Anda di halaman 1dari 6

Arsitektur Rumah Adat Toraja

SEJARAH ARSITEKTUR DI INDONESIA


November 29th, 2012

Asitektur Indonesia terdiri dari klasik-tradisional, vernakular dan bangunan baru


kontemporer. Arsitektur klasik-tradisional adalah bangunan yang dibangun oleh
zaman kuno. Arsitektur vernakular juga bentuk lain dari arsitektur tradisional,
terutama bangunan rumah hunian, dengan beberapa penyesuaian membangun
oleh beberapa generasi ke generasi. Arsitektur Baru atau kontemporer lebih
banyak menggunakan materi dan teknik konstruksi baru dan menerima
pengaruh dari masa kolonial Belanda ke era pasca kemerdekaan. Pengenalan
semen dan bahan-bahan modern lainnya dan pembangunan dengan
pertumbuhan yang cepat telah menghasilkan hasil yang beragam.
Arsitektur Klasik Indonesia
Ciri khas arsitektur klasik Indonesia dapat dilihat paada bangunan candi dengan
struktur menaranya. Candi Buddha dan Hindu dibangun dari batu, yang
dibangun di atas tanah dengan cirikhas piramida dan dihiasi dengan relief.
Secara simbolis, bangunan adalah sebagai representasi dari Gunung Meru yang
legendaris, yang dalam mitologi Hindu-Buddha diidentifikasi sebagai kediaman
para dewa. Candi Buddha Borobudur yang terkenal dari abad ke-9 dan Candi
Prambanan bagi umat Hindu di Jawa Tengah juga dipenuhi dengan gagasan
makro kosmos yang direpresentasiken dengan sebuah gunung. Di Asia Timur,
walau dipengaruhi oleh budaya India, namun arsitektur Indonesia (nusantara)
lebih mengedapankan elemen-elemen masyarakat lokal, dan lebih tepatnya
dengan budaya petani.
Budaya Hindu paling tidak 10 abad telah mempengaruhi kebudayaan Indonesia
sebelum pengaruh Islam datang. Peninggalan arsitektur klasik (Hindu-Buddha) di
Indonesia sangat terbatas untuk beberapa puluhan candi kecuali Pulau Bali yang
masih banyak karena faktor agama penduduk setempat.
Arsitektur vernakular di Indonesia
Arsitektur tradisional dan vernakular di Indonesia berasal dari dua sumber.
Pertama adalah dari tradisi Hindu besar dibawa ke Indonesia dari India melalui
Jawa. Yang kedua adalah arsitektur pribumi asli. Rumah-rumah vernakular yang
kebanyakan ditemukan di daerah pedesaan dibangun dengan menggunakan
bahan-bahan alami seperti atap ilalang, bambu, anyaman bambu, kayu kelapa,
dan batu. Bangunan adalah penyesuain sepenuhnya selaras dengan lingkungan
sekitar. Rumah-rumah di pedalaman di Indonesia masih banyak yang
menggunakan bambu, namun dengan seiring dengan proses modernisasi,
bangunan-bangunan bambu ini sedikit demi sedikit diganti dengan bangunan
dinding bata.

Arsitektur tradisional di Indonesia


Bangunan vernakular yang tertua di Indonesia saat ini tidak lebih dari sekitar
150 tahun usianya. Namun dari relief di dinding abad ke-9 di candi Borobudur di
Jawa Tengah mengungkapkan bahwa ada hubungan erat dengan arsitektur
rumah vernakular kontemporer yang ada saat ini. Arsitektur vernakular Indonesia
juga mirip dengan yang dapat ditemukan di seluruh pulau-pulau di Asia
Tenggara. Karakteristik utamanya adalah dengan digunakannya lantai yang
ditinggikan (kecuali di Jawa), atap dengan kemiringan tinggi menyerupai pelana
dan penggunaan material dari kayu dan bahan organik tahan lama lainnya.
Pengaruh Islam dalam Arsitektur
Budaya Islam di Indonesia dimulai pada tahun 13 Masehi ketika di Sumatra
bagian utara muncul kerajaan Islam Pasai di 1292. Dua setengah abad kemudian
bersama-sama juga dengan orang-orang Eropa, Islam datang ke Jawa. Islam
tidak menyebar ke kawasan Indonesia oleh kekuatan politik seperti di India atau
Turki namun lebih melalui penyebaran budaya. Budaya Islam pada arsitektur
Indonesia dapat dijumpai di masjid-masjid, istana, dan bangunan makam.
Menurunnya kekuatan kerajaan Hindu Majapahit di Jawa menandai bergantinya
periode sejarah di Jawa. Kebudayaan Majapahit tersebut meninggalkan
kebesarannya dengan dengan serangkaian candi-candi monumental sampai
abad keempat belas. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa Zaman Klasik di
Jawa ini kemudian diganti dengan zaman biadab dan juga bukanlah awal dari
Abad Kegelapan. Selanjutnya kerajaan-kerajaan Islam melanjutkan budaya
lama Majapahit yang mereka adopsi secara jenius. New Era selanjutnya
menghasilkan ikon penting seperti masjid-masjid di Demak, Kudus dan Banten
pada abad keenam belas. Juga dengan situs makam Imogiri dan istana-istana
Yogyakarta dan Surakarta pada abad kedelapan belas. Fakta sejarah
menunjukkan bahwa Islam tidak memperkenalkan bentuk-bentuk fisik baru dan
ajaran-ajarannyapun diajarkan lebih dalam cara-cara mistis oleh para sufi, atau
dengan kata lain melalui sinkretisme, sayangnya hal inilah yang mempengaruhi
gagalnya Islam sebagai sebuah sistem baru yang benar-benar tidak
menghapuskan warisan Hindu ( lihat Prijotomo, 1988).

Masjid Kudus dengan Gaya Hindu untuk Drum Tower dan Gerbang

Penyebaran Islam secara bertahap di kawasan Indonesia dari abad ke-12 dan
seterusnya dengan memperkenalkan serangkaian penting pengaruh arsitektur.
Namun, perubahan dari gaya lama ke baru yang lebih bersifat ideologis baru
kemudian teknologi. Kedatangan Islam tidak mengarah pada pengenalan
bangunan yang sama sekali baru, melainkan melihat dan menyesuaikan bentukbentuk arsitektur yang ada, yang diciptakan kembali atau ditafsirkan kembali
sesuai persyaratan dalam Islam. Menara Kudus, di Jawa Tengah, adalah contoh
dalam kasus ini. Bangunan ini sangat mirip dengan candi dari abad ke-14 di era
kerajaan Majapahit, menara ini diadaptasi untuk kepentingan yang lebih baru
dibangun masjid setelah runtuhnya kerajaan Majapahit. Demikian pula, masjidmasjid di awal perkembangan Islam di Indonesia murni terinspirasi dari tradisi
bangunan local yang ada di Jawa, dan tempat lain di Nusantara, dengan empat
kolom utama yang mendukung atap tengahnya. Dalam kedua budaya ini empat
kolom utama atau Saka Guru mempunyai makna simbolis.
Gaya Belanda dan Hindia Belanda
Pengaruh Barat di mulai jauh sebelum tahun 1509 ketika Marco Polo dari Venesia
melintasi Nusantara di 1292 untuk kegiatan perdagangan. Sejak itu orang-orang
Eropa berusaha untuk merebut kendali atas perdagangan rempah-rempah yang
sangat menguntungkan. Portugis dan Spanyol, dan kemudian Belanda,
memperkenalkan arsitektur mereka sendiri dengan cara awal tetap
menggunakan berbagai elemen arsitektur Eropa, namun kemudian dapat
beradaptasi dengan tradisi arsitektur lokal. Namun proses ini bukanlah sekadar
satu arah: Belanda kemudian mengadopsi unsur-unsur arsitektur pribumi untuk
menciptakan bentuk yang unik yang dikenal sebagai arsitektur kolonial Hindia
Belanda. Belanda juga sadar dengan mengadopsi arsitektur dan budaya
setempat kedalam arsitektur tropis baru mereka dengan menerapkan bentukbentuk tradisional ke dalam cara-cara modern termasuk bahan bangunan dan
teknik konstruksi.

Gereja Blenduk dan Lawang Sewu bangunan, contoh dari arsitektur Belanda
Bangunan kolonial di Indonesia, terutama periode Belanda yang sangat panjang
1602 1945 ini sangat menarik untuk menjelajahi bagaimana silang budaya
antara barat dan timur dalam bentuk bangunan, dan juga bagaimana Belanda
mengembangkan aklimatisasi bangunan di daerah tropis. Menurut Sumalyo
(1993), arsitektur kolonial Belanda di Indonesia adalah fenomena budaya unik
yang pernah ditemukan di tempat lain maupun di tanah air mereka sendiri.
Bangunan-bangunan tesebut adalah hasil dari budaya campuran kolonial dan
budaya di Indonesia.
Perbedaan konsep Barat dan Indonesia ke dalam arsitektur adalah terletak pada
korelasi antara bangunan dan manusianya. Arsitektur Barat adalah suatu
totalitas konstruksi, sementara itu di Timur lebih bersifat subjektif, yang lebih
memilih penampilan luar terutama faade depan. Kondisi alam antara sub-tropis
Belanda dan tropis basah Indonesia juga merupakan pertimbangan utama
bangunan Belanda di Indonesia.
Sebenarnya, Belanda tidak langsung menemukan bentuk yang tepat untuk
bangunan mereka di awal perkembangannya di Indonesia. Selama awal
kolonisasi Eropa awal abad 18, jenis bangunan empat musim secara langsung
dicangkokkan Belanda ke iklim tropis Indonesia. Fasade datar tanpa beranda,

jendela besar, atap dengan ventilasi kecil yang biasa terlihat di bagian tertua
kota bertembok Belanda, juga digunakan seperti di Batavia lama (Widodo, J. dan
YC. Wong 2002).
Menurut Sumintardja, (1978) VOC telah memilih Pulau Jawa sebagai pusat
kegiatan perdagangan mereka dan bangunan pertama dibangun di Batavia
sebagai benteng Batavia. Di dalam benteng, dibangun rumah untuk koloni,
memiliki bentuk yang sederhana seperti rumah asli di awal tapi belakangan
diganti dengan rumah gaya Barat (untuk kepentingan politis). Dinding batu bata
rumah, mereka mengimpor bahan langsung dari Belanda dan juga dengan atap
genteng dan interior furniture. Rumah-rumah yang menjadi tradisi pertama
rumah-rumah tanpa halaman, dengan bentukan memanjang seperti di Belanda
sendiri. Rumah-rumah ini ada dua lantai, sempit di faade tapi lebar dalam.
Rumah tipe ini selanjutnya banyak digunakan oleh orang-orang cina setelah
orang Belanda beralih dengan rumah-rumah besar dengan halaman luas.
Rumah-rumah ini disebut sebagai bentuk landhuizen atau rumah tanpa beranda
dalam periode awal, setelah mendapat aklimatisasi dengan iklim setempat,
rumah-rumah ini dilengkapi dengan beranda depan yang besar seperti di aula
pendapa pada bangunan vernakular Jawa.
Pada awalnya, rumah-rumah ini dibangun dengan dua lantai, setelah mengalami
gempa dan juga untuk tujuan efisiensi, kemudian rumah-rumah ini dibangun
hanya dalam satu lantai saja. Tetapi setelah harga tanah menjadi meningkat,
rumah-rumah itu kembali dibangun dengan dua lantai lagi.
Penentuan desain arsitektur menjadi lebih formal dan ditingkatkan setelah
pembentukan profesi Arsitek pertama di bawah Dinas Pekerjaan Umum (BOW)
pada 1814-1930. Sekitar tahun 1920-an 1930-an, perdebatan tentang masalah
identitas Indonesia dan karakter tropis sangat intensif, tidak hanya di kalangan
akademis tetapi juga dalam praktek. Beberapa arsitek Belanda, seperti Thomas
Karsten, Maclaine Pont, Thomas Nix, CP Wolf Schoemaker, dan banyak lainnya,
terlibat dalam wacana sangat produktif baik dalam akademik dan praksis. Bagian
yang paling menarik dalam perkembangan Arsitektur modern di Indonesia
adalah periode sekitar 1930-an, ketika beberapa arsitek Belanda dan akademisi
mengembangkan sebuah wacana baru yang dikenal sebagai Indisch-Tropisch
yaitu gaya arsitektur dan urbanisme di Indonesia yang dipengaruhi Belanda
Tipologi dari arsitektur kolonial Belanda; hampir bangunan besar luar koridor
yang memiliki fungsi ganda sebagai ruang perantara dan penyangga dari sinar
matahari langsung dan lebih besar atap dengan kemiringan yang lebih tinggi dan
kadang-kadang dibangun oleh dua lapis dengan ruang yang digunakan untuk
ventilasi panas udara.
Arsitek-arsitek Belanda mempunyai pendekatan yang baik berkaitan dengan
alam di mana bangunan ditempatkan. Kesadaran mereka dapat dilihat dari unsur
konstruksi orang yang sangat sadar dengan alam. Dalam Sumalyo (1993,):
Karsten pada tahun 1936 dilaporkan dalam artikel: Semarangse
kantoorgebouwen atau Dua Office Building di Semarang Jawa Tengah:
1. Pada semua lantai pertama dan kedua, ditempatkan pintu, jendela, dan
ventilasi yang lebar diantara dia rentang dua kolom. Ruangan untuk tiap lantai
sangat tinggi; 5, 25 m di lantai pertama dan 5 m untuk lantai dua. Ruangan yang
lebih tinggi, jendela dan ventilasi menjadi sistem yang baik untuk
memungkinkan sirkulasi udara di atap, ada lubang ventilasi di dinding atas (di
atas jendela)
2. Disamping lebar ruang yang lebih tinggi, koridor terbuka di sisi Barat dan
Timur meliputi ruang utama dari sinar matahari langsung.
Ketika awal urbanisasi terjadi di Batavia (Jakarta), ada begitu banyak orang
membangun vila mewah di sekitar kota. Gaya arsitekturnya yang klasik tapi
beradaptasi dengan alam ditandai dengan banyak ventilasi, jendela dan koridor

terbuka banyak dipakai sebagai pelindung dari sinar matahari langsung. Di


Bandung, Villa Isolla adalah salah satu contoh arsitektur yang baik ini (oleh
Schoemaker1933)

Villa Isolla, salah satu karya arsitektur Belanda di Indonesia


Arsitektur Kontemporer Indonesia
Setelah kemerdekaan pada tahun 1945, bangunan modern mengambil alih
Indonesia. Kondisi ini berlanjut ke tahun 1970-an dan 1980-an ketika
pertumbuhan eknomi yang cepat Indonesia yang mengarah pada programprogram pembangunan besar-besaran di setiap sector mulai dari skema rumah
murah, pabrik-pabrik, bandara, pusat perbelanjaan dan gedung pencakar langit.
Banyak proyek bergengsi yang dirancang oleh arsitek asing yang jarang
diterapkan diri mereka untuk merancang secara khusus untuk konteks Indonesia.
Seperti halnya kota-kota besar di dunia, terutama di Asia, sebagai korban dari
globalisasi terlepas dari sejarah lokal, iklim dan orientasi budaya.

Rumah-rumah kontemporer di Indonesia


Arsitektur modern Indonesia umumnya mulai di sekitar tahun 50an dengan
dominasi bentuk atap. Model bangunan era kolonial juga diperluas dengan teknik
dan peralatan baru seperti konstruksi beton, AC, dan perangkat lift. Namun,
sepuluh tahun setelah kemerdekaan, kondisi ekonomi di Indonesia belum cukup
kuat. Sebagai akibat, bangunan yang kurang berkualitas terpaksa lahir. Semua
itu sebagai upaya untuk menemukan arsitektur Indonesia modern, seperti halnya
penggunaan bentuk atap joglo untuk bangunan modern.
Arsitektur perumahan berkembang luas pada tahun 1980-an ketika industri
perumahan booming. Rumah pribadi dengan arsitektur yang unik banyak lahir
tapi tidak dengan perumahan massal. Istilah rumah rakyat, rumah berkembang,
prototipe rumah, rumah murah, rumah sederhana, dan rumah utama dikenal
baik bagi masyarakat. Jenis ini dibangun dengan ide ruang minimal, rasional
konstruksi dan non konvensional (Sumintardja, 1978)
Permasalahan untuk Arsitektur Indonesia
Gerakan-gerakan baru dalam arsitektur seperti Modernisme, Dekonstruksi,
Postmodern, dll tampaknya juga diikuti di Indonesia terutama di Jawa. Namun,
dalam kenyataannya, mereka menyerap dalam bentuk luar saja, bukan ide-ide
dan proses berpikir itu sendiri. Jangan heran jika kemudian muncul pandangan
yang dangkal; Kotak-kotak adalah Modern, Kotak berjenjang adalah pasca
Modern (Atmadi, 1997). Arsitektur hanya hanya dilihat sebagai objek bukan
sebagai lingkungan hidup.
Sumalyo, (1993) menyatakan bahwa pandangan umum arsitektur Barat:
Purism, di mana untuk menunjuk Bentuk dan Fungsi, adalah berlawanan

dengan konsep-konsep tradisi yang memiliki konteks dengan alam. Kartadiwirya,


dalam Budihardjo (1989,) berpendapat, mengapa prinsip tropis nusantara
arsitektur jarang dipraktekkan di Indonesia adalah karena pemikiran dari proses
perencanaan tidak pernah menjadi pemikiran. Mereka hanya hanya mengajarkan
tentang perencanaan konvensional selama 35 tahun tanpa perubahan berarti
sampai beberapa hari. Sayangnya hamper semua bahan pengajaran dalam
arsitektur berasal dari cara berpikir Barat yang menurut Frick (1997) telah
menghasilkan kelemahan arsitektur Indonesia. Dia juga menjelaskan bahwa
Bahan menggunakan bangunan modern hanya karena alasan produksi massal
yang lebih Barat dan jauh dari tradisi setempat. Kondisi ini telah memicu
penggunaan bahan yang tidak biasa dan tanpa kondisi lokal.
Blog Pribadi : http://rahmatarifin93.wordpress.com/

Anda mungkin juga menyukai