RHEUMATOID ARTRITIS
2. Epidemiologi
Menurut Price dan Wilson (2005)
a. Prevalensi Artritis Reumatoid di masyarakat sekitar 1 – 5 %
b. Sering dijumpai pada wanita, dengan perbandingan wanita dan pria sebesar 3:1.
Perbandingan ini mencapai 5:1 pada wanita dalam usia subur.
c. Insiden puncak pada usia 40-60 tahun
3. Etiologi
Penyebab masih belum diketahui. Diperkirakan ada dua penyebab, yaitu
a. Faktor luar : infeksi dan cuaca
b. Faktor dalam : usia, jenis kelamin, keturunan dan psikologis
1
4. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor pencetus dari atritis reumatoid yang banyak menyebabkan
gejala, meliputi :
a. Aktifitas/mobilitas yang berlebihan
Aktifitas klien dengan usia yang sangat lanjut sangatlah membutuhkan perhatian
yang lebih, karena ketika klien dengan kondisi tubuh yang tidak memungkinkan lagi
untuk banyak bergerak, akan memberatkan kondisi klien yang menurun terlebih lagi
sistem imun yang sangat buruk. Sehingga klien dengan sistem imunitas tubuh yang
menurun, sangatlah dibutuhkan perhatian lebih untuk mengurangi /memperhatikan tipe
aktifitas/mobilitas yang berlebih. Hal ini dikarenakan kekuatan sistem muskuloskeletal
klien yang tidak lagi seperti usianya beberapa tahun yang lalu, masih dapat beraktifitas
maksimal.
b. Lingkungan
Mereka yang terdiagnosis atritis reumatoid sangatlah diperlukan adanya
perhatian lebih mengenai keadaan lingkungan. Ketika lingkungan sekitarnya yang tidak
mendukung, maka kemungkinan besar klien akan merasakan gejala penyakit ini.
Banyak diantaranya ketika keadaan suhu lingkungan sekitar klien yang cukup dingin,
maka klien akan merasa ngilu, kekakuan sendi pada area-area yang biasa terpapar, sulit
untuk mobilisasi, dan bahkan kelumpuhan.
5. Patofisiologi
Patogenesis Atritis Rhematoid (RA) terjadi akibat rantai peristiwa imunologis.
Suatu antigen penyebab AR yang berada pada membran sinovial, akan diproses oleh
antigen presenting cells (APC) yang terdiri dari berbagai jenis sel seperti sel sinoviosit
A, sel dendritik atau makrofag yang semuanya mengekspresi determinan HLA-DR pada
membran selnya. Antigen yang telah diproses akan dikenali dan diikat oleh sel CD 4+
bersama dengan determinan HLA-DR yang terdapat pada permukaan membran APC
tersebut membentuk suatu kompleks trimolekular. Kompleks trimolekular ini dengan
bantuan interleukin-1 (IL-1) yang dibebaskan oleh monosit atau makrofag selanjutnya
akan menyebabkan terjadinya aktivasi sel CD4+.
Pada tahap selanjutnya kompleks antigen trimolekular tersebut akan
mengekspresi reseptor interleukin-2 (IL-2) Pada permukaan CD4+. IL-2 yang diekskresi
2
oleh sel CD4+ akan mengikatkan diri pada reseptor spesifik pada permukaannya sendiri
dan akan menyebabkan terjadinya mitosis dan proliferasi sel tersebut. Proliferasi sel
CD4+ ini akan berlangsung terus selama antigen tetap berada dalam lingkunan tersebut.
Selain IL-2, CD4+ yang telah teraktivasi juga mensekresi berbagai limfokin lain seperti
gamma-interferon, tumor necrosis factor b (TNF-b), interleukin-3 (IL-3), interleukin-4
(IL-4), granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) serta beberapa
mediator lain yang bekerja merangsang makrofag untuk meningkatkan aktivitas
fagositosisnya dan merangsang proliferasi dan aktivasi sel B untuk memproduksi
antibodi. Produksi antibodi oleh sel B ini dibantu oleh IL-1, IL-2, dan IL-4.
Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang dihasilkan akan
membentuk kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas ke dalam ruang sendi.
Pengendapan kompleks imun akan mengaktivasi sistem komplemen yang akan
membebaskan komponen-komplemen C5a. Komponen-komplemen C5a merupakan faktor
kemotaktik yang selain meningkatkan permeabilitas vaskular juga dapat menarik lebih
banyak sel polimorfonuklear (PMN) dan monosit ke arah lokasi tersebut. Pemeriksaan
histopatologis membran sinovial menunjukkan bahwa lesi yang paling dini dijumpai
pada AR adalah peningkatan permeabilitas mikrovaskular membran sinovial, infiltrasi
sel PMN dan pengendapan fibrin pada membran sinovial.
Fagositosis kompleks imun oleh sel radang akan disertai oleh pembentukan dan
pembebasan radikal oksigen bebas, leukotrien, prostaglandin dan protease neutral
(collagenase dan stromelysin) yang akan menyebabkan erosi rawan sendi dan tulang.
Radikal oksigen bebas dapat menyebabkan terjadinya depolimerisasi hialuronat
sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan viskositas cairan sendi. Selain itu radikal
oksigen bebas juga merusak kolagen dan proteoglikan rawan sendi. Prostaglandin E 2
(PGE2) memiliki efek vasodilator yang kuat dan dapat merangsang terjadinya resorpsi
tulang osteoklastik dengan bantuan IL-1 dan TNF-b.
Rantai peristiwa imunologis ini sebenarnya akan terhenti bila antigen penyebab
dapat dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan tetapi pada AR, antigen atau
komponen antigen umumnya akan menetap pada struktur persendian, sehingga proses
destruksi sendi akan berlangsung terus. Tidak terhentinya destruksi persendian pada AR
kemungkinan juga disebabkan oleh terdapatnya faktor reumatoid. Faktor reumatoid
adalah suatu autoantibodi terhadap epitop fraksi Fc IgG yang dijumpai pada 70-90 %
3
pasien AR. Faktor reumatoid akan berikatan dengan komplemen atau mengalami
agregasi sendiri, sehingga proses peradangan akan berlanjut terus. Pengendapan
kompleks imun juga menyebabkan terjadinya degranulasi mast cell yang menyebabkan
terjadinya pembebasan histamin dan berbagai enzim proteolitik serta aktivasi jalur asam
arakidonat.
Masuknya sel radang ke dalam membran sinovial akibat pengendapan kompleks
imun menyebabkan terbentuknya pannus yang merupakan elemen yang paling
destruktif dalam patogenesis AR. Pannus merupakan jaringan granulasi yang terdiri dari
sel fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang.
Antigenantibodi
Kompleks imune
Terbentuknya pannus
4
Kurang informasi Degranulasi sel mast serabut C
5
boutonniere dan leher angsa adalah beberapa deformitas tangan yang sering dijumpai
pada penderita. Pada kaki terdapat protrusi (tonjolan) kaput metatarsal yang timbul
sekunder dari subluksasi metatarsal. Sendi-sendi besar juga dapat terserang dan
mengalami pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam melakukan gerak
ekstensi.
6. Nodula reumatoid
Adalah massa subkutan yang ditemukan pada sekitar sepertiga orang dewasa
penderita arthritis rheumatoid. Lokasi yang paling sering dari deformitas ini adalah
bursa olekranon (sendi siku ) atau di sepanjang permukaan ekstensor dari lengan;
walaupun demikian nodula-nodula ini dapat juga timbul pada tempat-tempat lainnya.
Adanya nodula-nodula ini biasanya merupakan suatu petunjuk suatu penyakit yang
aktif dan lebih berat.
7. Manifestasi ekstra-artikular
Artritis reumatoid juga dapat menyerang organ-organ lain di luar sendi. Jantung
(perikarditis), paru-paru (pleuritis), mata, dan pembuluh darah dapat rusak.
Tabel 1.
Kriteria American Rheumatism Association untuk Artritis Reumatoid, Revisi 1987
Kriteria Definisi
1. Kaku pagi hari Kekakuan pada pagi hari pada persendian dan
disekitarnya, sekurangnya selama 1 jam sebelum
perbaikan maksimal
2. Artritis pada 3 Pembengkakan jaringan lunak atau persendian atau
daerah lebih efusi (bukan pertumbuhan tulang) pada sekurang-
kurangnya 3 sendi secara bersamaan yang diobservasi
oleh seorang dokter. Dalam kriteria ini terdapat 14
persendian yang memenuhi kriteria yaitu PIP, MCP,
pergelangan tangan, siku pergelangan kaki dan MTP
kiri dan kanan.
3. Artritis pada Sekurang-kurangnya terjadi pembengkakan satu
persendian tangan persendian tangan seperti yang tertera diatas.
6
4. Artritis simetris Keterlibatan sendi yang sama (seperti yang tertera pada
kriteria 2 pada kedua belah sisi, keterlibatan PIP, MCP
atau MTP bilateral dapat diterima walaupun tidak
mutlak bersifat simetris.
5. Nodul rheumatoid Nodul subkutan pada penonjolan tulang atau
permukaan ekstensor atau daerah juksta-artrikular yang
diobservasi oleh seorang dokter.
6. Faktor rheumatoid Terdapatnya titer abnormal faktor reumatoid serum
serum yang diperiksa dengan cara yang memberikan hasil
positif kurang dari 5% kelompok kontrol yang
diperiksa.
7. Perubahan Perubahan gambaran radiologis yang radiologis khas
gambaran bagi arthritis reumotoid pada periksaan sinar X tangan
posteroanterior atau pergelangan tangan yang harus
menunjukkan adanya erosi atau dekalsifikasi tulang
yang berlokalisasi pada sendi atau daerah yang
berdekatan dengan sendi (perubahan akibat osteoartritis
saja tidak memenuhi persyaratan).
7. Komplikasi
Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus
peptik yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid
(OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit (disease modifying antirheumatoid
7
drugs, DMARD) yang menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada
artritis reumatoid.
Komplikasi saraf yang terjadi tidak memberikan gambaran jelas, sehingga sukar
dibedakan antara akibat lesi artikular dan lesi neuropatik. Umumnya berhubungan
dengan mielopati akibat ketidakstabilan vertebra servikal dan neuropati iskemik akibat
vaskulitis.
8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang tidak banyak berperan dalam diagnosis artritis
reumatoid, namun dapat menyokong bila terdapat keraguan atau untuk melihat
prognosis pasien. Pada pemeriksaan laboraturium terdapat :
a. Tes faktor reumatik biasanya positif pada lebih dari 75% pasien artritis reumatoid
terutama bila masih aktif. Sisanya dapat dijumpai pada pasien lepra, tuberkulosis
paru, sirosis hepatis, hepatitis infeksiosa, lues, endokarditis bakterialis, penyakit
kolagen, dan sarkoidosis.
b. Protein C-reaktif biasanya positif.
c. LED meningkat.
d. Leukosit normal atau meningkat sedikit.
e. Anemia normositik hipokrom akibat adanya inflamasi yang kronik.
f. Trombosit meningkat.
g. Kadar albumin serum turun dan globulin naik.
Pada periksaan rontgen, semua sendi dapat terkena, tapi yang tersering adalah sendi
metatarsofalang dan biasanya simetris. Sendi sakroiliaka juga sering terkena. Pada
awalnya terjadi pembengkakan jaringan lunak dan demineralisasi juksta artikular.
Kemudian terjadi penyempitan sendi dan erosi.
9. Penatalaksanaan
Tujuan dari penatalaksanaan termasuk penyuluhan, keseimbangan antara istirahat
dan latihan, dan rujukan lembaga di komunitas untuk mendapatkan dukungan.
AR dini : penatalaksanaan pengobatan termasuk dosis terapeutik salisilat
atau obat – obat antiinflamasi nonsteroid ( NSAIDS );
8
antimalaria emas, pensilamin,atau sulfasalazin, methotreksat;
analgetik selama periode nyeri hebat.
AR sedang , erosit : program formal terapi okupasi dan terapi fisik.
AR persisten, erisif : pembedahan rekonstruksi dan kortikosteroid.
AR tahap lanjut yang tak pulih : preparat immunosupresif, seperti metotreksat,
siklosfosfamid, dan azatioprin.
Pasien AR sering mengalami anoreksia, penurunan berat badan, dan anemia,
sehingga membutuhkan pengkajian riwayat diit yang sangat cermat untuk
mengidntifikasi kebiasaan makan dan makanan yang disukai. ( kortikosteroid dapat
menstimulasi napsu makan dan menyebabkan penambahan berat badan ).
Penatalaksanaan artritis reumatoid didasarkan pada pengertian patofisiologis
penyakit ini. Selain itu perhatian juga ditujukan terhadap manifestasi psikofisiologis dan
kekacauan psikososial yang menyertainya yang disebabkan oleh perjalana penyakit
yang fluktuatif dan kronik. Untuk memuat diagnostik yang akurat dapat memakan
waktu sampai bertahun-tahun, tetapi pengobatan dapat dimulai secara lebih dini.
Tujuan utama dari program pengobatan adalah sebagai berikut:
1. Untuk menghilangkan nyeri dan peradangan.
2. Untuk mempertahankan fungsi sendi dan kemampuan maksimal dari
pasien.
3. Untuk mencegah dan memperbaiki deformitas yang terjadi pada sendi.
Ada sejumlah cara penatalaksanaan yang sengaja dirancang untuk mencapai
tujuan-tujuan ini: pendidikan, istirahat, latihan fisik dan termoterapi, gizi dan obat-
obatan.
Langkah pertama dari program penatalaksanaan ini adalah memberikan
pendidikan yang cukup tentang penyakit kepada pasien, keluarganya, dan siapa saja
yang berhubungan dengan pasien. Pendidikan yang diberikan meliputi pengertian
tentang patofisiologis, penyebab, dan prognosis penyakit ini, semua komponen program
penatalaksanaan termasuk regimen obat yang kompleks, sumber-sumber bantuan untuk
mengatasi penyakit ini, dan metode-metode efektif tentang penatalaksanaan yang
diberikan oleh tim kesehatan. Proses pendidikan ini harus dilakukan secara terus-
menerus. Bantuan dapat diperoleh melalui club penderita, badan-badan kemasyarakatan,
dan dari orang-orang lain yang juga penderita artritis reumatoid, serta keluarga mereka.
9
Istirahat penting karena artritis reumatoid biasanya disertai rasa lelah yang
hebat. Walaupun rasa lelah itu bisa timbul setiap hari, tetapi ada masa-masa ketika
pasiem merasa lebih baik atau lebih berat. Kekakuan dan rasa tidak nyaman dapat
meningkat apabila beristirahat, hal ini berarti bahwa pasien dapat mudah terbangun dari
tidurnya pada malam hari karena nyeri.
Latihan-latihan spesifik dapat bermanfaat dalam mempertahankan fungsi sendi.
Latihan ini mencakup gerakan aktif dan pasif pada semua sendi yang sakit, sedikitnya
dua kali sehari. Kompres panas pada sendi-sendi yang sakit dan bengkak mungkin dapat
mengurangi nyeri. Mandi parafin dengan suhu yang bisa diatur dan mandi dengan suhu
panas dan dingin dapat dilakukan di rumah.
10
2) Penisilamin, efeknya menyerupai senyawa emas dan bisa digunakan bila
senyawa emas tidak efektif dan menyebabkan efek samping yang tidak dapat
ditoleransi. Dosis dinaikan secara bertahap hingga terjadi perbaikan. Penisilamin
yang biasa dipakai antara lain hydroxycloroquinine dan sulfasalazine.
c. Kortikosteroid, misalnya prednison merupakan obat paling efektif untuk mengurangi
peradangan dibagian tubuh manapun. Kortikosteroid efektif digunakan pada
pemakaian jangka pendek, dan kurang efektif bila dipakai dalam jangka panjang.
Obat ini tidak memperlambat perjalanan penyakit ini dan pemakaian jangka panjang
mengakibatkan berbagai efek samping, yang melibatkan hampir setiap organ. Untuk
mengurangi resiko terjadinya efek samping, maka hampir selalu digunakan dosis
efektif terendah. Obat ini disuntikan langsung ke dalam sendi, tetapi dapat
menyebabkan kerusakan jangka panjang, terutama jika sendi yang terkena digunakan
secara berlebihan sehingga mempercepat terjadinya kerusakan sendi.
d. Obat imunosupresif (contohnya metotreksat, azatioprin, dan cyclophosphamide)
efektif untuk mengatasi artritis yang berat. Obat ini menekan peradangan sehingga
pemakaian kortikosteroid bisa dihindari atau diberikan dengan dosis rendah.
11
3) Integritas ego
Gejala : Faktor-faktor stres akut/ kronis: mis; finansial, pekerjaan,
ketidakmampuan,
Faktor-faktor hubungan. Keputusan dan ketidakberdayaan ( situasi
ketidakmampuan )
Ancaman pada konsep diri, citra tubuh, identitas pribadi ( misalnya
ketergantungan pada orang lain).
4) Makanan/ cairan
Gejala : Ketidakmampuan untuk menghasilkan/ mengkonsumsi makanan/
cairan adekuat: mual, anoreksia
Kesulitan untuk mengunyah
Tanda : Penurunan berat badan, Kekeringan pada membran mukosa.
5) Hygiene
Gejala : Berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas perawatan pribadi.
6) Neurosensori
Gejala : Kebas, semutan pada tangan dan kaki, hilangnya sensasi pada jari tangan.
7) Nyeri/ kenyamanan
Gejala : Fase akut dari nyeri ( mungkin tidak disertai oleh pembengkakan jaringan
lunak pada sendi ).
8) Keamanan
Gejala : Kulit mengkilat, tegang, nodul subkutan, Lesi kulit, ulkus kaki. Kesulitan
dalam ringan dalam menangani tugas/ pemeliharaan rumah tangga.
Demam ringan menetap Kekeringan pada mata dan membran mukosa.
Pemeriksaan Fisik :
Keadaan umum : komplikasi steroid, berat badan.
Tangan : meliputi vaskulitasi dan fungsi tangan.
Lengan : siku dan sendi bahu, nodul rematoid dan pembesaran kelenjar
limfe aksila.
Wajah : periksa mata untuk sindroma Sjorgen, skleritis, episkleritis,
skleromalasia perforans, katarak, anemia dan tanda – tanda
12
hiperviskositas pada fundus. Kelenjar parotis membesar
13
Cara penilaiannya antara lain : makan, jika memerlukan bantuan diberi nilai 5
dan jika mandiri diberi nilai 10. Berpindah dari kursi roda ke tempat tidur dan
sebaliknya termasuk duduk di tempat tidur, jika memerlukan bantuan diberi nilai 5
samapai 10, dan jika mandiri diberi nilai 15. Kebersihan diri ( mencuci muka,
menyisir, mencukur, menggososk gigi ) jika memerlukan bantuan diberi nilai 0 dan
jika mandiri diberi nilai 5. Aktivitas di toilet ( mengelap, menyemprot ) jika
memerlukan bantuan diberi nilai 5 dan jika mandiri diberi nilai 10. Mandi jika
memerlukan bantuan diberi nilai 0 dan jika mandiri diberi nilai 5. Berjalan di jalan
yang datar jika memrlukan bantuan diberi nilai 10 dan jika mandiri diberi nilai 15.
Naik turun tangga jika memerlukan bantuan diberi nilai 5 dan jika mandiri diberi
nilai 10. Berpakaian termasuk menggunakan sepatu, jika memerlukan bantuan diberi
nilai 5, jika mandiri 10. Mengontrol defekasi, jika memerlukan bantuan diberi nilai 5
dan jika mandiri 10. Mengontol berkemih, jika memerlukan bantuan diberi nilai 5
dan mandiri 10.
Dengan penilaian :
0-20 : ketergantungan penuh
21-61 : ketergantungan berat / sangat tergantung
62-90 : ketergantungan moderet
91-99 : ketergantungan ringan
100 : mandiri
2) Indeks Katz
Pengkajian menggunakan indeks kemandirian katz untuk aktifitas kehidupan
sehari – hari yang berdasarkan pada evaluasi fungsi mandiri atau ketergantungan dari
klien dalam hal : makan , BAB/BAK, berpindah, ke kamar mandi, mandi dan berpakain.
Menurut Pratiwi S., indeks Kazt adalah pemeriksaan disimpulkan dengan sistem
penilaian yang didasarkan pada tingkat bantuan orang lain dalam melakukan aktivitas
fungsionalnya. Salah satu keuntungan dari alat ini adalah kemampuan untuk mengukur
perubahan fungsi aktivitas dan latihan setiap waktu, yang diakhiri evaluasi dan aktivitas
rehabilitasi.
14
Pengukuran pada kondisi ini meliputi Indeks Katz :
1 Mandi Dapat mengerjakan sendiri Bagian tertentu dibantu
2 Berpakain Seluruhnya tanpa bantuan Bagian tertentu dibantu
atau seluruhnya dengan
bnatuan
3 Pergi ke toilet Dapat mengerjakan sendiri Memerlukan bantuan atau
tidak dapat pergi ke wc
4 Berpindah Tanpa bantuan Dengan bantuan atau tidak
( berjalan ) dapat melakukan
5 BAB/BAK Dapat mengontrol Kadang – kadang ngompol
atau defekasi di tempat
tidur atau dibantu
seluruhnya
6 Makan Tanpa bantuan Perlu bantuan dalam hal –
hal tertentu atau seluruhnya
dibantua
Klasifikasi :
A : Mandiri untuk 6 fungsi
B : Mandiri untuk 5 fungsi
C : Mandiri kecuali untuk mandi dan 1 fungsi lain
D : Mandiri kecuali untuk mandi, berpakaian dan 1 fungsi lain
E : Mandiri kecuali untuk mandi, berpakaian, pergi ke toilet dan 1 fungsi lain
F : Mandiri kecuali untuk mandi, berpakain, pergi ke toilet, dan 1 fungsi lain
G : Tergantung untuk 6 fungsi
Berdasarkan referensi yang peneliti dapatkan, untuk memeprmudah penilaiannya
dimodifikasi sebagai berikut :
A : Mandiri untuk 6 fungsi
B : Mandiri untuk 5 fungsi
C : Mandiri untuk 4 fungsi
D : Mandiri untuk 3 fungsi
E : Mandiri untuk 2 fungsi
F : Mandiri untuk 1 fungsi
15
G : Tergantung untuk 6 fungsi
Keterangan :
Mandiri : berarti tanpa pengawasan, pengarahan atau bantuan aktif dari orang
lain. Seseorang yang menolak melakukan suatu fungsi dianggap tidak melakukan
fungsi, meskipun mampu
Dalam pengkajian menggunakan INDEKS KATZ dan BARTHEL INDEKS
klien mungkin mampu melakukan semua pemenuhan kebutuhan dasar klien mulai
dari makan, minum, ambulasi, BAB/BAK, toileting dan perawatan diri lainnya.
Semua hal di atas tergantung dari tingkat keparahan penyakit yang dialami oleh
klien.
d. Status Mental dan kognitif Gerontik
1) SPMSQ ( Short Portable Mental Status Questioner )
Digunakan untuk mendeteksi kerusakan intelektual terdiri dari 10 hal yang
menilai orientasi, memori dalam hibungan dengan kemampuan perawatan diri,
memori jauh dan kemampuan matematis.
2) MMSE ( Mini Mental Status Exam )
Merupakan suatu alat yang berguna menguji kemampuan klien dengan menguji
aspek kognitif dari fungsi mental, orientasi, perhatian dan kalkulasi, mengingat
kembali, bahasa dan nilai. Dengan melakukan pengkajian menggunakan SPMSQ
atau MMSE klien mungkin mengalami kerusakan intelektual ringan sampai berat
atau mungkin fungsi intelektual yang dimiliki oleh klien masih utuh / baik hal ini
tergantung pada latar belakang tingkat pendidikan klien, lingkungan dan bergantung
pada kondisi klien itu sendiri
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut/kronis berhubungan dengan distensi jaringan oleh akumulasi cairan atau
proses inflamasi destruksi sendi
b. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan deformitas skeletal
c. Deficit perawatan diri berhubungan dengan kerusakan musculoskeletal, penurunan
kekuatan, daya tahan, dan nyeri pada waktu bergerak, depresi, pembatasan aktivitas
16
d. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perceptual kognitif, psikososial,
perubahan kemampuan untuk melakukan tugas umum, peningkatan penggunaan
energy, ketidakseimbangan mobilitas
e. Risiko Injuri berhubungan keterbatasan ketahanan fisik, perubahan fungsi sendi.
f. Cemas berhubungan dengan perubahan status kesehatan, prognosa penyakit
g. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya pemajanan/mengingat,
kesalahan interpretasi informasi
B. Konsep Keluarga
1. Pegertian Keluarga
Banyak ahli menguraikan pengertian tentang keluarga. Terdapat pengertian yang
berbeda dalam hal mendefinisikan tentang keluarga. UU. No. 10 tahun 1992
mendefinisikan keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami-
istri, atau suami-istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Pakar
konseling dari yogyakarta, Sayekti (1994) mendefinisikan keluarga adalah suatu ikatan/
persekutuan hidup atas dasar perkawinan antar orang dewasa yang berlainan jenis yang
hidup bersama atau seorang laki-laki atau perempuan yang sudah sendirian dengan atau
tanpa anak, baik anaknya sendiri atau adopsi yang tinggal dalam sebuah rumah tangga.
Dep.Kes. RI (1988) mendefinisikan keluarga adalah unit terkecil dari
masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga beserta beberapa orang anggotanya yang
terkumpul dan tinggal dalam satu tempat karena pertalian darah, ikatan perkawinan,
atau adopsi yang satu sama lainnya saling tergantung dan beriteraksi. Friedman (1998)
mendefinisikan keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama
dengan keterikatan aturan dan emosional dan individu mempunyai peran masing-
masing yang merupakan bagian dari keluarga. Bailon dan Maglaya (1989)
mendefiniskan keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung karena
hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidup dalam
suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan di dalam peranannya masing-
masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan. Effendy (2005),
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan
beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam
keadaan saling ketergantungan.
17
Pengertian yang disampaikan para ahli terdapat beberapa persamaan antara lain
antara Sayekti (1994), Dep. Kesehatan. RI (1988), Bailon dan Maglaya (1989) dan
Effendi (2005) yaitu keluarga tergabung karena adanya hubungan perkawinan. namun
terdapat perbedaan pandangan yaitu pandangan dari Friedman (1998) yang tidak
menyebutkan secara spesifik adanya hubungan perkawinan dalam rumah tangga, hanya
menyebutkan adanya keterikatan aturan dan emosional, tetapi pada prinsipnya sama
yaitu adanya perkumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama, adanya aturan
didalamnya, dan adanya interaksi antar anggota keluarga.
Dari beberapa pengertian tentang keluarga tersebut di atas maka dapat
disimpulkan bahwa keluarga adalah :
1) Terdiri dari dua atau lebih individu yang diikat oleh hubungan darah, perkawinan
atau adopsi.
2) Anggota keluarga biasanya hidup bersama atau jika terpisah mereka tetap
memperhatikan satu sama lain.
3) Anggota keluarga berinteraksi satu sama lain dan masing-masing mempunyai peran
sosial
a. Tujuan dasar keluarga
Bergabungnya dua orang atau lebih yang membentuk keluarga,
mempunyai suatu tujuan. Menurut Friedman (1998) tujuan utama keluarga
adalah sebagai perantara yaitu menanggung semua harapan dan kewajiban-
kewajiban masyarakat serta membentuk dan mengubah sampai taraf tertentu
hingga dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan setiap individu dalam
keluarga.
b. Struktur keluarga
Struktur keluarga menurut Effendy (1998) terdiri dari bermacam-
macam, diantaranya: patrilineal, matrilineal, matrilokal, patrilokal dan
keluarga kawinan.
Patrilineal adalah keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara
sedarah dalam beberapa generasi, dimana hubungan itu disusun melalui jalur
garis ayah, sedangkan matrilineal adalah sama dengan patrilineal hanya
hubungan disusun berdasarkan garis ibu. Matrilokal merupakan sepasang
suami-istri yang tinggal dengan keluarga sedarah istri berbeda dengan
18
patrilokal merupakan kebalikan dari matrilokal yang tinggal dengan keluarga
sedarah suami. Sedangkan keluarga kawinan adalah hubungan suami istri
sebagai dasar bagi pembinaan keluarga dan beberapa sanak saudara yang
menjadi bagian keluarga karena adanya hubungan dengan suami atau istri.
c. Ciri-ciri struktur keluarga
Struktur keluarga mempunyai ciri-ciri khusus, menurut Effendy
(1998) yang mengutip dari Anderson Carter, ciri-ciri struktur keluarga
adalah: terorganisasi dimana antar anggota keluarga saling ketergantungan
antara anggota keluarga. Kedua, ada keterbatasan yaitu setiap anggota
memiliki kebebasan tetapi mereka juga mempunyai keterbatasan dalam
menjalankan fungsi dan tugasnya masing-masing. Kektiga. Ada perbedaan
dan kekhususan yaitu setiap anggota keluarga mempunyai peranan dan
fungsinya masing-masing.
d. Tipe keluarga :
Tipe atau bentuk keluarga berbeda menurut pandangan dan keilmuan
serta orang yang mengelompokkannya. Menurut Suprajitno, (2004), tipe
keluarga dibagi menjadi 2 kelompok yaitu : 1. kelompok tradisional, 2.
Kelompok non tradisional.
Kelompok tradisional dibagi menjadi 2 yaitu : Keluarga inti (Nuclear
Family) yaitu keluarga yang hanya terdiri dari ayah, ibu dan anak yang
diperoleh dari keturunannya atau diadopsi atau keduanya. dan keluarga besar
(Extendeed Family) yaitu keluarga inti ditambah anggota keluarga lain yang
masih mempunyai hubungan darah (kakek-nenek, paman-bibi).
Sedangkan kelompok kedua (Non Traditional) yaitu kelompok
tradisional dengan perkembangannya ditambah dengan kelompok lain yaitu:
keluarga bentukan kembali (Dyadic Family) yaitu keluarga baru yang
terbentuk dari pasangan yang telah bercerai atau kehilangan pasangannya,
orang tua tunggal (Single Parent Family) yaitu keluarga yang terdiri dari
salah satu orang tua dengan anak-anaknya akibat perceraian atau ditinggal
pasangannya, ibu dengan anak tanpa perkawinan yang sah (The unmarried
teenage mother), orang dewasa laki-laki atau perempuan yang tinggal sendiri
tanpa pernah menikah (The single adult living alone), keluarga dengan anak
19
tanpa pernikahan sebelumnya (The non marital heterosecual cohabiting
family) dan keluarga yang dibentuk oleh pasangan yang berjenis kelamin
sama (gay and lesbian family).
Terdapat perbedaan dengan teori lain seperti yang disampaikan oleh
Effendy (1998) yang membagi tipe keluarga menjadi 6 tipe/ bentuk keluarga,
yaitu: Keluarga inti (Nuclear family) yaitu keluarga yang terdiri dari ayah,
ibu, dan anak-anak. Keluarga besar (Exstended family) yaitu keluarga inti
ditambah dengan sanak saudara, misalnya nenek, kakek, keponakan, saudara
sepupu, paman, bibi dan sebagainya.
Berbeda dengan keluarga berantai (Serial family) yaitu keluarga yang
terdiri dari wanita dan pria yang menikah lebih dari satu kali dan merupakan
satu keluarga inti. Keluarga duda/janda (single family) yaitu keluarga yang
terjadi karena perceraian atau kematian, jika suami meninggal maka yang
ada adalah keluarga janda dan bila istri meninggal maka yang terbentuk
adalah keluarga duda, bila bentuk keluarga yang terjadi kerena perceraian
maka akan terbentuk dua keluarga yaitu keluarga duda dan keluarga janda.
Keluarga berkomposisi (Composite) yaitu keluarga yang perkawinannya
berpoligami dan hidup secara bersama, poligami yaitu satu orang pria
dengan lebih dari satu istri dan masih hidup bersama. Keluarga kabitas
(Cohabitation) yaitu dua orang menjadi satu tanpa pernikahan tetapi
membentuk suatu keluarga.
e. Tahap dan tugas perkembangan keluarga
Setiap keluarga mempunyai tahap perkembangan dan tugas
perkembangan sendiri dan mempuyai ciri yang berbeda dengan yang lain.
Terdapat beberapa teori tentang tahap dan tugas perkembangan keluarga,
yaitu: menurut Carter dan McGoldrick (1989), tahap perkembangan terdiri
dari: keluarga antara masa bebas (pacaran) dewasa muda, terbentuknya
keluarga baru melalui suatu perkawinan, keluarga yang memiliki anak usia
muda (anak usia bayi sampai sekolah), keluarga yang memiliki anak dewasa,
keluarga yang mulai melepaskan anaknya untuk keluar rumah, keluarga
lansia.
Sedangkan menurut Duvall (1989), tahap perkembangan keluarga
20
dibagi dalam 8 tahap perkembangan yaitu: keluarga baru menikah, keluarga
dengan anak baru lahir (usia anak tertua sampai 30 tahun), keluarga dengan
anak prasekolah (usia anak tertua 2 ½ tahun -5 tahun), keluarga dengan anak
usia sekolah (usia anak tertua 6-12 tahun), keluarga mulai melepaskan anak
sebagia dewasa (anak-anaknya mulai meninggalkan rumah), keluarga yang
hanya terdiri dari orang tua saja/ keluarga usia pertengahan (semua anak
meninggalkan rumah), keluarga lansia.
Tahap perkembangan keluarga baru menikah, tahap ini dimulai dari
pernikahan yang dilanjutkan dalam membentuk rumah tangga. Dalam tahap
ini keluarga mempunyai tugas perkembangan yaitu membina hubungan
intim yang memuaskan pasangannya, membina hubungan dengan keluarga
lain, teman dan keluarga sosial.
Tahap perkembangan yang kedua, keluarga keluarga dengan anak
baru lahir. Yaitu ditandai dengan kelahiran anak pertama sampai dengan 30
bulan. Tugas perkembangan keluarga ini adalah mempersiapkan menjadi
orang tua, adaptasi dengan perubahan adanya anggota keluarga, interaksi
keluarga, hubungan seksual dan kegiatan, mempertahankan hubungan dalam
rangka memuaskan pasangannya.
Tahap perkembangan selanjutnya adalah keluarga dengan anak usia
pra sekolah. Pada tahap ini mempunyai tugas perkembangan memenuhi
kebutuhan anggota keluarga, misal kebutuhan tempat tinggal, privasi dan
rasa aman, membantu anak untuk bersosialisasi, beradaptasi dengan anak
yang beru lahir, sementara kebutuhan anak yang lain yang lebih tua juga
harus terpenuhi, mempertahankan hubungan yang sehat baik didalam
maupun diluar keluarga, pembagian waktu untuk individu, pasangan dan
anak, pembagian tanggung jawab anggota keluarga, merencanakan kegiatan
dan waktu untuk menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak.
Tahap perkembangan yang keempat adalah keluarga dengan anak
usia sekolah. Tugas perkembangan pada tahap ini adalah membantu
sosialisasi anak terhadap lingkungan luar rumah, sekolah dan lingkungan
lebih luas (yang tidak diperoleh dari sekolah atau masyarakat), tugas yang
lain adalah mempunyai keintiman pasangan, memenuhi kebutuhan yang
21
meningkat termasuk biaya kehidupan dan kesehatan anggota keluarga.
Tahap perkembangan selanjutnya adalah keluarga dengan anak
remaja. Tugas perkembangan pada tahap ini adalah memberikan kebebasan
yang seimbang dan bertanggung jawab mengingat anak remaja adalah
sorang dewasa muda dan mulai memiliki otonomi, mempertahankan
hubungan intim dalam keluarga, mempertahankan komunikasi terbuka antara
anak dan orang tua, mempersiapkan perubahan sistem peran dan peraturan
(anggota) keluarga untuk memenuhi kebutuhan tumbuh kembang anggota
keluarga.
Tahap perkembangan yang keenam adalah keluarga mulai
melepaskan anak sebagai dewasa. Tugas dalam tahap ini adalah memperluas
jaringan keluarga dari keluarga inti menjelaskan keluarga besar,
mempertahankan keintiman pasangan, membantu anak untuk mandiri
sebagai keluarga baru di masyarakat, penataan kembali peran orang tua dan
kegiatan dirumah.
Tahap perkembangan selanjutnya adalah keluarga dengan usia
pertengahan. Pada tahap ini mempunyai tugas perkembangan
mempertahankan kesehatan individu dan pasangan usia pertengahan,
mempertahankan hubungan yang serasi dan memuaskan dengan anak-
anaknya dan sebaya, meningkatkan keakraban pasangan.
Tahap perkembangan yang terakhir atau yang kedelapan adalah
keluarga usia tua. Tugas pada perkembangan ini adalah mempertahankan
suasana kehidupan rumah tangga yang saling menyenangkan pasangan,
adaptasi dengan perubahan yang akan terjadi, kehilangan pasangan, kekuatan
fisik dan penghasilan keluarga, mempertahankan keakraban pasangan dan
saling merawat dan melak life review masa lalu.
f. Pemegang kekuasaan dalam keluarga
Pemegang kekuasaan dalam tiap keluarga berbeda dalam mengatur
kehidupan dalam keluarga. Effendy (1998) membagi pemegang kekuasaan
dalam rumah tangga atau keluarga dengan tiga jenis yaitu keluarga patriakal,
yang dominan dan memegang kekuasaan dalam keluarga adalah pihak ayah.
Sementara pada keluarga matriakal pihak ibu lebih dominan dan sebagai
22
pemegang kekuasaan. Dan yang ketiga adalah equalitarian yaitu keluarga
yang dalam keluarga ayah dan ibu sama-sama memegang kekuasaan.
g. Peran Keluarga
Peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku
interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam
posisi dan situasi tertentu. Effendy (1998) membagi peranan keluarga dalam
tiga peranan yaitu peranan ayah, peranan ibu dan juga peranan anak. Peranan
ayah adalah sebagai suami dari istri dan ayah dari anak-anak, berperan
sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai
kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai
anggota masyarakat dari lingkungan.
Peranan ibu adalah sebagai istri dari suami dan ibu dari anak-
anaknya, ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai
pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu
kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari
lingkungannya, di samping itu juga ibu dapat berperan sebagai pencari
nafkah tambahan dalam keluarga, Apabila dalam keluarga sudah mempunyai
anak, maka selain ada peranan ayan, peranan ibu, juga ada peranan anak.
Sedangkan Peranan anak adalah melaksanakan peranan psiko-sosial
sesuai dengan tingkat perkembangannya baik fisik, mental, sosial dan
spriritual.
h. Fungsi keluarga
Terbentuknya keluarga mempunyai berbagai fungsi dalam
menunjang kehidupan dalam Keluarganya. Beberapa ahli mempunyai
perbedaan dalam menyebutkan fungsi dalam keluarga.
23
Komponen yang perlu dipenuhi oleh keluarga dalam melaksanakan fungsi
afektif adalah; saling mengasuh, cinta kasih, kehangatan, saling menrima,
saling mendukung, saling menghargai, dan ikatan antar anggota keluarga
dikembangkan melalui proses identifikasi dan penyesuaian pada berbagai
aspek kehidupan anggota keluarga. Dari aspek fungsi afektif dapat
disimpulkan bahwa fungsi afek merupakan sumber energi yang menentukan
kebahagiaan keluarga. Keretakan keluarga, kenakalan anak atau masalah
keluarga timbul karena fungsi afektif yang tidak terpenuhi.
24
rumah yang sehat dan mempertahankan hubungan dengan (menggunakan)
fasilitas kesehatan masyarakat.
25
Dari berbagai fungsi di atas, Effendy (1998) menyebutkan tiga fungsi
pokok keluarga terhadap anggotanya yaitu asih, asuh dan asah. Asih adalah
memberikan kasih sayang, perhatian, rasa aman, kehangatan kepada anggota
keluarga sehingga memungkinkan mereka tumbuh dan berkembang sesuai
usia dan kebutuhannya. Asuh adalah memenuhi kebutuhan pemeliharaan dan
perawatan anak agar kesehatannya selalu terpelihara, sehingga diharapkan
menjadikan mereka anak-anak yang sehat baik fisik, mental, sosial dan
spiritual. Sedangkan asah adalah memenuhi kebutuhan pendidikan anak,
sehingga siap menjadi manusia dewasa yang mandiri dalam mempersiapkan
masa depannya, misalnya dengan menyekolahkan anak-anak (Effendy,
1998). Indonesia dalam fungsi keluarga membagi menjadi delapan (UU No.
10. tahun 1992 jo PP No.21 tahun 1994) yaitu: fungsi keagamaan. Keluarga
berfungsi dalam membina, menerjemahkan, memberi contoh konkret dalam
kehidupan sehari-hari, melengkapi dan menambah proses kegiatan belajar
keagamaan dan membina rasa, sikap dan praktik kehidupan keluarga
beragama. Hal ini dalam keluarga sebagai fondasi menuju keluarga kecil
bahagia dan sejahtera.
26
meningkatkan kematangan dan kedewasaan anak sehingga dapat bermanfaat
positif. Keluarga berfungsi ekonomi, melakukan kegiatan ekonomi,
mengelola, mengatur hasil kegiatan ekonomi sebagai modal dalam
mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera. Fungsi pelestarian
lingkungan, dengan membina kesadaran, sikap, praktik perilaku pelestarian
lingkungan.
27
keperawatan adalah metode ilmiah yang digunakan secara sistematis untuk
mengkaji dan menentukan masalah kesehatan dan keperawatan keluarga,
merencanakan asuhan keperawatan dan melaksanakan intervensi terhadap
keluarga sesuai dengan rencana yang telah disusun dan mengevaluasi mutu hasil
asuhan keperawatan yang dilaksanakan terhadap keluarga. Proses keperawatan
merupakan pusat bagi semua tindakan keperawatan, yang dapat diaplikasikan
dalam situasi apa saja, dalam kerangka referensi tertentu, konsep tertentu, teori
atau falsafah (Yora & Walsh, 1979 dikutip oleh Friedman, 1998).
a. Pengkajian
Pengkajian adalah suatu tahapan ketika seorang perawat
mengumpulkan informasi secara terus menerus tentang keluarga yang
dibinanya (Suprajitno, 2004). Pengkajian merupakan langkah awal
pelaksanaan asuhan keperawatan keluarga. Agar diperoleh data pengkajian
yang akurat dan sesuai dengan keadaan keluarga, perawat diharapkan
menggunakan bahasa ibu (bahasa yang digunakan sehari-hari), lugas dan
sederhana (Suprajitno: 2004). Kegiatan yang dilakukan dalam pengkajian
meliputi pengumpulan informasi dengan cara sistematis dengan menggunakan
28
suatu alat pengkajian keluarga, diklasifikasikan dan dianalisa (Friendman,
1998)
a.1. Pengumpulan data
1) Identitas keluarga yang dikaji adalah umur, pekerjaan, tempat tinggal,
dan tipe keluarga.
Pada umumnya penderita hipertensi merupakan penyakit yang
dipengaruhi oleh pola hidup terutama pola hidup yang salah, pola
hidup yang berhubungan dengan emosi yang negative seperti emosi
yang tidak terkendali atau temperamental, ambisius, pekerja kerasyang
tidak tenang, takut dan kecemasan yang berlebihan (Indomedia, 2002).
2) Latar belakang budaya /kebiasaan keluarga
a. Kebiasaan makan
Kebiasaan makan ini meliputi jenis makanan yang dikosumsi oleh
Keluarga. Pada keluarga dengan hipertensi sering dijumpai pola
makan yang tidak benar seperti mengkosumsi makanan yang
banyak mengandung zat pengawet ,makanan yang asin serta emosi
yang negatif
b. Pemanfaatan fasilitas kesehatan
Perilaku keluarga didalam memanfaatkan fasilitas kesehatan
merupakan faktor yang penting dalam penggelolaan penyakit
hipertensi. Adanya sumber pelayanan kesehatan digunakan untuk
upaya pencegahan dan pengobatan dini karena dapat mencegah
timbulnya komplikasi (Rokhaeni,2001).
c. Pengobatan tradisional
Keluarga dapat mengobati hipertensi dengan pengobatan
tradisional, yaitu minum sari bawang putih yang ditumbuk halus
dan diberi air secukupnya di minum pagi dan sore (Hariadi, 2001).
Hipertensi akan menjadi parah dan menimbulkan komplikasi bila
pasien tidak memilih pengobatan tradisional hipertensi yang benar
dan tepat justru akan memperparah dan bahkan akan menimbulkan
gangguan pada organ lain seperti hati, ginjal dan lambung.
29
3) Status Sosial Ekonomi
a. Pendidikan
Tingkat pendidikan keluarga mempengaruhi keluarga dalam
mengenal hipertensi beserta pengelolaannya. berpengaruh pula
terhadap pola pikir dan kemampuan untuk mengambil keputusan
dalam mengatasi masalah dangan tepat dan benar.
b. Pekerjaan dan Penghasilan
Penghasilan yang tidak seimbang juga berpengaruh terhadap
keluarga dalam melakukan pengobatan dan perawatan pada angota
keluarga yang sakit salah satunya disebabkan karena hipertensi.
Menurut (Effendy, 1998) mengemukakan bahwa ketidakmampuan
keluarga dalam merawat anggota keluarga yang sakit salah satunya
disebabkan karena tidak seimbangnya sumber-sumber yang ada
pada keluarga.
4) Tingkat perkembangandan riwayat keluarga
Riwayat keluarga mulai lahir hingga saat ini. termasuk riwayat
perkembangan dan kejadian serta pengalaman kesehatan yang unik
atau berkaitan dengan kesehatan yang terjadi dalam kehidupan
keluarga yang belum terpenuhi berpengaruh terhadap psikologis
seseorang yang dapat mengakibatkan cemas stres(friedmen, 1998).
5) Aktifitas
Aktifitas fisik yang keras dapat menambah terjadinya peningkatan
tekanan darah. Serangan hipertensi dapat timbul sesudah atau waktu
melakukan kegiatan fisik, seperti olah raga.
6) Data Lingkungan
a. Karakteristik rumah
Cara memodifikasikan lingkungan fisik yang baik seperti lantai
rumah, penerangan dan fentilasi yang baik dapat mengurangai
factor penyebab terjadinya hipertansi dan juga ketenangan dalam
rumah tangga dapat memperkecil serangan hipertensi.
30
b. Karakteristik Lingkungan
Menurut (Friedman, 1998) derajad kesehatan dipengaruhi oleh
lingkungan. Ketenangan lingkungan sangat mempengaruhi derajat
kesehatan tidak terkecuali pada hipertensi
c. Perkumpulan keluarga dan interaksi dengan masyarakat
Masalah dalam keluarga dapat menjadi salah satunya faktor
pencetus terjadinya hipertensi dimana akan menyebabkan cemas
merupakan faktor resiko hipertensi
7) Struktur Keluarga
a. Pola komunikasi
Menurut Nursalam, (2001) Semua interaksi perawat dengan pasien
adalah berdasarkan komunikasi. Istilah komunikasi teurapetik
merupakan suatu tekhnik diman usaha mengajak pasien dan
keluarga untuk bertukar pikiran dan perasaan. Tekhnik tersebut
mencakup ketrampilan secara verbal maupun non verbal, empati
dan rasa kepedulian yang tinggi.
b. Struktur kekuasaan
Kekuasaan dalam keluarga mempengaruhi dalam kondisi
kesehatan, kekuasaan yang otoriter dapat menyebabkan stress
psikologik yang mempengaruhi dalam hipertensi.
c. Struktur peran
Bila anggota keluarga menerima dan konsisten terhadap peran yang
dilakukan, maka ini akan membuat anggota keluarga puas atau
tidak ada konflik dalam peran, dan sebaliknya bila peran tidak
dapat diterima dan tidak sesuai dengan harapan maka akan
mengakibatkan ketegangan dalam keluarga (Friedman, 1998).
8) Fungsi Keluarga
a. Fungsi afektif
Keluarga yang tidak menghargai anggota keluarganya yang
menderita hipertensi, maka akan menimbulkan stressor
tersendiri bagi penderita. Hal ini akan menimbulkan suatu
keadaan yang dapat menambah seringnya terjadi serangan
31
hipertensi karena kurangnya partisipasi keluarga dalam
merawat anggota keluarga yang sakit (Friedman, 1998).
b. Fungsi sosialisasi .
Keluarga memberikan kebebasan bagi anggota keluarga yang
menderita hipertensi dalam bersosialisasi dengan lingkungan
sekitar. Bila keluarga tidak memberikan kebebasan pada
anggotanya, maka akan mengakibatkan anggota keluarga
menjadi sepi. Keadaan ini mengancam status emosi menjadi
labil dan mudah stress.
c. Fungsi kesehatan
Pengetahuan keluarga tentang penyakit dan penanganannya
a) Mengenal masalah kesehatan
Ketidaksanggupan keluarga mengenal masalah kesehatan
pada keluarganya, salah satunya adalah disebabkan karena
kurang pengetahuan (Effendy, 1998). Bila keluarga tidak
mampu mengenali masalah hipertensi yang disertai
anggota keluarganya, maka hipertensi akan berakibat
terjadinya komplikasi.
b) Mengambil keputusan.
Ketidaksanggupan keluarga mengambil keputusan dalam
melakukan tindakan yang tepat, disebabkan karena tidak
memahami mengenai sifat, berat dan luasnya masalah
tidak begitu menonjol (Effendy, 1998).
c) Merawat anggota keluarga yang sakit
Ketidakmampuan merawat anggota keluarga yang sakit
disebabkan karena tidak mengetahui keadaan penyakit,
misalnya komplikasi, progrfosis, cara perawatan dan
sumber-sumber yang ada dalam keluarga.
d) Memelihara lingkungan rumah yang sehat
Keluarga diharapkan mengetahui keuntungan atau
manfaat pemeliharaan lingkungan yang sehat, dan
32
menyadarinya sebagai salah satu media perawatan bagi
anggota keluarga yang sakit.
Lingkungan rumah yang berdebu dan asap rokok bisa
menjadi pemicu serangan hipertensi (Sundaru, 2001).
Dengan melihat hal tersebut, keluarga harus mampu
memodifikasi lingkungan yang sehat dan nyaman bagi
penderita hipertensi.
e) Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada
Pengetahuan keluarga tentang keberadaan dan keuntungan
yang didapat dari fasilitas-fasilitas kesehatan, sangat
berpengaruh terhadap penderita hipertensi. Fasilitas
kesehatan di masyarakat sangat berperan daiam hal ini,
juga saat penderita hipertensi memerlukan pengobatan.
9) Pola istirahat tidur
Istirahat tidur seseorang akan terganggu manakala sedang
mengalami masalah yang belum terselesaikan. Pada penderita
hipertensi, gangguan istirahat tidur sering diakibatkan oleh sesak
nafas dan batuk. Tidak terpenuhinya kebutuhan istirahat tidur
beresiko memperburuk keadaan hipertensi.
10) Pemeriksaan fisik anggota keluarga
Sebagaimana prosedur pengkajian yang komprehensif,
pemeriksaan fisik juga dilakukan menyeluruh dari ujung rambut
sampai kuku. Setelah ditemukan masalah kesehatan, pemeriksaan
fisik lebih difokuskan lagi pada pemeriksaan sistem pernafasan
terutama pada penderita hipertensi dikarenakan dengan adanya
hipertensi dapat terjadi peningkatan tekanan intra kranial yang
dapat menyebabkan kelainan pada syaraf yang mempersyarafi pada
pernafasan.
11) Koping keluarga
Bila ada stressor yang muncul dalam keluarga, sedangkan koping
keluarga tidak efektif, maka ini akan menjadi stress anggota
keluarga yang berkepanjangan. Salah satu pencegahan agar
33
serangan hipertensi tidak sering muncul adalah dengan mencegah
timbulnya stress (Tanjung, 2003).
b. Diagnosa keperawatan
Menurut pendapat Friedman (1998) diagnosa keperawatan keluarga
merupakan perpanjangan dari diagnosa-diagnosa keperawatan terhadap
sistem keluarga dan merupakan hasil dari pengkajian. Diagnosa keperawatan
keluarga di dalamnya termasuk masalah-masalah kesehatan yang aktual dan
potensial.
Doenges (1999) mendefinisikan diagnosa keperawatan adalah cara
mengidentifikasi, memfokuskan dan mengatasi kebutuhan pasien serta
respon terhadap masalah aktual dan resiko tinggi.
Carpenito (1998) mendefinisikan diagnosa keperawatan adalah pernyataan
yang menggambarkan respon manusia (keadaan sehat atau perubahan pola
interaksi potensial dan aktual dari individu atau kelompok dimana perawat
dapat secara legal mengidentifikasi dan untuk itu pula perawat dapat
menyusun intervensi-intervensi definitif untuk mempertahankan status
kesehatan atau untuk mengurangi, menghilangkan, atau mencegah.
Dengan pengertian diatas yang telah disampaikan para ahli, keluarga
merupakan satu tipe kelompok dimana diagnosa keperawatan dapat
diberlakukan, meskipun demikian, diagnosa keperawatan masih berorientasi
pada individu. Diagnosa yang mungkin muncul dalam keluarga dengan
penyakit hipertensi menurut Doenges (2000) antara lain nyeri kepala,
insomnia, gang perfusi jaringan, penurunan curah jantung, intoleransi
aktifitas, nyeri dada dan resti injuri (diplopia).
1) Prioritas masalah
Menurut Effendy (1998) hal-hal yang perlu diperhatikan dala
penyusunan prioritas masalah adalah tidak mungkin masalah-masalah
kesehatan dan keperawatan yang ditemukan dalam keluarga diselesaikan
sekaligus, perlu mempertimbangkan masalah-masalah yang dapat
mengancam kesehatan seperti masalah penyakit.
34
Mempertimbangkan respon dan perhatian keluarga terhadap asuhan
keperawatan keluarga yang diberikan, keterlibatan anggota keluarga
dalam memecahkan masalah yang mereka hadapi, sumber daya keluarga
yang dapat menunjang pemecahan masalah kesehatan atau keperawatan
keluarga serta yang tidak kalah pentingya adalah pengetahuan dan
kebudayaan keluarga.
2) Kriteria prioritas masalah
penyusunann prioritas masalah kesehatan dan keperawatan
keluarga, didasarkan pada beberapa kriteria. Menurut Effendy (1998),
kriteria yang menjadi dasar prioritas masalah adalah sifat masalah,
kemungkinan masalah dapat diubah, potensial masalah untuk dicegah
dan menonjolnya masalah.
Sifat masalah dikelompokkan menjadi ancaman kesehatan, tidak atau
kurang sehat, dan krisis. Dalam menentukan sifat masalah, bobot yang
paling besar diberikan pada keadaan sakit atau yang mengancam
kehidupan keluarga, yaitu keadaan sakit kemudian baru diberikan kepada
hal-hal yang mengancam kesehatan keluarga dan selanjutnya pada situasi
krisis dalam keluarga di mana terjadi situasi yang menuntut penyesuaian
dalam keluarga (Efiendy, 1998).
Sedangkan kemungkinan masalah hipertensi dapat diubah, adalah
kemungkinan keberhasilan mengurangi atau mencegah masalah yang
berhubungan dengan hipertensi jika dilakukan intervensi. Faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi masalah hipertensi dapat diubah adalah faktor
pengetahuan dan tindakan untuk menangani masalah hipertensi, sumber
daya keluarga, di antaranya adalah keuangan, tenaga, sarana dan
prasarana. Selain itu sumber daya perawatan, diantaranya adalah
pengetahuan dan keterampilan dalam penanganan masalah keperawatan
serta waktu dan sumber daya masyarakat, dapat dalam bentuk fasilitas,
organisasi seperti posyandu, polindes, dan sebagainya juga menjadi
faktor yang mempengaruhi kemungkinan masalah hipertensi untuk
diubah (Effendy, 1998).
35
Potensial masalah hipertensi untuk dicegah, adalah sifat dan beratnya
masalah berhubungan dengan hipertensi yang timbul dan dapat dikurangi
atau dicegah melalui tindakan keperawatan, misalnya dengan
memberikan informasi tentang hipertensi, cara mencegah terjadinya serta
menganjurkan penderita hipertensi untuk memeriksakan kesehatannya ke
tempat palayanan kesehatan (puskesmas, rumah sakit, dan dokter).
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melihat potensi pencegahan
masalah hipertensi adalah kepelikan atau kesulitan masalah hipertensi hal
ini berkaitan dengan beratnya penyakit atau hipertensi yang dialami oleh
keluarga. Kedua perhatikan tindakan yang sudah dan sedang
dilaksanakan, yaitu tindakan untuk mencegah dan mengobati masalah
hipertensi dalam rangka meningkatkan status kesehatan keluarga
(Effendy, 1998).
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam melihat potensi pencegahan
masalah hipertensi berhubungan dengan jangka waktu terjadinya
masalah hipertensi. Keadaan ini erat hubungannya dengan beratnya
masalah hipertensi pada keluarga dan potensi masalah untuk dicegah.
Dan yang tidak kalah pentingnya adalah adanya keiompok resiko tinggi
dalam keluarga atau kelompok yang sangat peka menambah potensi
untuk mencegah masalah hipertensi (Effendy, 1998).
Menonjolnya masalah hipertensi adalah cara keluarga melihat dan
menilai masalah yang berhubungan dengan masalah hipertensi dalam hal
berat dan mendesak masalah hipertensi untuk diatasi melalui intervensi
keperawatan.
36
menyatakan ada beberapa tingkat tujuan. Tingkat pertama meliputi tujuan-tujuan
jangka pendek yang sifatnya dapat diukur, langsung dan spesiflk. Sedangkan
tingkat kedua adalah tujuan jangka panjang yang merupakan tingkatan terakhir
yang menyatakan maksud-maksud luas yang yang diharapkan oleh perawat
maupun keluarga agar dapat tercapai.
Dalam menyusun kriteria evaluasi dan standar evaluasi, disesuaikan dengan
sumber daya yang mendasar dalam keluarga pada umumnya yaitu biaya,
pengetahuan, dan sikap dari keiuarga, sehingga dapat diangkat tiga respon yaitu
respon verbal, kognitif, afektif atau perilaku, dan respon psikomotor untuk
mangatasi masalahnya. Tujuan asuhan keperawatan keluarga dengan masalah
hipertensi dapat dibedakan menjadi dua yaitu tujuan jangka pendek dan tujuan
jangka panjang (Effendy, 1998).
Tujuan jangka pendek pada penderita hipertensi antara lain : setelah diberikan
informasi kepada keluarga mengenai hipertensi keluarga mampu mengambil
keputusan dalam melakukan tindakan yang tepat untuk anggota keluarga yang
menderita hipertensi dengan respon verbal keluarga mampu menyebutkan
pengertian, tanda dan gejala, penyebab serta perawatan hipertensi. Respon
afektif, keluarga mampu menentukan cara penanganan atau perawatan bagi
anggotanya yang menderita hipertensi secara tepat. Sedangkan respon
psikomotor, keluarga mampu memberikan perawatan secara tepat dan
memodifikasi lingkungan yang sehat dan nyaman bagi penderita hipertensi.
Standar evaluasi yang digunakan adalah pengertian, tanda dan gejala, penyebab,
perawatan, komplikasi dan pengobatan hipertensi (Effendy, 1998).
Tujuan jangka panjang yang ingin dicapai dalam perawatan hipertensi adalah
masalah dalam keluarga dapat teratasi atau dikurangi setelah dilakukan tindakan
keperawatan. Tahap intervensi diawali dengan menyelesaikan perencanaan
perawatan. Seperti pendapat Friedman (1998) selama pelaksanaan intervensi
perawatan, data-data baru secara terus-menerus mengalir masuk. Karena
informasi ini (respon pada klien, perubahan situasi dan lain-lain) dikumpulkan,
perawat perlu cukup fleksibel dan dapat beradaptasi untuk mengkaji ulang
situasi dengan keiuarga dengan membuat modifikasi-modifikasi tanpa rencana
terhadap perencanaan.
37
Dalam memilih tindakan keperawatan tergantung pada sifat
masalah dan sumber-sumber yang tersedia untuk pemecahan. Intervensi keluarga
dengan masalah hipertensi menurut Doengoes (1999) antara lain mengkaji
tekanan darah, menganjurkan kepada keluarga menciptakan lingkungan yang
nyaman, segar, bebas polusi pertahankan pembatasan aktivitas, seperti istirahat
di tempat tidur dan menghindari stres.
Selain itu juga perlu dikaji pemahaman klien tentang hipertensi kemudian
mendiskusikan dengan keluarga tentang hipertensi (pengertian, penyebab, tanda
dan gejala, perawatan, pengobatan, serta komplikasi hipertensi). Menganjurkan
pada klien agar manghindari makan makanan yang mengandung banyak
Natrium (garam/asin). Kaji keefektifan strategi koping dengan mengobservasi
perilaku klien dan keluarga, misal kemampuan menyatakan perasaan dan
perhatian, keinginan berpartisipasi dalam rencana pengobatan. Berikan informasi
tentang sumber-sumber di masyarakat dan dukungan anggota keluarga
(Doenges, 1999).
d. Implementasi
Implementasi dapat dilakukan oleh banyak orang seperti klien (individu
atau keluarga), perawat dan anggota tim perawatan kesehatan yang lain,
keluarga luas dan orang-orang lain dalam jaringan kerja sosial keluarga
(Friedman, 1998). Hal senada juga diutarakan Suprajitno (2004). Implementasi
terhadap keluarga dengan masalah hipertensi didasarkan kepada rencana asuhan
keperawatan yang telah disusun.
Hal yang perlu diperhatikan dalam tindakan keperawatan keluarga dengan
hipertensi menurut Effendy (1998) adalah sumber daya dan dana keluarga,
tingkat pendidikan keluarga, adat istiadat yang berlaku, respon dan penerimaan
keluarga serta sarana dan prasarana yang ada dalam keluarga.
Sumber daya dan dana keluarga yang memadai diharapkan dapat menunjang
proses penyembuhan dan penatalaksanaan penyakit hipertensi menjadi lebih
baik. Sedangkan tingkat pendidikan keluarga juga mempengaruhi keluarga
dalam mengenal masalah hipertensi dan dalam mengambil keputusan mengenai
tindakan kesehatan yang tepat terhadap anggota keluarga yang terkena
hipertensi. Adat istiadat dan kebudayaan yang berlaku dalam keluarga akan
38
mempengaruhi pengambilan keputusan keluarga tentang pola pengobatan dan
penatalaksanaan penderita hipertensi, seperti pada suku pedalaman lebih
cenderung menggunakan dukun daripada pelayanan kesehatan. Demikin juga
respon dan penerimaan terhadap anggota keluarga yang sakit hipertensi akan
mempengaruhi keluarga dalam merawat anggota yang sakit hipertensi. Sarana
dan prasarana baik dalam keluarga atau masyarakat merupakan faktor yang
penting dalam perawatan dan pengobatan hipertensi. Sarana dalam keluarga
dapat berupa kemampuan keluarga menyediakan makanan yang sesuai dan
menjaga diit atau kemampuan keluarga, mengatur pola makan rendah garam,
menciptakan suasana yang tenang dan tidak memancing kemarahan. Sarana dari
lingkungan adalah, terjangkaunya sumber-sumber makanan sehat, tempat
latihan, juga fasilitas kesehatan (Effendy, 1998).
e. Evaluasi
Komponen kelima dari proses keperawatan ini adalah evaluasi. Evaluasi
didasarkan pada bagaimana efektifnya tindakan keperawatan
yang dilakukan oleh keluarga, perawat, dan yang lainnya. Evaluasi merupakan
proses berkesinambungan yang terjadi setiap kali seorang perawat
memperbaharui rencana asuhan keperawatan (Friedman, 1998). Evaluasi dapat
dilaksanakan dengan dua cara yaitu evaluasi formatif dan evaluasi sumatif
(Suprijatno, 2004) yaitu dengan SOAP, dengan pengertian S adalah ungkapan
perasaan dan keluhan yang dirasakan secara subjektif oleh keluarga setelah
diberikan implementasi keperawatan, O adalah keadaan obyektif yang dapat
diidentifikasi oleh perawat menggunakan penagamatan. A adalah merupakan
analisis perawat setelah mengetahui respon keluarga secara subjektif dan
objektif, P adalah perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan tindakan.
Dalam mengevaluasi harus melihat tujuan yang sudah dibuat sebelumnya. Bila
tujuan tersebut belum tercapai, maka dibuat rencana tindak lanjut yang masih
searah dengan tujuan.
39
DAFTAR PUSTAKA
40