Anda di halaman 1dari 105

UNIVERSITAS INDONESIA

REPRODUKSI IDEOLOGI KEJAHATAN KEBENCIAN DALAM


HABITUS POLITIK TABLOID OBOR RAKYAT DALAM
PEMBERITAAN JOKO WIDODO DAN JUSUF KALLA PADA
PEMILIHAN PRESIDEN TAHUN 2014

TUGAS KARYA AKHIR

KAHFI DIRGA CAHYA


1106084280

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


PROGRAM STUDI SARJANA KRIMINOLOGI PARALEL
DEPOK
JANUARI 2015

 
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
UNIVERSITAS INDONESIA

REPRODUKSI IDEOLOGI KEJAHATAN KEBENCIAN DALAM


HABITUS POLITIK TABLOID OBOR RAKYAT DALAM
PEMBERITAAN JOKO WIDODO DAN JUSUF KALLA PADA
PEMILIHAN PRESIDEN TAHUN 2014

TUGAS KARYA AKHIR

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana


kriminologi

KAHFI DIRGA CAHYA


1106084280

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


PROGRAM STUDI SARJANA KRIMINOLOGI PARALEL
DEPOK
JANUARI 2015

Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tugas Karya Akhir ini adalah hasil karya sendiri, dan semua narasumber baik

yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Kahfi Dirga Cahya

NPM : 1106084280

Tanda Tangan :

Tanggal : 12 Januari 2015

 
ii  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan Tugas Karya Akhir ini
dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana
Sosial Jurusan Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,
dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya
untuk menyelesaikan Tugas Karya Akhir ni. Oleh karena itu, saya mengucapkan
terima kasih kepada:

1. Dr. Iqrak Sulhin, S. Sos, M.Si, selaku dosen pembimbing yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam
penyusunan Tugas Karya Akhir ini;
2. Prof. Dr. Muhammad Mustofa, M.A yang telah menjadi penguji ahli sidang
akhir saya; Mba Dra. Mamik Sri Supatmi, M.Si yang telah menjadi ketua
sidang akhir saya; Mas M. Irvan Olii, S.Sos, M.Si yang telah menjadi
sekretaris sidang akhir saya;
3. Orang tua dan keluarga saya yang telah memberikan bantuan dukungan
material dan moral;
4. Nyasar 2011, yakni; Toro, Andro, Luthfi, Agra, Tebe, Ardy, Zainal, Meiki,
Yanu, Tuwa, Albert, Adit, Jodya, Abram, Ammar, Hilman, Eko, Taufik, Ais,
Bara, Bodig, Fadhil, Ace, Arief, Retsa, Glen, Ceker, Ruri; Nyasar Lusin
(Pange, Endah, Yuriko, Shaila, Rasyel, Vivi, Delillah, Dara, Leni, Maria, Ino,
Anggi) yang telah banyak membantu saya dalam menyelesaikan TKA saya
ini.;
5. Teman-teman kontrakan selama setahhun belakangan Bang Ferry preman
kutek, yakni: Toro, Dugong, Andro; serta Agra yang selalu membuka lebar-
lebar pintu rumahnya untuk bisa disinggahi;
6. Wepreventcrime; Yanu, Meiki, Adit, Albert, Tuwa, Zikri, Bagas, Kaspo,
Drajat, Rayhan, Akbar, Dharmo, Yumna, Ghasani, Sabrina, Mery, Cyane,
Irham, dan yang tak bisa disebutkan satu per satu;
7. Teman-teman OIS; Shaila, Vanessa, Aced, Delly, Aldrin;
8. Farraz Theda yang menyempatkan diri untuk menjadi proofreader;
9. Khatulistiwamuda—khususnya Bang Reno yang telah memberikan
kesempatan pada saya untuk menyelesaikan TKA ini dan;
10. Siapa pun yang akan membaca naskah TKA ini—baik untuk kegiatan
akademik atau pun dalam menambah ilmu pengetahuan.

Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga Tugas Karya Akhir ini
membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.
Depok, 12 Januari 2015
Kahfi Dirga Cahya

 
iv  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah
ini:

Nama : Kahfi Dirga Cahya

NPM : 1106084280

Program Studi : Kriminologi Paralel

Departemen : Kriminologi

Fakultas : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Jenis Karya : Tugas Karya Akhir

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

Reproduksi Ideologi Kejahatan Kebencian dalam Habitus Politik Tabloid Obor


Rakyat dalam Pemberitaan Joko Widodo dan Jusuf Kalla pada Pemilu Presiden
tahun 2014

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/format-
kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan
memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok

Pada tanggal :12 Januari 2015

Yang menyatakan

Kahfi Dirga Cahya )


( ........................................

v    
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
ABSTRAK
Nama : Kahfi Dirga Cahya
Program Studi : Kriminologi Paralel
Judul : Reproduksi Ideologi Kejahatan Kebencian dalam Habitus Politik
Tabloid Obor Rakyat dalam Pemberitaan Joko Widodo dan Jusuf
Kalla pada Pemilihan Presiden tahun 2014

Media massa memiliki peranan dalam mengkonstruksi pemikiran di dalam


masyarakat. Salah satu konstruksi yang sering dilakukan adalah mengenai berita
pemilihan umum. Namun, konstruksi dalam pemberitaan pemilihan presiden
mengenai Joko Widodo dan Jusuf Kalla oleh Tabloid Obor Rakyat sering mengalami
pembiasan. Tabloid Obor Rakyat membuat pemberitaan yang menjatuhkan terhadap
Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Penulisan ini berusaha menggambarkan reproduksi
ideologi kebencian dalam habitus politik Tabloid Obor Rakyat saat pemilihan
presiden. Reproduksi itu dilakukan lewat beberapa aspek, salah satunya adalah
penanaman ideologi kebencian oleh Tabloid Obor Rakyat. Setelah itu, Tabloid Obor
Rakyat biasanya melakukan kuasa simbolik untuk menyamarkan ideologi kebencian.
Terbentuknya kuasa simbolik untuk melegitmasi kebencian itu kemudian
menghasilkan habitus politik media. Habitus sendiri merupakan kunci dari reproduksi
kebencian di Tabloid Obor Rakyat mengenai Joko Widodo dan Jusuf Kalla saat
pilpres.
Kata Kunci: kejahatan kebencian, Tabloid Obor Rakyat, Ideologi, Kuasa Simbolik,
Habitus, Propaganda, Joko Widodo dan Jusuf Kalla

ABSTRACT
Name : Kahfi Dirga Cahya
Program Study: Criminology Paralel
Title : The Reproduction of the Ideology of Hate Crime in Tabloid Obor
Rakyat in Joko Widodo and Jusuf Kalla Coverage Political Habitus During the 2014
Presidential Election

Mass media have a function to construct public opinions. One of the construction that
is frequently made is about general election. In the contratry, mass media
construction in presidential election news frequently bias. Tabloid Obor Rakyat
makes coverage which ruin Joko Widodo dan Jusuf Kalla. This paper attempts to
illustrate the reproduction of the ideology of hate in Tabloid Obor Rakyat political
habitus during presidential election. This reproduction is done by some aspects, and
one of them is the naming of the ideology of hate by Tabloid Obor Rakyat. After the
spreading of the ideology of hate, Tabloid Obor Rakyat tends to produce symbolic
power to camouflage it. The constructed symbolic power to legitimate the hate
produce Tabloid Obor Rakyat political habitus. The habitus itself is the key of the
hate reproduction in Tabloid Obor Rakyat during the election.
Key Words: Hate Crime, Tabloid Obor Rakyat, Ideology, Symbolic Power, Habitus,
Propaganda, Joko Widodo And Jusuf Kalla

 
vi  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................................... i


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .......................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ................................................................................................. iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR ........ v
ABSTRAK ................................................................................................................... vi
DAFTAR ISI ............................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ........................................................................................................ ix
1. PENDAHULUAN .................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2 Permasalahan....................................................................................................... 6
1.3 Gagasan Kreatif ................................................................................................... 9
1.4 Tujuan Penulisan ............................................................................................... 10
1.5 Signifikansi Penulisan ....................................................................................... 11
1.5.1Signfikansi Akademis ............................................................................... 11
1.5.1Signfikansi Praktis .................................................................................... 11

2. KAJIAN PUSTAKA ............................................................................................. 12


2.1 Kajian Jurnal ..................................................................................................... 12
2.1.1 Media Bias dan Politik............................................................................. 12
2.1.2 Kejahatan Kebencian ............................................................................... 14
2.2 Review Penelitian Terdahulu ............................................................................ 16
2.3 Definisi Konsep ................................................................................................. 20
2.3.1 Habitus Politik Media .............................................................................. 20
2.3.2 Reproduksi Ideologi Kejahatan Kebencian ............................................. 24
2.3.3 Propaganda Konstruksi Kuasa Simbolik ................................................. 25
2.4 Kerangka Teori.................................................................................................. 27
2.4.1 Ideologi dan Media .................................................................................. 27
2.4.2 Kejahatan Kebencian Media .................................................................... 28
2.4.3 Kuasa Simbolik Kejahatan Kebencian lewat Media ............................... 30
2.4.4 Habitus, Ideologi dan Media.................................................................... 36
2.5 Kerangka Analisis ............................................................................................. 38
 
3. METODE PENULISAN ....................................................................................... 42
3.1 Teknik Pengumpulan Data ................................................................................ 42
3.2 Teknik Analisis Data ......................................................................................... 42
3.3 Data Sekunder ................................................................................................... 43

 
vii  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
4. KEBENCIAN, IDEOLOGI DAN HABITUS MEDIA ...................................... 46
4.1 Tabloid Obor Rakyat ......................................................................................... 47
4.2 Ideologi kebencian di Tabloid Obor Rakyat ..................................................... 50
4.3 Propaganda Kejahatan Kebencian dan Kuasa Simbolik di
Tabloid Obor Rakyat ......................................................................................... 58
4.4 Habitus Praktik Kebencian di Tabloid Obor Rakyat......................................... 64
4.5 Reproduksi Kebencian di Tabloid Obor Rakyat ............................................... 70

5. PENUTUP .............................................................................................................. 76
5.1 Kesimpulan ........................................................................................................... 76
5.2 Catatan Kritis ........................................................................................................ 78

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 81

 
viii  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Sistem Simbol Bourdieu ........................................................................ 35


Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran ............................................................................... 39
Gambar 3.1 Sumber Penelitian Pembanding .............................................................. 45
Gambar 4.1 Skema Habitus Jenkins............................................................................ 67
 

 
ix  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Media dalam masyarakat modern menyediakan sebagian besar informasi yang
digunakan masyarakat untuk membuat pilihan, baik pribadi atau pun publik. Fakta ini
mendukung bahwa media memiliki kekuatan besar seperti, dapat mempengaruhi
masyarakat, hasil pemilu, kebijakan publik, undang-undang dan lain-lain (Diaz,
2009, hal 211). Pengaruh itu yang kemudian membuat media sebagai bagian penting
dalam proses demokrasi.
Sesuai konteks demokrasi politik, media massa atau pers diharapkan untuk
menjadi lembaga yang ikut memperkuat demokrasi melalui peliputan kehidupan
politik yang mampu mendidik publik pembaca menjadi paham isu-isu publik
sehingga mampu memberi dukungan politis yang berkualitas (Putra, 2005, hal 132).
Dukungan politis yang berkualitas itu dapat menghasilkan kebijakan publik atau
undang-undang yang memiliki konteks penting dalam masayrakat. Kebijakan publik
dalam konteks politik ini bisa diarahkan pada komunikasi politik yang baik di mana
pers dijadikan sebagai lembaga yang dapat memberikan pendidikan politik.
Media merupakan alat utama politisi berkomunikasi dengan pemili. Media
yang bebas dan adil merupakan bagian integral dari sistem demokrasi yang sehat
(Gans & Leigh, 2012, hal 127). Komunikasi dengan pemilih merupakan bagian
penting dalam komunikasi politik. Dari pemahaman itu, dapat dilihat bahwa dengan
adanya komunikasi politik—dapat terwujud sebagai sistem demokrasi yang sehat.
Posisi integral antara media yang bebas dan adil serta sistem demokrasi yang sehat
dapat berimplikasi pada proses pemberitaan pemilihan umum yang berkualitas bagi
masyarakat.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa saat pemilihan umum media massa kerap
kali menjadi sumber acuan bagi masyarakat. Domke, et.al (1997) dalam studinya
mengungkapkan media massa merupakan sumber informasi yang krusial selama masa
pemilihan umum. Sumber krusial tersebut terkadang dimanfaatkan oleh sebagian

  1   Universtas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
2      

pemilik media untuk dijadikan alat kampanye politik. Alhasil, peliputan dari media
tersebut menjurus ke dalam anggapan bias media. Bias media tersebut kemudian
biasanya berkembang menjadi konstruksi pemberitaan yang berdasarkan pesanan
salah satu pihak. Hal yang berkembang tersebut biasanya menjadi pemberitaan yang
menyerang terhadap salah satu kandidat presiden.
McNair (1994) dalam studi mengungkapkan media memiliki pendekatan yang
berdasarkan politik-ekonomi. Pendekatan ini berpendapat bahwa isi media lebih
ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik di luar pengeloalaan media.
Faktor seperti pemilik media, modal, dan pendapatan media dianggap lebih
menentukan bagaimana wujud isi media. Media massa dalam pendekatan ini juga
dianggap sebagai alat, sehingga elit politik atau elit ekonomi bersaing untuk
menguasainya (Sudibyo, 2009, hal 6).
Elit politik dalam usahanya menguasai pemberitaan media massa, berusaha
menempatkan posisi mereka di wilayah putih. Artinya, keberadaan elit politik dalam
media seringkali tidak tergambarkan secara jelas—selain dari isi pemberitaan
tersebut. Posisi wilayah putih ini menyamarkan keterlibatan elit politik dalam
pemberitaan media massa. Pada saat penyerangan terhadap salah satu kandidat, elit
politik berusaha digambarkan tidak terlibat. Hal itu lebih menekankan bahwa
kandidat calon presiden yang diserang tersebut memang memiliki kelemahan dalam
bidang tersebut.
Media kurang memperhatikan keberimbangan (cover both side) dalam
menyajikan berita, bahkan secara terbuka berpihak kepada salah satu kandidat seperti
Metro TV kepada pemiliknya Surya Paloh (Masduki, 2004, hal 76). Mengacu pada
masa pemilihan umum 2014 sekarang ini, nampaknya hal tersebut tidak berubah.
Malah, sekarang tidak hanya Surya Paloh (Metro TV) yang masuk mendukung
politik, tapi juga taipan-taipan media seperti Harry Tanoe (MNC Group), Aburizal
Bakrie (VIVA).
Jika diperhatikan, Masduki (2004) ada tiga kecenderungan sikap media dalam
Pemilu 2004. Pertama, sikap konservatif atau pro status quo. Sikap ini tampak pada
liputan yang mengedepankan kisah sukses rezim yang sedang berkuasa tanpa

Universitas Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
  3  

diimbangi kritik yang tajam atas kekurangan-kekurangannya. Kedua, sikap progresif


atau cenderung ke perubahan. Sikap ini tampak pada liputan yang intens mengulas
isu-isu reformasi dengan tanpa atau secara terbuka menyarankan perlunya pergantian
kepemimpinan nasional.
Ketiga, sikap skeptis atau apatis. Sikap ini tampak pada liputan yang hanya
menggunakan peristiwa Pemilu 2004 sebagai momentum untuk menyajikan berita
bisnis dan hiburan sebagai trademark-nya, media jenis ini cenderung menghindari
kontroversi dengan cara tidak memuatnya sama sekali. Di samping itu, banyak juga
dijumpai keterlibatan sejumlah pengelola media dalam tim sukses kandidat presiden
dan wakil presiden. Keterlibatan ini amat berpengaruh pada kualitas dan kuantitas
jurnalisme politik yang diterapkan medianya (hal 76).
Fenomena bias media merupakan bagian yang tak terelakan dari masa
pemilihan umum (Diaz 2009, Entman 2010). Bias media bisa diartikan dalam banyak
hal. Dalam beberapa hal, bias media juga terjadi dalam konteks pemilihan umum atau
presiden. Bias media dalam pemilihan umum atau presiden biasanya akan terjadi
dalam konteks konten media tersebut. Media secara konten akan berpihak terhadap
salah satu kelompok.
Penelitian yang dilakukan pada tahun 2014 tentang independensi dan
netralitas jurnalisme di Indonesa mengungkapkan bahwa di Koran Sindo, berita yang
berpihak kepada pemilik jauh lebih besar dibandingkan dengan Kompas. Di Kompas,
dari 40 berita yang dianalisis, terdapat 1 berita (2.50%) yang mengandung
keberpihakan, sedangkan di Koran Sindo dari 35 item berita yang dianalisis terdapat
5 berita atau 14.29% yang mengandung keberpihakan terhadap partai politik atau
ormas dimana pemilik berada (Siregar, Rahayu, Rianto, & Adiputra, 2014, hal 35-
36).
Adanya campur tangan pemilik media meskipun secara tidak langsung terlihat
intervensinya—lewat pemberitaan hal itu muncul ke permukaan publik. Harian
Kompas tidak terlihat kecenderungan politik keberpihakan pada salah satu partai
politik. Sedangka, kontrasnya terjadi pada Harian Sindo yang melakukan bias
pemberitaan terhadap pemiliknya yang ikut dalam partai politik. Bias inilah yang

Universitas Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
4      

sebenarnya tidak dapat terelakkan dari media massa saat melakukan peliputan
pemilihan umum. Meskipun hanya satu pemberitaan yang berpihak seperti Harian
Kompas—hal itu masih bisa dianggap sebagai bias media saat masa pemilihan umum.
Bias media menjadi hal yang sangat menakutkan jika pada pemberitannya
menimbulkan sebuah niat untuk membuat sebuah pemberitaan negatif pada kelompok
lain. Niat buruk ini sebenarnya bertujuan untuk menjatuhkan lawan politiknya.
Kampanye pemilihan presiden biasanya tidak terlepas dari menjelek-jelekan
kandidat. Salah satunya menghancurkan karir politik kadidat dengan memperbesar
kelemahan lawan baik secara politis atau fisik (Grabber, 2000, hal 161). Dalam kasus
ini, biasanya media akan mencari-cari kesalahan yang dimiliki oleh salah satu
kandidat—kemudian media mengkonstruksikan data yang dimiliki menjadi berita
yang menjatuhkan kandidat tersebut. Konstruksi menjatuhkan tersebut berguna untuk
membuat perbandingan antara berbagai kandidat.
Artikel jurnal dari Van Dijk (2008) memperlihatkan bahwa suratkabar
Spanyol, El Pais memberitakan Evo Morales kandidat presiden Bolivia pada
pemilihan presiden tahun 2005 sebagai kandidat yang negatif. Proses pemberitaan
yang negatif tersebut dimunculkan lewat penyematan kata ‘indio’ yang bermakna
negatif. Sesuai dengan hal tersebut tentu bisa tergambarkan bagaimana pemberitaan
pemilihan presiden biasanya bernada negatif dan terkesan menjelek-jelekan salah satu
kandidat presiden.
Selain itu, Romadlan (2000) menjelaskan Harian Republika memberitakan
PDI Perjuangan dengan gambaran negatif pada pemilu tahun 1999. Berita tersebut
muncul karena ada perbedaan ideologi antara Harian Republika dengan PDI
Perjuangan saat itu. menggambarkan ideologi memengaruhi pemberitaan dua harian
besar di Indonesia, yakni Harian Kompas dan Harian Republika saat pemilihan umum
1999. Selain itu, Hamad (2002) juga mengungkapkan hal serupa lewat disertasinya di
yang menjelaskan konstruksi realitas politik media saat pemilu 1999. Hamad juga
mengatakan bahwa PDI Perjuangan dikonstruksikan sebagai partai yang tidak layak
pilih karena beranggotakan calon legislatif yang non muslim dalam jumlah besar.

Universitas Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
  5  

Kasus baru di Indonesia yang dapat dilihat dengan jelas dan baru adalah
fenomena Tabloid Obor Rakyat. Tabloid Obor Rakyat yang muncul di tengah-tengah
proses pemilihan presiden di Indonesia pada tahun 2014 menggambarkan kampanye
hitam yang dilakukan oleh media dengan mendelegitimasi salah satu calon yakni
Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Adanya bentuk pemberitaan tersebut tentu
menimbulkan sebuah polemik sendiri. Hal ini seperti diungkapkan oleh Arbi Sanit,
pengamat politik dari Universitas Indonesia menilai Tabloid Obor Rakyat sebagai
bagian dari kejahatan demokrasi. Seperti yang dikutip dari wartawanmerdeka.com
pada 25 Juni 2014, yakni:
“Pekerjaan penerbitan Obor Rakyat sesungguhnya melawan demokratisasi. Dia
mau mencoba membuat seperti di Mesir. Ini model kejahatan demokrasi,”
tegasnya.
Pada artikel berita ini dapat dilihat bahwa ada kecenderungan penilaian
terhadap Tabloid Obor Rakyat ke arah sisi negatif. Dari pernyataan di atas membuka
penjelasan lebih lanjut bahwa Tabloid Obor Rakyat masuk ke dalam kejahatan
demokrasi. Adanya bentuk kejahatan demokrasi ini dilihat dari bagaimana Tabloid
Obor Rakyat berusaha memanfaatkan demokrasi sebagai alat untuk melakukan
kejahatan. Salah satu bentuknya yakni dengan menyebarluaskan kebencian lewat
pemberitaan-pemberitaannya selama ini.
Tak kalah penting, Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Inspektur Jenderal
Ronny Franky Sompie mengatakan bahwa Tabloid Obor Rakyat ini merupakan
bentuk kejahatan kerah putih. Seperti yang dikutip dari Tempo.co pada 19 Agustus
2014, yakni:
"Jangan samakan kasus ini dengan kejahatan biasa. Ini kejahatan kerah
putih. Kemungkinan ada keterkaitan pihak lain masih kami dalami. Mencari
alat buktinya dalam kejahatan ini tidak mudah," ujar Ronny pada Selasa, 19
Agustus 2014
Dalam konteks ini, kejahatan kerah putih yang dimaksud oleh Ronny
merupakan bagian dari kejahatan yang dilakukan oleh pelaku yang memiliki modal
lebih. Hal ini kemudian yang menurut Ronnya, Polisi masih mencari dan mendalami

Universitas Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
6      

adanya kemungkinan keterkaitan pihak lain. Selain itu, pencarian alat bukti yang
dibutuhkan polisi masih menjadi persoalan penting di tubuh kepolisian untuk
menyeret pelaku pembuat Tabloid Obor Rakyat.
Padahal yang diharus perhatikan yakni konten dari Tabloid Obor Rakyat yang
diduga cenderung mengerdilkan salah satu kandidat presiden dan wakil presiden,
yakni Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Ronny juga berasumsi bahwa Tabloid Obor
Rakyat tidak bisa dikategorikan sebagai kejahatan biasa. Mengacu pada itu, dapat
dilihat opini itu berkembang melihat dari bagaimana yang dilakukan Tabloid Obor
Rakyat menurut Arbi Sanit sebagai kejahatan demokrasi.
Jika dari sudut pandang politik, maka konteks menjelek-jelekan kandidat
seperti politik belah bambu, menginjak yang satu dan yang lainnya dinaikan. Inilah
yang kemudian membuat pemberitaan di media massa saat pemilihan umum terkesan
seperti politik belah bambu. Karena mereka akan terbagi menjadi dua pola, positif
dan negatif pada kandidat yang berbeda.
Adanya konstruksi ini merupakan bagian dari penyerangan media terhadap
kandidat calon presiden. Penyerangan media terhadap kandidat calon presiden
merupakan bagian dari sisi negatif yang dimiliki media massa. Media massa yang
bersembunyi di balik fungsi media melakukan penyerangan kepada kandidat calon
presiden. Dalam titik ini, media tidak dapat menjadi sumber yang baik bagi
masyarakat. Sehingga tidak ada implikasi yang baik bagi masyarakat dalam menilai
secara objektif mengenai calon presiden.

1.2 Permasalahan
Media perlu menjalankan fungsinya sebagai penyebarluasan informasi.
Pendistribusian informasi itu harus bersifat positif dan memiliki niat yang baik.
McQuail (2005) mengatakan bahwa media yang berfungsi memberikan informasi
kepada publik sebaiknya memiliki pola kerja yang berdasarkan prinsip-prinsip:
kebebasan, keberagaman, kebenaran, serta kualitas dari sumber informasi, tak lupa
juga mempertimbangkan tatanan sosial dan solidaritas, serta akuntabilitas dari media
tersebut. Anggapan tersebut tentu memberikan perspektif yang lebih luas bagaimana

Universitas Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
  7  

pola kerja media. Sejalan dengan hal tersebut, pers menurut Undang-Undang Nomor
40 Tahun 1999 juga dikatakan memiliki peranan sebagai media informasi,
pendidikan, hiburan dan kontrol sosial.
Media yang sehat tentunya harus memiliki tujuan yang baik pula. Media
setidaknya dapat mencerdaskan masyarakat secara baik dari berbagai segi, termasuk
segi politik. Berkaitan dengan pemilihan presiden, media harus bisa secara
independen dan adil dalam melakukan pemberitaan. Bukan malah memperkeruh
suasana dengan memuat pemberitaan yang menghakimi.
Fenomena pemilihan presiden merupakan hal yang menarik untuk diberitakan
oleh media massa. Pasalnya, pemberitaan pemilihan presiden oleh beberapa literatur
diungkapkan dapat menentukan hasil pemilihan presiden ke depan. Pemberitaan
pemilihan presiden itu biasanya bermuatan konten yang disusun dan dirapatkan
dalam dapur redaksi. Sayangnya, kerap kali dapur redaksi media massa salah dalam
menempatkan isu. Belum lagi munculnya media massa yang dianggap partisan dan
bias dalam pemberitaannya dalam mengulas pemilihan presiden seperti Tabloid Obor
Rakyat.
Misal dalam pemberitaan tentang Tabloid Obor Rakyat, Seperti yang ditulis
oleh Direktur Eksekutif Matriks Indonesia dan Mantan Anggota Dewan Pers, Agus
Sudibyo di Kompas.com 17 Juni 2014 lalu, ia mengatakan bahwa:
“Sebagaimana telah disoroti Dewan Pers, susunan redaksi dan alamat
penerbitan Obor Rakyat juga tidak cukup jelas. Demi pertanggungjawaban
kepada publik dan obyek pemberitaan, perusahaan pers harus mencantumkan
penanggung jawab, struktur, dan alamat redaksi. Yang tak kalah penting
adalah sisi profesionalisme jurnalistik. Boleh saja Obor Rakyat mengungkit
kejelekan-kejelekan capres Joko Widodo. Masyarakat butuh informasi tentang
capres selengkap-lengkapnya, termasuk sisi negatifnya.” (Sudibyo, "Obor
Rakyat" dan Residu Demokrasi, 2014).
Dari ungkapan tersebut dapat dilihat bahwa penerbitan Tabloid Obor Rakyat
tidaklah mencakup kualifikasi yang jelas sebagai media. Dari segi
pertanggungjawaban, Tabloid Obor Rakyat tidak memiliki struktur yang jelas

Universitas Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
8      

mengenai letak penanggungjawabnya. Selain itu, secara administratif, media massa


juga tidak memiliki struktur dan alamat redaksi yang jelas. Pemberitaan tersebut bisa
jadi mengkategorikan Tabloid Obor Rakyat bukan dari media yang mempuni. Selain
itu yang perlu diperhatikan bahwa profesionalisme jurnalistik sebagai media massa
perlu dipertanyakan kembali. Pasalnya, dalam pemberitaannya, Tabloid Obor Rakyat
tidak menyajikan informasi yang berimbang. Informasi itu menyudutkan Joko
Widodo dan Jusuf Kalla sebagai kandidat presiden pada piplres tahun 2014.
Namun, jika dikaji lebih mendalam lewat definisi media—bahwa media
merupakan alat penyebaran informasi—tentu hal ini bisa mengaitkan bahwa Tabloid
Obor Rakyat adalah media. Sayangnya, konteks media yang ditampilkan dalam
Tabloid Obor Rakyat tidaklah sejalan dengan fungsi media yang seharusnya dapat
mencerdaskan masyarakat atau pembaca. Fenomena pemilihan presiden ini bisa jadi
konten yang menarik bagi media massa termasuk Tabloid Obor Rakyat—yang
notabene merupakan media partisan dalam menyerang salah satu calon presiden
yakni Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Sehingga konten berita yang ditampilkan juga
bermuatan pertentangan ideologis, yakni antara Joko Widodo dan Jusuf Kalla dan
realitas semu yang dibangun.
Munculnya asumsi itu berdasarkan adanya pertentangan ideologis antara
kandidat presiden. Dalam tahapan ini, pertentangan ideologis merupakan bahasan
yang menarik bagi media massa. Dengan kata lain, pertentangan ideologi atau pun
ideologi konservatif merupakan nilai berita kejahatan yang menarik bagi media
massa. Selain itu, kita sekarang hidup dalam masyarakat di mana proses politik dan
wacana media tidak bisa dibedakan dan saling berkaitan satu sama lain (Jewkes,
2004, hal 159). Adanya kaitan itu merupakan bagian penting untuk lebih
memperdalam lagi bagaimana Tabloid Obor Rakyat melakukan pemberitaan yang
menyasar Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai kandidat presiden saat itu. Selain itu,
isu SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) yang dihembuskan dalam media
massa dapat tergolong dalam kejahatan kebencian.
Kejahatan kebencian sering disebut sebagai ethnoviolence lebih dari tindakan
fanatik yang kejam. Hal ini tertanam dalam konteks struktural dan kultural di mana

Universitas Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
  9  

kelompok-kelompok berinteraksi (Perry, 2001, hal 1). Munculnya kejahatan


kebencian dalam pemberitaan di media massa ini berkaitan erat dengan ideologi.
Dalam beberapa hal, adanya ideologi digunakan untuk mencapai suatu kekuasaan
tertentu lewat kekuatan yang dimiliki. Ideologi tidak lagi dapat dimaknai sebagai
kekosongan. Ideologi terbentuk dan dibentuk oleh subjek yang memiliki kepentingan
untuk mencapai suatu tujuan terentu.
Adanya kejahatan kebencian dan ideologi yang berkembang dalam Tabloid
Obor Rakyat—berkaitan dengan habitus dan kuasa simbolik. Habitus dalam hal ini
yakni dengan bagaiman pola pikir dan praktik bahasa. Dalam konsep pola pikir,
habitus berkaitan dengan bagaimana pemikiran masyarakat mengenai suatu hal yang
berkaitan dengan kejahatan kebencian. Pola pikir kebencian tersebut tertanam cukup
lama dan dapat dapat diangkat kembali menjadi fenomena atau alasan-alasan
pembenar untuk melakukakn kejahatan kebencian.
Pola pikir tersebut yakni yang sudah dijelaskan, mengenai keterlibatan SARA
dan isu pemilihan presiden yang menjadi sarananya. Selain itu dalam praktik bahasa,
yakni bagaimana kejahatan kebencian itu terus direproduksi oleh penguasa—dengan
kata lain adanya usaha untuk mengangkat kembali isu yang lama untuk melegitimasi
kebencian. Untuk itu, habitus juga dapat dilihat sebagai sikap atau pola media dalam
membentuk subjek yang baru dengan mengarahkan pada kebencian.
Kuasa simbolik dalam hal ini dipakai sebagai alat legitimasi untuk pelestarian
wacana kejahatan kebencian tersebut—dalam hal ini salah satu kandidat presiden.
Kuasa simbolik adalah kuasa yang bertujuan mengkonstitusi, membentuk hal yang
diberikan melalui ujaran-ujaran, untuk membuat orang melihat dan percaya, untuk
memperkuat atau mengubah cara pandang terhadap dunia (Bourdieu, Language and
Symbolic Power, 1991, hal 170).
Tabloid Obor Rakyat yang berusaha untuk mengkonstruksi realitas kandidat
presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla, Tabloid Obor Rakyat berusaha memainkan
kuasa simbolik sebagai bagian untuk melegitimasi realitas yang dikonstruksikannya
lewat konten pemberitaannya mengenai salah satu kandidat presiden. Dari paparan
tersebut, penulis menduga bahwa Tabloid Obor Rakyat memiliki pemberitaan yang

Universitas Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
10      

mengandung kejahatan kebencian yang kemudian dapat berkembang menjadi


ideologi atas dasar kuasa simbolik dalam pemberitaannya mengenai Joko Widodo
dan Jusuf Kalla dalam pemilihan presden tahun 2014.

1.3 Gagasan Kreatif


Penulisan ini berfokus pada kejahatan kebencian yang dilakukan oleh Tabloid
Obor Rakyat lewat pemberitaannya mengenai salah satu kandidat presiden. Pada
penulisan ini, penulis mencoba melihat bagaimana kejahatan kebencian itu
sebenarnya bagian yang terus direproduksi oleh Tabloid Obor Rakyat terhadap salah
Joko Widodo dan Jusuf Kalla dalam pemilihan presiden tahun 2014. Reproduksi itu
bagian dari penyebaran ideologi yang bertujuan membentuk dan menyamakan
persepsi masyarakat mengenai Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai pihak negatif
dan tidak layak pilih. Selain itu, diduga dalam kejahatan kebencian tersebut—ada
usaha untuk mencapai suatu kekuasaan dari segelintir kelompok dengan menyebarkan
paham kebencian.
Oleh karena itu, penulis berusaha menjelaskan lebih dalam secara
kriminologis tentang fenomena kejahatan kebencian di dalam pemberitaan salah satu
kandidat presiden di Tabloid Obor Rakyat. Kejahatan kebencian ini merupakan
bagian yang integral dengan proses reproduksi wacana kebencian pada salah satu
kelompok kandidat presiden. Sehingga, dari hasil penulisan ini dapat dijadikan
rujukan untuk kajian akademis atau praturan pemerintah dalam pembahasan
mengenai media, kejahatan kebencian dan pemilihan presiden.

1.4 Tujuan Penulisan


Penulisan ini bertujuan mendeskrisipkan reproduksi ideologi kejahatan
kebencian dalam habitus politik Tabloid Obor Rakyat saat pemilihan presiden.

Universitas Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
  11  

1.5 Signifikansi Penulisan


1.5.1 Signifikansi Akademis
Kegunaan dari penulisan ini dapat diharapkan menjadi bahan untuk
membuat kebijakan baru mengenai penertiban kejahatan kebencian serta
pencegahannya. Peraturan pemerintah ini diharapkan dapat memberikan efek jera
terhadap pelaku kejahatan kebencian di Indonesia terutama lewat media massa.

1.5.2 Signifikansi Praktis


Kegunaan dari penulisan ini dapat diharapkan menambah literatur
mengenai keterkaitan media massa dan kejahatan kebencian. Peran serta media
massa juga dilihat dapat dianggap turut serta memberantas kejahatan kebencian
di media massa.
 

Universitas Indonesia
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Jurnal


2.1.1 Media Bias dan Politik
Diaz (2009) mengatakan bahwa media memiliki pasar berita yang bersifat
ideologis. Mereka mempertimbangkan dua struktur pasar: pembaca dengan satu
referensi (monopoli) dan pembaca dengan dua atau lebih referensi (duopoli).
Mereka menunjukkan bahwa jika masing-masing pihak memiliki dukungan dari
media, salah satu pihak memiliki probabilitas yang sama untuk menang pemilu.
Namun, jika hanya salah satu pihak mendapat dukungan dari media, hasilnya
mungkin saja berubah karena partai ini akan masuk dengan probabilitas yang
lebih tinggi dari pihak lain. Mereka juga menganalisis lain dari pemilih yakni
dengan menunjukkan bahwa aspek terpenting adalah apakah ada campur tangan
industri media dan bukan jumlah media.
Prior (2012) dalam penelitiannya mengungkapkan munculnya banyak
media partisan memengaruhi polarisasi politik masyarakat Amerika dalam
mendukung kebijakan kandidat yang partisan. Dalam tinjauan penelitian opini
publik ditemukan bahwa kebanyakan sikap politik orang Amerika tetap cukup
moderat, namun tanda-tanda polarisasi muncul antara politisi yang saling terlibat
satu sama lain dalam media partisan. Sebagian dari artikel ilmiah ini
mengevaluasi bukti mengenai dampak kausal lingkungan media yang lebih
partisan pada polarisasi massa. Perubahan komposisi dalam survei beberapa
media dan polarisasi pemilu bahkan sudah ada sebelum berdirinya Fox News dan
penciptaan World Wide Web. Namun, ada sedikit bukti bahwa pesan yang
disampaikan media partisan dapat memengaruhi perubahan sikap atau perilaku
masyarakat. Sebuah konsep kunci yang dibahas secara rinci di sini adalah paparan
selektif. Masih dalam penelitian ini juga dibuktikan bahwa kenyataannya media
partisan tidak banyak mempengaruhi masyarakat Amerika. Hal ini dilihat dari

    11   Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
12    

bagaimana pengaruh media partisan itu hanya berfungsi pada orang-orang yang
sudah lebih partisan lebih dulu.
Gans dan Leigh (2012) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa slant
news (berita miring) sangat sulit untuk diukur secara tepat. Hal ini tidak hanya
mencerminkan perbedaan dalam definisi, tetapi juga fakta bahwa layanan berita
dapat berbeda dalam pada tingkat bias mereka. Misalnya, stasiun televisi yang
bias mungkin akan berubah dari waktu ke waktu, atau halaman berita cetak
mungkin memiliki pandangan yang berbeda dari halaman editorial. Untuk
menangkap maksud dari ini, tentunya harus mengetahuai bagaimana cara kerja
slant news ini, dan untuk secara terpisah melihat bias dalam konten dan editorial.
Dengan menggunakan data dari Australia, Gans dan Leigh menggunakan
beberapa matriks untuk mengukur media yang bias. Dalam hal konten, mereka
menemukan bahwa layanan media yang paling dekat dengan posisi berimbang.
Gans dan Leigh (2012) menjelaskan bahwa perhitungan bias media
menggunakan menggunakan istilah sayap kiri dan sayap kanan intelektual publik,
mereka menemukan bahwa hanya 1 dari 27 kantor berita secara signifikan dapat
dibedakan tingkat biasnya. Mereka juga menyimpulkan bahwa tidak ada evolusi
sistematis bias dari waktu ke waktu. Dalam klasifikasi isi artikel pemilu, mereka
menemukan bahwa hanya satu dari sembilan surat kabar yang dibedakan dari
posisi berimbang. Namun, ketika dilihat dari sikap editorial, maka perbedaannya
cukup jelas. Meskipun hanya diungkapkan satu surat kabar yang secara signifikan
bias, pola dukungan editorial dalam pemilu mencirikan bias, dengan perhitungan
36 dari 44 dukungan yang mendukung koalisi pada periode 1996-2007. Konsisten
dengan hal ini, mereka juga mengamati perbedaan substansial dalam
keikutsertaan politik dari pemilik media yang masuk dalam partai politik, dengan
rasio keterlibatan setinggi 3: 1 dalam mendukung koalisi.
Brewer dan Siegelman (2002) dalam penelitian mengatakan kebijakan
konvensional tentang kampanye politik negatif menyatakan bahwa mereka
memiliki konsekuensi niat praktis. Banyak pengamat juga menakutkan bahwa
kampanye negatif bukan hanya tidak diinginkan tetapi efek merugikan pada

Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
13

sistem politik itu sendiri. Penilaian meta-analisis sebelumnya dari beberapa


literatur yang relevan tidak menemukan bukti yang dapat diandalkan untuk
pernyataan hal ini, tetapi sejak itu pula literatur penelitian memiliki ukuran yang
jauh lebih ketat dan meningkat secara kualitas. Menariknya, dalam kesimpulan
dinyatakan bahwa kampanye negatif tidak lebih efektif daripada kampanye
positif, meskipun kampanye negatif tampaknya agak lebih mudah diingat dan
untuk menghasilkan informasi kampanye relevan yang lebih banyak.
Penelitian lainnya dari Entman (2010) menjelaskan meskipun banyak
ilmuwan mengabaikan tuduhan bias dalam arus utama media Amerika Serikat,
penelitian yang cermat pada bias dapat memperjelas efek media pada kekuatan
politik dan kebijakan publik. Artikel ini menjelaskan bingkaian teori dalam
memberikan landasan teoritis untuk studi sistematis bias media. Meskipun
wartawan sudah melakukan hal yang terbaik, framing lebih sering muncul karena
ada perselisihan politik. Hasil framing miring ini muncul dari interaksi
perkembangan dunia nyata, norma-norma budaya, dan aturan-aturan keputusan
jurnalistik lewat beberapa orang yang berpengaruh dalam edtorial. Studi kasus
tahun 2008 cakupan kampanye presiden yang berfokus pada calon Wakil Presiden
Partai Republik, Sarah Palin menggambarkan bagaimana framing miring dapat
bergeser dari waktu ke waktu dengan perubahan interaksi ini. Temuan ini
menyiratkan bahwa, adanya ketidaksamaan asumsi dengan banyak pengamat
yang berpendapat, berita tidak seimbang tidak muncul dari ideologi pribadi
jurnalis (Entman, 2010).

2.1.2 Kejahatan kebencian


Jacob & Potter (1997) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa selama
satu dekade terakhir, didorong adanya klaim bahwa negara sedang mengalami
epidemi kejahatan kebencian, kongres di Amerika dan sebagian besar negara
bagian telah membuat kebijakan dalam meningkatkan hukuman atas kejahatan
yang dimotivasi oleh prasangka. Kongres Amerika (United States Congress) atau
perwakilan rakyat di Amerika juga telah membuat sistem pelaporan yang

    Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
14    

bertujuan untuk memberikan data tentang kejadian kejahatan kebencian. Beberapa


departemen kepolisian juga telah membentuk unit kejahatan kebencian. Hasilnya
adalah munculnya kategori kejahatan baru dan cara baru untuk menyelesaikan
kejahatan tersebut. Definisi kejahatan kebencian masih diliputi dengan masalah,
hal ini juga berdampak pada upaya pengumpulan data federal yang kurang
berhasil, dan penegakan hukum kejahatan kebencian yang minim. Penciptaan
kategori kejahatan kebencian merupakan bagian dari fungsi politik dan simbolik
tetapi tidak mungkin untuk memberikan kontribusi yang maksimal dari negara
untuk mengurangi kejahatan yang dihasilkan oleh kebencian. Memang,
mendekonstruksi hukum pidana sesuai dengan keinginan dari "politik identitas"
mungkin dapat memperburuk dengan munculnya perpecahan sosial dan konflik.
Selain itu, penelitian lainnya dari Rouse (2010) menjelaskan penyimbolan
boneka yang digantung saat masa pemilihan presiden tahun 2008 di Amerika
Serikat menyiratkan kebencian pada salah satu kandidat, yakni Barrack Obama.
Pada pemilihan presiden Amerika Serikat pada tahun 2008, Rouse mencatat
setidaknya ada sembilan kasus penyimbolan hukuman gantung yang didasarkan
oleh prasangka. Dari sembilan kasus tersebut, enam diantaranya ditampilkan
dalam ruang lingkup pribadi. Dengan begitu, properti pribadi itu tidak bisa
dikenakan substansi dari kejahatan kebencian di Amerika Serikat. Sedangkan, tiga
diantaranya ditampilkan di ruang publik. Penampilan di ruang publik itu
sepenuhnya tanggung jawab sekolah—namun dengan tidak adanya tanda-tanda
pelaku, simbol kebencian itu tidak diproses secara benar.
Rouse (2010) membuktikannya pada kasus 22 Oktober 2008, ada
penggantungan sebuah benda yang diduga seperti kandidat Presiden Barrack
Obama di halaman rumahnya. Ia memplesetkan nama tengah Obama menjadi
‘Hussain’ dari Hussein. Kasus itu diberitakan oleh Dayton Daily News yang
menjelaskan bahwa orang yang menyimbolkan Obama digantung itu terinspirasi
dari sebuah penggambaran di New York yang memperlihatkan kandidat presiden
Partai Republik, John McCain menggunakan pakaian Ku Klux Klan sambil
mengejar Obama. Sayangnya, pelaku tidak dikenakan sanksi melakukan

Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
15

kejahatan karena dilindungi oleh undang-undang. Selain itu, pemilik juga


menaruh hal tersebut di teras rumah.

2.2 Review Penelitian Terdahulu


Dalam penelitian skripsi yang dilakukan oleh Tulus Santoso (2009) ia
mencoba menelaah kejahatan kebencian terhadap pengikut Ahmadiyah. Ia
menggunakan beberapa indikator untuk mengindetifikasi perlakuan terhadap
Ahmadiyah sebagai kejahatan kebencian. Beberapa indikator di antaranya, yakni:
pertama, motif prasangka.
Tulus menilai bahwa Ahmadiyah sebagai kelompok atau organisasi
keagamaan mendapatkan prejudice dari seseorang maupun seklompok orang yang
bersebrangan paham dengan mereka. Anggapan tersebut berupa penegasan bahwa
Ahmadiyah bukanlah bagian dari Islam. Hal ini Tulus buktikan dengan beberapa
negara muslim seperti Pakistan dan Indonesia yang mendukung opini serupa. Tulus
menjelaskan bahwa prasangka itu kemudian berkembang menjadi kebencian.
Sehingga ia menilai ada dampak bagi masyarakat yang tidak menyenangi
Ahmadiyah. Bahkan Tulus menyebutkan pola kebencian yang ada di masyarakat
terhadap Ahmadiyah ini merupakan bagian dari budaya kebencian (culture of hatred)
yang dikutip dari Gaylin tahun 2003. Dimana kebiasaan masyarakat memelihara atau
menjaga kebencian yang ada dan melanjutkannya atau mewariskannya kepada ada
anak cucunya.
Kedua, yakni criminal offence atau criminal conduct. Tulus membagi jenis ini
menjadi lima tindakan, yakni ancaman, perusakan dan pembakaran, kekerasan fisik,
pengusiran dan pelarangan. Dalam konteks ancaman biasanya akan berupa penutupan
dan pembubaran Ahmadiyah. Perusakan dan pembakaran terjadi pada fasilitas yang
dimiliki jemaat Ahmadiyah, baik itu tempat ibadah sampai dengan rumah jemaah.
Kekerasan fisik biasanya berupa penyerangan yang dilakukan oleh massa yang
menolak keberadaan Ahmadiyah. Pengusiran terjadi pada Ahmadiyah oleh para
warga sekitar Jemaat Ahmadiyah tinggal. Sedangkan pada konteks pelarangan, hal ini

    Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
16    

berujung pada peraturan SKB 3 Menteri serta perda-perda lainnya yang melarang
tumbuh kembangnya Jemaat ini.
Ketiga, yakni karakteristik pelaku dan korban. Pada karakteristik korban
Tulus menjelaskan bahwa yang menggolongkannya adalah bagaimana kebijakan
yang melarang keberadaan Ahmadiyah. Pelarangan itu kemudian berdampak pada
diskriminasi yang terjadi pada kelompok Ahmadiyah di masyarakat. Sedangkan, pada
konteks pelaku penyerangan biasanya bukan dari warga setempat—melainkan dari
warga lain yang mengatasnamakan organisasi Islam. Tulus membuktikannya dengan
menjelaskan secara rinci bahwa kejadian di penyerangan terhadap Ahmadiyah di
Parung dilakukan oleh orang-orang luar Parung.
Selain itu, penelitian lain yang berbicara soal kejahatan kebencian adalah
Tesis dari Estrelita (2010) yang mengungkapkan penyebaran kejahatan kebencian
yang dilakukan pemerintah Orde Baru pada Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat).
Kejahatan kebencian Orde Baru pada Lekra ini didasari oleh dugaan Lekra yang
berafiliasi dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Orde Baru saat itu menurut
Estrelita menganggap PKI adalah musuh nomor satu. Sehingga, pemerintahan saat itu
membumihanguskan semua Ormas yang berkaitan dengan PKI.
Keterkaitan Lekra dengan PKI sebenarnya tidaklah secara langsung. Lekra
dianggap PKI karena beberapa pendirinya adalah anggota PKI. Selain itu, aktivitas
Lekra yang membela rakyat miskin juga dianggap sama seperti gaya PKI saat itu.
Asumtif tidak berdasar dan cenderung prasangka itu kemudian menurut Estrelita
menjadi legitimasi Orde Baru untuk menyebar kabar bahwa Lekra adalah komunis
yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.
Orde Baru melakukan kejahatan kebencian pada Lekra lewat berbagai cara.
Misalnya stigmatisasi yang diberikan Orde Baru pada Lekra sebagai komunis.
Beberpa senima Lekra yang diwawancar Estrelita mengungkapkan bahwa Lekra
sebenarnya tidak berafiliasi dengan PKI. Informan lainnya juga mengatakan
keengganan Lekra disebut sebagai antek-antek PKI karena seniman dinilai perlu
kreativitas. Jika tidak kreativitas menrutnya akan terasa gersang dan kering.

Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
17

Selain itu, Estrelita menilai ada penyebaran kejahatan kebencian pada Lekra
lewat media seperti Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha. Estrelita mencontohkan
penyebaran kejahatan kebencian lewat pemberitaan dilakukan lewat kalimat-kalimat
yang menyudutkan Lekra. Misalnya “Teror G30S menjalar ke bidang hasil-hasil seni
dan budaya nasional kita”. Dalam berita-berita keduanya, menurut Estrelita
menampilkan senimana yang terlibat G30S bukanlah loyal terhadap revolusi bangsa.
Artikel tersebut menurut Estrelita mempertegas aksi penyebaran kebencian terhadap
PKI dan mereka yang dianggap PKI.
Tesis Romadlan (2000) menggambarkan ideologi memengaruhi pemberitaan
dua harian besar di Indonesia, yakni Harian Kompas dan Harian Republika saat
pemilihan umum 1999. Keduanya memiliki ideologi yang berbeda, yakni Nasionalis
dan Islam. Romadlan melihat ideologi itu membuat pola pemberitaan mereka
cenderung positif dan negatif pada salah satu partai. Partai dengan ideologi yang
sama maka pemberitaannya akan bernada positif, sebaliknya jika ideologi berbeda
pemberitaannya akan cenderung negatif.
Dua kasus yang paling kentara adalah pemberitaan, pertama pemberitaan
Harian Kompas dan Harian Republika terhadap PDI Perjuangan. Pola pemberitaan
Harian Kompas terhadap PDI Perjuangan cenderung positif. Alasannya keduanya
memiliki ideologi yang sama, nasionalis. Meskipun Romadlan tidak secara pasti
menyebut nasionalis pada keduanya—namun pemberitaan keduanya
mengimplikasikan persamaan ideologi. Sehingga Harian Kompas akan cenderung
menghindari pemberitaan negatif terhadap PDI Perjuangan.
Sebaliknya, Harian Republika melakukan pemberitaan yang bernada negatif
terhadap PDI Perjuangan. Antara PDI Perjuangan dan Harian Republika keduanya
memiliki haluan yang berbeda. Harian Republika tidak segan untuk menggiring opini
publik untuk tidak memilih PDI Perjuangan dengan alasan sebagian besar calegnya
adalah non-muslim. Isu yang berbasi agama digunakan Harian Republika untuk
mendelegitimasi PDI Perjuangan sebagai partai politik peserta pemilu 1999.
Penelitian lainnya dari disertasi Hamad (2002) membahas kontruksi realitas
politik media massa saat masa pemilu 1999. Hamad membagi tiga fokus

    Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
18    

penelitiannya. Pertama konstruksi media massa terhadap partai politik selama masa
pemilihan umum tahun 1999. Konstruksi tersebut menurut Hamad masih terbatas
pada sisi ideologis, kampanye atau pun pemberian label tertentu semata. Konstruksi
Harian Republika terhadap PDI Perjuangan yang tidak satu pandangan ideologi. PDI
Perjuangan dikonstruksikan sebagai partai yang tidak layak pilih karena banyak caleg
non-muslim.
Kedua, penelitian ini berfokus pada faktor-faktor yang memengaruhi
konstruksi realitas partai-partai politik. Di antara 10 koran yang diteleti, media yang
lebih dipengaruhi oleh faktor ideologis adalah Republika, Rakyat Merdeka, Bali Post;
Yang dipengaruhi faktor idealis adalah Suara Pembaruan, Kedaulatan Rakyat; oleh
faktor politis-praktis adalah Media Indonesia dan Haluan; dan yang lebih
mempertimbangkan pasar atau ekonomi adalah Kompas, Jawa Pos, dan Fajar. Ketiga,
motif pengkonstruksian media terhadap masing-masing partai politik.
Pembahasan selanjutnya yakni dari Van Dijk (2008) yang berusaha
menggambaran bagaimana rasisme dan pers di Spanyol. Salah satu fokus tulisannya
mengenai suratkabar El Pais yang melakukan peliputan mengenai pemilihan presiden
Bolivia pada tahun 2005. Liputan mengenai pilpres Bolivia khususnya Evo Morales,
El Pais membuat simbolik sendiri pada Evo Morales yang merupakan kandidat yang
berasal dari suku asli Bolivia. El Pais menggunakan terminologi ‘indio’ untuk
menggambarkan Evo Morales. Padahal, menurut Van Dijk—‘indio’ sebenarnya
penggunaan untuk masyarakat yang tidak berpendidikan. Sehingga kata tersebut
cenderung bersifat rasis. Selain itu, perdebatan selanjutnya mengenai Evo Morales
dalam suratkabar El Pais juga dilihat ia menggambarkan pakaian Evo Morales yang
dianggap menyerupai masyarakat ‘indio’.
Penelitian yang sudah ada masih membahas keterkaitan antara ideologi dan
media. Ideologi politik misalnya yang diteliti oleh Romadlan dalam keterkaitannya
dengan pemilihan umum—masih terbatas bagaimana sebuah media menghasilkan
pemberitaan yang condong pada salah satu partai politik. Disertasi yang dilakukan
oleh Hamad pun hanya menggali bagaimana konstruksi realitas media terhadap partai
politik dalam pemilu tahun 1999. Selain itu, pada artikel jurnal yang ditulis oleh Van

Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
19

Dijk hanya terbatas pada ideologi rasis yang memengaruhi pemberitaan pada salah
satu kandidat presiden Bolivia pada pemilihan presiden tahun 2005. Sedangkan pada
penelitian kejahatan kebencian, Tulus tidak memakai elemen media. Ia hanya
berfokus bagaiamana pola kebencian yang tertanam pada Ahmadiyah. Sedangkan
dalam penelitian Estrellita salah satunya membahas bagaimana pola pemberitaan
media pada salah satu komunitas, yakni Lekra.
Dari hasil mengelaborasi penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya,
penulis melihat bahwa ada beberapa elemen yang masih belum dibahas. Konsep yang
tentunya akan dibawa oleh penulis yakni kuasa simbolik, habitus, ideologi kejahatan
kebencian, serta reproduksi—di mana penulis berusaha kaitkan satu sama lain
sehingga membentuk sebuah kerangka pikir yang dapat dipahami oleh pembaca.
Konsep ini yang kemudian akan penulis terapkan pada konteks Tabloid Obor Rakyat.
Sehingga nantinya akan bisa meggambarkan dan memahami secara jelas bagaimana
reproduksi ideologi kejahatan kebencian dalam habitus politik Tabloid Obor Rakyat
saat pemiliha presiden.

2.3 Definisi Konsep


2.3.1 Habitus Politik Media
Menurut Althusser dan Gramsci Media massa merupakan alat dalam
menyampaikan pendapat, baik itu dari masyarakat atau pun pemerintah atau
negara (Sobur, 2004). Sedangkan, Nurudin (2007) mendefinisikan media massa
sebagai alat komunikasi yang bisa menyebarkan pesan yang serempak dan cepat
kepada audiens damlah jumlah yang luas dan heterogen (hal 3). Adapun menurut
UU Pers No. 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 3 ayat 1 yakni Pers nasional
mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol
sosial. Selain itu, pada pasal 3 ayat 2, pers juga dapat berfungsi sebagai lembaga
ekonomi.
Pers tentu harus bisa merdeka dari tekanan penguasa. Hal ini untuk bisa
menjadikan pionir dalam mempraktikan kebebasan melakukan pendapat dan
memberikan informasi. Menurut UU Pers no. 40 Tahun 1999 tentang Pers,

    Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
20    

Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan
prinsip- prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Sedangkan menurut
Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Indonesia, Kemerdekaan pers adalah sarana
masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi
kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia.   Namun sangat
disayangkan, dalam kegiatan dalam menyampaikan informasi tersebut biasanya
tidak selalu memiliki konsistensi pada pencerdasan masyarakat. Hal ini tidak jauh
dari bagaimana media sebenarnya memiliki preferensi bias dalam
pemberitaannya.  
Pembiasan berita oleh media menurut Gans dan Leigh (2012) adalah
adanya ruang liputan lebih banyak kepada salah satu sisi politik daripada yang
lainnya. Mullainathan dan Shleifer (2003) menjelaskan bahwa berita miring atau
bias sebenarnya tidak terlepas dari preferensi pembaca. Media memahami
keinginan masyarakat tentang kebenaran. Tapi, media juga dapat membuat cerita
bias versi mereka dengan menghilangkan beberapa informasi. Pada dasarnya
berita bias bukanlah hal yang berguna bagi pembaca, namun dengan adanya
pembaca yang memiliki preferensi bias merupakan hal yang tepat. Hal ini karena
sejalan dengan preferensi pemikiran mereka. Kehadiran pembaca bias dapat
dihubungkan dengan monopoli surat kabar mengenai berita miring dengan tujuan
melegitimasi keyakinan pembaca. Namun, jika keyakinan pembaca heterogen,
koran duopoli membedakan diri dengan melaporkan berita lainnya yang
menarik—sehingga koran tersebut dapat mengisi nilai yang lebih tinggi. Seorang
pembaca yang teliti membaca kedua surat kabar untuk memperoleh informasi
yang akurat karena dia bisa cross check berita. Hal ini menguntungkan pembaca
yang teliti, tapi tidak dengan pembaca bias.
Media bias setidaknya memiliki preferensi politik sendiri. Dapat dikatakan
bahwa politik adalah pembuatan keputusan oleh alat-alat publik (Deutsch, 1970,
hal 5). Dengan kata lain, alat-alat publik ini bisa disejajarkan dengan media
massa. Sebagai bagian dari publik, media massa tentu membuat sebuah
pemberitaan lewat putusan-putusan tertentu dan menghasilkan putusan-putusan

Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
21

selanjutnya. Hague (1998) mengatakan bahwa politik adalah kegiatan yang


menyangkut cara bagaimana kelompok-kelompok mencapai keputusan-keputusan
yang bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha untuk mendamaikan
perbedaan-perbedaan di antara anggota-anggotanya (Budiardjo, 2013, hal 16).
Merkl (1967) mengatakan bahwa politik dalam bentuk yang paling buruk adalah
perebutan kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri
(Budiardjo, 2013, hal 16).
Setidaknya dapat dipahami munculnya pola pemberitaan yang bias
merupakan bagian dari representasi sikap media itu sendiri. Media
memperlihatkan sikap politiknya dengan memberikan keberpihakan pada salah
satu pihak saat pemilihan presiden. Sikap ini dapat dihubungkan dengan
kebiasaan jika kejadian tersebut berulang dan melekat.
Dalam pandangan Panofsky yang disadur oleh Dwizatmiko (2010)
menjelaskan sebenarnya kebiasaan berpikir (habits of minds) merupakan bentuk
dari habitus. Menurut Panofsky, kebiasaan berpikir berada di balik arsitektur
Gothic dan filsafat skolastik, di mana argumentasi tersebut mengungkapkan
bahwa produksi budaya yang sangat dipengaruhi oleh cara berpikir (the ways of
thinking) pada masanya (hal 68). Habitus menurut Bourdieu (1992) merupakan
sebuah sistem yang kuat dan bertahan cukup lama, suatu disposisi yang fleksibel
(berganti-ganti/berpindah-pindah), struktur yang terstruktur yang kemudian
cenderung berpengaruh menjadi struktur yang berfungsi penataan struktur, yaitu
sebagai prinsip-prinsip yang menghasilkan dan mengatur praktik serta
representasi yang tidak mengutamakan kesadaran dari tujuan akhir sebuah
praktik. Secara objektif ia diatur dan teratur, meskipun tanpa ada yang menaati
peraturan tersebut, mereka juga dapat diatur secara kolektif, meskipun tidak ada
seorang subjek (konduktor) yang mengatur.
Habitus dilihat sebagai sebuah cara berpikir juga praktik di mana yang
sudah bertahan cukup lama dan memiliki pola yang fleksibel. Adanya pola yang
fleksibel itu merupakan sebuah peluang untuk bisa berpindah-pindah subjek.
Selain itu habitus juga dianggap dapat menghasilkan sebuah praktik dan

    Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
22    

representasi. Dalam penulisan ini, maka yang dimaksud dengan habitus politik
media adalah sebuah sikap atau kebiasaan yang muncul dari media lewat
pemberitaannya terhadap salah satu kandidat presiden di Tabloid Obor Rakyat.
Pemberitaann tersebut tentu berkaitan denga;n ideologi kejahatan kebencian yang
berusaha dibangun oleh Tabloid Obor Rakyat.

2.3.2 Reproduksi Ideologi Kejahatan Kebencian


Salah satu peran utama dari wacana adalah reproduksi representasi sosial,
seperti pengetahuan, sikap, ideologi, norma-norma, dan nilai. Hal ini berarti
wacana merupakan penghubung utama antara dimensi sosial dan kognitif rasisme.
Di lain hal, ia bisa menjadi praktik sosial yang diskriminatif, dengan
mengekspresikan dan membantu reproduksi representasi sosial negatif (praduga,
dll)—yang disosialisasikan sebagai basis utama dari praktik sosial (Van Dijk,
The Role of the Press in the Reproduction of Racism , 2012, hal 16). Wacana
membentuk dan mengkonstruksikan peristiwa tertentu dan gabungan dari
peristiwa-peristiwa tersebut ke dalam narasi yang dapat dikenali oleh kebudayaan
tertentu (Eriyanto, 2005, hal 75).
Foucault (1977) juga menjelaskan bahwa ciri utama wacana ialah
kemampuannya untuk menjadi suatu himpunan wacana yang berfungsi
membentuk dan melestarikan hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu
masyarakat (Eriyanto, 2005, hal 76). Aditjondro (1994) juga mengatakan bahwa
dalam suatu masyarakat biasanya terdapat berbagai macam wacana yang berbeda
satu sama lain, namun kekuasaan memilih dan mendukung wacana tertentu
sehingga wacana tersebut menjadi dominan, sedangkan wacana-wacana lainnya
akan “terpinggirkan” (marginalized) atau “terpendam” (submerged) (Eriyanto,
2005, hal 77).
Menurut Eriyanto (2005) ada dua konsekuensi dari wacana dominan
tersebut. Pertama, wacana dominan memberikan arahan bagaiman suatu objek
harus dibaca dan dipahami. Pandangan yang lebih luas menjadi terhalang, karena
ia memberikan pilihan yang tersedia dan siap pakai. Pandangan dibatasi hanya

Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
23

dalam batas-batas struktur diskursif tersebut, tidak dengan yang lain. Kedua,
struktur diskursif yang tercipta atas suatu objek tidaklah berarti kebenaran. Batas-
batas yang tercipta tersebut bukan hanya membatasi pandangan kita, tetapi juga
menyebabkan wacana lain yang tidak dominan menjadi terpinggirkan (hal 77).
Wacana dan ideologi sebenarnya memiliki tali temali. Keduanya
membangun hubungan dominasi. Menurut Marx dan Engels ideologi adalah
upaya sistematis untuk menunjukkan rasionalitas distribusi kekayaan yang ada
dan permintaan utilitas sosial di mana bertujuan untuk mempertahankan posisi
kekuasaan (Manning, 1980, hal 3). Ideologi sendiri doktrin yang kita dapat
dipatuhi. Mereka (ideologi) tidak, berbicara dengan benar, secara teoritis. Kita
mungkin percaya pada mereka, tapi kita tidak diberitahu oleh mereka.
Mengetahui apa yang kita yakini bukan hal yang sama seperti mempercayai
sesuatu yang kita ketahui (Manning, 1980, hal 86). Sedangkan, ideologi yang
dikembangkan oleh Althusser lebih menekankan bagaimana kekuasaan dominan
dapat mengontrol kekuatan lain. Dengan kata lain, Ideologi dapat dijadikan
sebagai alat untuk mencapai kekuasaan. Kekuasaan tersebut dibangun dengan
menebar sebuah bentuk yang bisa melanggengkan hubungan dominasi. Bentuk
tersebut bisa dalam konsep kebencian.
Pengertian kejahatan kebencian yang paling dasar menurut Gerstenfeld
(2004) adalah tindak pidana yang dilakukan setidak-tidaknya atau sebagian
dengan motivasi adanya kelompok afiliasi korban (Mustofa, 2010, hal 207).
Hudson (2009) menjelaskan bahwa kejahatan kebencian dapat diartikan sebagai
suatu kejahatan di mana pelaku kejahatan dapat dengan sengaja memilih
korbannya (hal 15). Kelompok afiliasi tersebut dapat merupakan kelompok ras,
agama, etnis, gender, ketidakmampuan dan lain-lain. Di Indonesia sering terjadi
penyerangan terhadap etnis Cina, terhadap pengikut Ahmadiyah, perlakukan tidak
adil terhadap orang yang dituduh mempunyai hubungan dengan Partai Komunis
Indonesia dan organisasi-organisasi yang bernaung di bawahnya seperti Lekra dsb
(Mustofa, 2010, hal 207-208)

    Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
24    

Jacob dan Potter (1997) mengatakan bahwa kejahatan kebencian muncul


sebagai pembeda jenis kejahatan dari yang dimotivasi oleh prasangka dengan
yang dimotivasi oleh nafsu, keserahkahan, kecemburuan, politik, sebagainya.
McPhail (2000) menilai kejahatan kebencian disebabkan karena ada didasari oleh
prasangka atau kecurigaan. Selain itu motif bias membuat kejahatan kebencian
menjadi berbeda dengan kejahatan lainnya. Sehingga pada akhirnya menurut
Hudson (2009) bahwa kejahatan kebencian merupakan bagian dari pelanggaran
pidana yang dilakukan kepada seseorang, keluarga atau properti yang dimotivasi
secara keseluruahan atau sebagian oleh bias pelaku kejahatan terhadap agama,
ras, disabilitas, etnisitas, asal usul kebangsaan, gender, orientasi seksual (hal 36).
Kejahatan kebencian dalam penulisan ini berusaha digambarkan secara
politis. Di mana adanya kejahatan kebencian dalam politis ini didasari oleh
prasangka terhadap kelompok-kelompok yang minoritas yang berbasis secara
agama, etnisitas atau pun asal-usul kebangsaan. Prasangka terhadap kelompok itu
kemudian dijadikan legitimasi untuk melakukan kejahatan kebencian pada
kandidat presiden dan wakil presiden di media massa. Dari pemahaman itu
Ideologi dalam penulisan ini berusaha dilihat sebagai usaha mempertahankan dan
mencapai posisi kekuasaan. Ideologi dengan kata lain merupakan produk
kelompok dominan yang dipelihara dan dapat digunakan sewaktu-waktu dalam
usahanya mempertahankan kekuasaan. Adanya ideologi ini dalam penulisan ini
sebagai bagian penting dalam melihat satu bentuk kejahatan yang sudah tertanam
dalam masyarakat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa reproduksi ideologi
kejahatan kebencian dalam penulis ini merupakan melanggengkan ideologi
kejahatan kebencian lewat elit simbol oleh pemberitaan Tabloid Obor Rakyat.

2.3.3 Propaganda Konstruksi Kuasa Simbolik


Richard Alan Nelson menyebut propaganda itu didefinisikan sebagai
formasi sistemik dari persuasi yang bertujuan untuk memengaruhi emosi, sikap,
opini, dan aksi yang targetnya spesifik untuk tujuan ideologi, politik, dan
komersial melalui transmisi terkontrol pesan yang disampaikan melalui media

Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
25

massa maupun kanal media lainnya. Pratkanis dan Aronson (2010) mengatakan
bahwa propaganda didefinisikan sebagai penyebaran ide dan pendapat bias,
biasanya dengan menggunakan sesuatu yang bohong dan curang (Pratkanis &
Aronson, 2010, hal 8). Sedangkan Qualter (1985) mendefinisikan propaganda
sebagai beberapa usaha penyebaran untuk memengaruhi banyak sikap dan
perilaku oleh manipulasi komunikasi simbolik (Wring, 1996, hal 5).
Satu konsep yang menarik dari propaganda yakni munculnya komunikasi
simbolik sebagai salah satu cara untuk menegaskannya. Komunikasi simbolik
yang manipulatif seperti yang dijelaskan oleh Qualter bisa berkaitan dengan
kuasas simbolik yang dipahami oleh Bourdieu. Hal ini muncul karena keduanya
sama-sama menaruh unsur kuasa yang pada akhirnya membentuk hubungan
dominasi. Kuasa simbolik Burdieu menurut Thompson (1995) merupakan
kekuasaan yang dipindahkan pada wujud simbolik dan diimplementasikan dalam
komunikasi simbolik. Adanya peralihan tersebut, membuat kuasa simbolik
seakan-akan legitimasi dan bukan hubungan kuasa.
Membangun kuasa simbolik dalam hal ini tentu tidak terlapas dari usaha
mengkonstruksi suatu hal. Pemahaman awal mengenai terbangunnya realitas
sosial sebenarnya digambarkan oleh Berger dan Luckmann (1966) bahwanya
realitas sosial terbangun atas dasar konstruksi sosial dengan adanya bentuk-
bentuk komunikasi tertentu. Berkaitan dengan konstruksi dan pemberitaan,
Kriminologi memiliki Gregg Barak dengan gagasannya mengenai proses media
dalam mengkonstruksi berita kejahatan.
Barak (1994) menjelaskan setidaknya ada tiga proses dalam
mengkonstruksi pemberitaan, yakni; pertama, refleksi media, keberagaman
budaya. Pada tahap ini Barak menjelaskan bahwa sebenarnya media yang tidak
banyak memiliki pengetahuan, sumber dan informan tentu akan mengalami
homogenitas. Homogenitas ini kemudian bisa berkembang pada konstruksi
pemberitaan yang tidak mengalami perubahan dan cenderung pada bias. Kedua,
media massa, ketertiban umum dan symbolic deviance. Media massa dalam hal ini
melakukan sebuah konstruksi simbolis dengan membentuk subjek baik dan jahat.

    Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
26    

Ketiga, kontrol sosial, berita media dan perubahan politik. Media massa dapat
dikatakan berhubungan untuk mengontrol ketertiban publik. Hanya, menurut
Barak peranan media massa dalam mengontrol ketertiban publik seringkali
disalahgunakan untuk kepentingan dominan. Barak yang mengutip McQuail
(1992) menjelaskan bahwa dalam tataran tataran teori kritis—media massa
dikendalikan oleh kelas elit yang menyebabkan media dapat memarginalisasi dan
delgitimasi oposisi.
Berangkat dari pemahaman tersebut, tentu jika mengacu pada tradisi
posmodern dalam melihat bentuk kejahatan maka pada dasarnya ada pembangun
realitas atau satu bentuk kejahatan yang sah. Dengan kata lain, propaganda
kontruksi kuasa simbolik ini berusaha untuk membangun sebuah subjek yang
baru dengan menempelkan elemen-elemen lainnya—sehingga nantinya akan
terlihat sah. Penulisan ini akan memakai konsep ini dengan menghubungan
propaganda kebencian yang dilakukan oleh Tabloid Obor Rakyat dalam
mengkontruksi Joko Widodo dan Jusuf Kalla lewat kuasa simbolik. Sehingga, apa
yang direpresentasikan oleh Tabloid Obor Rakyat mengenai Joko Widodo dan
Jusuf Kalla akan dianggap sah.

2.4 Kerangka Teori


2.4.1 Ideologi dan Media
Althusser (1971) ada dua dimensi keterlibatan negara: represif (Represif
State Apparatus/RSA) dan ideologis (Ideological State Apparatus/ISA). Kedua
dimensi ini erat dengan eksistensi negara sebagai alat perjuangan kelas (Eriyanto,
2005, hal 98). Perbedaan esensial antara RSA dan ISA, yakni RSA lebih
menekankan pada jalan kekerasan sedangkan ISA lebih menenkankan pada
ideologi (Althusser, 1971, hal 18-19). Dalam konsepsi ideologi, media
ditempatkan sebagai ISA. Media dapat memberikan dasar pembenar atas tindakan
fisik yang dilakukan oleh RSA.
Ideologi bukan hanya sistem ide, tapi juga merupakan material practice.
Dengan kata lain, adanya campur tangan aparatus-aparatus negara sebagai

Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
27

instrumen propaganda untuk menanamkan ideologi kelas yang dominan yang


disebutnya dengan istilah Aparatus Idelogis Negara (Ideological State Aparatuses
atau ISA). ISA tidak hanya terbatas dalam lingkup kekuasaan tetapi juga bisa
dimiliki sebagai sarana menuju kekuasaan kelompok di luar kekuasaan.
Kenyataan tersebut tidak bisa dihindari jika terjadi perbenturan antara kelompok
yang berkepentingan dengan ISA (Althusser, 1971). Teori Althusser tentang
ideologi juga menekankan bagaimana kekuaasaan kelompok yang dominan dalam
mengontrol kelompok lain (Eriyanto, 2005, hal 103).
Penulis mencoba memakai ideologi dalam mengaitkannya dengan
kejahatan kebencian dalam pemberitaan kandidat presiden di media massa.
Ideologi ini yang dianggap penulis sebagai bentuk pemahaman yang
disebarluaskan oleh media massa untuk melegitimasi keadaan-keadaan sosial
yang tercantum di dalam pemberitaannya. Ada pun, ideologi ini juga bisa
dikaitkan dengan usaha media massa untuk menuju sarana kekuasaan. Salah satu
caranya yakni kelompok dominan mengontrol kelompok lain lewat sebuah
pemberitaan di media massa.

2.4.2 Kejahatan Kebencian Media


Menurut Jacob dan Potter (1998) istilah kejahatan kebencian pertama kali
dipakai oleh John Conyer dan Mario Biaggi. Hal itu berawal ketika pada tahun
1985 mereka menggagas Rancangan Undang-Undang di Majlis Rakyat yang
dinamai Hate Crime Stastitic Act (HCSA). Rancangan undang-undang tersebut
diperlukan oleh Departemen Kehakiman untuk mengumpulkan dan
mengumumknan data statistik kejahatan yang dilatarbelakangi oleh ras, agama
dan prasangka etnis. Selanjutnya, istilah kejahatan kebencian terus meluas dan
sering dipakai dalam diskusi ataupun perkuliahan di kampus-kampus (Santoso,
2010, hal 14-15)
Kejahatan kebencian sering disebut sebagai “ethnoviolence” lebih dari
tindakan fanatik yang kejam. Hal ini tertanam dalam konteks struktural dan
kultural di mana kelompok-kelompok berinteraksi (Perry, 2001, hal 1). Kejahatan

    Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
28    

rasial ini didasari oleh konstruksi-konstruksi tentang ras di mana ras merupakan
hubungan struktural dan tindakan sosial yang dibenarkan dengan mengacu pada
sistem dan simbol dari kepercayaan dan menekankan pada relevansi sosial dan
budaya karakteristik biologis yang telah mengakar (Bhavnani, Mirza, & Meetoo,
2005, hal 217).
Sepeerti yang dikatakan Sheffield (1995) kekerasan kebencian dimotivasi
oleh faktor-faktor sosial dan politik dan didukung oleh sistem kepercayaan dalam
usahanya untuk mencari kekerasan yang sah. Hal itu mengungkapkan bahwa
pribadi merupakan bagian dari politis; yang menggolongkan kekerasan bukanlah
serangkaian insiden yang terisolasi melainkan konsekuensi dari budaya politik
yang mengalokasikan hak khusus, hak istimewa dan kekuasaan sesuai dengan
karakteristik biologis atau sosial (Perry, 2001, hal 9-10).
Perry mengatakan Sheffield secara eksplisit membahas pentingnya kondisi
konteks sosial dan politik dalam melakukan kejahatan rasial. Sementara itu,
Wolfe dan Copeland (1994) mengatakan kekerasan ditujukan terhadap kelompok-
kelompok orang umumnya tidak dihargai oleh masyarakat mayoritas, mengalami
diskriminasi, dan yang tidak memiliki akses penuh untuk memperbaiki
ketimpangan sosial, politik dan ekonomi (Perry, 2001, hal 9).
Poin penting dari apa yang dikatakan Wolfe dan Copeland dan Sheffield
menurut Perry (2001) yakni bagaimana peran kejahatan kebencian dalam
membangun identitas relatif dan posisi subjek keduanya, korban dan pelaku, baik
secara individu atau pun kolektif. Kejahatan kebencian, kemudian, melibatkan
tindakan kekerasan dan intimidasi, biasanya diarahkan langsung pada kelompok
yang sudah distigmatisasi dan terpinggirkan (hal 10).
Hal ini seperti mekanisme kekuasaan dan penindasan, yang kemudian
dimaksudkan untuk menegaskan kembali hierarki penting karakteristik suatu
tatanan sosial. Hal ini merupakan upaya untuk menciptakan kembali hegemoni
ancaman (nyata atau bayangan) dari kelompok pelaku dan identitas subordinat
‘tepat’ dari kelompok korban (Perry, 2001, hal 10).

Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
29

Misalnya, seperti yang diungkapkan oleh (Pattiradjawane, 2001) adanya


sentimen anti-Tionghoa yang bermuara pada kekerasan yang dilakukan terhadap
etnis Tionghoa di Indonesia tidak terlepas dari sentimen sosial tentang
kesenjangan ekonomi. Jelas disini bagaimana Belanda sebagai agen dan aktor
yang mengkonstruksikan tindakan antipatinya terhadap etnis Tionghoa yang
lama-kelamaan mengakar didalam masyarakat dan menimbulkan terjadinya
kejahatan kebencian.
Tidak cukup sampai di situ, diskriminasi terhadap etnis Tionghoa belum
berhenti dan masih terus berlanjut di masa awal orde baru, di orde ini aksi-aksi
anti Tionghoa semakin meningkat dan kemudian berkembang pada spectrum yang
lebih luas. Sikap benci dan antipati terhadap etnis Tionghoa ini kemudian
melahirkan terjadinya kejahatan kebencian yang puncaknya pada kerusuhan Mei
1998. Peristiwa kejahatan kebencian ini tidak terjadi dalam sosial atau budaya
yang vakum, melainkan secara sosial, proses dinamis, yang melibatkan konteks
dan aktor, struktur, dan keagenan.
Dalam kaitannya dengan media, kejahatan kebencian berusaha dibangun
dan dipelihara lewat media. Sentimen anti golongan tertentu kemudian sengaja
diberitakan dan disebarluaskan oleh media. Sebagai acuan, media dalam hal ini
digunakan sebagai alat oleh kelompok dominan dalam menebarkan prasangka
kebencian pada masyarakat. Prasangka kebencian itu kemudian dapat
terinternalisasi menjadi sebuah bentuk realitas kebencian yang dapat
mempengaruhi khalayak.
Dalam kaitannya dengan penulisan ini, maka akan dilihat bagaimana
kejahatan kebencian yang terjadi dalam pemberitaan kandiat presiden di media
massa. Dalam pemberitaan yang diturunkan media massa, penulsi menduga
kejahatan kebencian sengaja dibangun untuk disebarluaskan ke khalayak.

2.4.3 Kuasa Simbolik Kejahatan Kebencian lewat Media


Sebelum masuk ke dalam kuasa simbolik Bourdieu, ada baiknya
memahami secara jelas bagaimana Bourdieu membangun pemikirannya mengenai

    Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
30    

komponen yang mendukung kuasa simbolik. Pemikiran Bourdieu tentang kuasa


simbolik tidak pernah lepas dari relasinya dengan bahasa. Instrumen simbolik
(symbolic instrument) atau yang biasa disebut sebagai sistem simbol (symbolic
system) merupakan medium yang memperantarai dalam memaknai sesuatu.
Sistem simbol dapat melakukan ini karena ia beroperasi sebagai sistem
representasi (Fahsri, 2014, hal 21). Seperti yang dibuat oleh Bourdieu mengenai
bagan sistem simbol (bahasa, mitos, seni, ilmu pengetahuan), Bourdieu berusaha
menjelaskan lebih jauh mengenai kegunaan dari simbol-simbol yang dibagi
olehnya menjadi tiga fraksi teori.
Pertama, sistem simbol sebagai struktur yang menstruktur. Poin ini lebih
menjelaskan bagaimana bahasa dijadikan sebagai alat untuk pengetahuan dan
mengkonstruksi dunia yang objektif. Di gawangi oleh figur Immanuel Kant dan
neo-Kantian seperti; Erns Cassiere, Humbold dan Safir-Whorf—fraksi ini
berusaha mengaitkan bahasa dengan symbolic form (bentuk-bentuk simbolik)
guna membangun sebuah instrumen pengetahuan dan realitas dunia yang objektif.
Konsep symbolic form sendiri juga diasosiasikan kepada Marx
sebagaimana dalam karyanya Theses on Feurbach, yang dikenal sebagai active
aspect dari kognisi. Selain itu, perlu dipahami pula dalam fraksi ini bahasa atau
symbolic form juga dikaitkan dengan modus operandi. Panofsky lebih jauh
mengaitkan bahasa merupakan bagian dari a historycal form—namun ia
membatasi dengan tidak melihat bagaimana bahasa itu secara sitematis diproduksi
(Bourdieu, Language and Symbolic Power, 1991, hal 64). Mengacu pada konsep
itu, maka dapat dilihat adanya komponen sejarah yang menetukan suatu bahasa
itu dibentuk. Namun, perspektif ini enggan terjebak dalam proses produksi bahasa
itu sendiri. Sehingga pada akhirnya memunculkan signifikansi yang berupa
konsensus.
Kedua, sistem simbol sebagai struktur yang terstruktur. Bourdieu
menekankan bahwa bahasa dalam poin ini digunakan sebagai alat komunikasi.
Berbeda dengan tradisi neo-Kantian, yang menekankan modus operandi atau
proses pengaburan fakta, tradisi strukturalis menekankan pada opus operatum

Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
31

atau struktur yang terstruktur. Hal ini sejalan dengan Saussure, penemu tradisi ini,
melihat bahasa sebagai sistem yang terstruktur, bahasa secara fundamental
digunakan sebagai kondisi yang sudah jelas (parole), sebagai struktur medium
yang direkonstruksi sesuai dengan relasi konstan antara suara dan artinya
(Bourdieu, Language and Symbolic Power, 1991, hal 164-166). Bahasa menurut
Bourdieu sudah menjadi bagian yang melekat dalam struktur itu sendiri. Sehingga
mau tidak mau, bahasa digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi.
Ketiga, sistem simbol sebagai instrumen dominasi. Tradisi marxis
meletakan penekanan penting dalam political functions symbolic system.
Fungsionalisme ini menjelaskan produksi simbolik dengan mengaitkan mereka
dengan kepentingan penguasa. Tidak seperti mitos, yang merupakan sebuah
produk kolektif secara bersama, ideologi melayani secara khusus kepentingan
yang mereka pelihara sebagai kepetingan universal, yang disebarkan oleh
kelompok secara keseluruhan. Poin ini Bourdieu menjelaskan bahwa bahasa
digunakan sebagai alat ideologi atau ekspresi kekuasaan. Lebih lanjut, bahasa
yang dikenal sebagai alat untuk berkomunikasi—semakin tergerus karena adanya
kuasa dari bentuk bahasa lain yang medominasi—yang kemudian seakan-akan
dilegitimasi.
Berawal dari tiga fraksi tersebut, kemudian Bourdieu berusaha membuat
dua sintesis. Sintesis itu kemudian berguna untuk lebih mengerecutkan apa yang
dimaksud dengan kuasa simbolik oleh Bourdieu. Sintesis pertama merupakan
gabungan dari tradisi Kantian dan Saussure. Dalam pemahaman itu, bahasa
dianggap sebagai instrumen pengetahuan dan komunikasi. Selain itu, bahasa yang
dikategorikan sebagai symbolic structures ini dapat diimplikasikan menjadi
kekuasaan yang dapat mestruktur dengan catatan, bahasa itu telah terstruktur
(Bourdieu, Language and Symbolic Power, 1991, hal 166). Dalam sintesis
pertama, menurut Dwizatmiko (2010, hal 39) dalam studinya mengenai kuasa
simbolik, Bourdieu juga menekankan bahasa bisa menjadi alat fundamental untuk
menuju integrasi sosial, menuju kesepakatan (consensus). Lebih lanjut, konsensus
itu kemudian disamakan dengan doxa oleh Bourdieu.

    Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
32    

Dwizatmiko (2010) melihat Doxa adalah kepercayaan dan nilai-nilai tak


sadar, berakar mendalam, mendasar, yang dipelajari (learned), yang dianggap
sebagai universal-universal yang terbukti dengan sendirinya (self-evident), yang
menginformasikan tindakan-tindakan dan pikiran-pikiran seorang agen dalam
arena (field) tertentu. Doxa menurutnya juga cenderung mendukung pengaturan
sosial tertentu pada arena tersebut, dan dengan demikian mengistimewakan pihak
yang dominan dan menganggap posisi dominan tersebut sebagai terbukti dengan
sendirinya (self-evident) dan lebih disukai secara universal (universally favorable)
(hal 40).
Doxa itu merupakan hubungan kesetiaan, baik dalam bentuk kepercayaan
atau penerimaan secara langsung yang didirikan dalam praktik (aturan) antara
habitus dan arena (field) yang ditujukan untuk penerimaan aturan tersebut oleh
masyarakat secara luas (Bourdieu, The Logic of Practice, 1992, hal 68).
Dwizatmiko (2010) mengungkapkan tanpa adanya kepercayaan ini, seorang agen
tidak akan melihat adanya nilai dalam arena tertentu, dan ia tak akan turut serta di
dalamnya. Menyesuaikan konteks ini, maka Doxa bisa disamakan dengan
konsensus (hal 40).
Mengacu pada sintesis pertama, maka pada bahasan ini, Bourdieu
mengungkapkan bahwa kekuasaan simbolik adalah kemampuan untuk
mengonstruksi realitas, dan persepsi mengenai kehidupan sosial, apa yang
kemudian disebut Durkheim sebagai logical conformism—di mana ada konsepsi
keseragaman waktu, tempat, jumlah dan penyebab, yang memungkinkan untuk
mencapai kesepakatan bersama (Bourdieu, Language and Symbolic Power, 1991,
hal 166).
Sintesis kedua merupakan gabungan sintesis pertama dan fraksi teori
ketiga, bahasa sebagai dominasi. Bourdieu (1991) merumusakan bahasa menjadi;
sebagai sistem kode yang kompleks, multifungsi; berfungsi sebagai alat untuk
praktik komunikasi dan menyamakan persepsi dunia objektif hingga masuk dalam
konsensus, namun konsensus itu dapat dialih-fungsikan sebagai alat praktik untuk

Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
33

mengekpresikan ideologi, atau power tertentu yang terbuka lebar untuk terjadinya
pemaksaan pandangan terhadap realitas (Dwizatmiko, 2010, hal 41).
Lebih lanjut, Bourdieu (1991) juga mengungkapkan bahwa bahasa
dijadikan sebagai alat yang memiliki muatan ideologis, politis, simbol kekuasaan
dari suatu kultural identitas tertentu dalam kehidupan sosial masyarakat. Namun,
masyarakat menganggap hal tersebut sesuatu hal yang dilegitimasi, sah, terberi,
dan konsensus. Tanpa berpikir bahwa di dalamnya mengandung kekuasaan
simbolik.
Mengacu pada penjelasan sintesis kedua, maka kuasa simbolik dalam
tahap ini merupakan kuasa dalam menentukan (bahkan menanamkan) instrumen-
instrumen pengetahuan dan ekspresi (taksonomi) kenyataan sosial secara
sewenang-wenang, akan tetapi instrumen-instrumen yang kesewenang-
wenangannya tidak disadari (Bourdieu, Language and Symbolic Power, 1991, hal
168). Sehingga menurut Dzatmiko (2010) kuasa simbolik pada konteks ini
bukanlah bentuk dominasi yang diterapkan melalui komunikasi: tetapi penerapan
kuasa atau dominasi melalui komunikasi yang tidak diakui, namun kelihatan
diakui sebagai yang sah atau legitimate (hal 47).
Mengacu pada penjelasan mengenai kuasa simbolik, penulis mencoba
mengaitkan pemberitaan Kandidat presiden dalam media massa sebagai usaha
kuasa simbolik yang dilakukan oleh salah satu pihak. Dalam kuasa simbolik
seperti yang sudah dijelaskan di atas mengandung unsur legitimasi dalam
mengkonstruksi realitas yang ada.
Kaitan kuasa simbolik dengan kejahatan kebencian dalam pemberitaan
pemilihan umum di media massa adalah usaha untuk melegitimasi kejahatan
kebencian yang disebarkan. Selain itu, adanya usaha untuk mengarah pada
konsensus atau doxa seperti yang diungkapkan di atas. Belum lagi ada dugaan
bahwa bahasa dalam hal ini pemberitaan kandidat presiden digunakan oleh kelas
dominan untuk pemaksaan pandangan terhadap realitas atau biasa dikaitkan
dengan sintesis kedua. Berikut akan ditampilkan mengenai bagan sistem simbol
Bourdieu yang mengerucutkan menjadi dua sintesis

    Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
34    

Gambar 2.1 Sistem Simbol Bourdieu


Sistem Simbol
Bahasa, Mitos, Seni

Sebagai struktur Sebagai struktur Sebagai instrumen


yang menstruktur yang terstruktur yang mendominasi

Sebagai alat Sebagai alat Sebagai alat


pengetahuan dan komunikasi (bahasa kekuasaan:
untuk mengkonstrusi atau budaya vs Pembagian kelas;
dunia objektif wacana atau perilaku Pembagian ideologi
pekerja;
Dominasi

Symbolic Forms Symbolic Objects Ideologies


Subjective structure Objective structure (vs myths, language)
(Modus operandi) (Opus operatum) Webber
Kant Cassirer Hegel-Saussure
     
Sapir-Whorf Durkheim-Mauss Levi-strauss Badan struktur
culturalism Social form of Semiology khusus melegitimasi
classification monopoli produksi
 
    identitas budaya
 
Signifikansi: Secara
objektif diakui Signifikansi: makna objektif
kesepekatan antara sebagai hasil dari produksi
subjek (konsensus) komunikasi
   

SINTESIS 1
Sociology symbolic form: kontribusi kuasa simbolik dalam
gnoselogical order : sense = consensus, i.e. doxa
 

SINTESIS 2
Kekuatam Ideologis sebagai kontribusi khusus kuasa
simbolik (orthodoxy) untuk political violence (domination)
 
Sumber: Bourdieu. (1991). Language and Symbolic Power. Cambridge: Polity Press
dan olahan penulis

Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
35

2.4.4 Habitus, Ideologi dan Media


Habitus merupakan sebuah sistem yang kuat dan bertahan cukup lama,
suatu disposisi yang fleksibel (berganti-ganti/berpindah-pindah), struktur yang
terstruktur yang kemudian cenderung berpengaruh menjadi struktur yang
berfungsi penataan struktur, yaitu sebagai prinsip-prinsip yang menghasilkan dan
mengatur praktik serta representasi yang tidak mengutamakan kesadaran dari
tujuan akhir sebuah praktik. Secara objektif ia diatur dan teratur, meskipun tanpa
ada yang menaati peraturan tersebut, mereka juga dapat diatur secara kolektif,
meskipun tidak ada seorang subjek (konduktor) yang mengatur (Bourdieu, The
Logic of Practice, 1992, hal 53).
Dwizatmiko (2010) megungkapkan, habitus dapat dikatakan sebagai
produsen (penghasil praktik) dan mengorganisir penyajiannya secara objektif
yang boleh diadaptasi (oleh subjek/agen) tanpa mensyaratkan satu kesadararan
akan tujuan akhir, maka sebuah praktik berbahasa atau diskursus pun dihasilkan
oleh habitus, tepatnya habitus bahasa, yaitu disposisi-disposisi untuk
menghasilkan, memahami, menilai, dan menggunakan bahasa secara tepat dalam
berbagai kondisi.
Habitus dalam praktiknya tidak memerlukan kesadaran untuk tujuan akhir.
Pemahaman ini kemudian dapat berkaitan mengenai bagaimana bahasa dalam
media bisa menjadi implikasi dari habitus, yang kemudian biasa disebut sebagah
habitus bahasa. Karena bahasa dalam media biasanya terpengaruhi oleh habitus
yang sudah berkembang di masyarakat. Dari perkembangan ini, kemudian media
memakai bahasa sesuai dengan kondisi yang menurutnya tepat. Dengan kata lain,
dapat menyesuaikan pesan atau ideologi yang mau disampaikan pada khalayak.
Lebih lanjut lagi, mengungkapkan konsep habitus bahasa meliputi
kemampuan untuk memproduksi sekaligus membuat penilaian (taste); suka/tidak
suka, indah/tidak indah, moral/immoral, terhadap bahasa, dialek, gaya bahasa,
diksi, gaya pengucapan, intonasi, logat, aksen, mimik tertentu, dsb (Dwizatmiko,
2010). Pada poin ini dapat dilihat bahwa bahasa yang tercantum dalam sebuah

    Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
36    

media merupakan bagian dari ekspresi yang hendak disampaikan. Ekspresi itu
kemudian biasanya telah direncanakan dan disusun sedemikian rupa. Dalam hal
ini dapat dimaknai bagaimana, habitus merupakan disposisi-disposisi yang
memiliki skema pemikiran atau persepsi yang telah bertahan cukup lama.
Mengacu pola pikir tersebut, maka bahwa wacana yang didalamnya ada
praktik bahasa selalu mengacu pada eufemisme di mana menerapkan konsep
“speak well” atau “speak properly”—untuk menghasilkan produk yang
menyesuaikan kondisi pasar—dalam hal ini bisa dikaitkan dengan habitus
(Bourdieu, Language and Symbolic Power, 1991, hal 78). Tentu, dalam
pemahaman ini bahwa pasar (masyarakat) menjadi habitus yang disesuaikan
dengan kondisi sosialnya saat itu. Media kemudian menggunakan bahasa yang
sifatnya cenderung mengikuti tren tersebut, sehingga dalam penyampaian
ideologinya atau pesannya—media tidak menyinggung masyarakat saat itu.
Dengan kata lain, proses reproduksi habitus menjadi lebih mudah.
Habitus menghasilkan, dan dihasilkan oleh, kehidupan sosial. Di satu
pihak habitus adalah ”struktur yang dapat menstruktur” (structuring structure);
artinya habitus adalah suatu struktur yang menstruktur kehidupan sosial. Di lain
pihak, habitus adalah ”struktur yang telah distruktur” (structured structure); yakni
struktur yang ada sejauh telah distrukturasi (dibangun/dikonstruksi) oleh dunia
sosial itu sendiri (Dwizatmiko, 2010, hal 71). Dengan kata lain, habitus
merupakan bagian dari kehidupan sosial yang sudah tertanam lama. Kemudian,
habitus juga dapat direproduksi lebih masif lagi untuk tujuan tertentu karena
sifatnya yang disposisi fleksibel. Habitus juga dianggap sebagai dialektika
internalisasi dari eksternalisasi dan eksternalisasi dari internalisasi (Bourdieu,
Outline of a Theory of Practice, 1977, hal 72).
Fahsri (2014) yang mengelaborasi pemikiran dari Bourdieu mengenai
habitus kemudian memunculkan empat ciri dari habitus. Pertama, habitus
mencakup dimensi kognitif dan afektif yang terejawantakan dalam sistem
disposisi. Kedua, habitus sebagai “struktur-struktur yang dibentuk” (structured
structure) dan “struktur-struktur yang membentuk” (structuring structure).

Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
37

Ketiga, habitus dilihat sebagai produk sejarah. Keempat, habitus bekerja di bawah
arus kesadaran dan bahasa, melampaui jangkauan pengamatan introspektif, atau
kontrol oleh keinginan aktor.
Dalam kaitannya dengan penulisan ini, maka konsep habitus memiliki dua
kaitan yang cukup penting. Pertama, habitus yang dinilai sebagai ideologi yang
memengaruhi. Seperti yang diungkapkan sebelumnya, ideologi dalam
pemahaman Althuseer merupakan instrumen propaganda untuk menanamkan
ideologi kelas yang dominan. Dengan kata lain, ideologi ini merupakan sudah
tertanam yang kemudian digunakan untuk suatu kelompok tertentu. Pada tahap
ini, habitus kejahatan kebencian yang ada di masyarakat merupakan ideologi yang
sudah tertanam cukup lama. Seperti yang telah diungkapkan Bourdieu
sebelumnya bahwa habitus sudah tertanam cukup lama. Kemudian, habitus yang
dimaksud sebagai ideologi itu berkembang dan digunakan sebagai pemantik
dalam usahanya untuk mereproduksinya kembali.
Kedua, habitus dilihat sebagai hasil reproduksi wacana kejahatan
kebencian. Dengan kata lain, habitus kali ini merupakan implikasi dari adanya
produksi bahasa yang berlandaskan habitus ideologi kejahatan kebencian
sebelumnya. Habitus itu kemudian tersebar luas lewat tulisan-tulisan yang
direproduksi oleh media. Seperti yang diungkapan Bourdieu, bahwa ada usaha
yang dilakukan media masa untuk menyelaraskan pemikiran para pembaca lewat
pemilihan bahasa yang tepat—dalam hal ini menyesuaikan habitus yang
berkembang di masayarakat. Sehingga nantinya akan menghasilkan sebuah
konsensus dalam masyarakat itu sendiri.

    Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
38    

2.5 Kerangka Analisis

Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran

Kejahatan  
Kebencia
n  Media  
Massa  

Habitus   Ideologi    
Politik   Media    
Media     Massa  

Kuasa  
Simbolik  
Media  
Massa  

Sumber: Olahan Penulis

Seperti yang dikatakan Bhavnani (2005) kejahatan rasial ini didasari oleh
konstruksi-konstruksi tentang ras, ia menyatakan bahwa ras merupakan hubungan
struktural dan tindakan sosial yang dibenarkan dengan mengacu pada sistem dan
simbol dari kepercayaan dan menekankan pada relevansi sosial dan budaya
karakteristik biologis yang telah mengakar (hal 217).
Untuk menggali wacana ini, maka harus dilihat terlebih dahulu bagaimana
perkembangan kejahatan kebencian dalam pemberitaan kandidat presiden di media
massa. Penulis melihat terdapat tiga hal yang melekat dalam berkembangnya
kejahatan kebencian di media massa, yakni habitus, ideologi dan kuasa simbolik.
Dalam kaitannya, kali ini penulis melihat bahwa adanya siklus kejahatan kebencian

Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
39

yang terjadi dalam masyarakat. Adanya habitus (pola pikir) mengenai konsep hate di
dalam masyarakat kemudian dirasionalisasi lewat kuasa simbolik di dalam Media
massa. Adanya kuasa simbolik itu merupakan bagian dari usaha melegitimasi habitus
(pola pikir) yang tertanam dalam masyarakat. Legitimasi itu dilakukan dengan
mengkonstruksi realitas yang ada. Adanya praktik kuasa simbolik juga dipertegas
dengan adanya habitus (praktik bahasa) yang dilakukan di media mengenai salah satu
kelompok dalam pemilihan umum. Praktik bahasa itu juga bagian dari pembenar
yang berusaha menyelaraskan dengan habitus yang sudah berkembang di masyarakat.
Berkat adanya habitus (praktik bahasa) itu, kemudian juga berpengaruh terhadap
kejahatan kebencian yang kembali muncul di masyarakat.
Althusser (1971) mengatakan bahwa ideologi bukan hanya sistem ide, tapi
juga merupakan material practice. Dengan kata lain, adanya campur tangan aparatus-
aparatus negara sebagai instrumen propaganda untuk menanamkan ideologi kelas
yang dominan yang disebutnya dengan istilah Aparatus Idelogis Negara (Ideological
State Aparatuses atau ISA). Catatan penting dalam ISA ini adalah aparatus negara
tidak hanya berkaitan dengan negara secara harfiah, tapi juga bisa digunakan oleh
kelompok dominan. Artinya, ideologi ini bisa dilakukan oleh kelompok dominan
dalam menanamkan kejahatan kebencian di masyarakat lewat pemberitaan kandidat
presiden di media massa. Dengan kata lain, ideologi dalam penulisan ini merupakan
bagian dari habitus pola pikir dalam masyarakat.
Kuasa simbolik yang dipaparkan oleh Bourdieu dipakai penulis karena
memiliki penjelasan yang tepat dalam tulisan kali ini. Asumsi ini berasal dari konsep
kuasa simbolik itu sendiri yang mengarah pada penggunaan bahasa sebagai alat untuk
mengkonstruksi realitas atau kehidupan sosial yang ada. Konteks itu berkaitan dengan
sintesis pertama yang dijelaskan oleh Bourdieu. Tak lupa, Bourdieu juga menjelaskan
sintesis kedua.
Dalam hal ini, Bourdieu menilai bahwa bahasa yang digunakan sebagai alat
untuk mengkonstruksi realitas atau kehidupan sosial atau menyamakan persepsi dunia
objektif hingga masuk dalam konsensus. Konteks konsensus itu kemudian bisa
dialhfungsikan untuk sebagai alat praktik mengekspresikan ideologi, atau kekuatan

    Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
40    

tertentu yang memiliki peluang lebar dalam pemaksaan realitas (Bourdieu, Language
and Symbolic Power, 1991, hal 167). Dalam konteks kejahatan kebencian, maka jelas
bahwa lewat kuasa simbolik—media massa berusaha melegitimasi kejahatan
kebencian yang disebarkan. Selain itu, kuasa simbolik juga berkaitan dengan
masyarakat yang enggan mencari tahu dan tidak tahu mengenai status dirinya yang
menjadi korban kejahatan kebencian itu sendiri.
Habitus yang dipakai dalam penulisan ini digambarkan sebagai sebuah pola
pikir masyarakat yang sudah tertanam cukup lama. Adanya pola pikir yang tertanam
cukup lama itu kemudian digunakan sebagai pemantik dianggap sebagai ideologi
yang memengaruhi media dalam membentuk kejahatan kebencian. Pembentukan
kejahatan kebencian dalam media yang kemudian direproduksi juga menjadi habitus
oleh media tersebut, sehingga memberikan sebuah asumsi bahwa adanya reproduksi
habitus kejahatan kebencian di masyarakat.
Media massa dalam pemberitaannya mengenai salah satu kandidat presiden
berusaha membawa kerangka habitus (ideologi) kejahatan kebencian dalam
masyarakat. Adanya usaha pembawaan habitus itu kemudian dibuktikan lewat
penggunaan bahasa dalam media tersebut—di mana menurut Bourdieu (1991)
wacana yang didalamnya ada praktik bahasa selalu mengacu pada eufemisme di mana
menerapkan konsep “speak well” atau “speak properly”—untuk menghasilkan
produk yang menyesuaikan kondisi pasar—dalam hal ini bisa dikaitkan dengan
habitus (masyarakat).

Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
 

BAB 3
METODE PENULISAN

3.1 Teknik Pengumpulan Data


Dalam penulisan ini, penulis memfokuskan untuk mencari data sekunder.
Data tersebut berupa buku, jurnal dan artikel terkait yang membahas mengenai hate
crime, media, kuasa simbolik, habitus, politik dan pemilihan presiden. Sumber
tersebut berguna untuk membantu penulis dalam menganalisis permasalahan Tabloid
Obor Rakyat saat pemilihan pemilihan presiden yang melakukan penyebaran
kebencian. Penulis juga mencari Tabloid Obor Rakyat di Dewan Pers dan Bareskrim
POLRI.
Penulis juga mencari penelitian yang membahas bagaimana perilaku media
saat pemilihan presiden. Penulis menilai bahwa data tersebut berguna untuk menjadi
acuan penulis dalam melakukan analisis. Data tersebut berguna menjadi bahan utama
yang penulis gunakan dalam menganalisis reproduksi kebencian dalam habitus politik
Tabloid Obor Rakyat saat pemilihan presiden.

3.2 Teknik Analisis


Penulis melakukan analis dalam tulisan ini dengan menggunakan data-data
yang tersebar. Perlu diingat, karena ini merupakan Tugas Karya Akhir—maka penulis
berpendapat data penelitian bukan lah acuan. Pola pikir penulis lah yang kemudian
menjadi acuan untuk mencari data. Dengan kata lain, data mengikuti acuan pola pikir
penulis. Hal ini bertujuan untuk menghasilkan gagasan kreatif yang diinginkan dari
Tugas Karya Akhir ini.
Ada pun pola pikir yang dipakai penulis meliputi: ideologi, kejahatan
kebencian, kuasa simbolik dan habitus dalam media saat pemilihan umum. Dalam
konteks ideologi, penulis menggunakan Althusser sebagai acuan untuk analisis.
Penulis berpendapat bahwa Althusser menjelaskan ideologi sebagai suatu hal yang
dapat mengaburkan dan tertanam cukup lama. Ideologi ini penulis jadikan sebagai
pola pikir kebencian yang tertanam cukup lama di masyarakat, namun tidak disadari.

42   Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
43

Kuasa simbolik yang digagas oleh Bourdieu berusaha penulis kaitkan dengan
simbol yang muncul dalam Tabloid Obor Rakyat. Simbol tersebut secara tidak sadar
direpresentasikan sebagai hal yang wajar sehingga tidak terlihat sebagai
penginternalisasian kebencian pada satu kelompok tertentu. Representasi kebencian
itu dimunculkan lewat Tabloid Obor Rakyat dalam pemberitaannya mengenai Joko
Widodo dan Jusuf Kalla saat pemilihan presiden. Penulis berpendapat, analisis yang
akan dilakukan adalah membongkar wacana yang disampakai dalam teks tersebut.
Pada konsep habitus, maka penulis mencoba mengeksplorasi perilaku Tabloid
Obor Rakyat saat pemilihan presiden. Habitus yang dimaknai Bourdieu merupakan
sebuah struktur yang menstruktur. Artinya, ada peran dari habitus dalam membentuk
suatu konsep atau melestarikannya kembali. Penulis mencoba menjelaskan
bagaiaman habitus politik Tabloid Obor Rakyat saat pemilihan presiden. yang
akhirnya melestarikan wacana kejahatan kebencian. Habitus politik media itu tersaji
lewat pemberitaan yang diturunkan oleh Tabloid Obor Rakyat. Kejahatan kebencian
dalam penulisan ini merupakan elemen penting yang ada di setiap cara kerja konsep,
mulai dari ideologi, kuasa simbolik sampai dengan habitus. Penulis menilai kejahatan
kebencian ini sebagai sebuah pola pikir utama yang berkaitan dengan kriminologi
dalam penulisan ini.
Sehingga, penulis mengaitkan antara kejahatan kebencian dan pola
pemberitaan Tabloid Obor Rakyat saat pemilihan presiden. Dari yang sudah
dijelaskan, penulis mencoba merangkai konsep-konsep tersebut menjadi sebuah
pemikiran yang penulis sebut gagasan kreatif, yakni reproduksi wacana kejahatan
kebencian dalam habitus politik Tabloid Obor Rakyat saat pemilihan presiden.

3.3 Data Sekunder


Penulis melakukan analisis terhadap Tabloid Obor Rakyat. Penulis
menganggap fenomena Tabloid Obor berguna dalam penulisan ini untuk melihat
bagaimana fenomena reproduksi kejahatan kebencian di media massa saat pemilihan
presiden masih berlangsung hingga saat ini. Dalam analisis mengenai Tabloid Obor

    Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
44    

Rakyat, penulis mengaitkan konsep yang penulis pakai seperti ideologi, kuasa
simbolik, habitus dan reproduksi kebencian.

Penulis juga menggunakan literatur lainnya yang mengulas Tabloid Obor


Rakyat. Literatur tersebut yakni, kompas.com, wartawanmerdeka.com, solopos.com,
tempo.co, tribunnews.com. Sehingga, analisis tersebut bisa mendukung analisis
penulis mengenai Tabloid Obor Rakyat. Sumber-sumber itu biasanya berupa artikel-
artikel di koran atau media online yang beropini tentang Tabloid Obor Rakyat.

Selain itu, penulis juga menggunakan data sekunder lainnya untuk menambah
referensi lainnya dalam menganalisis Tabloid Obor Rakyat sebagai media yang
melakukan pemberitaan bersifat kebencian. Selain itu, data-data ini juga penulis
gunakan sebagai pembanding analisis penulis terhadap Tabloid Obor Rakyat. Berikut
adalah penelitian terdahulu yang digunakan penulis untuk menganalisis;

Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
45

Gambar 3.1 Sumber Penelitian Pembanding


No Bentuk Data Kegunaan
1. Romadlan, Said. (2000). Pengaruh Data tersebut penulis gunakan untuk
Ideologi Pada Pola Pemberitaan Surat pembanding dengan Tabloid Obor
Kabar Tentang Partai-Partai Politik Rakyat
Selama Kampanye Pemilu 1999.
2. Ibnu Hamad. (2002). Konstruksi Data tersebut penulis gunakan untuk
Realitas Politik dalam Media Massa pembanding dengan Tabloid Obor
(Studi Pesan Komunikasi Politik dalam Rakyat
Media Cetak pada Masa Pemilu 1999).
3. Van Dijk, T. A. (2008). Racism and Data tersebut penulis gunakan untuk
The Press in Spain. pembanding dengan Tabloid Obor
Rakyat
6. Kartasasmita, G. (2011). Peristiwa Mei Data tersebut penulis gunakan untuk
1998: A Study of Anti-Chinese pengayaan terhadap sentimen Anti-
Violence in Glodok District, West Cina
Jakarta.
7. Muslich, M. (2008). Kekuasaan Media Data tersebut penulis gunakan untuk
Massa Mengonstruksi Realitas. pengayaan terhadap konstruksi
realitas media massa
8. Maydini, A. (2005). Keberpihakan Data tersebut penulis gunakan untuk
Media Massa dalam Pemberitaan pengayaan terhadap propaganda
tentang Partai Politik Pada Kampanye media massa
Pemilu Tahun 2004.
9. Van Dijk, T. A. (2012). The Role of Data tersebut penulis gunakan untuk
the Press in the Reproduction of pengayaan terhadap reproduksi sosial
Racism media massa

Sumber: Olahan Penulis

    Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
 

BAB 4
KEBENCIAN, IDEOLOGI DAN HABITUS TABLOID OBOR RAKYAT

Kejahatan kebencian merupakan suatu tindakan yang dibangun atas dasar


prasangka yang tidak berdasar. Lewat ideologi, kebencian menjadi suatu pemahaman
yang terbangun utuh. Padahal, secara kontestual kebencian itu merupakan bagian dari
realitas semu. Tabloid Obor Rakyat yang membangun ideologi kebencian sebenarnya
berusaha menutupi realitas yang sebenarnya. Misalnya, dalam isu pemilihan
presiden—Tabloid Obor Rakyat yang menebar kebencian akan berperan aktif untuk
memijakkan ideologi kebencian lewat pemberitannya.
Setelah adanya pijakan ideologi kebencian di dalam masyarakat, media massa
akan melakukan sebuah usaha lebih lanjut. Usaha itu terlihat dari propaganda dan
dominasi simbolik. Tabloid Obor Rakyat tahu betul bahwa perlu katalisator dalam
propaganda kebencian. Untuk itu, Tabloid Obor Rakyat akan memanfaatkan
fungsinya yang bersifat menyebar dan lewat isu-isu yang mudah dipahami
pembacanya. Pemberitaan tersebut nantinya bersifat semu namun akan terlihat seperti
nyata.
Usaha dalam mengkonstruksi realitas tersebut sebenarnya membuat cerminan
sendiri pada pola kerja media. Dalam pemilihan presiden, pola kerja media yang
demikian akan mencerminkan kebencian pada salah satu kelompok. Pola kerja
tersebut bisa disebut sebagai habitus politik media. Dengan kata lain, habitus politik
Tabloid Obor Rakyat mencerminkan habitus politik kebencian media yang
merupakan refleksi dari perilaku Tabloid Obor Rakyat yang terus melakukan
penebaran kebencian lewat pemberitaannya.
Proses penyemaian ideologi dengan kuasa simbolik mengakibatkan sebuah
habitus kebencian pada media. Pola tersebut sebenarnya membentuk sebuah persepsi
baru yakni reproduksi kebencian. Reproduksi itu dimaknai sebagai pola yang terus
berulang. Kebencian yang tersebar di masyarakat, akan dimanfaatkan oleh media
untuk melakukan hal serupa dengan terus menerus.

46   Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
  47

Pada bab ini, penulis akan berusaha menggali bagaimana proses reproduksi
kebencian Tabloid Obor Rakyat terhadap Joko Widodo dan Jusuf Kalla saat masa
pemilihan presiden lewat konsep-konsep yang sudah dijelaskan tadi. Pola tersebut
dimulai dari ideologi, propaganda dan kuasa simbolik, habitus dan pemahaman
kembali maksud dari reproduksi kebencian itu sendiri. Penulis akan menggambarkan
reproduksi kebencian yang ditampilkan oleh Tabloid Obor Rakyat saat masa
pemilihan umum 2014 lalu.
Reproduksi kebencian dilihat dari ideologi, propaganda dan kuasa simbolik,
serta habitus politik Tabloid Obor Rakyat. Penulis beranggapan Tabloid Obor Rakyat
merupakan kasus yang dapat dipakai untuk menghantarkan pola pikir kejahatan
kebencian yang sebenarnya dalam media. Penulis melihat Tabloid Obor Rakyat
merupakan fenomena yang menarik. Tabloid Obor Rakyat tidak tergolong sebagai
media yang resmi di Indonesia. Namun, keberadaannya tidak lepas dari fungsi media.
Sehingga perlu dipahami secara mendalam bahwa Tabloid Obor Rakyat juga bisa
dianggap sebagai media. Terutama dengan sifatnya yang dapat menebarkan
informasi.

4.1 Tabloid Obor Rakyat


Pemilu tahun 2014 lalu memunculkan dua pasangan kandidat presiden dan
wakil presiden, yakni Joko Widodo – Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto – Hatta
Rajasa. Dalam pertarungan pemilihan presiden tersebut, keduanya memiliki strategi
masing-masing saat masa kampanyenya. Tujuan dari strategi kampanyenya itu untuk
menaikan elektabilitas suara serta lebih membumikan lagi program-program yang
diusung kedua pasangan tersebut. Selain strategi kampanye yang digunakan oleh
kedua pasangan tersebut, ada faktor lain yang menentukan bagaimana perubahan
elektabilitas masyarakat terhadap pasangan tersebut, yakni media. Selain tujuan
tersebut, terkadang—media punya agenda tersendiri dalam menurunkan pemberitaan.
Misalnya konstruksi negatif yang sengaja dibuat untuk memberikan efek buruk pada
salah satu kandidat.

    Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
48  

Salah satu media yang dianggap mengkonstruksikan pemberitaan negatif pada


salah satu kandidat presiden, yakni Tabloid Obor Rakyat. Jika dalam paparan yang
sudah dijelaskan di atas membahas media-media yang sudah stabil dalam
pengelolaannya—maka lain hal jika selama pemilu juga ada media partisan yang ikut
meramaikan kampanye politik di pemilihan presiden. Media partisan ini cenderung
memiliki tendensi untuk memenangkan satu pasangan dengan melakukan peliputan
dan pembahasan yang menyerang salah satu kandidat presiden. Tabloid Obor Rakyat
merupakan bagian dari media yang tampak demikian.
Pemimpin redaksi Tabloid Obor Rakyat adalah Setyardi Budiono. Setyardi
dikenal sebagai Asisten Staf Khusus Presiden Bidang Otonomi Daerah saat masa
Susilo Bambang Yudhono periode 2009-2014. Selain itu, Setyardi juga dibantu oleh
Darmawan Sepriosa sebagai redakturnya. Darmawan saat itu juga menjabat sebagai
Redaktur Pelaksana di portal inilah.com.
Tabloid Obor Rakyat terbit sebanyak empat edisi. Edisi pertama terbit pada 5-
11 Mei 2014 dengan headline ‘Capres Boneka’. Edisi kedua terbit pada 12 – 18 Mei
2014 dengan headline ‘PDIP Partai Salib’. Edisi ketiga terbit pada 19-25 Mei 2014
dengan headline ‘1001 Topeng Pencitraan’. Edisi keempat terbit pada 26 Mei – 1
Juni 2014 dengan headline ‘JK Sogok Mega 10 Triliun’.
Peredaran Tabloid Obor Rakyat diduga mengarah pada salah satu pihak.
Tabloid Obor Rakyat edisi pertama beredar di sejumlah masjid di Kabupaten
Pamekasan, Jawa Timur. Salah satunya seperti di masjid Nurul Iman di Kelurahan
Lawangan Daja, Kecamatan Pademawu, Pamekasan. Selain itu, di edisi-edisi
berikutnya, Tabloid Obor Rakyat juga masih mengarah pada pesantren sebagai basis
pembacanya. Salah satunya adalah pesantren di Kabupaten Bekasi, yakni Pondok
Pesantren Ulumul Quran, di Kampung Buaran, Desa Lambang Sari, Kecamatan
Tambun Selatan. Pondok pesantren berikutnya yang menjadi sasaran adalah Pondok
Pesantren Darussalam, Kecamatan Cijenugjing, Kabupaten Ciamis.
Polemik munculnya Tabloid Obor Rakyat bergulir di media massa dengan
beragam anggapan. Misal, dari Anggota Komisi III DPR dari PDIP periode 2014-
2019, Eva Kusuma Sundari mengatakan tabloid tersebut sebagai upaya dari black

Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
  49

campaign (kampanye hitam) (Tribunnews.com, 2014). Ketuaa Dewan Pers, Bagir


Manan menyebut Tabloid Obor Rayat bertentangan dengan kode etik jurnalistik. Hal
itu dilihat dari pemberitaan yang dimunculkan oleh Tabloid ini yang menyasar pada
salah satu pihak. Seperti yang dikutip dari Kompas.com (16/6/14), yakni:
“Bagir mengatakan, pemberitaan oleh pers tidak boleh bersifat subyektif yang
hanya mengarah pada salah satu pihak sehingga berpotensi menjadi fitnah.
Apalagi, jika menghakimi seseorang dengan hal yang belum jelas
kebenarannya. Hal tersebut, kata Bagir, akan menimbulkan konflik di
masyarakat seperti isu SARA.” (Kompas.com, 2014)
Sementara itu, tanggapan dari Setyardi Budiono selaku pemimpin redaksi,
yakni bahwa Tabloid ini termasuk citizen journalism (jurnalisme warga). Seperti
yang dikutip dari Kompas.com (14/6/14), yakni:
“…..Akan tetapi, pada akhirnya ini adalah citizen journalism, orang bisa
melaporkan apa pun..” (Kompas.com, 2014).
Tabloid Obor Rakyat memuat pemberitaan yang berisi negatif. Pemberitaan
tersebut dianggap oleh sebagian pihak menghakimi dan tidak berdasarkan unsur
jurnalistik yang benar. Munculnya anggapan tersebut merupakan bagian dari
peniliaian atas Obor Rakyat itu sendiri. Seperti lanjutan kalimat Agus Sudibyo yang
dicantumkan oleh Kompas.com 17 Juni 2014:
“Namun, pengungkapan sisi negatif capres harus benar-benar memenuhi
prinsip verifikasi: didasarkan pada informasi yang valid, ada proses check
and recheck, memberikan kesempatan klarifikasi sebelum berita
dipublikasikan, memenuhi asas praduga tak bersalah, dan menggunakan
bentuk pengungkapan yang tidak tendensius atau menghakimi,” (Sudibyo,
"Obor Rakyat" dan Residu Demokrasi, 2014).
Tabloid Obor Rakyat melakukan pemberitaan tanpa adanya proses verifikasi
yang valid. Absennya proses itu masih bagian kecil dari ujung implikasi pemberitaan
Tabloid Obor Rakyat, yakni menghakimi. Agus Sudibyo dalam tulisannya menyoroti
pemberitaan Media massa yang cenderung tendensius dan menghakimi. Alhasil, pada
posisi ini konten Tabloid Obor Rakyat seakan membentuk satu konsepsi mengenai

    Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
50  

satu hal. Namun, konsep itu diduga memperkeruh suasana saat pemilihan presiden
dengan menyerang salah satu kandidat.
Pada posisi ini, Tabloid Obor Rakyat—yang notabene media dianggap telah
menciderai pondasi demokrasi. Terlebih menyinggung soal kebebasan pers di
Indonesia. Obor Rakyat seakan memanfaatkan kebebasan pers untuk melakukan
sebuah bentuk kejahatan yang menyerang pada satu kelompok masyarakat. Belum
lagi menyangkut soal pemilihan umum yang merupakan latar waktu Tabloid Obor
Rakyat dalam melakukan aksinya. Terbitan itu diduga mengkerdilkan dan menyerang
salah satu kandidat dengan mengkonstruksi realitas yang ada.
Pada artikel lain yang ditulis oleh Atmakusumah, pengamat pers mengatakan
bahwa Obor Rakyat merupakan persoalan kebangsaan karena memberitakan
menyangkut anti salah satu agama dan ras. Seperti yang dikutip dari tulisan kolom
Opini KOMPAS cetak pada 3 Juli 2014, yakni:
“Uraian dalam tulisan-tulisan Obor Rakyat yang bernuansa anti-Tionghoa
dan anti-non-Muslim menyangkut persoalan kebangsaan yang dibangun oleh
para pejuang kemerdekaan kita sejak jauh sebelum Indonesia merdeka, yaitu
bahwa kita dipersatukan tanpa memperbedakan asal-usul suku dan ras serta
agama dan kepercayaan.”
Atmakusumah dalam tulisannya memerhatikan dengan rinci bagaimana
konten yang dihasilkan oleh Tabloid Obor Rakyat. Misalnya Atmakusumah
mengkritisi bagaimana Tabloid Obor Rakyat membangun nuasa anti-Tionghoa dan
anti-non-Muslim. Dua hal ini tentu sudah menjadi bagian yang rentan dan bersifat
sensitif. Pasalnya dua hal itu menyangkut kebudayaan dan kepercayaan yang dianut
sebagian masyarakat Indonesia. Belum lagi, pembangunan nuansa anti kedua hal
itu—mempertaruhkan keutuhan bangsa Indonesia. Tak ayal, Tabloid Obor Rakyat
dianggap oleh sebagaian pihak melakukan kejahatan.

4.2 Ideologi kebencian di Tabloid Obor Rakyat


Ideologi dapat digunakan untuk melegitimasi kekuatan politik yang dominan.
Pelegitimasian itu dilakukan dengan menebarkan ide-ide atau paham-paham yang

Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
  51

memberikan pembenaran terhadap sebuah tindakan. Kekuatan politik dan cara


penebaran tidak akan diperhatikan, artinya ia bisa berupa negatif. Misalnya, ideologi
bisa menempatkan subjek pada posisi tertentu. Posisi itu bisa berupa banyak makna
dan tidak terbatas pada hal-hal yang baik. Sehingga menempatkan posisi subjek pada
posisi kebencian adalah suatu hal yang tidak dapat terbantahkan. Kemungkinan itu
besar, sejauh ideologi yang merupakan sekumpulan ide atau pikiran itu tidak
dipahami secara mendalam.
Menurut Cahyadi (2005) ada empat aspek dari pemikiran ideologi menurut
Althusser, yaitu: 1) secara umum, ideologi berfungsi untuk mengkonstitusi subjek;
2) ideologi sebagai pemahaman yang dihayati tidaklah palsu/keliru; 3) ideologi
sebagai kesalahpahaman tentang kondisi-kondisi eksistensi yang real adalah palsu;
4) ideologi terlibat dalam reproduksi formasi-formasi sosial dan relasi-relasi
kekuasaan (Putranto, 2009, hal 18).
Berakar dari pemahaman ideologi Althusser dapat dilihat bahwa ideologi
sebenarnya membentuk subjek dengan realitas semu. Misalnya soal mengkonstitusi
subjek, ideologi membentuk subjek menjadi hal yang berbeda dengan membangun
kenyataan sosial yang ada di masyakarat. Sehingga, subjek tersebut nantinya akan
sesuai dengan ideologi yang ditanamkan.
Dengan usahanya membentuk subjek, maka ideologi juga berperan dalam
mereproduksi formasi-formasi dan relasi-relasi kekuasaan. Hal ini berguna untuk
lebih menumbuhkembangkan ideologi tersebut pada tingkat realitas masyarakat
secara umum. Eagleton (1991) menjelaskan ideologi tidak dapat terhindarkan dari
proses produksi makna-makna, tanda-tanda dan nilai-nilai dalam kehidupan sosial.
Sehingga dapat dilihat bagaimana kekuasaan itu bisa terus ada jika ideologi yang
menaunginya terus diproduksi dan dilegitimasi.
Seperti yang diungkapkan oleh Althusser, bahwa ideologi menghantar kita
masuk ke dalam dunia simbolik (bahasa), dengan demikian ideologi mengkonstitusi
subjek (Putranto, 2009, hal 18-19). Ideologi dapat membentuk subjek menjadi
keinginan dari si pemilik ideologi tersebut. Lewat simbol elit, salah satunya politisi—
maka dapat dengan jelas terlihat bahwa ideologi kebencian terhadap lawan politik

    Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
52  

akan disebarluaskan. Penyebaran ideologi tersebut menggunakan media massa. Van


Dijk (2008) mengatakan ideologi rasis itu dilanggengkan lewat praktik-praktik media.
Politsi sebagai simbol elit akan menggunakan statusnya untuk melegitimasi ucapan
mereka. Apa yang terucap dan terekam dalam media massa akan terkesan membentuk
sebuah realitas kebenaran yang mutlak. Paham kebencian yang disebarkan politisi
terhadap lawan politiknya saat pemilihan presiden akan terlihat kebenaran, meskipun
pada dasarnya hal itu tidak didukung oleh fakta yang benar.
Wacana media massa bisa dikatakan ideologis jika dalam praktek
pemberitaannya berpihak (parsial). Pemihakan itu bisa berupa pemberitaan yang
miring atau berat sebelah, baik sisi negatif atapun positif. Dalam hal ini wacana
bersifat ideologis karena sifatnya yang berpihak (parsial). Sehingga dapat dipahami
bahwa cara memahami dunia yang tidak complete ini berfungsi untuk mereproduksi
tatanan sosial dan memenuhi keinginan-keinginan dari kelas yang berkuasa (Putranto,
2009, hal 19). Penebar ideologi hanya perlu menyajikan realitas yang tidak lengkap,
kemudian ia bisa mengkonstruksikannya menjadi sesuatu yang baru atau dapat
memelintrikan fakta itu menjadi sebuah wacana baru, salah satunya kebencian.
Ideologi pada penulisan ini membahas ideologi kebencian yang berusaha
ditanamkan oleh Tabloid Obor Rakyat terhadap Joko Widodo dan Jusuf Kalla saat
pemilihan presiden. Kebencian tersebut mengarah pada Joko Widodo dan Jusuf Kalla
di pemilihan presiden. Sehingga, subjek dalam arahan tulisan tersebut terkesan
berbentuk kebencian. Ideologi tersebut dapat direproduksi lewat praktik-praktik yang
tersebar di dalam masyarakat. Salah satunya lewat media massa.
Moss (1999) dalam konteks media massa menjelaskan bahwa wacana media
massa merupakan konstruk kultural yang dihasilkan oleh ideologi. Karena itu, berita
dalam media massa menggunakan frame atau kerangka tertentu untuk memahami
realitas sosial (Muslich, 2008, hal 154). Wacana sendiri dalam pengertian Althusser
mengacu pada produksi pengetahuan lewat bahasa yang memberikan makna terhadap
objek-objek material dan praktek-praktek sosial (Putranto, 2009, hal 19). Patut
dipahami bahwa ideologi disajikan dan umumnya direproduksi dalam praktek-

Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
  53

praktek sosial, dan lebih khusus diperoleh, dikonfirmasi, diubah dan dilestarikan
melalui wacana (Van Dijk T. A., 2006).
Wacana tidak tergambarkan sebagai sesuatu yang murni. Ia membentuk dan
dibentuk. Misalnya, wacana melestarikan ideologi dengan jalannya sendiri lewat
konfirmasi dan pengubahan di beberapa titik. Media massa yang biasa bergulat
dengan wacana paham betul tugasnya untuk bisa menyampaikan pesannya lewat
wacana. Misalnya, dalam penelitian Van Dijk (2008) ia mempermasalahkan
mengenai ideologi rasis yang digunakan El Pais, koran spanyol, dalam
pemberitaanya tentang Evo Morales, kandidat presiden di Bolivia tahun 2005. Van
Dijk, melihat bahwa ada kecenderungan yang negatif dari El Pais dalam mebahas
Evo Morales. Salah satunya dengan menyebut Evo Morales sebagai ‘indio’. Di mana
‘indio’ sendiri dimaknai oleh Latin America sebagai pencemaran nama baik,
perkataan rasis dan masyarakat pribumi yang memiliki banyak karakteristik negatif.
Meskipun terdapat beberapa perbedaan sejarah politik tertentu dan hubungan
ras yang rumit di negara-negara Amerika Latin, hampir semua dari negara-negara
Amerika Latin menganggap istilah 'indio' sebagai terminologi menghina. Masyarakat
latin yang diiberikan label sebagai ‘indio’ seringkali menjadi korban, terpinggirkan
dan didiskriminasi (Cohen, 2003, hal 48). Hal inilah yang kemudian membuat
terminologi ‘indio’ sebenarnya bernada negatif pada Evo Morales dalam suratkabar
El Pais.
Selain itu, pada penelitian Romadlan (2000) kemudian membuat dua kategori
di dua media massa, Harian Kompas dan Harian Republika, yakni ‘Nasionalis’ dan
‘Islam’ . Dalam pandangan dua ideologi, kemudian media mengkonstruksikan partai
dalam pemilihan umum 1999 dengan berbeda-beda. Kompas yang melakukan
pemberitaan positif dengan partai yang berbasis Nasionalis seperti PDI-Perjuangan.
Lalu, Republika memberitakan sebaliknya, melakukan pemberitaan negatif terhadap
PDI-Perjuangan. Dasar dari tindakan itu lebih pada perbedaan pandangan.
Penelitian ini lebih memperlihatkan bagaimana konteks ekonomi (Kompas )
dan agama (Harian Republika) memainkan peranan dalam pemberitaannya pada
pemilihan umum 1999. Pada dasarnya tdeologi tidak hanya disebabkan oleh sistem

    Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
54  

ekonomi saja, tetapi ditanamkan secara mendalam pada semua kegiatan


masyarakat—termasuk media massa. Jadi, ideologi tidak dipaksakan oleh salah satu
kelompok kepada yang lain, tetapi bersifat persuasif dan tidak sadar. Ideologi yang
dominan menghidupkan minat golongan tertentu atas golongan lain, dan media jelas-
jelas mmainkan peran yang besar dalam proses ini (Putranto, 2009, hal 19).
Dua penelitian di atas belum bisa menggambarkan secara utuh faktor politik
yang dapat memengaruhi munculnya ideologi kebencian. Keduanya masih berkutat
dalam konteks perpesktif ideologi rasis (Van Dijk), agama (Harian Republika) dan
ekonomi (Harian Kompas). Sehingga bisa dilihat sebenarnya kealfaan konteks politik
yang mengarah pada kebencian bisa tergambarkan lewat pemberitaan Tabloid Obor
Rakyat. Penulis beranggapan Tabloid Obor Rakyat memiliki faktor politik dalam
melakukan penebaran kebencian pada Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
Pesan kebencian diselipkan oleh media lewat pemberitaannya. Sehingga
kebencian tersebut tidak terlihat sebagai sesuatu yang salah dan dapat terinternalisasi
dengan baik pada masyarakat yang kemudian pada akhirnya berbuah ideologi
kebencian. Penerbitan Tabloid Obor Rakyat bisa dikategorikan sebagai pelestarian
ideologi kebencian terhadap salah satu pihak, dalam hal ini Joko Widodo dan Jusuf
Kalla sebagai kandidat presiden. Dari penjelasan secara singkat mengenai tanggapan
tentang Tabloid Obor Rakyat, dapat dilihat bagaimana sebenarnya representasi isi
dari Tabloid Obor Rakyat mengarah pada penyerangan terhadap Joko Widodo dan
Jusuf Kalla.
Tabloid Obor Rakyat dibangun berdasarkan prasangka negatif terhadap Joko
Widodo dan Jusuf Kalla. Adanya anggapan ini sebenarnya penegasan kembali
sebagai anggapan yang digunakan Tabloid Obor Rakyat dalam pemberitaannya.
Dugaan tak berdasar ini bisa dilihat dari bagaimana pembangunan opini yang
dilakukan Tabloid Obor Rakyat. Misal, dalam pemberitaannya mengenai Joko
Widodo yang berdarah Tionghoa. Tabloid Obor Rakyat selain menebar kebencian
pada Joko Widodo, juga menaruh unsur Cina sebagai komponen yang perlu
dipertimbangkan dalam menilai Joko Widodo. Komponen ini jelas dibangun dengan

Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
  55

anggapan negatif. Di mana etnis Tionghoa merupakan etnis yang dapat


mengkhawatirkan banyak orang.
Berita yang ditulis Tabloid Obor Rakyat edisi 2 (12-18 Mei 2014), artikel
dengan judul ‘Jokowi Presiden, Sembilan Naga Merajalela’, berita tersebut salah
satunya mengatakan, “Banyak penguasan keturunan Cina yang berada di belakang
Jokowi, mengkhawatirkan banyak orang.” Masih dalam artikel yang sama, Tabloid
Obor Rakyat menuduh Jokowi dibiayai oleh salah satu anggota Geng Sembilan Naga
(Gang of Nine), “Bahkan, kabarnya, beberapa anggota Sembilan Naga atau Gang of
Nine, ikut membiayai pencapresan Jokowi. Gang of Nine adalah istilah yang sering
dipakai di era Orde Baru. Mereka adalah penguasaha Indonesia, yang kebanyakan
keturunan Cina.” Geng Sembilan Naga digambarkan oleh Tabloid Obor Rakyat
dengan menjalankan bisnis yang terlarang, beberapa diantaranya adalah judi dan obat
terlarang. Artikel ini juga mengasumsikan penguasa membekingi usaha yang
dilakukan oleh Geng Sembilan Naga ini.
Thompson (1990) mengatakan dalam ideologi ada sebuah cara-cara
pemaknaan dalam membangun dan mempertahankan hubungan dominasi (Takwin,
2009, hal 106). Memaknai sesutau dengan cara tertentu misalnya dengan
menafsirkannya lewat media massa bentuk penting untuk membangun kejahatan
kebencian. Ideologi yang disusupkan bertujuan untuk dipertahankan guna
memperkokoh hubungan dominasi antara pelaku kebencian dan korban kejahatan
kebencian itu sendiri. Tabloid Obor Rakyat dengan menurunkan pemberitaan yang
menyebut kampanye Joko Widodo didanai oleh Gang of Nine, kumpulan pengusaha
Indonesia yang keturunan Cina—adalah hasil dari pemaknaan itu sendiri.
Takwin (2009) yang menjelaskan pemikiran Thompson tentang ideologi
bagian dari bahasa mengatakan bahwa kegiatan pemaknaan yang menghasilkan
makna-makna tertentu sesuai dengan kepentingan dominasi menjadi vital dalam
penyebaran ideologi. Makna yang dimaksud di sini adalah makna dalam bentuk-
bentuk simbolik yang berada dalam konteks sosial dan beredar dalam dunia sosial
(hal 106). Bentuk-bentuk simbolik yang dimunculkan di sini adalah Joko Widodo,
gang of nine, dan keturunan Cina. Namun simbolik itu dapat terlihat dibangun untuk

    Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
56  

membentuk opini publik ke arah negatif. Baik Joko Widodo, gang of nine dan
keturunan Cina dipersepsikan akan membawa kehancuran bagi masyarakat. Salah
satu usaha persepsi itu dibangun lewat kalimat “..mengkhawatirkan banyak orang.”
Perlu dipahami bahwa ideologi yang tampil dalam bahasa dan
direpresentasikan lewat simbol-simbol tidak pernah secara sadar terlihat sebagai
sesuatu yang salah. Takwin (2009) menjelaskan bentuk-bentuk simbolik tampil dalam
berbagai tindakan dan ucapan, citra non linguistik (image) yang dipadukan dengan
elemen linguistik seperti dalam iklan dan teks yang diproduksi oleh individu-individu
serta dipahami oleh mereka sendiri dan orang lain sebagai hal yang bermakna (hal
106). Pemahaman ini sebenarnya berkaitan erat jika ingin mengaitkan dengan
penjelasan di paragraf sebelumnya—menyoal kegiatan Tabloid Obor Rakyat yang
berusaha mengkonstruksikan kebencian pada Joko Widodo lewat isu-isu SARA.
Kebencian itu diproduksi lewat pemberitaan-pemberitaan yang merugikan bagi Joko
Widodo.
Penggunaan isu SARA sebagai bagian penebaran ideologi kebencian
merupakan hal yang dapat dilihat jelas dalam artikel tersebut. Tabloid Obor Rakyat
tidak segan menuduh Jokowi didukung lingkaran Cina yang berujung pada
membahayakan stabilitas ekonomi nasional. Orang keturunan Cina dalam artikel ini
digambarkan memiliki niatan buruk untuk mengeruk kekayaan Indonesia. Hal itu bisa
terjadi jika, menurut Tabloid Obor Rakyat, Jokowi menjadi presiden.
Perlu dilihat secara mendasar, ungkapan mengkhawatirkan banyak orang pada
kutipan pertama tersebut sengaja disematkan sebagai bagian yang dianggap penting.
Pembaca akan merasa bagaimana pengaruh keturunan Cina itu dapat memberikan
efek negatif pada orang banyak. Salah satunya dengan keterlibatan mereka dengan
Jokowi yang saat itu menjadi kandidat presiden pada pemilu 2014 silam. Konstruksi
yang tidak mendasar itu dibangun untuk mengaburkan wacana yang sebenarnya dari
etnis Tionghoa.
Althusser menjelaskan ideologi sebagai sebuah ‘representasi’ relasi individu
imajiner pada kondisi nyata dari eksistensinya. Artinya, ideologi kebencian yang
ditebarkan oleh Tabloid Obor Rakyat dengan menggunakan komponen anti-Tionghoa

Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
  57

bukan merupakan kondisi nyata dari eksistensinya. Hal tersebut merupakan sebuah
realitas semu yang tak mendasar. Tabloid Obor Rakyat kemudian melibatkannya
dengan Geng Sembilan Naga yang sebenarnya tidak ada fakta yang mendukung.
Secara keseluruhan artikel tersebut tidak menyebut satu nama dan keterkaitan secara
langsung antara Jokowi dan Geng Sembilan Naga yang dianggap pengusaha
keturunan etnis Tionghoa.
Dengan kata lain, menurut Althusser (2008), jika ideologi tidak berhubungan
dengan realitas, yakni bahwa mereka adalah ilusi, kita mengakui pula bahwa ideologi
sungguh-sungguh membisikkan sebuah kiasan tentang realitas, mereka hanya perlu
‘ditafsirkan’ untuk mengungkapkan realitas dunia di balik representasi dunia itu (hal
39). Dari pemahaman ini dapat digambarkan sebenarnya Althusser menekankan pada
aktivitas penafsiran tersebut. Penafsiran tersebut bisa saja menghasilkan relasi yang
mendistorsi imajiner representasi ideologis dari dunia nyata.
Althusser menjelaskan relasi yang berbentuk pemberitaan dapat mengurangi
representasi ilusi ideologis dari dunia nyata—atau malah sebaliknya. Ia bisa membuat
representasi ideologis yang imajiner dari dunia nyata terbangun dan memiliki posisi
penting di masyarakat. Itulah yang kemudian, pemberitaan Joko Widodo tentang
penggambaranya yang berhubungan erat dengan kaum Cina di dalam Tabloid Obor
Rakyat digambarkan sebagai representasi imajiner ideologi kebencian. Konteksnya
dapat dilihat—representasi tersebut membentuk kebencian sendiri pada masyarakat
secara umumnya. Althusser (2008) percaya bahwa ideologi adalah kekosongan,
kecuali dengan fungsionalisasinya dalam bentuk-bentuk eksistensi material dan
fungsionalisasi itu. Maksudnya, ideologi akan berfungsi jika diisi oleh pemahaman-
pemahaman mengenai realitas semu di dalamnya.
Dari realitas tersebut, pada fenomena penggambaran ideologi kebencian yang
dilakukan Tabloid Obor Rakyat terhadap Joko Widodo merupakan usaha tafsiran
yang hendak disampaikan sebagai realitas. Di mana tafisiran itu menjelaskan
pengusaha keturunan etnis Tionghoa memiliki niat buruk yang kemudian
bekerjasama dengan kandidat presiden Joko Widodo. Hubungan keduanya dianggap

    Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
58  

sebagai representasi negatif yang tidak layak pilih. Joko Widodo dan etnis Tionghoa
dianggap merupakan ancaman bagi masyarakat.
Usaha penafsiran realitas atas ideologi kebencian itu sebenarnya tak lepas dari
pola pikir masyarakat yang sudah ada di masyarakat. Pola pikir yang sudah
mendalam tersebut terbentuk lewat habitus. Bourdieu dan Althusser sendiri memiliki
persamaan persepsi mengenai ideologi dan habitus—di mana keduanya merupakan
hasil internalisasi yang tidak disadari secara mendalam (profoundly unconcious).
Eagleton (1991) sendiri pernah menyebut bahwa habitus sebagai ketidaksadaran
kultural, yakni pengaruh sejarah yang tak secara sadar dianggap alamiah. Sehingga
jika berkaitan dengan ideologi kebencian yang berusaha disebarkan di Tabloid Obor
Rakyat—maka sebenarnya Tabloid Obor Rakyat memanfaatkan kesadaran
masyarakat yang tidak terlalu mendalam untuk lebih memahami sebuah isu.
Penjelasan Bourdieu, habitus bisa dikatakan sebagai sktruktur kognitif yang
memperantarai individu dalam berurusan dengan realitas sosial (Takwin, 2009, hal
114). Struktur kognitif ini bentuk usaha penafsiran realitas sosial. Pemahaman
terhadap realitas sosial ini bisa menjadikan habitus kebencian pada etnis Tionghoa.
Selain itu, kebencian tersebut juga dibangun terhadap Joko Widodo dan Jusuf Kalla
sebagai kandidat presiden pada pemilu 2014. Penafsiran kebencian atas kedua
kelompok tersebut bisa jadi sebagai struktur kognitif, di mana nantinya akan
membentuk realitas sosial baru—kebencian.

4.2 Propaganda Kejahatan Kebencian dan Kuasa Simbolik di Tabloid Obor


Rakyat
Penyemaian ideologi dalam surat kabar sebenarnya tidak terlepas dari
perebutan kekuasaan. Ideologi tidak murni ditanamkan tanpa ada maksud tertentu.
Ideologi yang sudah terbentuk di masyarakat nantinya akan lebih dimasifkan
keberadaannya lewat propaganda. Kebencian yang diselipkan dalam propaganda ini
disebut sebagai propaganda kebencian. Sebuah usaha untuk lebih mempercepat usaha
untuk penebaran kebencian.

Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
  59

Propaganda kebencian memerlukan sebuah kuasa untuk dilegitimasi.


Sekalipun ideologi sudah bersifat legitimasi kekuasaan, setidaknya perlu sebuah
kuasa yang merepresentasikan simbol utuk membentuk realitas semu. Simbol-simbol
itu bisa berupa bahasa atau pun gambar yang memiliki sifat mudah dipahami oleh
masyarakat. Selain itu, simbol itu juga digunakan masyarakat untuk berkomunikasi
sehari-hari.
Propaganda didefinisikan sebagai penyebaran ide dan pendapat bias, biasanya
dengan menggunakan sesuatu yang bohong dan curang (Pratkanis & Aronson, 2010,
hal 8). Pemahaman ini merujuk pada substansi ide dan pendapat tersebut merupakan
suatu realitas yang semu. Pemahaman atas realitas semua itu bukan kebenaran yang
mutlak, maka masyarakat dalam memaknai propaganda yang cenderung negatif akan
terjebak pada realitas yang direpresentasikan propaganda.
Propaganda membuat kenyataan yang sebenarnya menjadi kabur dan tidak
memiliki keterkaitan erat dengan materi yang dipropagandakan. Sehingga, materi ide
dan substansi propaganda itu terinternalisasi dalam masyarakat. Dalam dunia politik,
propaganda dilakukan untuk menyampaikan pesan politik dan mempengaruhi lawan
politik. Dengan propaganda diharapkan lawan politik terdesak sehingga menimbulkan
citra yang kurang baik di masyarakat (Maydini, 2005, hal 33).
Menebarkan pesan politik dan memengaruhi lawan politik yang digagas oleh
propaganda tidak terlepas dari elemen kebencian yang ada di dalamnya. Propaganda
politik tersebut nantinya akan menyudutkan lawan politik dengan mencitrakan negatif
bagi lawan politiknya. Citra tersebut nantinya akan dipahami oleh masyarakat sebagai
suatu hal yang nyata. Dengan kata lain, bisa disebutkan sebagai usaha untuk
memengaruhi sikap banyak orang.
Qualter (1985) mendefinisikan propaganda sebagai beberapa usaha
penyebaran untuk memengaruhi banyak sikap dan perilaku oleh manipulasi
komunikasi simbolik (Wring, 1996, hal 5). Satu hal yang menarik dalam anggapan
tersebut adalah komunikasi simbolik. Adanya konsep simbolik yang muncul dalam
bentuk komunikasi itu merupakan satu penegasan adanya kekuatan simbol. Kekuatan

    Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
60  

simbol itu digunakan untuk memanipulasi masyarakat pada umumnya sehingga


propaganda tersebut dapat diterima dengan baik.
Merepresentasikan realitas lewat simbol bisa dkaitkan dengan usaha untuk
mengaburkan realitas yang sebenarnya. Simbol itu bisa dalam bentuk banyak hal
salah satunya adalah bahasa. Sistem representasi (dalam bentuk simbol) tak selalu
menampakan realitas sebenarnya, ia juga bereran membelokkan makna tanda
(Fahsri, 2014, hal 21-22). Propaganda dengan kekuatan simbol merupakan usaha
untuk mengaburkan realitas sebenarnya. Lewat simbol, suatu materi propaganda
politik misalnya akan dapat diinternalisasi dengan baik oleh masyarakat. Karena,
masyarakat secara tidak langsung disuguhi oleh definisi simbol yang digagas oleh
propaganda.
Propaganda tentunya bisa dilakukan dengan cara beragam. Dalam bentuk
tulisan, propaganda biasanya menggunakan poster dan selebaran, sedangkan dalam
media seperti suratkabar, propaganda digunakan dengan membuat kalimat-kalimat,
simbol-simbol bahasa yang digunakan untuk memojokkan lawan secara psikologis
atau juga dapat mengangkat posisi kandidat tertentu yang menyebabkan timbulnya
tekanan psikologis bagi partai lawan (Maydini, 2005, hal 33). Selain itu, propaganda
simbolik tersebut nantinya akan membentuk sebuah tatanan yang seragam. Bourdieu
(1991) mengungkapkan dalam sintesisnya yang pertama bahwa kekuasaan simbolik
merupakan kekuasaan yang mengkonstruksi realitas melalui tatanan gneosological,
sebuah pemaknaan mengenai sekelompok orang atau dunia sosial (hal 166).
Dalam berita yang ditulis Tabloid Obor Rakyat edisi 2 (12-18 Mei 2014),
artikel dengan judul ‘Jokowi Presiden, Sembilan Naga Merajalela’, berita tersebut
salah satunya mengutip KH. A Cholil Ridwan, Lc, ketua MUI saat itu yang
mengatakan, “Jika nanti Jokowi Presiden, maka etnis Cina akan lebih leluasa
menguasai perdagangan, bisnis dan perekonomian. Jika ini sampai terjadi, maka
dampaknya akan sangat mengerikan.”
Melihat pemberitaan tersebut bisa dilihat bagaimana anggapan negatif yang
dibangun oleh Tabloid Obor Rakyat. Salah satunya dengan menggunakan opini salah
satu tokoh. Pembangunan opini terhadap sesuatu yang dianggap realitas sosial bisa

Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
  61

menjadi tolok ukur untuk satu masalah. Opini tersebut terkadang dianggap sebagai
pembenar dan menjadi acuan bagi setiap orang. Terlebih jika opini tersebut
disebarluaskan lewat media massa.
Status dari pembuat opini juga bisa menjadi sumbangan penting untuk lebih
menegaskan kembali kuasa yang muncul atas pembentukan opini tersebut. Sehingga
dengan kata lain, adanya status dari pembuat opini bisa memberikan pandangan
pembaca untuk mempercayai perkataan dari pembuat opini. Misal yang disebutkan
oleh Ketua MUI, Kholil Ridwan—secara tidak langsung organisasi yang mewakili
basis massa Islam—bisa menggiring opini dari masyarakat Islam khususnya untuk
setuju dengan pendapat Ketua MUI tersebut dalam hal pandangan tentang etnis Cina
dan Joko Widodo.
Kholil membuat pernyataan yang menyudutkan suatu kelompok tertentu,
yakni etnis Cina. Ia menganggap dengan adanya etnis Cina di kubu Joko Widodo,
maka nantinya setiap aspek di lini pemerintahan, mulai dari perdagangan, bisnis dan
perekonomian akan dikuasai oleh kroni-kroni Cina. Sehingga, tidak ada sisa bagi
kaum Islam atau pribumi untuk bisa bertahan dalam lini tersebut. Ketidakberdayaan
ini kemudian dianggap oleh Kholil sebagai dampak yang mengerikan.
Berita lain yang kemudian menunjukkan adanya propaganda dan kuasa
simbolik yakni headline Tabloid Obor Rakyat yang menyebutkan PDIP sebagai Partai
Salib. Konteks salib di sini merujuk pada agama Kristen yang menggunakan salib
sebagai simbol agamanya. PDIP dianggap sebagai partai yang didukung oleh banyak
kalangan Kristen. Namun, dukungan ini dipelintir oleh Tabloid Obor Rakyat sebagai
sesuatu yang dianggap berbahaya. Dalam berita lanjutannya di halaman 3, Tabloid
Obor Rakyat memberikan judul ‘Partai Salib’ Pro Jokowi’. Keberadaan simbol salib
yang dikaitkan dengan Kristen kemudian dihadapkan pada realitas semu yang
menganggap bahwa sering berhadapan dengan aspirasi umat Islam.
Tabloid Obor Rakyat dalam artikel tersebut membuat kesewenang-wenangan
dengan membuat ciri sendiri terhadap PDIP, yakni ‘Dari sejarahnya, PDI
Perjuangan dibentuk sebagai wadah aspirasi kelompok Kristen. Di parlemen pun
sering berhadapan dengan aspirasi umat Islam’. Dari penggalan pemberitaan

    Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
62  

tersebut dapat kita lihat bagaiamana agama Kristen dipertentangan dengan agama
Islam. Keduanya dianggap saling bersebrangan. Sehingga, dengan asumsi bahwa
agama PDI Perjuangan yang didukung agama Kristen akan memberikan dampak
negatif terhadap umat Islam. Dengan kata lain, tidak mengakomodir kepentingan
Islam. Simbol salib yang dipakai oleh Tabloid Obor Rakyat digunakan untuk
melegitimasi bahwa umat Kristen yang dibalik PDI Perjuangan berusaha menguasai
Indonesia dan memberikan dampak buruk bagi umat Islam.
Pembangunan opini yang samar dengan memberikan pendapat dampak yang
mengerikan bisa diartikan sebagai prasangka yang tidak berdasar. Hal ini dilihat dari
asumsi dampak yang tidak didukung oleh fakta awal. Dalam tulisan di artikel ini,
Tabloid Obor Rakyat tidak menyajikan fakta secara lengkap. Sehingga ini terkesan
sebagai artikel yang bias. Adanya usaha penempatan kaum non-muslim sebagai
kelompok yang negatif dan tidak layak pilih oleh masyarakat Islam merupakan
bagian dari pemaksaan simbol.
Bourdieu menyebut pola tersebut sebagi praktik kekerasan simbolik. Adanya
pemaksaan sistem simbolisme dan makna terhadap kelompok atau kelas sedemikian
rupa sehingga hal itu dialami sebagai sesuatu yang sah (Jenkins, 2013, hal 157).
Selain itu, ada bahasa ya penggunaan bahasa sebagai instrumen untuk mendominasi.
Dominasi simbolik secara tidak langsung memasukan kekuasaan simbolik sebagai
bentuk kekuasaan yang membuat orang mengenali dan memercayai, serta
memperkuat dan mengubah pandangan mengenai dunia (Fahsri, 2014, hal 122).
Bourdieu berpandangan bahwa bahasa bagian dari cara hidup sebuah kelompok sosial
dan secara esensial memberikan layanan bagi tercapainya tujuan-tujuan praktis
(Snook, 2009, hal 203).
Romadlan (2000) dalam tesisnya juga pernah memperlihatkan bagaimana
Harian Republika memperlihatkan PDI Perjuangan sebagai partai yang dipenuhi oleh
caleg-caleg non-muslim. Selain itu, Harian Republika juga berani mencatut
pernyataan dari Hamzah Haz sebagai Ketua Umum PPP yang menyerukan untuk
tidak memilih caleg non-muslim. “Hijau PPP Sejukkan Jakarta, Hamzah: Umat
Islam Jangan Pilih Caleg Non-Muslim” (26/5/99).

Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
  63

Praktik kebencian yang ditampilkan oleh Tabloid Obor Rakyat tidak hanya
berhenti sampai penggunaan isu Joko Widodo dan Jusuf Kalla semata. Tabloid Obor
Rakyat juga menebar kebencian terhadap Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua
Umum PDI Perjuangan yang dianggap berpenampilan tidak Islami. Tabloid Obor
Rakyat salah satunya menyebutkan bahwa penampilan Mega tidak pernah
menggunakan busana muslim, kecuali pada acara keagamaan. Konstruksi ini dapat
dilihat bahwa ada dominasi simbolik dari ungkapan tersebut. Busana muslim menjadi
patokan untuk menilai seseorang. Sehingga, dengan munculnya dominasi simbolik
itu—Megawati dibentuk dengan kebencian karena tidak menggunakan busana
muslim.
Penyimbolan dengan membentuk suatu realitas baru dibangun berdasarkan
banyak perilaku. Barak (1994) menjelaskan bahwa symbolic punishment didapat
melewati pelabelan atau stigmatisasi atau sifat antisosial, pelanggar dan kejahatan itu
sendiri. Biasanya, terkadang tindakan penyimbolan ini bisa bersifat terus terang, atau
tidak kentara (hal 13). Dengan kata lain penyimbolan terhadap Megawati misalnya
yang tidak memakai busana muslim—dibangun dengan stigmatisasi bahwa busana
muslim bagi perempuan adalah wajib dan jika tidak menggunakannya tidak Islami.
Selain itu, pembangun opini yang kentara dalam artikel ini, menyiratkan ada
bentuk kuasa yang ditanamkan. Secara tidak langsung kuasa tersebut dibangun lewat
simbol-simbol yang mencitrakan sesuatu dan mudah dicerna oleh sebagian pihak.
Simbol-simbol itu berupa Partai Salib, Sembilan Naga, busana muslim—sehingga
simbol tersebut terkesan mendominasi dan membentuk realitas baru. Pada dasarnya
ideologi meresap dalam diri seseorang melaui bahasa (Takwin, 2009, hal 106).
Ideologi kebencian yang kemudian disamarkan lewat bahasa itu sebenarnya bagian
dari penyebaran ideologi itu sendiri. Ia masuk dalam sendi-sendi bahasa yang tidak
terlihat sebagai ideologi kebencian. Melainkan bentuk praktik yang dianggap sah.
Bahasa lah yang kemudian menjadi instrumen penting dalam kuasa
pembentukan ideologi kebencian lewat media massa. Bourdieu sendiri menyebut hal
tersebut sebagai kuasa simbolik—dimana ada kuasa dalam menentukan instrumen
pengetahuan dan ekspresi kenyataan sosial secara sewenang-wenang—yang

    Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
64  

kemudian kesewenangan itu tidak disadari atau dianggap sah. Dengan kata lain
menurut Barak (1994) bahwa hasil dari proses kebijakan simbolik yang dilakukan
oleh media adalah penyelesaian konflik jangka pendek dan mengontrol ketertiban
umum untuk kepentingan utama dari status quo (penguasa). Tentu, lewat Tabloid
Obor Rakyat—kekuasan dibaliknya berusaha mengontrol Joko Widodo dan Jusuf
Kalla lewat pemberitannya yang mengarahkan pada simbol-simbol kebencian.

4.3. Habitus Politik Kebencian di Tabloid Obor Rakyat


Propaganda dan kuasa simbolik yang dilakukan media massa saat pemilihan
umum membentuk perilaku sendiri pada media tersebut. Perilaku tersebut dapat
tercermin dengan pola pemberitaannya yang merepresentasikan pandangan negatif
pada salah satu kelompok. Partai politik yang tidak disukai media massa tersebut
biasanya akan diberitakan dengan nada negatif. Konstruksi negatif pada salah satu
kelompok menjadi sebuah sistem yang melekat. Sistem itu disebut sebagai habitus
kebencian politik media.
Politik media sebenarnya tercermin lewat pola pemberitannya. Saat pemilihan
umum, pola tersebut semakin kentara dengan keberpihakan media. Keberpigakan itu
sebenarnya tidak murni dari media itu sendiri. Aminah mengungkapkan terdapat 3
(tiga) pelaku dalam politik media, ialah politisi, jurnalis, dan orang-orang yang
digerakkan oleh dorongan (kepentingan) khusus. Bagi politisi, tujuan dari politik
media adalah dapat menggunakan komunitas massa untuk memobilisasi dukungan
publik yang mereka perlukan untuk memenangkan pemilihan umum dan memainkan
program mereka ketika duduk di ruangan kerja (hal 4).
Politik media bisa dikaitkan dengan bagaimana pilihan suatu media untuk
mengonstruksi partai dalam pemilu. Pilihan tersebut tidak lepas dari pertimbangan
persamaan ideologi. Mengacu pada pemikiran Bourdieu tentang habitus, maka tidak
akan lepas dari disposisi. Bourdieu sendiri memandang disposisi tidak lebih dari
sikap. Namun Jenkins (2013) memandang harus ada penafsiran lebih luas dari sikap,
yakni dengan memasukkan spektrum faktor kognitif dan afektif: pemikiran dan

Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
  65

perasaan. Dari konteks pemikiran dan perasaan itu maka memunculkan sebuah sikap
dalam melakukan proses pemberitaan dalam institusi media.
Dengan kata lain, kekuatan habitus juga dapat terbangun dari
ketidaklengkapan perilaku dan habituasi, bukan pada aturan dan prinsip yang
dipelajari secara sadar. Beberapa perilaku yang sesuai secara sosial diproduksi secara
rutin, tanpa acuan eksplisit kepada pengetahuan yang terkodifikasi (Jenkins, 2013, hal
109-110). Kertidaklengkapan perilaku dalam media massa misalnya saat pemberitaan
pemilihan umum merupakan bagian dari habitus media massa. Hal itu menjadi
kekuatan yang dimiliki media massa untuk melenggangkan habitus kejahatan
kebencian yang ingin ditebarkan. Secara tidak langsung, kekosongan perilaku dan
habituasi yang positif membuat berita di media massa tersebut cenderung mengarah
ke negatif.
Bourdieu (2011) menjelaskan habitus sebagai sistem disposisi terhadap suatu
praktik adalah basis objektif bagi perilaku-perilaku yang teratur; oleh karena itu, jadi
basis regularitas bentuk-bentuk praktik. Namun, perlu dipahami bahwa
kecenderungan bertindak dengan cara yang biasa dan teratur, yang ketika prinsipnya
dinyatakan secara eksplisit, dapat menjadi dasar perkiraan tidaklah didasarkan pada
peraturan yang eksplisit. Ini berarti bahwa bentuk perliku yang dilahirkan habitus
tidak memiliki regularitas sempurna seperti yang ada pada bentuk-bentuk perliku
yang diturunkan dari prinsip-prinsip legislasi: karena habitus terkait erat dengan hal-
hal yang masih kabur dan belum jelas (hal 101).
Tabloid Obor Rakyat edisi 1 (5-11 Mei 2014), di salah satu artikel yang
berjudul Jokowi Anak Tionghoa memberikan pemberitaan yang tidaklah jelas.
Pasalnya, pemberitaan tersebut mengarahkan pembaca yang menginterpretasi bahwa
Jokowi adalah keturunan Tionghoa. Salah satu alasannya, yakni ayah Jokowi yang
berganti nama dari Oey Hong Liong, penguasa Solo yang ganti nama menjadi
Nitimiharjo. Nama Jokowi pun dituduh sebagai Joko Oey.
Atas beredar tuduhannya tersebut, Jokowi pun membantahnya. Pernyataan
bantahan tersebut berisi, "Bapak saya itu asli dari desa, yakni Desa Karang Anyar
sekitar 30 kilometer dari Kota Solo, begitu juga ibu saya berasal dari Boyolali

    Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
66  

sekitar 30 kilometer pula dari Solo, dari Singapura mana" (antaranews.com,


25/5/2014). Selain itu, Titik Relawati, adik kandung Jokowi juga membantah hal
serupa, “Adik kandung calon presiden Joko Widodo atau Jokowi, Titik Relawati,
tegas membantah semua tuduhan yang berkaitan dengan agama dan keturunan
kakandanya. Perempuan berjilbab ini menegaskan dugaan yang menyebut Jokowi
keturunan Tionghoa adalah salah besar” (solopos.com, 25/5/2014).
Habitus politik media saat pemilihan umum seperti Tabloid Obor Rakyat
mengarahkan pada kejahatan kebencian. Dalam artikel di dalam Tabloid Obor Rakyat
tersebut sama sekali tidak ada verifikasi secara langsung terhadap Joko Widodo.
Tabloid Obor Rakyat malah mengandalkan sumber yang tidak dapat dipercaya dan
lebih menagarah pada opini. Habitus seperti ini merupakan pelestarian dari bentuk
kebencian yang ingin ditanamkan oleh Tabloid Obor Rakyat terhadap Joko Widodo.
Pemikiran Jenkins yang memaknai habitus menurut Bourdieu bahwa ada
ketidaklengkapan perilaku dan habituasi—dapat tergambar jelas dalam artikel
mengenai Joko Widodo di Tabloid Obor Rakyat. Tabloid Obor Rakyat tidak segan
menuduh Joko Widodo sebagai keturunan Tionghoa tanpa memakai acuan yang jelas
atau menurut Jenkins tidak berdasar acuan yang terkodifikasi. Pemaknaan acuan yang
terkodifikasi ini bisa mengarah pada kode etik dewan pers perihal acuan pemberitaan.
Penulisan berita harus seimbang (cover both side). Dengan kata lain, harus ada
pernyataan dari kedua belah pihak. Hal itu bisa dikatakan sebagai verifikasi. Pada
tingkat praktik, Tabloid Obor Rakyat tidak melakukan hal tersebut pada pemberitaan
Joko Widodo yang dituduh keturunan Tionghoa.
Selain itu, seperti yang dijelaskan oleh Jenkins (2013) terdapat tiga makna
dalam kaitannya dengan konsep esensi manusia. Pertama, dalam nalar yang
sederhana, habitus hanya ada selama ia ada ‘di dalam kepala’ aktor. Kedua, habitus
hanya ada di dalam, melalui dan disebabkan oleh praksis aktor dan interaksi antara
mereka dan dengan lingkungan yang melingkupinya. Ketiga, taksonomi praktis, di
mana seseorang disimbolkan (hal 108).

Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
  67

Gambar 4.1 Skema Habitus Jenkins

Ide   Interaksi   Penyimbolan  

Habitus  

Sumber: olahan penulis

Pada konsep yang pertama mengenai habitus yang ada selama ia ada di dalam
kepala aktor, maksudnya adalah habitus sudah tertanam cukup lama dalam kepala
aktor. Habitus kebencian misalnya yang sudah ada di dalam benak pembuat Tabloid
Obor Rakyat. Ini bisa tercermin dari pola pemberitaan Tabloid Obor Rakyat yang
mengarah pada kebencian terhadap Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai kandidat
presiden pemilu 2014. Dari empat edisi yang dikeluarkan oleh Tabloid Obor
Rakyat—semua edisi tersebut hampir menautkan Joko Widodo sebagai kandidat
presiden dengan isu yang negatif. Isu-isu kebencian yang berusaha ditebarkan, yakni
mulai dari etnis Tionghoa, non-muslim, anti-muslim, de-islamisasi, capres (calon
presiden) boneka, korupsi.
Barak (1994) mengatakan media tidak mencerminkan keragaman yang
semakin besar, media terus memberikan homogenitas, mainstream, dan versi realitas
yang seragam realitas serta cenderung menghindari kontroversi yang mendasar.
Konsistensi ini menurut Barak karena ketergantungan pemberitaan media pada
rutinitas jurnalistik yang saling berbagi satu sama lain—pada sumber berita dan
interaksi yang sama (hal 11). Konteks tersebut bisa kita gambarkan bagaimana Joko
Widodo dan Jusuf Kalla diberitakan dalam Tabloid Obor Rakyat. Pemberitaan yang

    Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
68  

dimunculkan tidak pernah bersifat positif pada keduanya—sehingga yang muncul


adalah sentimen kebencian lewat elemen-elemen kebencian yang ditempelkan.
Isu etnis Tionghoa misalnya, Tabloid Obor Rakyat tahu betul bahwa sentimen
anti-cina terus berkembang. Kartasasmita (2011) menyebutkan bahwa secara historis,
sentimen anti-Cina di Indonesia telah berkobar dari waktu ke waktu. Penjelasan yang
paling banyak diterima untuk alasan tidak suka terhadap minoritas ini adalah
kewirausahaan yang sukses dan menyebabkan pelebaran kesenjangan kekayaan yang
memisahkan penduduk asli (hal 1). Prasangka atas kesenjangan ekonomi ini membuat
sentimen anti-Cina terus berkembang. Begitu juga di dalam Tabloid Obor Rakyat
yang seakan-akan dipelihara dan terus direproduksi.
Pada konsep kedua dijelaskan bahwa habitus hanya ada di dalam, melalui dan
disebabkan oleh praksis aktor dan interaksi antara mereka dan dengan lingkungan
yang melingkupinya. Interaksi ini menyiratkan bahwa ideologi kebencian yang
ditebarkan lewat tulisan-tulisan di Tabloid Obor Rakyat. Atau misalnya ungkapan-
ungkapan yang dilontarkan oleh elit tokoh untuk pendukungnya—ini salah satu
contoh interaksi dan praksis aktor.
Elit tokoh tersebut menyampaikan pesan yang bertujuan untuk menyampaikan
propaganda kebencian terhadap lawan politiknya. Salah satunya dengan mencoba
memengaruhi pendukungnya lewat kata-kata yang dianggap benar. Tabloid Obor
Rakyat misalnya mencatut beberapa tokoh penting dalam kutipannya untuk membuat
Joko Widodo tersudut. Beberapa elit tokoh itu memberikan pendapat bahwa Joko
Widodo tidak layak pilih. Isu yang digunakan misalnya berupa pewarisan jabatan
pada non-muslim oleh Joko Widodo yang disampaikan oleh Kholil Ridwan, Ketua
MUI (Majelis Ulama Indonesia) dalam Tabloid Obor Rakyat edisi 1 (5-11 Mei 2014).
Pada artikel itu Kholil Ridwan juga menyerukan kepada Umat Islam untuk kompak
tidak memilih Joko Widodo. Kholil juga menyerukan dengan membuat gerakan
‘ABJ’ (Asal Bukan Jokowi). Salah satunya lewat galangan dukungan dari Partai
Islam yang harus merapat dan membuat kontrak politik.
Interaksi itu sengaja dibentuk untuk memperlihatkan kebencian terhadap Joko
Widodo. Tabloid Obor Rakyat menggunakan Ketua MUI yang memiliki basis besar

Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
  69

atas nama Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia untuk mengerdikal Joko
Widodo sebagai kandidat presiden pada pemilu 2014. Habitus kebencian itu
kemudian digambarkan dengan baik oleh Tabloid Obor Rakyat yang juga melakukan
pemberitaan miring tersebut.
Pada konsep ketiga yakni mengenai taksonomi praktis. Penyimbolan
seseorang menjadi sesuatu yang diinginkan oleh aktor pembuat simbol tersebut.
Penyimbolan itu bisa jadi berupa hal yang negatif. Karena secara tidak langsung
mengkonstitusi subjek sebagai individu lain. Tabloid Obor Rakyat yang
menyimbolkan Joko Widodo sebagai pendusta. Habitus kebencian itu dibangun
berdasarkan prasangka yang mengungkapkan Joko Widodo tidak amanah dalam
menjalankan tugasnya. Salah satunya yakni dengan jabatannya sebelum menjadi
presiden yakni Gubernur Jakarta. Tabloid Obor Rakyat mengkonstruksi Joko Widodo
pendusta dengan tidak menaati sumpah jabatannya. Pada halaman belakang edisi 1
(5-11 Mei 2014) Joko Widodo dibuat karikaturnya memiliki hidung seperti Pinokio—
karakter animasi yang jika berbohong hidungnya berubah jadi panjang. Selain itu,
Tabloid Obor Rakyat juga menambahkan tulisa ‘Sang Pendusta! Mau Dibohongi
Lagi...?”.
Penyimbolan yang dilakukan Tabloid Obor Rakyat terhadap Joko Widodo ini
merupakan bagian dari kebencian yang ingin disebarkan. Pasalnya, karakter Joko
Widodo yang dianggap pendusta itu sebagai capres yang tidak layak pilih. Dalam
tulisannya yang terkesan bertanya apakah ingin dibohongi lagi, menunjukkan sebuah
sikap yang mempertanyakan masyarakat untuk berpikir dua kali jika ingin memilih
Joko Widodo. Pasalnya, menurut Tabloid Obor Rakyat—Joko Widodo adalah
pendusta—karena tidak amanah pada jabatannya sebagai Walikota Solo dan
Gubernur DKI Jakarta.
Sehingga Bourdieu (1992) lebih lengkap menjelaskan habitus sebagai sebuah
sistem yang kuat dan bertahan cukup lama, suatu disposisi yang fleksibel (berganti-
ganti/berpindah-pindah), struktur yang terstruktur yang kemudian cenderung
berpengaruh menjadi struktur yang berfungsi penataan struktur. Posisi struktur yang
telah testruktur itu sebenarnya menjelaskan paham kebencian yang sudah lama

    Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
70  

terstruktur dalam pola pikir masyarakat. Paham kebencian tersebut berguna untuk
menjadi sebuah ideologi kebencian di masyarakat.
Tabloid Obor Rakyat yang pada dasarnya mengambil isu-isu yang sudah
tertanam lama di masyarakat—kemudian membentuk kembali menjadi sesuatu yang
baru dan menempelkannya pada Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Sehingga keduanya
menjadi simbol kebencian. Hal ini tentu dapat tergambarkan dengan berita yang
kemudian terus menerus diberitakan oleh Tabloid Obor Rakyat. Maka, hal tersebut
kemudian menegaskan kembali bahwa ada habitus politik kebencian di Tabloid Obor
Rakyat terhadap Joko Widodo dan Jusuf Kalla saat pemilihan presiden 2014.

4.4 Reproduksi Kebencian di Tabloid Obor Rakyat


Ideologi yang disemai media lewat propaganda dan kuasa simbolik tentu akan
membentuk habitus politik media. Jika ideologi kebencian yang disemai, maka
akhirnya akan membentuk habitus kebencian media. Media dalam pemberitaannya
saat pemilihan umum menggunakan pola tersebut untuk mereproduksi wacana
kebencian. Wacana yang telah terbentuk tersebut lewat habitus akan memunculkan
kesempatan media untuk mereproduksi kebencian serupa. Kuasa yang ada dibalik
media memanfaatkanya untuk mereproduksi tatanan serta makna-makna kebencian
yang ada di masyarakat. Sehingga pada akhirnya akan mempertahankan kekuasaan
dibalik usaha reproduksi tersebut.
Salah satu peran utama dari wacana adalah reproduksi representasi sosial,
seperti pengetahuan, sikap, ideologi, norma-norma, dan nilai. Hal ini berarti wacana
merupakan penghubung utama antara dimensi sosial dan kognitif rasisme. Di lain hal,
ia bisa menjadi praktik sosial yang diskriminatif, dengan mengekspresikan dan
membantu reproduksi representasi sosial negatif (praduga, dll)—yang
disosialisasikan sebagai basis utama dari praktik sosial (Van Dijk, The Role of the
Press in the Reproduction of Racism , 2012, hal 16). Ideologi yang termasuk
representasi sosial yang direproduksi oleh wacana menjadi satu hal yang perlu
dicatat. Pasalnya, ideologi akan terus berkembang jika ada reproduksi yang dilakukan
oleh salah satu kelompok lewat alat-alat yang dimiliki. Salah satunya ideologi

Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
  71

kebencian yang akan terus berkembang lewat penggambaran-penggambaran di media


massa.
Eksplorasi Bourdieu mengenai peran bentuk-bentuk simbolis dan prosesnya
dalam reproduksi ketidakadilan sosial merupakan evaluasinya terhadap pandangan
Marxisme yang lebih menekankan pada peran struktur kelas dan ekonomi sehari-hari
sembari mengabaikan urgensi dimensi simbolis dari hubungan-hubungan kekuasaan
(Fahsri, 2014, hal 119). Peran elit simbolis dan wacana publik dalam reproduksi
representasi sosial rasis memiliki hubungan dengan media massa yang memainkan
peran penting dalam penyebaran isu ini. Bahkan jika politisi kadang-kadang memiliki
kata pertama pada isu-isu etnis, misalnya dalam perdebatan di parlemen, wacana dan
pendapat mereka menjadi berpengaruh jika disebarkan lewat media (Van Dijk, The
Role of the Press in the Reproduction of Racism , 2012, hal 17).
Misal dalam pemberitaan Tabloid Obor Rakyat edisi 3 (19-25 Mei 2014) pada
halaman 5 yang berjudul, “Apa Kata Ulama Soal Pencitraan Jokowi.” Pada artikel
berita tersebut, Joko Widodo dikonstruksi oleh setidaknya enam tokoh ulama. Salah
satu tokoh ulama atau elit simbol yang mengkonstruksi adalah KH. Hasyim Muzadi,
Mantan Ketua PBNU. Hasyim meragukan kepemimpinan Joko Widodo yang
mengatakan akan dibawa kemana Indonesia jika dibawah kepemimpinannya. Selain
itu, dari Ustadz Bachtiar Nashir, Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda
Indonesia (MIUMI) yang mengatakan bahwa Jokowi selalu mewariskan pemimpin
kafir dan selangkah lagi dapat membuat Indonesia kafir.
Tabloid Obor Rakyat merupakan salah satu contoh media massa yang
melakukan reproduksi wacana kebencian. Wacana kebencian itu dilestarikan lewat
penanamam ideologi kebencian terlebih dahulu. Ideologi itu disemai oleh Tabloid
Obor Rakyat pada pembacanya. Penyemaian ideologi tersebut dianggap oleh
Althusser sebagai reproduksi formasi-formasi dan relasi-relasi sosial. Dimana ada
kekuatan relasi yang dikembangkan untuk membentuk relasi kebencian terhadap Joko
Widodo dan Jusuf Kalla sebagai kandidat presiden pemilu 2014.
Setelah adanya penyemaian ideologi kebencian di dalam Tabloid Obor
Rakyat—selanjutnya akan ada sebuah propaganda lewat kausa simbolik. Hal ini

    Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
72  

berguna untuk membuat ideologi itu dapat diterima dengan baik oleh pembaca
khususnya dan masyarakat umumnya. Beberapa isu yang dipropagandakan oleh
Tabloid Obor Rakyat lewat kuasa simboliknya adalah seperti pernyataan Ketua MUI
yang mengatakan jika Joko Widodo menjadi presiden, maka etnis Cina akan berkuasa
dan berdampak mengerikan. Konsep kuasa simbolik di sini dapat dilihat proses
pemilihan kata seperti dampak mengerikan. Proses simbolisasi Cina yang serakah dan
menyebabkan kesenjangan ekonomi yang berlebih terhadap kaum pribumi.
Penyimbolan terhadap etnis Cina dalam Tabloid Obor Rakyat sangat jelas
membuat kebencian yang mendalam terhadap tingkah laku etnis tersebut. Hubungan
yang dekat dengan penguasa dianggap sebagai dasar sentimen anti-Cina. Hubungan
dekat dengan elit politik dipandang sebagai alat untuk menghasilkan akses lebih
lanjut terhadap keuntungan yang lebih tinggi (Kartasasmita, 2011, hal 1). Pola pikir
ini yang kemudian berusaha disusupkan oleh Tabloid Obor Rakyat dalam membentuk
sentimen anti-Cina yang dekat dengan Joko Widodo. Joko Widodo dianggap
didukung oleh etnis Cina yang ingin melakukan pengembangbiakan bisnis secara
besar-besaran di Indonesia jika terpilih menjadi presiden nantinya.
Setelah adanya proses kuasa simbolik, maka akan terbentuk habitus kebencian
di media itu sendiri. Tabloid Obor Rakyat dalam hal ini mencoba untuk melestarikan
kebencian terhadap Joko Widodo dan Jusuf Kalla lewat kealfaan informasi positif
keduanya. Tidak adanya verifikasi terhadap keduanya dalam isu-isu yang
dimunculkan oleh Tabloid Obor Rakyat menegaskan habitus kebencian yang
direpresentasikan media ini. Selain itu, ada usaha untuk penyimbolan terhadap Joko
Widodo misalnya yang disebut Sang Pendusta. Habitus kebencian itu dipraktikan
lewat simbol-simbol yang mudah dibaca masyarakat.
Konsep reproduksi tersebut bisa jadi sejalan dengan pemikiran Bourdieu yang
menjelaskan mengenai reproduksi. Dimana sekolah dianggap oleh Bourdieu
merupakan tempat pembagian kultural masyarakat. Pembagian kultural itu
menegaskan perbedaan antara kaum subordinat dan superordinat. Pada institusi
pendidikan kaum superordinat di sini adalah guru dan subordinat adalah murid. Jika
dikaitkan dalam penulisan ini, maka dapat disimpulkan mengenai peran serta Tabloid

Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
  73

Obor Rakyat yang merupakan tempat reproduksi kultural itu sendiri. Superordinat
dalam Tabloid Obor Rakyat adalah elit simbol sedangkan pada subordinatnya bisa
pada konteks subjek yang diberitakan dan pembaca itu sendiri.
Reproduksi kultural itu dapat dilihat dengan penegasan Joko Widodo yang
tidak layak pilih. Selain itu munculnya elemen-elemen seperti muslim dan non-
muslim memunculkan penegasan adanya perbedaan secara kultural. Perbedaan itu
kemudian dillegitimasi untuk menyasar kebencian pada salah satu pihak. Dalam
Tabloid Obor Rakyat akan digambarkan bahwa kaum non-muslim tidak bisa
dipercaya dan akan membawa kesengsaraan terhadap umat Islam. Sedangkan etnis
Cina akan membawa dampak buruk bagi kaum pribumi jika dikasih kekuasaan.
Anggapan ini muncul dari bagaimana antara institusi pendidikan dan media
memiliki ciri khas yang mirip—sama-sama bersumber pada elit. Jika sekolah
bersumber pada elit seperti guru, maka media bersumber pada elit politik, tokoh
masyarakat, tokoh agama. Di mana kesemuanya membentuk pengetahuan sendiri
dalam merepresentasikan dunia sosial—dalam hal ini konstruksi Joko Widodo dan
Jusuf Kalla di dalam Tabloid Obor Rakyat.
Van Dijk (2012) sendiri mengatakan bahwa wacana merupakan penghubung
utama antara dimensi sosial dan kognitif rasisme (hal 16). Wacana itu bisa tergambar
jelas dalam Tabloid Obor Rakyat yang memunculkan paham rasis terhadap Joko
Widodo dan Jusuf Kalla. Dengan kata lain, wacana juga dapat terekspresikan
menjadi praktik sosial yang diskriminatif, dengan mengekspresikan dan membantu
reproduksi representasi sosial negatif (praduga, dll)—yang disosialisasikan sebagai
basis utama dari praktik sosial (Van Dijk, 2012, hal 16).
Patut dipahami sebenarnya—bentuk ideologi kebencian ini terbangun dengan
membuat pemaknaan terhadap Joko Widodo lewat pemberitaan di Tabloid Obor
Rakyat. Thompson menjelaskan fenomena ini sebagai kegiatan pemaknaan yang
bertujuan mempertahankan dominasi. Hubungan dominasi ini diartikan sebagai
hubungan kekuasaan asimetrsi yang dibangun secara sistematis. Hubungan ini terjadi
ketika sekumpulan individu atau sekelompok tertetntu dari masyarakat (kelompok
yang lebih besar) memiliki kekuasaan dalam jangka waktu yang lama untuk

    Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
74  

menegaskan diri sebagai pihak yang unggul serta menyatakan individu-individu lain
berada di bawah keunggulan mereka (Takwin, 2009, hal 106).
Secara tidak langsung, hal ini tercermin dalam bentuk hubungan dominasi
antara pembuat Tabloid Obor Rakyat yang notabene staff khusus presiden dan ia
memiliki kekuasaan yang cukup banyak. Meskipun ia tidak pernah mengatakan
sumber dananya, dugaan yang beredar adalah ia didanai oleh kubu lawan Joko
Widodo dan Jusuf Kalla dalam pilpres 2014 kemarin. Namun, tuduhan itu pun
dibantah oleh banyak pihak, mulai dari tim sukses Prabowo-Hatta sendiri—sampai
pemimpin redaksi Tabloid Obor Rakyat.
Misal dua media online—Tribunnews.com dan mediaindonesia.com
menyebutkan dugaan keterlibatan Rizal Chalid, pengusaha minyak kenamaan. Salah
satu artikel tersebut menyebutkan:
“PENERBITAN tabloid Obor Rakyat yang mendiskreditkan calon presiden
(capres) Joko Widodo (Jokowi) awalnya untuk menaikkan popularitas Hatta
Rajasa saat mantan Menteri Perekonomian itu masih duduk di kabinet.
Menurut sumber Media Indonesia, tabloid itu sepenuhnya didanai pengusaha
minyak Muhammad Riza Chalid. Tidak hanya membiayai Obor Rakyat, Riza
yang di Singapura dikenal dengan sebutan Gasoline Godfather juga
membiayai tim sukses calon wakil presiden (cawapres) nomor urut satu itu.
Kedekatannya dengan Hatta semakin mengental ketika mantan Menteri
Perekonomian itu duduk di kabinet.” (Mediaindonesia.com, 2014).
Pemberitaan tersebut tergambar bahwa Tabloid Obor Rakyat diduga didanai
oleh pemilik modal yang cukup besar. Selain itu, ia dianggap untuk mengamankan
posisi Hatta Rajasa yang saat itu menjadi mantan Menteri Perekonomian. Salah satu
cara penyelamatan itu dengan mendiskreditkan pihak lawan, yakni Joko Widodo dan
Jusuf Kalla.
Takwin (2009) mengatakan penegeasan keunggulan, kebaikan, kebenaran dan
kelebihan ainnya dilakukan dengan menyebarkan ideologi memlakui penggunaan
bahasa dan simbol-simbol lainnya. Misal Setyardi yang mengungkapkan dirinya
belum menemukan bahan untuk membuat pemberitaan tentang Prabowo;

Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
  75

“Saya no comment. Saya belum punya bahan untuk dikomentari”


(Kompas.com, 2014)
Ungkapan tersebut ditujukan untuk menjelaskan bahwa dirinya belum
menemukan bahan untuk mengomentari Prabowo. Namun jika dilihat dari pola
pemberitaan yang muncul selama ini, Tabloid Obor Rakyat secara sengaja membuat
pemberitaan yang merendahkan secara sepihak. Ia sengaja membuat simbol-simbol
tersebut di masyarakat—agar dengan mudah menyampaikan ideologi kebencian pada
Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Takwin (2009) menjelaskan tanpa disadari, anggota
masyarakat menyerap dan terpengaruh oleh simbol-simbol yang dikandung dalam
ideologi. Dengan demikian, hubungan dominasi berlangsung terus.
Fashri (2014) mengungkapkan bahasa menempati peran strategis bagi
penyemaian ideologi yang ada di baliknya serta mengadaikan modus kekuasaan
tertentu dalam perbendaharaan kata, hingga kandungan pengetahuan yang
diungkapkan atau disamarkan oleh suatu bahasa. Bahasa menjadi begitu penting bagi
individu maupun kelompok tertentu untuk meraih, melanggengkan, bahkan melawan
suatu kekuasaan (hal 116). Bukan perkara mudah menilai bahasa tanpa melihat
maknanya. Bahasa tidak menjadi sistem komunikasi semata—melainkan instrumen
untuk menyampaikan pesan yang digunakan oleh pemilik kuasa.
Selain itu, pemilik kuasa akan melanggengkan kekuasannya lewat bahasa
dengan cara terus mereproduksi bahasa lewat cara-cara yang sebenarnya salah namun
tidak disadari secara mendalam oleh sebagian orang. Ketidaktahuan itu akibat bahasa
yang disamarkan oleh penguasa dan cenderung menjadi instrumen dominasi. Dengan
kata lain, menurut Snook (2009) Bourdieu memiliki pertimbangan terhadap bahasa,
yakni ada hubungan langsung antara bahasa yang memberi otoritas, orang yang diberi
otoritas, dan urusan-ursan yang diotoritaskan (hal 223).
Tabloid Obor Rakyat edisi ke-4 (26 Mei – 1 Juni 2014) pada halaman 7,
memberitakan artikel bahwa “Jokowi Musuh Islam.” Artikel tersebut memuat
tuduhan terhadap Jokowi yang anti-Islam. Berita tersebut menjelaskan Jokowi saat
menjadi Walikota Solo memberikan bantuan terhadap non-muslim (sekolah dan
ormas) lebih banyak daripada komunitas muslim. Sehingga menurut Tabloid Obor

    Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
76  

Rakyat—hal tersebut merupakan anti-Islam. Tentu, kebencian yang ditanamkan


dalam masyarakat ini direproduksi lewat elit simbol dan isu lainnya yang berdasarkan
prasangka tanpa fakta yang mempuni. Bahasa yang digambarkan dengan
merepresentasikan bahwa Jokowi adalah musuh Islam—tentu memiliki makna yang
bisa digambarkan sebagai kebencian.
Reproduksi kebencian itu sebenarnya menjadi sebuah kebiasan. Gaylin (2003)
menyebutnya sebagai culture of hatred (budaya kebencian). Sebuah kebiasaan
masyarakat dalam memelihara atau melestarikan kebencian yang sudah ada dalam
masyarakat serta melanjutkannya atau mewariskannya kepada anak cucunya.
Pelestarian ini didukung oleh pemimpin atau institusi yang ada dan secara terus
menerus melakukan indoktrinasi terhadap anggota masyarakat dan menunjukan sikap
negatifnya terhadap kelompok lain yang dianggap tidak sejalan dengan dirinya.
Budaya kebencian itu tetunya bisa ditemukan dalam pola Tabloid Obor
Rakyat dalam pemberitaan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Tabloid Obor Rakyat
cenderung melakukan pelestarian kebencian pada Joko Widodo dan Jusuf Kalla
dengan membuat sebuah berita yang miring terhadap kelompok tersebut. Elit politik
atau tokoh-tokoh agama tidak segan-segan ikut berkontribusi dengan menebarkan
kebencian lewat Tabloid Obor Rakyat. Tabloid Obor Rakyat kemudian dijadikan
sebuah instrumen dominasi dalam mereproduksi kebencian pada Joko Widodo dan
Jusuf Kalla saat masa pemilihan presiden tahun 2014.
Wacana kebencian dalam Tabloid Obor Rakyat merupakan satu hal yang tidak
dapat terelekan lagi. Kebencian itu dibangun atas dasar praduga terhadap salah satu
kelompok, misalnya etnis Cina atau non-muslim. Praduga tersebut kemudian
dikembangkan untuk mengkonstruksi kebencian terhadap Joko Widodo lewat
praktik-praktik penyemaian ideologi kebencian yang terkesan dianggap sah. Salah
satunya dengan membuat kuasa simbolik berupa hal-hal yang dapat dipahami dengan
tidak mendalam.
 

Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
 

BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Kejahatan kebencian dalam Tabloid Obor Rakyat saat pemilihan presiden
dibangun atas dasar prasangka yang tidak berdasar. Dalam Tabloid Obor Rakyat,
prasangka itu dibentuk menjadi sebuah wacana kebencian terhadap Joko Widodo dan
Jusuf Kalla. Dimana Joko Widodo dan Jusuf Kalla itu dikonstruksikan negatif dan
terkesan tidak layak pilih. Konstruksi negatif dalam media saat pemilihan presiden tidak
lepas dari usaha untuk mengkonstitusi subjek. Praktik mengkonstitusi subjek bertautan
erat dengan pembentukan realitas semu.
Kebencian terhadap Joko Widodo dan Jusuf Kalla tersebut dijabarkan lewat
realitas-realitas semu yang ada dalam ideologi kebencian. Realitas semu seakan menjadi
legitimasi dari penyemaian ideologi kebencian di dalamnya. Wacana kebencian tidaklah
murni, melainkan ada Joko Widodo dan Jusuf Kalla-Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang
sengaja ingin menanamkan paham kebencian tersebut. Dengan kata lain, ideologi
kebencian tidaklah murni berdiri sendiri.
Ideologi kebencian yang dimunculkan dalam kerangka pemberitaan Tabloid Obor
Rakyat terhadap Joko Widodo dan Jusuf Kalla memperlihatkan ada pengaruh lain seperti
faktor agama. Tabloid Obor Rakyat membangun realitas semu untuk menebar ideologi
kebencian. Ungkapannya mengenai peluang non-muslim untuk berkuasa, digambarkan
dengan sangat tendensius mengarah pada penolakan. Konstruksi ini dibangun dengan
membuat non-muslim sebagai penghalang kemajuan umat Islam. Salah satunya dengan
mencatut kutipan-kutipan elit tokoh agama yang mempunya basis masa banyak.
Ideologi kebencian yang berusaha ditanamkan oleh Tabloid Obor Rakyat saat
pemilihan presiden dilakukan dengan praktik yang secara tidak sadar dianggap sah atau
legitimate. Praktik penebaran kebencian itu dilakukan lewat simbol-simbol yang umum.
Simbol-simbol dalam Tabloid Obor Rakyat menyimpan pesan yang ingin disampaikan.
Tabloid Obor Rakyat misalnya membuat simbol pada Joko Widodo sebagai pendusta.
Secara tak langsung, masyarakat akan mudah menerima simbol itu dan dinternalisasi.
Pesan tersebut tentu mengandung kebencian yang secara tidak sadar dapat mudah

75 Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
76    

terinternalisasi pada pembaca atau masyarakat umumnya. Kebencian digambarkan


sesuatu hal yang wajar dan bukan hal yang harus dipermasalahkan. Kebencian tersirat
lewat simbol-simbol yang menandakan kekuasaan.
Pada kenyataannya kekuasaan memang selalu berada di balik sebuah realitas.
Realitas dikonstruksikan dan dibentuk untuk kepentingan ‘penguasa’ semata. Realitas tak
semata-mata hadir dan tidak memiliki makna. Ideologi, misalnya, kekuasan bekerja
dibalik penyemaian ideologi pada masyarakat. Tujuannya ‘kekuasaan’ akan didapat lewat
penyemaian ideologi. Sebab ideologi tidak selalu murni. Dengan kata lain sifatnya
deterministik.
Setelah melalui proses kuasa simbolik, maka akan terbentuk habitus kejahatan
kebencian. Kejahatan kebencian di Tabloid Obor Rakyat itu terlihat dari pola
pemberitaan di Tabloid Obor Rakyat yang cenderung memiliki sentimen terhadap Joko
Widodo dan Jusuf Kalla tertentu saat pemilihan presiden. Sentimen itu dibangun atas
dasar prasangka atau bisa dikatakan tidak mendasar. Salah satu prasangka yang dibangun
disesuaikan dengan pola pikir masyarakat. Maka dibutuhkan speak well dan speak
properly—keduanya dapat dilihat dengan pola pemberitaan yang menyesuaikan kondisi
masyarakat.
Habitus memiliki dua pola, terstruktur dan menstruktur. Kedua pola ini menjadi
bagian penting untuk melihat kejahatan kebencian yang sebenarnya ada dalam dua pola
tersebut. Tabloid Obor Rakyat paham akan kebencian yang sudah terstruktur dan
menstruktur. Kebencian yang terstruktur didapat dari pengalaman masa lalu. Meskipun
wacana tidaklah murni muncul dalam diri sendiri, wacana kebencian tumbuh dan
berkembang dari interaksi-interaksi di masa lalu.
Interaksi atau yang disebut sebagai pengalaman kemudian terinternalisasi dan
membentuk persepsi sendiri. Tabloid Obor Rakyat yang berfungsi menstruktur wacana
kebencian, kemudian memberikan stimulus untuk mengaktifkan lagi wacana kebencian
yang sudah tertanam dalam. Perlu dipahami, habitus merupakan hal yang sudah tertanam
lama di masyarakat—begitu juga dengan habitus kebencian.
Kekuatan simbol memiliki pengaruh kuat untuk mengkonstruksi realitas. Salah
satu instrumen simbol yang tak bisa dilupakan adalah bahasa. Kekuatan bahasa untuk
mengkonstruksi realitas sebenarnya tidak lepas dari kekuasaan dibalik bahasa itu sendiri.

Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
  77  

Bahasa bukan medium yang netral dalam praktik komunikasi. Bahasa memiliki
keterkaitan erat dengan kuasa dibaliknya. Sehingga nantinya bahasa membuat sebuah
kekerasan simbolik, kejahatan yang nyata.
Bahasa dalam Tabloid Obor Rakyat mengungkap banyak hal. Salah satunya dapat
membuat konstruksi salah satu Joko Widodo dan Jusuf Kalla politik saat pemilihan
presiden. Media menggunakan bahasa sebagai pengantar untuk melegitmasi ideologi-
ideologi kebencian yang ingin ditanamkannya pada masyarakat. Lewat bahasa pula,
media berimprovisasi membentuk realitas baru yang seakan-akan dianggap sah oleh
masyarakat atau pembacanya.
Kekuatan bahasa yang dimanfaatkan oleh Tabloid Obor Rakyat untuk
menyebarkan kejahatan kebencian pada salah satu Joko Widodo dan Jusuf Kalla dalam
pemilihan presiden tentunya menimbulkan sebuah habitus. Perilaku ini akan tercermin
dengan munculnya pola pemberitaan serupa untuk mendeligitimasi suatu partai dalam
pemilihan presiden. Pola habitus ini dimaknai oleh Bourdieu sebagai kunci untuk
reproduksi sosial—dalam hal ini sebagai reproduksi kebencian di Tabloid Obor Rakyat.
Reproduksi kebencian di Tabloid Obor Rakyat menjadi sebuah sistem yang terus
berulang dalam memproduksi simbol-simbol kebencian yang tertanam lama di
masyarakat. Reproduksi kebencian ini juga muncul lewat beragam latar. Pemilihan
presiden misalnya, menjadi latar yang sangat pas untuk membentuk pola kebencian baru
dan melestarikan kebencian lama yang sudah lama tertanam di masyarakat. Tabloid Obor
Rakyat menjadi pionir untuk membuka keran kebencian yang terkunci di masyarakat.
Terbukanya keran yang terkunci tersebut menandakan adanya usaha untuk
mereproduksi kebencian kembali di masayrakat. Lewat media, hubungan dominasi akan
tetap berlangsung. Kebencian tetap menjalar pada sendi-sendi demokrasi. Simbol-simbol
kebencian menjadi samar dan diidolakan oleh masyarakat untuk menyerang Joko Widodo
dan Jusuf Kalla yang tidak disukai selama masa pemilihan presiden.

5.2 Catatan Kritis


Di sini penulis ingin memberikan sebuah pemikiran yang mengaitkan pola media
yang menebar kebencian saat pemilihan presiden dengan konteks kebebasan pers sebagai
berikut;

Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
78    

Kebebasan pers merupakan hal yang mutlak dalam kerangka negara demokratis.
Negara yang demokratis tidak akan pernah ada tanpa adanya pers yang bebas atau
merdeka. Salah satu ciri negara demokratis yakni terselenggaranya pemilihan presiden
yang baik. Pemilu yang baik tentu bersifat tanpa cacat hukum atau diciderai oleh
kepentingan-kepentingan sepihak.
Keberlangsungan pemilu yang baik didukung oleh pengawasan sipil yang
mumpuni. Alat-alat pendukung demokrasi, seperti pers harus berisfat independen dalam
pemberitaan. Tak dipungkiri, media punya andil besar untuk menggiring opini
masyarakat dalam menilai sesuatu—termasuk partai yang ikut serta dalam pemilihan
presiden. Untuk itu, setidaknya sifat independen dan berpihak pada kebenaran adalah
posisi yang harus diambil oleh media.
Belakangan ini, nuansa kebebasan pers yang merupakan bagian dari sifat media
seringkali disalahartikan oleh sebagian pihak—termasuk media itu sendiri. Saat masa
pemilihan presiden, media tak segan untuk condong pada salah satu pihak dan
mengkonstruksi realitas yang ada. Salah satu hal yang mempengaruhinya adalah
kepemilikan dari media itu sendiri.
Dewasa ini, tak sulit menemukan pemilik media yang ikut dalam panggung
perpolitikan. Pada konteks Indonesia, kita bisa melihat Surya Paloh sebagai pemilik
Metro TV dan Media Indonesia cum Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem).
Selain itu, ada Aburizal Bakrie sebagai pemilik Viva News Group cum Ketua Umum
Partai Golongan Karya (Golkar). Harry Tanoesudibjo pemilik Media Nusantara Citra
(MNC) cum Bakal Calon Wakil Presiden pemilu 2014 dari Partai Hati Nurani Rakyat
(Hanura).
Keikutsertaan pemilik media seringkali berpengaruh dalam proses pembuatan
pemberitaan. Media tersebut menurunkan pemberitaan yang membela pemiliknya dan
menjatuhkan lawan pemiliknya di panggung politik. Dengan kekuatan yang dimiliki
lewat media, mereka tidak memberikan ruang yang banyak untuk pemberitaan positif
lawan politiknya. Meskipun tidak banyak yang secara terang-terangan menyerang, namun
praktik dengan pemberitaan tidak seimbang sebenarnya bagian dari tidak independennya
sebuah media. Praktik ini sebenarnya nyata, namun kerap kali tidak diakui oleh pemilik
media.

Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
  79  

Selain itu, faktor lain yang juga memengaruhi bias media dalam pemberitaan
pemilihan presiden yakni penyebaran ideologi. Ideologi yang dikonstruksikan sebagai
wacana oleh media menyimpan pesan tersendiri yang mendalam. Pesan tersebut biasanya
berupa hal-hal yang negatif terhadap suatu pihak. Kerap kali pembaca dari media tersebut
tidak serta merta membuat penilaian mendalam tentang kebenaran ideologi tersebut.
Media dengan gaya penebaran ideologi ini memaknai kebebasan pers sebagai
tamengnya melakukan pembenaran bahwa pemberitaannya bagian dari kebebasan pers.
Kebebasan pers dimaknai sebagai kebebasan dalam berbicara dan berpendapat.
Kebebasan itu tanpa mengindahi kaidah-kaidah yang berlaku, misalnya tidak melakukan
prasangka. Misal dalam pasal 8 kode etik jurnalistik disebutkan bahwa;
“Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan
prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras,
warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat
orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.”
Konteks itu harus bias dipahami secara mendalam bahwa suatu pemberitaan tidak
dibangun berdasar prasangka. Prasangka tentunya akan memberikan sebuah tulisan yang
propagandis dan tidak berdasar. Prasangka terhadap partai pemilu yang disusupi
kebencian membentuk suatu persepsi sendiri di masyarakat. Kejahatan kebencian pun
dibangun atas dasar prasangka. Maka dapat dilihat bahwa pemberitaan yang berdasarkan
prasangka sebenarnya sama dengan kejahatan kebencian. Terlebih prasangka itu
mengandung unsur pembiasan terhadap ras atau pun agama tertentu.
Tabloid Obor Rakyat misalnya dengan membuat tagline ‘Indonesia Bebas Bicara’
pada setiap halaman di tabloidnya. Konteks bebas bicara dalam hal ini dipelintirkan
menjadi bebas bicara tanpa ada aturan yang berlaku. Tabloid Obor Rakyat dalam
pemberitaannya mengandung unsur diskriminasi. Selain itu, pemberitaannya terkesan
menyerang dengan dasar yang tidak dapat dibuktikan. Selain itu, isu-isu seperti pelecehan
terhadap Tionghoa, misalnya, membuat Tabloid Obor Rakyat sebenarnya—melecehkan
kebebasan pers.
Secara tidak sadar, media seperti Tabloid Obor Rakyat membangun opini dengan
mengkonstruksi realitas semu. Pekerja media seperti Tabloid Obor Rakyat tentu tidak
bisa dianggap sebagai media yang baik. Jurnalisme warga yang digunakan sebagai dalih

Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
80    

untuk Tabloid Obor Rakyat—bukan alasan yang tepat untuk membuat media yang
bersifat menyerang dan menjatuhkan Joko Widodo dan Jusuf Kalla tertentu. Media yang
baik tentu harus bersifat independen dan berpihak pada kebenaran.
Kemerdekaan pers tidak terletak pada aturan yang menjamin kemerdekaan pers.
Selain itu, tidak terletak pada adanya hak pers untuk melakukan pemberitaan yang
bernada kritikan. Kemerdekaan pers berkaitan dengan cara kerja dan niat pers untuk
menggunakan hak tersebut dengan bertanggungjawab. Pers harus bisa menjaga agar
tidak terjadi demoralisasi kehidupan bermasyarakat karena kesalahan dalam membuat
pemberitaan yang menimbulkan konflik.

Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
 

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Althusser, L. (1971). Essays on Ideology. Paris: La Pansee.
Althusser, L. (2008). Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural
Studies (3 ed.). (O. V. Arnof, Terj.) Yogyakarta: Jalasutra.
Barak, Gregg. (1994). Media, Society, and Criminology. Dalam Gregg. Barak, Media,
Process and The Social Construction of Crime: Studies in Newsmaking
Criminology. New York dan London: Garland Publishing.
Bhavnani, R., Mirza, S. H., & Meetoo, V. (2005). Tackling the Roots of Racism: Lessons
for Success. Bristol: The Policy Press.
Bourdieu, P. (1991). Language and Symbolic Power. Cambridge: Polity Press.
Bourdieu, P. (1977). Outline of a Theory of Practice. Cambridge: Cambridge University
Press.
Bourdieu, P. (1992). The Logic of Practice. Stanford: Stanford University Press.
Bourdieu, P., & Wacquant, L. (1992). An Invitation to Reflexive Sociology. Chicago: The
University of Chicago Press.
Bourdieu, P. (2011). Choses Dites: Uraian dan Pemikiran. (N. R. Sjams, Terj.)
Yogayakarta: Kreasi Wacana.
Budiardjo, M. (2013). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Deutsch, K. W. (1970). Politics and Government, How People Decide Their Fate.
Michigan: Houghton.
Eriyanto. (2005). Analisis Wacana. Jakarta: LkiS
Fahsri, F. (2014). Pierre Bourdieu: Menyingkap Kuasa Simbol. Yogyakarta: Jalasutera
Jewkes, Y. (2004). Media and Crime. London: Sage Publication.
Jenkins, R. (2013). Membaca Pikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Gaylin, Willard M.D. (2003). Hatred: The Psychological Descent Into Violence. New
York: Public Affairs.
Grabber, D. A. (2000). Media Power in Politics. Washington: CQ Press.
Hudson, D. L. (2009). Hate Crimes. London: Chelsea House Pubs.
McQuail, D. (2005). McQuail’s mass communication theory . New Delhi: Sage.

  81   Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
82  

Mustofa, M. (2010). Kriminologi: Kajian Sosiologis Terhadap Kriminalitas, Perilaku


Menyimpang dan Pelanggaran Hukum. Bekasi: Sari Ilmu Pratama.
Manning, D. J. (1980). The Form of Ideology. London: George Allen & Unwin LTD.
Pattiradjawane, R. L. (2001). Peristiwa Mei 1998 di Jakarta: Titik Terendah Sejarah
Orang Etnis Cina di Indonesia. Dalam I. Wibowo, Harga yang Harus Dibayar:
Sketsa Pergulatan Etnis Cina di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Perry, B. (2001). In The Name of Hate: Understanding Hate Crime. New York:
Routledge.
Pratkanis, A. R., & Aronson, E. (2010). Age of Propaganda: The Everyday Use and
Abuse of Persuasion. Santa Cruz: University of California.
Putranto, H. (2009). Mempersoalkan Kultur dan Ideologi. Dalam S. Muji, Cultural
Studies: Tantangan Bagi Teori-Teori Besar Kebudayaan (pp. 6-27). Depok:
koekoesan.
Snook, I. (2009). Bahasa, Kebenaran dan Kekuasaan: Ministerium Bourdieu. In R.
Harker, C. Mahar, & C. Wilkes (Eds.), (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik:
Pengantar Palong Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu (P. Maizier,
Terj., pp. 203-228). Yogyakarta: Jalasutra.
Sudibyo, A. (2009). Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta: LKiS.
Sobur, A. (2004). Semiotika Komunikasi. Bandung: Rosda.
Takwin, B. (2009). Akar-Akar Ideologi: Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari Plato
Hingga Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra.
Wring, D. (1996). Dari Mass Propaganda to Political Marketing; the Transformation of
Labour Party Election Campaigning. In C. Railings, D. Broughton, D. Denver, &
D. & Farell, British Parties and Elections Yearbook 1995. Hampshire: Frank
Cass.

Jurnal
Brewer, P. L., & Sigelman, L. (2002). Political Scientists as Color Commentators
Framing and Expert Commentary in Media Campaign Coverage. Press/Politics ,
7 (1), 23-35.

Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
83

Cohen, E. (2003). Multiculturalism, Latin Americans and ‘Indigeneity’ in Australia. The


Australian Journal of Anthropology , 14 (1), 39-52.
Diaz, A. A. (2009). Media Bias and Electoral Competition. Investigaciones Economicas ,
Vol XXXIII (2), 211-231.
Domke, D., Fan, D. P., Fibison, M., Shah, D. V., Smith, S. S., & Watts, M. D. (1997).
News Media, Candidates and Issues, and Public Opinion in the 1996 Presidential
Campaign. Journalism and Mass Comunication Quaterly , 74 (4), 718-737.
Entman, R. M. (2010). Media Framing Biases and Political Power: Explaining Slant in
News of Campaign 2008. Journalism Sage , 2 (4), 389-408. .
Fowler, R. (1997). On Critical Linguistics. In C. R. Caldas-Coulthard, & M. Coulthard,
Text and Practices: Reading in Critical Discourse Analysis. London and New
York: Routledge.
Gans, J. S., & Leigh, A. (2012). How Partisan is the Press? Multiple Measures of Media
Slant. The Economic Record , 88 (280), 127–147.
Jacob, J. B., & Potter, K. A. (1997). Hate Crimes: A Crtical Perspectives. Crime and
Justice , 22, 150.
Muslich, M. (2008). Kekuasaan Media Massa Mengonstruksi Realitas. Bahasa dan Seni ,
36, 150-159.
Masduki. (2004). Jurnalisme Politik: Keberpihakan Media dalam Pemilu 2004. Jurnal
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik , 8 (1), 75-90.
McPhail, B. (2000). Hate: Policy Implications of Hate Crime Legislation,. Social Service
Review, 635-653.
Putra, I. (2005). Demokrasi dan Kinerja Pers di Indonesia, Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol 3
(2), 119-142.
Pratiwi, Y. (2012). Analisis Perolehan Suara Partai Golkar Pada Pemilu 1999 di
Indonesia. Jurnal Dinamika Politik , 1 (2), 1-6.
Prior, M. (2012). Media and Political Polarization,. Annu Rev Politics, 16, 101-127.
Rouse, M. (2012). Combating Hate Without Hate Crimes: The Hanging Effigies of the
2008 Presidential Campaign . Int J Semiot Law , 25, 225-247.
Siregar, A. E., Rahayu, Rianto, P., & Adiputra, W. M. (2014). Menakar Independensi dan
Netralitas Jurnalisme di Indonesia. Jurnal Dewan Pers (9), 3-40.

    Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
84  

Van Dijk, T. A. (2008). Racism and The Press in Spain. In M. C. Avalos, M. V.


Casanova, J. V. Lahoz, & J. L. Blas, Discurso y sociedad II: nuevas
contribuciones al estudio de la lengua en contexto social (pp. 59-99). Castelló de
la Plana: Universitat Jaume I.
Van Dijk, T. A. (2012). The Role of the Press in the Reproduction of Racism .
Migrations: Interdisciplinary Perspectives , 15-29.

Skripsi/Tesis/Disertasi
Dwizatmiko. (2010). Kuasa Simbolik Menurut Pierre Bourdieu: Telaah Filosofis.
Universitas Indonesia, Ilmu Filsafat. Depok: Universitas Indonesia.
Estrelita, G. T. (2009). Penyebaran Hate Crime Oleh Negara terhadap Lembaga
Kebudayaan Rakyat. Universitas Indonesia, Departemen Kriminologi. Depok:
Universitas Indonesia
Hamad, I. (2002). Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa (Studi Pesan
Komunikasi Politik dalam Media Cetak pada Masa Pemilu 1999). Universitas
Indonesia, Departemen Ilmu Komunikasi. Depok: Universitas Indonesia
Kartasasmita, G. (2011). Peristiwa Mei 1998: A Study of Anti-Chinese Violence in
Glodok District, West Jakarta. Universitas Indonesia, Departemen Sejarah.
Depok: Universitas Indonesia.
Maydini, A. (2005). Keberpihakan Media Massa dalam Pemberitaan tentang Partai
Politik Pada Kampanye Pemilu Tahun 2004. Universitas Indonesia, Departemen
Ilmu Komunikasi. Depok: Universitas Indonesia.
Romadlan, Said. (2000). Pengaruh Ideologi Pada Pola Pemberitaan Surat Kabar
Tentang Partai-Partai Politik Selama Kampanye Pemilu 1999. Universitas
Indonesia, Pascasarjana Ilmu Komunikasi. Depok: Universitas Indonesia.
Santoso, Tulus. (2009). Hate Crime di Indonesia (kasus Ahmadiyah). Universitas
Indonesia, Departemen Kriminologi. Depok: Universitas Indonesia.

Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
85

Website
Aminah, S. (n.d.). Diambil November 30, 2014, dari Journal Unair:
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/POLITIK%20MEDIA,%20%20DEMOKRASI.
pdf
Antaranews.com. (2014, Mei 25). Jokowi tepis berbagai isu mengenai dirinya. Diambil
November 21, 2014, dari antaranews.com:
http://www.antaranews.com/pemilu/berita/435933/jokowi-tepis-berbagai-isu-
mengenai-dirinya
Atmakusumah. (2014, Juli 3). "Obor Rakyat" dan Kebangsaan. Diambil September 25,
2014, dari KOMPAS.COM:
http://lipsus.kompas.com/indonesiasatu/read/2014/07/03/1534061/.Obor.Rakyat.d
an.Kebangsaan
KOMPAS.COM. (2014, Agustus 7). "Obor Rakyat" Dianggap sebagai Kejahatan
Demokrasi. Diambil September 25, 2014, dari KOMPAS.COM:
http://nasional.kompas.com/read/2014/08/07/19284821/.Obor.Rakyat.Dianggap.s
ebagai.Kejahatan.Demokrasi
Kompas.com. (2014, Juni 16). Dewan Pers: Konten "Obor Rakyat" Bertentangan dengan
Kode Etik Jurnalistik. Diambil November 12, 2014, dari Kompas.com:
http://nasional.kompas.com/read/2014/06/16/1957500/Dewan.Pers.Konten.Obor.
Rakyat.Bertentangan.dengan.Kode.Etik.Jurnalistik
Kompas.com. (2014, Juni 14). Pemred: Tabloid Obor Rakyat adalah "Citizen
Journalism". Diambil November 12, 2014, dari Kompas.com:
http://nasional.kompas.com/read/2014/06/14/1400055/Pemred.Tabloid.Obor.Rak
yat.adalah.Citizen.Journalism.
Kompas.com. (2014, Juni 14). Pemred Obor Rakyat : Prabowo Belum ada Bahan Untuk
di Komentari. Diambil Desember 3, 2014, dari Kompas.com:
http://nasional.kompas.com/read/2014/06/14/1426247/Pemred.Obor.Rakyat.Prabo
wo.Belum.ada.Bahan.Untuk.di.Komentari
Sudibyo, A. (2014, Juni Selasa). "Obor Rakyat" dan Residu Demokrasi. Diambil
September 25, 2014, dari kompas.com:

    Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
86  

http://indonesiasatu.kompas.com/read/2014/06/17/1527091/.Obor.Rakyat.dan.Res
idu.Demokrasi
Mediaindonesia.com. (2014, Juni 30). Pengusaha Minyak di Balik Obor Rakyat. Diambil
Desember 3, 2014, dari Media Indonesia:
http://www.mediaindonesia.com/hottopic/read/1809/Pengusaha-Minyak-di-Balik-
Obor-Rakyat/2014/06/30
MERDEKA.COM. (2014, Juni 3). PKB: Para kiai menyadari tabloid 'Obor Rakyat' itu
tidak benar. Diambil November 12, 2014, dari Merdeka:
http://www.merdeka.com/peristiwa/pkb-para-kiai-menyadari-tabloid-obor-rakyat-
itu-tidak-benar.html
Solopos.com. (2014, Mei 25). Adik Jokowi Bantah Keluarganya Tionghoa. Diambil
November 21, 2014, dari solopos.com:
http://semarang.solopos.com/2014/05/25/jokowi-capres-adik-jokowi-bantah-
keluarganya-tionghoa-509706
TEMPO. (2014, Agustus 19). Polisi: Kasus obor Rakyat Kejahatan Kerah Putih. Diambil
September 25, 2014, dari Tempo.co:
http://www.tempo.co/read/news/2014/08/19/063600702/Polisi-Kasus-Obor-
Rakyat-Kejahatan-Kerah-Putih
Tribunnews.com. (2014, Juni 18). Eva: Jokowi Dirugikan Peredaran Tabloid "Obor
Rakyat". Diambil November 12, 2014, dari Tribunnews:
http://www.tribunnews.com/pemilu-2014/2014/06/18/eva-jokowi-dirugikan-
peredaran-tabloid-obor-rakyat
 
 
 
Artikel Surat Kabar
 
Apa Kata Ulama Soal Pencitraan Jokowi. (2014, 19-25 Mei 2014), Tabloid Obor Rakyat,
halaman 3.
Gang of Nine. (2014, 12-18 Mei 2014). Tabloid Obor Rakyat, hal 8.
Jokowi Anak Tionghoa. (2014, 5-11 Mei 2014). Tabloid Obor Rakyat, hal 4.
Jokowi Musuh islam (2014, 26 Mei – 1 Juni 2014) Tabloid Obor Rakyat,
‘Partai Salib’ Pro Jokowi. (2014, 12-18 Mei 2014). Tabloid Obor Rakyat, hal 3.

Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
87

Penampian Mega Tidak Islami. (2014, 12-18 Mei 2014). Tabloid Obor Rakyat, hal 3.
Sang Pendusta! Mau Dibohongi Lagi. (2014, 5-11 Mei 2014). Tabloid Obor Rakyat, hal
16.

    Universitas  Indonesia  
Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015
Lampiran

‘Partai Salib’ Pro Jokowi. (2014, 12-18 Mei 2014). Tabloid Obor Rakyat, hal 3.
Penampian Mega Tidak Islami. (2014, 12-18 Mei 2014). Tabloid Obor Rakyat, hal 3.

Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015


Sang Pendusta! Mau Dibohongi Lagi. (2014, 5-11 Mei 2014). Tabloid Obor Rakyat,
hal 16.

Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015


Gang of Nine. (2014, 12-18 Mei 2014). Tabloid Obor Rakyat, hal 8.

Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015


Jokowi Anak Tionghoa. (2014, 5-11 Mei 2014). Tabloid Obor Rakyat, hal 4.

Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015


Jokowi Musuh islam (2014, 26 Mei – 1 Juni 2014) Tabloid Obor Rakyat

Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015


Apa Kata Ulama Soal Pencitraan Jokowi. (2014, 19-25 Mei 2014), Tabloid Obor Rakyat,
halaman 3.

Reproduksi Ideologi..., Kahfi Dirga Cahya, FISIP UI, 2015

Anda mungkin juga menyukai