Abstrak
Rumoh Aceh, warisan budaya nenek moyang masyarakat Aceh yang telah melewati uji
ketahanan berbagai bencana dari masa ke masa. Pada dasarnya, Rumoh Aceh banyak ditemui
baik didaerah pesisir maupun daerah pegunungan. Dalam sejarah panjangnya, para pendahulu
masyarakat Aceh telah membaca kondisi eksisting alam dengan sangat baik, kemudian muncul
konsep sebuah hunian yang kaya akan nilai-nilai kearifan lokal sekaligus mampu mengatasi
beragam tantangan alam bumi Aceh itu sendiri. Rumoh Aceh memiliki struktur yang tidak kaku
sehingga mampu tetap kokoh menghadapi gempa bumi, memiliki sistem ruang kosong bawah
rumah yang membuatnya bertahan melawan banjir dan mengurangi dampak dari bencana
tsunami.
Kata kunci: Rumoh Aceh, kearifan lokal, bencana, tsunami, banjir, gempa bumi
Pendahuluan
Indonesia adalah negara yang dikelilingi Cincin Api Pasifik, terletak di zona gempa paling aktif
di dunia. Selain itu, Indonesia juga terletak di atas tiga tumbukan lempeng benua, yaitu Indo-
Australia, Eurasia, dan Pasifik. Lempeng aktif tersebut terus bergerak dan dapat
mengakibatkan gempa ketika terjadi tumbukan. Kondisi geografis ini kemudian membuat
Indonesia menjadi negara yang wilayahnya rawan terhadap bencana seperti gempa bumi,
gunung meletus dan tsunami. Hal tersebut tentunya juga berlaku di daerah Aceh.
Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2013-2033, Aceh dibagi dalam beberapa
wilayah bencana, yaitu gelombang pasang, rawan banjir, rawan kekeringan, berpotensi
terjadinya badai, serta abrasi. Selain itu, ada kawasan rawan gempa bumi, yakni daerah yang
1
terletak di zona patahan aktif, meliputi Kota Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Aceh Tengah,
Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Barat, dan Nagan Raya.
Adapun potensi luas bahaya didasari oleh data luas wilayah dari Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri) tahun 2015 sesuai dengan anjuran BNPB untuk kesamaan proses analisis kajian
risiko bencana setiap daerah. Hasil rekapitulasi hasil indeks dan kelas bahaya untuk seluruh
potensi bencana di Provinsi Aceh seperti tabel berikut.
Beranjak dari kondisi yang tak terelakkan sebagai wilayah yang rawan bencana, maka
masyarakat yang tinggal di dalamnya sudah semestinya memiliki kemampuan dalam
menghadapi dan tanggap bencana. Arsitektur yang tanggap bencana yaitu yang beradaptasi
terhadap alam bukan melawan alam, contohnya seperti bangunan tradisional yang terbuat dari
kayu yang cocok untuk wilayah yang rawan gempa.
Di Indonesia tersebar bentuk-bentuk rumah tradisional yang menjadi kekayaan budaya yang
terbentuk berdasarkan kearifan lokal yang diwariskan secara turun temurun. Kearifan lokal
adalah salah satu upaya dapat dilakukan dalam mengurangi dampak bencana mengingat
kearifan lokal lahir dari kemampuan manusia dalam memahami lingkungan untuk mampu
bertahan hidup. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Meinarno (2011) kearifan lokal
“merupakan cara dan praktek yang dikembangkan oleh sekelompok masyarakat yang berasal
2
dari pemahaman mendalam mereka akan lingkungan setempat yang terbentuk dari tempat
tinggal tersebut secara turun temurun”.
Masyarakat Aceh sendiri sebenarnya telah memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang telah
mengajarkan masyarakat untuk siap dalam menghadapi bencana dengan warisan budaya rumah
tradisional Aceh yang disebut Rumoh Aceh. Rumoh Aceh meskipun memiliki corak yang
berbeda-beda namun memiliki satu kesamaan konsep yaitu; berupa rumah panggung,
bermaterial kayu, memiliki banyak tiang penyangga (tameh), berbentuk bujur sangkar, serta
membujur dari timur keb barat. Sebagai mana diketahui rumah tradisional tersebut tidak pernah
direncanakan sebagai bangunan yang tahan gempa dan tsunami, meskipun demikian Rumoh
Aceh tetap berdiri kokoh saat terjadi gempa dan tsunami. Beberapa lokasi pasca bencana gempa
dan tsunami juga telah memperlihatkan kekokohan bangunan rumah tradisional Aceh yang
selamat dari ancaman bencana tersebut. Nilai-nilai kearifan lokal Rumoh Aceh terhadap
mitigasi bencana dapat dilihat pada berikut.
3
untuk menjaga rumah agar tidak akan terguling ketika angin kencang datang.
Kindang yang di bagian atas terhimpit di antara kedua belah atap berbentuk
segitiga yang dipenuhi dengan ukiran tembus, membuat kekuatan angin
menjadi tersebar tidak tertumpu pada satu objek.
5 Kesehatan Rumoh Aceh yang berbentuk panggung diasumsikan dibangun berdasarkan
konsep kesucian agar terhindar dari najis yang mengotori rumah. Pada setiap
Rumoh Aceh tersedia kendi-kendi air di samping tangga yang bertujuan
sebelum memasuki rumah harus mencuci kaki terlebih dahulu. Mencuci kaki
ini merupakan cara untuk menghilangkan kotoran-kotoran, kuman, virus yang
menempel pada kaki dan tangan tidak terbawa masuk ke dalam Rumah.
6 Kebakaran Atap dari Rumoh Aceh terbuat dari anyaman daun kelapa yang terlebih dahulu
direndam dengan air garam dan daun rumbia. Atap yang disusun semuanya
diikat dengan sangat kuat pada tali ijuk yang berada diantara neuduek gase
hingga ke puncak bubong. Hal ini bertujuan apabila terjadi kebakaran cukup
hanya dengan menurunkan ikatan di atas secara keseluruhan atap akan terseret
jatuh ke bawah.
Sumber: Diadaptasi dari Ruliani (2014)
Hairumini (2017) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa tiang-tiang rumah Aceh yang
sifatnya terbuka memiliki peran penting dalam mitigasi bencana banjir dan tsunami. Hal ini
dikarenakan air dapat lolos tanpa ada penghalang dengan demikian rumoh Aceh selamat dari
ancaman bencana. Struktur Rumoh Aceh dirancang tidak kaku sehingga ketika terjadi goyangan
4
ketika gempa rumah dapat bergerak fleksibel mengikuti gempa. Hal ini mengakibatkan tidak
ada gaya yang berlawanan yang membuat struktur rumah menjadi rusak dan roboh. Pada
kejadian gempa di Aceh, guncangan gempa tersebut hanya membuat Rumoh Aceh bergeser.
Namun, seiring berkembangnya jaman, Rumoh Aceh mulai berubah menjadi warisan budaya
dan mulai sulit dijumpai sebagai hunian masyarakat modern.Namun demikian, nilai-nilai
kearifan lokal tersebut dapat diaopsi dan dikembangkan dengan teknologi saat ini sehingga
menghasilkan hunian yang relevan dengan kebutuhan jaman dan mampu bertahan menghadapi
bencana. Contohnya adalah teknologi yang dapat meningkatkan kualitas kayu seperti kayu
kelas empat menjadi kayu kelas dua.
Namun material industri tersebut tentunya membutuhkan biaya yang jauh lebih besar
sementara tidak semua masyarakat mampu melakukannya. Maka alternatif lain adalah
memanfaatkan material alami. Penggunaan material berbahan alami seperti kayu harus
memperhatikan ketersediaan bahan baku dan pengelolaan alam harus dilakukan secara
berkelanjutan.
Alih-alih membangun rumah dengan struktur yang tidak mengedepankan aspek tahan bencana,
sudah saatnya masyarakat Aceh mulai melirik kembali dalam kearifan lokalnya.
5
Kesimpulan
Sebagai wilayah yang rawan akan potensi bencana, masyarakat Aceh haruslah memperhatikan
aspek arsitektur bangunan yang mampu beradaptasi dengan bencana. Nenek moyang bangsa
Aceh telah mewariskan sebuah konsep arsitektur yang mempertimbangkan banyak aspek
kebencanaan. Rumoh Aceh merupakan desain hunian yang Tangguh, bahkan berhasil bertahan
ketika bencana tsunami terjadi. Meskipun demikian, seiring berkembangnya zaman, Rumoh
Aceh mulai ditingalkan karena alasan keprakisan.
Namun demikian, prinsip-prinsip mitigasi bencana dari Rumoh Aceh dapat kita adopsi untuk
bangunan modern. Dalam menghadapi bencana banjir dan tsunami, prinsipnya adalah pada
kelenturan struktur bangunannya. Selain itu penting untuk memberi ruang bagi air untuk
mengalir tanpa terhalang agar mengurangi kerusakan pada bangunan.
Selain hanya mengadopsi prinsip dari Rumoh Aceh, sebenarnya bangunan Rumoh Aceh sendiri
dapat dihadirkan kembali khususnya pada wilayah rawan banjir. Pembangunan Rumoh Aceh
masa kita dapat menyesuaikan dengan nilai-nilai kepraktisan yang merupakan ciri khas
masyarakat modern. Beberapa rumah panggung telah ada yang membuat MCK tanpa harus
turun dari rumah. Solusi permasalahan materialpun dapat di ganti dengan material yang lebih
mudah didapat dan minim perawatan. Namun demikian, diperlukan kemauan dan kerjasama
banyak pihak untuk menghadirkan kembali Rumoh Aceh yang adaptif terhadap bencana di
tengah masyarakat.
Referensi
Hairumini, H., Setyowati, D. L., & Sanjoto, T. B. (2017). Kearifan Lokal Rumah Tradisional
Aceh sebagai Warisan Budaya Untuk Mitigasi Bencana Gempa dan Tsunami. Journal of
Educational Social Studies, 6(1), 37-44.
6
Ruliani, R., Pasya, G. K., & Yani, A. (2019). NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL
ARSITEKTUR RUMOH ACEH DALAM MITIGASI BENCANA TSUNAMI.