Anda di halaman 1dari 10

KEARIFAN LOKAL RUMOH ACEH DALAM MENGHADAPI

POTENSI BENCANA BANJIR, GEMPA BUMI DAN TSUNAMI

Nuri Ihsani – 2104204010001


Mahasiswa Prodi S2 Arsitektur
Jurusan Arsitektur dan Perencanaan
Fakultas Teknik – Universitas Syiah Kuala

Abstrak
Rumoh Aceh, warisan budaya nenek moyang masyarakat Aceh yang telah melewati uji
ketahanan berbagai bencana dari masa ke masa. Pada dasarnya, Rumoh Aceh banyak ditemui
baik didaerah pesisir maupun daerah pegunungan. Dalam sejarah panjangnya, para pendahulu
masyarakat Aceh telah membaca kondisi eksisting alam dengan sangat baik, kemudian muncul
konsep sebuah hunian yang kaya akan nilai-nilai kearifan lokal sekaligus mampu mengatasi
beragam tantangan alam bumi Aceh itu sendiri. Rumoh Aceh memiliki struktur yang tidak kaku
sehingga mampu tetap kokoh menghadapi gempa bumi, memiliki sistem ruang kosong bawah
rumah yang membuatnya bertahan melawan banjir dan mengurangi dampak dari bencana
tsunami.

Kata kunci: Rumoh Aceh, kearifan lokal, bencana, tsunami, banjir, gempa bumi

I. PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara yang dikelilingi Cincin Api Pasifik, terletak di zona gempa paling
aktif di dunia. Selain itu, Indonesia juga terletak di atas tiga tumbukan lempeng benua, yaitu
Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Lempeng aktif tersebut terus bergerak dan dapat
mengakibatkan gempa ketika terjadi tumbukan. Kondisi geografis ini kemudian membuat
Indonesia menjadi negara yang wilayahnya rawan terhadap bencana seperti gempa bumi,
gunung meletus dan tsunami. Hal tersebut tentunya juga berlaku di daerah Aceh.

Berbagai upaya dilakukan oleh manusia untuk dapat bertahan melewati suatu bencana.
Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah ketersediaan lokasi dan tempat untuk bernaung,
tinggal dan berlindung dari dunia luar. Bangunan dapat berperan untuk melindungi manusia
jika bencana terjadi sekaligus dapat menyebabkan celaka jika tidak dibangun dengan

1
perencanaan yang matang. Untuk itulah menusia senantiasa berusaha mendapatkan hasil
terbaik dengan melewati berbagai percobaan trial and error.

Sebagai manusia yang tidak mungkin melawan kuasa alam, berbagai upaya dilakukan
untuk dapat beradaptasi dengan alam itu sendiri. Salah satu factor utama yang perlu dilakukan
adalah dengan membaca dan memahami alam itu sendiri dan menentukan potensi dan risiko
bencana yang dapat terjadi sehingga dapat dilakukan mitigasi terhadap bencana tersebut. Para
peneliti memiliki peran penting dalam mencari tahu potensi bencana apa saja yang dapat terjadi
serta upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah ataupun mengurangi dampak dari bencana
itu sendiri.

II. POTENSI BENCANA

Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2013-2033, Aceh dibagi dalam
beberapa wilayah bencana, yaitu gelombang pasang, rawan banjir, rawan kekeringan,
berpotensi terjadinya badai, serta abrasi. Selain itu, ada kawasan rawan gempa bumi, yakni
daerah yang terletak di zona patahan aktif, meliputi Kota Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Aceh
Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Barat, dan Nagan Raya.

Adapun potensi luas bahaya didasari oleh data luas wilayah dari Kementerian Dalam
Negeri (Kemendagri) tahun 2015 sesuai dengan anjuran BNPB untuk kesamaan proses analisis
kajian risiko bencana setiap daerah. Hasil rekapitulasi hasil indeks dan kelas bahaya untuk
seluruh potensi bencana di Provinsi Aceh seperti tabel berikut.

Tabel 1. Kelas Bahaya di Provinsi Aceh


Bahaya
No. Jenis Bahaya
Luas (Ha) Kelas
1. Banjir 1.500.691 TINGGI
2. Banjir Bandang 161.086 TINGGI
3. Cuaca Ekstrim 2.684.896 TINGGI
4. Epidemi dan Wabah Penyakit 36.713 TINGGI
5. Gelombang Ekstrim dan Abrasi 51.162 TINGGI
6. Gempa Bumi 5.518.099 TINGGI
7. Kebakaran Hutan dan Lahan 4.072.887 TINGGI
8. Kekeringan 5.518.052 TINGGI
9. Letusan Gunung Api Burnitelong 22.154 TINGGI
10. Letusan Gunung Api Peut Sagoe 20.471 RENDAH
11. Letusan Gunung Api Seulawah Agam 20.993 TINGGI

2
12. Tanah Longsor 3.061.420 TINGGI
13. Tsunami 105.542 TINGGI
Sumber: Kajian Risiko Bencana Aceh 2016-2020

Beranjak dari kondisi yang tak terelakkan sebagai wilayah yang rawan bencana, maka
masyarakat yang tinggal di dalamnya sudah semestinya memiliki kemampuan dalam
menghadapi dan tanggap bencana. Arsitektur yang tanggap bencana yaitu yang beradaptasi
terhadap alam bukan melawan alam, contohnya seperti bangunan tradisional yang terbuat dari
kayu yang cocok untuk wilayah yang rawan gempa.

Di Indonesia tersebar bentuk-bentuk rumah tradisional yang menjadi kekayaan budaya


yang terbentuk berdasarkan kearifan lokal yang diwariskan secara turun temurun. Kearifan
lokal adalah salah satu upaya dapat dilakukan dalam mengurangi dampak bencana mengingat
kearifan lokal lahir dari kemampuan manusia dalam memahami lingkungan untuk mampu
bertahan hidup. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Meinarno (2011) kearifan lokal
“merupakan cara dan praktek yang dikembangkan oleh sekelompok masyarakat yang berasal
dari pemahaman mendalam mereka akan lingkungan setempat yang terbentuk dari tempat
tinggal tersebut secara turun temurun”.

III. PERAN RUMOH ACEH DALAM MITIGASI BENCANA


Masyarakat Aceh sendiri sebenarnya telah memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang telah
mengajarkan masyarakat untuk siap dalam menghadapi bencana dengan warisan budaya rumah
tradisional Aceh yang disebut Rumoh Aceh. Rumoh Aceh meskipun memiliki corak yang
berbeda-beda namun memiliki satu kesamaan konsep yaitu; berupa rumah panggung,
bermaterial kayu, memiliki banyak tiang penyangga (tameh), berbentuk bujur sangkar, serta
membujur dari timur keb barat. Sebagai mana diketahui rumah tradisional tersebut tidak pernah
direncanakan sebagai bangunan yang tahan gempa dan tsunami, meskipun demikian Rumoh
Aceh tetap berdiri kokoh saat terjadi gempa dan tsunami. Beberapa lokasi pasca bencana gempa
dan tsunami juga telah memperlihatkan kekokohan bangunan rumah tradisional Aceh yang
selamat dari ancaman bencana tersebut. Nilai-nilai kearifan lokal Rumoh Aceh terhadap
mitigasi bencana dapat dilihat pada berikut.

Tabel 2. Nilai-Nilai Kearifan Lokal Rumoh Aceh Terhadap Mitigasi Bencana

No. Jenis Mitigasi Alasan


1. Gempa bumi Rumoh Aceh memiliki setiap pasak yang dipasang dilebihkan keluar. Hal ini
berfungsi untuk memberikan batas aman agar bangunan tetap berdiri ketika di

3
goncang gempa. Perbedaan tinggi antara seuramoe inong dengan seuramoe keu
dan seuramoe likot juga memberikan keuntungan dalam menghadapi gempa,
perbedaan momen yang sangat besar antar ruang ini sehingga ketika gempa
terjadi kekuatan gempa dapat menyebar tidak bertumpu pada satu titik.
2 Tsunami Tiang-tiang terbuat dari kolom silinder yang lebih hidrodinamis dan memiliki
bidang benturan yang lebih kecil sehingga mengurangi resiko kerusakan akibat
tekanan. Selain itu bagian terbuka pada bagian bawah rumoh dibuat yang
kondisinya terbuka, membuat energi laut yang sangat besar itu tidak tertahan
oleh bangunan. Sampah-sampah tsunami yang dibawa dari pesisir pantai juga
tidak akan memenuh rumah karena biasanya akan tertahan pada bagian bawah
rumah.
3 Banjir Bangunan Rumoh Aceh yang berbentuk panggung dengan ketinggian ±2-
3meter membuat Rumoh Aceh aman terhadap bencana banjir, dan bahkan
aman terhadap binatang buas.
4 Angin Kencang Secara geografis Aceh merupakan daerah yang rentan terhadap angin kencang.
Angin umumnya bertiup dari dari arah timur ke barat atau sebaliknya. Posisi
Rumoh Aceh membujur dari timur ke barat. Poros dari timur ke barat dibuat
untuk menjaga rumah agar tidak akan terguling ketika angin kencang datang.
Kindang yang di bagian atas terhimpit di antara kedua belah atap berbentuk
segitiga yang dipenuhi dengan ukiran tembus, membuat kekuatan angin
menjadi tersebar tidak tertumpu pada satu objek.
5 Kesehatan Rumoh Aceh yang berbentuk panggung diasumsikan dibangun berdasarkan
konsep kesucian agar terhindar dari najis yang mengotori rumah. Pada setiap
Rumoh Aceh tersedia kendi-kendi air di samping tangga yang bertujuan
sebelum memasuki rumah harus mencuci kaki terlebih dahulu. Mencuci kaki
ini merupakan cara untuk menghilangkan kotoran-kotoran, kuman, virus yang
menempel pada kaki dan tangan tidak terbawa masuk ke dalam Rumah.
6 Kebakaran Atap dari Rumoh Aceh terbuat dari anyaman daun kelapa yang terlebih dahulu
direndam dengan air garam dan daun rumbia. Atap yang disusun semuanya
diikat dengan sangat kuat pada tali ijuk yang berada diantara neuduek gase
hingga ke puncak bubong. Hal ini bertujuan apabila terjadi kebakaran cukup
hanya dengan menurunkan ikatan di atas secara keseluruhan atap akan terseret
jatuh ke bawah.
Sumber: Diadaptasi dari Ruliani (2014)

4
Gambar 1. Konstruksi dan bagian-bagian Rumoh Aceh (Erna Meutia, 2017)

Hairumini (2017) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa tiang-tiang rumah Aceh


yang sifatnya terbuka memiliki peran penting dalam mitigasi bencana banjir dan tsunami. Hal
ini dikarenakan air dapat lolos tanpa ada penghalang dengan demikian rumoh Aceh selamat
dari ancaman bencana. Struktur Rumoh Aceh dirancang tidak kaku sehingga ketika terjadi
goyangan ketika gempa rumah dapat bergerak fleksibel mengikuti gempa. Hal ini
mengakibatkan tidak ada gaya yang berlawanan yang membuat struktur rumah menjadi rusak
dan roboh. Pada kejadian gempa di Aceh, guncangan gempa tersebut hanya membuat Rumoh
Aceh bergeser.

Gambar 2. Kolom yang bergeser akibat gempa bumi (Ruliani, 2014)

5
Namun, seiring berkembangnya jaman, Rumoh Aceh mulai berubah menjadi warisan
budaya dan mulai sulit dijumpai sebagai hunian masyarakat modern.Namun demikian, nilai-
nilai kearifan lokal tersebut dapat diaopsi dan dikembangkan dengan teknologi saat ini
sehingga menghasilkan hunian yang relevan dengan kebutuhan jaman dan mampu bertahan
menghadapi bencana. Contohnya adalah teknologi yang dapat meningkatkan kualitas kayu
seperti kayu kelas empat menjadi kayu kelas dua.

Material industri tersebut tentunya membutuhkan biaya yang jauh lebih besar,
sementara tidak semua masyarakat mampu melakukannya. Maka alternatif lain adalah
memanfaatkan material alami. Penggunaan material berbahan alami seperti kayu harus
memperhatikan ketersediaan bahan baku dan pengelolaan alam harus dilakukan secara
berkelanjutan. Alih-alih membangun rumah dengan struktur yang tidak mengedepankan aspek
tahan bencana, sudah saatnya masyarakat Aceh mulai melirik kembali dalam kearifan lokalnya.

IV. KONDISI TOPOGRAFI ACEH


Berdasarkan data dalam RPJP Aceh tahung 2005-2015, secara umum, Aceh memiliki
kondisi topografi yang datar sampai bergunung dengan perbandingan kondisi datar/landai
sebesar 32% dan berbukit hingga bergunung sebesar 68%. Bagian landai terdapai di derah utara
dan timur Aceh, sedangkan bagian bergunung terdapat pada bagian tengan Aceh yang
merupakan bagian dari Pegunungan Bukit Barisan.
Jika ditilik dari segi lempeng bumi, Aceh berada di jalur penunjaman dari pertemuan
lempeng Asia dan Australia, serta berada di bagian ujung patahan besar Sumatera (sumatera
fault/transform. Lempeng ini membagi pulau Sumatera dari Aceh sampai Selat Sunda dan
disebut sebagai Patahan Semangko. Sedangkan pada daerah Aceh, patahan aktif terdapat di
wilayah bagian tengah, yaitu di Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Tengah, Gayo
Lues, Aceh Tenggara, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, dan Aceh Selatan. Hal inilah
yang menyebabkan Provinsi Aceh seringkali mengalami berbagai bencana geologi dan
diperkirakan akan terus terjadi untuk waktu yang Panjang.

6
Gambar 3. Gempa dan patahan aktif di Aceh (Sumber: Materi Kuliah Arsitektur
Kebencanaan,2021)

Gambar 4. Patahan Sumatera segmen Aceh dan Segmen Seulimeum (Ibnu Rusydi, 2020)

7
V. KONDISI HIDROLOGI ACEH
Provinsi Aceh memiliki 408 Daerah Aliran Sungai (DAS) dari besar sampai kecil. Selain
itu,Provinsi ada juga terdapat danau seperti Danau Laut Tawar di Aceh Tengah dan Danau
Aneuk Laot di Sabang. Kemudian juga terdapat rawa seluas 444.755 ha, yang terdiri dari rawa
lebak seluas 366.055 ha dan rawa pantai seluas 78.700 ha (Bappeda Aceh, 2005). Daftar
wilayah sungai Aceh dapat dilihat pada tabel 3 dibawah ini.

Tabel 3. Wilayah Sungai Provinsi Aceh

Sumber: Bappeda Aceh, 2005

Banyaknya aliran sungai dan dita,bah dengan besarnya curah hujan, membuat Aceh dilanda
Aceh hampir merata di seluruh wilayahnya. Daerah paling rawan banjir dengan luas paparan
tinggi terdapat di pesisir timur dan utara yang dilalui sungai-sungai yang relatif besar, yaitu di
Aceh Besar, Banda Aceh, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Utara, Lhokseumawe, Aceh Timur,
Langsa, dan Aceh Tamiang. Selain itu kawasan rawan banjir yang peluangnya tinggi adalah
pesisir barat, yang terletak di Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya,
Subulussalam, Aceh Singkil, dan juga di tepi Lawe Alas di Aceh Tenggara yang merupakan
flood plain atau limpasan banjir sungai-sungai di wilayah tersebut.

8
VI. Kesimpulan

Aceh merupakan wilayah dengan kondisi hidro-meteorologis yang kompleks. Kondisi ini
mengakibatkan Aceh dilanda oleh hampir semua jenis bencana hidro-meteorologis. Hal ini
menyebabkan Aceh perlu merencanakan dan mengupayakan berbagai jenis mitigasi untuk
menghadapi risiko bencana dimasa depan yang diperkirakan tidak akan mengalami penurunan
intensitasnya. Kondisi ini telah terjadi sejak masa lalu. Jika diperhatikan, para pendahulu kita
telah membaca dan memahami risiko alam yang terjadi di wilayah Aceh. Dengan berbekal
pemahaman alam tersebut, mereka kemudian menghadirkan sebuah desain bangunan tinggal
yang adaptif, yaitu Rumoh Aceh.

Berbagai penelelitian mendapatkan hasil bahwa Rumoh Aceh memiliki struktur yang dapat
beradaptasi dengan gempa. Kelenturan strukturnya membuatnya tidak mudah ambruk dalam
mengahadapi gempa bumi. Selain itu konstruksi Rumoh Aceh yang berupa rumah panggung
membantunya bertahan saat menghadapai banjir dan para penghuni rumah bisa tetap aman
berada di dalam rumah. Beberapa penelitian bahkan mendapat ada Rumoh Aceh yang bertahan
setelah diterjang bencana tsunami.

Pada masa kini, meskipun Rumoh Aceh dianggap kurang memenuhi nilai-nilai kepraktisan
masyarakan modern, prinsip konstruksi dan nilai-nilai kearifan lokalnya dapat diadopsi ke
dalam bangunan modern dengan berbagai modifikasi. Hal ini tentunya dapat menjadi salah satu
solusi Aceh dalam menghadirkan hunian yang ramah bencana sekaligus sebagai upaya menjaga
kearifan lokal warisan nenek moyang bangsa Aceh.

VII. Referensi
1) Badan Penanggulangan Bencana Aceh. (2016). Kajian Risiko Bencana Aceh 2016-
2020. Banda Aceh

2) Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh. (2005). Rencana Pembangunan


Jangka Panjang Aceh Tahun 2005-2025. Banda Aceh

3) Hairumini, H., Setyowati, D. L., & Sanjoto, T. B. (2017). Kearifan Lokal Rumah
Tradisional Aceh sebagai Warisan Budaya Untuk Mitigasi Bencana Gempa dan
Tsunami. Journal of Educational Social Studies, 6(1), 37-44.

4) Hasbi, R. M. (2017). Kajian Kearifan Lokal Pada Arsitektur Tradisional Rumoh


Aceh. Vitruvian: Jurnal Arsitektur, Bangunan, Dan Lingkungan, 7(1), 265311.

9
5) Meutia, E. (2017). Pemetaan Sistem Struktur Konstruksi Rumah Tradisional Aceh
Dalam Merespon Gempa. Jurnal Koridor, 8(1), 65-72. Mitigation, A. A. D. Nilai-Nilai
Kearifan Lokal Arsitektur Rumoh Aceh Sebagai Sumber Belajar Mitigasi Bencana
Pada Mata Pelajaran Geografi.

6) Ruliani, R., Pasya, G. K., & Yani, A. (2019). Nilai-Nilai Kearifan Lokal Arsitektur
Rumoh Aceh Dalam Mitigasi Bencana Tsunami.

7) Rusydy, I., Idris, Y., Muksin, U., Cummins, P., & Akram, M. N. (2020). Shallow crustal
earthquake models, damage, and loss predictions in Banda Aceh,
Indonesia. Geoenvironmental Disasters, 7(1), 1-16.

8) Widosari, W. (2010). Mempertahankan Kearifan Lokal Rumoh Aceh dalam Dinamika


Kehidupan Masyarakat Pasca Gempa dan Tsunami. Local Wisdom: Jurnal Ilmiah
Kajian Kearifan Lokal, 2(2), 27-36.

10

Anda mungkin juga menyukai