Anda di halaman 1dari 17

KEBIJAKAN PENCAIRAN JAMINAN HARI TUA (JHT)

PADA USIA 56 TAHUN

Nuri Ihsani – 2104204010001


Email: nuriihsani@gmail.com
Mahasiswa Prodi S2 Arsitektur
Jurusan Arsitektur dan Perencanaan
Fakultas Teknik – Universitas Syiah Kuala

Abstrak
Jaminan Hari Tua (JHT) merupakan sebuah program jaminan perlindungan bagi pekerja yang
memasuki usia tidak produktif sehingga tidak terjebak dalam jurang kemiskinan di usia tua.
Sebagai bentuk perlindungan di hari tua, maka Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN) Indonesia mengatur bahwa pencairan JHT hanya dapat dilakukan pada saat
anggota jaminan tersebut memasuki usia pensiun. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai
nasib pekerja/karyawan yang berhenti ataupun diberhentikan sebelum usia pensiun.
Pemerintah kemudian menetapkan peraturan sementara mengenai pencairan JHT yang dapat
dilakukan sebelum usia pension sampai akhirnya diterbitkan aturan mengenai Jaminan
Kehilangan Pekerjaan (JKP) sebagai solusi bagi karyawan yang berhenti bekerja sebelum usia
56 tahun. Seiring dengan munculnya peraturan baru ini, maka peraturan pencairan JHT
kembali ke aturan sebelumnya yaitu pada usia 56 tahun. Hal ini kemudia kembali memicu
keributan pada serikat pekerja yang menganggap bahwa aturan ini menyulitkan mereka
sehingga pemerintah batal mengundangnya pertauran baru tersebut.
Kata kunci: Jaminan Sosial, Jaminan Hari Tua, Jaminan Kehilangan Pekerjaan

I. PENDAHULUAN
Sebagai mana salah satu tujuan Indonesia yang tercantum dalam Pancasil sila ke-5 yang
berbunyi ”Kesejahteraan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia”, Indonesia terus berproses
untuk mewujudkan tujuan tersebut salah satunya dengan mengembangkan program jaminan
sosial. Pada tahun 2004 terjadi reformasi peraturan jaminan sosial yang ditandai dengan
lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU
SJSN). Perubahan mendasar dalam jaminan sosial pekerja mencakup kepesertaan dalam
manfaat jaminan sosial bagi pekerja tidak tetap maupun pekerja tetap. Pemerintah
mewajibkan semua pekerja untuk berpartisipasi dalam skema partisipasi pekerja secara
bertahap (DJSN, 2014).
Sistem jaminan sosial nasional seperti yang tertuang dalam UU SJSN diselenggrakan
berdasarkan pada prinsip-prinsip yang sangat berbeda dengan prinsip dalam undang –
undang lainnya. Prinsip - prinsip tersebut dirumuskan dalam UU SJSN berdasarkan kajian
akademik yang mendalam dengan mengambil pelajaran dari praktik (best practices) di negara
lain. Prinsip – prinsip yang dirumsukan dalam UU SJSN sebagaimana yang telah tertulis dalam
Pasal 4 adalah prinsip kegotong royongan, prinsip nirlaba, prinsip keterbukaan, kehati- hatian,
akuntabilitas, efisiensi dan efektifias, prinsip probilitas, prinsip kepesertaan yang bersifat
wajib, prinsip dan amanat (Haqiqie, 2020).

Gambar 1. Program Jaminan Sosial Nasional Indonesia


Sumber: UU SJSN N0. 40 Tahun 2004

Menurut UU No.24 Tahun 2011 Pasal 14, setiap orang yang bekerja di Indonesia, baik itu
Warga Negara Indonesia maupun warga asing selama minimal enam bulan, wajib terdaftar
sebagai peserta jaminan sosial. Jaminan sosial ini didapat dengan mendaftarkan diri sebagai
anggota. Sebagian jaminan sosial mengharuskan pesertanya membayar iuran dan sebagian
lagi iuran didapat dengan subsidi dari pemerintah.

Menurut Soendoro (2009), Program Jaminan Sosial diselenggarakan dalam tiga komponen
utama, yaitu:
1) Komponen jaminan sosial melalui mekanisme asuransi atau sering disebut asuransi sosial.
Contohnya adalah program asuransi kesehatan (ASKES) dan program jaminan sosial
tenaga kerja (JAMSOSTEK) yang sekarang telah ditransformasikan menjadi Badan
penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang terbagi menjadi 2 (dua) ketenagakerjaan dan
kesehatan seuai dengan amanat Pasal 5 ayat (1) UU SJSN. Program asuransi sosial
semacam ini memiliki ciri adanya kewajiban iuran dan dosertai dengan kepastian
diterimanya sejumlah manfaat. Premi atau iuran bisa dibayarkan oleh pihak lain atau
poleh pemerintah bagi mereka yang miskin.
2) Komponen bantuan sosial. Sistem ini didanai dari sumber pajak oleh negara atau
sumbangan dari pihak yang mempunyai status ekonomi yang kuat. Pada program bantuan
sosial tidak dikenal adanya kewajiban membayar premi atau iuran tertentu.
3) Tabungan sosial. Program tabungan sosial merupakan suatu program dengan akumulasi
dana masyarakat yang pada akhir suatu periode akumulasi (penumpukan) dana tersebut
dikembalikan kepada pesertanya.

Salah satu jaminan sosial bagi pekerja di Indonesia adalah Jaminan Hari Tua (JHT). JHT
sendiri merupakan program jaminan sosial dengan cara menghimpun dana dari pekerja itu
sendri untuk kemudian dimanfaatkan dikemudian hari.

II. JAMINAN HARI TUA (JHT)


Jaminan Hari Tua merupakan program perlindungan yang bertujuan untuk menjamin
adanya keamanan dan kepastian terhadap risiko sosial ekonomi dan sarana penjamin bagi
tenaga kerja dan keluarganya akibat dari terjadinya risiko sosial dengan pembiayaan yang
terjangkau oleh pengusaha dan tenaga kerja dalam bentuk manfaat uang tunai.

Jaminan hari tua diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip Asuransi Sosial atau
Tabungan Wajib. Penyelenggaraan jaminan hari tua secara nasional mencakup seluruh
penduduk di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Prinsip asuransi sosial dalam
jaminan hari tua didasarkan pada mekanisme asuransi dengan pembayaran iuran antara
pekerja dan pemberi kerja. Kedua, prinsip tabungan wajib dalam jaminan hari tua didasarkan
pada pertimbangan bahwa manfaat jaminan hari tua berasal dari akumulasi iuran dan hasil
pengembangannya.
III. MANFAAT JAMINAN HARI TUA

Jaminan Hari Tua (JHT) merupakan sebuah program jaminan perlindungan bagi pekerja
yang memasuki usia tidak produktif sehingga tidak terjebak dalam jurang kemiskinan di usia
tua. Secara umum, manfaat dari JHT adalah sebagai berikut.

1) Program Jaminan Hari Tua bermanfaat sebagai pengganti terputusnya penghasilan


tenaga kerja karena meninggal, cacat, atau hari tua dan diselenggarakan dengan
sistem tabungan hari tua.
2) Program Jaminan Hari Tua memberikan kepastian penerimaan penghasilan yang
dibayarkan pada saat tenaga kerja mencapai usia 56 tahun atau telah memenuhi
persyaratan tertentu.
IV. PENCAIRAN JAMINAN HARI TUA (JHT)
Menurut UU SJSN dan PP NO. 46 Tahun 2015, pencairan JHT dapat dilakukan pada kondisi
sebagai berikut, yaitu:
1) Mencapai usia pensiun yaitu usia 56 tahun
2) Mengalami cacat total tetap untuk selama-lamanya
3) Meninggal dunia
4) Mengundurkan diri atau terkena PHK
5) Meninggalkan Indonesia untuk selamanya bagi pekerja asing atas pindah
kewarganegaraan bagi WNI.

Peraturan pelaksana dari Undang-Undang SJSN yakni Peraturan Pemerintah Nomor 46


Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua menjelaskan manfaat
Program JHT berupa uang tunai yang dapat dibayarkan sekaligus saat peserta memasuki usia
pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap. Berdasarkan hal ini, pembayaran
manfaat JHT dijalankan sesuai dengan amanat UU SJSN. Peraturan Pemerintah Nomor 46
Tahun 2015 menjelaskan lebih lanjut adanya manfaat tambahan lain dari dana JHT yakni 10%
untuk kebutuhan persiapan pensiun dan 30% untuk perumahan dengan kepesertaan 10
tahun.

Undang-Undang SJSN dan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 mendapatkan


protes keras dari masyarakat karena kebijakan yang dianggap memberatkan masyarakat.
Peran dari Gabungan Serikat Buruh sangat besar dengan memberikan ancaman akan
melakukan demonstrasi besar apabila Pemerintah tidak segera merevisi Peraturan
Pemerintah Tentang JHT tersebut (https//www.kompas.com, 2015). Tuntuan masyarakat
didengar oleh pemerintah sehingga mengeluarkan kebijakan yang memperbarui kebijakan
sebelumnya tetapi pada akhirnya kebijakan yang terbit tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan di atasnya yakni Undang-Undang SJSN.

V. JAMINAN KEHILANGAN PEKERJAAN

Kebijakan yang terbit pada Permenaker No.19 Tahun 2015 memperbolehkan pencairan
JHT sebelum usia pensiun yang bertentangan dengan Undang-Undang SJSN. Oleh karena itu
pemerintah menerbitkan kebijakan baru berupa Undang-Undang No. 4 Thn 2020 Tentang
Cipta kerja & PP No. 37 tahun 2021 Tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan.

Jaminan Kehilangan Pekerjaan adalah program yang diberikan kepada pekerja/buruh


yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) berupa manfaat uang tunai, akses
informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja. Lewat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan
(JKP), pekerja dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak saat terjadi risiko akibat
pemutusan hubungan kerja seraya berusaha mendapatkan pekerjaan kembali. Meski begitu,
program JKP bukan menggantikan kewajiban pengusaha untuk membayar pesangon.
Pengusaha yang melakukan PHK tetap wajib memberikan pesangon sebagaimana ketentuan
undang-undang.

JKP sendiri memberi 3 manfaat bagi pekerja yaitu:


1) Uang tunai, untuk manfaat uang tunai diberikan setiap bulan, paling banyak 6 bulan
upah dengan besaran manfaat sebagai berikut: 45 persen dari upah sebulan untuk 3
bulan pertama 25 persen dari upah sebulan untuk 3 bulan berikutnya Batas atas upah
untuk pertama kali ditetapkan sebesar Rp 5 juta. Jika upah peserta melebihi batas atas
upah, jumlah yang digunakan sebagai dasar pembayaran manfaat adalah batas atas
upah.
2) Akses ke informasi pasar tenaga kerja
3) Pelatihan kerja
VI. PERMASALAHAN PENCAIRAN JAMINAN HARI TUA (JHT)

Setelah pemerintah menerbitkan kebijakan baru berupa Undang-Undang No. 4 Thn 2020
Tentang Cipta kerja & PP No. 37 tahun 2021 Tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan, maka
diterbitkanlah Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 yang menyatakan bahwa pencairan JHT
tidak dapat dilakukan sebelum usia 56 tahun tanpa memnuhi persyaratan pencairan lainnya.
Setelah diundangkan pada tanggal 4 Februari 2022 lalu, Permenaker Nomor 2 Tahun 2022
mengundang banyak penolakan dari pekerja. Penolakan ini memiliki beberapa alasan yaitu:

1) JKP dianggap terlalu kecil jika dibanding dengan JHT yang bisa dicairkan sekaligus
2) Adanya kekhawatiran bahwa program JKP berjalan tidak sesuai aturan di lapangan
3) Terlalu sulit bagi pekerja untuk bertahan dengan JKP yang kecil dan tidak ada jaminan
bahwa mereka bisa mendapat pekerjaan lain dalam waktu singkat.
4) Adanya peraturan yang tumpeng tindih antara Peraturan Pemerintah dan Peraruran
Menteri yang menyebabkan kebingungan
5) Pada praktiknya, banyak perusahaan yang memaksa pegawainya untuk
mengundurkan diri, hal ini mengakibatkan pencairan JKP tidak dapat dilakukan.

Munculnya penolakan ini menimbulkan keributan dan pro kontra di masyarakat khususnya
kalangan serikat pekerja. Sehingga Menteri Ketenagakerjaan melakukan revisi dengan cara
melakukan serap aspirasi bersama Serikat Pekerja/Serikat Buruh, serta secara intens
berkomunikasi dengan Kementerian/Lembaga.

Gambar 2. Kronologi Permasalahan JHT (sumber: Analisa penulis)


VII. KESIMPULAN
Jaminan Hari Tua (JHT) merupakan sebuah program jaminan perlindungan bagi pekerja
yang memasuki usia tidak produktif sehingga tidak terjebak dalam jurang kemiskinan di usia
tua. Sebagai bentuk perlindungan di hari tua, maka Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN) Indonesia mengatur bahwa pencairan JHT hanya dapat dilakukan pada saat
anggota jaminan tersebut memasuki usia pensiun. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai
nasib pekerja/karyawan yang berhenti ataupun diberhentikan sebelum usia pensiun.

Pemerintah kemudian menetapkan peraturan sementara mengenai pencairan JHT yang


dapat dilakukan sebelum usia pension sampai akhirnya diterbitkan aturan mengenai Jaminan
Kehilangan Pekerjaan (JKP) sebagai solusi bagi karyawan yang berhenti bekerja sebelum usia
56 tahun. Seiring dengan munculnya peraturan baru ini, maka peraturan pencairan JHT
kembali ke aturan sebelumnya yaitu pada usia 56 tahun. Hal ini kemudia kembali memicu
keributan pada serikat pekerja yang menganggap bahwa aturan ini menyulitkan mereka
sehingga pemerintah batal mengundangnya pertauran baru tersebut.

VIII. DAFTAR PUSTAKA

Dewan Jaminan Sosial Nasional. 2014. Peraturan Dewan Jaminan Sosial Nasional No.
01 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Pengawasan Dewan Jaminan Sosial Nasional
Terhadap Penyelenggaraan Proses Jaminan Sosial. Jakarta.
Haqiqie, I. (2020). Perlindungan Hukum Pekerja untuk Mengambil Jaminan Hari Tua yang
Kepesertaannya Sebelum 10 Tahun Karena Terkena Pemutusan Hubungan Kerja. Jurist-
Diction, 3(3), 1053-1066.
Soendoro, E. (2009). Jaminan sosial solusi bangsa Indonesia berdikari. DInov
ProGRESS Indonesia.
Wijayanti, P., & Jannah, L. M. (2019). Implementasi Kebijakan Manfaat Jaminan Hari Tua
di Indonesia. JPSI (Journal of Public Sector Innovations), 4(1), 20-29.
Pencairan
Jaminan Hari Tua
di Usia 56 Tahun
Nuri Ihsani - 2104204010001
UU NO. 24 TAHUN 2011 PASAL 14

“SETIAP ORANG, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat enam
bulan di Indonesia, wajib menjadi peserta program Jaminan Sosial.”
Program Jaminan Sosial
UU Sistem Jaminan Sosial Nasional No. 40 Tahun 2004

1 2 3 4 5

Jaminan
Jaminan Jaminan Hari Jaminan Jaminan
Kecelakaan
Kesehatan Tua Pensiun Kematian
Kerja
Jaminan Hari Tua (JHT)
Jaminan Hari Tua merupakan program
perlindungan yang bertujuan untuk Prinsip
1 Tabungan untuk bekal
menjamin adanya keamanan dan hari tua
kepastian terhadap risiko sosial
ekonomi dan sarana penjamin bagi Sumber
2 Akumulasi iuran + hasil
tenaga kerja beserta keluarganya pengembangan
akibat dari terjadinya risiko sosial
dengan pembiayaan yang terjangkau
Pencairan
oleh pengusaha dan tenaga kerja 3 Diberikan sekaligus
dalam bentuk manfaat uang tunai.
JHT dibayarkan kepada tenaga kerja apabila:

Mencapai usia pensiun, 56


Pensiun tahun

Mengalami cacat total tetap


Cacat Total untuk selama-lamanya

Meninggal Meninggal dunia

Mengundurkan diri atau


Berhenti/PHK terkena PHK

Meninggalkan Meninggalkan Indonesia


Indonesia untuk selamanya
Sebelum Usia 56 Tahun,
JHT dapat dicairkan setelah 10 tahun masa kepesertaan dengan ketentuan:

Max 30% Max 10%


Dari total saldo sebagai Dari total saldo sebagai
uang perumahan biaya persiapan pensiun

30% 10%
Mengapa pencairan JHT menjadi permasalahan?

UU SJSN dan PP NO. 46 Tahun 2015 Mendapat penolakan dari serikat buruh
Tidak menjawab persoalan jika terjadi PHK pada pekerja

Permenaker No.19 Tahun 2015 Sebagai solusi sementara (direncanakan


5 tahun)
JHT dapat dicairkan sebelum usia 56 tahun sampai
pemerintah menetapkan solusi lainnya

Pekerja yang diberhentikan mendapat


UU No. 4 Thn 2020 Tentang Cipta kerja & PP No. 37 Jaminan Kehilangan Pekerjaan sehingga
tahun 2021 Tentang JKP permasalahan sebelumnya dianggap
selesai
Jaminan Kehilangan Pekerjaan sebagai Solusi bagi
pekerja yang di pHK
Kembali menimbulkan kontroversi dari
sisi serikat pekerja.
Permenaker No. 2 Tahun 2022 Permenaker tersebut akhirnya batal dan
Pencairan JHT kembali sesuai dengan aturan Undang- kembali berlaku peraturan sebelumnya
Undang yaitu pada usia 56 Tahun sampai revisi selesai.
Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP)
3 Manfaat yang ditawarkan oleh JKP

Cash Vocational training Akses pasar kerja


Sebesar 45% dari Berupa pelatihan Berupa akses
upah selama 3 bulan kerja di Lembaga informasi pasar kerja
pertama dan 25% Pelatihan pemerintah dan bimbingan
dari upah selama 3 ataupun swasta baik jabatan sesuai
bulan berikutnya secara daring dengan undang-
maupun luring undang
Mengapa pencairan JHT menjadi permasalahan?
Setelah diundangkan pada tanggal 4 Februari 2022 lalu, Permenaker Nomor 2 Tahun 2022
mengundang banyak penolakan dari pekerja.

1 2 3 4

JKP dianggap terlalu Adanya kekhawatiran Terlalu sulit bagi pekerja untuk Adanya peraturan yang
kecil jika dibanding bahwa program JKP bertahan dengan JKP yang tumpeng tindih antara
dengan JHT yang bisa berjalan tidak sesuai kecil dan tidak ada jaminan Peraturan Pemerintah dan
dicairkan sekaligus aturan di lapangan bahwa mereka bisa mendapat Peraruran Menteri yang
pekerjaan lain dalam waktu menyebabkan kebingungan.
singkat.

Sehingga Menteri Ketenagakerjaan melakukan revisi dengan cara


melakukan serap aspirasi bersama Serikat Pekerja/Serikat Buruh,
serta secara intens berkomunikasi dengan Kementerian/Lembaga
Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai