NIM: 190406010
DEPARTEMEN ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2021/2022
Bernaung atau/dan Berlindung?
Arsitektur dipengaruhi oleh letak geografis dan iklim sehingga desain yang dihasilkan
dari setiap Negara ataupun daerah berbeda-beda. Contohnya adalah Indonesia, dimana
arsitektur di Indonesia mempertimbangkan 2 musim dalam desainnya yaitu musim hujan dan
musim kemarau.
Menurut Prof.Dr.Josef Prijotomo, Keraton Jogja dan Keraton Solo tidak bisa
dikatakan sebagai arsitektur vernacular dan tradisional. Sebab didalam ilmu Arsitektur,
bangunan-bangunan kayu tidak disebut sebagai Arsitektur, tetapi bangunan-bangunan batu
yang disebut Arsitektur.
Memahami Iklim dan Arsitektur Nusantara :
Sebelum 1800 – Arsitektur Nusantara
1800-1945 – Arsitektur Hindia Belanda Atau dapat disebut arsitektur pra kemerdekaan
1945-Kini – Arsitektur Indonesia
Arsitektur (Indonesia) sebelum 1800 belum kontak dengan Eropa. Tidak memungkin bahwa
arsitektur kita berada di bawah arsitektur Eropa karena belum terjadi kontak. Arsitektur yang setara
dengan arsitektur Eropa adalah Nusantara Vitruvian. Terdapat perbedaan dan persamaan diantara
keduanya.
Menanggapi dan mengkoreksi Arsitektur Tradisional tentang Iklim melalui penelitian Eropa
di abad 17,18, dan 19 :
Bangsa Eropa abad 18-19 dalam memahami daerah tropis:
Tidak memiliki musim dingin sehingga tidak berpakaian dan beralas kaki
Tidak memakai piring-sendok-garpu (piring adalah daun pisang/jati; makan dengan tangan)
Memiliki kegiatan berburu untuk makanan (dari flora dapat dihasilkan makanan harian dan
obat/jamu)
Kurang memahami matahari utara-selatan
Terlalu fokus pada matahari timur-barat
Tidak mengetahui potensi bayangan dan ruang bayang-bayang
Pada Arsitektur Nusantara, kolong dan lantai tanpa dinding berfungsi sebagai
ventilasi untuk ruangan, sehingga ruangan terasa sejuk. Intinya Nusantara “Tidak Berlindung
tapi Bernaung”. Jika arsitektur hanya sebagai untuk bernaung maka tantangan iklim/cuaca
cukup diatasi dengan payung/daun pisang/daun talas. Arsitektur nusantara: pernaungan
(sebelum 1800). Tantangan iklim atau cuaca pada awal mula Arsitetur Nusantara :
Ditingkatkan ke dalam bangunan, cukup dengan atap penaung
Ditingkatkan menjadi bangunan bejejer, mengarah utara-selatan
Menghadapi kelembaban dan beceknya tanah, maka dibuat bangunan panggung
Terang matahari dan bayangan matahari dioptimalkan pemanfaatannya dengan kegiatan
siang di luar bangunan
Dapur di luar, tempat menenun dan berkerajinan di kolong/emper
Dalam bangunan tempat menyimpan
Naluri sosialisasi tinggi karena setiap orang bias saling bertandang, gotong royong.
Penghargaan pada pribadi dengan tektonika dan ornamentasi
Merancang tidak dari denah ruangan melainkan dari luasan atap atau luasan kolom.
Kesimpulan :
Karena setiap Benua, Negara, maupun Daerah memiliki iklim yang berbeda-beda,
maka terdapat pula perbedaan terhadap kebutuhan dari sebuah ruang maupun bangunan itu
sendiri. Sehingga teori Arsitektur Eropa tidak semuanya dapat diterapkan kedalam bangunan
di Indonesia