Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

ABSES PERITONSIL

Disusun Oleh:
dr. Tubagus Fahruroji Z

Pendamping: :
dr. Dian Arissanthy
dr.H. Kamal Sumardin

Program Doker Internsip

RSUD Kota Cilegon

2018
1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena berkat
rahmat-Nya, saya selrefrat penuyusun refrat ini, dapat menyelesaikan refrat ini, yang berjudul
“ABSES PERITONSIL”. Dimana refrat ini disusun sebagai salah satu syarat tugas dalam
menyelesaikan Program Internsip Dokter Indonesia selama satu tahun di wahana terpilih,
yakni RSUD Cilegon.

Tidak lupa, saya mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
mendukung saya, sehingga saya dapat menyelesaikan refrat ini. Saya mengucapkan terima
kasih kepada dokter pendamping wahana RSUD Cilegon, yang sudah memberikan bantuan,
dan kesempatan pada saya, sehingga refrat ini dapat terselesaikan. Ucapan terima kasih saya
ucapkan kepada teman-teman sejawat dokter internsip yang telah mendukung saya, sehingga
refrat ini dapat terselesaikan.

Saya menyadari bahwa dalam penyusunan refrat ini terdapat banyak kekurangan di
dalamnya. Oleh karena itu, saya dengan terbuka menerima segala kritik, dan saran dalam
penulisan refrat ini, sehingga penulisan laporan selanjutnya, dapat lebih baik lagi
kedepannya. Saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan-kesalahan penulisan, di dalam
refrat ini.

Akhir kata, semoga refrat ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak, dan para pembaca
tentunya. Terima kasih.

Cilegon, September 2018

Penyusun

2
Borang Portofolio
No. ID Peserta :

Nama Peserta : dr. Tubagus Fahruroji Z

No. ID Wahana :

Nama Wahana : RSUD Cilegon

Topik : ABSES PERITONSIL

Pendamping :
dr. H. Kamal Sumardin
Tanggal Presentasi :- dr. Dian Arissanthy

Tempat Presentasi : RSUD Cilegon

Obyektif Presentasi : -

☐Keilmuan ☐Keterampilan √Tinjauan pustaka ☐Penyegaran

√ Diagnostik √ Manajemen ☐Masalah ☐Istimewa

☐Neonatus ☐Bayi ☐Anak ☐Remaja √Dewasa ☐Lansia ☐Bumil

Deskripsi : Membahas ABSES PERITONSIL

Mengetahui gejala dan tatalaksan penanganan


Tujuan kasus ABSES PERITONSIL

Bahan
√ Tinjauan pustaka ☐Riset ☐ Kasus ☐Audit
bahasan :

Cara
√ Diskusi ☐Presentasi ☐E-mail ☐Pos
membahas :

3
Pendahuluan

Nyeri tenggorok dan demam yang disertai terbatasnya gerakan membuka mulut, harus
dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses. Dalam hal ini merupakan abses leher dalam.
Abses leher dalam terbentuk di ruang potensial di antara fasia leher dalam berbagai akibat
penjalaran infeksi. Abses leher dalam dapat berupa abses peritonsil, retrofaring, parafaring,
submandibula dan angina ludovici. Sebelum dipelajari lebih lanjut, kita harus tahu dulu
definisi dari abses itu sendiri.1

Abses adalah suatu penimbunan nanah yang biasanya terjadi akibat suatu infeksi
bakteri. Jika bakteri menyusup ke dalam jaringan yang sehat, maka akan terjadi infeksi.
Sebagian sel mati dan hancur, meninggalkan rongga yang berisi jaringan dan sel-sel yang
terinfeksi. Sel-sel darah putih yang merupakan pertahanan tubuh, bergerak ke dalam rongga
tersebut dan menelan bakteri, setelah itu sel darah putih akan mati. Sel darah putih yang mati
inilah yang membentuk nanah dalam rongga tersebut.

Abses peritonsil atau Quinsy merupakan suatu infeksi akut yang diikuti dengan
terkumpulnya pus pada jaringan ikat longgar antara m.konstriktor faring dengan tonsil pada
fosa tonsil. Infeksi ini menembus kapsul tonsil (biasanya pada kutub atas). Abses peritonsil
merupakan infeksi pada tenggorok yang seringkali merupakan komplikasi dari tonsilitis akut.
Abses peritonsil merupakan infeksi pada kasus kepala leher yang sering terjadi pada orang
dewasa. Timbulnya abses peritonsil dimulai dari infeksi superfisial dan berkembang secara
progresif menjadi tonsilar selulitis. Komplikasi abses peritonsil yang mungkin terjadi antara
lain perluasan infeksi ke parafaring, mediastinitis, dehidrasi, pneumonia, hingga infeksi ke
intrakranial berupa thrombosis sinus kavernosus, meningitis, abses otak dan obstruksi jalan
nafas.

4
Abses Peritonsil

Abses peritonsiler timbul di antara kapsul tonsila dengan muskulus kontriktor superior
akibat penyebarang tonsillitis akut, paling lazim setelah pubertas. Abses peritonsiler adalah
penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala dan leher. Gabungan dari
bakteri aerob dan anaerob di daerah peritonsilar. Abses peritonsiler timbul di antara kapsul
tonsila dengan muskulus kontriktor superior akibat penyebaran tonsillitis akut, dan paling
lazim setelah pubertas.2

Gambar 2. Abses Peritonsil

Epidemiologi

Di Amerika Serikat, insidennya mencapai 30 kasus per 100.000 penduduk


pertahunnya. Jumlah yang tinggi ini diperkirakan karena adanya infeksi rekuren dan
resistensi terhadap antibiotic yang dilaporkan secara internasional. Angka kematian yang
diakibatkan oleh abses peritonsil belum diketahui secara pasti, sedang angka kesakitan yang
disebabkan abses ini paling banyak dihubungkan dengan nyeri. Tidak ada predileksi ras
tertentu untuk penyakit ini, baik laki-laki dan perempuan mempunyai rasio resiko yang sama
untuk menderita abses peritonsiler. Penyakit ini ditemukan pada umur 10-60 tahun, namun

5
paling banyak ditemukan pada umur 20-40 tahun. Apabila ditemukan pada anak-anak
biasanya adalah pada pasien imunocompromised.3

Etiopatogenesis

Abses peritonsil atau Quinsy adalah suatu infeksi akut dan berat di daerah orofaring.
Abses peritonsil merupakan kumpulan pus yang terlokalisir pada jaringan peritonsil yang
umumnya merupakan komplikasi dari tonsilitis akut berulang atau bentuk abses dari kelenjar
Weber pada kutub atas tonsil. Infeksi yang terjadi akan menembus kapsul tonsil (umumnya
pada kutub atas tonsil) dan meluas ke dalam ruang jaringan ikat di antara kapsul dan dinding
posterior fosa tonsil. Perluasan infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses
parafaring.
Pada fosa tonsil ditemukan suatu kelompok kelenjar di ruang supra tonsil yang
disebut kelenjar Weber. Fungsi kelenjar-kelenjar ini adalah mengeluarkan cairan ludah ke
dalam kripta-kripta tonsil, membantu untuk menghancurkan sisa-sisa makanan dan debris
yang terperangkap di dalamnya lalu dievakuasi dan dicerna Jika terjadi infeksi berulang,
dapat terjadi gangguan pada proses tersebut lalu timbul sumbatan terhadap sekresi kelenjar
Weber yang mengakibatkan terjadinya pembesaran kelenjar. Jika tidak diobati secara
maksimal, akan terjadi infeksi berulang selulitis peritonsil atau infeksi kronis pada kelenjar
Weber dan sistem saluran kelenjar tersebut akan membentuk pus sehingga menyebabkan
terjadinya abses
Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab tonsilitis, dapat ditemukan kuman
aerob dan anaerob. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak yang lebih tua dan
dewasa muda. Organisme aerob yang sering menyebabkan abses peritonsiler adalah
Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenza. Sedangkan
anaerob yang berperan adalah Fusobacterium, Prevotella, Porphyromonas. Untuk
kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organism aerobic
dan anaerobic.1

Patologi

Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh
karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini,
sehingga tampak palatum mole membengkak. Walaupun sangat jarang, abses peritonsil dapat
terbentuk dibagian inferior.
6
Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak
permukaannya hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak dan berwarna
kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan dan bawah, uvula bengkak dan
terdorong ke sisi kontralateral. Bila proses berlangsung terus, peradangan jaringan
disekitarnya akan menyebabkan iritasi pada muskulus oterigoid interna, sehingga timbul
trismus. Abses dapat pecah spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke paru.1

Manifestasi klinis

Beberapa gejala klinis abses peritonsil antara lain berupa pembengkakan awal hampir
selalu berlokasi pada daerah palatum mole di sebelah atas tonsil yang menyebabkan tonsil
membesar ke arah medial. Onset gejala abses peritonsil biasanya dimulai sekitar 3 sampai
5 hari sebelum pemeriksaan dan diagnosis.13
Gejala klinis berupa rasa sakit di tenggorok yang terus menerus hingga keadaan yang
memburuk secara progresif walaupun telah diobati. Rasa nyeri terlokalisir, demam tinggi,
(sampai 40°C), lemah dan mual.
Terdapat odinofagia (nyeri menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama. Odinofagi
dapat merupakan gejala menonjol dan pasien mungkin mendapatkan kesulitan untuk makan
bahkan menelan ludah. Akibat tidak dapat mengatasi sekresi ludah sehingga terjadi
hipersalivasi dan ludah seringkali menetes keluar. Terdapat juga nyeri telinga (otalgia),
muntah (regurgitasi), mulut berbau (foeter ex ore), suara sengau (rinolalia dan kadang-kadang
sukar membuka mulut (Trismus akan muncul bila infeksi meluas mengenai otot-otot
pterigoid), serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan. Penderita
mengalami kesulitan berbicara, suara menjadi seperti suara hidung, membesar seperti
mengulum kentang panas (hot potato’s voice) karena penderita berusaha mengurangi rasa
nyeri saat membuka mulut13.
Pada pemeriksaan, sukar untuk memeriksa seluruh faring, karena trismus. Palatum
mole tampak membengkak dan menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Uvula bengkak
dan terdorong ke sisi kontralateral. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus dan
terdorong ke arah tengah, depan dan bawah.1 Pada pemeriksaan fisik penderita dapat
menunjukkan tanda-tanda dehidrasi dan pembengkakan serta nyeri kelenjar servikal / servikal
adenopati.

7
Gambar 3. Perbedaan Inflamasi dan Abses

Pemeriksaan Penunjang

Tidak ada pemeriksaan pasti untuk dapat mendiagnosis abses peritonsiler, walaupun
biasanya tetap dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan evaluasi elektrolit. Tes monospot/
heterophile antibody tes dapat dilakukan untuk mengetahui mononucleus yang terinfeksi jika
etiologinya tidak jelas. Aspirasi dengan jarum pada daerah yang paling fluktuatif, atau punksi
merupakan tindakan diagnostik yang akurat untuk memastikan abses peritonsil lalu kultur
dari aspirasi cairan dapat dilakukan. Jika pasien dalam keadaan klinis yang berat, dapat
dilakukan kultur darah.
Foto polos juga dapat dilakukan dalam posisi AP lateral. Bisa juga dilakukan intraoral
ultrasonography. Intraoral ultrasonography memiliki sensitivitas hingga 95,2% dan
spesifisitas 78,5%, Mayoritas kasus yang diperiksa menampakkan gambaran cincin isoechoic
dengan gambaran sentral hypoechoic.10. Metode ini sangat efektif dan cepat, tetapi
membutuhkan pasien yang kooperatif.4 Jika insisi dan drainase gagal, dan jika pasien tidak
dapat membuka mulutnya, atau pasiennya terlalu muda ( kurang dari 7 tahun), CT scan
kepala dan leher dengan kontras melalui intravena bisa membantu.

8
Penatalaksanaan

Garis Besar
Meskipun fakta menunjukkan bahwa abses peritonsil merupakan komplikasi tersering
dari tonsilitis akut, penatalaksanaan dari abses peritonsil masih kontroversial.
Penatalaksanaan yang umum dikenal untuk abses peritonsil adalah insisi, drainase dan terapi
antibiotika, diikuti oleh tonsilektomi beberapa minggu kemudian6.
Dikutip dari Badran7, Herzon menyatakan bahwa aspirasi jarum saja dapat digunakan
sebagai drainase prosedur pembedahan awal karena tingkat resolusi dengan teknik ini adalah
94-96%. Pada 54% kasus abses peritonsil, penanganannya menggunakan teknik insisi dan
drainase, 32% digunakan jarum aspirasi, dan 14% dilakukan tonsilektomi. Delapan tahun
terakhir, terapi abses peritonsil dengan aspirasi jarum dan penggunaan antibiotika parenteral
agak lebih sering dilakukan dibandingkan insisi dan drainase.8
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi, dan obat simtomatik. Juga
perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan konpres dingin pada leher. Bila telah terbentuk
abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah.
Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis
yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir pada sisi yang sakit.

Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi rasa nyeri, diberikan analgesia (lokal),
dengan menyuntikkan xylocain atau novocain 1% di ganglion sfenopalatinum. Ganglion ini
terletak di bagian belakang atas laetaral dari konka media. Ganglion sfenopalatinum
mempunyai cabang n. palatina anterior , media dan posterior yang mengirimkan cabang
aferennya ke tonsil dan palatum mole di atas tonsil. Daerah yang paling tepat untuk insisi
mendapat inervasi dari cabang palatina n.trigeminus yang melewati ganglion sfenopalatinum.

Kemudian pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi. Bila dilakukan bersama-


sama tindakan drenase abses, disebut tonsilektomi “a’ chaud”. Bila tonsilektomi dilakukan 3-
4 hari sesudah drainase abses, disebut tonsilektomi “a’tiede”, dan bila tonsilektomi 4-6
minggu sesudah drenase abses, disebut tonsilektomi “a’froid”.1

9
Terapi antibiotika
Salah satu faktor yang masih merupakan kontroversi dalam penanganan abses
peritonsil adalah pemilihan terapi antibiotika sebelum dan sesudah pembedahan. Antibiotika
pada gejala awal diberikan dalam dosis tinggi disertai obat simptomatik, kumur kumur
dengan cairan hangat dan kompres hangat pada leher (untuk mengendurkan tegangan otot).8
Dengan mengutamakan pemeriksaan kultur dan sensitifitas, pemberian terapi antibiotika
ditunjukkan pada jenis bakteri mana yang lebih banyak muncul.
Penisilin dan sefalosporin (generasi pertama kedua atau ketiga) biasanya merupakan
obat pilihan. Penisilin dalam dosis tinggi sebagai obat pilihan diberikan dengan
mempertimbangkan kontra indikasi seperti alergi atau timbulnya kemungkinan adanya reaksi
koagulasi organisme.4,11
Penisilin dapat digunakan pada penderita abses peritonsil yang diperkirakan
disebabkan oleh kuman staphylococcus. Metronidazol merupakan antimikroba yang sangat
baik untuk infeksi anaerob. Tetrasiklin merupakan antibiotika alternatif yang sangat baik bagi
orang dewasa, meskipun klindamisin saat ini dipertimbangkan sebagai antibiotik pilihan
untuk menangani bakteri yang memproduksi beta laktamase.
Penting untuk dicatat bahwa memberikan antibiotika intravena pada penderita abses
peritonsil yang dirawat inap belakangan ini sudah kurang umum digunakan. 8
Insisi dan drainase
Abses peritonsil merupakan suatu indikasi tindakan yang juga disebut intraoral
drainase. Tujuan utama tindakan ini adalah mendapatkan drainase abses yang adekuat dan
terlokalisir secara cepat. Lokasi insisi biasanya dapat diidentifikasi pada pembengkakan di
daerah pilar-pilar tonsil atau dipalpasi pada daerah paling berfluktuasi.9
Teknik insisi
Pada penderita yang sadar, tindakan dapat dilakukan dengan posisi duduk
menggunakan anestesi lokal. Anestesi lokal dapat dilakukan pada cabang tonsilar dari nervus
glossofaringeus (N.IX) yang memberikan inervasi sensoris mayoritas pada daerah ini, dengan
menyuntikkan lidokain melalui mukosa ke dalam fosa tonsil. 4,8
Pada penderita yang memerlukan anestesi umum, posisi penderita saat tindakan
adalah kepala lebih rendah (trendelenberg) menggunakan ETT (Endotrakeal tube). Anestesi
topikal dapat berupa xylocaine spray atau menggunakan lidokain 4-5% atau tetrakain 2%
untuk mencegah keterlibatan jaringan tonsil yang lain.
Menggunakan pisau skalpel no.11.
10
Gambar: Lokasi Insisi

Lokasi insisi biasanya dapat diidentifikasi pada :



Pembengkakan di daerah pilar-pilar tonsil atau dipalpasi pada daerah yang paling
fluktuatif

Pada titik yang terletak dua pertiga dari garis khayal yang dibuat antara dasar uvula
dengan molar terakhir.

Pada pertengahan garis horizontal antara pertengahan basis uvula dan M3 atas

Pada pertemuan garis vertikal melalui titik potong pinggir medial pilar anterior
dengan lidah dengan garis horizontal melalui basis uvula

Pada pertemuan garis vertikal melalui pinggir medial M3 bawah dengan garis
horizontal melalui basis uvula Insisi diperdalam dengan klem dan pus yang keluar
langsung dihisap dengan menggunakan alat penghisap.9 Tindakan ini (menghisap
pus) penting dilakukan untuk mencegah aspirasi yang dapat mengakibatkan
timbulnya pneumonitis. Biasanya bila insisi yang dibuat tidak cukup dalam, harus
lebih dibuka lagi dan diperbesar. Setelah cukup banyak pus yang keluar dan lubang
insisi yang cukup besar, penderita kemudian disuruh berkumur dengan antiseptik dan
diberi terapi antibiotika.9
Umumnya setelah drainase terjadi, rasa nyeri akan segera berkurang. Pus yang keluar juga
sebaiknya diperiksakan untuk tes kultur dan sensitifitas, biasanya diambil saat aspirasi
(diagnosis).9
11
Drainase dengan aspirasi jarum
Model terapi abses peritonsil yang digunakan sampai saat ini, pertama insisi dan
drainase serta yang kedua tonsilektomi. Saat ini ada beberapa penelitian yang mendiskusikan
tentang aspirasi menggunakan jarum sebagai salah satu terapi bedah pada abses peritonsil.9
Beberapa keuntungan dari evaluasi penatalaksanaan aspirasi jarum dibanding insisi dan
drainase adalah 9:
1. Mudah untuk dilakukan, sederhana, aman, dan murah.
2. Dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis dengan trauma minimal (yang biasanya
dapat dilakukan sebelum insisi dan drainase).
3. Dapat ditoleransi (ditahan) oleh penderita / tidak menakutkan.
4. Tidak / kurang mencederai struktur jaringan sekitar.
5. Lebih memudahkan untuk mengumpulkan spesimen / pus guna pemeriksaan
mikroskopis dan tes kultur / sensitifitas.
6. Memberikan penyembuhan segera, mengurangi kesakitan.
7. Mencegah prosedur bedah dan anestesi umum.
8. Merupakan prosedur yang dapat dipercaya untuk abses peritonsil.
Kerugian terapi dengan drainase dengan aspirasi jarum
adalah9:
1. Bila pus terkumpul kembali dapat menyebabkan infeksi yang berulang.
2. Tidak dapat melakukan pembersihan kantung pus secara maksimal.
3. Pus yang tersisa tidak maksimal keluar sehingga dapat menyebabkan proses
penyembuhan lama.

Teknik aspirasi
Tindakan dilakukan menggunakan semprit 10 ml, dan jarum no.18 setelah pemberian
anestesi topikal (misalnya xylocain spray) dan infiltrasi anestesi lokal (misalnya lidokain).13
Lokasi aspirasi pertama adalah pada titik atau daerah paling berfluktuasi atau pada tempat
pembengkakan maksimum. Bila tidak ditemukan pus, aspirasi kedua dapat dilakukan 1 cm di
bawahnya atau bagian tengah tonsil.13,7
Aspirasi jarum, seperti juga insisi dan drainase, merupakan tindakan yang sulit dan jarang
berhasil dilakukan pada anak dengan abses peritonsil karena biasanya mereka tidak dapat
bekerja sama. Selain itu tindakan tersebut juga dapat menyebabkan aspirasi darah dan pus ke
dalam saluran nafas yang relatif berukuran kecil.13,7
12
Tonsilektomi
Tindakan pembedahan pada abses peritonsil merupakan topik yang kontroversial
sejak beberapa abad. Filosofi dari tindakan tonsilektomi pada abses peritonsil adalah karena
berdasarkan pemikiran bahwa kekambuhan pada penderita abses peritonsil terjadi cukup
banyak sehingga tindakan pengangkatan kedua tonsil ini dilakukan untuk memastikan tidak
terjadinya kekambuhan.6,7
Sementara insisi dan drainase abses merupakan tindakan yang paling banyak diterima sebagai
terapi utama untuk abses peritonsil, beberapa bentuk tonsilektomi kadang-kadang
dilakukan.4,7,9
Waktu pelaksanaan tonsilektomi sebagai terapi abses peritonsil, bervariasi9 :
1. Tonsilektomi a chaud: dilakukan segera / bersamaan dengan drainase abses.
2. Tonsilektomi a tiede : dilakukan 3-4 hari setelah insisi dan drainase.
3. Tonsilektomi a froid : dilakukan 4-6 minggu setelah drainase.
Ming CF13 mengatakan tonsilektomi merupakan penanganan yang terbaik untuk mencegah
rekurensi abses peritonsil. Pada masa lalu, orang berpendapat operasi harus dilakukan 2-3
minggu setelah infeksi akut berkurang. Tetapi setelah 2-3 minggu, menimbulkan bekas luka
yang terdapat pada kapsul tonsil, sehingga tindakan operasi sulit dan menimbulkan
perdarahan serta sisa tonsil. Saat ini tampaknya dibenarkan bahwa tonsilektomi pada abses
peritonsil, dilakukan dalam anestesi umum, melalui tonsilektomi secara diseksi dan dalam
perlindungan terapi antibiotika adalah suatu operasi yang memberikan resiko yang sama
dengan tonsilektomi abses pada fase tenang (cold tonsillectomy).

Beberapa keuntungan dari tonsilektomi segera pada abses peritonsil adalah:9


1. Penanganan penderita dilakukan dalam satu tahap pada saat sakit.
2. Memberikan drainase pus yang lengkap.
3. Mengurangi kesulitan tonsilektomi selang waktu yang kadang-kadang timbul.
4. Mengurangi waktu perawatan (bila penderita dirawat inap di rumah sakit)
5. Mengurangi rasa sakit dengan segera dan menghilangkan perasaan tidak enak
mengalami prosedur yang lain (insisi dan drainase)
Beberapa kerugian tindakan tonsilektomi segera pada abses peritonsil adalah9 :
1. Dapat terjadinya perdarahan pada saat tindakan tonsilektomi.
2. Dapat terjadi trombosis, sinus kavernosus, aspirasi paru, dan meningitis.
13
Indikasi tonsilektomi segera, yaitu10 :
1. Abses peritonsil yang tidak dapat diinsisi dan drainase karena trismus atau abses yang
berlokasi di kutub bawah.
2. Abses peritonsil yang meluas dari hipofaring ke daerah parafaring, dengan resiko
meluas ke daerah leher dalam.
3. Penderita dengan DM (Diabetes Melitus) yang memerlukan toleransi terhadap terapi
berbagai antibiotika.
4. Penderita diatas 50 tahun dengan tonsil-tonsil yang melekat, karena abses akan sangat
mudah meluas ke daerah leher dalam.
Pada umumnya insisi dan drainase diikuti dengan tonsilektomi 6-12 minggu kemudian adalah
prosedur terapi abses peritonsil. Dikutip dari Ming CF 13, KY Wen merekomendasikan bahwa
pasien harus dilakukan operasi 2-3 hari setelah infeksi terkontrol jika ukuran luka pada abses
yang pecah spontan kurang dari 2,5 cm. Namun, bila ukuran luka pada abses yang pecah
spontan lebih dari 2,5 cm maka tindakan operasi harus dilakukan segera dengan tetap
memperhatikan kondisi umum dan komplikasi sistemik pada pasien.
Faktor penyulit
Beberapa faktor sering kali menjadi penyulit penanganan abses peritonsil, diantaranya
trismus dan
penyakit sistemik (khususnya DM).
a. Trismus
Keadaan ini terjadi bila abses sudah mengenai dan menyebabkan iritasi pada
muskulus pterigoid
interna. Penderita menjadi sulit membuka mulut karena nyeri dan kaku. Untuk mengatasi rasa
nyeri diberikan analgetik lokal dengan menyuntikkan silokain atau novokain 1% di ganglion
sphenopalatinum.7
Ganglion ini terletak di bagian belakang atas lateral konka media. Ganglion sphenopalatinum
mempunyai cabang saraf palatina anterior media dan posterior yang mengirimkan cabang
aferennya ke tonsil dan palatum mole di atas tonsil.7
b. Diabetes Melitus (DM)
Pembedahan, betapapun ringannya merupakan sesuatu yang menakutkan bagi seorang
penderita apalagi bila ia tidak mengetahui masalahnya. Setiap orang yang mengalami atau
menjalani pembedahan akan mendapatkan stres metabolik berupa asupan kalori yang
berkurang karena pengaruh anestesi, trauma pembedahan ataupun diikuti oleh infeksi sebagai
14
akibatnya. Pada penderita DM dengan operasi terencana (efektif), dapat menghabiskan kalori
sebesar 10%, sedangkan pada operasi darurat bisa mencapai 40% dibandingkan dengan orang
non DM yang dioperasi. Infeksi dan infark miokard, adalah dua hal yang ditakuti pada
penderita DM yang mengalami pembedahan, yang merupakan akibat langsung atau tidak
langsung dari hiperglikemia.8
Pengendalian gula darah perlu dilakukan sebelum pasien dioperasi. Untuk operasi
darurat yang memerlukan penurunan gula darah segera, sulit didapat melalui diet atau
antidiabetik oral, dapat dilakukan dengan pemberian insulin regular.12,8 Persyaratan kadar
gula darah yang optimal untuk operasi masih sangat bervariasi. Pada umumnya untuk operasi
terencana, kadar gula darah yang dipakai 125-150 mg%. Dan angka absolut ≤150 mg%.
Untuk operasi darurat angka yang dianjurkan adalah ≤ 200 mg%.
Komplikasi

Komplikasi segera yang dapat terjadi berupa dehidrasi karena masukan cairan yang
kurang. Komplikasi yang biasa terjadi yaitu abses pecah spontan, mengakibatkan terjadi
perdarahan, aspirasi paru atau piemia. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring,
sehingga terjadi abses parafaring. Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum,
sehingga terjadi mediastinitis. Pembengkakan yang timbul di daerah supra glotis dapat
menyebabkan obstruksi jalan nafas yang memerlukan tindakan trakeostomi Lalu bila terjadi
penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan trombus sinus kavernosus, meningitis
dan abses otak. Pada keadaan ini, bila tidak ditangani dengan baik akan menghasilkan gejala
sisa neurologis yang fatal. Komplikasi lain yang mungkin timbul akibat penyebaran abses
adalah endokarditis, nefritis, dan peritonitis juga pernah ditemukan

Prognosis

Abses peritonsiler yang tidak berkomplikasi dan mendapat perawatan dengan baik
akan sembuh 94%. Di Amerika Serikat, angka kekambuhan sekitar 10%, meski di negara-
negara lain bisa mencapai 15% atau lebih.5

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA, Iskandar HN. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher. Edisi ke – 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006.h.181-91.

2. Sabiston DC. Buku Ajar Bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1994.h.299

3. Johnson RF, Stewart MG. The Contemporary Approach to Diagnosis and


Management of Peritonsillar Abscess. Curr Opin Otolaryngol Head Neck Surg.
2005;13(3):157-60.

4. Lyon M, Blaivas M. Intraoral Ultrasound in the Diagnosis and Treatment of


Suspected Peritonsillar Abscess in the Emergency Department. Acad Emerg Med.
2005;12(1):85-8.

5. Galioto NJ. Peritonsillar abscess. Am Fam Physician. Jan 15 2008;77(2):199-202. 

6. Beriault M, Green J. Innovative Airway Management for Peritonsillar Abscess.


Cardiothoracic J Anesth 2006;53:92-5.
7. Badran KH, Karkos PD. Aspiration of Peritonsillar Abscess in Severe Trismus.
Journal of Laryngol & Otol 2006;19:492-94.
8. Su WY, Hsu WC. Inferior pole Peritonsillar Abscess Successfully Treated With Non
Surgical Approach In Four Cases. Tsu Chi Med J 2006;18:287-90.
9. Braude DA, Shalit M. A Novel Approach to Enchance Visualization During Drainage
of Peritonsillar Abscess. The Journal of Emergency Medicine 2007;35:297-98.
10. Fasano J.C, Chudnofsky C. Bilateral Peritonsillar Abscesses: Not Your Usual Sore
Throat. The Journal of Emergency Medicine 2005;29 p. 45-7.
11. Megalamani SB, Suria G. Changing Trends In Bacteriology of Peritonsillar Abscess.
Journal of Laryngol & Otol 2008;122:928-30.
12. Repanos C, Mukherjee P. Role of Microbiological Studies in Management of
Peritonsillar Abscess. Journal of Laryngol & Otol 2008;123:877-79.
13. Ming CF. Efficacy of Three Theraupetic Methods for Peritonsillar Abscess. Journal of
Chinese Clinical Medicine 2006;2:108-11.

16

Anda mungkin juga menyukai