Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
UNIVERSITAS INDONESIA
Tugas Karya Akhir ini adalah hasil karya sendiri, dan semua narasumber baik
NPM : 1106084280
Tanda Tangan :
ii
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan Tugas Karya Akhir ini
dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana
Sosial Jurusan Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,
dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya
untuk menyelesaikan Tugas Karya Akhir ni. Oleh karena itu, saya mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Dr. Iqrak Sulhin, S. Sos, M.Si, selaku dosen pembimbing yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam
penyusunan Tugas Karya Akhir ini;
2. Prof. Dr. Muhammad Mustofa, M.A yang telah menjadi penguji ahli sidang
akhir saya; Mba Dra. Mamik Sri Supatmi, M.Si yang telah menjadi ketua
sidang akhir saya; Mas M. Irvan Olii, S.Sos, M.Si yang telah menjadi
sekretaris sidang akhir saya;
3. Orang tua dan keluarga saya yang telah memberikan bantuan dukungan
material dan moral;
4. Nyasar 2011, yakni; Toro, Andro, Luthfi, Agra, Tebe, Ardy, Zainal, Meiki,
Yanu, Tuwa, Albert, Adit, Jodya, Abram, Ammar, Hilman, Eko, Taufik, Ais,
Bara, Bodig, Fadhil, Ace, Arief, Retsa, Glen, Ceker, Ruri; Nyasar Lusin
(Pange, Endah, Yuriko, Shaila, Rasyel, Vivi, Delillah, Dara, Leni, Maria, Ino,
Anggi) yang telah banyak membantu saya dalam menyelesaikan TKA saya
ini.;
5. Teman-teman kontrakan selama setahhun belakangan Bang Ferry preman
kutek, yakni: Toro, Dugong, Andro; serta Agra yang selalu membuka lebar-
lebar pintu rumahnya untuk bisa disinggahi;
6. Wepreventcrime; Yanu, Meiki, Adit, Albert, Tuwa, Zikri, Bagas, Kaspo,
Drajat, Rayhan, Akbar, Dharmo, Yumna, Ghasani, Sabrina, Mery, Cyane,
Irham, dan yang tak bisa disebutkan satu per satu;
7. Teman-teman OIS; Shaila, Vanessa, Aced, Delly, Aldrin;
8. Farraz Theda yang menyempatkan diri untuk menjadi proofreader;
9. Khatulistiwamuda—khususnya Bang Reno yang telah memberikan
kesempatan pada saya untuk menyelesaikan TKA ini dan;
10. Siapa pun yang akan membaca naskah TKA ini—baik untuk kegiatan
akademik atau pun dalam menambah ilmu pengetahuan.
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga Tugas Karya Akhir ini
membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.
Depok, 12 Januari 2015
Kahfi Dirga Cahya
iv
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah
ini:
NPM : 1106084280
Departemen : Kriminologi
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/format-
kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan
memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Dibuat di : Depok
Yang menyatakan
v
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
ABSTRAK
Nama : Kahfi Dirga Cahya
Program Studi : Kriminologi Paralel
Judul : Reproduksi Ideologi Kejahatan Kebencian dalam Habitus Politik
Tabloid Obor Rakyat dalam Pemberitaan Joko Widodo dan Jusuf
Kalla pada Pemilihan Presiden tahun 2014
ABSTRACT
Name : Kahfi Dirga Cahya
Program Study: Criminology Paralel
Title : The Reproduction of the Ideology of Hate Crime in Tabloid Obor
Rakyat in Joko Widodo and Jusuf Kalla Coverage Political Habitus During the 2014
Presidential Election
Mass media have a function to construct public opinions. One of the construction that
is frequently made is about general election. In the contratry, mass media
construction in presidential election news frequently bias. Tabloid Obor Rakyat
makes coverage which ruin Joko Widodo dan Jusuf Kalla. This paper attempts to
illustrate the reproduction of the ideology of hate in Tabloid Obor Rakyat political
habitus during presidential election. This reproduction is done by some aspects, and
one of them is the naming of the ideology of hate by Tabloid Obor Rakyat. After the
spreading of the ideology of hate, Tabloid Obor Rakyat tends to produce symbolic
power to camouflage it. The constructed symbolic power to legitimate the hate
produce Tabloid Obor Rakyat political habitus. The habitus itself is the key of the
hate reproduction in Tabloid Obor Rakyat during the election.
Key Words: Hate Crime, Tabloid Obor Rakyat, Ideology, Symbolic Power, Habitus,
Propaganda, Joko Widodo And Jusuf Kalla
vi
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
DAFTAR ISI
vii
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
4. KEBENCIAN, IDEOLOGI DAN HABITUS MEDIA ...................................... 46
4.1 Tabloid Obor Rakyat ......................................................................................... 47
4.2 Ideologi kebencian di Tabloid Obor Rakyat ..................................................... 50
4.3 Propaganda Kejahatan Kebencian dan Kuasa Simbolik di
Tabloid Obor Rakyat ......................................................................................... 58
4.4 Habitus Praktik Kebencian di Tabloid Obor Rakyat......................................... 64
4.5 Reproduksi Kebencian di Tabloid Obor Rakyat ............................................... 70
5. PENUTUP .............................................................................................................. 76
5.1 Kesimpulan ........................................................................................................... 76
5.2 Catatan Kritis ........................................................................................................ 78
viii
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
DAFTAR GAMBAR
ix
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Universtas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
2
pemilik media untuk dijadikan alat kampanye politik. Alhasil, peliputan dari media
tersebut menjurus ke dalam anggapan bias media. Bias media tersebut kemudian
biasanya berkembang menjadi konstruksi pemberitaan yang berdasarkan pesanan
salah satu pihak. Hal yang berkembang tersebut biasanya menjadi pemberitaan yang
menyerang terhadap salah satu kandidat presiden.
McNair (1994) dalam studi mengungkapkan media memiliki pendekatan yang
berdasarkan politik-ekonomi. Pendekatan ini berpendapat bahwa isi media lebih
ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik di luar pengeloalaan media.
Faktor seperti pemilik media, modal, dan pendapatan media dianggap lebih
menentukan bagaimana wujud isi media. Media massa dalam pendekatan ini juga
dianggap sebagai alat, sehingga elit politik atau elit ekonomi bersaing untuk
menguasainya (Sudibyo, 2009, hal 6).
Elit politik dalam usahanya menguasai pemberitaan media massa, berusaha
menempatkan posisi mereka di wilayah putih. Artinya, keberadaan elit politik dalam
media seringkali tidak tergambarkan secara jelas—selain dari isi pemberitaan
tersebut. Posisi wilayah putih ini menyamarkan keterlibatan elit politik dalam
pemberitaan media massa. Pada saat penyerangan terhadap salah satu kandidat, elit
politik berusaha digambarkan tidak terlibat. Hal itu lebih menekankan bahwa
kandidat calon presiden yang diserang tersebut memang memiliki kelemahan dalam
bidang tersebut.
Media kurang memperhatikan keberimbangan (cover both side) dalam
menyajikan berita, bahkan secara terbuka berpihak kepada salah satu kandidat seperti
Metro TV kepada pemiliknya Surya Paloh (Masduki, 2004, hal 76). Mengacu pada
masa pemilihan umum 2014 sekarang ini, nampaknya hal tersebut tidak berubah.
Malah, sekarang tidak hanya Surya Paloh (Metro TV) yang masuk mendukung
politik, tapi juga taipan-taipan media seperti Harry Tanoe (MNC Group), Aburizal
Bakrie (VIVA).
Jika diperhatikan, Masduki (2004) ada tiga kecenderungan sikap media dalam
Pemilu 2004. Pertama, sikap konservatif atau pro status quo. Sikap ini tampak pada
liputan yang mengedepankan kisah sukses rezim yang sedang berkuasa tanpa
Universitas Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
3
Universitas Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
4
sebenarnya tidak dapat terelakkan dari media massa saat melakukan peliputan
pemilihan umum. Meskipun hanya satu pemberitaan yang berpihak seperti Harian
Kompas—hal itu masih bisa dianggap sebagai bias media saat masa pemilihan umum.
Bias media menjadi hal yang sangat menakutkan jika pada pemberitannya
menimbulkan sebuah niat untuk membuat sebuah pemberitaan negatif pada kelompok
lain. Niat buruk ini sebenarnya bertujuan untuk menjatuhkan lawan politiknya.
Kampanye pemilihan presiden biasanya tidak terlepas dari menjelek-jelekan
kandidat. Salah satunya menghancurkan karir politik kadidat dengan memperbesar
kelemahan lawan baik secara politis atau fisik (Grabber, 2000, hal 161). Dalam kasus
ini, biasanya media akan mencari-cari kesalahan yang dimiliki oleh salah satu
kandidat—kemudian media mengkonstruksikan data yang dimiliki menjadi berita
yang menjatuhkan kandidat tersebut. Konstruksi menjatuhkan tersebut berguna untuk
membuat perbandingan antara berbagai kandidat.
Artikel jurnal dari Van Dijk (2008) memperlihatkan bahwa suratkabar
Spanyol, El Pais memberitakan Evo Morales kandidat presiden Bolivia pada
pemilihan presiden tahun 2005 sebagai kandidat yang negatif. Proses pemberitaan
yang negatif tersebut dimunculkan lewat penyematan kata ‘indio’ yang bermakna
negatif. Sesuai dengan hal tersebut tentu bisa tergambarkan bagaimana pemberitaan
pemilihan presiden biasanya bernada negatif dan terkesan menjelek-jelekan salah satu
kandidat presiden.
Selain itu, Romadlan (2000) menjelaskan Harian Republika memberitakan
PDI Perjuangan dengan gambaran negatif pada pemilu tahun 1999. Berita tersebut
muncul karena ada perbedaan ideologi antara Harian Republika dengan PDI
Perjuangan saat itu. menggambarkan ideologi memengaruhi pemberitaan dua harian
besar di Indonesia, yakni Harian Kompas dan Harian Republika saat pemilihan umum
1999. Selain itu, Hamad (2002) juga mengungkapkan hal serupa lewat disertasinya di
yang menjelaskan konstruksi realitas politik media saat pemilu 1999. Hamad juga
mengatakan bahwa PDI Perjuangan dikonstruksikan sebagai partai yang tidak layak
pilih karena beranggotakan calon legislatif yang non muslim dalam jumlah besar.
Universitas Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
5
Kasus baru di Indonesia yang dapat dilihat dengan jelas dan baru adalah
fenomena Tabloid Obor Rakyat. Tabloid Obor Rakyat yang muncul di tengah-tengah
proses pemilihan presiden di Indonesia pada tahun 2014 menggambarkan kampanye
hitam yang dilakukan oleh media dengan mendelegitimasi salah satu calon yakni
Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Adanya bentuk pemberitaan tersebut tentu
menimbulkan sebuah polemik sendiri. Hal ini seperti diungkapkan oleh Arbi Sanit,
pengamat politik dari Universitas Indonesia menilai Tabloid Obor Rakyat sebagai
bagian dari kejahatan demokrasi. Seperti yang dikutip dari wartawanmerdeka.com
pada 25 Juni 2014, yakni:
“Pekerjaan penerbitan Obor Rakyat sesungguhnya melawan demokratisasi. Dia
mau mencoba membuat seperti di Mesir. Ini model kejahatan demokrasi,”
tegasnya.
Pada artikel berita ini dapat dilihat bahwa ada kecenderungan penilaian
terhadap Tabloid Obor Rakyat ke arah sisi negatif. Dari pernyataan di atas membuka
penjelasan lebih lanjut bahwa Tabloid Obor Rakyat masuk ke dalam kejahatan
demokrasi. Adanya bentuk kejahatan demokrasi ini dilihat dari bagaimana Tabloid
Obor Rakyat berusaha memanfaatkan demokrasi sebagai alat untuk melakukan
kejahatan. Salah satu bentuknya yakni dengan menyebarluaskan kebencian lewat
pemberitaan-pemberitaannya selama ini.
Tak kalah penting, Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Inspektur Jenderal
Ronny Franky Sompie mengatakan bahwa Tabloid Obor Rakyat ini merupakan
bentuk kejahatan kerah putih. Seperti yang dikutip dari Tempo.co pada 19 Agustus
2014, yakni:
"Jangan samakan kasus ini dengan kejahatan biasa. Ini kejahatan kerah
putih. Kemungkinan ada keterkaitan pihak lain masih kami dalami. Mencari
alat buktinya dalam kejahatan ini tidak mudah," ujar Ronny pada Selasa, 19
Agustus 2014
Dalam konteks ini, kejahatan kerah putih yang dimaksud oleh Ronny
merupakan bagian dari kejahatan yang dilakukan oleh pelaku yang memiliki modal
lebih. Hal ini kemudian yang menurut Ronnya, Polisi masih mencari dan mendalami
Universitas Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
6
adanya kemungkinan keterkaitan pihak lain. Selain itu, pencarian alat bukti yang
dibutuhkan polisi masih menjadi persoalan penting di tubuh kepolisian untuk
menyeret pelaku pembuat Tabloid Obor Rakyat.
Padahal yang diharus perhatikan yakni konten dari Tabloid Obor Rakyat yang
diduga cenderung mengerdilkan salah satu kandidat presiden dan wakil presiden,
yakni Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Ronny juga berasumsi bahwa Tabloid Obor
Rakyat tidak bisa dikategorikan sebagai kejahatan biasa. Mengacu pada itu, dapat
dilihat opini itu berkembang melihat dari bagaimana yang dilakukan Tabloid Obor
Rakyat menurut Arbi Sanit sebagai kejahatan demokrasi.
Jika dari sudut pandang politik, maka konteks menjelek-jelekan kandidat
seperti politik belah bambu, menginjak yang satu dan yang lainnya dinaikan. Inilah
yang kemudian membuat pemberitaan di media massa saat pemilihan umum terkesan
seperti politik belah bambu. Karena mereka akan terbagi menjadi dua pola, positif
dan negatif pada kandidat yang berbeda.
Adanya konstruksi ini merupakan bagian dari penyerangan media terhadap
kandidat calon presiden. Penyerangan media terhadap kandidat calon presiden
merupakan bagian dari sisi negatif yang dimiliki media massa. Media massa yang
bersembunyi di balik fungsi media melakukan penyerangan kepada kandidat calon
presiden. Dalam titik ini, media tidak dapat menjadi sumber yang baik bagi
masyarakat. Sehingga tidak ada implikasi yang baik bagi masyarakat dalam menilai
secara objektif mengenai calon presiden.
1.2 Permasalahan
Media perlu menjalankan fungsinya sebagai penyebarluasan informasi.
Pendistribusian informasi itu harus bersifat positif dan memiliki niat yang baik.
McQuail (2005) mengatakan bahwa media yang berfungsi memberikan informasi
kepada publik sebaiknya memiliki pola kerja yang berdasarkan prinsip-prinsip:
kebebasan, keberagaman, kebenaran, serta kualitas dari sumber informasi, tak lupa
juga mempertimbangkan tatanan sosial dan solidaritas, serta akuntabilitas dari media
tersebut. Anggapan tersebut tentu memberikan perspektif yang lebih luas bagaimana
Universitas Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
7
pola kerja media. Sejalan dengan hal tersebut, pers menurut Undang-Undang Nomor
40 Tahun 1999 juga dikatakan memiliki peranan sebagai media informasi,
pendidikan, hiburan dan kontrol sosial.
Media yang sehat tentunya harus memiliki tujuan yang baik pula. Media
setidaknya dapat mencerdaskan masyarakat secara baik dari berbagai segi, termasuk
segi politik. Berkaitan dengan pemilihan presiden, media harus bisa secara
independen dan adil dalam melakukan pemberitaan. Bukan malah memperkeruh
suasana dengan memuat pemberitaan yang menghakimi.
Fenomena pemilihan presiden merupakan hal yang menarik untuk diberitakan
oleh media massa. Pasalnya, pemberitaan pemilihan presiden oleh beberapa literatur
diungkapkan dapat menentukan hasil pemilihan presiden ke depan. Pemberitaan
pemilihan presiden itu biasanya bermuatan konten yang disusun dan dirapatkan
dalam dapur redaksi. Sayangnya, kerap kali dapur redaksi media massa salah dalam
menempatkan isu. Belum lagi munculnya media massa yang dianggap partisan dan
bias dalam pemberitaannya dalam mengulas pemilihan presiden seperti Tabloid Obor
Rakyat.
Misal dalam pemberitaan tentang Tabloid Obor Rakyat, Seperti yang ditulis
oleh Direktur Eksekutif Matriks Indonesia dan Mantan Anggota Dewan Pers, Agus
Sudibyo di Kompas.com 17 Juni 2014 lalu, ia mengatakan bahwa:
“Sebagaimana telah disoroti Dewan Pers, susunan redaksi dan alamat
penerbitan Obor Rakyat juga tidak cukup jelas. Demi pertanggungjawaban
kepada publik dan obyek pemberitaan, perusahaan pers harus mencantumkan
penanggung jawab, struktur, dan alamat redaksi. Yang tak kalah penting
adalah sisi profesionalisme jurnalistik. Boleh saja Obor Rakyat mengungkit
kejelekan-kejelekan capres Joko Widodo. Masyarakat butuh informasi tentang
capres selengkap-lengkapnya, termasuk sisi negatifnya.” (Sudibyo, "Obor
Rakyat" dan Residu Demokrasi, 2014).
Dari ungkapan tersebut dapat dilihat bahwa penerbitan Tabloid Obor Rakyat
tidaklah mencakup kualifikasi yang jelas sebagai media. Dari segi
pertanggungjawaban, Tabloid Obor Rakyat tidak memiliki struktur yang jelas
Universitas Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
8
Universitas Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
9
Universitas Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
10
Universitas Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
11
Universitas Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
11
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
12
bagaimana pengaruh media partisan itu hanya berfungsi pada orang-orang yang
sudah lebih partisan lebih dulu.
Gans dan Leigh (2012) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa slant
news (berita miring) sangat sulit untuk diukur secara tepat. Hal ini tidak hanya
mencerminkan perbedaan dalam definisi, tetapi juga fakta bahwa layanan berita
dapat berbeda dalam pada tingkat bias mereka. Misalnya, stasiun televisi yang
bias mungkin akan berubah dari waktu ke waktu, atau halaman berita cetak
mungkin memiliki pandangan yang berbeda dari halaman editorial. Untuk
menangkap maksud dari ini, tentunya harus mengetahuai bagaimana cara kerja
slant news ini, dan untuk secara terpisah melihat bias dalam konten dan editorial.
Dengan menggunakan data dari Australia, Gans dan Leigh menggunakan
beberapa matriks untuk mengukur media yang bias. Dalam hal konten, mereka
menemukan bahwa layanan media yang paling dekat dengan posisi berimbang.
Gans dan Leigh (2012) menjelaskan bahwa perhitungan bias media
menggunakan menggunakan istilah sayap kiri dan sayap kanan intelektual publik,
mereka menemukan bahwa hanya 1 dari 27 kantor berita secara signifikan dapat
dibedakan tingkat biasnya. Mereka juga menyimpulkan bahwa tidak ada evolusi
sistematis bias dari waktu ke waktu. Dalam klasifikasi isi artikel pemilu, mereka
menemukan bahwa hanya satu dari sembilan surat kabar yang dibedakan dari
posisi berimbang. Namun, ketika dilihat dari sikap editorial, maka perbedaannya
cukup jelas. Meskipun hanya diungkapkan satu surat kabar yang secara signifikan
bias, pola dukungan editorial dalam pemilu mencirikan bias, dengan perhitungan
36 dari 44 dukungan yang mendukung koalisi pada periode 1996-2007. Konsisten
dengan hal ini, mereka juga mengamati perbedaan substansial dalam
keikutsertaan politik dari pemilik media yang masuk dalam partai politik, dengan
rasio keterlibatan setinggi 3: 1 dalam mendukung koalisi.
Brewer dan Siegelman (2002) dalam penelitian mengatakan kebijakan
konvensional tentang kampanye politik negatif menyatakan bahwa mereka
memiliki konsekuensi niat praktis. Banyak pengamat juga menakutkan bahwa
kampanye negatif bukan hanya tidak diinginkan tetapi efek merugikan pada
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
13
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
14
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
15
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
16
berujung pada peraturan SKB 3 Menteri serta perda-perda lainnya yang melarang
tumbuh kembangnya Jemaat ini.
Ketiga, yakni karakteristik pelaku dan korban. Pada karakteristik korban
Tulus menjelaskan bahwa yang menggolongkannya adalah bagaimana kebijakan
yang melarang keberadaan Ahmadiyah. Pelarangan itu kemudian berdampak pada
diskriminasi yang terjadi pada kelompok Ahmadiyah di masyarakat. Sedangkan, pada
konteks pelaku penyerangan biasanya bukan dari warga setempat—melainkan dari
warga lain yang mengatasnamakan organisasi Islam. Tulus membuktikannya dengan
menjelaskan secara rinci bahwa kejadian di penyerangan terhadap Ahmadiyah di
Parung dilakukan oleh orang-orang luar Parung.
Selain itu, penelitian lain yang berbicara soal kejahatan kebencian adalah
Tesis dari Estrelita (2010) yang mengungkapkan penyebaran kejahatan kebencian
yang dilakukan pemerintah Orde Baru pada Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat).
Kejahatan kebencian Orde Baru pada Lekra ini didasari oleh dugaan Lekra yang
berafiliasi dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Orde Baru saat itu menurut
Estrelita menganggap PKI adalah musuh nomor satu. Sehingga, pemerintahan saat itu
membumihanguskan semua Ormas yang berkaitan dengan PKI.
Keterkaitan Lekra dengan PKI sebenarnya tidaklah secara langsung. Lekra
dianggap PKI karena beberapa pendirinya adalah anggota PKI. Selain itu, aktivitas
Lekra yang membela rakyat miskin juga dianggap sama seperti gaya PKI saat itu.
Asumtif tidak berdasar dan cenderung prasangka itu kemudian menurut Estrelita
menjadi legitimasi Orde Baru untuk menyebar kabar bahwa Lekra adalah komunis
yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.
Orde Baru melakukan kejahatan kebencian pada Lekra lewat berbagai cara.
Misalnya stigmatisasi yang diberikan Orde Baru pada Lekra sebagai komunis.
Beberpa senima Lekra yang diwawancar Estrelita mengungkapkan bahwa Lekra
sebenarnya tidak berafiliasi dengan PKI. Informan lainnya juga mengatakan
keengganan Lekra disebut sebagai antek-antek PKI karena seniman dinilai perlu
kreativitas. Jika tidak kreativitas menrutnya akan terasa gersang dan kering.
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
17
Selain itu, Estrelita menilai ada penyebaran kejahatan kebencian pada Lekra
lewat media seperti Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha. Estrelita mencontohkan
penyebaran kejahatan kebencian lewat pemberitaan dilakukan lewat kalimat-kalimat
yang menyudutkan Lekra. Misalnya “Teror G30S menjalar ke bidang hasil-hasil seni
dan budaya nasional kita”. Dalam berita-berita keduanya, menurut Estrelita
menampilkan senimana yang terlibat G30S bukanlah loyal terhadap revolusi bangsa.
Artikel tersebut menurut Estrelita mempertegas aksi penyebaran kebencian terhadap
PKI dan mereka yang dianggap PKI.
Tesis Romadlan (2000) menggambarkan ideologi memengaruhi pemberitaan
dua harian besar di Indonesia, yakni Harian Kompas dan Harian Republika saat
pemilihan umum 1999. Keduanya memiliki ideologi yang berbeda, yakni Nasionalis
dan Islam. Romadlan melihat ideologi itu membuat pola pemberitaan mereka
cenderung positif dan negatif pada salah satu partai. Partai dengan ideologi yang
sama maka pemberitaannya akan bernada positif, sebaliknya jika ideologi berbeda
pemberitaannya akan cenderung negatif.
Dua kasus yang paling kentara adalah pemberitaan, pertama pemberitaan
Harian Kompas dan Harian Republika terhadap PDI Perjuangan. Pola pemberitaan
Harian Kompas terhadap PDI Perjuangan cenderung positif. Alasannya keduanya
memiliki ideologi yang sama, nasionalis. Meskipun Romadlan tidak secara pasti
menyebut nasionalis pada keduanya—namun pemberitaan keduanya
mengimplikasikan persamaan ideologi. Sehingga Harian Kompas akan cenderung
menghindari pemberitaan negatif terhadap PDI Perjuangan.
Sebaliknya, Harian Republika melakukan pemberitaan yang bernada negatif
terhadap PDI Perjuangan. Antara PDI Perjuangan dan Harian Republika keduanya
memiliki haluan yang berbeda. Harian Republika tidak segan untuk menggiring opini
publik untuk tidak memilih PDI Perjuangan dengan alasan sebagian besar calegnya
adalah non-muslim. Isu yang berbasi agama digunakan Harian Republika untuk
mendelegitimasi PDI Perjuangan sebagai partai politik peserta pemilu 1999.
Penelitian lainnya dari disertasi Hamad (2002) membahas kontruksi realitas
politik media massa saat masa pemilu 1999. Hamad membagi tiga fokus
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
18
penelitiannya. Pertama konstruksi media massa terhadap partai politik selama masa
pemilihan umum tahun 1999. Konstruksi tersebut menurut Hamad masih terbatas
pada sisi ideologis, kampanye atau pun pemberian label tertentu semata. Konstruksi
Harian Republika terhadap PDI Perjuangan yang tidak satu pandangan ideologi. PDI
Perjuangan dikonstruksikan sebagai partai yang tidak layak pilih karena banyak caleg
non-muslim.
Kedua, penelitian ini berfokus pada faktor-faktor yang memengaruhi
konstruksi realitas partai-partai politik. Di antara 10 koran yang diteleti, media yang
lebih dipengaruhi oleh faktor ideologis adalah Republika, Rakyat Merdeka, Bali Post;
Yang dipengaruhi faktor idealis adalah Suara Pembaruan, Kedaulatan Rakyat; oleh
faktor politis-praktis adalah Media Indonesia dan Haluan; dan yang lebih
mempertimbangkan pasar atau ekonomi adalah Kompas, Jawa Pos, dan Fajar. Ketiga,
motif pengkonstruksian media terhadap masing-masing partai politik.
Pembahasan selanjutnya yakni dari Van Dijk (2008) yang berusaha
menggambaran bagaimana rasisme dan pers di Spanyol. Salah satu fokus tulisannya
mengenai suratkabar El Pais yang melakukan peliputan mengenai pemilihan presiden
Bolivia pada tahun 2005. Liputan mengenai pilpres Bolivia khususnya Evo Morales,
El Pais membuat simbolik sendiri pada Evo Morales yang merupakan kandidat yang
berasal dari suku asli Bolivia. El Pais menggunakan terminologi ‘indio’ untuk
menggambarkan Evo Morales. Padahal, menurut Van Dijk—‘indio’ sebenarnya
penggunaan untuk masyarakat yang tidak berpendidikan. Sehingga kata tersebut
cenderung bersifat rasis. Selain itu, perdebatan selanjutnya mengenai Evo Morales
dalam suratkabar El Pais juga dilihat ia menggambarkan pakaian Evo Morales yang
dianggap menyerupai masyarakat ‘indio’.
Penelitian yang sudah ada masih membahas keterkaitan antara ideologi dan
media. Ideologi politik misalnya yang diteliti oleh Romadlan dalam keterkaitannya
dengan pemilihan umum—masih terbatas bagaimana sebuah media menghasilkan
pemberitaan yang condong pada salah satu partai politik. Disertasi yang dilakukan
oleh Hamad pun hanya menggali bagaimana konstruksi realitas media terhadap partai
politik dalam pemilu tahun 1999. Selain itu, pada artikel jurnal yang ditulis oleh Van
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
19
Dijk hanya terbatas pada ideologi rasis yang memengaruhi pemberitaan pada salah
satu kandidat presiden Bolivia pada pemilihan presiden tahun 2005. Sedangkan pada
penelitian kejahatan kebencian, Tulus tidak memakai elemen media. Ia hanya
berfokus bagaiamana pola kebencian yang tertanam pada Ahmadiyah. Sedangkan
dalam penelitian Estrellita salah satunya membahas bagaimana pola pemberitaan
media pada salah satu komunitas, yakni Lekra.
Dari hasil mengelaborasi penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya,
penulis melihat bahwa ada beberapa elemen yang masih belum dibahas. Konsep yang
tentunya akan dibawa oleh penulis yakni kuasa simbolik, habitus, ideologi kejahatan
kebencian, serta reproduksi—di mana penulis berusaha kaitkan satu sama lain
sehingga membentuk sebuah kerangka pikir yang dapat dipahami oleh pembaca.
Konsep ini yang kemudian akan penulis terapkan pada konteks Tabloid Obor Rakyat.
Sehingga nantinya akan bisa meggambarkan dan memahami secara jelas bagaimana
reproduksi ideologi kejahatan kebencian dalam habitus politik Tabloid Obor Rakyat
saat pemiliha presiden.
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
20
Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan
prinsip- prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Sedangkan menurut
Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Indonesia, Kemerdekaan pers adalah sarana
masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi
kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia.
Namun sangat
disayangkan, dalam kegiatan dalam menyampaikan informasi tersebut biasanya
tidak selalu memiliki konsistensi pada pencerdasan masyarakat. Hal ini tidak jauh
dari bagaimana media sebenarnya memiliki preferensi bias dalam
pemberitaannya.
Pembiasan berita oleh media menurut Gans dan Leigh (2012) adalah
adanya ruang liputan lebih banyak kepada salah satu sisi politik daripada yang
lainnya. Mullainathan dan Shleifer (2003) menjelaskan bahwa berita miring atau
bias sebenarnya tidak terlepas dari preferensi pembaca. Media memahami
keinginan masyarakat tentang kebenaran. Tapi, media juga dapat membuat cerita
bias versi mereka dengan menghilangkan beberapa informasi. Pada dasarnya
berita bias bukanlah hal yang berguna bagi pembaca, namun dengan adanya
pembaca yang memiliki preferensi bias merupakan hal yang tepat. Hal ini karena
sejalan dengan preferensi pemikiran mereka. Kehadiran pembaca bias dapat
dihubungkan dengan monopoli surat kabar mengenai berita miring dengan tujuan
melegitimasi keyakinan pembaca. Namun, jika keyakinan pembaca heterogen,
koran duopoli membedakan diri dengan melaporkan berita lainnya yang
menarik—sehingga koran tersebut dapat mengisi nilai yang lebih tinggi. Seorang
pembaca yang teliti membaca kedua surat kabar untuk memperoleh informasi
yang akurat karena dia bisa cross check berita. Hal ini menguntungkan pembaca
yang teliti, tapi tidak dengan pembaca bias.
Media bias setidaknya memiliki preferensi politik sendiri. Dapat dikatakan
bahwa politik adalah pembuatan keputusan oleh alat-alat publik (Deutsch, 1970,
hal 5). Dengan kata lain, alat-alat publik ini bisa disejajarkan dengan media
massa. Sebagai bagian dari publik, media massa tentu membuat sebuah
pemberitaan lewat putusan-putusan tertentu dan menghasilkan putusan-putusan
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
21
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
22
representasi. Dalam penulisan ini, maka yang dimaksud dengan habitus politik
media adalah sebuah sikap atau kebiasaan yang muncul dari media lewat
pemberitaannya terhadap salah satu kandidat presiden di Tabloid Obor Rakyat.
Pemberitaann tersebut tentu berkaitan denga;n ideologi kejahatan kebencian yang
berusaha dibangun oleh Tabloid Obor Rakyat.
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
23
dalam batas-batas struktur diskursif tersebut, tidak dengan yang lain. Kedua,
struktur diskursif yang tercipta atas suatu objek tidaklah berarti kebenaran. Batas-
batas yang tercipta tersebut bukan hanya membatasi pandangan kita, tetapi juga
menyebabkan wacana lain yang tidak dominan menjadi terpinggirkan (hal 77).
Wacana dan ideologi sebenarnya memiliki tali temali. Keduanya
membangun hubungan dominasi. Menurut Marx dan Engels ideologi adalah
upaya sistematis untuk menunjukkan rasionalitas distribusi kekayaan yang ada
dan permintaan utilitas sosial di mana bertujuan untuk mempertahankan posisi
kekuasaan (Manning, 1980, hal 3). Ideologi sendiri doktrin yang kita dapat
dipatuhi. Mereka (ideologi) tidak, berbicara dengan benar, secara teoritis. Kita
mungkin percaya pada mereka, tapi kita tidak diberitahu oleh mereka.
Mengetahui apa yang kita yakini bukan hal yang sama seperti mempercayai
sesuatu yang kita ketahui (Manning, 1980, hal 86). Sedangkan, ideologi yang
dikembangkan oleh Althusser lebih menekankan bagaimana kekuasaan dominan
dapat mengontrol kekuatan lain. Dengan kata lain, Ideologi dapat dijadikan
sebagai alat untuk mencapai kekuasaan. Kekuasaan tersebut dibangun dengan
menebar sebuah bentuk yang bisa melanggengkan hubungan dominasi. Bentuk
tersebut bisa dalam konsep kebencian.
Pengertian kejahatan kebencian yang paling dasar menurut Gerstenfeld
(2004) adalah tindak pidana yang dilakukan setidak-tidaknya atau sebagian
dengan motivasi adanya kelompok afiliasi korban (Mustofa, 2010, hal 207).
Hudson (2009) menjelaskan bahwa kejahatan kebencian dapat diartikan sebagai
suatu kejahatan di mana pelaku kejahatan dapat dengan sengaja memilih
korbannya (hal 15). Kelompok afiliasi tersebut dapat merupakan kelompok ras,
agama, etnis, gender, ketidakmampuan dan lain-lain. Di Indonesia sering terjadi
penyerangan terhadap etnis Cina, terhadap pengikut Ahmadiyah, perlakukan tidak
adil terhadap orang yang dituduh mempunyai hubungan dengan Partai Komunis
Indonesia dan organisasi-organisasi yang bernaung di bawahnya seperti Lekra dsb
(Mustofa, 2010, hal 207-208)
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
24
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
25
massa maupun kanal media lainnya. Pratkanis dan Aronson (2010) mengatakan
bahwa propaganda didefinisikan sebagai penyebaran ide dan pendapat bias,
biasanya dengan menggunakan sesuatu yang bohong dan curang (Pratkanis &
Aronson, 2010, hal 8). Sedangkan Qualter (1985) mendefinisikan propaganda
sebagai beberapa usaha penyebaran untuk memengaruhi banyak sikap dan
perilaku oleh manipulasi komunikasi simbolik (Wring, 1996, hal 5).
Satu konsep yang menarik dari propaganda yakni munculnya komunikasi
simbolik sebagai salah satu cara untuk menegaskannya. Komunikasi simbolik
yang manipulatif seperti yang dijelaskan oleh Qualter bisa berkaitan dengan
kuasas simbolik yang dipahami oleh Bourdieu. Hal ini muncul karena keduanya
sama-sama menaruh unsur kuasa yang pada akhirnya membentuk hubungan
dominasi. Kuasa simbolik Burdieu menurut Thompson (1995) merupakan
kekuasaan yang dipindahkan pada wujud simbolik dan diimplementasikan dalam
komunikasi simbolik. Adanya peralihan tersebut, membuat kuasa simbolik
seakan-akan legitimasi dan bukan hubungan kuasa.
Membangun kuasa simbolik dalam hal ini tentu tidak terlapas dari usaha
mengkonstruksi suatu hal. Pemahaman awal mengenai terbangunnya realitas
sosial sebenarnya digambarkan oleh Berger dan Luckmann (1966) bahwanya
realitas sosial terbangun atas dasar konstruksi sosial dengan adanya bentuk-
bentuk komunikasi tertentu. Berkaitan dengan konstruksi dan pemberitaan,
Kriminologi memiliki Gregg Barak dengan gagasannya mengenai proses media
dalam mengkonstruksi berita kejahatan.
Barak (1994) menjelaskan setidaknya ada tiga proses dalam
mengkonstruksi pemberitaan, yakni; pertama, refleksi media, keberagaman
budaya. Pada tahap ini Barak menjelaskan bahwa sebenarnya media yang tidak
banyak memiliki pengetahuan, sumber dan informan tentu akan mengalami
homogenitas. Homogenitas ini kemudian bisa berkembang pada konstruksi
pemberitaan yang tidak mengalami perubahan dan cenderung pada bias. Kedua,
media massa, ketertiban umum dan symbolic deviance. Media massa dalam hal ini
melakukan sebuah konstruksi simbolis dengan membentuk subjek baik dan jahat.
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
26
Ketiga, kontrol sosial, berita media dan perubahan politik. Media massa dapat
dikatakan berhubungan untuk mengontrol ketertiban publik. Hanya, menurut
Barak peranan media massa dalam mengontrol ketertiban publik seringkali
disalahgunakan untuk kepentingan dominan. Barak yang mengutip McQuail
(1992) menjelaskan bahwa dalam tataran tataran teori kritis—media massa
dikendalikan oleh kelas elit yang menyebabkan media dapat memarginalisasi dan
delgitimasi oposisi.
Berangkat dari pemahaman tersebut, tentu jika mengacu pada tradisi
posmodern dalam melihat bentuk kejahatan maka pada dasarnya ada pembangun
realitas atau satu bentuk kejahatan yang sah. Dengan kata lain, propaganda
kontruksi kuasa simbolik ini berusaha untuk membangun sebuah subjek yang
baru dengan menempelkan elemen-elemen lainnya—sehingga nantinya akan
terlihat sah. Penulisan ini akan memakai konsep ini dengan menghubungan
propaganda kebencian yang dilakukan oleh Tabloid Obor Rakyat dalam
mengkontruksi Joko Widodo dan Jusuf Kalla lewat kuasa simbolik. Sehingga, apa
yang direpresentasikan oleh Tabloid Obor Rakyat mengenai Joko Widodo dan
Jusuf Kalla akan dianggap sah.
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
27
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
28
rasial ini didasari oleh konstruksi-konstruksi tentang ras di mana ras merupakan
hubungan struktural dan tindakan sosial yang dibenarkan dengan mengacu pada
sistem dan simbol dari kepercayaan dan menekankan pada relevansi sosial dan
budaya karakteristik biologis yang telah mengakar (Bhavnani, Mirza, & Meetoo,
2005, hal 217).
Sepeerti yang dikatakan Sheffield (1995) kekerasan kebencian dimotivasi
oleh faktor-faktor sosial dan politik dan didukung oleh sistem kepercayaan dalam
usahanya untuk mencari kekerasan yang sah. Hal itu mengungkapkan bahwa
pribadi merupakan bagian dari politis; yang menggolongkan kekerasan bukanlah
serangkaian insiden yang terisolasi melainkan konsekuensi dari budaya politik
yang mengalokasikan hak khusus, hak istimewa dan kekuasaan sesuai dengan
karakteristik biologis atau sosial (Perry, 2001, hal 9-10).
Perry mengatakan Sheffield secara eksplisit membahas pentingnya kondisi
konteks sosial dan politik dalam melakukan kejahatan rasial. Sementara itu,
Wolfe dan Copeland (1994) mengatakan kekerasan ditujukan terhadap kelompok-
kelompok orang umumnya tidak dihargai oleh masyarakat mayoritas, mengalami
diskriminasi, dan yang tidak memiliki akses penuh untuk memperbaiki
ketimpangan sosial, politik dan ekonomi (Perry, 2001, hal 9).
Poin penting dari apa yang dikatakan Wolfe dan Copeland dan Sheffield
menurut Perry (2001) yakni bagaimana peran kejahatan kebencian dalam
membangun identitas relatif dan posisi subjek keduanya, korban dan pelaku, baik
secara individu atau pun kolektif. Kejahatan kebencian, kemudian, melibatkan
tindakan kekerasan dan intimidasi, biasanya diarahkan langsung pada kelompok
yang sudah distigmatisasi dan terpinggirkan (hal 10).
Hal ini seperti mekanisme kekuasaan dan penindasan, yang kemudian
dimaksudkan untuk menegaskan kembali hierarki penting karakteristik suatu
tatanan sosial. Hal ini merupakan upaya untuk menciptakan kembali hegemoni
ancaman (nyata atau bayangan) dari kelompok pelaku dan identitas subordinat
‘tepat’ dari kelompok korban (Perry, 2001, hal 10).
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
29
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
30
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
31
atau struktur yang terstruktur. Hal ini sejalan dengan Saussure, penemu tradisi ini,
melihat bahasa sebagai sistem yang terstruktur, bahasa secara fundamental
digunakan sebagai kondisi yang sudah jelas (parole), sebagai struktur medium
yang direkonstruksi sesuai dengan relasi konstan antara suara dan artinya
(Bourdieu, Language and Symbolic Power, 1991, hal 164-166). Bahasa menurut
Bourdieu sudah menjadi bagian yang melekat dalam struktur itu sendiri. Sehingga
mau tidak mau, bahasa digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi.
Ketiga, sistem simbol sebagai instrumen dominasi. Tradisi marxis
meletakan penekanan penting dalam political functions symbolic system.
Fungsionalisme ini menjelaskan produksi simbolik dengan mengaitkan mereka
dengan kepentingan penguasa. Tidak seperti mitos, yang merupakan sebuah
produk kolektif secara bersama, ideologi melayani secara khusus kepentingan
yang mereka pelihara sebagai kepetingan universal, yang disebarkan oleh
kelompok secara keseluruhan. Poin ini Bourdieu menjelaskan bahwa bahasa
digunakan sebagai alat ideologi atau ekspresi kekuasaan. Lebih lanjut, bahasa
yang dikenal sebagai alat untuk berkomunikasi—semakin tergerus karena adanya
kuasa dari bentuk bahasa lain yang medominasi—yang kemudian seakan-akan
dilegitimasi.
Berawal dari tiga fraksi tersebut, kemudian Bourdieu berusaha membuat
dua sintesis. Sintesis itu kemudian berguna untuk lebih mengerecutkan apa yang
dimaksud dengan kuasa simbolik oleh Bourdieu. Sintesis pertama merupakan
gabungan dari tradisi Kantian dan Saussure. Dalam pemahaman itu, bahasa
dianggap sebagai instrumen pengetahuan dan komunikasi. Selain itu, bahasa yang
dikategorikan sebagai symbolic structures ini dapat diimplikasikan menjadi
kekuasaan yang dapat mestruktur dengan catatan, bahasa itu telah terstruktur
(Bourdieu, Language and Symbolic Power, 1991, hal 166). Dalam sintesis
pertama, menurut Dwizatmiko (2010, hal 39) dalam studinya mengenai kuasa
simbolik, Bourdieu juga menekankan bahasa bisa menjadi alat fundamental untuk
menuju integrasi sosial, menuju kesepakatan (consensus). Lebih lanjut, konsensus
itu kemudian disamakan dengan doxa oleh Bourdieu.
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
32
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
33
mengekpresikan ideologi, atau power tertentu yang terbuka lebar untuk terjadinya
pemaksaan pandangan terhadap realitas (Dwizatmiko, 2010, hal 41).
Lebih lanjut, Bourdieu (1991) juga mengungkapkan bahwa bahasa
dijadikan sebagai alat yang memiliki muatan ideologis, politis, simbol kekuasaan
dari suatu kultural identitas tertentu dalam kehidupan sosial masyarakat. Namun,
masyarakat menganggap hal tersebut sesuatu hal yang dilegitimasi, sah, terberi,
dan konsensus. Tanpa berpikir bahwa di dalamnya mengandung kekuasaan
simbolik.
Mengacu pada penjelasan sintesis kedua, maka kuasa simbolik dalam
tahap ini merupakan kuasa dalam menentukan (bahkan menanamkan) instrumen-
instrumen pengetahuan dan ekspresi (taksonomi) kenyataan sosial secara
sewenang-wenang, akan tetapi instrumen-instrumen yang kesewenang-
wenangannya tidak disadari (Bourdieu, Language and Symbolic Power, 1991, hal
168). Sehingga menurut Dzatmiko (2010) kuasa simbolik pada konteks ini
bukanlah bentuk dominasi yang diterapkan melalui komunikasi: tetapi penerapan
kuasa atau dominasi melalui komunikasi yang tidak diakui, namun kelihatan
diakui sebagai yang sah atau legitimate (hal 47).
Mengacu pada penjelasan mengenai kuasa simbolik, penulis mencoba
mengaitkan pemberitaan Kandidat presiden dalam media massa sebagai usaha
kuasa simbolik yang dilakukan oleh salah satu pihak. Dalam kuasa simbolik
seperti yang sudah dijelaskan di atas mengandung unsur legitimasi dalam
mengkonstruksi realitas yang ada.
Kaitan kuasa simbolik dengan kejahatan kebencian dalam pemberitaan
pemilihan umum di media massa adalah usaha untuk melegitimasi kejahatan
kebencian yang disebarkan. Selain itu, adanya usaha untuk mengarah pada
konsensus atau doxa seperti yang diungkapkan di atas. Belum lagi ada dugaan
bahwa bahasa dalam hal ini pemberitaan kandidat presiden digunakan oleh kelas
dominan untuk pemaksaan pandangan terhadap realitas atau biasa dikaitkan
dengan sintesis kedua. Berikut akan ditampilkan mengenai bagan sistem simbol
Bourdieu yang mengerucutkan menjadi dua sintesis
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
34
SINTESIS 1
Sociology symbolic form: kontribusi kuasa simbolik dalam
gnoselogical order : sense = consensus, i.e. doxa
SINTESIS 2
Kekuatam Ideologis sebagai kontribusi khusus kuasa
simbolik (orthodoxy) untuk political violence (domination)
Sumber: Bourdieu. (1991). Language and Symbolic Power. Cambridge: Polity Press
dan olahan penulis
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
35
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
36
media merupakan bagian dari ekspresi yang hendak disampaikan. Ekspresi itu
kemudian biasanya telah direncanakan dan disusun sedemikian rupa. Dalam hal
ini dapat dimaknai bagaimana, habitus merupakan disposisi-disposisi yang
memiliki skema pemikiran atau persepsi yang telah bertahan cukup lama.
Mengacu pola pikir tersebut, maka bahwa wacana yang didalamnya ada
praktik bahasa selalu mengacu pada eufemisme di mana menerapkan konsep
“speak well” atau “speak properly”—untuk menghasilkan produk yang
menyesuaikan kondisi pasar—dalam hal ini bisa dikaitkan dengan habitus
(Bourdieu, Language and Symbolic Power, 1991, hal 78). Tentu, dalam
pemahaman ini bahwa pasar (masyarakat) menjadi habitus yang disesuaikan
dengan kondisi sosialnya saat itu. Media kemudian menggunakan bahasa yang
sifatnya cenderung mengikuti tren tersebut, sehingga dalam penyampaian
ideologinya atau pesannya—media tidak menyinggung masyarakat saat itu.
Dengan kata lain, proses reproduksi habitus menjadi lebih mudah.
Habitus menghasilkan, dan dihasilkan oleh, kehidupan sosial. Di satu
pihak habitus adalah ”struktur yang dapat menstruktur” (structuring structure);
artinya habitus adalah suatu struktur yang menstruktur kehidupan sosial. Di lain
pihak, habitus adalah ”struktur yang telah distruktur” (structured structure); yakni
struktur yang ada sejauh telah distrukturasi (dibangun/dikonstruksi) oleh dunia
sosial itu sendiri (Dwizatmiko, 2010, hal 71). Dengan kata lain, habitus
merupakan bagian dari kehidupan sosial yang sudah tertanam lama. Kemudian,
habitus juga dapat direproduksi lebih masif lagi untuk tujuan tertentu karena
sifatnya yang disposisi fleksibel. Habitus juga dianggap sebagai dialektika
internalisasi dari eksternalisasi dan eksternalisasi dari internalisasi (Bourdieu,
Outline of a Theory of Practice, 1977, hal 72).
Fahsri (2014) yang mengelaborasi pemikiran dari Bourdieu mengenai
habitus kemudian memunculkan empat ciri dari habitus. Pertama, habitus
mencakup dimensi kognitif dan afektif yang terejawantakan dalam sistem
disposisi. Kedua, habitus sebagai “struktur-struktur yang dibentuk” (structured
structure) dan “struktur-struktur yang membentuk” (structuring structure).
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
37
Ketiga, habitus dilihat sebagai produk sejarah. Keempat, habitus bekerja di bawah
arus kesadaran dan bahasa, melampaui jangkauan pengamatan introspektif, atau
kontrol oleh keinginan aktor.
Dalam kaitannya dengan penulisan ini, maka konsep habitus memiliki dua
kaitan yang cukup penting. Pertama, habitus yang dinilai sebagai ideologi yang
memengaruhi. Seperti yang diungkapkan sebelumnya, ideologi dalam
pemahaman Althuseer merupakan instrumen propaganda untuk menanamkan
ideologi kelas yang dominan. Dengan kata lain, ideologi ini merupakan sudah
tertanam yang kemudian digunakan untuk suatu kelompok tertentu. Pada tahap
ini, habitus kejahatan kebencian yang ada di masyarakat merupakan ideologi yang
sudah tertanam cukup lama. Seperti yang telah diungkapkan Bourdieu
sebelumnya bahwa habitus sudah tertanam cukup lama. Kemudian, habitus yang
dimaksud sebagai ideologi itu berkembang dan digunakan sebagai pemantik
dalam usahanya untuk mereproduksinya kembali.
Kedua, habitus dilihat sebagai hasil reproduksi wacana kejahatan
kebencian. Dengan kata lain, habitus kali ini merupakan implikasi dari adanya
produksi bahasa yang berlandaskan habitus ideologi kejahatan kebencian
sebelumnya. Habitus itu kemudian tersebar luas lewat tulisan-tulisan yang
direproduksi oleh media. Seperti yang diungkapan Bourdieu, bahwa ada usaha
yang dilakukan media masa untuk menyelaraskan pemikiran para pembaca lewat
pemilihan bahasa yang tepat—dalam hal ini menyesuaikan habitus yang
berkembang di masayarakat. Sehingga nantinya akan menghasilkan sebuah
konsensus dalam masyarakat itu sendiri.
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
38
Kejahatan
Kebencia
n
Media
Massa
Habitus
Ideologi
Politik
Media
Media
Massa
Kuasa
Simbolik
Media
Massa
Seperti yang dikatakan Bhavnani (2005) kejahatan rasial ini didasari oleh
konstruksi-konstruksi tentang ras, ia menyatakan bahwa ras merupakan hubungan
struktural dan tindakan sosial yang dibenarkan dengan mengacu pada sistem dan
simbol dari kepercayaan dan menekankan pada relevansi sosial dan budaya
karakteristik biologis yang telah mengakar (hal 217).
Untuk menggali wacana ini, maka harus dilihat terlebih dahulu bagaimana
perkembangan kejahatan kebencian dalam pemberitaan kandidat presiden di media
massa. Penulis melihat terdapat tiga hal yang melekat dalam berkembangnya
kejahatan kebencian di media massa, yakni habitus, ideologi dan kuasa simbolik.
Dalam kaitannya, kali ini penulis melihat bahwa adanya siklus kejahatan kebencian
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
39
yang terjadi dalam masyarakat. Adanya habitus (pola pikir) mengenai konsep hate di
dalam masyarakat kemudian dirasionalisasi lewat kuasa simbolik di dalam Media
massa. Adanya kuasa simbolik itu merupakan bagian dari usaha melegitimasi habitus
(pola pikir) yang tertanam dalam masyarakat. Legitimasi itu dilakukan dengan
mengkonstruksi realitas yang ada. Adanya praktik kuasa simbolik juga dipertegas
dengan adanya habitus (praktik bahasa) yang dilakukan di media mengenai salah satu
kelompok dalam pemilihan umum. Praktik bahasa itu juga bagian dari pembenar
yang berusaha menyelaraskan dengan habitus yang sudah berkembang di masyarakat.
Berkat adanya habitus (praktik bahasa) itu, kemudian juga berpengaruh terhadap
kejahatan kebencian yang kembali muncul di masyarakat.
Althusser (1971) mengatakan bahwa ideologi bukan hanya sistem ide, tapi
juga merupakan material practice. Dengan kata lain, adanya campur tangan aparatus-
aparatus negara sebagai instrumen propaganda untuk menanamkan ideologi kelas
yang dominan yang disebutnya dengan istilah Aparatus Idelogis Negara (Ideological
State Aparatuses atau ISA). Catatan penting dalam ISA ini adalah aparatus negara
tidak hanya berkaitan dengan negara secara harfiah, tapi juga bisa digunakan oleh
kelompok dominan. Artinya, ideologi ini bisa dilakukan oleh kelompok dominan
dalam menanamkan kejahatan kebencian di masyarakat lewat pemberitaan kandidat
presiden di media massa. Dengan kata lain, ideologi dalam penulisan ini merupakan
bagian dari habitus pola pikir dalam masyarakat.
Kuasa simbolik yang dipaparkan oleh Bourdieu dipakai penulis karena
memiliki penjelasan yang tepat dalam tulisan kali ini. Asumsi ini berasal dari konsep
kuasa simbolik itu sendiri yang mengarah pada penggunaan bahasa sebagai alat untuk
mengkonstruksi realitas atau kehidupan sosial yang ada. Konteks itu berkaitan dengan
sintesis pertama yang dijelaskan oleh Bourdieu. Tak lupa, Bourdieu juga menjelaskan
sintesis kedua.
Dalam hal ini, Bourdieu menilai bahwa bahasa yang digunakan sebagai alat
untuk mengkonstruksi realitas atau kehidupan sosial atau menyamakan persepsi dunia
objektif hingga masuk dalam konsensus. Konteks konsensus itu kemudian bisa
dialhfungsikan untuk sebagai alat praktik mengekspresikan ideologi, atau kekuatan
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
40
tertentu yang memiliki peluang lebar dalam pemaksaan realitas (Bourdieu, Language
and Symbolic Power, 1991, hal 167). Dalam konteks kejahatan kebencian, maka jelas
bahwa lewat kuasa simbolik—media massa berusaha melegitimasi kejahatan
kebencian yang disebarkan. Selain itu, kuasa simbolik juga berkaitan dengan
masyarakat yang enggan mencari tahu dan tidak tahu mengenai status dirinya yang
menjadi korban kejahatan kebencian itu sendiri.
Habitus yang dipakai dalam penulisan ini digambarkan sebagai sebuah pola
pikir masyarakat yang sudah tertanam cukup lama. Adanya pola pikir yang tertanam
cukup lama itu kemudian digunakan sebagai pemantik dianggap sebagai ideologi
yang memengaruhi media dalam membentuk kejahatan kebencian. Pembentukan
kejahatan kebencian dalam media yang kemudian direproduksi juga menjadi habitus
oleh media tersebut, sehingga memberikan sebuah asumsi bahwa adanya reproduksi
habitus kejahatan kebencian di masyarakat.
Media massa dalam pemberitaannya mengenai salah satu kandidat presiden
berusaha membawa kerangka habitus (ideologi) kejahatan kebencian dalam
masyarakat. Adanya usaha pembawaan habitus itu kemudian dibuktikan lewat
penggunaan bahasa dalam media tersebut—di mana menurut Bourdieu (1991)
wacana yang didalamnya ada praktik bahasa selalu mengacu pada eufemisme di mana
menerapkan konsep “speak well” atau “speak properly”—untuk menghasilkan
produk yang menyesuaikan kondisi pasar—dalam hal ini bisa dikaitkan dengan
habitus (masyarakat).
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
BAB 3
METODE PENULISAN
42
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
43
Kuasa simbolik yang digagas oleh Bourdieu berusaha penulis kaitkan dengan
simbol yang muncul dalam Tabloid Obor Rakyat. Simbol tersebut secara tidak sadar
direpresentasikan sebagai hal yang wajar sehingga tidak terlihat sebagai
penginternalisasian kebencian pada satu kelompok tertentu. Representasi kebencian
itu dimunculkan lewat Tabloid Obor Rakyat dalam pemberitaannya mengenai Joko
Widodo dan Jusuf Kalla saat pemilihan presiden. Penulis berpendapat, analisis yang
akan dilakukan adalah membongkar wacana yang disampakai dalam teks tersebut.
Pada konsep habitus, maka penulis mencoba mengeksplorasi perilaku Tabloid
Obor Rakyat saat pemilihan presiden. Habitus yang dimaknai Bourdieu merupakan
sebuah struktur yang menstruktur. Artinya, ada peran dari habitus dalam membentuk
suatu konsep atau melestarikannya kembali. Penulis mencoba menjelaskan
bagaiaman habitus politik Tabloid Obor Rakyat saat pemilihan presiden. yang
akhirnya melestarikan wacana kejahatan kebencian. Habitus politik media itu tersaji
lewat pemberitaan yang diturunkan oleh Tabloid Obor Rakyat. Kejahatan kebencian
dalam penulisan ini merupakan elemen penting yang ada di setiap cara kerja konsep,
mulai dari ideologi, kuasa simbolik sampai dengan habitus. Penulis menilai kejahatan
kebencian ini sebagai sebuah pola pikir utama yang berkaitan dengan kriminologi
dalam penulisan ini.
Sehingga, penulis mengaitkan antara kejahatan kebencian dan pola
pemberitaan Tabloid Obor Rakyat saat pemilihan presiden. Dari yang sudah
dijelaskan, penulis mencoba merangkai konsep-konsep tersebut menjadi sebuah
pemikiran yang penulis sebut gagasan kreatif, yakni reproduksi wacana kejahatan
kebencian dalam habitus politik Tabloid Obor Rakyat saat pemilihan presiden.
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
44
Rakyat, penulis mengaitkan konsep yang penulis pakai seperti ideologi, kuasa
simbolik, habitus dan reproduksi kebencian.
Selain itu, penulis juga menggunakan data sekunder lainnya untuk menambah
referensi lainnya dalam menganalisis Tabloid Obor Rakyat sebagai media yang
melakukan pemberitaan bersifat kebencian. Selain itu, data-data ini juga penulis
gunakan sebagai pembanding analisis penulis terhadap Tabloid Obor Rakyat. Berikut
adalah penelitian terdahulu yang digunakan penulis untuk menganalisis;
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
45
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
BAB 4
KEBENCIAN, IDEOLOGI DAN HABITUS TABLOID OBOR RAKYAT
46
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
47
Pada bab ini, penulis akan berusaha menggali bagaimana proses reproduksi
kebencian Tabloid Obor Rakyat terhadap Joko Widodo dan Jusuf Kalla saat masa
pemilihan presiden lewat konsep-konsep yang sudah dijelaskan tadi. Pola tersebut
dimulai dari ideologi, propaganda dan kuasa simbolik, habitus dan pemahaman
kembali maksud dari reproduksi kebencian itu sendiri. Penulis akan menggambarkan
reproduksi kebencian yang ditampilkan oleh Tabloid Obor Rakyat saat masa
pemilihan umum 2014 lalu.
Reproduksi kebencian dilihat dari ideologi, propaganda dan kuasa simbolik,
serta habitus politik Tabloid Obor Rakyat. Penulis beranggapan Tabloid Obor Rakyat
merupakan kasus yang dapat dipakai untuk menghantarkan pola pikir kejahatan
kebencian yang sebenarnya dalam media. Penulis melihat Tabloid Obor Rakyat
merupakan fenomena yang menarik. Tabloid Obor Rakyat tidak tergolong sebagai
media yang resmi di Indonesia. Namun, keberadaannya tidak lepas dari fungsi media.
Sehingga perlu dipahami secara mendalam bahwa Tabloid Obor Rakyat juga bisa
dianggap sebagai media. Terutama dengan sifatnya yang dapat menebarkan
informasi.
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
48
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
49
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
50
satu hal. Namun, konsep itu diduga memperkeruh suasana saat pemilihan presiden
dengan menyerang salah satu kandidat.
Pada posisi ini, Tabloid Obor Rakyat—yang notabene media dianggap telah
menciderai pondasi demokrasi. Terlebih menyinggung soal kebebasan pers di
Indonesia. Obor Rakyat seakan memanfaatkan kebebasan pers untuk melakukan
sebuah bentuk kejahatan yang menyerang pada satu kelompok masyarakat. Belum
lagi menyangkut soal pemilihan umum yang merupakan latar waktu Tabloid Obor
Rakyat dalam melakukan aksinya. Terbitan itu diduga mengkerdilkan dan menyerang
salah satu kandidat dengan mengkonstruksi realitas yang ada.
Pada artikel lain yang ditulis oleh Atmakusumah, pengamat pers mengatakan
bahwa Obor Rakyat merupakan persoalan kebangsaan karena memberitakan
menyangkut anti salah satu agama dan ras. Seperti yang dikutip dari tulisan kolom
Opini KOMPAS cetak pada 3 Juli 2014, yakni:
“Uraian dalam tulisan-tulisan Obor Rakyat yang bernuansa anti-Tionghoa
dan anti-non-Muslim menyangkut persoalan kebangsaan yang dibangun oleh
para pejuang kemerdekaan kita sejak jauh sebelum Indonesia merdeka, yaitu
bahwa kita dipersatukan tanpa memperbedakan asal-usul suku dan ras serta
agama dan kepercayaan.”
Atmakusumah dalam tulisannya memerhatikan dengan rinci bagaimana
konten yang dihasilkan oleh Tabloid Obor Rakyat. Misalnya Atmakusumah
mengkritisi bagaimana Tabloid Obor Rakyat membangun nuasa anti-Tionghoa dan
anti-non-Muslim. Dua hal ini tentu sudah menjadi bagian yang rentan dan bersifat
sensitif. Pasalnya dua hal itu menyangkut kebudayaan dan kepercayaan yang dianut
sebagian masyarakat Indonesia. Belum lagi, pembangunan nuansa anti kedua hal
itu—mempertaruhkan keutuhan bangsa Indonesia. Tak ayal, Tabloid Obor Rakyat
dianggap oleh sebagaian pihak melakukan kejahatan.
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
51
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
52
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
53
praktek sosial, dan lebih khusus diperoleh, dikonfirmasi, diubah dan dilestarikan
melalui wacana (Van Dijk T. A., 2006).
Wacana tidak tergambarkan sebagai sesuatu yang murni. Ia membentuk dan
dibentuk. Misalnya, wacana melestarikan ideologi dengan jalannya sendiri lewat
konfirmasi dan pengubahan di beberapa titik. Media massa yang biasa bergulat
dengan wacana paham betul tugasnya untuk bisa menyampaikan pesannya lewat
wacana. Misalnya, dalam penelitian Van Dijk (2008) ia mempermasalahkan
mengenai ideologi rasis yang digunakan El Pais, koran spanyol, dalam
pemberitaanya tentang Evo Morales, kandidat presiden di Bolivia tahun 2005. Van
Dijk, melihat bahwa ada kecenderungan yang negatif dari El Pais dalam mebahas
Evo Morales. Salah satunya dengan menyebut Evo Morales sebagai ‘indio’. Di mana
‘indio’ sendiri dimaknai oleh Latin America sebagai pencemaran nama baik,
perkataan rasis dan masyarakat pribumi yang memiliki banyak karakteristik negatif.
Meskipun terdapat beberapa perbedaan sejarah politik tertentu dan hubungan
ras yang rumit di negara-negara Amerika Latin, hampir semua dari negara-negara
Amerika Latin menganggap istilah 'indio' sebagai terminologi menghina. Masyarakat
latin yang diiberikan label sebagai ‘indio’ seringkali menjadi korban, terpinggirkan
dan didiskriminasi (Cohen, 2003, hal 48). Hal inilah yang kemudian membuat
terminologi ‘indio’ sebenarnya bernada negatif pada Evo Morales dalam suratkabar
El Pais.
Selain itu, pada penelitian Romadlan (2000) kemudian membuat dua kategori
di dua media massa, Harian Kompas dan Harian Republika, yakni ‘Nasionalis’ dan
‘Islam’ . Dalam pandangan dua ideologi, kemudian media mengkonstruksikan partai
dalam pemilihan umum 1999 dengan berbeda-beda. Kompas yang melakukan
pemberitaan positif dengan partai yang berbasis Nasionalis seperti PDI-Perjuangan.
Lalu, Republika memberitakan sebaliknya, melakukan pemberitaan negatif terhadap
PDI-Perjuangan. Dasar dari tindakan itu lebih pada perbedaan pandangan.
Penelitian ini lebih memperlihatkan bagaimana konteks ekonomi (Kompas )
dan agama (Harian Republika) memainkan peranan dalam pemberitaannya pada
pemilihan umum 1999. Pada dasarnya tdeologi tidak hanya disebabkan oleh sistem
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
54
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
55
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
56
membentuk opini publik ke arah negatif. Baik Joko Widodo, gang of nine dan
keturunan Cina dipersepsikan akan membawa kehancuran bagi masyarakat. Salah
satu usaha persepsi itu dibangun lewat kalimat “..mengkhawatirkan banyak orang.”
Perlu dipahami bahwa ideologi yang tampil dalam bahasa dan
direpresentasikan lewat simbol-simbol tidak pernah secara sadar terlihat sebagai
sesuatu yang salah. Takwin (2009) menjelaskan bentuk-bentuk simbolik tampil dalam
berbagai tindakan dan ucapan, citra non linguistik (image) yang dipadukan dengan
elemen linguistik seperti dalam iklan dan teks yang diproduksi oleh individu-individu
serta dipahami oleh mereka sendiri dan orang lain sebagai hal yang bermakna (hal
106). Pemahaman ini sebenarnya berkaitan erat jika ingin mengaitkan dengan
penjelasan di paragraf sebelumnya—menyoal kegiatan Tabloid Obor Rakyat yang
berusaha mengkonstruksikan kebencian pada Joko Widodo lewat isu-isu SARA.
Kebencian itu diproduksi lewat pemberitaan-pemberitaan yang merugikan bagi Joko
Widodo.
Penggunaan isu SARA sebagai bagian penebaran ideologi kebencian
merupakan hal yang dapat dilihat jelas dalam artikel tersebut. Tabloid Obor Rakyat
tidak segan menuduh Jokowi didukung lingkaran Cina yang berujung pada
membahayakan stabilitas ekonomi nasional. Orang keturunan Cina dalam artikel ini
digambarkan memiliki niatan buruk untuk mengeruk kekayaan Indonesia. Hal itu bisa
terjadi jika, menurut Tabloid Obor Rakyat, Jokowi menjadi presiden.
Perlu dilihat secara mendasar, ungkapan mengkhawatirkan banyak orang pada
kutipan pertama tersebut sengaja disematkan sebagai bagian yang dianggap penting.
Pembaca akan merasa bagaimana pengaruh keturunan Cina itu dapat memberikan
efek negatif pada orang banyak. Salah satunya dengan keterlibatan mereka dengan
Jokowi yang saat itu menjadi kandidat presiden pada pemilu 2014 silam. Konstruksi
yang tidak mendasar itu dibangun untuk mengaburkan wacana yang sebenarnya dari
etnis Tionghoa.
Althusser menjelaskan ideologi sebagai sebuah ‘representasi’ relasi individu
imajiner pada kondisi nyata dari eksistensinya. Artinya, ideologi kebencian yang
ditebarkan oleh Tabloid Obor Rakyat dengan menggunakan komponen anti-Tionghoa
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
57
bukan merupakan kondisi nyata dari eksistensinya. Hal tersebut merupakan sebuah
realitas semu yang tak mendasar. Tabloid Obor Rakyat kemudian melibatkannya
dengan Geng Sembilan Naga yang sebenarnya tidak ada fakta yang mendukung.
Secara keseluruhan artikel tersebut tidak menyebut satu nama dan keterkaitan secara
langsung antara Jokowi dan Geng Sembilan Naga yang dianggap pengusaha
keturunan etnis Tionghoa.
Dengan kata lain, menurut Althusser (2008), jika ideologi tidak berhubungan
dengan realitas, yakni bahwa mereka adalah ilusi, kita mengakui pula bahwa ideologi
sungguh-sungguh membisikkan sebuah kiasan tentang realitas, mereka hanya perlu
‘ditafsirkan’ untuk mengungkapkan realitas dunia di balik representasi dunia itu (hal
39). Dari pemahaman ini dapat digambarkan sebenarnya Althusser menekankan pada
aktivitas penafsiran tersebut. Penafsiran tersebut bisa saja menghasilkan relasi yang
mendistorsi imajiner representasi ideologis dari dunia nyata.
Althusser menjelaskan relasi yang berbentuk pemberitaan dapat mengurangi
representasi ilusi ideologis dari dunia nyata—atau malah sebaliknya. Ia bisa membuat
representasi ideologis yang imajiner dari dunia nyata terbangun dan memiliki posisi
penting di masyarakat. Itulah yang kemudian, pemberitaan Joko Widodo tentang
penggambaranya yang berhubungan erat dengan kaum Cina di dalam Tabloid Obor
Rakyat digambarkan sebagai representasi imajiner ideologi kebencian. Konteksnya
dapat dilihat—representasi tersebut membentuk kebencian sendiri pada masyarakat
secara umumnya. Althusser (2008) percaya bahwa ideologi adalah kekosongan,
kecuali dengan fungsionalisasinya dalam bentuk-bentuk eksistensi material dan
fungsionalisasi itu. Maksudnya, ideologi akan berfungsi jika diisi oleh pemahaman-
pemahaman mengenai realitas semu di dalamnya.
Dari realitas tersebut, pada fenomena penggambaran ideologi kebencian yang
dilakukan Tabloid Obor Rakyat terhadap Joko Widodo merupakan usaha tafsiran
yang hendak disampaikan sebagai realitas. Di mana tafisiran itu menjelaskan
pengusaha keturunan etnis Tionghoa memiliki niat buruk yang kemudian
bekerjasama dengan kandidat presiden Joko Widodo. Hubungan keduanya dianggap
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
58
sebagai representasi negatif yang tidak layak pilih. Joko Widodo dan etnis Tionghoa
dianggap merupakan ancaman bagi masyarakat.
Usaha penafsiran realitas atas ideologi kebencian itu sebenarnya tak lepas dari
pola pikir masyarakat yang sudah ada di masyarakat. Pola pikir yang sudah
mendalam tersebut terbentuk lewat habitus. Bourdieu dan Althusser sendiri memiliki
persamaan persepsi mengenai ideologi dan habitus—di mana keduanya merupakan
hasil internalisasi yang tidak disadari secara mendalam (profoundly unconcious).
Eagleton (1991) sendiri pernah menyebut bahwa habitus sebagai ketidaksadaran
kultural, yakni pengaruh sejarah yang tak secara sadar dianggap alamiah. Sehingga
jika berkaitan dengan ideologi kebencian yang berusaha disebarkan di Tabloid Obor
Rakyat—maka sebenarnya Tabloid Obor Rakyat memanfaatkan kesadaran
masyarakat yang tidak terlalu mendalam untuk lebih memahami sebuah isu.
Penjelasan Bourdieu, habitus bisa dikatakan sebagai sktruktur kognitif yang
memperantarai individu dalam berurusan dengan realitas sosial (Takwin, 2009, hal
114). Struktur kognitif ini bentuk usaha penafsiran realitas sosial. Pemahaman
terhadap realitas sosial ini bisa menjadikan habitus kebencian pada etnis Tionghoa.
Selain itu, kebencian tersebut juga dibangun terhadap Joko Widodo dan Jusuf Kalla
sebagai kandidat presiden pada pemilu 2014. Penafsiran kebencian atas kedua
kelompok tersebut bisa jadi sebagai struktur kognitif, di mana nantinya akan
membentuk realitas sosial baru—kebencian.
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
59
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
60
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
61
menjadi tolok ukur untuk satu masalah. Opini tersebut terkadang dianggap sebagai
pembenar dan menjadi acuan bagi setiap orang. Terlebih jika opini tersebut
disebarluaskan lewat media massa.
Status dari pembuat opini juga bisa menjadi sumbangan penting untuk lebih
menegaskan kembali kuasa yang muncul atas pembentukan opini tersebut. Sehingga
dengan kata lain, adanya status dari pembuat opini bisa memberikan pandangan
pembaca untuk mempercayai perkataan dari pembuat opini. Misal yang disebutkan
oleh Ketua MUI, Kholil Ridwan—secara tidak langsung organisasi yang mewakili
basis massa Islam—bisa menggiring opini dari masyarakat Islam khususnya untuk
setuju dengan pendapat Ketua MUI tersebut dalam hal pandangan tentang etnis Cina
dan Joko Widodo.
Kholil membuat pernyataan yang menyudutkan suatu kelompok tertentu,
yakni etnis Cina. Ia menganggap dengan adanya etnis Cina di kubu Joko Widodo,
maka nantinya setiap aspek di lini pemerintahan, mulai dari perdagangan, bisnis dan
perekonomian akan dikuasai oleh kroni-kroni Cina. Sehingga, tidak ada sisa bagi
kaum Islam atau pribumi untuk bisa bertahan dalam lini tersebut. Ketidakberdayaan
ini kemudian dianggap oleh Kholil sebagai dampak yang mengerikan.
Berita lain yang kemudian menunjukkan adanya propaganda dan kuasa
simbolik yakni headline Tabloid Obor Rakyat yang menyebutkan PDIP sebagai Partai
Salib. Konteks salib di sini merujuk pada agama Kristen yang menggunakan salib
sebagai simbol agamanya. PDIP dianggap sebagai partai yang didukung oleh banyak
kalangan Kristen. Namun, dukungan ini dipelintir oleh Tabloid Obor Rakyat sebagai
sesuatu yang dianggap berbahaya. Dalam berita lanjutannya di halaman 3, Tabloid
Obor Rakyat memberikan judul ‘Partai Salib’ Pro Jokowi’. Keberadaan simbol salib
yang dikaitkan dengan Kristen kemudian dihadapkan pada realitas semu yang
menganggap bahwa sering berhadapan dengan aspirasi umat Islam.
Tabloid Obor Rakyat dalam artikel tersebut membuat kesewenang-wenangan
dengan membuat ciri sendiri terhadap PDIP, yakni ‘Dari sejarahnya, PDI
Perjuangan dibentuk sebagai wadah aspirasi kelompok Kristen. Di parlemen pun
sering berhadapan dengan aspirasi umat Islam’. Dari penggalan pemberitaan
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
62
tersebut dapat kita lihat bagaiamana agama Kristen dipertentangan dengan agama
Islam. Keduanya dianggap saling bersebrangan. Sehingga, dengan asumsi bahwa
agama PDI Perjuangan yang didukung agama Kristen akan memberikan dampak
negatif terhadap umat Islam. Dengan kata lain, tidak mengakomodir kepentingan
Islam. Simbol salib yang dipakai oleh Tabloid Obor Rakyat digunakan untuk
melegitimasi bahwa umat Kristen yang dibalik PDI Perjuangan berusaha menguasai
Indonesia dan memberikan dampak buruk bagi umat Islam.
Pembangunan opini yang samar dengan memberikan pendapat dampak yang
mengerikan bisa diartikan sebagai prasangka yang tidak berdasar. Hal ini dilihat dari
asumsi dampak yang tidak didukung oleh fakta awal. Dalam tulisan di artikel ini,
Tabloid Obor Rakyat tidak menyajikan fakta secara lengkap. Sehingga ini terkesan
sebagai artikel yang bias. Adanya usaha penempatan kaum non-muslim sebagai
kelompok yang negatif dan tidak layak pilih oleh masyarakat Islam merupakan
bagian dari pemaksaan simbol.
Bourdieu menyebut pola tersebut sebagi praktik kekerasan simbolik. Adanya
pemaksaan sistem simbolisme dan makna terhadap kelompok atau kelas sedemikian
rupa sehingga hal itu dialami sebagai sesuatu yang sah (Jenkins, 2013, hal 157).
Selain itu, ada bahasa ya penggunaan bahasa sebagai instrumen untuk mendominasi.
Dominasi simbolik secara tidak langsung memasukan kekuasaan simbolik sebagai
bentuk kekuasaan yang membuat orang mengenali dan memercayai, serta
memperkuat dan mengubah pandangan mengenai dunia (Fahsri, 2014, hal 122).
Bourdieu berpandangan bahwa bahasa bagian dari cara hidup sebuah kelompok sosial
dan secara esensial memberikan layanan bagi tercapainya tujuan-tujuan praktis
(Snook, 2009, hal 203).
Romadlan (2000) dalam tesisnya juga pernah memperlihatkan bagaimana
Harian Republika memperlihatkan PDI Perjuangan sebagai partai yang dipenuhi oleh
caleg-caleg non-muslim. Selain itu, Harian Republika juga berani mencatut
pernyataan dari Hamzah Haz sebagai Ketua Umum PPP yang menyerukan untuk
tidak memilih caleg non-muslim. “Hijau PPP Sejukkan Jakarta, Hamzah: Umat
Islam Jangan Pilih Caleg Non-Muslim” (26/5/99).
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
63
Praktik kebencian yang ditampilkan oleh Tabloid Obor Rakyat tidak hanya
berhenti sampai penggunaan isu Joko Widodo dan Jusuf Kalla semata. Tabloid Obor
Rakyat juga menebar kebencian terhadap Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua
Umum PDI Perjuangan yang dianggap berpenampilan tidak Islami. Tabloid Obor
Rakyat salah satunya menyebutkan bahwa penampilan Mega tidak pernah
menggunakan busana muslim, kecuali pada acara keagamaan. Konstruksi ini dapat
dilihat bahwa ada dominasi simbolik dari ungkapan tersebut. Busana muslim menjadi
patokan untuk menilai seseorang. Sehingga, dengan munculnya dominasi simbolik
itu—Megawati dibentuk dengan kebencian karena tidak menggunakan busana
muslim.
Penyimbolan dengan membentuk suatu realitas baru dibangun berdasarkan
banyak perilaku. Barak (1994) menjelaskan bahwa symbolic punishment didapat
melewati pelabelan atau stigmatisasi atau sifat antisosial, pelanggar dan kejahatan itu
sendiri. Biasanya, terkadang tindakan penyimbolan ini bisa bersifat terus terang, atau
tidak kentara (hal 13). Dengan kata lain penyimbolan terhadap Megawati misalnya
yang tidak memakai busana muslim—dibangun dengan stigmatisasi bahwa busana
muslim bagi perempuan adalah wajib dan jika tidak menggunakannya tidak Islami.
Selain itu, pembangun opini yang kentara dalam artikel ini, menyiratkan ada
bentuk kuasa yang ditanamkan. Secara tidak langsung kuasa tersebut dibangun lewat
simbol-simbol yang mencitrakan sesuatu dan mudah dicerna oleh sebagian pihak.
Simbol-simbol itu berupa Partai Salib, Sembilan Naga, busana muslim—sehingga
simbol tersebut terkesan mendominasi dan membentuk realitas baru. Pada dasarnya
ideologi meresap dalam diri seseorang melaui bahasa (Takwin, 2009, hal 106).
Ideologi kebencian yang kemudian disamarkan lewat bahasa itu sebenarnya bagian
dari penyebaran ideologi itu sendiri. Ia masuk dalam sendi-sendi bahasa yang tidak
terlihat sebagai ideologi kebencian. Melainkan bentuk praktik yang dianggap sah.
Bahasa lah yang kemudian menjadi instrumen penting dalam kuasa
pembentukan ideologi kebencian lewat media massa. Bourdieu sendiri menyebut hal
tersebut sebagai kuasa simbolik—dimana ada kuasa dalam menentukan instrumen
pengetahuan dan ekspresi kenyataan sosial secara sewenang-wenang—yang
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
64
kemudian kesewenangan itu tidak disadari atau dianggap sah. Dengan kata lain
menurut Barak (1994) bahwa hasil dari proses kebijakan simbolik yang dilakukan
oleh media adalah penyelesaian konflik jangka pendek dan mengontrol ketertiban
umum untuk kepentingan utama dari status quo (penguasa). Tentu, lewat Tabloid
Obor Rakyat—kekuasan dibaliknya berusaha mengontrol Joko Widodo dan Jusuf
Kalla lewat pemberitannya yang mengarahkan pada simbol-simbol kebencian.
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
65
perasaan. Dari konteks pemikiran dan perasaan itu maka memunculkan sebuah sikap
dalam melakukan proses pemberitaan dalam institusi media.
Dengan kata lain, kekuatan habitus juga dapat terbangun dari
ketidaklengkapan perilaku dan habituasi, bukan pada aturan dan prinsip yang
dipelajari secara sadar. Beberapa perilaku yang sesuai secara sosial diproduksi secara
rutin, tanpa acuan eksplisit kepada pengetahuan yang terkodifikasi (Jenkins, 2013, hal
109-110). Kertidaklengkapan perilaku dalam media massa misalnya saat pemberitaan
pemilihan umum merupakan bagian dari habitus media massa. Hal itu menjadi
kekuatan yang dimiliki media massa untuk melenggangkan habitus kejahatan
kebencian yang ingin ditebarkan. Secara tidak langsung, kekosongan perilaku dan
habituasi yang positif membuat berita di media massa tersebut cenderung mengarah
ke negatif.
Bourdieu (2011) menjelaskan habitus sebagai sistem disposisi terhadap suatu
praktik adalah basis objektif bagi perilaku-perilaku yang teratur; oleh karena itu, jadi
basis regularitas bentuk-bentuk praktik. Namun, perlu dipahami bahwa
kecenderungan bertindak dengan cara yang biasa dan teratur, yang ketika prinsipnya
dinyatakan secara eksplisit, dapat menjadi dasar perkiraan tidaklah didasarkan pada
peraturan yang eksplisit. Ini berarti bahwa bentuk perliku yang dilahirkan habitus
tidak memiliki regularitas sempurna seperti yang ada pada bentuk-bentuk perliku
yang diturunkan dari prinsip-prinsip legislasi: karena habitus terkait erat dengan hal-
hal yang masih kabur dan belum jelas (hal 101).
Tabloid Obor Rakyat edisi 1 (5-11 Mei 2014), di salah satu artikel yang
berjudul Jokowi Anak Tionghoa memberikan pemberitaan yang tidaklah jelas.
Pasalnya, pemberitaan tersebut mengarahkan pembaca yang menginterpretasi bahwa
Jokowi adalah keturunan Tionghoa. Salah satu alasannya, yakni ayah Jokowi yang
berganti nama dari Oey Hong Liong, penguasa Solo yang ganti nama menjadi
Nitimiharjo. Nama Jokowi pun dituduh sebagai Joko Oey.
Atas beredar tuduhannya tersebut, Jokowi pun membantahnya. Pernyataan
bantahan tersebut berisi, "Bapak saya itu asli dari desa, yakni Desa Karang Anyar
sekitar 30 kilometer dari Kota Solo, begitu juga ibu saya berasal dari Boyolali
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
66
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
67
Habitus
Pada konsep yang pertama mengenai habitus yang ada selama ia ada di dalam
kepala aktor, maksudnya adalah habitus sudah tertanam cukup lama dalam kepala
aktor. Habitus kebencian misalnya yang sudah ada di dalam benak pembuat Tabloid
Obor Rakyat. Ini bisa tercermin dari pola pemberitaan Tabloid Obor Rakyat yang
mengarah pada kebencian terhadap Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai kandidat
presiden pemilu 2014. Dari empat edisi yang dikeluarkan oleh Tabloid Obor
Rakyat—semua edisi tersebut hampir menautkan Joko Widodo sebagai kandidat
presiden dengan isu yang negatif. Isu-isu kebencian yang berusaha ditebarkan, yakni
mulai dari etnis Tionghoa, non-muslim, anti-muslim, de-islamisasi, capres (calon
presiden) boneka, korupsi.
Barak (1994) mengatakan media tidak mencerminkan keragaman yang
semakin besar, media terus memberikan homogenitas, mainstream, dan versi realitas
yang seragam realitas serta cenderung menghindari kontroversi yang mendasar.
Konsistensi ini menurut Barak karena ketergantungan pemberitaan media pada
rutinitas jurnalistik yang saling berbagi satu sama lain—pada sumber berita dan
interaksi yang sama (hal 11). Konteks tersebut bisa kita gambarkan bagaimana Joko
Widodo dan Jusuf Kalla diberitakan dalam Tabloid Obor Rakyat. Pemberitaan yang
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
68
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
69
atas nama Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia untuk mengerdikal Joko
Widodo sebagai kandidat presiden pada pemilu 2014. Habitus kebencian itu
kemudian digambarkan dengan baik oleh Tabloid Obor Rakyat yang juga melakukan
pemberitaan miring tersebut.
Pada konsep ketiga yakni mengenai taksonomi praktis. Penyimbolan
seseorang menjadi sesuatu yang diinginkan oleh aktor pembuat simbol tersebut.
Penyimbolan itu bisa jadi berupa hal yang negatif. Karena secara tidak langsung
mengkonstitusi subjek sebagai individu lain. Tabloid Obor Rakyat yang
menyimbolkan Joko Widodo sebagai pendusta. Habitus kebencian itu dibangun
berdasarkan prasangka yang mengungkapkan Joko Widodo tidak amanah dalam
menjalankan tugasnya. Salah satunya yakni dengan jabatannya sebelum menjadi
presiden yakni Gubernur Jakarta. Tabloid Obor Rakyat mengkonstruksi Joko Widodo
pendusta dengan tidak menaati sumpah jabatannya. Pada halaman belakang edisi 1
(5-11 Mei 2014) Joko Widodo dibuat karikaturnya memiliki hidung seperti Pinokio—
karakter animasi yang jika berbohong hidungnya berubah jadi panjang. Selain itu,
Tabloid Obor Rakyat juga menambahkan tulisa ‘Sang Pendusta! Mau Dibohongi
Lagi...?”.
Penyimbolan yang dilakukan Tabloid Obor Rakyat terhadap Joko Widodo ini
merupakan bagian dari kebencian yang ingin disebarkan. Pasalnya, karakter Joko
Widodo yang dianggap pendusta itu sebagai capres yang tidak layak pilih. Dalam
tulisannya yang terkesan bertanya apakah ingin dibohongi lagi, menunjukkan sebuah
sikap yang mempertanyakan masyarakat untuk berpikir dua kali jika ingin memilih
Joko Widodo. Pasalnya, menurut Tabloid Obor Rakyat—Joko Widodo adalah
pendusta—karena tidak amanah pada jabatannya sebagai Walikota Solo dan
Gubernur DKI Jakarta.
Sehingga Bourdieu (1992) lebih lengkap menjelaskan habitus sebagai sebuah
sistem yang kuat dan bertahan cukup lama, suatu disposisi yang fleksibel (berganti-
ganti/berpindah-pindah), struktur yang terstruktur yang kemudian cenderung
berpengaruh menjadi struktur yang berfungsi penataan struktur. Posisi struktur yang
telah testruktur itu sebenarnya menjelaskan paham kebencian yang sudah lama
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
70
terstruktur dalam pola pikir masyarakat. Paham kebencian tersebut berguna untuk
menjadi sebuah ideologi kebencian di masyarakat.
Tabloid Obor Rakyat yang pada dasarnya mengambil isu-isu yang sudah
tertanam lama di masyarakat—kemudian membentuk kembali menjadi sesuatu yang
baru dan menempelkannya pada Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Sehingga keduanya
menjadi simbol kebencian. Hal ini tentu dapat tergambarkan dengan berita yang
kemudian terus menerus diberitakan oleh Tabloid Obor Rakyat. Maka, hal tersebut
kemudian menegaskan kembali bahwa ada habitus politik kebencian di Tabloid Obor
Rakyat terhadap Joko Widodo dan Jusuf Kalla saat pemilihan presiden 2014.
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
71
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
72
berguna untuk membuat ideologi itu dapat diterima dengan baik oleh pembaca
khususnya dan masyarakat umumnya. Beberapa isu yang dipropagandakan oleh
Tabloid Obor Rakyat lewat kuasa simboliknya adalah seperti pernyataan Ketua MUI
yang mengatakan jika Joko Widodo menjadi presiden, maka etnis Cina akan berkuasa
dan berdampak mengerikan. Konsep kuasa simbolik di sini dapat dilihat proses
pemilihan kata seperti dampak mengerikan. Proses simbolisasi Cina yang serakah dan
menyebabkan kesenjangan ekonomi yang berlebih terhadap kaum pribumi.
Penyimbolan terhadap etnis Cina dalam Tabloid Obor Rakyat sangat jelas
membuat kebencian yang mendalam terhadap tingkah laku etnis tersebut. Hubungan
yang dekat dengan penguasa dianggap sebagai dasar sentimen anti-Cina. Hubungan
dekat dengan elit politik dipandang sebagai alat untuk menghasilkan akses lebih
lanjut terhadap keuntungan yang lebih tinggi (Kartasasmita, 2011, hal 1). Pola pikir
ini yang kemudian berusaha disusupkan oleh Tabloid Obor Rakyat dalam membentuk
sentimen anti-Cina yang dekat dengan Joko Widodo. Joko Widodo dianggap
didukung oleh etnis Cina yang ingin melakukan pengembangbiakan bisnis secara
besar-besaran di Indonesia jika terpilih menjadi presiden nantinya.
Setelah adanya proses kuasa simbolik, maka akan terbentuk habitus kebencian
di media itu sendiri. Tabloid Obor Rakyat dalam hal ini mencoba untuk melestarikan
kebencian terhadap Joko Widodo dan Jusuf Kalla lewat kealfaan informasi positif
keduanya. Tidak adanya verifikasi terhadap keduanya dalam isu-isu yang
dimunculkan oleh Tabloid Obor Rakyat menegaskan habitus kebencian yang
direpresentasikan media ini. Selain itu, ada usaha untuk penyimbolan terhadap Joko
Widodo misalnya yang disebut Sang Pendusta. Habitus kebencian itu dipraktikan
lewat simbol-simbol yang mudah dibaca masyarakat.
Konsep reproduksi tersebut bisa jadi sejalan dengan pemikiran Bourdieu yang
menjelaskan mengenai reproduksi. Dimana sekolah dianggap oleh Bourdieu
merupakan tempat pembagian kultural masyarakat. Pembagian kultural itu
menegaskan perbedaan antara kaum subordinat dan superordinat. Pada institusi
pendidikan kaum superordinat di sini adalah guru dan subordinat adalah murid. Jika
dikaitkan dalam penulisan ini, maka dapat disimpulkan mengenai peran serta Tabloid
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
73
Obor Rakyat yang merupakan tempat reproduksi kultural itu sendiri. Superordinat
dalam Tabloid Obor Rakyat adalah elit simbol sedangkan pada subordinatnya bisa
pada konteks subjek yang diberitakan dan pembaca itu sendiri.
Reproduksi kultural itu dapat dilihat dengan penegasan Joko Widodo yang
tidak layak pilih. Selain itu munculnya elemen-elemen seperti muslim dan non-
muslim memunculkan penegasan adanya perbedaan secara kultural. Perbedaan itu
kemudian dillegitimasi untuk menyasar kebencian pada salah satu pihak. Dalam
Tabloid Obor Rakyat akan digambarkan bahwa kaum non-muslim tidak bisa
dipercaya dan akan membawa kesengsaraan terhadap umat Islam. Sedangkan etnis
Cina akan membawa dampak buruk bagi kaum pribumi jika dikasih kekuasaan.
Anggapan ini muncul dari bagaimana antara institusi pendidikan dan media
memiliki ciri khas yang mirip—sama-sama bersumber pada elit. Jika sekolah
bersumber pada elit seperti guru, maka media bersumber pada elit politik, tokoh
masyarakat, tokoh agama. Di mana kesemuanya membentuk pengetahuan sendiri
dalam merepresentasikan dunia sosial—dalam hal ini konstruksi Joko Widodo dan
Jusuf Kalla di dalam Tabloid Obor Rakyat.
Van Dijk (2012) sendiri mengatakan bahwa wacana merupakan penghubung
utama antara dimensi sosial dan kognitif rasisme (hal 16). Wacana itu bisa tergambar
jelas dalam Tabloid Obor Rakyat yang memunculkan paham rasis terhadap Joko
Widodo dan Jusuf Kalla. Dengan kata lain, wacana juga dapat terekspresikan
menjadi praktik sosial yang diskriminatif, dengan mengekspresikan dan membantu
reproduksi representasi sosial negatif (praduga, dll)—yang disosialisasikan sebagai
basis utama dari praktik sosial (Van Dijk, 2012, hal 16).
Patut dipahami sebenarnya—bentuk ideologi kebencian ini terbangun dengan
membuat pemaknaan terhadap Joko Widodo lewat pemberitaan di Tabloid Obor
Rakyat. Thompson menjelaskan fenomena ini sebagai kegiatan pemaknaan yang
bertujuan mempertahankan dominasi. Hubungan dominasi ini diartikan sebagai
hubungan kekuasaan asimetrsi yang dibangun secara sistematis. Hubungan ini terjadi
ketika sekumpulan individu atau sekelompok tertetntu dari masyarakat (kelompok
yang lebih besar) memiliki kekuasaan dalam jangka waktu yang lama untuk
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
74
menegaskan diri sebagai pihak yang unggul serta menyatakan individu-individu lain
berada di bawah keunggulan mereka (Takwin, 2009, hal 106).
Secara tidak langsung, hal ini tercermin dalam bentuk hubungan dominasi
antara pembuat Tabloid Obor Rakyat yang notabene staff khusus presiden dan ia
memiliki kekuasaan yang cukup banyak. Meskipun ia tidak pernah mengatakan
sumber dananya, dugaan yang beredar adalah ia didanai oleh kubu lawan Joko
Widodo dan Jusuf Kalla dalam pilpres 2014 kemarin. Namun, tuduhan itu pun
dibantah oleh banyak pihak, mulai dari tim sukses Prabowo-Hatta sendiri—sampai
pemimpin redaksi Tabloid Obor Rakyat.
Misal dua media online—Tribunnews.com dan mediaindonesia.com
menyebutkan dugaan keterlibatan Rizal Chalid, pengusaha minyak kenamaan. Salah
satu artikel tersebut menyebutkan:
“PENERBITAN tabloid Obor Rakyat yang mendiskreditkan calon presiden
(capres) Joko Widodo (Jokowi) awalnya untuk menaikkan popularitas Hatta
Rajasa saat mantan Menteri Perekonomian itu masih duduk di kabinet.
Menurut sumber Media Indonesia, tabloid itu sepenuhnya didanai pengusaha
minyak Muhammad Riza Chalid. Tidak hanya membiayai Obor Rakyat, Riza
yang di Singapura dikenal dengan sebutan Gasoline Godfather juga
membiayai tim sukses calon wakil presiden (cawapres) nomor urut satu itu.
Kedekatannya dengan Hatta semakin mengental ketika mantan Menteri
Perekonomian itu duduk di kabinet.” (Mediaindonesia.com, 2014).
Pemberitaan tersebut tergambar bahwa Tabloid Obor Rakyat diduga didanai
oleh pemilik modal yang cukup besar. Selain itu, ia dianggap untuk mengamankan
posisi Hatta Rajasa yang saat itu menjadi mantan Menteri Perekonomian. Salah satu
cara penyelamatan itu dengan mendiskreditkan pihak lawan, yakni Joko Widodo dan
Jusuf Kalla.
Takwin (2009) mengatakan penegeasan keunggulan, kebaikan, kebenaran dan
kelebihan ainnya dilakukan dengan menyebarkan ideologi memlakui penggunaan
bahasa dan simbol-simbol lainnya. Misal Setyardi yang mengungkapkan dirinya
belum menemukan bahan untuk membuat pemberitaan tentang Prabowo;
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
75
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
76
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kejahatan kebencian dalam Tabloid Obor Rakyat saat pemilihan presiden
dibangun atas dasar prasangka yang tidak berdasar. Dalam Tabloid Obor Rakyat,
prasangka itu dibentuk menjadi sebuah wacana kebencian terhadap Joko Widodo dan
Jusuf Kalla. Dimana Joko Widodo dan Jusuf Kalla itu dikonstruksikan negatif dan
terkesan tidak layak pilih. Konstruksi negatif dalam media saat pemilihan presiden tidak
lepas dari usaha untuk mengkonstitusi subjek. Praktik mengkonstitusi subjek bertautan
erat dengan pembentukan realitas semu.
Kebencian terhadap Joko Widodo dan Jusuf Kalla tersebut dijabarkan lewat
realitas-realitas semu yang ada dalam ideologi kebencian. Realitas semu seakan menjadi
legitimasi dari penyemaian ideologi kebencian di dalamnya. Wacana kebencian tidaklah
murni, melainkan ada Joko Widodo dan Jusuf Kalla-Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang
sengaja ingin menanamkan paham kebencian tersebut. Dengan kata lain, ideologi
kebencian tidaklah murni berdiri sendiri.
Ideologi kebencian yang dimunculkan dalam kerangka pemberitaan Tabloid Obor
Rakyat terhadap Joko Widodo dan Jusuf Kalla memperlihatkan ada pengaruh lain seperti
faktor agama. Tabloid Obor Rakyat membangun realitas semu untuk menebar ideologi
kebencian. Ungkapannya mengenai peluang non-muslim untuk berkuasa, digambarkan
dengan sangat tendensius mengarah pada penolakan. Konstruksi ini dibangun dengan
membuat non-muslim sebagai penghalang kemajuan umat Islam. Salah satunya dengan
mencatut kutipan-kutipan elit tokoh agama yang mempunya basis masa banyak.
Ideologi kebencian yang berusaha ditanamkan oleh Tabloid Obor Rakyat saat
pemilihan presiden dilakukan dengan praktik yang secara tidak sadar dianggap sah atau
legitimate. Praktik penebaran kebencian itu dilakukan lewat simbol-simbol yang umum.
Simbol-simbol dalam Tabloid Obor Rakyat menyimpan pesan yang ingin disampaikan.
Tabloid Obor Rakyat misalnya membuat simbol pada Joko Widodo sebagai pendusta.
Secara tak langsung, masyarakat akan mudah menerima simbol itu dan dinternalisasi.
Pesan tersebut tentu mengandung kebencian yang secara tidak sadar dapat mudah
75 Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
76
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
77
Bahasa bukan medium yang netral dalam praktik komunikasi. Bahasa memiliki
keterkaitan erat dengan kuasa dibaliknya. Sehingga nantinya bahasa membuat sebuah
kekerasan simbolik, kejahatan yang nyata.
Bahasa dalam Tabloid Obor Rakyat mengungkap banyak hal. Salah satunya dapat
membuat konstruksi salah satu Joko Widodo dan Jusuf Kalla politik saat pemilihan
presiden. Media menggunakan bahasa sebagai pengantar untuk melegitmasi ideologi-
ideologi kebencian yang ingin ditanamkannya pada masyarakat. Lewat bahasa pula,
media berimprovisasi membentuk realitas baru yang seakan-akan dianggap sah oleh
masyarakat atau pembacanya.
Kekuatan bahasa yang dimanfaatkan oleh Tabloid Obor Rakyat untuk
menyebarkan kejahatan kebencian pada salah satu Joko Widodo dan Jusuf Kalla dalam
pemilihan presiden tentunya menimbulkan sebuah habitus. Perilaku ini akan tercermin
dengan munculnya pola pemberitaan serupa untuk mendeligitimasi suatu partai dalam
pemilihan presiden. Pola habitus ini dimaknai oleh Bourdieu sebagai kunci untuk
reproduksi sosial—dalam hal ini sebagai reproduksi kebencian di Tabloid Obor Rakyat.
Reproduksi kebencian di Tabloid Obor Rakyat menjadi sebuah sistem yang terus
berulang dalam memproduksi simbol-simbol kebencian yang tertanam lama di
masyarakat. Reproduksi kebencian ini juga muncul lewat beragam latar. Pemilihan
presiden misalnya, menjadi latar yang sangat pas untuk membentuk pola kebencian baru
dan melestarikan kebencian lama yang sudah lama tertanam di masyarakat. Tabloid Obor
Rakyat menjadi pionir untuk membuka keran kebencian yang terkunci di masyarakat.
Terbukanya keran yang terkunci tersebut menandakan adanya usaha untuk
mereproduksi kebencian kembali di masayrakat. Lewat media, hubungan dominasi akan
tetap berlangsung. Kebencian tetap menjalar pada sendi-sendi demokrasi. Simbol-simbol
kebencian menjadi samar dan diidolakan oleh masyarakat untuk menyerang Joko Widodo
dan Jusuf Kalla yang tidak disukai selama masa pemilihan presiden.
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
78
Kebebasan pers merupakan hal yang mutlak dalam kerangka negara demokratis.
Negara yang demokratis tidak akan pernah ada tanpa adanya pers yang bebas atau
merdeka. Salah satu ciri negara demokratis yakni terselenggaranya pemilihan presiden
yang baik. Pemilu yang baik tentu bersifat tanpa cacat hukum atau diciderai oleh
kepentingan-kepentingan sepihak.
Keberlangsungan pemilu yang baik didukung oleh pengawasan sipil yang
mumpuni. Alat-alat pendukung demokrasi, seperti pers harus berisfat independen dalam
pemberitaan. Tak dipungkiri, media punya andil besar untuk menggiring opini
masyarakat dalam menilai sesuatu—termasuk partai yang ikut serta dalam pemilihan
presiden. Untuk itu, setidaknya sifat independen dan berpihak pada kebenaran adalah
posisi yang harus diambil oleh media.
Belakangan ini, nuansa kebebasan pers yang merupakan bagian dari sifat media
seringkali disalahartikan oleh sebagian pihak—termasuk media itu sendiri. Saat masa
pemilihan presiden, media tak segan untuk condong pada salah satu pihak dan
mengkonstruksi realitas yang ada. Salah satu hal yang mempengaruhinya adalah
kepemilikan dari media itu sendiri.
Dewasa ini, tak sulit menemukan pemilik media yang ikut dalam panggung
perpolitikan. Pada konteks Indonesia, kita bisa melihat Surya Paloh sebagai pemilik
Metro TV dan Media Indonesia cum Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem).
Selain itu, ada Aburizal Bakrie sebagai pemilik Viva News Group cum Ketua Umum
Partai Golongan Karya (Golkar). Harry Tanoesudibjo pemilik Media Nusantara Citra
(MNC) cum Bakal Calon Wakil Presiden pemilu 2014 dari Partai Hati Nurani Rakyat
(Hanura).
Keikutsertaan pemilik media seringkali berpengaruh dalam proses pembuatan
pemberitaan. Media tersebut menurunkan pemberitaan yang membela pemiliknya dan
menjatuhkan lawan pemiliknya di panggung politik. Dengan kekuatan yang dimiliki
lewat media, mereka tidak memberikan ruang yang banyak untuk pemberitaan positif
lawan politiknya. Meskipun tidak banyak yang secara terang-terangan menyerang, namun
praktik dengan pemberitaan tidak seimbang sebenarnya bagian dari tidak independennya
sebuah media. Praktik ini sebenarnya nyata, namun kerap kali tidak diakui oleh pemilik
media.
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
79
Selain itu, faktor lain yang juga memengaruhi bias media dalam pemberitaan
pemilihan presiden yakni penyebaran ideologi. Ideologi yang dikonstruksikan sebagai
wacana oleh media menyimpan pesan tersendiri yang mendalam. Pesan tersebut biasanya
berupa hal-hal yang negatif terhadap suatu pihak. Kerap kali pembaca dari media tersebut
tidak serta merta membuat penilaian mendalam tentang kebenaran ideologi tersebut.
Media dengan gaya penebaran ideologi ini memaknai kebebasan pers sebagai
tamengnya melakukan pembenaran bahwa pemberitaannya bagian dari kebebasan pers.
Kebebasan pers dimaknai sebagai kebebasan dalam berbicara dan berpendapat.
Kebebasan itu tanpa mengindahi kaidah-kaidah yang berlaku, misalnya tidak melakukan
prasangka. Misal dalam pasal 8 kode etik jurnalistik disebutkan bahwa;
“Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan
prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras,
warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat
orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.”
Konteks itu harus bias dipahami secara mendalam bahwa suatu pemberitaan tidak
dibangun berdasar prasangka. Prasangka tentunya akan memberikan sebuah tulisan yang
propagandis dan tidak berdasar. Prasangka terhadap partai pemilu yang disusupi
kebencian membentuk suatu persepsi sendiri di masyarakat. Kejahatan kebencian pun
dibangun atas dasar prasangka. Maka dapat dilihat bahwa pemberitaan yang berdasarkan
prasangka sebenarnya sama dengan kejahatan kebencian. Terlebih prasangka itu
mengandung unsur pembiasan terhadap ras atau pun agama tertentu.
Tabloid Obor Rakyat misalnya dengan membuat tagline ‘Indonesia Bebas Bicara’
pada setiap halaman di tabloidnya. Konteks bebas bicara dalam hal ini dipelintirkan
menjadi bebas bicara tanpa ada aturan yang berlaku. Tabloid Obor Rakyat dalam
pemberitaannya mengandung unsur diskriminasi. Selain itu, pemberitaannya terkesan
menyerang dengan dasar yang tidak dapat dibuktikan. Selain itu, isu-isu seperti pelecehan
terhadap Tionghoa, misalnya, membuat Tabloid Obor Rakyat sebenarnya—melecehkan
kebebasan pers.
Secara tidak sadar, media seperti Tabloid Obor Rakyat membangun opini dengan
mengkonstruksi realitas semu. Pekerja media seperti Tabloid Obor Rakyat tentu tidak
bisa dianggap sebagai media yang baik. Jurnalisme warga yang digunakan sebagai dalih
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
80
untuk Tabloid Obor Rakyat—bukan alasan yang tepat untuk membuat media yang
bersifat menyerang dan menjatuhkan Joko Widodo dan Jusuf Kalla tertentu. Media yang
baik tentu harus bersifat independen dan berpihak pada kebenaran.
Kemerdekaan pers tidak terletak pada aturan yang menjamin kemerdekaan pers.
Selain itu, tidak terletak pada adanya hak pers untuk melakukan pemberitaan yang
bernada kritikan. Kemerdekaan pers berkaitan dengan cara kerja dan niat pers untuk
menggunakan hak tersebut dengan bertanggungjawab. Pers harus bisa menjaga agar
tidak terjadi demoralisasi kehidupan bermasyarakat karena kesalahan dalam membuat
pemberitaan yang menimbulkan konflik.
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Althusser, L. (1971). Essays on Ideology. Paris: La Pansee.
Althusser, L. (2008). Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural
Studies (3 ed.). (O. V. Arnof, Terj.) Yogyakarta: Jalasutra.
Barak, Gregg. (1994). Media, Society, and Criminology. Dalam Gregg. Barak, Media,
Process and The Social Construction of Crime: Studies in Newsmaking
Criminology. New York dan London: Garland Publishing.
Bhavnani, R., Mirza, S. H., & Meetoo, V. (2005). Tackling the Roots of Racism: Lessons
for Success. Bristol: The Policy Press.
Bourdieu, P. (1991). Language and Symbolic Power. Cambridge: Polity Press.
Bourdieu, P. (1977). Outline of a Theory of Practice. Cambridge: Cambridge University
Press.
Bourdieu, P. (1992). The Logic of Practice. Stanford: Stanford University Press.
Bourdieu, P., & Wacquant, L. (1992). An Invitation to Reflexive Sociology. Chicago: The
University of Chicago Press.
Bourdieu, P. (2011). Choses Dites: Uraian dan Pemikiran. (N. R. Sjams, Terj.)
Yogayakarta: Kreasi Wacana.
Budiardjo, M. (2013). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Deutsch, K. W. (1970). Politics and Government, How People Decide Their Fate.
Michigan: Houghton.
Eriyanto. (2005). Analisis Wacana. Jakarta: LkiS
Fahsri, F. (2014). Pierre Bourdieu: Menyingkap Kuasa Simbol. Yogyakarta: Jalasutera
Jewkes, Y. (2004). Media and Crime. London: Sage Publication.
Jenkins, R. (2013). Membaca Pikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Gaylin, Willard M.D. (2003). Hatred: The Psychological Descent Into Violence. New
York: Public Affairs.
Grabber, D. A. (2000). Media Power in Politics. Washington: CQ Press.
Hudson, D. L. (2009). Hate Crimes. London: Chelsea House Pubs.
McQuail, D. (2005). McQuail’s mass communication theory . New Delhi: Sage.
81
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
82
Jurnal
Brewer, P. L., & Sigelman, L. (2002). Political Scientists as Color Commentators
Framing and Expert Commentary in Media Campaign Coverage. Press/Politics ,
7 (1), 23-35.
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
83
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
84
Skripsi/Tesis/Disertasi
Dwizatmiko. (2010). Kuasa Simbolik Menurut Pierre Bourdieu: Telaah Filosofis.
Universitas Indonesia, Ilmu Filsafat. Depok: Universitas Indonesia.
Estrelita, G. T. (2009). Penyebaran Hate Crime Oleh Negara terhadap Lembaga
Kebudayaan Rakyat. Universitas Indonesia, Departemen Kriminologi. Depok:
Universitas Indonesia
Hamad, I. (2002). Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa (Studi Pesan
Komunikasi Politik dalam Media Cetak pada Masa Pemilu 1999). Universitas
Indonesia, Departemen Ilmu Komunikasi. Depok: Universitas Indonesia
Kartasasmita, G. (2011). Peristiwa Mei 1998: A Study of Anti-Chinese Violence in
Glodok District, West Jakarta. Universitas Indonesia, Departemen Sejarah.
Depok: Universitas Indonesia.
Maydini, A. (2005). Keberpihakan Media Massa dalam Pemberitaan tentang Partai
Politik Pada Kampanye Pemilu Tahun 2004. Universitas Indonesia, Departemen
Ilmu Komunikasi. Depok: Universitas Indonesia.
Romadlan, Said. (2000). Pengaruh Ideologi Pada Pola Pemberitaan Surat Kabar
Tentang Partai-Partai Politik Selama Kampanye Pemilu 1999. Universitas
Indonesia, Pascasarjana Ilmu Komunikasi. Depok: Universitas Indonesia.
Santoso, Tulus. (2009). Hate Crime di Indonesia (kasus Ahmadiyah). Universitas
Indonesia, Departemen Kriminologi. Depok: Universitas Indonesia.
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
85
Website
Aminah, S. (n.d.). Diambil November 30, 2014, dari Journal Unair:
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/POLITIK%20MEDIA,%20%20DEMOKRASI.
pdf
Antaranews.com. (2014, Mei 25). Jokowi tepis berbagai isu mengenai dirinya. Diambil
November 21, 2014, dari antaranews.com:
http://www.antaranews.com/pemilu/berita/435933/jokowi-tepis-berbagai-isu-
mengenai-dirinya
Atmakusumah. (2014, Juli 3). "Obor Rakyat" dan Kebangsaan. Diambil September 25,
2014, dari KOMPAS.COM:
http://lipsus.kompas.com/indonesiasatu/read/2014/07/03/1534061/.Obor.Rakyat.d
an.Kebangsaan
KOMPAS.COM. (2014, Agustus 7). "Obor Rakyat" Dianggap sebagai Kejahatan
Demokrasi. Diambil September 25, 2014, dari KOMPAS.COM:
http://nasional.kompas.com/read/2014/08/07/19284821/.Obor.Rakyat.Dianggap.s
ebagai.Kejahatan.Demokrasi
Kompas.com. (2014, Juni 16). Dewan Pers: Konten "Obor Rakyat" Bertentangan dengan
Kode Etik Jurnalistik. Diambil November 12, 2014, dari Kompas.com:
http://nasional.kompas.com/read/2014/06/16/1957500/Dewan.Pers.Konten.Obor.
Rakyat.Bertentangan.dengan.Kode.Etik.Jurnalistik
Kompas.com. (2014, Juni 14). Pemred: Tabloid Obor Rakyat adalah "Citizen
Journalism". Diambil November 12, 2014, dari Kompas.com:
http://nasional.kompas.com/read/2014/06/14/1400055/Pemred.Tabloid.Obor.Rak
yat.adalah.Citizen.Journalism.
Kompas.com. (2014, Juni 14). Pemred Obor Rakyat : Prabowo Belum ada Bahan Untuk
di Komentari. Diambil Desember 3, 2014, dari Kompas.com:
http://nasional.kompas.com/read/2014/06/14/1426247/Pemred.Obor.Rakyat.Prabo
wo.Belum.ada.Bahan.Untuk.di.Komentari
Sudibyo, A. (2014, Juni Selasa). "Obor Rakyat" dan Residu Demokrasi. Diambil
September 25, 2014, dari kompas.com:
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
86
http://indonesiasatu.kompas.com/read/2014/06/17/1527091/.Obor.Rakyat.dan.Res
idu.Demokrasi
Mediaindonesia.com. (2014, Juni 30). Pengusaha Minyak di Balik Obor Rakyat. Diambil
Desember 3, 2014, dari Media Indonesia:
http://www.mediaindonesia.com/hottopic/read/1809/Pengusaha-Minyak-di-Balik-
Obor-Rakyat/2014/06/30
MERDEKA.COM. (2014, Juni 3). PKB: Para kiai menyadari tabloid 'Obor Rakyat' itu
tidak benar. Diambil November 12, 2014, dari Merdeka:
http://www.merdeka.com/peristiwa/pkb-para-kiai-menyadari-tabloid-obor-rakyat-
itu-tidak-benar.html
Solopos.com. (2014, Mei 25). Adik Jokowi Bantah Keluarganya Tionghoa. Diambil
November 21, 2014, dari solopos.com:
http://semarang.solopos.com/2014/05/25/jokowi-capres-adik-jokowi-bantah-
keluarganya-tionghoa-509706
TEMPO. (2014, Agustus 19). Polisi: Kasus obor Rakyat Kejahatan Kerah Putih. Diambil
September 25, 2014, dari Tempo.co:
http://www.tempo.co/read/news/2014/08/19/063600702/Polisi-Kasus-Obor-
Rakyat-Kejahatan-Kerah-Putih
Tribunnews.com. (2014, Juni 18). Eva: Jokowi Dirugikan Peredaran Tabloid "Obor
Rakyat". Diambil November 12, 2014, dari Tribunnews:
http://www.tribunnews.com/pemilu-2014/2014/06/18/eva-jokowi-dirugikan-
peredaran-tabloid-obor-rakyat
Artikel Surat Kabar
Apa Kata Ulama Soal Pencitraan Jokowi. (2014, 19-25 Mei 2014), Tabloid Obor Rakyat,
halaman 3.
Gang of Nine. (2014, 12-18 Mei 2014). Tabloid Obor Rakyat, hal 8.
Jokowi Anak Tionghoa. (2014, 5-11 Mei 2014). Tabloid Obor Rakyat, hal 4.
Jokowi Musuh islam (2014, 26 Mei – 1 Juni 2014) Tabloid Obor Rakyat,
‘Partai Salib’ Pro Jokowi. (2014, 12-18 Mei 2014). Tabloid Obor Rakyat, hal 3.
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
87
Penampian Mega Tidak Islami. (2014, 12-18 Mei 2014). Tabloid Obor Rakyat, hal 3.
Sang Pendusta! Mau Dibohongi Lagi. (2014, 5-11 Mei 2014). Tabloid Obor Rakyat, hal
16.
Universitas
Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
Lampiran
‘Partai Salib’ Pro Jokowi. (2014, 12-18 Mei 2014). Tabloid Obor Rakyat, hal 3.
Penampian Mega Tidak Islami. (2014, 12-18 Mei 2014). Tabloid Obor Rakyat, hal 3.