Anda di halaman 1dari 16

ANTISIPASI DAN MANAJEMEN RISIKO KARDIOVASKULAR

PADA JAMAAH HAJI USIA LANJUT


Vickry H. Wahidji

ABSTRAK
Meningkatnya jumlah jamaah haji Indonesia dari tahun ke tahun menjadikan
Indonesia sebagai negara terbanyak yang mengirimkan jemaah haji di seluruh dunia.
Namun sayangnya hal ini tidak diiringi dengan kualitas kesehatan yang optimal. Hal ini
menjadi tantangan tersendiri bagi kita sebagai petugas kesehatan untuk melakukan
antisipasi secara dini terhadap jemaah haji yang mempunyai faktor risiko di bidang
kardiovaskular.
Penyakit kardiovaskular (PKV) merupakan penyebab utama kematian di negara
maju maupun negara berkembang. Patofisiologi PKV berhubungan erat dengan gaya
hidup dan kombinasi dari faktor risiko seperti hipertensi, dislipidemia, merokok, diabetes
mellitus, usia dan riwayat keluarga.
Faktor-faktor risiko tersebut jika dilakukan modifikasi dan intervensi secara dini
terbukti dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas PKV. Untuk itu perlu
dilakukan kerjasama yang baik dan berkesinambungan antara tenaga kesehatan dengan
para jamaah haji dengan faktor risiko sehingga tidak saja pada saat pelaksanaan ibadah
haji jemaah bisa terhindar dari masalah PKV namun juga pada kehidupan sehari hari.
Kata kunci: Haji, Deteksi dini, Penyakit Kardiovaskular

PENDAHULUAN
Tingginya animo masyarakat muslim di Indonesia untuk menunaikan ibadah haji
bisa dilihat dari makin panjangnya daftar antrian calon jamaah haji hampir di setiap
propinsi. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah jamaah haji
terbanyak di dunia. Namun sayangnya jumlah yang banyak ini tidak diiringi dengan
kualitas kesehatan yang optimal dari jemaah haji itu sendiri. Salah satu penyebabnya
adalah sebagian besar dari jamaah haji ini berusia lanjut dan terkadang telah menderita
sakit sejak di tanah air.
Seperti kita maklumi bersama, ibadah haji memerlukan stamina dan kondisi yang
optimal, ini sejalan dengan syarat haji yaitu istito’ah, yang berarti mampu secara fisik.
Syarat ini mutlak diperlukan tidak saja pada saat pengerjaan rangkaian ibadah haji itu
sendiri, terkadang juga kondisi di lapangan mengharuskan jemaah berjalaan berkilo-
kilometer, misalnya bagi yang mendapatkan pondokan yang jauh dari Masjidil Haram,
belum lagi dihadapkan dengan kondisi cuaca yang cukup ekstrem. Hal ini menyebabkan
bertambah turunnya kondisi fisik dan mental para jemaah, yang secara tidak langsung
meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas.
Tentu saja telah ada upaya yang sistematis dan berkesinambungan dari
pemerintah dalam hal ini kementerian kesehatan untuk menyelesaikan masalah ini,
namun di sisi lain regulasi yang cenderung tidak ketat dari pemerintah membuat upaya
yang dilakukan menjadi tidak maksimal. Salah satu kelemahan yang cukup vital dari
regulasi ini adalah tidak ada pembatasan usia dan skrining di lapangan yang cenderung
tidak adekuat dan konsisten.
Problema diatas adalah problema klasik yang kerap terjadi. Untuk itu perlu
diupayakan jalan keluar yang baik, sehingga jemaah risiko tinggi (risti) terutama yang
mempunyai faktor risiko bisa siap secara mental dan fisik dan dapat menjalani ibadah
haji dengan nyaman tanpa terganggu dengan masalah kesehatan. Disinilah letak urgensi
kita sebagai tenaga kesehatan yang berada di lini terdepan untuk melakukan deteksi dini
risiko kardiovaskular dan intervensi secara dini bagi jemaah yang risti ini.

ANTISIPASI DINI RISIKO KARDIOVASKULAR


Pentingnya deteksi dini risiko kardiovaskular tidak hanya bagi jamaah yang
mempunyai faktor risiko terjadinya Penyakit Kardiovaskular (PKV), juga untuk jamaah
yang sehat. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa PKV adalah penyebab utama kematian
bagi laki-laki dan perempuan di negara maju dan berkembang. Patologi penyebabnya
adalah aterosklerosis yang terjadi selama bertahun-tahun dan biasanya memburuk pada
saat pertama kali timbulnya gejala. Penyebab utama PKV berhubungan erat dengan gaya
hidup dan kombinasi beberapa faktor risiko, dimana beberapa faktor risiko ini jika
dimodifikasi ternyata menunjukkan penurunan mortalitas dan morbiditas.
Faktor risiko kardiovaskular secara umum bisa dikelompokkan sebagai faktor
yang bisa dimodifikasi, seperti: hipertensi, dislipidemia, merokok, diabetes mellitus
(DM), obesitas, sedentary lifestyle. Sedangkan faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi
adalah usia dan faktor genetik.
Kapan kita melakukan deteksi dini pada calon jemaah haji? Yang pertama, jika
calon jamaah haji tersebut yang meminta. Kedua, jika pada saat konsultasi ditemukan:
- Perokok pada usia pertengahan
- Obesitas, khususnya obesitas sentral
- Terdapat satu atau lebih faktor risiko seperti: peningkatan tekanan darah, profil
lipid, dan glukosa
- Ada riwayat keluarga yang menderita PKV prematur (laki-laki ≤ 55 tahun;
perempuan ≤ 65 tahun) atau faktor risiko lain.
- Terdapat gejala-gejala yang mengarah ke PKV seperti: nyeri dada, sesak nafas,
debar-debar, presinkope atau sinkope, retensi cairan dan batuk)

Adapun komponen-komponen yang dapat kita gunakan untuk penilaian risiko


kardiovaskular adalah:
1. Riwayat.
Riwayat PKV sebelumnya atau penyakit terkait seperti stroke, riwayat keluarga
yang menderita PKV prematur, merokok, olahraga dan kebiasaan diet, status
sosial dan pendidikan.
2. Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan yang dapat kita lakukan adalah tekanan darah, denyut jantung,
auskultasi jantung dan paru, pulsasi pembuluh darah di tungkai, tinggi dan berat
badan (Indeks Masa Tubuh), limgkaran pinggang, funduskopi pada hipertensi
berat.
3. Pemeriksaan laboratorium
Tes urine untuk melihat glukosa dan protein, mikroalbuminuria untuk diabetes,
profil lipid, gula darah dan kreatinin.
4. Pemeriksaan tambahan.
Pemeriksaan tambahan yang dapat kita lakukan adalah elektrokardiogram (EKG),
stress test seperti treadmill jika terdapat gejala nyeri dada yang khas dan
Ekokardiografi pada pasien dengan hipertensi.

Tentu saja pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan semuanya, harus disesuaikan
dengan kondisi sarana dan prasarana setempat. Bagi tenaga kesehatan yang berada di
tingkat pertama atau puskesmas bisa dirujuk ke tingkat lanjut seperti di RS
Kotamadya/kabupaten untuk penilaian komponen yang lain.

MANAJEMEN JAMAAH HAJI DENGAN FAKTOR RISIKO KARDIOVASKULAR


Dalam hal intervensi faktor risiko pada pasien umumnya tidak mudah, apalagi
terhadap jamaah haji yang terkadang bersikap pasrah dan siap meninggal di tanah suci.
Hal ini diperlukan kesabaran dan persetujuan antara kedua belah pihak bahwa intervensi
ini merupakan indikasi dan akan mengarah pada perubahan gaya hidup dan kemungkinan
akan mengkonsumsi obat-obatan seumur hidup. Untuk itu diperlukan waktu yang cukup
untuk berdiskusi dan observasi yang berkesinambungan terhadap saran dan pengobatan
yang telah dijalankan. Di sisi lain kita sebagai tenaga kesehatan juga perlu mengetahui
kondisi tertentu pasien, seperti: Status sosial, ekonomi, tingkat pendidikan, serta kondisi
emosional calon jamaah.

Langkah-langkah strategis yang dapat kita gunakan untuk melakukan intervensi yang
efektif terhadap pasien khususnya calon jemaah haji adalah:
- Menumbuhkan atmosfir yang simpatik antara kedua belah pihak.
- Memastikan jemaah mengenal dengan baik hubungan antara gaya hidup dan
penyakit.
- Gunakan hal tersebut untuk meningkatkan komitmen terhadap perubahan gaya
hidup.
- Libatkan pasien untuk mengidentifikasi faktor risiko yang ada.
- Eksplorasi penghalang-penghalang potensial, seperti kondisi sosial ekonomi,
stress, dll
- Bantu pasien membuat pola gaya hidup yang sehat
- Melakukan monitor setiap kemajuan yang ada melalui observasi yang
berkesinambungan

Adapun komponen-komponen faktor risiko yang dapat kita intervensi atau faktor
risiko yang bisa dimodifikasi adalah:
I.. Merokok
Berdasarkan laporan dari Surgeon General’s tahun 2004, berhenti merokok dapat
mengurangi kejadian penyakit jantung koroner (PJK), penyakit vaskular perifer dan
penyakit paru obstruktif menahun.
Upaya berhenti merokok, meskipun sangat bisa dilakukan, namun terkadang
susah untuk dipraktekkan bagi sebagian orang. Beberapa cara yang bisa dilakukkan
termasuk berhenti dalam sekejap atau mengurangi jumlah rokok yang dikonsumsi
sebelum berhenti total.
Langkah –langkah yang dapat dilakukan untuk menolong calon jamaah haji untuk
berhenti merokok yaitu:
a. Motivasi
Buatlah daftar alasan berhenti merokok. Tulislah kontrak dengan diri sendiri dan
buatlah rencana-rencana yang dapat membantu berhenti merokok. Kenalilah
pemicu-pemicu yang dapat menimbulkan keinginan merokok, seperti apakah
merokok dilakukan setelah makan, saat menyetir mobil atau pada kondisi
dibawah tekanan. Buatlah rencana untuk mengatasi pemicu tersebut.
b. Dukungan
Tandai tanggal saat berhenti dan upayakan orang-orang terdekat tahu mengenai
hal itu. Mintalah dukungan keluarga dan teman untuk membantu usaha untuk
berhenti merokok.
c. Obat-obatan
Konsultasilah dengan dokter dan farmasi tentang obat-obatan atau produk yang
dapat membantu berhenti merokok, seperti permen nikotin, dll
d. Aktivitas dan hobi
Cobalah mencari aktivitas lain sebagai pengganti kebiasaan merokok. Misalnya
daripada merokok setelah makan cobalah berjalan-jalan disekitar rumah atau
kompleks. Jadikan aktivitas ini menjadi suatu kebiasaan. Mintalah orang-orang
disekitar untuk berhenti merokok atau tidak merokok di sekitar kita. Buanglah
rokok, asbak, dan pemantik api dari rumah, kantor ataupun kenderaan. Jangan
sekalipun merokok walaupun hanya sekali tarikan saja. Carilah hobi baru seperti
memasak, melukis atau hal lain yang dapat menyibukkan
e. Gejala putus dan kambuh
Gejala putus rokok biasanya terjadi setelah 1 atau 2 minggu dan setiap keinginan
untuk merokok hanya bertahan kurang dari beberapa menit. Jika ada keinginan
untuk merokok tahanlah beberapa menit sampai keinginan itu hilang. Ingatkanlah
diri akan manfaat dari berhenti merokok. Jika anda ternyata tergoda untuk
merokok, analisalah apa yang menyebabkan hal itu. Buatlah rencana untuk
menghindari atau mengatasi hal ini nanti. Frustasi hanya akan mempersulit untuk
berhenti lagi.
II. Diet
Mengkonsumsi makanan sehat adalah bagian dari manajemen faktor risiko pada
setiap individu, tidak terkecuali bagi calon jemaah haji. Hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam hal diet adalah:
- Diet dengan bahan makanan yang rendah asam lemak jenuh dapat membantu
menurunkan risiko PKV. Bahan makanan dengan lemak jenuh dapat ditemukan
pada semua produk yang berasal dari hewan, seperti: mentega, susu bubuk full
cream, keju dan daging.
- Perbanyak konsumsi ikan yang mengandung asam lemak omega 3 misalnya ikan
laut, setidaknya 2 porsi setiap hari.
- Mengurangi bahan makanan yang mengandung garam jika menderita hipertensi.
Kandungan garam tidak melebihi 6 gram perhari. Bahan makanan yang
mengandung garam banyak terdapat pada daging atau ikan yang digaramkan,
makanan kaleng, keju, makanan ringan, dll
- Perbanyak konsumsi buah-buahan dan sayuran paling kurang 5 porsi per hari.
III. Aktivitas fisik
Aktivitas fisik yang teratur sangat dianjurkan pada semua individu mulai dari
yang sehat sampai yang mempunyai faktor risiko. Hal ini selain mengurangi risiko
kejadian PKV juga meningkatkan kebugaran dan stamina terutama bagi calon jemaah
haji. Aktivitas fisik ini dapat berupa aktivitas yang dilakukan saat bekerja salah satunya
seperti naik tangga, aktivitas yang dilakukan saat santai, misalnya berkebun,
membersihkan rumah atau aktivitas olahraga seperti jogging, renang atau bersepeda.
Aktivitas ini memberikan pengaruh yang positip jika dilakukan selama paling kurang tiga
puluh menit secara terus menerus, 4 sampai 5 kali seminggu.

IV. Berat badan


Menghindari berat badan ataupun mengurangi berat badan yang berlebih sangat
penting bagi yang telah menderita PKV sama halnya bagi yang tergolong risiko tinggi.
Salah satu cara untuk mengetahui berat badan ideal adalah dengan menghitung Indeks
Massa Tubuh (IMT). Penurunan berat badan sangat dianjurkan pada individu dengan
IMT ≤ 25kg/m2. Cara lain adalah dengan mengukur pinggang. Laki-laki dianggap berat
badan berlebih jika lingkar pinggang ≥ 102 cm dan wanita ≥ 88 cm.
Salah satu cara untuk menurunkan berat badan adalah dengan mengurangi asupan
total kalori dan melakukan aktivitas fisik yang regular. Satu hal yang sangat penting
adalah motivasi yang kuat dan hendaknya dilakukan dalam pengawasan ahli yang
profesional.

V. Tekanan darah
Risiko PKV secara kontinyu meningkat bersamaan dengan meningkatnya tekanan
darah dari batas yang telah ditentukan sebagai tekanan darah yang normal. Keputusan
untuk memulai terapi tidak hanya tergantung pada tingginya tekanan darah namun juga
tergantung pada penilaian risiko kardiovaskular total dan ada tidaknya kerusakan organ
target seperti: otak, jantung, ginjal dan pembuluh darah.
Kotak 1. Klasifikasi hipertensi

Tujuan utama dari manajemen hipertensi adalah untuk mencapai penurunan


maksimun terhadap risiko terjadinya PKV. Target tekanan darah paling kurang harus
berada dibawah 140/90 mmHg dan untuk pasien dengan DM dan yang tergolong risiko
sangat tinggi seperti stroke, infark miokard atau gangguan ginjal tekanan darah
diusahakan dibawah 130/80 mmHg.
Tekanan darah dapat diturunkan baik dengan perubahan gaya hidup atau dengan
obat anti hipertensi. Perubahan gaya hidup harus diupayakan pada pasien prehipertensi
maupun hipertensi yang telah memerlukan obat. Perubahan gaya hidup ini meliputi: stop
merokok, penurunan berat badan, latihan fisik, pengurangan asupan garam dan
peningkatan konsumsi buah dan sayuran serta pengurangan asupan asam lemak jenuh.
Mengingat respons pasien terhadap perubahan gaya hidup ini seringkali kurang, maka
perlu dilakukan monitor ketat pada pasien-pasien yang belum diberikan terapi
farmakologik, dan bila dengan berjalannya waktu ternyata intervensi dengan perubahan
gaya hidup ini tidak mencapai target maka segera diberikan obat anti hipertensi.
Gambar 1. Algoritma manajemen hipertensi

Dimulainya intervensi dengan obat-obatan secara umum karena tidak tercapainya


target tekanan darah (gambar 2). Terdapat 5 golongan utama agen anti hipertensi, yaitu:
diuretics (HCT), calsium antagonists (diltiazem, verapamil, nifedipin), ACE inhibitors
(captopril, lisinopril, dll), angiotensin receptor blockers (losartan, valsartan, dll), beta
blockers (bisoprolol, metoprolol,dll), dimana obat-obat ini bisa diberikan sebagai terapi
awal ataupun terapi lanjutan, baik masing-masing maupun kombinasi.
Pemilihan obat anti hipertensi ataupun kombinasinya sebaiknya memperhatikan
penyakit penyerta (gambar 3), interaksi obat dan biaya.

Gambar 2. Indikasi pemberian obat anti hipertensi berdasarkan penyakit penyerta

Diperlukan kunjungan berkala untuk memastikan efektivitas terapi anti hipertensi


dan apakah diperlukannya titrasi dosis atau adanya efek samping. Kunjungan berkala ini
bisa dikurangi apabila target tekanan darah telah dicapai. Perlu diinformasikan kepada
pasien bahwa terapi anti hipertensi ini berlaku seumur hidup, karena penghentian terapi
dapat menyebabkan pasien kembali pada kondisi hipertensi.

V. LIPID
Kolesterol dan trigliserida agar bisa beredar dalam darah harus diikat oleh
semacam protein karena sifatnya yang tidak bisa larut. Ikatan kolesterol dan trigliserida
dengan protein ini dikenal sebagai lipoprotein, yang terdiri dari High Density Lipoprotein
(HDL), Low Density Lipoprotein (LDL), Very Low Density Lipoprotein (VLDL) dan
Intermediate Density Lipoprotein (IDL). HDL dalam hal ini tidak menyebabkan
aterosklerosis bahkan bersifat anti aterogenik, sebaliknya LDL, IDL dan VLDL bersifat
aterogenik. Secara normal sebagian besar kolesterol diangkut oleh LDL, sehingga
terdapat hubungan yang sangat erat antara LDL dan PKV. Hubungan ini menjadi lebih
bermakna apabila disertai dengan faktor risiko lain, seperti: usia, jenis kelamin,
merokok, tekanan darah, diabetes dan kadar HDL yang rendah. Hipertrigliseridemia juga
dihubungkan dengan proses aterosklerosis, tapi tidak sekuat seperti pada
hiperkolesterolemia.
The National Cholesterol Education Program’s (NCEP) Adult Treatment Panel
(ATP III) merekomendasikan setiap individu dewasa harus melakukan pemeriksaan
profil lipid dan pemeriksaan ini harus dilakukan setiap 5 tahun sekali. The Veterans
Administration and the Department of Defense telah menemukan algoritma sederhana
untuk melakukan skrining profil lipid yang dapat kita terapkan dalam praktek sehari-hari.
Algoritma ini terdiri dari 6 tahap, yaitu:
 Tahap 1:
Periksa profil lipid puasa, yaitu: kolesterol total, LDL, HDL dan trigliserida
 Tahap 2:
Singkirkan adanya dislipidemia sekunder seperti: hipotiroid, gagal ginjal, DM,
terapi estrogen, sindroma nefrotik dan asupan alkohol yang berlebihan.
 Tahap 3:
Nilailah risiko pasien. Jika pasien menderita PKV atau diabetes, maka pasien ini
berisiko sangat tinggi, sehingga target LDL < 70 mg/dl, HDL > 40 mg/dl dan TG
< 150 mg/dl (tabel 1).

Tabel 1. Target lipid berdasarkan kategori risiko

 Tahap 4:
Mulailah perubahan gaya hidup untuk setiap pasien yang meliputi diet yang sehat
dan aktivitas fisik. Merokok dan apabila mengkonsumsi alkohol harus dihentikan.
 Tahap 5:
Pada kasus dengan risiko tinggi, intervensi dengan obat harus diberikan
bersamaan dengan modifikasi gaya hidup. Jika tergolong dalam risiko rendah
maka modifikasi gaya hidup dilakukan selama 6 bulan untuk melihat apakah
target lipid bisa dicapai tanpa intervensi obat-obatan. Pemilihan obat harusnya
berdasarkan kondisi profil lipid seperti yang tertera di tabel 2. Setiap kombinasi
obat dapat meningkatkan risiko efek samping, sehingga perlu di periksa fungsi
hati bila ada gejala. Pertimbangkan obat golongan statin (simvastatin, atorvastatin,
dll) untuk pasien yang menderita penyakit jantung koroner dan diabetes.

Tabel 2. Pemilihan obat berdasarkan profil lipid

 Tahap 6:
Pada pasien yang membutuhkan terapi, perlu dilakukan penilaian kembali risiko
apakah terapi ini perlu diteruskan, dikurangi ataupun ditambah sesuai dengan
hasil pemeriksaan profil lipid.

VI. Diabetes
Diabetes dan PKV sering tampak sebagai 2 sisi koin. Disatu sisi diabetes telah
dianggap sama sebagai Penyakit Jantung Koroner. Disisi lain banyak penderita jantung
koroner banyak yang menderita DM atau kondisi prediabetes.
Skrining dapat dimulai pada usia 30 tahun bagi semua psien yang mempunyai
faktor risiko terjadinya DM (kotak 1). Skrining dapat dilakukan dengan mengambil gula
Kotak 2. Faktor risiko DM

darah puasa (GDP), dimana pasien dengan GDP ≥ 126 mg/dL harus dianggap sebagai
risiko tinggi dan harus dilakukan pemeriksaan selanjutnya dengan Tes Toleransi Glukosa
Oral (TTGO) dengan menggunakan 75 gr gula dan diperiksa 2 jam kemudian. Jika GDP
< 126 mg/dL dan pasien mempunyai beberapa faktor risiko DM, maka harus dilakukan
TTGO pada hari berikutnya. Apabila hasil TTGO > 140 mg/dL, maka ini menunjukkan
adanya kelainan homeostatis glukosa (Gambar 2).

Gambar 2. Kriteria diagnosis DM tipe 2.

Prediabetes adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kondisi metabolik


yang terjadi dimana level glukosa darah meningkat, namun masih dibawah level yang
dipakai untuk diagnosis DM. Prediabetes termasuk impaired fasting glucose (IFG) atau
impaired glucose tolerance (IGT). Jika tidak dilakukan intervensi maka kondisi
prediabetes ini biasanya cepat berubah menjadi DM .
PKV bisa terjadi jauh sebelum onset klinik DM atau pada saat kondisi
prediabetes. Intervensi gaya hidup menjadi faktor utama manajemen prediabetes ini.
Utnuk itu pasien harus ditargetkan menurunkan berat badan 5% sampai 7% dari berat
badan total dan latihan fisik selama 30 menit 5 hari per minggu. Penggunaan insulin
sensitizers (metformin) dan thiazolidindiones (rosiglitasone dan pioglitasone).
Penggunaan kedua macam obat ini telah menunjukkan manfaat dalam memperlambat
progresivitas ke arah DM tipe 2.
Manajemen efektif DM tipe 2 membutuhkan terapi yang sesuai secara dini,
pengamatan yang teratur dan penilaian berulang untuk memastikan apakah target yang
diinginkan telah tercapai (gambar 3)

Gambar 3. Algoritme manajemen DM tipe 2


PENUTUP
Rangkaian ibadah haji mulai dari awal sampai akhir memerlukan stamina
kesehatan yang optimal, sehingga diperlukan persiapan yang matang pada saat di tanah
air dan di tanah suci. Persiapan ini butuh kerja sama yang baik antara calon jemaah dan
petugas kesehatan. Jemaah yang mempunyai risiko tinggi perlu dipertimbangkan untuk
menunda keberangkatan dan yang mempunyai faktor risiko terutama di bidang
kardiovaskular diharapkan melakukan kunjungan berkala ke petugas kesehatan dan
mematuhi semua upaya yang dilakukan. Petugas kesehatan yang berada di tingkat
pertama bisa melakukan tugas penyaringan dengan sebaik-baiknya dan melakukan
konsultasi dengan petugas kesehatan di tingkat yang lebih tinggi. Dengan kondisi ini,
diharapkan seluruh calon jemaah haji dapat melakukan ibadah dengan tenang dan
nyaman tanpa terganggu masalah kesehatan yang serius.

PUSTAKA
1. Kementerian Agama RI. Bimbingan manasik haji, umrah dan ziarah bagi petugas
haji. Pusat kesehatan haji 2010.
2. Graham I, Oslo A, Borch-Johnsen K et al. European guidelines on cardiovascular
disease prevention in clinical practice. The European society of cardiology 2007.
3. Tran HV, Oladeinde O, Thuy NH et al. Integrated primary prevention of
cardiovascular disease. In: Management of complex cardiovascular problems.
Third ed. Nguyen TN, Hu D, Kim MH, Grines CL (Editors). Blackwell Futura,
New York;2007:129-89.
4. World Health Organization. Prevention of cardiovascular disease, guidelines for
assessment and management of cardiovascular disease. WHO press 2007.
5. National institutes of health. Your guide to physical activity and your hearts. NIH
publication 2006.
6. Mancia G, Backer GD. Guidelines for the management of arterial hypertension.
European heart journal 2007;28:1462-1536.
7. National institutes of health. The seventh report of the joint national committee on
prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure. NIH
publication 2004.
8. National institutes of health. Third Report of the National Cholesterol Education
Program (NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High
m, Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel III). NIH publication 2002.
9. Reamy BV. Practical approach to the patients with hyperlipidemia. In:
Hyperlipidemia management for primary care, an evidence-based approach. .
Reamy BV (editor). Springer, New York;2008:193-200.
10. Cleland SJ, Shaw J. Prevention of diabetes as a means of preventing
cardiovascular disease. In: Diabetic cardiology. Fisher M, McMurray J (Editors).
John Wiley & Sons, San Fransisco;2007:240-57.
11. Nathan MD, Buse JB, Davidson MB, et al. Management of hyperglycemia in type
2 diabetes: A consensus algorithm for the initiation and adjusment of therapy.
Diabetes care 2008;31:173-75.

Anda mungkin juga menyukai