Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

“PENERAPAN FISIKA NUKLIR DI BIDANG PERIKANAN”


Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Fisika Inti

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 7
1. OLIVIA STEFHANY WIJAYA (F1B1 19 033)
2. UDE RAHMAN (F1B1 19 039)
3. NIKEN SULASTRI (F1B1 19 055)

JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022

i
PENERAPAN FISIKA NUKLIR DI BIDANG PERIKANAN

Dasar Teori
Peluruhan radioaktif adalah suatu peristiwa dimana satu inti atom yang tidak stabil
(radioisotop atau inti radioaktif) secara spontan akan berubah menjadi inti atom
lain yang lebih stabil sambil memancarkan energi radiasi. Radiasi yang
dipancarkan tersebut dapat berupa partikel alpha (α), partikel beta (β), atau sinar
gamma (γ).
a. Peluruhan Alpha (α)
Peluruhan alpha dominan terjadi pada inti-inti tidak stabil yang relatif berat
(nomor atom lebih besar dari 80). Dalam peluruhan ini akan dipancarkan
partikel alpha (α), yaitu suatu partikel yang terdiri atas dua proton dan dua
neutron. Partikel α mempunyai massa 4 sma dan muatan 2 muatan elementer
positif. Partikel α secara simbolik dinyatakan dengan symbol 2He4 karena
identik dengan inti atom Helium. Inti atom yang melakukan peluruhan α akan
kehilangan dua proton dan dua neutron serta membentuk nuklida baru.
A A-4
ZX Z-2Y +α

Gambar 1 Peluruhan alpha

Contoh peluruhan partikel alpha yang terjadi di alam adalah:


238 234
92U 90Th +α

1
Sifat radiasi alpha:
 Daya ionisasi partikel α sangat besar, ± 100 kali daya ionisasi partikel β
dan 10.000 kali daya ionisasi sinar γ.
 Jarak jangkauan (daya tembus) nya sangat pendek, hanya beberapa mm
udara, bergantung pada energinya.
 Partikel α akan dibelokkan jika melewati medan magnet atau medan
listrik.
 Kecepatan partikel α bervariasi antara 1/100 hingga 1/10 kecepatan
cahaya.

b. Peluruhan Beta (β)


Peluruhan beta terjadi pada inti tidak stabil yang relative ringan. Dalam
peluruhan ini akan dipancarkan partikel beta yang mungkin bermuatan negatif
(β-) atau bermuatan positif (β+). Partikel β- identic dengan elekton sedangkan
partikel β+ identik dengan elektron yang bermuatan positif atau positron.

Gambar 2 Peluruhan beta

Dalam proses peluruhan β- terjadi perubahan neutron menjadi proton di dalam


inti atom. Proses peluruhan ini dapat dituliskan sebagai persamaan inti berikut.
234 234
90Th 91Pa + -1e0 atau 90Th234 91Pa
234

Sedangkan dalam proses peluruhan β+ terjadi perubahan proton menjadi
neutron di dalam inti atom. Proses peluruhan ini dapat dituliskan sebagai
persamaan inti berikut
15 15
8O 7N + +1e0 atau 8O15 7N
15

2
Sifat radiasi beta:
 Daya ionisasinya di udara 1/100 kali dari partikel α.
 Jarak jangkauannya lebih jauh daripada partikel α, dapat menembus
beberapa cm di udara.
 Kecepatan partikel β berkisar antara 1/100 hingga 99/100 kecepatan
cahaya.
 Karena sangat ringan, maka partikel β mudah sekali dihamburkan jika
melewati medium.
 Partikel β akan dibelokkan jika melewati medan magnet atau medan
listrik.

c. Peluruhan Gamma (γ)


Berbeda dengan dua jenis peluruhan sebelumnya, peluruhan gamma tidak
menyebabkan perubahan nomor atom maupun nomor massa, karena radiasi
yang dipancarkan dalam peluruhan ini berupa gelombang elektromagnetik
(foton). Peluruhan γ dapat terjadi bila energi inti atom tidak berada pada
keadaan dasar (ground state), atau sering dikatakan sebagai inti atom yang
tereksitasi (exited state). Biasanya, peluruhan γ ini mengikuti peluruhan α
ataupun β. Peluruhan γ dapat dituliskan sebagai berikut.
A* A
ZX ZY +γ

Gambar 3 Peluruhan gamma

3
Salah satu Contoh peluruhan γ yang mengikuti persamaan peluruhan
60 60*
27Co 28Ni +β
60* 60
28Ni 28Ni +γ
Sifat radiasi gamma:
 Sinar γ dipancarkan oleh nuklida (inti atom) yang dalam keadaan
tereksitasi (isomer) dengan Panjang gelombang antara 0,005 Å hingga
0,5 Å.
 Daya ionisasinya di dalam medium sangat kecil sehingga daya
tembusnya sangat besar bila dibandingkan dengan daya tembus partikel
α atau β.
 Karena tidak bermuatan, sinar γ tidak dibelokkan oleh medan listrik
maupun medan magnet.

1. Hormon Jantanisasi Ikan


Hormon jantanisasi ikan adalah hormone yang dihasilkan oleh testis
ternak yang menyebabkan timbulnya ciri seks sekunder jantan/maskulinisasi.
Para peternak ikan mendapatkan produk hormon ini import dari China,
Thailand, dan Jepang, biasanya diberi nama “hormone 17-α metiltestosteron”
sehingga harga hormone relatif mahal, sulit didapat dan karena terbuat dari
bahan sintesis.

Gambar 4 Hormone 17-α metiltestosteron

4
Atas dasar itu BATAN mencoba memecahkan masalah tersebut
dengan melakukan litbang untuk memproduksi Hormon “Jantanisasi Ikan”
yang bersifat “alami” karena terbuat dari bahan dasar testis ternak, sehingga
tidak mengandung bahan residu kimia.

Gambar 5 Hormon jantanisasi ikan alami


Pemanfaatan teknologi nuklir di bidang perikanan adalah
Radioimmunassay (RIA), yang merupakan aplikasi teknologi nuklir yang dapat
digunakan untuk mengukur konsentrasi hormon. Prinsip utama dari teknik RIA
adalah dengan memanfaatkan interaksi antara hormon dan antibody. RIA
adalah suatu cara pengukuran yang bersifat indirect, hormon (antigen) yang
dilabel radio isotop digunakan untuk mendeteksi dan mengukur hormon dalam
sampel, pada umumnya radioisotop yang digunakan dalam teknik RIA adalah
Yodium-125. Hormon yang ditempeli dengan yodium-125 akan menjadi
perunut 125I-Antigen. Kemudian kadar dari antigen tersebut diukur dalam
plasma darah.

Gambar 6 radioimmunassay (RIA)


5
Teknik radioimmunoassay (RIA) adalah termasuk studi in-vitro,
pertama kali ditemukan pada tahun 1960 oleh Solomon Berson dan Rosalyn
Yalow. Teknik ini digunakan untuk mengetahui kandungan zat biologik
tertentu dalam tubuh yang jumlahnya sangat kecil, misalnya hormon insulin,
tiroksin, enzim dan lain-lain. Prinsip pemeriksaan RIA adalah kompetisi antara
antigen (bahan biologi yang diperiksa) dengan antigen radioaktif dalam
memperebutkan antibodi yang jumlahnya sangat terbatas.
Pemeriksaan dengan teknik radioimmunoassay (RIA) dilakukan
dengan bantuan detektor sinar gamma yang disusun dengan suatu sistem
instrumentasi. Detektor yang digunakan dapat berupa detektor Geiger-Muller
(GM), sintilasi maupun detektor semikonduktor dimana penggunaannya dapat
disesuaikan dengan kebutuhan. Dalam pemilihan detektor hal penting yang
perlu diperhatikan dalam pencacahan untuk analisis radioimmunoassay (RIA)
ini adalah parameter efisiensi.

1. Menggunakan Kit RIA

2. Pengambilan sampel

3. Sampel dicacah dengan alat pencacah


RIA dan dianalisis

Gambar 7 Pengujian sampel dengan teknik radioimmunoassay


6
Komponen pengukuran radiasi Radioimmunoassay, yaitu sebagai
berikut:
a. Detektor
Detektor terdiri dari suatu medium yang menyerap energi radiasi dan
mengubahnya kedalam bentuk sinyal. Jenis detektor yang umum digunakan
dalam teknik RIA ini diantaranya adalah detektor Geiger Muller (GM) dan
detektor sintilasi.
b. Catu Daya Tegangan Tinggi (HV)
Penggunaan catu daya tegangan tinggi pada sistem pencacah gamma sangat
menentukan kualitas pulsa yang dihasilkan oleh detektor. Catu daya
tegangan tinggi memiliki keluaran yang dapat diatur hingga 1000 Volt DC
Sumber tegangan yang digunakan dalam sistem ini ada dua macam yaitu
tegangan tinggi untuk detektor dan tegangan rendah untuk rangkaian
elektroniknya.
c. Penguat Awal (Pre-Amplifier)
Penguat awal digunakan untuk melakukan pembentukan pulsa
pendahuluan, mencocokan impedansi keluaran detektor dengna kabel
signal masuk ke penguat.
d. Penguat Linier (Amplifier)
Untuk memperkuat pulsa sampai dengan amplitudo yang dapat dianalisis
dengan alat penganalisa tinggi pulsa. Kemampuan suatu penguat untuk
memperkuat pulsa disebut dengan gain.
e. Penganalisa Saluran Tunggal (Pulse Height Analyzer)
Penganalisa saluran tunggal mempunyai saluran pencacahan yang dibatasi
oleh suatu ambang (treshold) dan celah yang lebarnya dapat diatur, yang
biasa disebut jendela (window). Hanya pulsa-pulsa yang mempunyai tinggi
amplitudo lebih besar dari pada harga ambang dan lebih kecil dari batas
atas jendela yang dapat diteruskan menuju alat cacah.

7
f. Pencacah (Counter)
Pada perangkat ini terdapat modul counter, modul counter ini menerapkan
metode perhitungan jumlah pulsa yang dihasilkan oleh detektor dalam satu-
satuan waktu tertentu.

Gambar 8 Proses analisis menggunakan teknik RIA

Prinsip kerja dari RIA adalah untuk mengetahui perbandingan


konsentrasi antibodi yang terdapat pada bagian dalam tabung dan antigen yang
terdapat dalam sampel dengan menggunakan radioaktif. Analisis RIA
sederhana yaitu dengan mencampur isotop dengan antibodi kemudian
disisipkan pada sampel. Substansi radioaktif dalam sampel akan menggantikan
posisi radioaktif pada antibodi yang mengakibatkan timbulnya radiasi. Radiasi
yang dipancarkan kemudian diukur untuk menentukan berapa banyak subtansi
yang terkandung pada sampel. Cacahan radiasi dideteksi menggunakan
pencacah seperti detektor Geiger-Muller (GM), sintilator, dan sebagainya.
Penggunaan teknik nuklir pada uji radioimmunassay (RIA) dengan
menggunakan isotop yodium-125 dapat mengevaluasi hormone sehingga
didapat konsentrasi yang sesuai untuk persentase jantanisasi ikan yang optimal,
kemudian dari ekstrak jaringan testis didapat konsentrasi testosteron yang
cukup tinggi, tingginya konsentrasi testosteron menunjukkan jumlah hormon
8
androgen penghasil sel jantan lebih banyak. Dari beberapa testis hewan yang
telah diuji ternyata kandungan kadar testosteron tertinggi terdapat pada testis
ternak sapi yang selama ini menjadi limbah dan banyak tersedia di Indonesia.
Terdapat tiga metode dasar dalam pemberian hormon steroid untuk
kepentingan perubahan jenis kelamin yaitu melalui injeksi, melalui
perendaman dalam hormone (immersi) dan melalui pakan. Dari ketiga cara
tersebut, cara yang terakhir (melalui pakan) adalah cara yang terbaik, terutama
apabila menggunakan hormone etiltestosteron dan metiltestosteron.
Teknik perubahan jenis kelamin ini hanya akan efektif apabila
pemijahannya dilakukan dengan teknik pemijahan buatan. Hal tersebut
dimaksudkan agar kontinuitas penyediaan benih lebih terjamin dalam jumlah
yang banyak. Dari segi ekonomis, sebaiknya minimum dihasilkan larva
sejumlah 50.000 ekor dalam satu kali perlakuan dengan kepadatan 750-1000
ekor /m3.

Gambar 9 Teknik pemijahan buatan

Periode yang baik untuk pemberian perlakuan dengan hormon


metiltestosteron adalah pada stadia larva atau pada saat ikan mulai makan,
yaitu umur benih ikan antara 7-10 hari setelah menetas. Namun demikian
keberhasilan perubahan jenis kelamin juga dipengaruhi oleh beberapa faktor
lain seperti macam dan dosis hormone yang digunakan, metode pemberian
hormone, lama perlakuan, jenis ikan serta suhu air selama perlakuan. Dosis
hormon yang diberikan dalam pakan antara 5-1000 mg/kg pakan tergantung
spesies ikan itu sendiri. Dosis yang diberikan harus dapat menghasilkan

9
perubahan jenis kelamin minimal 50%, dan pada dosis yang rendah haruslah
sudah dapat menghasilkan pergantian jenis kelamin secara menyeluruh.
Salah satu contoh penggunaan hormon jantanisasi ikan yaitu pengaruh
17α-Metil Testosteron dalam sex reversal dengan dosis yang berbeda terhadap
nisbah kelamin dan kelangsungan hidup ikan cupang melalui perendaman larva
umur 1 hari setelah menetas.

Gambar 10 Perendaman dalam hormone (immersi) ikan cupang

Tabel 1 Rancangan perlakuan

Dosis yang diberikan terhadap perlakuan adalah (P1) 5 mg/l, (P2) 10 mg/l, (P3)
15 mg/l, (P4) 20 mg/l dan perendaman tanpa bahan metil testosteron sebagai
kontrol (K). Parameter yang diuji adalah presentase jantan dan kelangsungan
hidup ikan cupang. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan perlakuan perendaman larva ikan cupang berumur 1 hari dengan
rendaman metiltestosteron dan dibandingkan dengan perlakuan kontrol (tanpa
bahan), masing-masing perlakuan diulangi sebanyak 3 kali ulangan. Hasil
penelitian menujukkan bahwa dosis yang paling efektif dalam perlakuan

10
perendaman larva ikan cupang terhadap presentase ikan cupang jantan adalah
pemberian dosis 20 mg/l dengan hasil 100%.
Contoh lainnya yaitu pada ikan nila, keberhasilan jantanisasi pada
ikan nila menunjukkan bahwa penggunaan hormon 17-α metiltestosteron (MT)
lebih efektif dibandingkan suhu. Akan tetapi penggunaan hormone dengan cara
pemberian melalui pakan belum menunjukkan hasil yang lebih baik
dibandingkan dengan perendaman larva. Padahal secara aplikasi melalui
pemberian pakan lebih mudah dilakukan. Oleh karena itu, pada penelitian kali
ini akan dilakukan pemberian hormon melalui pakan dengan waktu percobaan
pemberian pakan melebihi waktu kritis tertinggi, yaitu selama 30 dan 50 hari.

+
Gambar 11 Pemberian 17-α metiltestosteron melalui pakan

Perlakuan menggunakan hormon 17-α metiltestoteron dengan dosis 60 mg/kg


dengan perlakuan lama pemberian pakan 0, 30 dan 50 hari. Pengaruh lama
waktu pemberian pakan mengandung hormon di uji menggunakan uji anova
pada selang kepercayaan 95%. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa
penggunaan 17-α metiltestoteron dalam sex reversal dengan dosis 60 mg/kg
pakan dengan lama waktu pemberian 0, 30 dan 50 hari menunjukkan adanya
perbedaan jumlah kelamin ikan nila jantan yang dihasilkan. Akan tetapi tidak
terlihat adanya perbedaan nyata pada nisbah kelamin jantan pada perlakukan
30 dan 50 hari pemberian pakan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
pemberian pakan hormon 17-α metiltestosteron melalui pakan selama 30-50
hari setelah penetasan dapat meningkatkan nisbah kelamin jantan pada ikan
nila lebih dari 80%.

11
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrouf. 2015. Fisika Inti: Teori dan Penerapannya. Malang: Universitas


Brawijaya.
Alatas, Z., et all. 2016. Buku Pintar Nuklir. Jakarta: Batan Press.
Alvionita, D., Haryatna, Aminudin, M. 2016. Makalah Instrumentasi Nuklir
Sistem Pencacahan Pada Radioimmunoassay (Ria). Yogyakarta: Badan
Tenaga Nuklir Nasional.
Barades, E., Dwi, P. H., Pindo, W., dan Rahmadi, A. 2020. Peningkatan Nisbah
Ikan Nila Jantan Menggunakan 17-α Metiltestosteron melalui Pakan.
Jurnal Perikanan. Vol. 10(1): 50.
Harsojo dan Alim. 2003. Aplikasi Teknik Nuklir di Bidang Perikanan. P3TIR.
001.
Rovara, O. 2005. Penggunaan Hormon Metiltestosteron untuk Maskulinisasi
Elver Ikan Sidat (Anguilla bicolor bicolor) dari Perairan Estuaria Segara
Anakan. Jurnal Alami. Vol. 10(3): 41.
Wibowo, C. Y. S., Edward, D., dan Firsty, R. 2019. Jantanisasi Ikan Cupang
(Betta sp.) dengan 17-α Metiltestosteron melalui Perendaman Larva.
Jurnal Satya Minabahari. Vol. 4(2): 80.

12
Lampiran 1 – Daftar Pertanyaan Diskusi

1. Duriansyah (F1B119047)
Pertanyaan : “Apakah ada dampak negatif dari pemanfaatan nuklir di bidang
perikanan, dalam hal ini pemanfaatan RIA?”
Jawaban : “Biasanya dampak negatifnya itu adalah efek samping dari obat,
unsur-unsur obat biasanya digabung atau dikombinasikan dengan senyawa
kimia, sehingga dampaknya itu hanya efek tubuh terhadap senyawa kimia dari
obat. Tetapi jika unsur kimianya belum melebihi batas ambang maka efeknya
masih bisa tidak muncul atau dinetralisir oleh hati yang masih berfungsi
dengan baik. Jadi tidak ada dampak negatif yang besar dari pemanfaatan nuklir
di bidang perikanan dalam hal ini pemanfaatan RIA.”

2. Muhammad Dzulham Mu’arif (F1B119025)


Pertanyaan : “Apakah dengan melakukan RIA, jumlah gizi pada ikan dapat
terpengaruh?”
Jawaban : “Tidak ada pengaruhnya terhadap gizi yang ada dalam ikan, tetapi
lebih berpengaruh dengan bagaimana menciptakan ikan yang berjenis kelamin
jantan. Masalah dari ikan adalah telur-telur yang dikeluarkan oleh ikan betina
sangatlah banyak, jika jumlah ikan jantannya itu sedikit otomatis untuk
membuahi telur-telur tersebut itu sangat kecil kemungkinannya untuk menjadi
benih ikan, sehingga perlu diperbanyak ikan berjenis kelamin jantan untuk
membuahi telur-telur yang sudah keluar dari tubuh ikan betina.”

3. Wa Ode Maghfirah Alfariza (F1B119041)


Pertanyaan : “Apakah ada perbedaan efek waktu kritis yang tepat dan melebihi
waktu kritis untuk percobaan pemberian pakan terhadap jantanisasi hormon
ikan?”
Jawaban : “Efeknya itu jika melebihi waktu kritis pemberian pakan ikan
maka ikannya itu tidak dapat berubah jenis kelaminnya menjadi jantan,
misalkan jika sudah lewat waktu pemberian pakannya maka ikannya itu yang
13
tadinya masih satu hari betina maka akan tetap menjadi betina. Misalkan lagi
nanti tiga hari ikannya baru akan diberi pakan hormon jantanisasi ikan maka
ikannya tidak akan bisa lagi berubah menjadi jantan karena kemampuannya
atau waktu kritisnya hanya tujuh hari saja.”

4. Tari Mar’athus (F1B118033)


Pertanyaan : “Apakah ikan yang telah diberikan hormon akan tetap
terpengaruh terhadap lingkungan, misal ikan yang diberikan hormon
dikumpulkan dengan jumlah ikan yang banyak atau dipisahkan dari ikan satu
dan ikan yang lain?”
Jawaban : “Pengaruhnya akan lebih ke hasil dari ikannya sendiri. Jadi
pengaruhnya itu lebih ke pengaruh jumlah ikan yang dihasilkan, ketika
dipisahkan atau tidak dipisahkan itu tidak ada pengaruhnya terhadap
lingkungannya hanya mempengaruhi jumlah ikannya saja.”

14

Anda mungkin juga menyukai