Anda di halaman 1dari 25

UNIVERSITAS INDONESIA

Hubungan Durasi Pemakaian Alat Pelindung Diri Tingkat 2 dan 3


Terhadap Timbulnya Gejala akibat Tekanan Panas Pada Tenaga
Kesehatan di Indonesia Selama Masa Pandemi Covid-19

Ferdhisa Noviar
(1906319593)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA


PROGRAM STUDI MAGISTER KEDOKTERAN KERJA
DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS
JAKARTA

Maret 2022
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Saat ini dunia sedang berjuang menghadapi pandemi COVID-19. Coronavirus


Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Severe Acute
Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). SARS-CoV-2 merupakan coronavirus
jenis baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Pada 31 Desember
2019, WHO China Country Office di Kota Wuhan melaporkan kasus pneumonia yang tidak
diketahui penyebabnya. Pada tanggal 7 Januari 2020, Pemerintah China kemudian
mengumumkan bahwa penyebab kasus tersebut adalah Coronavirus jenis baru yang
kemudian diberi nama SARS-CoV-2. Sejak dilaporkan, Penambahan jumlah kasus COVID-
19 berlangsung dengan cepat dan penyebaran telah meluas ke negara-negara lain di seluruh
dunia1.

Sejak kemunculannya, virus SARS-CoV-2 terus berevolusi dan WHO telah


menetapkan lima varian sebagai SARS-CoV-2 Variants of Concern (VOC) hingga saat ini –
yaitu Alpha, Beta, Gamma, Delta dan Omicron – karena dampak pada penularan, keparahan
penyakit, atau kapasitas untuk lolos dari kekebalan. Sementara varian Omicron menyebar
dengan cepat ke seluruh dunia, evolusi SARS-CoV-2 diperkirakan akan terus berlanjut dan
Omicron tidak mungkin menjadi VOC terakhir. Risiko keseluruhan yang terkait dengan
Omicron tetap sangat tinggi karena sejumlah alasan. Pertama, risiko global COVID-19 tetap
sangat tinggi secara keseluruhan. Kedua, data saat ini menunjukkan bahwa Omicron memiliki
keunggulan pertumbuhan yang signifikan atas Delta, yang mengarah pada penyebaran yang
cepat di masyarakat. Peningkatan kasus yang cepat akan menyebabkan peningkatan rawat
inap, dapat menimbulkan tuntutan yang berlebihan pada sistem kesehatan dan menyebabkan
morbiditas yang signifikan, terutama pada populasi yang rentan2.

Seiring dengan pernyataan WHO tersebut, tenaga kesehatan masih akan tetap
mendapatkan beban ekstra dalam memberikan pelayanan Kesehatan khususnya dalam hal
penanganan pandemi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pandemi COVID-19 telah
berdampak pada semua aspek kehidupan, terutama bagi penyedia layanan kesehatan yang
bekerja di garis depan. Pandemi telah mempengaruhi kesehatan fisik dan psikologis para
pekerja garda terdepan, sehingga mereka mengalami tekanan emosional seperti ketakutan,
kecemasan, depresi, dan stres. Selain itu, pandemi dapat meningkatkan gangguan stres
pascatrauma, yang menyebabkan kelelahan dan terputusnya beban kerja perawatan kesehatan
untuk memastikan keselamatan pasien dan kualitas perawatan yang diberikan kepada pasien3.

Dengan berkembangnya varian COVID-19 ini dan penambahan kasus yang akhir-
akhir ini melonjak, maka hal ini akan berpotensi menambah beban kerja tenaga kesehatan.
Risiko gangguan kesehatan, kecelakaan bahkan kematian sangat mungkin terjadi baik secara
langsung maupun tidak. Dampak pada tenaga kesehatan ini diantaranya risiko terinfeksi oleh
virus COVID-19, gangguan kesehatan terkait lingkungan kerja, paparan zat kimia terkait
dengan penggunaan disinfektan, stress psikis, kelelahan kronis, stigma serta diskriminasi 4.
Petugas kesehatan menghadapi peningkatan beban kerja dalam hal perawatan pasien COVID-
19, pengelolaan logistik, dan jam kerja yang memanjang, hal ini akan mendorong tenaga
kesehatan menggunakan APD dalam waktu yang panjang5.

COVID-19 menyebar melalui droplet udara, sehingga mewajibkan tenaga kesehatan


untuk menggunakan APD saat memberikan perawatan. APD meliputi gaun, sarung tangan,
masker, dan pelindung wajah. Namun, dalam penggunaan APD selain sebagai proteksi diri,
ternyata juga memberikan dampak negatif terhadap kesehatan tenaga kesehatan. Berkaca
pada peristiwa terdahulu saat pandemi SARS (sindrom pernafasan akut) pada tahun 2003-
2004 lalu yang berasal dari Guangdong, Cina6. Dimana telah banyak studi dilakukan tekait
dengan dampak buruk bagi kesehatan terkait penggunaan APD ini. Pada studi literatur oleh
Galanis, dkk memperkirakan sebanyak 78% tenaga kesehatan di Asia merasakan dampak
negatif selama menggunakan APD dalam bekerja7. Dalam studi yang dilakukan oleh Foo,
dkk mengenai dampak negatif pada kulit6. Dampak lain yakni sakit kepala, pusing dan
ketidaknyamanan dalam bernafas yang dapat mengganggu efisiensi dalam bekerja 8. Selain
itu, pada studi potong lintang yang dilakukan oleh Elisheva, dkk di Amerika Serikat
mengenai dampak negatif penggunaan masker berkepanjangan menunjukkan sebanyak
71.4% mengalami sakit kepala, dimana keluhan muncul seiring dengan durasi penggunaan
masker yang bertambah6. pada studi literatur yang dilakukan oleh Galanis, dkk bahwa dalam
7 studi yang ditemukan, durasi penggunaan APD merupakan faktor risiko yang penting
terhadap timbulnya gangguan kesehatan pada tenaga kesehatan 7. Tabah, dkk menyatakan
bahwa penggunaan APD yang berkepanjangan dapat meningkatkan risiko munculnya
gangguan kesehatan, dimana sebesar lebih dari 80% pada tenaga kesehatan di ruang Intensive
Care Unit (ICU) dengan penggunaan lebih dari 3 jam mengeluhkan sakit kepala 9. Dalam
penelitian terkini yang dilakukan oleh Jimmy Lee, dkk di Singapura dan India menemukan
bahwa penggunaan APD dapat memberikan tekanan panas atau heat stress pada tubuh tenaga
kesehatan, yang ditandai dengan 145.88% mengalami keringat berlebih, 144.87% responden
merasa kehausan, dan 78% merasakan kelelahan5. Namun belum ada penelitian yang
dilakukan di Indonesia mengenai hubungan durasi penggunaan APD terhadap respon
fisiologis tubuh terhadap panas atau gejala akibat tekanan panas.

1.2 Rumusan Masalah


Selama masa pandemi COVID-19 beban fisik tenaga kesehatan bertambah dikarenakan
kewajiban menggunakan APD tingkat 2 dan 3 saat bekerja untuk mengurangi risiko
penularan virus COVID-19, sehingga perlu di adakah hubungan durasi penggunaan APD
terhadap timbulnya gejala akibat tekanan panas.

1.3 Pertanyaan Penelitian


 Berapa prevalensi gejala akibat tekanan panas pada tenaga kesehatan di Indonesia
dalam penggunaan APD tingkat 2 dan 3 sekama masa pandemi COVID-19 ?
 Apakah hubungan durasi penggunaan APD tingkat 2 dan 3 selama lebih dari 4
jam dengan timbulnya gejala akibat tekanan panas pada tenaga kesehatan di
Indonesia selama masa pandemic COVID-19 ?

1.4 Tujuan Penelitian


1.5.1. Tujuan Umum
Mengetahui adakah hubungan durasi penggunaan APD tingkat 2 dan 3 pada
tenaga kesehatan di Indonesia selama masa pandemi dengan timbulnya heat
strain.
1.5.2. Tujuan Khusus
 Mengetahui hubungan durasi penggunaan APD tingkat 2 dan 3 lebih
dari 4 jam pada tenaga kesehatan di Indonesia selama masa pandemi
dengan gejala akibat tekanan panas.
 Untuk melihat prevalensi gejala akibat tekanan panas yang dirasakan
oleh tenaga kesehatan selama menggunakan APD tingkat 2 dan 3.
 Untuk mengetahui pengaruh tingkat APD yang digunakan, faktor
sosiodemografik dan lingkungan kerja para tenaga kesehatan, terhadap
gejala akibat tekanan panas selama masa pandemi di Indonesia.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Bagi Tenaga Kesehatan
 Memberikan pengetahuan mengenai patofisiologi gejala akibat tekanan
panas berkaitan dengan penggunaan APD tingkat 2 dan 3 dalam durasi
yang lama.
 Memberikan pengetahuan mengenai pencegahan dan pengendalian
potensi bahaya penggunaan APD tingkat 2 dan 3 yang berkepanjangan
terhadap gejala akibat tekanan panas.
1.5.2. Manfaat Bagi Fasilitas Kesehatan
 Memberikan masukan mengenai gambaran besarnya pengaruh durasi
penggunaan
 Menjadi dasar pertimbangan dalam membuat kebijakan atau program
untuk menjaga keselamatan dan kesehatan tenaga kesehatan yang berada
pada garis terdepan.
 Memberikan masukan untuk pencegahan dan pengendalian gejala gejala
akibat tekanan panas terkait penggunaan APD tingkat 2 dan 3 yang
berkepanjangan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mekanisme Homestasis Suhu Tubuh Pada Manusia


Jaringan tubuh sangat peka terhadap pengaruh suhu jaringan yang
menyimpang banyak dari suhu 37°C. Oleh karena itulah tubuh berusaha
mempertahankan suhu tubuhnya meskipun suhu lingkungan banyak berubah. Hal ini
diperoleh dengan menjaga keseimbangan antara panas yang hilang dari tubuh dengan
panas yang diperoleh tubuh yang berasal dari perubahan yang terjadi didalam tubuh
sendiri yang diterima dari luar. Proses ini disebut termoregulasi. Respon
termoregulasi refleks dan semirefleks yang diintegrasikan di dalam otak tersebut
mencakup perubahan otonom, endokrin dan perilaku. Suatu peningkatan dalam suhu
darah kurang dari 10°C mengaktivasi reseptor-reseptor panas di hipotalamus dan
perifer yang memberi sinyal pada pusat termoregulator hipotalamus. Hipotalamus
sendiri sering dipandang sebagai penyeimbang dan pengontrol suhu tubuh, dan juga
memprakarsai terjadinya respon menggigil serta penyempitan maupun pelebaran
pembuluh darah.
Ahlman dan Karvonen (1961) melaporkan bahwa kerja fisik dapat kembali
menginduksi pengeluaran keringat, dan keringat akan terhenti selama stimulasi
termal yang berulang dalam proses mandi sauna, supresi keringat ini berkaitan
dengan kulit yang basah. Tindakan mengeringkan kulit dengan handuk atau
meningkatkan gerak udara sekitar akan meningkatkan laju pengeluaran keringat.
Keringat yang sudah terevaporasi akan meninggalkan solut tetap melekat pada kulit
dan meningkatkan tekanan osmotik kulit. Keadaan ini tampaknya meningkatkan
sekresi keringat, namun perlu diingat bahwa keringat mengandung berbagai garam,
dan pengeluaran keringat yang berlebihan dapat menimbulkan kehilangan garam
dalam jumlah yang cukup besar.Mekanisme pengaturan suhu tubuh menggambarkan
sistem pengendalian dengan desain yang cantik. Suhu kulit, berbeda dengan suhu
inti, dapat naik dan turun sesuai dengan suhu lingkungan. Suhu kulit penting apabila
kita merujuk pada kemampuan kulit untuk melepaskan panas ke lingkungan10.
Pembentukan panas adalah produk utama metabolisme. Kecepatan
pembentukan panas, yang disebut kecepatan metabolisme tubuh diperngaruhi oleh
factor-faktor: (1) kecepatan metabolisme basal semua sel tubuh; (2) kecepatan
metabolisme tambahan yang disebabkan oleh aktivitas otot, termasuk kontraksi otot
yang disebabkan oleh menggigil; (3) metabolisme tambahan yang disebabkan oleh
pengaruh tiroksin (dan sebagian kecil hormon lain, seperti hormon pertumbuhan dan
testosteron) terhadap sel; (4) metabolisme tambahan yang disebabkan oleh pengaruh
epinefrin, norepinefrin, dan perangsangan simpatis terhadap sel; dan (5) metabolisme
tambahan yang disebabkan oleh meningkatnya aktivitas kimiawi di dalam sel sendiri,
terutama bila suhu di dalam sel meningkat; (6) metabolisme tambahan yang
diperlukan untuk pencernaan, absorpsi, dan penyimpanan makanan (efek termogenik
makanan)10.
Sebagian besar pembentukan panas di dalam tubuh dihasilkan di organ dalam,
terutama di hati, otak, jantung, dan otot rangka selama bekerja. Kemudian panas ini
dihantarkan dari organ dan jaringan yang lebih dalam ke kulit, yang kemudian
dibuang ke udara dan lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, kecepatan pengeluaran
panas hampir seluruhnya ditentukan oleh dua faktor: (1) seberapa cepat panas yang
dapat dikonduksi dari tempat asal panas dihasilkan, yakni dari dalam inti tubuh ke
kulit dan (2) seberapa cepat panas kemudian dapat dihantarkan dari kulit ke
lingkungan.10.
Pembuangan panas terutama lewat kulit dan saluran pernapasan, yang apabila
terdapat kelebihan maka panas dibawah kulit akan terbuang. Ini dapat berlangsung
dengan penghantaran langsung oleh jaringan-jaringan tubuh maupun bahan cair atau
fluida yang ada didalamnya, disamping yang utama yaitu diangkut oleh aliran darah
Berbagai cara yang menjelaskan mengenai pengeluaran panas dari kulit ke
lingkungan, diperlihatkan pada Gambar …. Cara tersebut meliputi 10:
 Radiasi
panas melalui radiasi berarti pengeluaran dalam bentuk
gelombang panas inframerah, suatu jenis gelombang
elektromagnetik. Tubuh manusia menyebarkan gelombang panas
ke segala penjuru. Gelombang panas juga dipancarkan dari
dinding ruangan dan benda-benda lain ke tubuh. Bila suhu tubuh
lebih tinggi dari suhu lingkungan, jumlah panas yang dipancarkan
keluar dari tubuh lebih besar daripada yang dipancarkan ke tubuh.
o Konduksi
Konduksi meliputi pemindahan panas secara langsung antara
dua zat yang berbeda suhunya. Seperti yang diperlihatkan pada
Gambar …., hanya sejumlah kecil panas, yakni sekitar 3 persen,
yang biasanya keluar dari tubuh melalui konduksi langsung dari
permukaan tubuh ke benda-benda padat, seperti kursi atau tempat
tidur. Sebaliknya, pengeluaran panas melalui konduksi ke udara
mencerminkan pengeluaran panas tubuh yang cukup besar (kira-
kira 15 persen) walaupun dalam keadaan normal. Sebagian besar
energi dipindahkan ke udara bila suhu udara lebih dingin dari
kulit, sehingga meningkatkan kecepatan gerakan molekul-
molekul udara. Segera setelah suhu udara yang bersentuhan
dengan kulit menjadi sama dengan suhu kulit, tidak terjadi lagi
pengeluaran panas dari tubuh ke udara, karena sekarang jumlah
panas yang dikonduksikan dari udara ke tubuh berada dalam
keadaan seimbang. Oleh karena itu, konduksi panas dari tubuh ke
udara mempunyai keterbatasan, kecuali udara panas bergerak
menjauhi kulit, sehingga udara baru, yang tidak panas secara
terus-menerus bersentuhan dengan kulit, fenomena ini disebut
konveksi udara.
o Konveksi
Perpindahan panas dari tubuh melalui aliran udara konveksi
secara umum disebut pengeluaran panas melalui konveksi.
Sebenarnya, panas pertama-tama harus dikonduksi ke udara dan
kemudian dibawa melalui aliran udara konveksi. Sejumlah kecil
konveksi hampir selalu terjadi di sekitar tubuh akibat
kecenderungan udara di sekitar kulit untuk naik ketika menjadi
panas. Oleh karena itu, pada orang telanjang yang duduk di
ruangan yang nyaman tanpa gerakan udara yang besar, akan
kehilangan sekitar 15 persen dari total panas yang keluar melalui
konduksi ke udara dan kemudian melalui konveksi udara yang
menjauhi tubuhnya.
o Evaporasi
Bila air berevaporasi dari permukaan tubuh, panas sebesar 0,58
Kalori (kilokalori) akan hilang untuk setiap satu gram air yang
mengalami evaporasi. Meskipun orang tersebut tidak berkeringat,
air masih berevaporasi secara tidak kelihatan dari kulit dan paru
dengan kecepatan sekitar 600 sampai 700 ml/hari. Hal ini
menyebabkan pengeluaran panas yang terus-menerus dengan
kecepatan 16 sampai 19 Kalori/jam. Evaporasi melalui kulit dan
paru yang tidak kelihatan ini tidak dapat dikendalikan untuk
tujuan pengaturan suhu karena evaporasi tersebut dihasilkan dari
difusi molekul air yang terusmenerus melalui permukaan kulit
dan sistem pernapasan. Akan tetapi, pengeluaran panas melalui
evaporasi keringat dapat dikendalikan dengan pengaturan
kecepatan berkeringat.

Gambar . Mekanisme Pengeluaran Panas Dari Tubuh

Keseimbangan panas dan suhu tubuh yang normal terjadi bila kecepatan
produksi panas metabolik tubuh diimbangi oleh kecepatan hilangnya panas tersebut
ke dalam lingkungan (Tabel 1). Perolehan panas tubuh menyebabkan peningkatan
suhu tubuh, sedangkan kehilangan panas berakibat menurunnya suhu tubuh. Tubuh
dapat membiarkan perubahan kecil pada suhu tubuh ini, akan tetapi bila
penyimpangan terjadi antara 4°C sampai 5°C dari keadaan normal 37°C biasanya
disertai dengan kerusakan yang menetap pada sistem saraf atau bahkan menyebabkan
kematian.

Tabel. Pemindahan Keseimbangan panas Tubuh

Pada individu istirahat tanpa baju yang dipapar terhadap panas (suhu ruang di
atas 28°C), atau selama melakukan kerja otot, panas tubuh cenderung meningkat.
Terjadi vasodilatasi kulit, arus balik darah berlangsung melalui vena superfisial dan
konduktans jaringan meningkat. Dalam zone nyaman arus darah kulit berkisar sekitar
5% dari volume semenit jantung. Sedangkan dalam keadaan panas hebat dapat
meningkat sampai 20% atau lebih dan dapat meningkatkan suhu kulit. Bila suhu
lingkungan sekitarnya lebih rendah dari suhu kulit, maka pengeluaran panas melalui
konveksi dan radiasi akan meningkat. Bila beban panas cukup besar maka kelenjar
keringat akan diaktifkan dan keringat yang keluar dievaporasi sehingga suhu kulit
menurun.

2.2 Indeks Stres Panas


Berbagai usaha telah dilakukan untuk memadukan berbagai pengukuran
menjadi satu indeks kering panas:
 Suhu efektif mengkoreksi efek kelembaban serta kecepatan angin yang berbeda,
dengan memperkirakan suhu udara yang masih tersaturasi yang dirasakan ekivalen
dengan suhu lingkungan yang telah diukur.
 Efek radiasi panas diintegrasikan ke dalam skala suhu efektif terkoreksi. Akan
tetapi perbedaan pakaian tidak terakomodasi dengan baik dalam skala tersebut.
Laju atau kecepatan kerja yang dapat meningkatkan panas keringat dengan
faktor sepuluh atau lebih, dalam hal ini tidak dapat diperhitungkan.
Untuk menilai beban panas dalam situasi industri The American Conference of
Governmental Industrial Hygienists (ACGIH, 1976), merekomendasikan batas untuk
aplikasi industri berdasarkan indeks suhu bola basah (Wet Bulb Globe Temperature =
WBGT). Nilai batas tersebut didasarkan pada asumsi bahwa semua pekerja yang
sudah teraklimatisasi dan berpakaian lengkap serta cukup memperoleh masukan
cairan dan garam, akan dapat bekerja pada kondisi yang ditentukan tanpa peningkatan
suhu tubuh di atas 38°C. Namun tidak ada dasar fisiologis yang sahih. Lagi pula
kinerja fisik meningkat dengan peningkatan suhu tubuh, oleh karena itu para atlet
dibiasakan melakukan “pemanasan” sebelum melakukan pertandingan.
Indeks stres panas bervariasi dan ditentukan dengan menghitung jumlah
evaporasi keringat yang dibutuhkan untuk mempertahankan keseimbangan suhu
dalam kondisi terukur, dihitung sebagai proporsi dari laju evaporasi maksimum yang
mungkin. Cara pengukuran ini mempunyai kelebihan karena dapat digunakan untuk
mengukur kondisi kerja, dalam arti:
 Apakah keadaan tersebut dapat ditoleransi selama kerja yang
berkesinambungan.
 Berapa lama pekerja yang bersangkutan diharapkan dapat bertahan dalam
kondisi tersebut.
 Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk pemulihan.
Di lapangan, perkiraan tersebut tetap perlu dibandingkan dengan keadaan
sebenarnya dengan mengukur secara langsung selama bekerja dalam kondisi
lingkungan yang sesuai dengan kriteria tersebut di atas, yaitu:
 Suhu inti dengan termometer klinik.
 Denyut jantung dengan mengukur denyut nadi.
 Keringat yang keluar dengan mengukur dan menghitung berat badan yang
hilang selama bekerja
Tidak banyak yang diketahui mengenai efek stres panas yang berlangsung
untuk waktu yang panjang, yang perlu diperhatikan adalah:
 Penggantian air dan garam yang keluar melalui keringat.
 Timbulnya gangguan pengaturan suhu tubuh berupa heat stres (tekanan panas)
dan heat stroke (sengatan panas).

Secara klinis sengatan panas didefinisikan sebagai peningkatan suhu inti tubuh
di atas 40OC dan disertai dengan gejala panas, kulit kering, kejang-kejang atau koma.
Sengatan panas diakibatkan karena pemaparan suhu lingkungan yang tinggi dan
latihan yang berat (dalam hal ini disebut exertional heat stroke). Pada gambar di
bawah ini diuraikan tentang mekanisme rangkaian kejadian perkembangan tekanan
panas (heat stres) menjadi sengatan panas (heat stroke).

Gambar. Mekanisme terjadinya tekanan panas menjadi sengatan panas pada tubuh

Tekanan panas (heat stress) merangsang pengaturan suhu, respon fase akut
dan respon syok panas. Kegagalan pengaturan suhu yang berlebihan dan perubahan
ekspresi protein-protein syok secara tunggal maupun kolektif mendukung terjadinya
sengatan panas. Vasodilatasi kutaneus akut dan vasokonstriksi limfatik
memungkinkan pengaliran darah yang dipanaskan dari organ-organ pusat ke perifer,
dimana panas tersebut kemudian ditransfer ke lingkungan. Perubahan ini dapat pula
menuntun hipoperfusi dan iskemia limpa menyebabkan peningkatan produksi oksigen
reaktif dan sepsis nitrogen yang pada gilirannya merangsang cedera. Endotoksin
kemudian dapat meluap ke sirkulasi dan meningkatkan respon fase akut menyebabkan
peningkatan produksi sitokin pirogen dan nitrit oksida. Baik sitokin dan nitrit oksida
dapat bergabung dengan termoregulasi dan mencetuskan sengatan panas (heat stroke).

Perlu pula dibedakan antara stress dan strain. Stress adalah beban yang timbul
akibat kondisi iklim serta kerja fisik, sedangkan strain ialah efek yang timbul akibat
stress. Ada tiga macam strain dengan cara pengukurannya:

 Pengalaman subjektif variabel iklim, diukur dengan kriteria nyaman atau tidak
nyaman, dapat atau tidak dapat ditoleransi. Atau dapat pula dibandingkan
langsung dengan parameter stres lain seperti suhu/kelembaban/kecepatan
udara mana yang sesuai dengan kondisi lingkungan yang dialami.
 Mengukur perubahan kinerja dalam melakukan uji tertentu dengan stres yang
berbeda, misalnya efek kelembaban terhadap uji aritmatik atau efek suhu
udara terhadap kreativitas.
 Mengukur perubahan fungsi tubuh yang tidak dapat dikendalikan oleh
kemauan seperti suhu inti, suhu kulit, denyut jantung sebagai efek langsung
dari stres panas.

Pada orang sehat kondisi iklim yang dapat ditoleransi membentuk grafik lebar
mendatar. Kondisi lingkungan optimal bergantung terutama kepada laju kerja fisik,
karena laju pembentukan panas yang lebih tinggi membutuhkan suhu lingkungan
yang lebih rendah. Pada kondisi lingkungan kerja yang normal, misalnya pekerja
kantor pengeluaran panas relatif tidak tinggi. Pada kondisi tersebut suhu 19-23°C,
kelembaban 30-70%, serta kecepatan angin 3-12 km/ menit, relatif dapat diterima
oleh sebagian besar orang yang sudah terbiasa dengan iklim bermusim. Pada
pemaparan panas dan kerja fisik berat yang berlangsung lama, batas parameter fisik
adalah:

 Suhu inti maksimum 38°C.


 Denyut nadi maksimum 110x/m.
 Kehilangan air (dehidrasi) maksimum 2- 3% berat badan.
 Diet (terutama air dan garam) yang adekuat untuk mengganti yang hilang
melalui keringat.

2.3 Mekanisme Penurunan Suhu Bila Tubuh Terlalu Panas


Sistem pengatur suhu menggunakan tiga mekanisme penting untuk
menurunkan panas tubuh ketika suhu tubuh menjadi sangat tinggi, yaitu10:
 Vasodilatasi pembuluh darah kulit. Pada hampir semua area di dalam
tubuh, pembuluh darah kulit berdilatasi dengan kuat. Hal ini disebabkan
oleh hambatan pusat simpatis di hipotalamus posterior yang menyebabkan
vasokonstriksi. Vasodilatasi penuh akan meningkatkan kecepatan
pemindahan panas ke kulit sebanyak delapan kali lipat.
 Berkeringat. Efek peningkatan suhu tubuh yang menyebabkan berkeringat
digambarkan oleh kurva abu-abu terang pada Gambar 73-7, yang
memperlihatkan peningkatan yang tajam pada kecepatan pengeluaran
panas melalui evaporasi, yang dihasilkan dari berkeringat ketika suhu inti
tubuh meningkat di atas nilai kritis 37°C (98,6°F). Peningkatan suhu
tubuh tambahan sebesar 1°C, menyebabkan pengeluaran keringat yang
cukup banyak untuk membuang 10 kali kecepatan pembentukan panas
tubuh.
 Penurunan pembentukan panas. Mekanisme yang menyebabkan
pembentukan panas yang berlebihan, seperti menggigil dan termogenesis
kimia, dihambat dengan kuat.

2.4 Pengaturan Perilaku pada Suhu Tubuh


Selain mekanisme bawah sadar untuk pengaturan suhu tubuh, tubuh masih
memiliki mekanisme pengaturan suhu lain yang bahkan lebih kuat. Bila suhu tubuh
internal menjadi sangat tinggi, sinyal dari area pengatur suhu di otak membuat orang
mengalami sensasi fisik kepanasan. Sebaliknya, bila tubuh menjadi terlalu dingin,
sinyal dari kulit dan mungkin juga dari reseptor tubuh bagian dalam mengeluarkan
perasaan dingin yang tidak nyaman. Oleh karena itu, orang tersebut akan membuat
penyesuaian lingkungan yang tepat untuk dapat mencapai kembali kenyamanan,
seperti bergerak ke ruang yang panas atau dengan memakai baju yang memiliki
penyekat yang baik terhadap udara dingin. Hal ini merupakan sistem pengaturan
suhu tubuh yang lebih kuat daripada yang telah ditemukan oleh ahli fisiologi di masa
lalu. Bahkan, mekanisme ini benar-benar merupakan mekanisme yang efektif untuk
mempertahankan suhu tubuh pada lingkungan yang sangat dingin10.

2.5 Heat-related Illness


Heat-related illness (penyakit akibat panas) merupakan keluhan atau kelainan
klinis yang akibatkan oleh paparan panas. Heat related-Ilness mencakup berbagai
gangguan mulai dari gangguan yang ringan hingga mengancam nyawa. Penyakit ini
muncul jika terdapat gangguan regulasi suhu tubuh akibat input panas dan
metabolisme tubuh meningkat namun tidak diimbangi dengan pengeluaran panas dari
kulit secara radiasi, evaporasi, dan konveksi. Penyakit ini banyak terjadi di daerah
tropis. Pengaturan suhu tubuh diatur terutama oleh hipotalamus untuk tetap berada
diantara 36- 37˚C meski berada di suhu lingkungan yang bervariasi. Keadaan
hipertermi ditunjukkan dengan peningkatan suhu yang diakibatkan oleh
ketidakseimbangan penyerapan panas atau kegagalan dalam membuang panas.
Perubahan fisiologis akut terjadi ketika tubuh terpapar panas. Termoregulasi
diatur sistem saraf pusat di hipotalamus dan sumsum tulang serta sistem saraf perifer
di kulit dan organ. Vasodilatasi pada pembuluh darah di kulit terjadi untuk
menghilangkan panas secara konvektif. Pada suhu tubuh yang ekstrim, terjadi
kerusakan sel yang mengakibatkan terbentuknya respon inflamasi sistemik dan
peningkatan permeabilitas dinding sel sehingga terjadi pelepasan endotoksin.
Gangguan homeostasis ini menginisiasi kaskade yang mengakibatkan hipoksia
jaringan, asidosis metabolik, dan kerusakan organ.
Manifestasi penyakit akibat panas bervariasi mulai dari yang ringan (heat
edema, heat rash, heat crumps, dan heat syncope) ke keadaan yang lebih serius (heat
exhaustion) hingga berat seperti heat stroke yang dapat mengancam jiwa. Belum ada
bukti bahwa manifestasi ringan akan mengalami progres menjadi yang lebih berat
jika tidak diberi terapi yang baik. Namun tanpa terapi, heat exhaustion memiliki
potensi untuk menjadi heat stroke.
 Heat edema adalah manifestasi ringan dari penyakit akibat panas dengan
bentuk heat rash dan heat rash. Hal ini timbul pada jaringan lunak yang
mengalami pembengkakan, umumnya pada ekstremitas bawah. Vasodilatasi
perifer terjadi untuk meningkatkan pengeluaran panas sehingga cairan
interstitial terakumulasi pada ektremitas bawah. Edema dalam kasus ini
adalah self-limiting dan biasanya tidak lebih dari satu minggu.
 Heat rash atau miliaria rubra atau biang keringat ditandai dengan pinpoint
eritema papular yang sering kali disertai dengan rasa gatal, dan dapat terjadi
erupsi pada daerah yang tertutup pakaian. Biasanya terjadi di daerah pinggang
atau daerah yang sering berkeringat seperti wajah, ekstremitas atas, dan leher.
Keringat berlebih dapat menyumbat saluran keringat hingga terjadi obstruksi
yang akan menimbulkan kebocoran kelenjar keringat hingga epidermis dan
dermis. Salah satu pencegahan yang dapat dilakukan adalah penggunaan
pakaian yang longgar. Gejala yang berkepanjangan menyebabkan infeksi
sekunder Staphylococcus.
 Heat syncope akibat kurangnya perfusi selama dan setelah bekerja dalam
keadaan panas. Deplesi volume, vasodilatasi perifer, dan penurunan tonus
vasomotor untuk meningkatkan aliran darah ke perifer mengakibatkan
penurunan aliran ke sistem saraf pusat. Heat syncope terjadi bersamaan
dengan hipotensi ortostatik akibat vasodilatasi perifer. Posisi berdiri terlalu
lama dan perubahan posisi tubuh yang cepat dapat menjadi penyebabnya.
Suhu pada keadaan ini adalah normal atau sedikit meningkat.
 Heat cramps merupakan salah satu indikasi awal penyakit akibat panas
berupa spasme otot. Hal ini terjadi akibat paparan panas berlebih yang
mengakibatkan keringat berlebih dengan masukan cairan dan elektrolit yang
inadekuat. Dampaknya adalah ketidakmampuan melanjutkan aktivitas dalam
waktu yang singkat. Suhu pada keadaan ini biasanya normal atau sedikit
meningkat. Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan hiponatremia,
hipokloremia, hipokalemia dengan sodium urin yang rendah.
 Heat exhaustion bisa menjadi gambaran awal dari penyakit akibat panas.
Berdasarkan etiologinya dibagi menjadi dua yaitu deplesi air (hipernatremia)
yang cepat timbul akibat penambahan cairan yang inadekuat dan deplesi
garam (hiponatremia) akibat pemberian pengganti air yang berkepanjangan
dengan masukan sodium yang insufisien. Suhu tubuh dalam keadaan ini
berkisar antara 37°C-40°C . Gejala yang muncul berupa malaise, fatigue,
sakit kepala, peningkatan rasa haus, mual, muntah, kram otot, kulit yang
dingin atau berkerut, dan pingsan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
takikardi ringan, ortostasis, takipnea, membran mukosa mengering, , kulit
memerah, dan muscle tenderness.
 Heat exhaustion dapat berkembang menjadi heat stroke jika terapi yang
diberikan inadekuat. Kondisi ini merupakan suatu keadaan emergensi yang
ditandai dengan meningkatnya suhu tubuh ≥40°C, gangguan sistem saraf
pusat (iritabilitas, ataksia, confusion, kejang, halusinasi, dan koma). Pada
keadaan suhu dibawah 40°C namun disertai dengan perubahan status mental,
heat stroke perlu dipertimbangkan. 7,11

2.6 Pengaruh Pakaian Terhadap Pengeluaran Panas Konduktif

Pakaian menjebak udara di antara kulit dan rajutan pakaian, sehingga


meningkatkan ketebalan yang disebut zona pribadi dari udara yang berdekatan dengan
kulit dan juga menurunkan aliran udara konveksi. Akibatnya, kecepatan pengeluaran
panas dari tubuh melalui konduksi dan konveksi sangat menurun. Pakaian dengan
bahan biasa menurunkan kecepatan pengeluaran panas kira-kira setengah dari tubuh
yang telanjang, sedangkan pakaian kutub dapat menurunkan kecepatan pengeluaran
panas paling sedikit sampai seperenam kalinya. Sekitar setengah panas yang
dipindahkan dari kulit ke pakaian dipancarkan melalui radiasi ke pakaian dan bukan
dipan carkan melalui konduksi melewati ruang kecil. Oleh sebab itu, melapisi pakaian
di bagian dalam dengan lapisan emas tipis, yang memantulkan panas kembali ke
tubuh, membuat perangkat penyekat pakaian tersebut jauh lebih efektif daripada bila
tidak dilapisi. Efektivitas pakaian dalam mempertahankan suhu tubuh hampir hilang
semuanya bila pakaian menjadi basah, karena konduktivitas air yang tinggi
meningkatkan kecepatan pemindahan panas melalui baju hingga sebesar 20 kali lipat
atau lebih10.

APD dibuat kedap terhadap cairan seperti keringat, sehingga menciptakan


suatu iklim mikro di sekitar kulit yang panas dan lembab sehingga menghambat
proses penguraian panas melalui proses radiasi maupun konveksi dari permukaan
kulit menjadi terhambat dan terjebak antara tubuh pengguna APD dan pakaian. Maka
penggunaan APD yang berkepanjangan akan menyebabkan gejala akibat tekanan
panas, ketidaknyamanan akibat panas, keringat berlebih, dehidrasi lebih cepat, dan
peningkatan beban kardiovaskular. Untuk mengakomodasi kehilangan panas, terjadi
redistribusi darah dari organ pusat dan otot rangka ke kulit, yang selanjutnya akan
memperburuk beban fisiologis tubuh. Dan pada akhirnya menyebabkan waktu
toleransi kerja yang lebih pendek dan penurunan kinerja, baik secara fisik maupun
kognitif.11
Gambar. Faktor yang mempengaruhi timbulnya Gejala akibat tekanan panas12

2.7 Kerangka Teori


2.8 Kerangka Konsep
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Potong lintang untuk mengetahui prevalensi dan mencari hubungan antara durasi
pemakaian APD level 2 dan 3 dengan timbulnya gejala terkait gejala akibat tekanan panas
secara subjektif dari data sekunder penelitian yang sedang berjalan.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

3.3 Populasi Penelitian

Populasi penelitian adalah seluruh tenaga kesehatan di Indonesia yang bekerja di fasilitas
kesehatan primer maupun sekunder. Populasi target adalah seluruh tenaga kesehatan di
Indonesia yang bekerja di fasilitas kesehatan primer maupun sekunder yang menggunakan
APD tingkat 2 dan 3 saat bekerja.

3.4 Sampel Penelitian

3.4.1 Besar Sampel

3.4.2 Kriteria sampel

3.5 Instrumen Penelitian

• Kuesioner di adaptasi dari penelitian yang dilakukan di Singapura dan India oleh
Jimmy Lee Pada Tahun 2020 yang sudah di terjemahkan ke Bahasa Indonesia.

• https://docs.google.com/forms/d/e/
1FAIpQLSeHLQoJBcpbqeVolli9yO6iDmubsAu9MRI8vqw3RnQdWWhN4Q/
viewform

3.7 Variabel Penelitian

Variabel Bebas
Durasi Pemakaian APD
Variabel Moderator
Usia, Jenis Kelamin, Level APD yang digunakan
Variabel Perancu
Bekerja dalam ruangan dengan Air Conditioned (AC), Melepas APD saat
Istirahat, Tempat Bekerja Memiliki Ruang Khusus Istirahat
Variabel Terikat
Gejala akibat tekanan panas

3.7 Sumber Data dan Cara Pengambilan Data

• Data sekunder kuesioner berbasis daring dari penelitian yang sedang berjalan di FKUI

• Kriteria Inklusi
Seluruh Tenaga Kesehatan yang bekerja di Fasilitas Kesehatan di Indonesia
yang bersedia mengisi kuesioner
• Kriteria Eksklusi
• Bukan tenaga kesehatan

• Posisi pekerjaan di bagian struktural atau managerial

• Menggunakan APD tingkat 1 saat bekerja

• Tidak mengisi kuesioner secara lengkap

3.8 Cara Kerja

Perceptions of the level of heat stress experienced were evaluated by assessing, retrospectively,
temperature sensation (TS) and thermal comfort (TC) when PPE was worn and comparing the
change in sweating when PPE was worn to when PPE was not worn. These perceptions were
assessed by Likert scales (Supplementary S1). The level and consequence of heat stress
experienced by HCWs when wearing PPE was also assessed by the number and type of heat-
related illness signs and symptoms experienced (i.e. confusion, dark-coloured urine, dizziness,
fainting, fatigue, headache, muscle or abdominal cramps, gastrointestinal disturbance [nausea,
vomiting diarrhoea], profusely sweating, rapid heartbeat).
3.9 Analisis dan Penyajian Data

3.10 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Jenis Data
1 Durasi Penggunaan APD Kuesioner Mengisi 1=<4 Kategorik
Penggunaan selama melakukan Kuesioner jam/shift
APD perawatan pasien 2=≥4
COVID-19 dalam shift jam/shift
13
bekerja tanpa
istirahat melepas APD
2 Usia Masa waktu hidup Kuesioner Mengisi 1 = Usia < Kategorik
pekerja yang dihitung Kuesioner 40 tahun
dalam satuan tahun
hingga bulan 2 = Usia ≥
penelitian 40 tahun14
dilaksanakan
3 Jenis Laki-laki dan Kuesioner Mengisi 0= Kategorik
Kelamin perempuan Kuesioner Perempuan
1 = Laki-laki
4 Melepas Melepaskan seluruh Kuesioner Mengisi 0 = Ya Kategorik
APD saat atribut APD level 2 Kuesioner 1 = Tidak
Istirahat atau 3 saat sedang
istirahat diantara shift
4 Bekerja Di ruangan bekerja Kuesioner Mengisi 1 = Ya Kategorik
dalam selama menggunakan Kuesioner 2 = Tidak
ruangan APD level 2 dan 3
dengan Air tersedia AC dan
Conditioned berfungsi dengan baik
(AC)
5 Level APD Tingkat APD yang Kuesioner Mengisi 1 = APD Kategorik
yang Paling sering digunakan saat Kuesioner Tingkat 2
Sering bekerja sesuai
Digunakan dengan standar 2 = APD
nasional tingkat 31
6 Tempat Tempat bekerja Kuesioner Mengisi 1 = Ya Kategorik
Bekerja memiliki tempat Kuesioner 2 = Tidak
Memiliki khusus untuk istirahat
Ruang sebelum melepas dan
Khusus memasang APD
Untuk Kembali
Beristirahat
7 Gejala Respon fisiologis Kuesioner Mengisi 1 = tidak Kategorik
akibat tubuh terhadap Kuesioner ada gejala
tekanan tekanan panas yang
panas dinilai secara subjektif 2 = ada
berupa gejala yang gejala
dirasakan oleh tenaga
Kesehatan selama
penggunaan APD
3.11 Etika Penelitian
Referensi

1. IDI. PEDOMAN STANDAR PERLINDUNGAN DOKTER DI ERA COVID-19. Agustus. Jakarta: IDI; 2020.

2. Enhancing response to Omicron SARS-CoV-2 variant: Technical brief and priority actions for Member
States.

3. Koontalay A, Suksatan W, Prabsangob K, Sadang JM. Healthcare workers’ burdens during the COVID-
19 pandemic: A qualitative systematic review. Vol. 14, Journal of Multidisciplinary Healthcare. Dove
Medical Press Ltd; 2021. p. 3015–25.

4. COVID-19: Occupational health and safety for health workers Interim guidance. 2021.

5. Lee J, Venugopal V, Latha PK, Alhadad SB, Leow CHW, de Goh NY, et al. Heat stress and thermal
perception amongst healthcare workers during the covid-19 pandemic in india and singapore.
International Journal of Environmental Research and Public Health. 2020 Nov 1;17(21):1–12.

6. Elisheva R. Adverse Effects of Prolonged Mask Use among Healthcare Professionals during COVID-19.
Journal of Infectious Diseases and Epidemiology. 2020 Jun 1;6(3).

7. Galanis P, Vraka I, Fragkou D, Bilali A, Kaitelidou D. Impact of personal protective equipment use on
health care workers’ physical health during the COVID-19 pandemic: A systematic review and meta-
analysis. Vol. 49, American Journal of Infection Control. Mosby Inc.; 2021. p. 1305–15.

8. Arif A, Bhatti AM, Hussain A, Tariq M, Hadi O, Inam SHA. Physiological Impacts of Personal Protective
Equipment on Health Care Workers. The Indonesian Journal Of Occupational Safety and Health. 2021
Mar 17;10(1):1.

9. Unoki T, Sakuramoto H, Sato R, Ouchi A, Kuribara T, Furumaya T, et al. Adverse Effects of Personal
Protective Equipment Among Intensive Care Unit Healthcare Professionals During the COVID-19
Pandemic: A Scoping Review. Vol. 7, SAGE Open Nursing. SAGE Publications Inc.; 2021.

10. Guyton A. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology. 2011.

11. Bongers CCWG, de Korte JQ, Catoire M, Greefhorst J, Hopman MTE, Kingma B, et al. Infographic.
Cooling strategies to attenuate PPE-induced gejala akibat tekanan panas during the COVID-19
pandemic. Vol. 55, British Journal of Sports Medicine. BMJ Publishing Group; 2021. p. 69–70.

12. Bishop P, Crew K, Wingo J, Nawaiseh A. Modeling heat stress and gejala akibat tekanan panas in
protective clothing. In: Protective Clothing: Managing Thermal Stress. Elsevier Inc.; 2014. p. 416–34.

13. Tabah A, Ramanan M, Laupland KB, Buetti N, Cortegiani A, Mellinghoff J, et al. Personal protective
equipment and intensive care unit healthcare worker safety in the COVID-19 era (PPE-SAFE): An
international survey. Journal of Critical Care. 2020 Oct 1;59:70–5.

14. Larose J, Boulay P, Sigal RJ, Wright HE, Kenny GP. Age-related decrements in heat dissipation during
physical activity occur as early as the age of 40. PLoS ONE. 2013 Dec 12;8(12).

Anda mungkin juga menyukai