Anda di halaman 1dari 44

HUBUNGAN WAKTU TUNGGU (WAITING TIME) DENGAN

TINGKAT KECEMASAN KELUARGA PASIEN DI ERA


PANDEMIK COVID 19 DI IGD RS ADVENT
BANDAR LAMPUNG
TAHUN 2021

PROPOSAL SKRIPSI

OLEH :

MUHAMMAD RIZKY FAZRY

NPM :17310184

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MALAHAYATI

BANDAR LAMPUNG

TAHUN 2021
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Corona Virus Desease (Covid-19) adalah kelompok virus yang bisa

menyebabkan penyakit, baik itu pada manusia maupun pada hewan, pada

manusia bisa menyebabkan infeksi saluran pernafasan mulai dari flu

biasa sampai penyakit yang serius seperti Middle East Respiratory

Syndroma (MERS) dan syndroma pernafasan akut berat/ Severe Acute

Respiratory Syndroma (SARS). Menurut (WHO, 2020) Covid-19

merupakan penyakit menular yang pertama ditemukan di Wuhan

Tiongkok pada bulan Desember 2019. Komisi Kesehatan Nasional

(NHC) Republik Rakyat Tiongkok kemudian mengumumkan hal itu

dengan Corona Virus Novel, sekarang bernama Covid-19 yang menjadi

pandemi di dunia pada saat sekarang (WHO, 2020).

Dari data (WHO, Juli 2020), terpapar Covid-19 di Dunia tersebar di

216 negara dan wilayah, dengan total kasus 14.765.256 jiwa. Angka ini

setiap harinya terus bertambah. Amerika Serikat merupakan negara

tertinggi positif Covid-19 dengan total kasus 3.805.524 jiwa. Menurut

(Reuters/Bren dan Mc dermid, April 2020) pasien terinfeksi Covid-19

usia yang lebih dari 60 th.Di indonesia berdasarkan data (WHO, Juli

2020), angka kejadian Covid-19 sebanyak 93.657 orang dengan jumlah


penduduk 269.603.400 jiwa, berada pada urutan 24 dari 216 negara di

dunia yang terinfeksi Covid-19.

Selain menimbulkan banyak permasalahan baru seperti

permasalahan ekonomi hingga permasalahan kesehatan. Pandemi ini juga

menimbulkan kecemasan masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya

baik itu yang masih pelajar atau yang sudah bekerja. Selain masalah

kesehatan ada masalah baru yang juga datang menghampiri ketika masa

pandemi ini, masalah kesehatan mental (Brooks, 2020).

Salah satu masalah baru yang ditimbulkan oleh pandemik covid 19

adalah anxiety atau kecemasan, di mana kecemasan ini membuat

masyarakat tidak lagi nyaman untuk melakukan sesuatu dikarenakan

adanya ketakutan dan kekhawatiran yang timbul dalam diri akan penyakit

covid 19 (Addi, 2020). Definisi lain cemas adalah satu keadaan yang

membuat seseorang tidak nyaman dan terbagi dalam beberapa tingkatan.

Dapat diartikan cemas berkaitan dengan perasaan yang tidak pasti dan

tidak berdaya (Kusuma & Hartono, 2010).

Salah satu contoh kecemasan yang ditimbulkan covid 19 adalah

ketika di tempat pelayanan kesehatan terutama IGD (Instalasi Gawat

Darurat) di mana tenaga kesehatan tidak mengetahui apakah pasein yang

ditangani ini memiliki indikasi covid 19 atau tidak. Kecemasan tidak

hanya dialami oleh tenaga kesehatan, tetapi juga dialami oleh masyarakat

memiliki kecemasan akan tenaga kesehatan, dikarenakan ketidaktahuan

masyarakat apakah sebelumnya dokter yang menangani baik itu keluarga


maupun kerabat setelah menangani pasien yang memiliki gejala covid 19

(Addi, 2020).

Instalasi Gawat Darurat (IGD) adalah salah satu bagian di rumah

sakit yang menyediakan penanganan awal bagi pasien sakit dan cedera

yang dapat mengancam kelangsungan hidupnya. Pelayanan gawat darurat

adalah tindakan medis yang dibutuhkan oleh korban/pasien gawat darurat

dalam waktu segera untuk menyelamatkan nyawa dan pencegahan

kecacatan (Kementerian Kesehatan RI, 2016). Setiap tahun jumlah

kunjungan pasien di IGD terus bertambah. Terjadi peningkatan sekitar

30% di seluruh IGD rumah sakit dunia (Bashkinetal, 2015).

Pelayanan kegawatdaruratan memerlukan penanganan secara

terpadu dari multi disiplin dan multi profesi termasuk pelayanan

keperawatan. Pelayanan kegawatdaruratan saat ini sudah diatur dalam

suatu sistem yang dikenal dengan Sistem Penanggulangan Gawat Darurat

Terpadu (SPGDT) baik SPGDT sehari-hari (SPGDT-S) dan akibat

bencana (SPGDT-B).

Penanganan gawat darurat ada filosofinya yaitu Time Saving it’s

Live Saving, artinya seluruh tindakan yang dilakukan pada saat kondisi

gawat darurat haruslah benar-benar efektif dan efisien. Hal ini

mengingatkan pada kondisi tersebut pasien dapat kehilangan nyawa

hanya dalam hitungan menit saja. Berhenti nafas 2-3 menit pada manusia

dapat mengakibatkan kematian yang fatal (Surtiningsih, 2016).


Triage merupakan proses pemilihan pasien untuk menentukan

tingkat kegawatan dan prioritas penanganan pasien. Sistem triage yang

diaplikasikan di IGD sangat beragam, mulai dari 2 tingkat sampai dengan

5 tingkat. Australian Triage Scale (ATS) merupakan salah satu system

triage yang menggunakan 5 kategori pasien. Forerodan Nugus (2012)

mengkategorikan ATS didasarkan pada lamanya waktu klien menerima

tindakan. Skala prioritas pada ATS dibagi menjadi 5 skala yaitu ATS 1

harus segera ditangani, ATS 2 maksimal waktu tunggu 10 menit, ATS 3

maksimal waktu tunggu 30 menit, ATS 4 maksimal waktu tunggu 60

menit, ATS 5 maksimal waktu tunggu 120 menit. Waktu tunggu

didefinisikan sebagai waktu dari kedatangan pasien di IGD sampai

dengan kontak pertama kali dengan dokter (Lambeatal, 2003). Waktu

tunggu ini sangat penting dalam menentukan efisiensi kinerja operasional

dan klinis (Mason, 2007). Lama waktu tunggu pasien mencerminkan

bagaimana rumah sakit mengelola komponen pelayanan yang

disesuaikan dengan situasi dan harapan pasien (Depkes RI, 2007).

Pasien dalam kondisi gawat darurat dapat menimbulkan kecemasan

tersendiri bagi keluarga pasien, melihat keadaan pasien dengan adanya

ancaman kematian dan kecacatan membuat keluarga menginginkan

pasien segera mendapatkan penanganan di ruang instalasi gawat darurat

sedangkan waktu tunggu (waiting time) pelayanan di ruang IGD juga

mempunyai ketentuan atau prioritas kasus, di tambah dengan adanya

pandemic covid-19 ini menyebabkan keluarga pasien memiliki


kecemasan yang berganda. kecemasan terhadap pasien itu sendiri dan

kecemasan akan takutnya tertular covid-19.

Kecemasan adalah gangguan alam perasaan (affective) yang

ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam

dan berkelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas

(Reality Testing Ability/ RTA, masih baik), kepribadian masih tetap utuh

(tidak mengalami keretakan kepribadian/ splitting of personality),

perilaku dapat terganggu tetapi masih dalam batas-batas normal (Hawari,

2011).

Berdasarkan penelitian Furwanti (2014) menunjukkan bahwa

keluarga pasien di IGD paling banyak mengalami kecemasan berat

(41,2%) dan sisanya mengalami kecemasan ringan (20,6%), kecemasan

sedang (29,4%), kecemasan berat sekali (2,9%) dan tidak cemas (5,9%).

Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa hampir separuh

responden yang mengalami kecemasan berat adalah keluarga pasien yang

baru pertama kali ke IGD (41,2%). Didapatkan nilai P = 0,00 (<0,05)

maka dapat disimpulkan didapatkan hubungan antara waktu tunggu

dengan kecemasan.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kumarieng (2018) Hasil

analisis data menunjukkan nilai p = 0,0261 (<0,05). Kesimpulan dari

penelitian ini adalah terdapat hubungan antara waktu tunggu dengan

tingkat kecemasan pasien prioritas 3 di IGD RSUD Prof. Dr. W. Z.

Johannes Kupang.
Setiap rumah sakit memiliki peraturan terkait waktu tunggu pasien

sebelum mendapatkan pertolongan pertama dari tenaga kesehatan.

Namun meski terdapat perbedaan terkait waktu tunggu di setiap rumah

sakit tetap mengacu pada pedoman ATS. Waktu tunggu ini menyebabkan

kekhawatiran keluarga pasien terkait kesehatan pasien dan juga

kesehatan keluarga pasien yang menuggu, di mana pada masa pandemik

ini rumah sakit merupakan tempat yang memiliki faktor resiko terpapar

covid 19 yang tinggi.

Maka dari fenomena inilah yang mendorong peneliti tertarik untuk

meneliti hubungan waktu tunggu dan tingkat kecemasan keluarga pasien

di IGD RS Advent Bandar Lampung pada masa pandemik covid 19.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana hubungan waktu tunggu dengan tingkat kecemasan

keluarga pasen di IGD Rumah Sakit Advent Bandar Lampung selama

masa pandemik covid 19?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan waktu tunggu dengan tingkat kecemasan

keluarga pasien di IGD Rumah Sakit advent Bandar lampung pada era

pandemic covid-19.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui tingkat kecemasan keluarga pasien pada pelayanan

kesehatan di IGD Rumah Sakit Advent di era pandemik covid 19


2. Mengetahui waktu tunggu di IGD Rumah Sakit Advent di era

pandemik covid 19

3. Mengetahui hubungan waktu tunggu dengan tingkat kecemasan

keluarga pasien pada pelayanan kesehatan di IGD Rumah Sakit

Advent Bandar Lampung

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Peneliti

Sebagai syarat pemenuhan tugas akhir guna mendapatkan gelar

sarjana kedokteran (S.Ked) serta menambah wawasan dan pengetahuan

peneliti tentang kecemasan dan pelayanan kesehatan di rumah sakit

1.4.2 Bagi Institusi

Sebagai bahan acuan dalam mengevaluasi program triage IGD

dalam menjalanjakn pelayanan kegiatan rumah sakit

1.4.3 Bagi Peneliti Selanjutnya

Bagi peneliti selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan acuan

penyusunan skripsi tentang waktu tunggu dan tingkat kecemasan pasien

dan keluarga pasien.

1.5 Ruang Lingkup

1.5.1 Judul Penelitian

Judul penelitian adalah Hubungan Waktu Tunggu dengan Tingkat

Kecemasan Keluarga pasien di Era Pandemik Covid 19 di IGD Rumah

Sakit Advent Bandar Lampung.

1.5.2 Ruang Lingkup Subjek


Subjek pada penelitian ini adalah anggota keluarga pasien IGD di

Rumah Sakit Advent Bandar Lampung.

1.5.3 Ruang lingkup Objek

Penelitian ini dilakukan di IGD Rumah Sakit Pertamina Advent

Bandar Lampung.

1.5.4 Ruang Lingkup Waktu

Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2021 di IGD Rumah

Sakit Advent Bandar Lampung.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Kecemasan

2.1.1 Definisi Kecemasan

Cemas (anxietas) merupakan sebuah emosi dan pengalaman

subjektif dari seseorang. Definisi lain cemas adalah satu keadaan yang

membuat seseorang tidak nyaman dan terbagi dalam beberapa tingkatan.

Dapat diartikan cemas berkaitan dengan perasaan yang tidak pasti dan

tidak berdaya (Kusuma & Hartono, 2010). Kecemasan adalah situasi yang

dirasa tidak menyenangkan dan ditakuti oleh fisik yang memperingatkan

seseorang akan bahaya yang mengancam (Feist & Feist, 2010).

Kecemasan merupakan emosi subjektif yang membuat individu

tidak nyaman, ketakutan yang tidak jelas dan gelisah, dan disertai respon

otonom. Kecemasan juga merupakan kekhawatiran yang tidak jelas dan

menyebar berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya (Tomb,

2004). Lebih lanjut, Stuart (2001, dalam Herman, 2011) mengatakan

kecemasan adalah keadaan emosi yang tidak memiliki objek yang spesifik

dan kondisi dialami secara subjektif. Cemas berbeda dengan rasa takut.

Takut merupakan penilaian intelektual terhadap sesuatu yang berbahaya

sedangkan cemas adalah respons emosional terhadap penilaian tersebut.

Menurut Wignyosoebroto (1981 dalam Purba dkk. 2008) takut mempunyai

sumber penyebab yang spesifik atau objektif yang dapat diidentifikasi

secara nyata, sedangkan cemas sumber penyebabnya tidak dapat ditunjuk

secara nyata dan jelas.


Sementara itu, Spielberger (1983) mendefinisikan kecemasan

sebagai keadaan emosional sementara yang ditandai dengan adanya

perasaan subjektif terhadap ketegangan, dan kekhawatiran, serta

peningkatan aktivitas pada sistem saraf otonom. la menjelaskan bahwa

secara konseptual perlunya membedakan antara kondisi dari stimulus yang

memunculkan kecemasan dengan perilaku dan yang telah dipelajari yang

dapat mengurangi kecemasan yang dirasakan individu. Kecemasan

dibedakan menjadi dua yaitu state anxiety dan trait anxiety. State anxiety

didefinisikan sebagai suatu keadaan emosional sementara yang muncul

pada situasi tertentu dan ditandai dengan adanya persepsi subjektif

terhadap ketegangan dan kekhawatiran serta terdapat peningkatan aktivitas

pada sistem saraf otonom. Intensitas dari state anxiety cukup bervariasi

dan akan berubah-ubah seiring berjalannya waktu. Sedangkan trait

Anxiety adalah kecemasan yang menetap pada diri seseorang yang

merupakan pembeda antara satu individu dengan individu lainnya.

(Spielberger, 1983).

2.1.2 Faktor-faktor yang berkaitan dengan Kecemasan

a. Faktor Predisposisi

Stuart dan Sundeen (2006) menjelaskan bahwa kecemasan

ditinjau dari berbagai teori yang telah dikembangkan (Herman, 2011):

1) Teori Psikoanalitik

Menurut Freud struktur kepribadian terdiri dan tiga

elemen yaitu: id, ego, dan super ego. Id melambangkan

dorongan insting dan impuls primitif, sedangkan super ego


mencerminkan hati nurani dan digambarkan sebagai mediator

antara tuntunan dari id dan ego. Kecemasan merupakan konflik

emosional antara id dan super ego yang berfungsi untuk

memperingatkan ego tentang bahaya yang perlu diatasi.

2) Teori Interpersonal

Kecemasan timbul dari ketakutan akan penolakan

interpersonal. Hal ini juga dihubungkan dengan trauma pada

masa pertumbuhan seperti kehilangan, perpisahan yang

menyebabkan seseorang menjadi tidak berdaya. Individu yang

mempunyai harga diri rendah biasanya sangat mudah untuk

terjadi kecemasan yang berat.

3) Teori Perilaku

Kecemasan merupakan hasil frustrasi dari segala sesuatu

yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai

tujuan yang diinginkan. Para ahli perilaku menganggap

kecemasan merupakan sesuatu dorongan yang dipelajari

berdasarkan keinginan untuk menghindari rasa sakit. Teori ini

meyakini bahwa manusia pada awal kehidupannya dihadapkan

rasa takut yang berlebihan akan menunjukkan kemungkinan

terjadi kecemasan yang berat pada kehidupan masa dewasanya.

4) Teori Keluarga

Teori keluarga menunjukkan bahwa kecemasan

merupakan hal yang biasa ditemui dalam suatu keluarga.

Kecemasan ini terkait dengan tugas perkembangan individu


dalam keluarga.

5) Teori Biologis

Teori biologis menunjukkan bahwa otak mengandung

reseptor khusus untuk benzodiazepine. Reseptor ini mungkin

membantu mengatur kecemasan. Penghambat asam

aminobutirik-gamma juga mungkin memainkan peran utama

dalam mekanisme biologis berhubungan dengan kecemasan.

Selain itu, telah dibuktikan bahwa kesehatan umum seseorang

mempunyai akibat nyata sebagai predisposisi terhadap

kecemasan. Kecemasan mungkin disertai gangguan fisik dan

selanjutnya menurunkan kapasitas seseorang untuk mengatasi

stressor.

b. Faktor Presipitasi

Stuart (2001, dalam Herman, 2011) mengatakan bahwa

faktor presipitasi pencetus kecemasan dikelompokkan dalam

dua kategori yaitu :

1) Ancaman terhadap integritas fisik

Ancaman terhadap integritas fisik, ketegangan yang

mengancam integritas fisik meliputi mekanisme fisiologi

sistem imun, regulasi suhu tubuh, perubahan biologis normal,

paparan terhadap infeksi bakteri dan virus, polutan lingkungan,

kecelakaan, kekurangan nutrisi, tidak adekuatnya tempat

tinggal.

2) Ancaman terhadap rasa aman


Ancaman ini terkait terhadap rasa aman yang dapat

menyebabkan terjadinya kecemasan, seperti ancaman terhadap

sistem diri seseorang yang dapat membahayakan identitas,

harga diri dan fungsi sosial seseorang.

c. Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan

Wangmuba (2009), menyebutkan beberapa faktor yang

mempengaruhi kecemasan antara lain :

1) Jenis kelamin

Berkaitan dengan kecemasan pada pria dan wanita, wanita

lebih cemas akan ketidakmampuannya dibanding laki-laki. Laki-

laki lebih rasional dibandingkan wanita yang berpikir cenderung

emosional.

2) Usia dan tahap perkembangan

Semakin bertambah umur seseorang maka proses-proses

perkembangan mentalnya bertambah baik. Semakin dewasa

seseorang, maka kemampuannya dalam merespon kecemasan

cenderung semakin baik. Hal ini berkaitan dengan semakin

meningkatnya kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan

perubahan-perubahan yang terjadi secara fisik maupun

emosional.

3) Lingkungan Budaya, Suku dan Etnis

Masing-masing budaya dan suku bangsa mempunyai

aturan dan pola sanksi sendiri dari perilaku yang dipelajari,

ritual dan kepercayaan. Hal ini berarti masing-masing anggota


dari suatu kebudayaan akan mempunyai karakteristik

kepribadian tertentu dan pola pikir yang berbeda. Perbedaan

cara pandang ini akan mempengaruhi respons terhadap

kecemasan sehingga individu dari lingkungan dan etnis yang

berbeda cenderung mempunyai tingkat kecemasan yang

berbeda.

4) Pengetahuan dan tingkat pendidikan

Semakin banyak pengetahuan yang dimiliki seseorang

maka seseorang tersebut akan lebih siap menghadapi sesuatu

dan dapat mengurangi kecemasan. Pengetahuan berpengaruh

terhadap kemampuan berpikir. Semakin luas pengetahuan dan

semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin mudah

berpikir rasional dan menangkap informasi baru termasuk

menguraikan masalah. Sehingga dalam menghadapi suatu

masalah, individu yang memiliki pengetahuan luas tentang

masalah yang dihadapi dan bagaimana cara menyelesaikannya

cenderung mempunyai respon kecemasan yang lebih baik dari

pada masyarakat awam.

5) Dukungan sosial

Ada tidaknya sistem dukungan sosial dan psikologis

mempengaruhi kecemasan seseorang. Dukungan sosial dari

kehadiran orang lain membantu seseorang mengurangi

kecemasan.

6) Kemampuan mengatasi masalah (koping)


Koping merujuk pada kemampuan mental maupun

perilaku untuk menguasai, mentoleransi atau meminimalkan

suatu situasi yang penuh tekanan. Dalam menghadapi situasi

stress, diperlukan suatu kemampuan koping untuk menangani

dan menguasai situasi tersebut dengan cara melakukan

perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa

aman dalam dirinya dan mengurangi kecemasan. Kemampuan

koping yang buruk dan maladaptif akan memperbesar resiko

seseorang mengalami kecemasan.

2.1.3 Tanda dan Gejala Kecemasan

Tanda dan gejala kecemasan yang ditunjukkan atau dikemukakan

oleh seseorang bervariasi, tergantung dari beratnya atau tingkatan yang

dirasakan oleh individu tersebut. Keluhan yang sering dikemukakan oleh

seseorang saat mengalami kecemasan secara umum antara lain sebagai

berikut (Hawari, 2001):

a. Gejala psikologis : pernyataan cemas / khawatir, firasat buruk, takut

akan pikirannya sendiri, mudah tersinggung, merasa tegang, tidak

tenang, gelisah, mudah terkejut.

b. Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan.

c. Gangguan konsentrasi dan daya ingat.

d. Gejala somatik : rasa sakit pada otot dan tulang, berdebar-debar,

sesak nafas, gangguan pencernaan, sakit kepala, gangguan

perkemihan, tangan terasa dingin serta lembab dan lain sebagainya.

2.1.4 Tingkat Kecemasan


Stuart dan Laraia (2001) mengidentifikasi 4 tingkatan kecemasan

yaitu (Herman, 2011):

a. Kecemasan ringan

Kecemasan ini berhubungan dengan ketegangan dalam

kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi

waspada serta meningkatkan lahan persepsinya. Kecemasan dapat

memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan serta

kreativitas. Tanda dan gejala pada kecemasan ringan antara lain :

persepsi dan perhatian meningkat, waspada, sadar akan stimulasi

internal dan eksternal, mampu mengatasi masalah secara efektif

serta terjadi peningkatan kemampuan belajar. Perubahan fisiologis

ditandai dengan gelisah, sulit tidur, hipersensitif terhadap suara,

tanda vital dan pupil normal.

b. Kecemasan sedang

Kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk

memuaskan pada hal yang penting dan mengesampingkan yang

lain, sehingga individu mengalami perhatian yang selektif namun

dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah. Respon fisiologis :

sering nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, mulut kering,

gelisah, konstipasi. Sedangkan respon kognitif yaitu lahan persepsi

menyempit, rangsangan dari luar tidak mampu diterima, berfokus

pada apa yang menjadi perhatiannya.

c. Kecemasan berat

Kecemasan berat sangat mengurangi lahan persepsi


individu. Individu cenderung untuk memuaskan pada sesuatu yang

terinci dan spesifik serta tidak dapat berpikir tentang hal lain.

Semua perilaku ditunjukkan untuk mengurangi ketegangan. Tanda

dan gejala dari kecemasan berat yaitu persepsinya sangat kurang,

berfokus pada hal yang detail. Rentang perhatian sangat terbatas,

tidak dapat berkonsentrasi atau menyelesaikan masalah, serta tidak

dapat belajar secara efektif. Pada tingkatan ini individu mengalami

sakit kepala, pusing, mual, gemetar, insomnia, palpitasi, takikardi,

hyperventilasi, sering BAK dan diare. Secara emosi individu

mengalami ketakutan serta seluruh perhatian terfokus pada dirinya.

d. Kecemasa berat sekali (panik)

Berhubungan dengan ketakutan dan teror karena mengalami

kehilangan kendali. Orang yang sedang panik tidak mampu

melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Kecemasan

yang dialami akan memberikan berbagai respon antara lain

tekanan darah meningkat lalu menurun, nadi cepat kemudian

menurun, pernapasan cepat dan dangkal.

2.1.5 Respon Tubuh Terhadap Kecemasan

a. Respon Fisiologis Tubuh

Secara fisiologis tubuh akan melakukan adaptasi dengan

kondisi anxietas yang dihadapi dengan peningkatan frekuensi nadi,

peningkatan tekanan darah, peningkatan frekuensi pernafasan

diaphoresis, suara bergetar, atau peningkatan intonasi suara. Perasaan


mual dan ingin muntah, gemetar, palpitasi. sering berkemih, diare,

insomnia. kemerahan pada wajah, mulut kering. kelelahan dan

kelemahan (Videback, 2008).

b. Respon Psikologis Tubuh

Kecemasan dapat mempengaruhi aspek interpersonal maupun

personal. Kecemasan tinggi akan mempengaruhi koordinasi dan gerak

refleks. Kesulitan mendengarkan akan mengganggu hubungan dengan

orang lain. Kecemasan dapat membuat individu menarik diri dan

menurunkan keterlibatan dengan orang lain (Suliswati, 2005).

c. Respon Kognitif Tubuh

Kecemasan dapat mempengaruhi kemampuan berpikir baik

proses pikir maupun isi pikir, diantaranya adalah tidak mampu

memperhatikan, konsentrasi lupa, menurunnya lapang persepsi, dan

bingung (Suliswati. 2005).

d. Respon Afektif

Secara afektif klien akan mengekspresikan dalam bentuk

curiga berlebihan sebagai reaksi emosi kecemasan (Suliswati, 2005).

2.1.6 Pengukuran Kecemasan

Manifestasi dari kecemasan dapat berupa aspek psikologis

maupun fisiologis. Untuk mengungkap atau mengukur gejala kecemasan

ada beberapa metode, yaitu:

a. Self report atau questionaire, merupakan sejumlah pertanyaan-


pertanyaan yang harus dijawab oleh individu berupa test skala

kecemasan

b. Overt behavioral, dengan melakukan observasi terhadap individu,

dapat terlihat dari ekspresi seperti gemetar, pucat, menggigit-gigit

kuku dan sebagainya.

c. Physiological, menggunakan alat-alat pengukur tertentu seperti

pengukuran denyut jantung, pernafasan, keluarnya keringat,

aktivitas kelenjar adrenalin dan lain-lain (Davison, dalam Adi,

1985).

Adapun alat ukur yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat

kecemasan seseorang menurut Utomo (2015) antara lain:

1. Visual Analog Scale for Anxiety (VAS-A)

VAS didasarkan pada skala 100 mm berupa garis horizontal,

dimana ujung sebelah kiri menunjukkan tidak ada kecemasan dan

ujung sebelah kanan menandakan kecemasan maksimal. Skala VAS

dalam bentuk horizontal terbukti menghasilkan distribusi yang

lebih seragam dan lebih sensitif. Responden diminta memberi tanda

pada sebuah garis horizontal tersebut kemudian dilakukan

penilaian.

2. Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS)

Pada tes ini terdapat 14 gejala yang diobservasi, yaitu

perasaan cemas, ketegangan, ketakutan, gangguan tidur, gangguan

kecerdasan, perasaan depresi, gejala somatik/fisik (otot), gejala

somatik/fisik (sensorik), gejala kardiovaskuler, gejala respiratori,


gejala gastrointestinal, gejala urogenital, gejala autonom dan

tingkah laku (sikap). Penilaian setiap item diberi skor antara 0

sampai dengan 4 berdasarkan berat ringannya gejala. Setiap skor

memiliki kategori yang berbeda, yaitu:

0 = tidak ada gejala atau

keluhan

1 = gejala ringan

2 = gejala sedang

3 = gejala berat

4 = gejala sangat berat

Penentuan derajat kecemasan dengan cara menjumlah nilai skor

dan item 1 sampai 14. Bila skor kurang dari 14 tidak ada

kecemasan,

skor 14 – 20 kecemasan ringan,

skor 21 – 27 kecemasan sedang,

skor 28– 41 kecemasan berat

skor 42 – 56 panik.

3. State-Trait Anxiety Inventory (STAI)

STAI dikembangkan oleh Spielberger pada tahun 1983.

Kuesioner STAI ini terdiri dari 2 bagian yaitu state anxiety yang

berisi 20 pernyataan yang menunjukkan bagaimana perasaan

seseorang yang dirasakan “saat ini” atau pada waktu tertentu dan

trait anxiety yang berisi 20 pernyataan yang menunjukkan

bagaimana perasaan seseorang yang dirasakan “biasanya atau pada


umumnya”. Dari 20 item pernyataan pada bagian state anxiety,

terdapat 10 pernyataan yang mengindikasikan kecemasan

(favorable item) dan 10 pernyataan yang tidak mengindikasikan

kecemasan (unfavorable item). Penilaian pada setiap item

pernyataan mempunyai rentang angka pilihan antara 1 sampai

dengan 4. Untuk item-item favorable, diberikan skor 1 pada pilihan

jawaban sama sekali tidak merasakan, skor 2 pada pilihan jawaban

sedikit merasakan, skor 3 pada pilihan jawaban cukup merasakan

dan skor 4 pada pilihan jawaban sangat merasakan. Sedangkan

untuk item-item yang tidak mengindikasikan kecemasan

(unfavorable item), penilaian diberikan secara kebalikannya

(reversed). Skor 4 untuk pilihan jawaban sama sekali tidak

merasakan, skor 3 untuk pilihan jawaban sedikit merasakan, skor 2

untuk pilihan jawaban cukup merasakan dan skor 1 untuk pilihan

jawaban sangat merasakan. Kelebihan dari instrumen ini adalah

memungkinkan perbedaan keadaan dan sifat kecemasan diteliti

dengan baik, sedangkan kelemahannya adalah nomor STAI dibuat

transparan (Kaplan & Sadock, 1998).

4. Visual Numeric Rating Scale of Anxiety (VNRS-A)

Pada tes ini, pasien diminta menyatakan seberapa besar

kecemasan yang dirasakan. VNRS-A menggunakan skala dari angka

0 sampai dengan 10. Dimana 0 menunjukkan tidak ada kecemasan,

1-3 menunjukkan kecemasan ringan, 4-6 menunjukkan kecemasan

sedang, 7-9 kecemasan berat dan 10 menunjukkan tingkat panik.


2.2 Konsep Triage

2.2.1 Definisi Triage

Triage berasal dari bahasa Prancis yaitu “trier” yang berarti

memilih. Triage merupakan suatu sistem seleksi dan pemilihan pasien

untuk menentukan tingkat kegawatan dan prioritas penanganan pasien

(DepKes RI, 2005). Lebih lanjut triage didefinisikan sebagai suatu

konsep pengkajian yang cepat dan terfokus dengan satu cara yang

memungkinkan pemanfaatan sumber daya manusia, peralatan serta

fasilitas yang paling efisien dengan tujuan untuk memilih atau

menggolongkan semua pasien yang memerlukan pertolongan dan

memprioritaskan penanganannya (Oman at al., 2008).

2.2.2 Tujuan Triage

Tujuan dari pelaksanaan triage adalah untuk menempatkan pasien

pada tempat yang tepat sesuai dengan tingkat kegawatannya. Lebih rinci

Semonin (2008), menjelaskan tujuan dari triage yaitu untuk pengkajian

pasien yang lebih awal dan singkat, penentuan dari penanganan pasien

yang mendesak, mendokumentasikan temuan, mengontrol alur pasien di

unit gawat darurat, menempatkan pasien pada area perawatan yang

sesuai, awal dari tindakan diagnostik dan intervensi terapeutik yang

terbatas.

2.2.3 Konsep Prioritas Kegawatdaruratan Dalam Triage

Keperawatan gawat darurat adalah pelayanan profesional

keperawatan yang diberikan pada pasien dengan kebutuhan urgent dan

kritis. Pelayanan gawat darurat tidak hanya memberikan pelayanan untuk


mengatasi kondisi kedaruratan yang dialami pasien tetapi juga

memberikan asuhan keperawatan untuk mengatasi kecemasan pasien dan

keluarga. Dikarenakan sistem pelayanan di IGD bersifat darurat, maka

perawat dan tenaga medis di IGD harus memiliki kemampuan,

keterampilan, teknik serta ilmu pengetahuan yang tinggi dalam

memberikan pertolongan kedaruratan kepeda pasien (Hipgabi, 2013).

Triage dalam keperawatan gawat darurat digunakan untuk

mengklasifikasikan keparahan penyakit atau cidera dan menetapkan

prioritas kebutuhan secara efisien. Standar waktu yang diperlukan untuk

melakukan triage adalah 2 – 5 menit untuk orang dewasa dan 7 menit

untuk pasien anak-anak (Mason, 2007).

Manchester Triage Group menjelaskan beberapa strategi

pengambilan keputusan triage antara lain pertimbangan (reasoning), pola

pengakuan (pattern recognition), hipotesis berulang (repetitive

hypothesizing), representasi mental (mental representation), dan intuisi

(intuition) (Mackway et al., 2014).

a. Pertimbangan (reasoning)

Pada dasarnya ada dua jenis penalaran yang terlibat dalam

berpikir kritis yaitu induktif dan deduktif. Penalaran induktif

adalah kemampuan untuk mempertimbangkan semua kemungkinan

dari khusus ke umum dan sangat berguna untuk perawat yang

kurang berpengalaman. Penalaran deduktif adalah penalaran dari

umum ke khusus. Hal ini memungkinkan praktisi untuk secara

cepat menyortir informasi relevan dari yang tidak relevan untuk


mencapai keputusan.

b. Pola pengakuan (pattern recognition)

Merupakan strategi yang paling umum digunakan dokter

dan sangat penting ketika membuat keputusan cepat berdasarkan

informasi terbatas yang diperlukan selama triage berdasarkan pola

tanda dan gejala pasien dibandingkan dengan kondisi dari kasus

sebelumnya. Kemampuan dalam penggunaan keterampilan

pengambilan keputusan ini berkembang dari pengalaman dan

intuisi.

c. Hipotesis berulang (repetitive hypothesizing)

Hipotesis berulang digunakan oleh dokter untuk menguji

penalaran diagnostik. Data dikumpulkan untuk mengkonfirmasi

atau menghilangkan hipotesis, sehingga keputusan dapat dibuat.

Metode ini tergantung pada tingkat keahlian dapat berupa induktif

atau deduktif.

d. Representasi mental (mental representation)

Representasi mental adalah metode untuk menyederhanakan

situasi untuk memberikan gambaran umum dan memungkinkan

fokus pada informasi yang relevan. Strategi ini sering digunakan

ketika masalah sangat kompleks atau luar biasa. Keputusan triage

harus cepat dan metode ini memiliki penggunaan terbatas dalam

tahap perawatan pasien.

e. Intuisi (Intuition)

Intuisi terkait erat dengan keahlian dan umumnya dianggap


sebagai kemampuan praktis untuk memecahkan masalah dengan

data yang relatif sedikit. lntuisi jarang melibatkan analisis sadar

dan sering dinyatakan sebagai “firasat”. Praktisi ahli melihat

situasi secara holistik dan pengalaman masa lalu. Keputusan yang

efektif dibuat dengan menggabungkan pengalaman dengan teori

pengambilan keputusan dan pemikiran intuitif.

Prinsip dalam menentukan prioritas keputusan triage adalah

berdasarkan hierarki kebutuhan Maslow dimana dalam

kerangkanya menyatakan kebutuhan paling mendasar harus

dipenuhi sebelum kebutuhan yang paling tinggi yaitu mulai dari

kebutuhan fisiologis, keamanan, cinta dan mencintai, harga diri,

dan aktualisasi diri. Hierarki kebutuhan pada pelayanan gawat

darurat dijabarkan dalam ABCD yaitu memenuhi kebutuhan jalan

nafas (Airway), kemudian pernafasan (Breathing), kemudian

sirkulasi (Circulation), kemudian cacat (Disability) (Zimmerman

& Herr, 2006).

Emergency Nurses Association (ENA) (1999), menyatakan

bahwa triage yang aman, efektif dan efisien hanya dapat

dilakukan oleh perawat profesional (RN) yang sudah terlatih

dalam prinsip triage, pengalaman kerja minimal 6 bulan di bagian

IGD, selain itu Grossman (2003, dalam Zimmerman & Herr,

2006) merekomendasikan kualifikasi yang harus dimiliki seorang

perawat triage antara lain menunjukkan kompetensi

kegawatdaruratan, Sertifikasi Advanced Cardiac Life Support


(ACLS), Pediatric Advanced Live Support (PALS), Emergency

Nurses Pediatric Course (ENPC), Trauma Nurse Core Curikulum

(TNCC), Certification In Emergency Nursing (CEN),

pengetahuan tentang kebijakan intradepartemen, keterampilan

pengkajian yang tepat dan keterampilan dalam komunikasi yang

efektif.

Kategori triage pada pasien trauma dalam sistem triage tiga

tingkat antara lain (Zimmerman & Herr, 2006).

1) Prioritas 1 (merah)

Kondisi pasien membutuhkan resusitasi. The American

College of Surgeons (ACS), Committee on Trauma menyarankan

pasien ditangani di pusat trauma.

2) Prioritas 2 (kuning)

Kondisi pasien yang mendesak (urgent) stabil tetapi

memiliki potensi memburuk atau perlu dilihat sesegera mungkin.

Kondisi dapat digambarkan akut tetapi tidak “parah”. Contoh

kondisi dalam kategori ini adalah fraktur terbuka, luka bakar

minor, dan pembedahan abdomen.

3) Prioritas 3 (hijau)

Kondisi pasien tidak mendesak (non urgent) biasanya

dinamakan “walking wounded”, contohnya pada kondisi laserasi

minor (perdarahan terkontrol) atau fraktur ekstremitas yang stabil.


2.3 Konsep Waktu Tunggu

McGuire et al., (2010), menyatakan bahwa waktu tunggu adalah

sejumlah waktu yang harus dihabiskan oleh konsumen untuk mendapatkan

layanan jasa. Waktu tunggu konsumen terhadap layanan jasa merupakan

representasi interaksi awal antara konsumen dan penyedia layanan jasa.

Waktu tunggu memiliki empat aspek, yaitu: obyektif, subyektif, kognitif,

dan afektif. Waktu tunggu obyektif merupakan jalannya waktu yang diukur

konsumen dengan stopwatch sebelum memperoleh layanan. Waktu tunggu

subyektif adalah estimasi konsumen terhadap lamanya waktu menunggu,

dimana estimasi waktu bergantung pada lamanya waktu yang diukur secara

obyektif. Aspek kognitif waktu tunggu dinilai sebagai evaluasi konsumen

terhadap lamanya waktu menunggu apakah dapat diterima, beralasan,

maupun dapat ditoleransi atau tidak, yang dipertimbangkan menjadi lama

atau sebentar. Aspek afektif dalam menunggu terdiri dari respon emosional

dalam menunggu seperti terluka, bosan, frustrasi, stres, senang, maupun

gembira (Bielen & Demoulin, 2007).

Waktu tunggu pasien IGD didefinisikan sebagai waktu dari

kedatangan pasien di IGD sampai dengan kontak pertama kali dengan

dokter (Lambe at al, 2003). Waktu tunggu pasien untuk mendapatkan

penanganan merupakan indikator dalam menentukan tingkat efisiensi rumah

sakit. Waktu tunggu pada IGD merupakan salah satu penyebab

ketidakpuasan pasien. Waktu tunggu yang cukup lama mengakibatkan

pasien menunggu cukup lama untuk mendapatkan pengobatan segera.

Sistem triage perlu diterapkan sebagai upaya mengurangi waktu tunggu


untuk mendapatkan tindakan medis. Penerapan sistem triage diharapkan

mampu mencegah pasien kembali ke ruang tunggu setelah menjalani triage

yang dapat meningkatkan beban kerja staf pada IGD (Depkes RI, 2005).

Rekomendasi waktu tunggu pasien di IGD sangat bervariasi. Di

Amerika, rekomendasi waktu tunggu pasien di IGD adalah maksimum 15

menit (Horwitz, 2010). Forero dan Nugus (2012), menjelaskan maksimum

waktu tunggu pasien sesuai metode triage ATS yang dapat dilihat pada tabel

2.1

Tabel 2.1 Maksimum waktu tunggu sesuai metode triage ATS

KATEGORI MAKSIMUM CONTOH KASUS


ATS WAKTU TUNGGU
ATS 1 Segera Henti jantung
ATS 2 10 menit Fraktur mayor
ATS 3 30 menit Nyeri abdomen
ATS 4 60 menit Sistitis
ATS 5 120 menit Pengangkatan jahitan

Waktu tunggu maksimal untuk pasien IGD di Indonesia, dijelaskan

dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 856 tahun 2009 yang

mengatakan bahwa pasien gawat darurat prioritas apapun harus ditangani

paling lama 5 (lima) menit setelah sampai di IGD. Namun demikian, belum

ada standarisasi waktu tunggu untuk masing-masing kategori kegawatan

pasien sebagaimana yang diterapkan melalui sistem triage ATS. Hal ini

menunjukkan bahwa standarisasi waktu tunggu pasien IGD di Indonesia

belum sebagaimana yang seharusnya. Sistem triage di IGD RS Advent

melalui buku panduan triage dijelaskan bahwa metode triage yang

diterapkan adalah ATS modifikasi. Berdasarkan metode triage ini, kategori

ATS 1 dan ATS 2 menjadi prioritas 1, ATS 3 dan 4 menjadi prioritas 2 dan
ATS 5 menjadi prioritas 3. Namun demikian dalam buku panduan tersebut

tidak ada acuan maksimal waktu tunggu untuk masing- masing kategori

prioritas pasien (Tim akreditasi RS, 2016). Kenyataan di lapangan

menunjukkan bahwa standar waktu tunggu maksimal untuk masing- masing

kategori yang diterapkan IGD RS Advent adalah < 5 menit untuk prioritas

1, 30 menit untuk prioritas 2 dan 60 menit untuk prioritas 3. Hal ini sudah

sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Depkes RI dimana menetapkan

waktu tunggu untuk prioritas 1 kurang dari 5 menit, prioritas 2 maksimal 30

menit, untuk prioritas 3 maksimal waktu tunggu 60 menit (Depkes RI,

2011).

2.4 Hubungan Waktu Tunggu dengan Kecemasan

Penanganan pada IGD mengacu pada sistem triage dimana sistem itu

akan memprioritaskan pasien yang datang ke IGD. Hal ini akan

menyebabkan terjadinya waktu tunggu pada keluarga pasien apabila pasien

tidak dikategorikan sebagai gawat darurat.

Waktu tunggu maksimal untuk pasien IGD di Indonesia, dijelaskan

dalam (Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 856 tahun 2009) yang

mengatakan bahwa pasien gawat darurat prioritas apapun harus ditangani

paling lama 5 (lima) menit setelah sampai di IGD. Namun demikian, belum

ada standarisasi waktu tunggu untuk masing-masing kategori kegawatan

pasien sebagaimana yang diterapkan melalui sistem triage ATS.

Waktu tunggu ini menyebabkan keluarga pasien merasakan

kelelahan dikarenakan kegiatan yang monoton Kebosanan dan kelelahan,


Menunggu lama dapat menyebabkan kebosanan, keletihan dan iritabilitas

yang dapat memberikan reaksi emosional pada keluarga pasien (Ramlah,

2013)

Waktu tunggu ini juga dapat mengubah respon tubuh dikarenakan

adanya perasaan yang tidak aman terhadap lingkungan (Sri Utami,2018).

Salah satu faktor kecemasan ialah faktor lingkungan (Wangmuba, 2009).

Faktor lingkungan ini menyebabkan perasaan yang tidak aman hal ini kan

menyebabkan terjadinya kecemasan pada keluarga pasien.

Pada masa pandemic ini kecemasan pada keluarga pasien meningkan

dimana keluarga pasien merasakan kecemasan akan kondisi pasien dan

kecemasan akan tertularnya virus Covid 19. Menurut (Rahma 2020) rumah

sakit merupakan tempat yang pemaparan covid 19 yang tinggi. Hal ini

disebabkan karena rumah sakit merupakan tempat rujukan dan pengobatan

covid 19.

Berdasarkan penelitian Furwanti (2014) Didapatkan nilai P = 0,00

(<0,05) maka dapat disimpulkan didapatkan hubungan antara waktu tunggu

dengan kecemasan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kumarieng

(2018) Hasil analisis data menunjukkan nilai p = 0,0261 (<0,05).

Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat hubungan antara waktu

tunggu dengan tingkat kecemasan pasien prioritas 3 di IGD RSUD Prof. Dr.

W. Z. Johannes Kupang.

2.5 Kerangka Teori

Keluarga Pasien di
IGD
Faktor yang
Waktu tunggu berkaitan
keluarga pasien di Faktor lingkungan
IGD Faktor
pengetahuan

Gambar 2.1 Kerangka Teori (Wangmuba, 2009)

Faktor yang
Keterangan
mempengaruhi:
Tingkat kecemasan
Jenis kelamin
Kecemasan ringan
Usia
Kecemasan sedang
Lingkungan
Tidak Diteliti Kecemasan berat
Pengetahuan
Pendidikan

Diteliti

2.6 Kerangka Konsep

Kerangka konsep ini menjelaskan tentang hubungan antara

kecemasan pada pasien dengan pelayanan di igd

Variable Independent Gambar 2.2 Variable Dependent


Kerangka Konsep
Waktu Tunggu Tingkat Kecemasan
Skema 1. Kerangka konseptual penelitian hubungan yang signifikan antara

kecemasan pada pasien dengan pelayanan di igd

2.7 Hipotesa

Ho: Terdapat hubungan waktu tunggu dengan tingkat kecemasan pada

pasien dengan di igd pada masa pandemik covid 19.

Ha: Tidak terdapat hubungan waktu tunggu dengan tingkat kecemasan pada

pasien dengan di igd pada masa pandemik covid 19.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini mengunakan metode penelitian analitik yaitu

peneliti tidak melakukan perilaku terhadap variabel hanya mengkaji fakta-

fakta yang telah terjadi dan pernah dilakukan oleh subyek penelitian

(Natoadmodjo, 2012). Pada penelitian ini sampel diambil dari seluruh

populasi dengan menggunakan kuisioner sebagai alat penggumpulan data.

3.2 Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian crosssectional, yaitu

jenis penelitian yang menekankan waktu pengukuran atau observasi data

variabel independen dan variabel dependen hanya satu kali pada satu saat.

Pada jenis ini, variabel independen dan variabel dependen dinilai secara

simultan pada suatu saat, jadi tidak ada tindak lanjut dengan studi ini akan

diperoleh prevalensi atau efek suatu fenomena (variabel independent)

dihubungkan dengan penyebab (variabel dependent) (Nurusalam, 2013).

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.3.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Advent Bandar

Lampung.
3.3.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Oktober 2021.

3.4 Subyek Penelitian

3.4.1 Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau

subjek yang mempunyai dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh

peneliti untuk dipelajari kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2014).

Populasi pada penelitian ini adalah keluarga pasien yang menggunakan jasa

di IGD RS Advent Bandar Lampung, dalam penelitian ini didapatkan

sampel 51 orang.

3.4.2 Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki

oleh populasi tersebut (Sugiyono. 2014). Pada penelitian ini peneliti

menggunakan teknik accidental sampling, Penentuan besarnya sampel

dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus Slovin, yaitu

sampel pada penelitian ini adalah sebagian dari populasi. Untuk menghitung

besar sample dapat digunakan formula sebagai berikut:

N
n=
( N d2 ) +1

51
n=
( 101× 0,05 2) + 1
51
n=
1,2525

n=41

Keterangan :

N : Besar populasi

n : Bersar sampel

d : Tingkat kesalahan pengambilan sampel

3.4.2.1 Kriteria Sampel Penelitian

a. Kriteria Inklusi

1) Bersedia menjadi responden dan menandatangani surat persetujuan

(informed consent).

2) Merupakan masyarakat yang menggunakan jasa kesehatan di IGD

Rumah Sakit Advent

3) Berusia 17- 60 tahun

b. Kriteria Eksklusi

1) Keluarga pasien dalam kondisi panik

a. Teknik pengambilan sampel

Pada penelitian ini peneliti menggunakan teknik

accidental sampling dimana dalam penelitian ini peneliti


mengambil masyarakat atau keluarga pasien di IGD RSPBA yang

memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi penelitian ini.

Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan

kuesioner dimana peneliti akan membagiakan kuesioner HARS

kepada keluarga pasien untuk mengukur tingkat kecemasan

keluarga pasien. Peneliti juga menyiapkan stopwatch untuk

menghitung waktu tunggu keluarga pasien dalam menunggu

penanganan pasien oleh tenaga kesehatan.

3.5 Variabel Penelitian

Variabel pada penelitian ini adalah sebagai waktu tunggu variabel bebas

(Independent) dan tingkat kecemasan (Dependent).

3.6 Definisi Operasional Variabel

Tabel 3.1 Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

Dependent Skor yang kuesioner Skor 0-14 = tidak Interval


menunjukkan kondisi HARS-A ada kecemasan.
Tingkat emosional yang tidak (Hamilton Skor 14–20
kecemasan nyaman, adanya Rating Scale =kecemasan
perasaan khawatir, of Anxiety) ringan.
gelisah, firasat buruk Dilakukan di Skor 21 – 27
dan takut yang ruang IGD RS =kecemasan
dialami oleh individu Advent sedang.
yang diukur Skor 28 – 41
menggunakan = kecemasan
kuesioner HARS. berat.
Skor 42 – 56 =
kecemasan berat
sekali

2. Waktu Waktu tunggu pasien Lembar 1= Sesuai Standar Kategorik


Tunggu prioritas 1-3 mulai dari observasida
saat pasien tiba di IGD n 0= tidak sesuai (Ordinal)
sampai dengan stopwatch. standar
pemeriksaan awal oleh Prioritas 1:
dokter IGD. < 1 menit
Prioritas 2:
> 30 menit
Prioritas 3:>
60 menit

3.7 Teknik Pengumpulan Data

1) Jenis Data

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan kuesioner yang di

bagikan kepada keluarga pasien di IGD RS Pertamina Bintang

Amin.

2) Teknik Pengumpulan Data

Data yang di kumpulkan pada penelitian ini adalah data Primer.

3) Data Primer

Dalam penelitian ini data primer diperoleh dari pengumpulsan

kuesioner yang di bagikan ke keluarga pasien di IGD RS Pertamina

Bintang Amin.

3.8 Instrumen Penelitian

3.8.1 Kuesioner Waktu Tunggu

Instrumen yang digunakan untuk mengukur variabel independen

atau waktu tunggu adalah lembar observasi. Waktu tunggu dihitung

menggunakan stopwatch dimulai saat pasien tiba di IGD sampai dengan

pemeriksaan awal oleh dokter IGD. Kenyataan dilapangan menunjukkan

bahwa standar waktu tunggu maksimal untuk masing-masing kategori


yang diterapkan IGD RS Advent Bandar Lampung adalah <1 menit untuk

prioritas 1, 30 menit untuk prioritas 2 dan 60 menit untuk prioritas 3.

3.8.2 Kuesioner Tingkat Kecemasan

Kuesioner yang akan digunakan untuk mengukur kecemasan

keluarga pasien adalah HARS yang terdiri dari 14 pertanyaan:

Nilai terendah adalah 0, dan nilai tertinggi adalah 56.

Total Skor :

kurang dari 14 = tidak ada kecemasan

14 – 20 = kecemasan ringan

21 – 27 = kecemasan sedang

28 – 41 = kecemasan berat

42 – 56 = kecemasan berat sekali

Penilaian kuesioner HARS juga dapat dinilai dengan menghitung

seberapa banyak gejala yang timbul dari kelompok gejala adapun penilaian

HARS tersebut sebagai berikut:

3.2 Skor Kecemasan Berdasarkan Gejala


Skor Gejala
0 Tidak ada gejala yang timbul dari kelompok gejala
1 1%- 25% gejala yang timbul dari kelompok gejala
2 26%-50% gejala yang timbul dari kelompok gejala
3 51%-75% gejala yang timbul dari kelompok gejala
4 76% – 100% gejala yang timbul dari kelompok gejala

Setiap nilai yang didapatkan, kemudian dijumlahkan dan

selanjutnya untuk mengetahui kecemasan seseorang digunakan rumus

(Harlina, 2018) :
gejala yang dirasakan x 100 %
jumlah gejala tiap kelompok

3.9 Pengolahan Data

Penggolahan data ini menggunakan SPSS (Statistical Package for

the Social Siences).Adapun tahapan yang harus dilakukan terlebih dahulu

guna mendapatkan data yang valid sehingga saat menganalisis data tidak

di dapat kendala. Tahapan tersebut terdiri dari :

3.9.1 Editting

Tahapan untuk melakukan pengecekan terhadap kuisioner

3.9.2 Coding

Merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi angka


atau bilangan untuk memudahkan dalam proses dalam proses analisis dan
mempercepat pada saat memasukan data.

3.9.3 Processing

Memproses data yang telah di skor ke perangkat spread sheet

program excel atau kedalam program SPSS (Statistic Product and Service

Solution).

3.9.4 Cleaning

Cleaning (pembersihan data) merupakan kegiatan pengecekan data

yang sudah dimasukan dengan memeriksa ada atau tidaknya kesalahan

dalam pemasukan data. Kesalahan tersebut dimungkinkan terjadi pada saat

memasukan data ke dalam komuter. (Natoatmodjo, 2012).


3.10 Analisis Data

3.10.1 Analisis Univariat

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik

analisis kuantitatif, dengan analisis yang bertujuan menyajikan secara

deskriptif dari variabel-variabel yang diteliti. Analisis yang bersifat

univariat untuk melihat distribusi frekuensi dari seluruh faktor yang

terdapat dalam variabel masing-masing, baik variabel bebas maupun

variabel terikat,untuk mendapatkan rekam medis dan menjelaskan masing-

masing variabel. (Natoatmodjo, 2012).

3.10.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat merupakan analisis untuk mengetahui hubungan

dua variabel, baik berupa komperatif, asosiasi, maupun korelatif.

Penelitian ini menggunakan uji Independent T test dalam mengambil

keputusan hipotesa.

Penghitungan uji Independent T test dengan menggunakan rumus

statistik atau dengan SPSS. Berdasarkan perhitungan statistic dapat dilihat

kemaknaan hubungan antara dua variabel. Jika probabilitas (P value <

0,05) maka bermakna atau signifikan, berarti ada hubungan antara variabel

independent dan variabel dependent namun jika probabilitas (P value >

0,05) maka tidak bermakna atau tidak signifikan, berarti tidak adanya

hubungan antara variabel terikat dan variabel bebas. (Sudaryono, 2015).


3.11 Alur Penelitian

Pasien/Anggota keluarga di igd rumah sakit

Pengambilan data menggunakan kuisioner

Pengolahan data

Analisis data

Penyusunan laporan

Presentasi laporan

Anda mungkin juga menyukai