Anda di halaman 1dari 7

Seminar Nasional

Sastra, Pendidikan Karakter dan Industri Kreatif


Surakarta, 31 Maret 2015

HARMONISASI HUBUNGAN TUHAN DENGAN MANUSIA


DALAM SERAT SASTRA GENDHING,
PEMBACAAN HERMENEUTIK TERHADAP SASTRA JAWA
TRANSENDENTAL

Yuli Kurniati Werdiningsih

Universitas PGRI Semarang


Jl. Sidodadi Timur No. 24
Semarang
yulikwerdi@gmail.com
081339666049

Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan harmonisasi hubungan Tuhan dengan
manusia yang terdapat dalam Serat Sastra Gendhing. Serat Sastra Gendhing (SSG) dapat
disebut sebagai salah satu sastra Jawa transendental, karena termasuk dalam jenis suluk.
SSG sebagai suluk juga berisi ajaran kesempurnaan hidup yang termuat dalam bentuk
tembang macapat dan diutarakan dalam berbagai perumpamaan. Oleh karena itu,
pemaknaan SSG memerlukan metode penafsiran khusus. Pengumpulan data yang berupa
kata, frasa, dan kalimat menggunakan metode pustaka. Analisis dan interpretasi data yang
berbentuk perumpaman menggunakan metode pembacaan secara hermeneutik. Hasil dari
proses analisis ditemukan bahwa antara manusia dengan Tuhan sudah semestinya
menjalin hubungan yang harmonis guna mencapai kesempurnaan hidup, yakni berada
sedekat-dekatnya atau bahkan menyatu dengan Tuhan (manunggaling kawula Gusti).
Kata kunci: harmonisasi, Tuhan, manusia, SSG, hermeneutik.

1. PENDAHULUAN sastra Jawa. Salah satu karya sastra Jawa


Perkembangan teknologi media yang memuat ajaran moral dan masih
dewasa ini selain membawa efek positif relevan untuk dijadikan sebagai pegangan
sekaligus juga efek negatif. Efek negatif hidup adalah suluk (Darusuprapta, 1987:
dapat dilihat dari maraknya kasus 68). Suluk merupakan kitab yang
pronografi, pencabulan dan kekerasan mempertemukan tradisi Jawa dengan
yang diilhami dari kemudahan masyarakat unsur-unsur Islam, terutama unsur
dalam mengakses media. Berbagai upaya tasawufnya (Simuh, 1995: 64). Suluk juga
telah dilakukan untuk mencegah dapat disebut sebagai sastra transendental,
terjadinya berbagai kasus tersebut, akan yakni merupakan karya sastra yang
tetapi belum mencapai akar masalahnya. mengekspresikan berbagai persoalan
Akar masalah dari maraknya berbagai kehidupan yang bermuara pada intensitas
kasus tersebut sebenarnya tidak pada berpadunya dimensi ketuhanan dan
kemajuan teknologi media, akan tetapi dimensi kemanusiaan. Sastra
pada pembentukan karakter dan mulai transendental memiliki kedalaman makna
lunturnya pegangan hidup khususnya tentang kehidupan hakiki yang
yang berkait dengan kesadaran manusia menyadarkan manusia akan eksistensinya
akan hal yang hakiki. Hal ini terlihat pada sebagai makhluk dan Tuhan sebagai Sang
perubahan orientasi manusia modern, Khalik (Imron, 2014).
yakni ke arah pola hidup materealistis. Berdasarkan berbagai pendapat
Sebenarnya, pegangan hidup yang tersebut, maka dalam Serat Sastra
bersumber pada berbagai ajaran moral Gendhing (yang selanjutnya disebut
Jawa telah ada sejak masa lampau yang SSG), dapat ditemukan pula mengenai
telah dituliskan dalam berbagai karya keterpaduan dimensi manusia dengan

314 ISBN: 978-602-361-004-4


Seminar Nasional
Sastra, Pendidikan Karakter dan Industri Kreatif
Surakarta, 31 Maret 2015

dimensi ketuhanan. Keterpaduan dua pemahaman dari pembaca (bc: peneliti),


dimensi tersebut dalam konsep Jawa yang dapat diperoleh dari teks-teks atau
disebut manunggaling kawula Gusti. unsur-unsur lain di luar teks SSG. Hal
Selain itu, dalam SSG juga terdapat tersebut sejalan dengan pendapat
makna yang merupakan ajaran moral dan Riffaterre (1978: 5&6) berikut, pada
berkait dengan kehidupan hakiki dan pembacaan hermeneutik pembaca
kesadaran manusia akan eksistensinya membaca teks dan mengingat apa yang
sebagai makhluk dan hubungannya baru saja dibacanya. Setelah itu, pembaca
dengan Tuhan yang harus senantiasa memodifikasi pemahamannnya
harmonis. Menjalin hubungan harmonis berdasarkan apa yang di serapnya.
dengan Tuhan menjadi salah satu upaya Pembaca harus melakukan review, revisi,
manusia dalam mencapai manunggaling dan komparasi kembali.
kawula Gusti. Berdasarkan berbagai hal
Teks lain digunakan sebagai referensi
tersebut, maka penelitian ini bertujuan
kata yang tidak diketahui Riffaterre
untuk mendeskripsikan harmonisasi
(1978: 91). Artinya, teks lain dapat
hubungan Tuhan dengan manusia.
digunakan untuk membantu melakukan
2. KAJIAN PUSTAKA proses interpretasi terhadap teks SSG.
Konsepsi manunggaling kawula Gusti Interpretasi tersebut khususnya berkait
yang terdapat di dalam SSG serta upaya dengan kata-kata yang maknanya tidak
pencapaian yang dilakukan manusia, ditemukan di dalam teks. teks yang
yakni menjalin harmonisasi hubungan digunakan dapat terdiri atas berbagai
dengan Tuhan tidak diutarakan secara jenis, bahkan tidak hanya teks sastra saja.
langsung. Ajaran tersebut disampaikan Teks-teks lain akan menuntun peneliti
menggunakan berbagai perumpamaan. dalam memaknai setiap bagian teks sesuai
Hal ini sangat wajar, mengingat bahwa konteksnya. Pembacaan ini tidak hanya
SSG tidak berbentuk prosa melainkan secara literal, tetapi juga disertai dengan
berbentuk puisi atau lebih tepatnya interpretasi pembaca (Werdiningsih,
tembang macapat (bdk Simuh, 1995:63). 2013:209), yakni secara kontekstual.
Tembang macapat merupakan salah satu Teks-teks lain akan memberi penerangan
jenis puisi Jawa (Saputra, 2010:10). Puisi dalam proses pemaknaan teks
senantiasa mengekspresikan konsep dan (Werdiningsih, 2013: 210). Pembacaan
pesan secara tidak langsung (Riffaterre, secara hermeneutik tidak dilakukan
1978: 1). perbaris, akan tetapi secara bolak-balik
Sebagai salah satu teks yang atau retroaktif terhadap keseluruhan teks
berbentuk puisi Jawa, maka teks SSG SSG. Oleh karena itu, memungkinkan
juga memuat pesan dengan cara tidak pembacaan tidak lurus atau dari atas ke
langsung. Bahasa yang digunakan adalah bawah, tetapi dilakukan sesuai dengan inti
bahasa tingkat kedua yang memilki tata pembacaan. Hal ini dilakukan agar hasil
bahasa khusus. Oleh karena itu, interpretasi terhadap teks SSG yang
pemaknaannya memerlukan metode berkait dengan harmonisasi hubungan
khusus. Metode yang dipilih dalam Tuhan dan manusia lebih dalam dan
rangka mengetahui ajaran yang terdapat lengkap.
dalam teks SSG adalah metode Secara etimologis harmonis berarti
pembacaan secara hermeneutik. ‘selaras’ sehingga harmonisasi diartikan
Pembacaan hermeneutik merupakan dengan ‘keselarasan’ (Tim Penyusun,
pembacaan yang telah melibatkan proses 1986:299). Dalam bahasa Inggris terdapat
interpretasi. Pada pembacaan ini hasil kata harmony dan harmonies (kata benda
pembacaan akan dimodifikasi dengan jamak). Harmony berarti ‘selaras, serasi,

315 ISBN: 978-602-361-004-4


Seminar Nasional
Sastra, Pendidikan Karakter dan Industri Kreatif
Surakarta, 31 Maret 2015

sesuai, rukun, cocok’, sedangkan diketahui bahwa teks SSG belum pernah
harmonies berarti ‘keselarasan, dikaji secara khusus dengan hasil berupa
keserasian, kesesuaian, kerukunan, harmonisasi hubungan Tuhan dengan
kecocokan’ (Echols, dan Shadily, manusia.
2005:290). Dalam bahasa Jawa terdapat
3. METODE PENELITIAN
kata yang merupakan sinonim dari kata
harmonis, yakni kata cocog yang berarti Objek penelitian ini adalah teks SSG
‘sesuai, serasi’ (Poerwadarminta, yang merupakan hasil suntingan dari
1939:76). Werdiningsih (2006). Teks SSG koleksi
dari Tepas Widya Pustaka Pura Paku
Menurut Geertz (1981:235), istilah Alaman ini terbagi dalam 5 pupuh, yang
cocog adalah salah satu istilah metafisik terdiri atas 73 bait. Pupuh 1 dengan
Jawa yang paling fundamental. Cocog metrum tembang Sinom, terdiri atas 13
yang berarti sesuai menunjukkan bait. Pupuh 2 dengan metrum tembang
kesesuaian kunci dengan gembok, obat Asmaradana, terdiri atas 12 bait. Pupuh 3
mujarab dengan penyakit, pria dan dengan metrum tembang Dhandhanggula,
wanita, dan lain-lain. Dua hal yang terdiri atas 11 bait. Pupuh 4 dengan
terpisah akan menjadi cocog jika metrum tembang Pangkur, terdiri atas 17
keduanya memiliki koinsindensi yang bait. Pupuh 5 dengan metrum tembang
dapat membentuk pola yang estetis. Durma, terdiri atas 20 bait (Werdiningsih,
Oleh karena itu konsep cocog sejalan 2013:30).
dengan konsep harmonis. Dalam suluk
hubungan antara manusia dengan Tuhan Hakikatnya, harmoni merujuk pada
jarang dikemukakan secara langsung, adanya keserasian, kehangatan,
tetapi melalui berbagai perumpamaan. keterpaduan, dan kerukunan yang
Hal inilah yang akan dimaknai dalam mendalam dengan sepenuh jiwa dan
penelitian ini. melibatkan aspek fisik dan psikis (Roqib,
2007:2). Dalam konteks penelitian ini
Berdasarkan hal tersebut, harmonisasi harmonisasi diartikan sebagai keserasian,
hubungan Tuhan dan manusia sama keselarasan atau kecocokan antara lahir
dengan hubungan harmonis, selaras, atau dan batin. Harmonisasi hubungan Tuhan
mesra antara manusia dengan Tuhan. dan manusia berarti keserasian,
Harmonisasi hubungan Tuhan dengan keselarasan atau kecocokan antara lahir
manusia merupakan salah satu pesan yang dan batin manusia dalam hubungannya
terdapat dalam SSG. Pesan dalam SSG dengan Tuhan guna mencapai
diungkapkan secara tidak langsung dan kesempurnaan hidup. Kesempurnaan
dengan berbagai perumpamaan. hidup yang dimaksud adalah berada
Sejauh pengamatan peneliti, SSG sedekat-dekatnya bahkan bersatu dengan
pernah diteliti oleh beberapa orang Tuhan (manunggaling kawula Gusti).
peneliti. SSG pernah disunting dan
dibandingkan oleh Soebalidinata (1966). Manusia tidak akan mencapai tahap
SSG memuat konsep-konsep kehidupan manunggaling kawula Gusti tanpa
sosial dan ajaran ini merupakan warisan menjalin hubungan yang harmonis dengan
Sultan Agung yang dapat menjadi Tuhan. Harmonisnya hubungan manusia
pedoman manusia Indonesia dalam dengan Tuhan dapat dilihat dari
menghadapi konflik sosial masyarakat kemesraan manusia dengan Tuhan. Nilai
(Supadjar, 2001). Upaya signifikansi kemesraan ini akan menunjukkan
terhadap teks SSG juga penah dilakukan kedekatan hubungan manusia dengan
oleh Werdiningsih (2013). Berdasarkan Tuhan. Oleh karena itu, dalam penelitian
hasil-hasil penelitian tersebut, dapat ini konsep harmonisasi hubungan Tuhan

316 ISBN: 978-602-361-004-4


Seminar Nasional
Sastra, Pendidikan Karakter dan Industri Kreatif
Surakarta, 31 Maret 2015

dan manusia disejajarkan dengan konsep capa Sang Parta dan Sang Bathara
mistik. Mistik merupakan persatuan Wisnumurti. Manusia diibaratkan dengan
langsung dan mesra ruh manusia dengan gendhing; pangrasa; ripta;kang
Tuhan Yang Maha Dihambai, Maha manembah; bayangan; gema; mina;
Abadi dan Maha Mutlak (Jaiz 1980:9). gamelan; tulisipun; wayang; Srikandhi
kang hru; dan Narendra Kresna.
Keselarasan hubungan manusia
dengan Tuhan adalah faktor penentu
Keduabelas perumpamaan tersebut
dalam mencapai pengenalan dan
tersebar dari pupuh satu sampai empat.
penyatuan diri dengan Tuhan. Hubungan
Keberadaan sastra lebih dahulu dari pada
yang harmonis antara manusia dan Tuhan
gendhing. Sastra dengan gendhing harus
akan mempermudah manusia dalam
senantiasa menjalin hubungan harmonis
menemukan diri dan Tuhannya.
jika ingin mendapatkan keselarasan dalam
Harmonisasi hubungan Tuhan dan
hidupnya nyemlengireng wirama
manusia dalam teks SSG akan diketahui
(PII.b5:2). Harmonisasi suara gendhing
setelah melakukan proses pembacaan data
dengan sastra harus dijaga guna mendapat
secara hermeneutik. Data berupa kata,
petunjuk tentang pemersatuan tuduh
frasa, kalimat, dan paragraf-paragaf
katunggalane (PII.b5:3). Harmonisasi
dikumpulkan dengan metode pustaka.
antara sastra dengan gendhing adalah
Data yang bersifat kualitatif tersebut,
harmonisasi antara Tuhan dengan
menjadikan penelitian ini menggunakan
manusia. Tujuan dari harmonisasi tersebut
metode analisis deskriptif kualitatif.
adalah panunggal (PII.b4:6-7), yakni
Deskripsi akan mengedepankan proses
persatuan yang sempurna antara Tuhan
pembacaan hermeneutik, yakni membaca
dengan manusia.
secara bolak-balik atau retroaktif. Selain
itu, reduksi serta pengambilan simpulan Rasa ada lebih dahulu daripada
juga dilakukan dalam menganalisis data. pangrasa, karena rasa adalah bendanya
4. HASIL DAN PEMBAHASAN sedangkan pangrasa adalah sifat atau
keadaannya (PI.b10:1-3). Benda ada
Melalui pembacaan secara terlebih dahulu dari keadaannya. Rasa
hermeneutik terhadap teks SSG, diperoleh dengan pangrasa harus harmonis, guna
hasil sebagai berikut. Hubungan Tuhan mendapatkan kelengkapan hidup. Jika
dengan manusia dikemukakan dengan 12 antara benda dengan sifatnya tidak
perumpamaan, yakni perumpamaan harmonis ‘cocog’, yang terjadi adalah
hubungan antara sastra dengan gendhing; ketidaksesuaian dalam hidup. pangkal
rasa dengan pangrasa; cipta dengan ripta; adanya pangrasa adalah rasa (Simuh,
kang nembah dengan kang manembah; 1988:238), segala sesuatu yang dihasilkan
cermin dengan bayangan; gema dengan dari rasa harus ‘cocog’ dengan rasa
suara; mina dengan samudera; niyaga tersebut. Tanpa harmonisasi maka tidak
dengan gamelan; papan dengan tulisipun; akan ada pangrasa.
dalang dengan wayang; kang capa Sang
Parta dengan Srikandhi kang hru; dan Tuhan ada di dalam rasa (Simuh,
Sang Bathara Wisnumurti dengan 1988:332), jadi harmonisasi hubungan
Narendra Kresna. antara rasa dengan pangrasa adalah
perumpamaan dari harmonisasi hubungan
Berdasarkan perumpamaan- antara Tuhan dengan manusia. Cipta
perumpamaan tersebut, diketahui bahwa ibarat Tuhan, sedangkan ripta ibarat
Tuhan diibaratkan dengan sastra; rasa; manusia (PII.b10:4-6). Cipta ada lebih
cipta; kang nembah; cermin; suara; dahulu daripada ripta, dengan adanya
samudera; niyaga; papan; dalang; kang cipta maka ada pula ripta. Ripta adalah
317 ISBN: 978-602-361-004-4
Seminar Nasional
Sastra, Pendidikan Karakter dan Industri Kreatif
Surakarta, 31 Maret 2015

keadaannya sedangkan cipta adalah manusia harus harmonis supaya dapat


awalnya. Sumber dari ripta adalah cipta, hidup dengan baik.
ripta sejalan dengan ciptanya. Sejalannya
hubungan antara cipta dengan Harmonisasi tidak hanya ada dalam
riptamenunjukkan harmonisasi antara hubungan ikan dengan samudera, akan
Tuhan dengan manusia. tetapi juga harus ada dalam hubungan
antara niyaga dengan gamelan. Niyaga
Kang manembah berarti yang adalah orang yang memainkan gamelan.
disembah, sedangkan kang nembah Tanpa adanya niyaga maka gamelan tidak
berarti yang menyembah. Kang akan berbunyi sendiri. Niyaga dengan
manembah ada ebih dahulu daripada kang gamelan hubungannya harus harmonis
nembah (PII.b10:7). Kang nembah ibarat agar nada-nada yang tercipta juga enak
Tuhan, kang manembah ibarat manusia. didengar. Niyaga memiliki tata cara dan
Hal yang lebih dahulu adalah kodrat atau aturan dalam memainkan gamelan.
ketentuan dari Tuhan. Artinya, adanya Gamelan mengikuti cara dan aturan
kang nembah berasal dari kang niyaga dalam permainan, supaya gemelan
manembah. Oleh karena itu, kang nembah dapat berfungsi dengan baik gamelan dan
harus sejalan; selaras; harmonis dengan niyaga yang harmonis akan menghasilkan
kang manembah. Tanpa adanya alunan nada yang indah. Niyaga ibarat
keselarasan akan terjadi perbedaan dan Tuhan, sedangkan gamelan ibarat
hasilnya adalah ketidaknyamanan dalam manusia (PIII.b11:5-10). Jadi, manusia
hidup. hanya akan hidup dengan adanya Tuhan.
Manusia berhubungan dengan Tuhan
Antara cermin dan bayangan harus ada secara harmonis. Harmonisasi hubungan
kesesuaian. Tanpa adanya kesesuaian manusia dengan Tuhan akan
antara cermin dan bayangan maka menghasilkan keindahan di dalam hidup.
bayangan tidak akan sempurna. Bayangan
ibarat manusia, cermin ibarat Tuhan Papan dalam konteks ini adalah papan
(PIII.b9:6-10). Cermin dengan bayangan tulis (media penulisan), sedangkan
harus sesuai ‘harmonis’ guna mencapai tulisipun adalah alat yang digunakan
kesempurnaan bentuk. Artinya, Tuhan untuk menulis pada media tersebut
dengan manusia harus harmonis guna (PIV.b11:4-7). Alat tulis dengan media
mencapai kesempurnaan hidup. penulisan tentunya harus harmonis,
cocog, sesuai, sejalan supaya hasil dari
Gema akan muncul seiring dengan tulisan tersebut dapat dibaca dengan baik.
munculnya suara. Gema tidak akan Kerapian tulisan ditentukan pula oleh
muncul berbeda dengan suara, gema harus kesesuaian antara media dengan alat
harmonis dengan suara. Gema ibarat tulisnya. Misal, kapur atau spidol
manusia, sedangkan suara ibarat Tuhan digunakan untuk menulis pada papan
(PIII.b10:1-5). Artinya, manusia dengan tulis; sedangkan ballpoint hanya dapat
Tuhan harus harmonis. digunakan pada kertas atau buku. Papan
ibarat Tuhan dan tulisipun ibarat
Mina ‘ikan’ merupakan makhluk yang manusia, maka Tuhan dan manusia juga
hidaup di samudera. Hidup dan matinya harus harmonis. Harmonisasi tersebut
ikan di dalam samudera. Jika ikan tidak diharapkan mendatangkan kerapian dan
‘cocog’ harmonis dengan samudera maka keindahan dalam hidup.
ikan akan mati. Samudera ibarat Tuhan,
sedangkan mina ibarat manusia Dalang sebagai orang yang memainkan
(PIII.b11:1-3). Oleh karena itu, dapat wayang, memiliki peran besar dalam jalan
dianalogikan bahwa Tuhan dengan cerita wayang. Wayang disesuaiakan atau
318 ISBN: 978-602-361-004-4
Seminar Nasional
Sastra, Pendidikan Karakter dan Industri Kreatif
Surakarta, 31 Maret 2015

dicocokkan dengan lakon ceritanya oleh Harmonisasi hubungan Tuhan dengan


dalang. Harmonisasi dalang dengan manusia dalam kehidupan manusia akan
wayang ditujukan untuk menghasilkan menjadikan hidup manusia teratur. Hasil
pertunjukan yang indah, baik, dan lakon dari harmonisasi hubungan Tuhan dengan
yang tepat. Dalang ibarat Tuhan, manusia akan menghasilkan keindahan
sedangkan wayang ibarat manusia dalam hidup. Harmonisasi juga
(PIV.b11:4-7). Harmonisasi hubungan mendatangkan kerapian. Tanpa adanya
antara dalang dengan wayang dapat harmonisasi, dunia akan hancur dan
dianalogikan dengan hubungan antara tujuan kelahiran manusia tidak akan
Tuhan dengan manusia. Harmonisasi tercapai. Tujuan kelahiran setiap manusia
diperlukan untuk menghasilkan lakon adalah mencapai kesempurnaan.
yang baik dan cerita yang indah. Kesempurnaan hidup seorang manusia
adalah panunggal, yakni bersatunya
Kang capa Sang Parta adalah busur manusia dengan Tuhan. bersatunya
Arjuna, sedangkan Srikandhi kang hru manusia dengan Tuhan disebut sebagai
merupakan panah Srikandhi. Pada saat manunggaling kawula Gusti.
akan membunuh Bhisma di perang
Baratayudha, panah Srikandhi harus 5. SIMPULAN
harmonis dengan busur Arjuna. Tanpa
keharmonisan,maka tujuan dari kelahiran Berdasarkan hasil penelitian
Srikandhi tidak akan tercapai. Tanpa tersebut dapat disimpulkan bahwa
adanya keharmonisan, maka Bhisma tidak dalam hidupnya, manusia harus sejalan;
akan dapat dikalahkan dan perang cocog; dan harmonis dengan Tuhan.
Baratayudha tidak akan pernah berakhir. Harmonisasi hubungan Tuhan dengan
Busur Arjuna diibaratkan sebagai Tuhan, manusia akan membuat manusia selalu
sedangkan panah Srikandhi adalah mengingat Tuhan dalam setiap langkah di
manusia (PIV.b12:1-7). Artinya, manusia hidupnya. Apapun yang difikirkan,
dengan Tuhan harus senantiasa harmonis. direncanakan, dan yang akan dilakukan
Guna mencapai tujuan dari proses oleh manusia selalu dalam jalan Tuhan
kelahiran setiap manusia, maka karena tidak hanya mengingat Tuhan akan
harmonisasi hubungan Tuhan dengan tetapi juga sejalan dengan Tuhan. Ajaran
manusia harus ada. yang terdapat dalam teks SSG relevan
dengan kondisi dewasa kehidupan
Harmonisasi yang terakhir adalah dewasa ini. Kesempurnaan hidup tidak
antara Bathara Wisnumurti dengan diukur dengan materi yang diperoleh
Narendra Kresna. Narendra Kresna dalam kehidupannya, tetapi dari
merupakan avatara dari Bathara kesadaran manusia akan tujuan
Wisnumurti. Esensi Wisnumurti terdapat kelahirannya. Kesadaran akan tujuan
dalam diri Narendra Kresna. Harmonisasi kelahiran manusia, yakni kesempurnaan
harus terjalin dalam hubungan antara sudah semestinya dimiliki oleh setiap
Wisnumurti dengan Narendra Kresna. manusia. Jika hal ini terjadi, maka
Tanpa adanya harmonisasi, maka kekacauan di dunia tidak akan terjadi.
Narendra Kresna tidak akan dapat Korupsi, pornoaksi, dan kriminalitas juga
menjadi seorang raja yang bijaksana dan tidak akan selau menjadi berita utama dan
wakil dewa di bumi. Harmonisasi ini dunia akan berjalan dengan damai serta
bertujuan untuk menjadikan dunia teratur indah. Kemajuan media sudah
dan berjalan dengan baik ketika keduanya seharusnya dapat menjadi salah satu
tidak harmonis, maka dunia akan hancur sarana untuk menciptakan kesadaran akan
(PIV.b13:1-7). tujuan kelahiran setiap manusia, bukan
sebaliknya justru memperkeruh suasana.
319 ISBN: 978-602-361-004-4
Seminar Nasional
Sastra, Pendidikan Karakter dan Industri Kreatif
Surakarta, 31 Maret 2015

6. DAFTAR PUSTAKA Skripsi. Sastra Nusantara.


Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Darusuprapta. 1987. “Ajaran Moral Gadjah Mada Yogyakarta.
dalam Sastra Suluk”. Laporan ----------------------------------. 2013.
Penelitian: Bahasa dan Sastra “Signifikansi Serat Sastra
Departemen Pendidikan dan Gendhing, Kajian Semiotika
Kebudayaan. Fakultas Sastra Riffaterre”. Tesis. Ilmu Sastra
Universitas Gadjah Mada, Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Yogyakarta. Gadjah Mada Yogyakarta.
Echols, John M. Dan Shadily, Hasan.
2000. Kamus Bahasa Inggris Daftar Laman
Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia. Imron, Ali. “Signifikasi Sastra
Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Transendental dan Ekranisasi
Santri, Priyayi, dalam Sastra sebagai Potensi Industri
Masyarakat Jawa. Jakarta: Kreatif dalam Perspektif Budaya
Pustaka Jaya. Bangsa”. Pidato Pengukuhan
Jaiz, MH. Amien. 1980. Masalah Guru Besar Ilmu Komunikasi
Mistik Tasawuf dan Kebatinan. Universitas Muhammadiyah
Bandung: PT. Alma’arif. Surakarta. 2014.
Magnis-Suseno, Franz. 2001. Etika http://komunikasi.ums.ac.id/categ
Jawa, Sebuah Analisa Filsafati ory/academic/
tentang Kebijaksanaan Hidup
Orang Jawa. Jakarta: Gramedia.
Poerwadarminta, WJS. 1939.
Baoesastra Djawa. Jakarta:
Djambatan.
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of
Poetry. Bloomington-London:
Indiana University Press.
Saputra, Karsono H. 2010. Sekar
macapat. Jakarta: Wedatama
Widya Sastra.
Simuh. 1995. Sufisme Jawa,
Trnasformasi Tasawuf Isalm ke
Mistik Islam Jawa. Yogyakarta:
Bentang Budaya.
Soebalidinata, R.S. 1966. “Tinjauan
Filologis Kitab Sastragendhing”.
Skripsi Sarjana Muda.
Yogyakarta: Fakultas Sastra.
Universitas Gadjah Mada.
Supadjar, Damarjati. 2001. Filsafat
Sosial Serat Sastra Gending.
Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Tim Penyusun, 1989. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta:
Gramedia.
Werdiningsih, Yuli Kurniati. 2006.
“Serat Sastra Gendhing,
Suntingan Teks dan Terjemahan”.
320 ISBN: 978-602-361-004-4

Anda mungkin juga menyukai