Anda di halaman 1dari 4

Kali ini penulis akan mengambil salah satu contoh kasus yang berkaitan dengan mukhtalaf al-hadits,

yaitu mengenai hukum shalat dua rakaat sebelum maghrib. Berkaitan dengan hal tersebut, ada dua
hadits yang akan menjadi pokok bahasan kita di sini. Yang pertama adalah hadits yang diriwayatkan
oleh Abullah bin al-Muzani :

‫الثالِ َث ِة ِل َمنْ َشا َء َك َرا ِه َي َة َأنْ َي َّت ِخ َذ َها ال َّناسُ ُس َّن ًة‬
َّ ‫ فِي‬:‫ َقا َل‬،ِ‫صالَ ِة ال َم ْغ ِرب‬
َ ‫صلُّوا َق ْب َل‬
َ

“Shalatlah kalian sebelum shalat maghrib, (kemudian) bersabda Rasulullah SAW setelah yang ketiga
kalinya : “bagi siapa saja yang berkehendak!” karena takut orang menjadikannya sebagai sunnah.”

Dan yang kedua adalah atsar yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Thowus :

ِ ‫ص فِي الرَّ ْك َع َتي‬


‫ْن‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ي‬
ِ ِّ‫ُصل‬
َ ‫يه َما َو َر َّخ‬ ِ ‫ْت َأ َح ًدا َعلَى َع ْه ِد َرس‬
َ ِ ‫ُول هَّللا‬ ُ ‫ب َف َقا َل َما َرَأي‬
ِ ‫ْن َق ْب َل ْال َم ْغ ِر‬
ِ ‫سئل بن ُع َم َر َع ِن الرَّ ْك َع َتي‬
ْ
‫َبعْ َد ال َعصْ ِر‬

“Ibnu Umar ditanya tentang dua rakaat sebelum maghrib kemudian dia berkata aku tidak pernah
melihat seseorang pada masa Rasulullah SAW melakukan shalat tersebut namun Beliau memberikan
keringanan pada dua rakaat setelah ashar”

Dua hadits di atas jika dilihat secara dzahir, maknanya saling bertentangan. Yang pertama
menunjukkan kebolehan shalat sunnah sebelum maghrib, namun yang kedua manafyikan
kesunnahannya. Maka disini kita akan melihat bagaimana para ulama menyikapi kedua hadits di
atas.

1. Al-Jam’u

Sebagian ulama hanafiyah menggunakan cara al-jam’u dalam menyikapi kedua hadits di atas
sebagaimana disebutkan oleh Badruddin al-‘Aini dalam kitabnya ‘Umdah al-Qori Syarh Shohih Al-
Bukhori, penjelasannya adalah sebagai berikut.

Hadits yang pertama berkaitan dengan kondisi kaum muslimin pada awal kemunculan islam, untuk
menunjukkan telah berlalunya waktu terlarang untuk shalat dengan terbenamnya matahari sehingga
rasulullah SAW menganjurkan untuk melakukan shalat dua rakaat sebelum maghrib sebagai
pertanda bahwa waktu tersebut sudah diperbolehkan untuk melakukan shalat, baik itu shalat
sunnah atau shalat fardu.
Kemudian setelah itu kaum muslimin terbiasa untuk menyegerakan shalat fardu di awal waktu agar
tidak terlambat untuk melaksanakannya di waktu yang utama, maka shalat dua rakaat sebelum
maghrib pun tidak dilakukan. Dengan demikian hadits kedua yang diriwayatkan dari Ibnu Umar tidak
bisa dijadikan hujjah untuk menafyikan kesunnahan shalat dua rakaat sebelum maghrib.

2. At-Tarjih

Cara yang kedua adalah dengan melakukan tarjih terhadap salah satu hadits yang dianggap lebih
kuat atau dominan. Penjelasannya adalah sebagai berikut :

Hadits yang pertama yaitu hadits yang diriwayatkan dari Abullah bin al-Muzani adalah hadits shahih,
diriwayatkan oleh Imam al-Bukhori. Selain itu hadits ini juga diriwayatkan oleh banyak ulama ahli
hadits yang termaktub dalam kitab-kitabnya antara lain Musnad-nya Imam Ahmad, Shahih Ibnu
Khuzaimah, Shahih Ibnu Hibban, Sunan Abu Daud, Sunan al-Daruqutni, al-Sunan al-Shagir dan al-
Sunan al-Kubro karya Imam al-Baihaqi.

Selain itu, hadits ini juga diperkuat oleh hadits lain yang juga merupakan hadits shahih. Yaitu hadits
yang diriwayatkan dari Anas bin Malik :

‫ُج ال َّن ِبيُّ صلّى هللا عليه وسلم َو ُه ْم‬ َ ‫ َح َّتى َي ْخر‬،‫ي‬
َ ‫ار‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َي ْب َت ِدر‬
ِ ‫ُون الس ََّو‬ ِ ‫المؤذن ِإ َذا َأ َّذ َن َقا َم َناسٌ مِنْ َأصْ َحا‬
َ ِّ‫ب ال َّن ِبي‬ ّ َ ‫َك‬
‫ان‬
ِ ‫ون الرَّ ْك َع َتي‬
ِ ‫ْن َق ْب َل ال َم ْغ ِر‬
‫ب‬ ُّ
َ ‫صل‬ َ
َ ‫ ُي‬،‫َكذل َِك‬

“Adalah muadzin apabila adzan, para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersegera berdiri
menuju tiang masjid untuk shalat dua rakaat sebelum maghrib sampai Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam keluar sementara mereka dalam keadaan demikian”

Hadits di atas adalah hadits yang muttafaq ‘alaih (diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim). Dengan
demikian hadits ini menjadi penguat bagi hadits pertama yang diriwayatkan dari Abdullah bin al-
Muzani yang menunjukkan pensyariatan shalat dua rakaat sebelum maghrib. Walaupun nantinya
ada perbedaan di antara fuqoha dalam derajat ke-masyru’iyyah-annya. Ada yang mengatakan
sunnah atau mustahab dan ada yang berpendapat hanya sekedar mandub.

Sedangkan hadits kedua yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa dia tidak melihat seorang pun dari
sahabat Nabi yang melakukan shalat dua rakaat sebelum maghrib, hadits ini diriwayatkan oleh Abu
Daud dan Al-Baihaqi.
Namun hadits ini mendapat komentar dari beberapa ulama diantaranya Ibnu Hazm yang
mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih karena dalam sanadnya terdapat seorang rowi majhul
(tidak diketahui/dikenal) yang bernama Syuaib. Di samping itu Imam Al-bani juga mengatakan bahwa
hadits ini adalah hadits dha’if.

Dari sisi lain, metode tarjih juga bisa dilakukan dengan cara memandang dari sisi itsbat dan nafyi-
nya. Hadits pertama dianggap sebagai hadits yang menetapkan atau meng-itsbat (mutsbit)
kebolehan shalat sunnat dua rakaat sebelum maghrib.

Dan hadits yang kedua dianggap sebagai hadits yang menafyikan (nafi) kebolehannya. Maka jika ada
dua hadits, yang satu mutsbit dan yang satu nafi, yang didahulukan adalah hadits yang mutsbit.
Karena boleh jadi yang menafyikan kesunnahan shalat tersebut tidak mengetahui apa yang diketahui
oleh yang meng-itsbat (menetapkan) kesunnahannya.

3. An-Naskh

Ibnu Syahin berpendapat bahwa hadits pertama yaitu hadits Abdullah bin al-Muzani, dinasakh oleh
hadits kedua yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dan hadits yang diriwayatkan oleh abdullah bin
Buraidah berikut :

‫ْن َما خال ْالمغرب‬


ِ ‫ِإن عِ ْند كل أذانين َر ْك َع َتي‬

“Sesungguhnya di setiap dua adzan (adzan dan iqomah) ada dua rakaat, kecuali shalat maghrib”

Namun sayangnya pendapat ini mendapat sanggahan dari Ubaidullah al-Rahmani al-Mubarakfuri
dalam kitab Mir’ah al-Mafatih. Beliau mengatakan bahwa pendapat nasakh ini tidak perlu dianggap
karena merupakan pendapat yang tidak berdasar.

C. Penutup

Jika melihat beberapa cara dalam menyikapi mukhtalaf al-ahadits seperti yang telah dijelaskan di
atas, sangatlah wajar jika kita mendapati perbedaan para ulama dalam menentukan hukum shalat
dua rakaat sebelum maghrib. Karena memang setiap ulama mempunyai pendapat dan metode
masing-masing dalam hal ini bahkan dalam masalah-masalah fiqih lainnya.
Dalam madzhab empat yang kita kenal pun punya pendapat yang berbeda-beda. Di antaranya
madzhab Hanafi dan maliki berpendapat bahwa shalat dua rakaat sebelum maghrib hukumnya
makruh. Lain lagi dengan madzhab Syafi’i yang justru mengatakan hukumnya sunnah.

Perbedaan tersebut tidak terlepas dari adanya keberagaman metode atau cara yang bisa
diaplikasikan dalam menyikapi suatu kasus fiqih yang berkaitan dengan mukhtalaf al-ahadits seperti
yang telah dibahas di atas.

Karena pada umumnya dalil yang dipakai para ulama dalam menentukan suatu hukum merupakan
dalil yang sama, namum cara memahami dan sudut pandang masing-masing ulama terhadap dalil-
lah yang membedakan output dari hasil suatu proses ijtihad yang dilakukan oleh masing-masing
ulama tersebut.

Anda mungkin juga menyukai