Anda di halaman 1dari 3

Ada Bencana Ada ACT

Hussein Abri Dongoran

Majalah Tempo, Sabtu, 2 Juli 2022

Relawan ACT (Aksi Cepat Tanggap) bergerak cepat ketika terjadi bencana. Membuka cabang hingga
ke Gaza, Palestina.

Hunian Sementara (Huntara) yang dibangun oleh Aksi Cepat Tanggap (ACT) di Kelurahan Duyu, Palu,
Sulawesi Tengah, 6 Januari 2019. ANTARA/Basri Marzuki

SYAHRUL Mubaraq buru-buru meminta sopir memutar arah kendaraan ketika sedang melaju dari
Kota Makassar menuju Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan, Jumat, 28 September 2018. Kepala
Area Aksi Cepat Tanggap (ACT) Sulawesi itu baru saja menerima kabar bahwa gempa dan tsunami
terjadi di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Kabupaten Donggala di Sulawesi Tengah. Kantor pusat ACT di
Jakarta meminta Syahrul segera mengerahkan relawan ACT ke daerah itu.

Sepanjang perjalanan menuju Makassar, Syahrul berkomunikasi dengan sejumlah kalangan, termasuk
para relawan ACT, untuk mencari cara masuk ke Palu. Ia mengetahui kemudian bahwa gempa dan
tsunami membuat Palu dan sekitarnya sulit ditembus. “Jalur darat terputus,” ujarnya menceritakan
ulang kejadian tersebut, Jumat, 1 Juli lalu.

Kesibukan juga melanda kantor pusat ACT. Ibnu Khajar, Presiden ACT, bercerita, pimpinan dan staf
ACT mengontak sejumlah petinggi Tentara Nasional Indonesia agar bisa mengirim relawan dan
bantuan. “SOP (standard operating procedure) kami, relawan sudah harus masuk pada H+3
bencana,” kata Ibnu pada Selasa, 28 Juni lalu. Kala itu, gempa dan tsunami telah menewaskan 2.086
orang dan merusak lebih dari 67 ribu bangunan di tiga daerah.

Dua hari setelah gempa Palu, relawan ACT mendapatkan akses menggunakan pesawat Hercules dari
Pangkalan TNI Angkatan Udara Sultan Hasanuddin, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Syahrul dan
19 relawan ACT hanya membawa bahan kebutuhan pokok serta obat-obatan secukupnya karena
keterbatasan tempat. Tiba di Bandar Udara Mutiara SIS Al-Jufrie, Palu, ia berkoordinasi dengan
militer setempat dan mencari cara agar bantuan dan relawan ACT lain bisa masuk ke Palu, Sigi, dan
Donggala.

Jalur lain yang digunakan oleh relawan ACT adalah melalui laut. Wakil Presiden ACT Dwiko Hari
Dastriadi menuturkan, bantuan serta relawan diberangkatkan menggunakan feri dari pelabuhan di
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat. Mereka membawa bahan pokok, selimut, hingga popok
untuk anak balita. “Relawan yang masuk langsung membuat posko di Palu,” ujar Dwiko, yang juga
Direktur Masyarakat Relawan Indonesia, organisasi di bawah Yayasan Aksi Cepat Tanggap.

Di Ibu Kota, ACT menyiapkan tim relawan dan logistik di Bandara Halim Perdanakusuma. Namun
relawan dan bantuan itu baru bisa masuk ke daerah yang terkena dampak enam hari
setelah bencana. Menurut Dwiko, ACT sempat ngotot meminta bantuan bisa segera disalurkan untuk
mencegah masyarakat panik dan menjarah.

Pada saat gempa Palu, tercatat ada 412 relawan ACT menembus tiga daerah tersebut. Tim ACT
bergerak membuat dapur umum yang menyediakan 1.000 porsi makanan dalam satu hari serta
membagikan puluhan ribu ton bahan makanan pokok. Syahrul Mubaraq mengatakan ACT juga
membuat lebih dari 1.000 shelter untuk pengungsi. “Kini ACT juga mempunyai kantor perwakilan di
Palu,” ucap Syahrul.

Penyaluran bantuan pangan satu sak tepung gandum bagi tiap warga Gaza, Palestina, Agustus
2014. Dok. ACT

Relawan Aksi Cepat Tanggap juga membantu korban gempa Lombok pada Juli 2018. Dalam bencana
yang menewaskan sekitar 555 orang itu, ACT menerjunkan sejumlah unit, seperti tim pendahuluan,
tim medis, bantuan logistik, dan tim penanganan trauma setelah terjadinya gempa.

Sri Nurmala, relawan ACT yang bertugas sebagai anggota tim penanganan trauma, bercerita, ketika
itu ia menghibur anak-anak dengan cara bernyanyi bersama dan bercanda. Tak lupa ia membawa
makanan ringan dan mainan. Tujuannya agar anak-anak itu tidak lagi cemas akan terjadinya gempa.
“Dalam sehari saya berkeliling ke tiga desa untuk bertemu dengan anak-anak,” ujar Sri, kini pengajar
di pendidikan anak usia dini Pancor, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Kamis, 30 Juni lalu.
•••

SEJAK Aksi Cepat Tanggap lepas dari Dompet Dhuafa dan menjadi organisasi sendiri pada April 2005,
nyaris tak ada bencana di Tanah Air yang lepas dari aksi relawan ACT. “Begitu ada bencana, relawan
harus langsung masuk,” kata pendiri Aksi Cepat Tanggap, Ahyudin, saat bertandang ke
kantor Tempo  pada Jumat, 1 Juli lalu.

Relawan ACT datang dari berbagai kalangan, seperti pelajar dan mahasiswa, dokter, serta pengemudi
ojek online. Mereka mendapat pelatihan sebelum terjun ke lokasi bencana. Direktur Masyarakat
Relawan Indonesia Dwiko Hari Dastriadi menuturkan, relawan ACT dilatih manajemen bencana dan
penyelamatan, seperti fire rescue  dan water rescue, selama tiga hari.

Para relawan ACT memiliki prosedur operasi standar ketika terjun di daerah katastrofe. Dani Ardissa
Almizar, anggota staf program ACT di Jember, Jawa Timur, mengatakan relawan lokal ditargetkan
masuk paling lambat satu jam setelah menerima laporan petaka. “Itu pun setelah kami
memverifikasi,” tuturnya.

Tak hanya terjun ke lokasi bencana, relawan ACT juga menggalang dana untuk korban bencana. Tak
hanya menggalang donasi di daerahnya, tapi juga di daerah lain. Eka Sandi Saputra, 35 tahun,
relawan ACT di Bandung, ikut menghimpun dana untuk korban banjir di Kabupaten Bandung tahun
lalu. Sedangkan Suadi, pelajar sekolah menengah atas yang menjadi relawan ACT, membuka donasi
di sekolahnya di Kota Tangerang, Banten, saat banjir melanda Pasaman Barat, Sumatera Barat, Maret
lalu.

Suadi, yang meminta nama aslinya tak ditulis, mendapatkan dana sekitar Rp 2 juta dalam dua kali
penggalangan dana. Duit itu ia setorkan ke ACT. Ia lalu dikirimi laporan berupa video dan foto ketika
dana itu disalurkan kepada korban banjir. Setelah itu, Suadi diberi piagam oleh ACT sebagai ucapan
terima kasih.

Presiden ACT Ibnu Khazar mengatakan yayasannya kini memiliki sekitar 86 ribu relawan yang
tersebar di seluruh Indonesia dan beberapa negara lain. Ia mengklaim jumlah relawan lebih banyak
karena ada yang tak tercatat dalam data mereka. “Ketika ada bencana dan kami membuat posko,
banyak orang mendaftar menjadi relawan,” ujarnya, Selasa, 28 Juni lalu.

Tak hanya di dalam negeri, ACT juga menggelar kegiatan di 47 negara. Beberapa di antaranya Turki
dan Gaza, Palestina. Wakil Presiden ACT Dwiko Hari Dastriadi menjelaskan, aktivitas ACT di luar
Indonesia itu lebih banyak menangani bencana kemanusiaan akibat perang. Di Turki, mereka
memberi bantuan untuk pengungsi Suriah.

Seorang relawan ACT yang pernah bertugas di perbatasan Cilvegozu, Distrik Reyhanli, Provinsi Hatay,
Turki, bercerita, organisasi itu memberikan paket makanan seperti minyak dan beras. Menurut
relawan yang tak ingin namanya disebut ini, ACT juga membagikan daging kambing saat Idul Adha.

Presiden Aksi Cepat Tanggap Ibnu Khajar mengatakan para relawan ACT di luar negeri kebanyakan
pelajar asal Indonesia. Adapun ACT membuka kantor perwakilan di Turki dan Gaza, Palestina, untuk
memastikan bantuan kemanusiaan sampai kepada mereka yang berhak menerima. “Ini bentuk
pertanggungjawaban ACT kepada donatur,” ucap Ibnu.

ANWAR FIKRI (BANDUNG), DAVID PRIYASIDHARTA (LUMAJANG), SUPRIYANTO KHAFID (LOMBOK)

https://majalah.tempo.co/read/laporan-utama/166322/kerja-cepat-relawan-act-saat-bencana

Anda mungkin juga menyukai