Ferdhisa Noviar
(1906319593)
Maret 2022
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Seiring dengan pernyataan WHO tersebut, tenaga kesehatan masih akan tetap
mendapatkan beban ekstra dalam memberikan pelayanan Kesehatan khususnya dalam hal
penanganan pandemi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pandemi COVID-19 telah
berdampak pada semua aspek kehidupan, terutama bagi penyedia layanan kesehatan yang
bekerja di garis depan. Pandemi telah mempengaruhi kesehatan fisik dan psikologis para
pekerja garda terdepan, sehingga mereka mengalami tekanan emosional seperti ketakutan,
kecemasan, depresi, dan stres. Selain itu, pandemi dapat meningkatkan gangguan stres
pascatrauma, yang menyebabkan kelelahan dan terputusnya beban kerja perawatan kesehatan
untuk memastikan keselamatan pasien dan kualitas perawatan yang diberikan kepada pasien3.
Dengan berkembangnya varian COVID-19 ini dan penambahan kasus yang akhir-
akhir ini melonjak, maka hal ini akan berpotensi menambah beban kerja tenaga kesehatan.
Risiko gangguan kesehatan, kecelakaan bahkan kematian sangat mungkin terjadi baik secara
langsung maupun tidak. Dampak pada tenaga kesehatan ini diantaranya risiko terinfeksi oleh
virus COVID-19, gangguan kesehatan terkait lingkungan kerja, paparan zat kimia terkait
dengan penggunaan disinfektan, stress psikis, kelelahan kronis, stigma serta diskriminasi 4.
Petugas kesehatan menghadapi peningkatan beban kerja dalam hal perawatan pasien COVID-
19, pengelolaan logistik, dan jam kerja yang memanjang, hal ini akan mendorong tenaga
kesehatan menggunakan APD dalam waktu yang panjang5.
Keseimbangan panas dan suhu tubuh yang normal terjadi bila kecepatan
produksi panas metabolik tubuh diimbangi oleh kecepatan hilangnya panas tersebut
ke dalam lingkungan (Tabel 1). Perolehan panas tubuh menyebabkan peningkatan
suhu tubuh, sedangkan kehilangan panas berakibat menurunnya suhu tubuh. Tubuh
dapat membiarkan perubahan kecil pada suhu tubuh ini, akan tetapi bila
penyimpangan terjadi antara 4°C sampai 5°C dari keadaan normal 37°C biasanya
disertai dengan kerusakan yang menetap pada sistem saraf atau bahkan menyebabkan
kematian.
Pada individu istirahat tanpa baju yang dipapar terhadap panas (suhu ruang di
atas 28°C), atau selama melakukan kerja otot, panas tubuh cenderung meningkat.
Terjadi vasodilatasi kulit, arus balik darah berlangsung melalui vena superfisial dan
konduktans jaringan meningkat. Dalam zone nyaman arus darah kulit berkisar sekitar
5% dari volume semenit jantung. Sedangkan dalam keadaan panas hebat dapat
meningkat sampai 20% atau lebih dan dapat meningkatkan suhu kulit. Bila suhu
lingkungan sekitarnya lebih rendah dari suhu kulit, maka pengeluaran panas melalui
konveksi dan radiasi akan meningkat. Bila beban panas cukup besar maka kelenjar
keringat akan diaktifkan dan keringat yang keluar dievaporasi sehingga suhu kulit
menurun.
Secara klinis sengatan panas didefinisikan sebagai peningkatan suhu inti tubuh
di atas 40OC dan disertai dengan gejala panas, kulit kering, kejang-kejang atau koma.
Sengatan panas diakibatkan karena pemaparan suhu lingkungan yang tinggi dan
latihan yang berat (dalam hal ini disebut exertional heat stroke). Pada gambar di
bawah ini diuraikan tentang mekanisme rangkaian kejadian perkembangan tekanan
panas (heat stres) menjadi sengatan panas (heat stroke).
Gambar. Mekanisme terjadinya tekanan panas menjadi sengatan panas pada tubuh
Tekanan panas (heat stress) merangsang pengaturan suhu, respon fase akut
dan respon syok panas. Kegagalan pengaturan suhu yang berlebihan dan perubahan
ekspresi protein-protein syok secara tunggal maupun kolektif mendukung terjadinya
sengatan panas. Vasodilatasi kutaneus akut dan vasokonstriksi limfatik
memungkinkan pengaliran darah yang dipanaskan dari organ-organ pusat ke perifer,
dimana panas tersebut kemudian ditransfer ke lingkungan. Perubahan ini dapat pula
menuntun hipoperfusi dan iskemia limpa menyebabkan peningkatan produksi oksigen
reaktif dan sepsis nitrogen yang pada gilirannya merangsang cedera. Endotoksin
kemudian dapat meluap ke sirkulasi dan meningkatkan respon fase akut menyebabkan
peningkatan produksi sitokin pirogen dan nitrit oksida. Baik sitokin dan nitrit oksida
dapat bergabung dengan termoregulasi dan mencetuskan sengatan panas (heat stroke).
Perlu pula dibedakan antara stress dan strain. Stress adalah beban yang timbul
akibat kondisi iklim serta kerja fisik, sedangkan strain ialah efek yang timbul akibat
stress. Ada tiga macam strain dengan cara pengukurannya:
Pengalaman subjektif variabel iklim, diukur dengan kriteria nyaman atau tidak
nyaman, dapat atau tidak dapat ditoleransi. Atau dapat pula dibandingkan
langsung dengan parameter stres lain seperti suhu/kelembaban/kecepatan
udara mana yang sesuai dengan kondisi lingkungan yang dialami.
Mengukur perubahan kinerja dalam melakukan uji tertentu dengan stres yang
berbeda, misalnya efek kelembaban terhadap uji aritmatik atau efek suhu
udara terhadap kreativitas.
Mengukur perubahan fungsi tubuh yang tidak dapat dikendalikan oleh
kemauan seperti suhu inti, suhu kulit, denyut jantung sebagai efek langsung
dari stres panas.
Pada orang sehat kondisi iklim yang dapat ditoleransi membentuk grafik lebar
mendatar. Kondisi lingkungan optimal bergantung terutama kepada laju kerja fisik,
karena laju pembentukan panas yang lebih tinggi membutuhkan suhu lingkungan
yang lebih rendah. Pada kondisi lingkungan kerja yang normal, misalnya pekerja
kantor pengeluaran panas relatif tidak tinggi. Pada kondisi tersebut suhu 19-23°C,
kelembaban 30-70%, serta kecepatan angin 3-12 km/ menit, relatif dapat diterima
oleh sebagian besar orang yang sudah terbiasa dengan iklim bermusim. Pada
pemaparan panas dan kerja fisik berat yang berlangsung lama, batas parameter fisik
adalah:
Potong lintang untuk mengetahui prevalensi dan mencari hubungan antara durasi
pemakaian APD level 2 dan 3 dengan timbulnya gejala terkait gejala akibat tekanan panas
secara subjektif dari data sekunder penelitian yang sedang berjalan.
Populasi penelitian adalah seluruh tenaga kesehatan di Indonesia yang bekerja di fasilitas
kesehatan primer maupun sekunder. Populasi target adalah seluruh tenaga kesehatan di
Indonesia yang bekerja di fasilitas kesehatan primer maupun sekunder yang menggunakan
APD tingkat 2 dan 3 saat bekerja.
• Kuesioner di adaptasi dari penelitian yang dilakukan di Singapura dan India oleh
Jimmy Lee Pada Tahun 2020 yang sudah di terjemahkan ke Bahasa Indonesia.
• https://docs.google.com/forms/d/e/
1FAIpQLSeHLQoJBcpbqeVolli9yO6iDmubsAu9MRI8vqw3RnQdWWhN4Q/
viewform
Variabel Bebas
Durasi Pemakaian APD
Variabel Moderator
Usia, Jenis Kelamin, Level APD yang digunakan
Variabel Perancu
Bekerja dalam ruangan dengan Air Conditioned (AC), Melepas APD saat
Istirahat, Tempat Bekerja Memiliki Ruang Khusus Istirahat
Variabel Terikat
Gejala akibat tekanan panas
• Data sekunder kuesioner berbasis daring dari penelitian yang sedang berjalan di FKUI
• Kriteria Inklusi
Seluruh Tenaga Kesehatan yang bekerja di Fasilitas Kesehatan di Indonesia
yang bersedia mengisi kuesioner
• Kriteria Eksklusi
• Bukan tenaga kesehatan
Perceptions of the level of heat stress experienced were evaluated by assessing, retrospectively,
temperature sensation (TS) and thermal comfort (TC) when PPE was worn and comparing the
change in sweating when PPE was worn to when PPE was not worn. These perceptions were
assessed by Likert scales (Supplementary S1). The level and consequence of heat stress
experienced by HCWs when wearing PPE was also assessed by the number and type of heat-
related illness signs and symptoms experienced (i.e. confusion, dark-coloured urine, dizziness,
fainting, fatigue, headache, muscle or abdominal cramps, gastrointestinal disturbance [nausea,
vomiting diarrhoea], profusely sweating, rapid heartbeat).
3.9 Analisis dan Penyajian Data
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Jenis Data
1 Durasi Penggunaan APD Kuesioner Mengisi 1=<4 Kategorik
Penggunaan selama melakukan Kuesioner jam/shift
APD perawatan pasien 2=≥4
COVID-19 dalam shift jam/shift
13
bekerja tanpa
istirahat melepas APD
2 Usia Masa waktu hidup Kuesioner Mengisi 1 = Usia < Kategorik
pekerja yang dihitung Kuesioner 40 tahun
dalam satuan tahun
hingga bulan 2 = Usia ≥
penelitian 40 tahun14
dilaksanakan
3 Jenis Laki-laki dan Kuesioner Mengisi 0= Kategorik
Kelamin perempuan Kuesioner Perempuan
1 = Laki-laki
4 Melepas Melepaskan seluruh Kuesioner Mengisi 0 = Ya Kategorik
APD saat atribut APD level 2 Kuesioner 1 = Tidak
Istirahat atau 3 saat sedang
istirahat diantara shift
4 Bekerja Di ruangan bekerja Kuesioner Mengisi 1 = Ya Kategorik
dalam selama menggunakan Kuesioner 2 = Tidak
ruangan APD level 2 dan 3
dengan Air tersedia AC dan
Conditioned berfungsi dengan baik
(AC)
5 Level APD Tingkat APD yang Kuesioner Mengisi 1 = APD Kategorik
yang Paling sering digunakan saat Kuesioner Tingkat 2
Sering bekerja sesuai
Digunakan dengan standar 2 = APD
nasional tingkat 31
6 Tempat Tempat bekerja Kuesioner Mengisi 1 = Ya Kategorik
Bekerja memiliki tempat Kuesioner 2 = Tidak
Memiliki khusus untuk istirahat
Ruang sebelum melepas dan
Khusus memasang APD
Untuk Kembali
Beristirahat
7 Gejala Respon fisiologis Kuesioner Mengisi 1 = tidak Kategorik
akibat tubuh terhadap Kuesioner ada gejala
tekanan tekanan panas yang
panas dinilai secara subjektif 2 = ada
berupa gejala yang gejala
dirasakan oleh tenaga
Kesehatan selama
penggunaan APD
3.11 Etika Penelitian
Referensi
1. IDI. PEDOMAN STANDAR PERLINDUNGAN DOKTER DI ERA COVID-19. Agustus. Jakarta: IDI; 2020.
2. Enhancing response to Omicron SARS-CoV-2 variant: Technical brief and priority actions for Member
States.
3. Koontalay A, Suksatan W, Prabsangob K, Sadang JM. Healthcare workers’ burdens during the COVID-
19 pandemic: A qualitative systematic review. Vol. 14, Journal of Multidisciplinary Healthcare. Dove
Medical Press Ltd; 2021. p. 3015–25.
4. COVID-19: Occupational health and safety for health workers Interim guidance. 2021.
5. Lee J, Venugopal V, Latha PK, Alhadad SB, Leow CHW, de Goh NY, et al. Heat stress and thermal
perception amongst healthcare workers during the covid-19 pandemic in india and singapore.
International Journal of Environmental Research and Public Health. 2020 Nov 1;17(21):1–12.
6. Elisheva R. Adverse Effects of Prolonged Mask Use among Healthcare Professionals during COVID-19.
Journal of Infectious Diseases and Epidemiology. 2020 Jun 1;6(3).
7. Galanis P, Vraka I, Fragkou D, Bilali A, Kaitelidou D. Impact of personal protective equipment use on
health care workers’ physical health during the COVID-19 pandemic: A systematic review and meta-
analysis. Vol. 49, American Journal of Infection Control. Mosby Inc.; 2021. p. 1305–15.
8. Arif A, Bhatti AM, Hussain A, Tariq M, Hadi O, Inam SHA. Physiological Impacts of Personal Protective
Equipment on Health Care Workers. The Indonesian Journal Of Occupational Safety and Health. 2021
Mar 17;10(1):1.
9. Unoki T, Sakuramoto H, Sato R, Ouchi A, Kuribara T, Furumaya T, et al. Adverse Effects of Personal
Protective Equipment Among Intensive Care Unit Healthcare Professionals During the COVID-19
Pandemic: A Scoping Review. Vol. 7, SAGE Open Nursing. SAGE Publications Inc.; 2021.
11. Bongers CCWG, de Korte JQ, Catoire M, Greefhorst J, Hopman MTE, Kingma B, et al. Infographic.
Cooling strategies to attenuate PPE-induced gejala akibat tekanan panas during the COVID-19
pandemic. Vol. 55, British Journal of Sports Medicine. BMJ Publishing Group; 2021. p. 69–70.
12. Bishop P, Crew K, Wingo J, Nawaiseh A. Modeling heat stress and gejala akibat tekanan panas in
protective clothing. In: Protective Clothing: Managing Thermal Stress. Elsevier Inc.; 2014. p. 416–34.
13. Tabah A, Ramanan M, Laupland KB, Buetti N, Cortegiani A, Mellinghoff J, et al. Personal protective
equipment and intensive care unit healthcare worker safety in the COVID-19 era (PPE-SAFE): An
international survey. Journal of Critical Care. 2020 Oct 1;59:70–5.
14. Larose J, Boulay P, Sigal RJ, Wright HE, Kenny GP. Age-related decrements in heat dissipation during
physical activity occur as early as the age of 40. PLoS ONE. 2013 Dec 12;8(12).