Organum vaskulosum lamina terminalis yang terletak tepat di bawah permukaan
ventrikel pada ujung inferior daerah AV3V, agaknya ikut memperantarai respons
tersebut.
Stimulus terhadap rasa haus
Salah satu yang terpenting beberapa stimulus rasa haus yang diketahui adalah
peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel, yang menyebabkan dehidrasi intrasel di pusat
rasa haus, yang akan merangsang sensasi rasa haus. Kegunaan respon ini sangat jelas :
membantu mengencerkan cairan ekstrasel dan mengembalikan osmolaritas ke keadaan
normal.
Penurunan volume cairan ekstrasel dan tekanan arteri juga merangsang rasa
haus melalui suatu jalur yang tidak bergantung pada jalur yang distimulasi oleh
peningkatan osmolaritas plasma. Jadi, kehilangan volume darah melalui perdarahan akan
merangsang rasa haus walaupun mungkin tidak terjadi perubahan osmolaritas plasma.
Hal ini mungkin terjadi akibat input netral dari baroreseptor kardiopulmonal dan
baroreseptor arteri sistemik di sirkulasi.
Stimulus rasa haus ketiga yang penting adalah angiotensin II. Penelitian terhadap
binatang telah menunjukkan bahwa angiotensin II bekerja pada organ subfornikal dan
pada organum vaskulosum lamina terminalis. Daerah-daerah ini berada di sisi luar sawar
otak, dan peptida-peptida seperti angiotensin II berdifusi ke dalam jaringan. Karena
angiotensin II juga distimulasi oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan hipovolemia
dan tekanan darah rendah, pengaruhnya pada rasa haus membantu memulihkan volume
darah dan tekanan darah kembali normal, bersama dengan kerja lain dari angiotensin II
pada ginjal untuk menurunkan ekskresi cairan.
Kekeringan pada mulut dan membran mukosa eksofagus dapat mendatangkan
sensasi rasa haus. Akibatnya, seseorang yang kehausan dapat segera melepaskan
dahaganya setelah dia minum air, walaupun air tersebut belum diabsorbsi dari saluran
pencernaan dan belum memberi efek terhadap osmolaritas cairan ekstrasel.
Stimulus gastrointestinal dan faring memengaruhi timbulnya rasa haus.
Contohnya, pada binatang yang memiliki esofagus ke arah eksterior, sehingga air tidak
pernah diabsorbsi ke dalam darah, kelegaan yang terjadi setelah minum hanya bersifat
sebagian, walaupun kelegaan itu bersifat sementara. Distensi saluran pencernaan juga
dapat sedikit mengurangi rasa haus; contohnya, peniupan sebuah balon dalam lambung
dapat menghilangkan rasa haus. Akan tetapi, penurunan sensasi rasa haus melalui
mekanisme gastrointestinal atau faringeal hanya bertahan singkat; keinginan untuk
minum hanya dapat dipuaskan sepenuhnya bila osmolaritas plasma dan/atau volume
darah kembali normal.
Kemampuan binatang dan manusia untuk mengukur asupan cairan sangat
penting karena dapat mencegah hidrasi yang berlebihan. Setelah seseorang minum air,
mungkin dibutuhkan waktu 30 sampai 60 menit agar air direabsorbsi dan didistribusikan
ke seluruh tubuh. Bila sensasi rasa haus tidak hilang sebagian setelah minum air, orang
tersebut akan terus minum lebih banyak lagi, yang akhirnya menimbulkan hidrasi dan
pengenceran cairan tubuh yang berlebihan. Penelitian dan percobaan yang berulang kali
menunjukan bahwa binatang meminum jumlah air yang hampir sesuai dengan jumlah

yang dibutuhkan untuk mengembalikan osmolaritas dan volume plasma ke keadaan


normal.
Respon osmoreseptor-ADH dan mekanisme rasa haus yang
pengaturan osmolaritas cairan ekstrasel dan konsentrasi natrium

terintegrasi

dalam

Pada seseorang yang sehat, mekanisme osmoreseptor-ADH dan rasa haus bekerja secara
paralel untuk mengatur osmolaritas cairan ekstrasel dan konsentrasi natrium dengan
tepat, walaupun rangsangan dehidrasi bersifat konstan. Bahkan dengan perangsangan
tambahan, seperti konsumsi garam tinggi, sistem umpan balik ini mampu
mempertahankan osmolaritas plasma agar tetap konstan. Peningkatan asupan natrium
sampai setinggi 6 x normal hanya memberi sedikit pengaruh terhadap konsentrasi
natrium plasma selama mekanisme rasa haus dan ADH berfungsi normal.
Bila mekanisme ADH atau mekanisme rasa haus gagal, mekanisme yang lain biasanya
masih dapat mengatur osmolaritas ekstrasel dan konsentrasi natrium dengan efektivitas
yang memadai, selama tersedia asupan cairan yang cukup untuk mengimbangi volume
urin harian dan kehilangan air melalui pernapasan, keringat atau saluran pencernaan.
Akan tetapi, bila mekanisme ADH dan rasa haus gagal secara bersamaan, konsentrasi
natrium dan osmolaritas plasma tidak dapat dikontrol dengan baik; jadi, bila asupan
natrium meningkat setelah menghambat sistem ADH-rasa haus, terjadi perubahan
konsentrasi natrium plasma yang relatif besar, dalam keadaan tidak adanya mekanisme
ADH-rasa haus, tidak ada mekanisme umpan balik lain yang mampu mengatur
konsentrasi natrium dan osmolaritas plasma secara adekuat.

Anda mungkin juga menyukai