Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui simbol dalam novel Semua Ikan Di Langit karangan
Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie dari unsur cerita (narasi) dialog, dan laku dari tokoh-tokohnya.
Terdapat sebuah teknik yang berbeda saat beberapa tokoh menceritakan kehidupannya, mulai dari
simbol ikan, bus, dan kecoa serta obyek beliau yang selalu hadir kala di awal dan akhir bahkan
seluruh bab. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode pengumpulan data
menggunakan metode kepustakaan. Teknik analisis isi. Penulis menemukan sejumlah teknik
bercerita; 1. Fokalisasi interen (“saya”) berdasarkan narator, 2. Fokalisasi ekstern dengan bentuk
simbol, 3. Cerita harmonis dan miris dalam satu bingkai novel tersebut.
Abstract
This study aims to find out the symbols in the novel All Fish in the Sky by Ziggy
Zezsyazeoviennazabrizkie from the elements of the story (narration) dialogue, and the behavior of
the characters. There is a different technique when some characters tell their lives, ranging from
symbols of fish, buses, and cockroaches and objects that are always present at the beginning and
end of all chapters. This study uses a qualitative approach with data collection methods using the
library method. Content analysis technique. The author finds a number of storytelling techniques;
1. Internal vocalization ("I") based on the narrator, 2. External vocalization with symbolic form,
3. Harmonious and sad story in one frame of the novel
PENDAHULUAN
Jika kita hendak memahami strukturalisme dalam naratologi melalui pengertian
struktur sebagai “sebuah bangun abstrak yang terdiri atas sejumlah komponen yang
berkaitan satu sama lain untuk membentuk struktur itu, ada dua aspek penting yang perlu
digarisbawahi (Ridho, 2013). Pertama, yang penting di dalam struktur adalah abstraksi
atau model, bukan benda atau material. Dari segi ini, pandangan dunia yang disebut
strukturalisme pada dasarnya lebih dekat dengan asumsi-asumsi idealisme daripada
realisme. Kesenjangan ini yang di kemudian hari hendak dicoba diatasi dalam
perkembangan strukturalisme itu sendiri.
56
Fokalisasi dalam Novel Semua Ikan di Langit Karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
(Suatu Kajian Naratologi)
(Rendy Pribadi, M. Rinzat Iriyansah)
Konsep struktural mendapat kritik dari ilmu para ilmuwan kontemporer. Hal ini
karena yang semula mengambil bentuk strukturalisme languae dan parole- hanya
mengambil bentuk abstrak dan wujud nyata dari sebuah bahasa, kini bisa diwujudkan
dalam ilmu sastra yang lebih fleksibel dan interdisipliner terhadap ilmu lainnya, misalya
culture studies dan sosiohistoris yang menganalisis teks dari tataran riwayat dan
penceritaan. Subdisiplin ilmu lainya seperti Beberapa subdisiplin yang kemudian
merebak di antaranya adalah naratologi psikoanalitik, naratologi feminis, studi cerita
yang berorientasi cultural studies, dan studi cerita pascakolonial (Ridho, 2013). Konsep
yang diungkapkan oleh Fludernik (2005, 37) bahwa perkembangan ini mengarah pada;
“reorientation and diversification of narrative theories, producing a series of
subdisciplines that arose in reaction to post-structuralism and the paradigm shift
to cultural studies.
57
DEIKSIS | Vol. 12 No.01 | Januari-April 2020: 57-69
terminologi diajukan oleh para naratolog awal ini untuk menjawab persoalan tersebut,
seperti fungsi, kalimat naratif, cardinal function, catalyzer, sphere of action, dan aktan.
Dalam konteks pencarian tata cerita di tataran story itulah narativitas pada mulanya
dipahami (Ridho, 2013).
Pada perkembangan selanjutnya, penelitian dalam naratologi bergeser dari
perhatian terhadap tataran story (riwayat) ke tataran text (teks), yaitu yang
mempertanyakan bagaimana kombinasi (urutan kronologis) kejadian dalam story
mengalami perubahan dalam tataran teks. Dalam rumusan Rimmon-Kenan (2002),
tataran ini diartikan sebagai "…
Dengan kata lain, jika riwayat adalah hasil abstraksi, maka teks adalah sumber
abstraksi itu. Menurut Abbot (2007, 41), jika dikemukakan dalam istilah Saussure tentang
pembedaan penanda dan petanda, maka teks adalah penanda sedangkan riwayat adalah
petandanya. Meskipun urutan kronologis biasanya dianggap sebagai urutan yang normal
dan alamiah, para naratolog memandangnya sebagai semata-mata sebuah konvensi
tentang waktu karena pada dasarnya waktu juga bergerak secara serempak dan banyak-
arah (multiliniar). Karena itu, mereka membuat dikotomi penting yang khas struktural,
yaitu waktu riwayat (story time) dan waktu teks (text time). Dalam tataran teks, kejadian-
kejadian tidak mesti berurutan secara kronologis atau mengikuti waktu riwayat, tetapi
berada dalam apa yang disebut sebagai waktu teks.
Penyimpangan dari urutan kronologis ini diistilahkan sebagai anakroni (Bal
1997, 83). Jadi, pada dasarnya fenomena anakronilah yang diteliti dalam tataran teks itu.
Dalam konteks ini, studi Genette (1980) yang ekstensif dalam tataran teks memberi arah
yang inspiratif dalam pengembangan naratologi selanjutnya. Konsep-konsep penting,
seperti durasi, order, frekuensi, dan fokalisasi kemudian menjadi topik studi yang subur
bagi peneliti naratologi selanjutnya. Konsep fokalisasi—yang menggantikan konsep lama
seperti point of view dan perspektif—memicu perdebatan, tetapi juga memberi jalan pada
pendekatan naratologi kognitif akhir-akhir ini (lihat, misalnya, Hühn, Schmid, dan
Schönert 2009).
Aspek lainnya dalam tataran teks adalah karakterisasi. Aspek yang menghadirkan
karakter tidak hanya bekerja individu tetapi ia bekerja dengan sebuah kode. Cara
menemukannya menurut terminologi Barthes yakni dengan menggunakan sumbu
semantik (semantic axes) yang didasari oleh complexes of descriptions (Margolin, 2007);
“…they are not open to direct perception by us, and can be known only through
textual descriptions or inferences based on those descriptions. In fact, they are
these complexes of descriptions, not having any independent worldly existence.”
Pada tataran ketiga, yaitu tataran penceritaan (narration), para naratolog mulai
lebih banyak mempertimbangkan teori pragmatik dalam ilmu bahasa/komunikasi.
Menganalisis cerita dari tataran ini berarti berupaya melihat bahwa kejadian dan tokoh
dalam cerita tidaklah dengan sendirinya hadir di sana, tetapi diceritakan oleh pencerita
(narrator) kepada pecerita (narratee) (Ridho, 2013). Dikotomi pencerita dan pecerita
58
Fokalisasi dalam Novel Semua Ikan di Langit Karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
(Suatu Kajian Naratologi)
(Rendy Pribadi, M. Rinzat Iriyansah)
mempunyai peran yang berbeda. Pencerita bisa kita dikatakan sebagai orang yang
menceritakan sebuah riwayat kepada orang yang diceritai (pecerita). Pecerita adalah
orang yang diceritai sebuah teks atau yang mendengar sebuah simakan dari pencerita.
Berikut penjelasan dengan gambar
59
DEIKSIS | Vol. 12 No.01 | Januari-April 2020: 57-69
Perbedaan ada pada kata kunci “siapa yang bercerita” dari dikotomi pencerita dan
pecerita. Sebuah simbol bus adalah yang adalah seorang pencerita dalam novel SIdL
menuturkan bahwa “Pertemuan kami dengan Shoshanna membuat perjalanan terhambat
cukup lama”. Sementara sebagai seorang pecerita adalah “saya” (bus) yang disapa oleh
Nad. Perasaannya ini boleh jadi mempunyai agenda untuk melanjutkan cerita tentang
kehidpannya yang terbentang luas untuk menandakan episode selanjutnya agar bisa
diikuti oleh para tokoh dan pembaca.
Pada gambar berikutnya penulis akan mencoba mengabstraksi tataran riwayat dari
cerita novel SIdL;
RIWAYAT
PENCERITA (saya)
Pada gambar di atas menunjukkan bahwa peran pecerita dan pencerita menjadi
hal yang memungkinkan untuk diceritakan lebih detail karena berdasarkan riwayat,
pecerita adalah orang yang disapa kemudian diceritakan dalam sebuah teks oleh pencerita
merujuk kepada Rimmon-Kenan.
60
Fokalisasi dalam Novel Semua Ikan di Langit Karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
(Suatu Kajian Naratologi)
(Rendy Pribadi, M. Rinzat Iriyansah)
Dengan demikian, naratologi dapat diartikan sebagai seperangkat konsep mengenai cerita
dan penceritaan. Naratologi juga disebut teori wacana (teks) naratif karena dalam
perkembangannya didasari atas analogi linguistik, seperti model sintaksis sebagaimana
memiliki hubungan antara subjek, predikat, dan objek penderita. Lebih lanjut, menurut
Genette (dalam Kutha Ratna, 2015: 254—255) pokok naratologi terbagi dalam lima hal,
yaitu Order atau tata yang merupakan hubungan antara peristiwa-peristiwa nyata,
peristiwa kronologis dengan peristiwa-peristiwa yang diatur kembali sebagai
dekronologisasi, duration atau durasi merupakan hubungan antara waktu cerita yang telah
berlalu, frekuensi (frequency) adalah hubungan potensial antara cerita dan pencerita
sebagai repetisi, tutur (voice) membicarakan cerita, penceritaan, dan latar belakang
sosialnya, dan modus (mood) adalah berbagai bentuk yang digunakan untuk menjelaskan
intensitas yang dibicarakan. Satu aspek dalam modus adalah fokalisasi (focalization).
Oleh karena itu, dalam penelitian ini pokok naratologi yang dipergunakan hanya
fokalisasi yang lebih mendetail tentang persepsi dari pencerita dan pecerita.
Genette (dalam Nurgiyantoro, 2013: 339) menawarkan istilah fokalisasi
(focalization), yang lebih dekat berhubungan dengan pengisahan. Fokalisasi berasal dari
kata focus yang berarti unsur yang menonjolkan sesuatu, pusat pandang atau pusat
perhatian. Menurut Luxemburg dkk., (1991: 125) fokalisasi itu sendiri menunjuk pada
pengertian adanya hubungan antara unsur-unsur peristiwa dan visi yang disajikan kepada
pembaca. Fokalisasi dalam kaitanya dengan posisi pencerita digolongkan oleh
Luxemburg dkk. (1991: 117) menjadi dua jenis, yakni (1) fokalisasi intern dan (2)
fokalisasi ekstern. Fokalisasi intern merupakan sudut pandang yang berasal dari dalam
cerita yang dapat berupa cakapan langsung, ungkapan tokoh, solilokui (curahan hati
seorang tokoh dengan berbicara seorang diri), lakuan (perbuatan atau tindakan) maupun
ungkapan seorang penutur sedangkan fokalisasi ektern disebut juga sebagai sudut
pandang menyeluruh karena sudut pandang tersebut melihat keseluruhan cerita.
Fokalisasi ekstern berkaitan dengan pencerita atau teks pencerita.
Menurut Luxemburg dkk. (1991:125—126) fokalisator atau subjek fokalisasi
dibagi menjadi tiga, yaitu fokalisator intern, fokalisator ektern, dan fokalisator kolektif.
Fokalisator intern, adalah fokalisator yang berasal dari dalam cerita. Fokalisator ekstern
adalah fokalisator yang berasal dari luar cerita. Fokalisator ekstern mengantarkan kita
kepada sudut pandang berbagai tokoh. Fokalisator kolektif merupakan beberapa
fokalisator yang memiliki sudut pandang sama dalam memandang sesuatu hal dalam
cerita. Lebih lanjut, Luxemburg dkk. (1991: 134) menyatakan bahwa proses interpretasi
cerita, latar hampir selalu menunjang makna cerita. Dengan demikian, fokalisasi memiliki
hubungan yang erat dan tidak dapat terpisahkan dengan aspek latar terjadinya peristiwa.
Keterkaitan fokalisasi dengan latar dapat dilihat melalui lakuan yang dimunculkan oleh
tokoh. Pelukisan latar dalam cerita dapat berfungsi untuk memberi latar belakang realitas
tertentu, mendapat makna dalam hubungannya dengan peristiwa (makna simbolik), atau
bisa juga berfungsi ganda. Penentuan waktu dan tempat bisa saja menyatu dengan hanya
memunculkan salah satunya, yakni memiliki sifat tempat, tetapi secara simbolik bersifat
waktu, atau sebaliknya. Penentuan waktu dan tempat juga bisa menyatu melalui suatu
tindakan yang muncul akibat fokalisasi atau persepsi.
61
DEIKSIS | Vol. 12 No.01 | Januari-April 2020: 57-69
didasarkan pada konsep “persepsi” (Ridho, 2013). Peran persepsi menerangkan bahwa
suatu cerita bisa dimaknai dari beberapa sudut pandang dalam seg penceritaan. Suatu
sudut pandang bisa dilihat dari aspek narator dan fokalisor. Dalam tingkat persepsi, bisa
jadi mempunyai beberapa alasan seperti contoh kaimat berikut: “Saya sangat senang
ketika ia memakai topi”. Kalimat ini mempunyai muatan persepsi dan refleksi, yakni
ketika orang teersebut tersebut melihat si dia yang memakai topi, di satu sisi, dan
“melihat” perasaan senang di dalam dirinya sendiri, di sisi lain. Persepsi pertama adalah
dia memakai topi (bentuk ril) dan persepsi kedua menyatakan perasaan senang.
Subjek kesadaran (fokalisor) di atas adalah “saya” yang mempunyai perasaan dan
ingatan tentang Beliau yang mempunyai ‘memiliki lebih banyak pengetahuan, lebih
banyak pemikiran’. Hal inilah yang dijadikan sebagai obyek fokalisasi karena timbul
daari perasaan dan ingatan berdasarkan cerita-cerita sebelumnya tentang beliau. Objek
fokalisasi ini berdasarkan unsur penilaian pribadi dari seorang fokalisor (saya) mengenai
Beliau. Skema fokalisor dan objek fokalisor jika dibuat bentuk bagan maka sebagai
berikut:
62
Fokalisasi dalam Novel Semua Ikan di Langit Karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
(Suatu Kajian Naratologi)
(Rendy Pribadi, M. Rinzat Iriyansah)
63
DEIKSIS | Vol. 12 No.01 | Januari-April 2020: 57-69
METODE PENELITIAN
Menurut Kutha Ratna (2015: 34) metode berfungsi untuk menyederhanakan masalah,
sehingga lebih mudah untuk dipecahkan dan dipahami. Oleh karena itu, metode
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kepustakaan.
Sugiyono (2015: 291) menyatakan bahwa studi kepustakaan berkaitan dengan kajian
teoretis dan referensial lain yang berhubungan dengan nilai, budaya, dan norma yang
berkembang pada situasi sosial yang diteliti.
Menurut Riffaterre (dalam Bramantio, 2010: 28) pembacaan karya sastra
dilakukan dengan dua tahap. Pembacaan tahap pertama disebut dengan pembacaan
heuristik. Dalam pembacaan heuristik kompetensi kebahasaan dan kesastraan memainkan
peranan penting. Pembacaan tahap kedua disebut pembacaan hermeutik. Pada tahap
kedua ini terjadi proses interpretasi yang sesungguhnya. Pembaca berusaha melakukan
perbandingan berkaitan dengan yang telah dibaca pada saat pembacaan tahap pertama.
Setelah melalui tahapan membaca dan menemukan kutipan-kutipan yang
berkaitan dengan objek penelitian, kutipan tersebut dicatat. Kutipan-kutipan berupa
tuturan dan lakuan fokalisator yang berkaitan dengan jenis-jenis fokalisasi serta
keterkaitan fokalisasi dengan unsur-unsur intrinsik lainnya dicatat pada kartu data.
Teknik catat digunakan agar data yang berhasil dikumpulkan terjamin kebenarannya.
Data yang telah diperoleh melalui pembacaan dan pencatatan tersebut, selanjutnya
data dianalisis. Analisis data penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik.
Kutha Ratna (2015: 53) menyatakan bahwa metode deskriptif analitik dilakukan dengan
cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Analisis tidak
semata-mata menguraikan, melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan
secukupnya sesuai dengan fokus penelitian. Langkah-langkah yang ditempuh dalam
analisis ini, yaitu membaca kartu data yang berisi kutipan tuturan dan lakuan fokalisator
yang berkaitan dengan fokalisasi, menganalisis fokalisasi yang terkandung dalam novel
Tempurung, mengklasifikasi jenis-jenis fokalisasi yang ditemukan, menguraikan dan
memperjelas jenis-jenis fokalisasi yang ditemukan dengan menyertakan kutipan,
menguraikan dan memperjelas keterkaitan fokalisasi dengan unsur intrinsik lainnya, dan
Lebih lanjut, data yang sudah dianalisis kemudian akan disajikan. Metode penyajian hasil
analisis data dilakukan dengan metode formal dan metode informal. Sudaryanto (2015:
64
Fokalisasi dalam Novel Semua Ikan di Langit Karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
(Suatu Kajian Naratologi)
(Rendy Pribadi, M. Rinzat Iriyansah)
241) menyatakan bahwa metode penyajian formal adalah perumusan hasil penelitian yang
disajikan dengan tanda dan lambang-lambang, sedangkan metode penyajian informal
adalah penyajian hasil penelitian dengan pemaparan kata-kata biasa secara tertulis.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode informal dengan pemaparan
kata-kata, sementara metode formal berupa tabel bersifat sebagai pembentuk data hasil
penulisan.
Subjek (fokalisor) dalam kutipan ini adalah “saya” tentang perasaan dari Beliau
tentang dirinya ditandai sebagai Objek fokalisasi karena “saya” menyadari seolah-oleh
Beliau suka dengannya.
Fokalisasi Internal
Klakson saya berbunyi nyaring karena terkejut ,Nad mendengking. Saya tidak pernah
mendengar kecoa mendengking sebelumnya. (SIdL ,73)
65
DEIKSIS | Vol. 12 No.01 | Januari-April 2020: 57-69
Saya melihat Beliau mendekati gadis itu dan pelan-pelan membawanya ke dalam saya.
Anak itu menapakkan kakinya tapi hanya sedikit sekali yang ia ceritakan pada asya.
Hanya ingatan terakhirnya: ditampar oleh ibunya, melarikan diri ke taman, bermainan
ayunan berhari-hari sampai akhirnya dia berayun terlalu jauh dan terlempar ke luar
angkasa. (SIdL,75)
Ah Beliau yang baik. Beliau bisa meakukan apa saja yang Beliau inginkan di dunia tapi
Beliau tetap mau saja memili untuk melakukan sesuatu supaya bisa menyenangkan
orang gendut yang tidak ada artinya ini (SidL, 115)
Serpihan tubuh saya yang terakhir adalah sebatang besi tipis yang menyerupai lidi
pendek. Sebelum terjatuh, Beliau mengulurkan tangannya dan menangkap serpihan
itu.” (SIdL, 239)
Saya mencintai Beliau. Lebih dari segalanya di dunia ini, dan di seluruh duni ayng ada,
pernah ada, dan akan ada. Hancur berkeping-keping demi mempertahankan perasaan
cinta yang begitu kuat bukanlah hal besar ketika tidak ada ha lain yang lebih penting
dari rasa itu. Kehancuran diri ini tidak berarti apa-apa bagi saya, karena saya hancur
demi dirinya (SidL, 241)
Beberapa tuturan di atas yang penulis kutip dari beberapa kutipan dalam novel ini
terlihat aspek fokalisasi internal yang banyak terlihat untuk mendeskripsika perasaan
“saya” pada objek fokalisasinya adalah Beliau. Fokalisasi internal memang sudah terlihat
pada saat pendeskripsian Beliau dan kemudian hampir semua keterlibatan peristiwa,
sosok “saya” selalu ada. Apakah ia menjadi pendengar, terlibat dialog, dan berbicara pada
diri sendiri adalah semua aspek yang mempertegas bahwa fokalisasi internal menjadi
dominan dalam novel ini.
66
Fokalisasi dalam Novel Semua Ikan di Langit Karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
(Suatu Kajian Naratologi)
(Rendy Pribadi, M. Rinzat Iriyansah)
Dari hasil kajian di atas, maka tipe fokalisasi yang sesuai dari hasil penelitian ini
adalah pola II dan III. Pola ini hanya mengalami perubahan dari segi internal dan
eksternal, namun tuturan “saya” dominan dari keseluruhan data yang diambil dari 39 bab
ini. Dan fokalisasi pun mengalami perubahan yang signifikan pula karena pepindahan
dari aspek perasaan “saya” yang hanya ia yang mengetahui kini pindah karena kecemasan
yang mempunyai hubungan kausal. Maka dalam hal ini pola yang dipakai dalam novel
SidL ini adalah, I, IV, dan V.
SIMPULAN
Dari hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa kajian naratologi bukan mengkritik
atau membandingkan mana yang labih baik dalam hal penceritaan. Kajian ini hanya
menguraikan penceritaan sebuah bentuk dalam teks lewat tuturan dari tokoh-tokohnya.
Pengkhususan kajian ini terletak pada pentingnya aspek keterbacaan cerita dari sebuah
karya tersebut sehingga mampu memunculkan beragam teknik dan bahkan maksud dari
seorang pengarang “memainkan” teknik dalam bercerita. Aspek temuan yang dinamis
67
DEIKSIS | Vol. 12 No.01 | Januari-April 2020: 57-69
menandakan bahwa pengarang sudah mempunyai pemetaan yang detail dan jelas ketika
memainkan arus (fokalisasi) dari berbagai macam tokoh, sehingga dari deskripsi tersebut
bisa dikembangkan menjadi sebuah ideologi, gender, bahkan feminisme dari cara tiap
tokoh bercerita.
DAFTAR PUSTAKA
Bal, M. (1997). Narratology: Introduction to the theory of narrative, second companion
to narrative theory. MA: Blackwell. Cornell University Press. dan Pustaka
Malaysia.
Ratna, N. K. (2015). Teori, metode, dan teknik penelitian sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
68
BASINDO : Jurnal Kajian Bahasa, Sastra Indonesia, dan
Pembelajarannya
PENDAHULUAN
Cerita pendek (cerpen) merupakan genre karya sastra yang bisa dikatakan tidak memiliki
definisi yang pasti. Seberapa pendek seharusnya sebuah cerita pendek merupakan pertanyaan yang
kerap muncul. Genre yang satu ini oleh Cuddon (1998) dianggap atau sebagai yang paling sulit
untuk dikategorikan. Untuk memudahkan, Cuddon menganalogikan cerpen dengan kategori lari
jarak pendek dalam atletik, yakni yang berjarak 100 atau 200 meter. Analogi tersebut sebenarnya
kurang mengena, mengingat lari jarak pendek mempunyai aturan jarak yang tetap dan pasti
sedang cerita pendek tidak memiliki acuan panjang yang pasti.
Meskipun begitu, bukan berarti tidak ada usaha untuk memunculkan suatu aturan yang
cukup baku mengenai kategorisasi cerpen. Poe, misalnya, memunculkan semacam aturan tentang
cerpen setelah ia mereview Twice Told Tales karya Hawthorne. Poe mendefinisikan cerpen sebagai
‘a prose narrative (of indeterminate length) requiring anything from half an hour to one or two hours in its 'perusal'
...’ (Cuddon, 1998). Dari pengertian tersebut memang tidak diperoleh ketentuan pasti mengenai
panjang seharusnya sebuah cerpen, tapi pernyataan mengenai durasi ‘pembacaan’ antara setengah
jam hingga satu atau dua jam sepertinya cukup untuk memberikan batasan.
Cerpen Cinta di Atas Perahu Cadik (selanjutnya disebut Cinta) karya Seno Gumira
Ajidarma, Waktu Nayla karya Djenar Maesa Ayu, dan Senja Buram, Daging di Mulutnya (selanjutnya
disebut Senja) karya Radhar Panca Dahana merupakan cerpen terbaik versi koran Kompas pada
tahun yang berbeda. Cinta didaulat menjadi pemenang pertama cerpen pilihan Kompas tahun
2007, Waktu Nayla sebagai cerpen terbaik tahun 2003, sedangkan Senja menjadi cerpen terbaik di
*Corresponding author.
E-mail addresses: Sufi_ikrima@yahoo.com (Sufi Ikrima Sa’adah)
ISSN : 2579-3799 (Online) - BASINDO : Jurnal Kajian Bahasa, Sastra Indonesia, dan Pembelajarannya is licensed
under Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License
(http://creativecommons.org/licenses/BY/4.0/).
METODE
Penelitian ini mengoperasikan teori narasi yang dikembangkan oleh Gerard Genette pada
tiga cerpen, yakni Cinta di Atas Perahu Cadik (selanjutnya disebut Cinta) karya Seno Gumira
Ajidarma, Waktu Nayla karya Djenar Maesa Ayu, dan Senja Buram, Daging di Mulutnya (selanjutnya
disebut Senja) karya Radhar Panca Dahana. Ketiganya merupakan cerpen terbaik versi koran
Kompas pada tahun yang berbeda, yakni. Cinta tahun 2007, Waktu Nayla tahun 2003, dan Senja
mtahun 2005. Tiga cerpen tersebut juga memiliki kesamaan waktu ‘pembacaan’, yakni sekitar tiga
puluh menit.
Teori narasi Genette terdiri atas narration, discourse, dan story. Narration merupakan apa yang
dikenal sebagai penceritaan (the telling of a story by a narrator), sedangkan discourse mengacu pada apa
yang dipahami sebagai teks narasi. Sementara itu, story merupakan segala yang diacu atau yang
diceritakan oleh teks atau wacana narasi. Berdasar pada tiga tingkatan narasi tersebut, Genette
memunculkan tiga kategori yang merefleksikan bagaimana ketiga tingkatan tersebut saling
berhubungan. Tiga kategori tersebut adalah tense, mood, dan voice yang masing-masing memiliki
beberapa subkategori. Oleh karena ketiga cerpen di atas dibahas melalui keberadaan penutur dan
kala penceritaan, pembacaan ini hanya akan menggunakan konsep duration, focalization, dan person.
(1) Nayla semasa lajang (2) Nayla selepas menikah (3) Nayla selepas
vonis kanker (4) Nayla di dalam mobilnya pada jam lima petang.
Gambar 1: Urutan peristiwa Waktu Nayla
Dalam “Waktu Nayla”, tiga peristiwa pertama sekedar isi lamunan dan mimpi Nayla dan
bukan rentetan peristiwa sebenarnya. Sehingga, ketiga peristiwa tersebut sebenarnya berada dalam
peristiwa ke empat, dan jika digambarkan menjadi seperti berikut.
) (4)
Gambar2: Peristiwa keempat Waktu Nayla
Terdapat beberapa pengulangan kata )dan kalimat ) dalam cerpen “Waktu Nayla”. Pada
halaman 8 misalnya, kata ‘waktu’ diulang sampai empat kali dengan penulisan yang berbeda.
Keempatnya ditulis dengan indentasi yang berbeda-beda dan diakhiri dengan tiga tanda titik
kecuali kata ‘waktu’ yang ke empat ditulis dengan ) tanda titik yang jauh lebih banyak dan diakhiri
dengan tanda tanya. Indentasi yang diberikan kepada keempat kata ‘waktu’ tersebut seakan
membentuk ujung anak panah yang sedang melesat, yang sama juga seperti waktu yang terus
melesat cepat tanpa kita ketahui akan ke mana arah lajunya, sehingga dimunculkan tanda anak
panah setelah kata ‘waktu’ ke empat.
Pengulangan berikutnya terjadi pada kalimat ‘Sebelum jam tangannya berubah jadi sapu, mobil
sedannya berubah jadi labu, dan dirinya berubah jadi abu’ yang muncul di akhir segmen pertama pada
halaman 2. Kalimat tersebut kemudian berulang pada halaman 9 di akhir segmen terakhir.
Bedanya, pada halaman 2 kalimat tersebut diakhiri dengan tanda titik sementara pada halaman 9
berakhir dengan tanda titik tiga. Melalui kalimat tersebut Nayla (atau Djenar?) seakan menegaskan
bahwa kehidupannya pasti akan berubah seiring dengan lesatan waktu. Sementara tanda titik tiga
di akhir kalimat memberi semacam pertanda bahwa perubahan yang akan dialami Nayla tidak kan
berhenti dan akan terus berubah.
Hidup yang Dikebiri dalam “Senja Buram, Daging di Mulutnya”
Secara pribadi, di antara ketiga novel yang dibaca kali ini, cerpen “Senja” adalah yang
paling sulit pembacaannya. Sebabnya adalah adanya dua penutur yang saling bergantian
menuturkan cerita. Penutur pertama mengisi segmen pertama, ke tiga, dan ke lima sementara
penutur ke dua bercerita di segmen ke dua, ke empat, dan ke enam. Selanjutnya, kedua penutur
tersebut bergantian menuturkan segmen ke tujuh.
Penutur pertama menuturkan cerita dalam kacamata orang pertama. Ia muncul dan
terlihat dalam wacana sebagai sang tokoh utama. Di segmen pertama, ia menceritakan peristiwa
pencopetan yang terjadi padanya di dalam bus kota yang menuju wilayah Cawang pada pukul ‘lima
sore lebih’ (Dahana, 2005: 31) yang berakhir dengan istri penutur yang ‘mengumpat habis di rumah’
(33). Selanjutnya pada segmen ke tiga, penutur yang juga tokoh bercerita tentang masalah yang
muncul akibat tingkah polah Padri, anak sulungnya yang berada di polsek akibat ‘ketahuan
123 | BASINDO : Jurnal Kajian Bahasa, Sastra Indonesia, dan Pembelajarannya
mengganja di kolong jembatan Krukut’ (34-35). Di segmen ke lima, penutur menceritakan pengalaman
kencannya bersama seorang waria dan imajinasi yang muncul karena pengalamannya tersebut
hingga ia ‘pulang dan melihat semua seperti baru’ (37-40).
Sementara itu, penutur kedua adalah orang ketiga yang menceritakan segala hal tentang
sang tokoh utama. Di segmen ke dua penutur seakan-akan turut duduk bersama tokoh utama
untuk menyaksikan ‘siaran televisi menjelang malam itu’ sambil juga menceritakan apa yang dilakukan
oleh sang tokoh saat menonton hingga esok pagi ketika sang tokoh tak lagi berteriak saat
‘menemukan ulat dalam sayur sawi buatan istrinya’ dan memilih untuk coba mengunyah dan
menelannya (33-34). Di segmen ke empat, penutur barulah memberi tahu bahwa ‘lelaki 30
tahunan’ yang diceritakannya itu bernama Songkang, yang pada saat itu sedang mengamati Ipung,
bocah ‘belum tujuh tahun’ yang meninggal lantaran ‘disodomi delapan orang’ sambil ‘dicekik agar tidak
berteriak’. Segmen ke empat berakhir dengan lamunan Songkang mengenai Ipung yang buyar
akibat ia teringat akan anaknya (35-37). Segmen ke enam sedikit berbeda. Penutur tidak lagi
menceritakan tentang gerak-gerik Songkang melainkan tentang orang-orang di sekitar Songkang
karena ia ‘sudah tiga hari tak keluar rumahnya’ (40-41).
Segmen ke tujuh adalah yang paling unik sekaligus paling membingungkan. Diceritakan
dalam lima paragraf, paragraf pertama dituturkan oleh penutur pertama, yakni tokoh ‘aku’
Songkang. Dalam paragraf ke dua inilah terjadi pergantian penutur dari penutur pertama ke
penutur kedua yang kemudian menuturkan paragraf ke tiga dan ke empat. Satu titik yang
memunculkan kebingungan adalah fakta pada paragraf ke tiga dan ke empat bahwa Songkang
ditemukan ‘sudah menjadi mayat’. Ia ‘bunuh diri karena frustasi’ (42). Jika Songkang sudah mati, lalu
siapa tokoh ‘aku’ yang menuturkan kalimat-kalimat di paragraf pertama? Jawabannya mungkin
sama tidak masuk akalnya dengan keberadaan penutur tersebut, bahwa paragraf pertama
dituturkan oleh arwah ‘aku’ yang masih berkeliaran di sekitar rumah menunggu orang-orang
menemukan jasadnya. Jawaban tersebut didasarkan pada kalimat ‘Aku pasti gembira melihat mimik
mereka’ (42). Kata ‘aku’ di kalimat tersebut bukanlah ‘aku’ penutur, sebab adanya kata ‘pasti’ di
situ. Jika ‘aku’ adalah ‘aku’ penutur seharusnya kalimat tersebut berbunyi: ‘aku sungguh gembira
melihat mimik mereka’. Kata ‘pasti’ dalam kalimat di atas seakan memunculkan pengandaian
bahwa jika ‘aku’ Songkang yang telah mati itu bisa melihat mimik mereka, ‘aku’ Songkang yang
telah mati pasti gembira.
Keberadaan dua penutur yang berbeda dalan cerpen “Senja” ternyata juga diikuti oleh
rentang waktu penceritaan yang berbeda-beda di tiap segmennya. Segmen pertama diceritakan
dalam delapan paragraf dengan rentang waktu antara ‘pukul lima sore lebih’ hingga ‘tiga menit
kemudian’ (30-33). Segmen ke dua terjadi dalam rentang waktu tengah malam hingga keesokan
harinya yang diceritakan dalam empat paragraf (33-34). Segmen ke tiga memiliki lima paragraf
dengan rentang waktu yang dipercepat, yakni ‘dua minggu kemudian’ sampai ‘pagi-pagi’ setelahnya
(34-35). Segmen ke empat memiliki rentang waktu yang dimulai dari ‘kemarin’, ‘pagi hari ini’, hingga
‘malamnya’ yang terjadi dalam empat paragraf (35-37). Segmen ke lima adalah segmen yang paling
panjang dengan sepuluh paragraf meski hanya menceritakan peristiwa di Jumat petang hingga hari
pagi (37-40). Bedanya di rentang waktu tersebut hanya berisi tentang hayalan tokoh mengenai
kesenangannya bersama waria. Segmen ke enam berisi empat paragraf dengan rentang waktu ‘pagi
itu’ setelah ‘Songkang sudah tiga hari tak keluar rumahnya’ (40-41). Segmen terakhir terdiri dari lima
paragraf yang menceritakan peristiwa dalam rumah Songkang beberapa saat sebelum ‘senja di luar
datang’ (41-43).
Pembahasan
Melalui beberapa konsep dalam naratologi Genette di atas, penceritaan dalam tiga cerpen
“Cinta”, “Waktu Nayla”, dan “Senja” bisa dipetakan sebagai berikut.
Cerpen
Elemen
“Cinta” “Waktu Nayla” “Senja”
Dari pemetaan tersebut bisa dikatakan bahwa rentang waktu yang dipercepat dalam
cerpen “Cinta” menunjukkan wajah masyarakat dalam menghadapi persoalan perselingkuhan.
Awalnya mereka akan begitu bersemangat membahasnya, namun seiring waktu berjalan masalah
tersebut sedikit demi sedikit akan terlupakan, seperti juga penceritaan “Cinta” yang waktunya
semakin lama semakin dipercepat. Cerpen ini menunjukkan bagaimana suatu pernikahan yang
berlanjut pada perselingkuhan dan akan berakhir dengan perceraian ditanggapi dengan biasa saja
oleh para tokoh yang bersangkutan. Tidak ditunjukkan kemarahan atau kesedihan dari pasangan
yang dikhianati. Yang terlihat justru betapa pasangan yang berselingkuh menikmati kebersamaan
mereka tak pedulu dengan carut-marut yang terjadi di sekitar mereka.
Sementara itu, permasalahan yang dihadapi Nayla tidak bisa membuatnya bersikap biasa
layaknya Hayati, Sukab, Waleh, dan Dullah. Kanker rahim yang diidapnya memaksa Nayla
berlomba dengan waktu yang tersisa. Hanya saja, semakin ia berusaha mengalahkan waktu,
semakin waktu membuatnya diam di tempat. Waktu penceritaan “Waktu Nayla” yang tidak
bergerak bisa dimaknai sebagai sikap lain dalam menghadapi gejolak hidup dengan tidak bergerak
kemana-mana. Yang bisa dilakukan hanya melambungkan lamunan dan mimpi-mimpi tanpa
peduli bahwa waktu akan terus berlari.
Wajah ketiga dimunculkan oleh tokoh Songkang yang memilih mengakhiri hidup daripada
terus dirundung frustasi. Perubahan penutur dan perbedaan sudut pandang bisa jadi merupakan
perlambang ketidak konsistenan sifat manusia. Apa yang nampak kadang tidak sesuai dengan
yang tidak nampak. Seorang yang nampak baik-baik saja dalam waktu singkat bisa saja berubah
menjadi sosok yang tidak bisa dipahami. Terakhir, wajah manakah yang kita tunjukkan saat
permasalahan hidup datang menghampiri?
PENUTUP
Aspek penceritaan pada tiga cerita pendek (cerpen) terbaik pilihan Kompas di tahun
2000-an dengan naratologi Genette berfokus pada konsep durasi (duration), fokalisasi (focalization),
dan penutur (person). Hasil menunjukkan bahwa aspek penceritaan pada masing-masing cerpen
menyiratkan sikap masyarakat terhadap permasalahan yang dimunculkan dalam ketiga cerpen
tersebut.
Daftar Pustaka
Ajidarma, S. G. (2007). “Cinta di Atas Perahu Cadik.” In Cinta di Atas Perahu Cadik: Cerpen Kompas
Pilihan 2007. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Ayu, D. M. (2003). “Waktu Nayla.” In Waktu Nayla: cerpen Pilihan Kompas 2003. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas.
Cuddon, J. A. (1998). The Penguin Dictionary of Literary Terms and Literary Theory. London: Penguin
Books.
Dahana, R. P. (2005). “Senja Buram, Daging di Mulutnya.” In Jl. “Asmaradana”: Cerpen Pilihan
kompas 2005. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Fludernik, M. (2009). An Introduction to Narratology. London: Routledge.
Genette, G. (1983). Narrative Discourse: An Essay in Method. New York: Cornell University Press.
Abstract. This study aims to describe the narrative structure of Osakat Anak Asmat
novel by Ani Sekarningsih. The narrative structure of the novel OAA analyzed
based on Gerard Genette's theoretical perspective, which focuses on five narrative
structures, namely order, duration, frequency, mood, and voice. The method used
is qualitative descriptive. The data analysis is based on Genette's theory of
nathology which includes two stages, namely partial analysis and integral analysis.
Based on the results of the research, the OAA novel narrative structure structure is
as follows. First, the OAA novel formula is structured in the narrative sequence of
the achrony. Secondly, there are two narrative duration movements used, ie scene
and pause. Third, the narrative frequency used in the novel is a singular
representation. Fourth, narrative mood of OAA novel is narrator technique outside
story, focalization technique used is zero focalization. Fifth, narrator techniques and
focalizations of OAA novels relate to the level of narrative sounds that are
heterodiegetik-ekstradiegetik.
*
Artikel ini diambil dari sebagian kajian disertasi penulis pada PPs Universitas Negeri Surabaya
(2017)
PENDAHULUAN
Novel Osakat Anak Asmat karya Ani Sekarningsih merupakan salah satu novel
etnografis Indonesia. Novel Osakat Anak Asmat (selanjutnya disingkat OAA) dapat
disebut sebagai novel etnografis karena di dalamnya banyak mendeskripsikan atau
menggambarkan kebudayaan suku Asmat di Papua. Dengan membaca novel ini,
pembaca seolah-olah diajak berwisata budaya ke tanah Papua, khususnya ke suku
Asmat. Tidak hanya mengenalkan berbagai aturan adat dan budaya suku Asmat,
novel itu pun memberikan deskripsi tentang pola pikir dan pola tingkah laku
masyarakat setempat sebagai bentuk ekspresi mereka terhadap kehidupan.
Singkatnya, novel OAA GDSDW PHQMDGL ³MHQGHOD´ EDJL siapa saja yang ingin
mengenali suku Asmat di Papua.
Salah satu kekuatan dari novel ini adalah konstruksi penceritaannya yang mampu
merepresentasikan kehidupan masyarakat Asmat dari sudut pandang pengarang
atau narator orang luar (outsider). Sebagaimana diketahui bahwa pengarang/narator
yaitu Ani Sekarningsih merupakan orang luar Asmat yang hanya melakukan
perjalanan ke Asmat Papua. Berbagai pengalaman dan pengamatannya terhadap
pola kebudayaan suku Asmat ditransformasikan salah satunya ke dalam novel
OAA. Harus diakui bahwa tidaklah mudah mentransformasikan peristiwa-peristiwa
realistis yang didasarkan pada pengalaman dan pengamatan visual menjadi
peristiwa-peristiwa imajinatif melalui cerita. Dalam hal ini, perlu kepiawaian dan
kreativitas khusus dalam merekonstruksi peristiwa nyata ke dalam konstruksi
naratif imajinatif.
Aspek naratif (narrative) atau penceritaan menjadi salah satu aspek terpenting
dalam sebuah novel. Naratif menjadi kekuatan utama dari novel sehingga mampu
menarik perhatian pembacanya. Bahkan, dapat dikatakan bahwa tidaklah mungkin
sebuah novel ada tanpa unsur naratif di dalamnya. Dengan hadirnya unsur-unsur
naratif, sebuah novel menjadi lebih hidup. Peristiwa-peristiwa (events) nyata dalam
kehidupan tidak akan mungkin dapat tersaji menjadi peristiwa-peristiwa imajinatif,
jika pengarang tidak kreatif dalam meyusunnya ke dalam bentuk naratif.
Struktur naratif, menurut Genette (1980), terdiri atas lima kategori utama, yaitu (1)
urutan naratif (order), (2) durasi naratif (duration), (3) frekuensi naratif
(frequency), (4) modus naratif (mood), dan (5) suara naratif (voice). Pertama,
urutan naratif (order) mengacu pada hubungan antara urutan kejadian dalam cerita
dan pengaturannya dalam cerita. Urutan penyajian cerita dapat secara kronologis
atau berurutan maju (prolepsis), dan dapat pula secara non-kronologis atau kilas
balik flashback (analepsis). Kedua, durasi naratif (duration) yang menggambarkan
perbedaan antara waktu yang sebenarnya dari suatu peristiwa (discourse time) dan
waktu yang dibutuhkan narator untuk menceritakan peristiwa tersebut (narrative
time). Ketiga, frekuensi naratif (frequency) berhubungan dengan keseringan sebuah
peristiwa terjadi dalam cerita dan seberapa sering peristiwa tersebut disebutkan
dalam cerita. Keempat, modus naratif (mood) yang memfokuskan pada konsep
µMDUDN¶ distance GDQ µSHUVSHNWLI¶ perspective) atau fokalisasi (focalization).
Kelima, suara naratif (voice) berhubungan dengan siapa yang bercerita, dan dari
mana ia bercerita.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif.
Artinya, data penelitian yang berupa data kata, kalimat, dan paragraf,
dideskripsikan secara detail sehingga menemukan makna yang utuh dari objek
penelitian. Analisis data didasarkan pada teori naratologi Genette seperti yang telah
dikembangkan oleh Didipu (2017) yang meliputi dua tahapan, yaitu analisis parsial
dan analisis integral. Analisis parsial dilakukan dengan mengidentifikasi masing-
masing unsur naratif secara terpisah yang terdiri atas urutan naratif (order), durasi
naratif (duration), frekuensi naratif (frequency), modus naratif (mood), dan suara
naratif (voice). Setelah analisis parsial pada masing-masing unsur, analisis
diarahkan pada keterjalinan unsur-unsur naratif tersebut secara integral. Analisis
integral ini dimaksudkan untuk mendapatkan makna keseluruhan dari struktur
naratif novel etnografis.
Waktu Waktu
Peristiwa Cerita
Cerita Penceritaan
Osakat menjalani keseharian dengan
1 A
bermain dan sekolah
Berdasarkan pola formula urutan waktu cerita dan waktu penceritaan yang
dikemukakan oleh Genette, maka formula cerita novel OAA adalah sebagai berikut.
A1-B2-C3-D4-E5-F6-G7-H8-I9-J10-K11-L12-M13-N14-O15
Novel OAA terdiri atas delapan bab. Setiap bab berisi satu peristiwa yang dialami
oleh tokoh utama cerita yaitu seorang anak Asmat yang bernama Osakat. Walaupun
demikian, peristiwa demi peristiwa dalam novel disusun secara akroni. Cerita
diawali dengan rutinitas keseharian Osakat yaitu sekolah dan bermain, menangkap
ikan, dan sebagainya. Osakat berharap bisa sebebas teman-temannya yang lain,
yang hanya sekolah jika mereka mau ke sekolah. Namun orang tua Osakat tetap
mengarahkannya untuk mengutamakan sekolah daripada kegiatan lainnya. Pada
bab 2, cerita beralih pada peristiwa upacara adat mbis atau upacara adat tonggak
leluhur. Pada kesempatan tersebut Osakat mengajak teman-temannya untuk
menyusup ke dalam rumah adat jew untuk mencuri bungkusan ulat sagu. Namun
mereka ketahuan oleh seorang pemangku adat dan meminta mereka menyerahkan
bungkusan ulat sagu atau akan disidangkan secara hokum ada Asmat.
Peristiwa berlanjut pada bab 3 tentang usaha Osakat untuk membawa adik
temannya yang sakit ke puskesmas. Osakat mengajak Kalektuske untuk menjenguk
adik Wafoco yang sudah beberapa minggu sakit di rumahnya. Osakat mengusulkan
agar adiknya dibawa ke puskesmas, namun ibu Wafoco menolak. Akhirnya Osakat
meminta bantuan ibunya dan suster untuk membujuk ibu Wafoco hingga ia bersedia
membawa anaknya ke puskesmas. Cerita kemudian beralih ke bab 4 yang berkisah
tentang guru Osakat yang bernama Pak Guru Kindom yang kesal dan marah di kelas
Osakat karena tidak satu pun di antara mereka yang mau membantunya
memperbaiki atap rumahnya yang rusak. Akibatnya, Pak Guru Kindom
memutuskan untuk tidak mengajar lagi di kelas Osakat karena dia masih harus
memperbaiki atap rumahnya. Osakat berinisiasi dengan mengajak teman-temannya
yang lain untuk mencari daun-daun rumbia di hutan. Mereka pun membantu Pak
Guru Kindom memperbaiki atap rumahnya. Pak Guru Kindom menjadi senang dan
berterima kasih sehingga memutuskan untuk mengajar kembali di kelas Osakat.
Pada bab 5, cerita beralih pada peristiwa datangnya kapal perang ke dermaga.
Harapan Osakat untuk bisa naik dan melihat-lihat isi kapal akhirnya terwujud
setelah Kepala Sekolah menyampaikan pengumuman bahwa semua siswa di
sekolahnya diundang untuk melihat dan bertanya langsung ke atas kapal perang.
Hal itu tidak disia-siakan oleh Osakat dengan banyak bertanya kepada para ABK
dan petugas kapal tentang sejarah, fungsi, dan berbagai hal tentang kapal perang
tersebut. Ternyata rasa ingin tahu Osakat dan beberapa temannya menarik perhatian
Komandan kapal tersebut hingga mereka diajak makan oleh Komandan dan para
petinggi di kapal tersebut. Peristiwa selanjutnya beralih ke bab 6 tentang pertemuan
Osakat dengan Gunter, seorang turis kebangsaan Jerman yang hendak meneliti
kebudayaan Asmat. Gunter mengajak Osakat untuk mendampinginya melakukan
perjalanan untuk mengunjungi kelompok-kelompok suku yang ada di Gunung
Brazza. Osakat pun mengonsultasikan rencana tersebut dengan ayahnya. Tanpa
ragu dan dengan memberikan pesan-pesan tentang berbagai aturan dan hokum adat
Asmat, ayahnya pun mengizinkannya mendampingi Gunter.
Papa bab 7 peristiwa berlanjut pada perjalanan Osakat, Gunter, dan rombongan.
Mereka menelusuri lembah dan rimba rawa Asmat, menuju ke beberapa
perkampungan dan sekolah di Asmat. Dalam perjalanan tersebut mereka banyak
menyaksikan keunikan tanaman yang hidup di bumi Asmat. Tidak sedikit pula
mereka melewati beberapa perkampungan dengan ciri budaya dan dialek sendiri.
Bab terakhir berkisah tentang keinginan Osakat mengikuti lomba anak berbakat dan
berprestasi tingkat kecamatan yang digelar dalam rangka hari kemerdekaan 17
Agustus. Untuk mempersiapkan dirinya, Osakat terus mengasah kreativitasnya
mengukir patung hingga harus menyepi ke tengah hutan. Hasil ukirannya pun
selesai dan siap dinilai oleh tim juri. Tak disangka akhirnya Osakat menjadi juara
umum lomba pengukir terbaik. Sebagai bentuk penghargaan, seorang pengusaha
sukses memberikannya beasiswa hingga perguruan tinggi.
Jeda (pause) terjadi jika naratif terputus karena disisipi oleh cerita lain yang sifatnya
tidak dominan. Dalam jeda, waktu naratif tetap menduduki posisi dominan,
sedangkan waktu cerita hanya menjadi bagian kecil naratif. Berikut beberapa
contoh jeda di dalam novel Osakat Anak Asmat.
Ketiga sahabatnya itu, Bicem, Wafoco, dan Kalaktuske sering turut dengan
ayahnya menebang jauh ke hutan. Berminggu-minggu tidak sekolah. Ia
pernah dibuat kagum oleh ketiga temannya yang menceritakan wajah Pak
Guru Mathias Simpu, yang menjemput ketiga sahabat tersebut dengan suara
memelas, agar sekolah. Ayah mereka menyambutnya dengan busur panah
yang terpentang.
³$QDN LWX PLOLN NDPL *XUX %DQ\DN \DQJ PHUHND KDUXV NHUMDNDQ 'LVLQL
PHUHND PHQGDSDW XSDK VHGDQJNDQ GL VHNRODK WLGDN ´
³%XNDQ EHJLWX %DSDN =DPDQ EHUXEDK WHUXV .LWD GLWXQWXW KDUXV MDGL OHELK
FHUGDV $QGDL PHPEDFD PHQXOLV GDQ EHUKLWXQJ ´ NDWD 3DN *XUX 0athias.
³$SDNDK JXUX PHQMDPLQ DQDN VD\D GDSDW PHQMDGL FDPDW GL NHPXGLDQ KDUL"´
tantang ayah mereka dengan suara bersamaan.
(Sekarningsih, 2002:3)
Data novel di atas dikatakan jeda karena hanya diceritakan sekilas oleh narator.
Ketika itu tokoh Osakat kesal karena ibunya selalu memaksanya untuk ke sekolah.
Ia berharap ibunya seperti orang tua ketiga temannya tersebut, yang justru lebih
suka mengajak anak mereka ke hutan. Bahkan, ketika ada guru mereka yang
menjemput mereka untuk ke sekolah, ayah mereka justru menantang guru tersebut.
Kisah itu diceritakan secara sepintas yang hanya untuk memperkuat alasan pikiran
Osakat sehingga pembaca menjadi lebih mengetahui apa yang dipikirkannya.
Contoh lain dari jeda di dalam novel dapat dilihat pada data berikut ini.
Tiba-tiba Osakat teringat bahwa sudah dua minggu adik Wafoco, Banew,
tergolek sakit, sejak keluarga itu pulang dari penebangan di hutan.
Setahunya, sampai dengan hari kemarin belum seorang pun membawanya
ke Puskesmas. Lima hari lalu, Osakat melihat Pak Tua Jokor, seorang
cenayang terkemuka, menyulut tubuh kecil itu dengan sepotong punting
kayu bara yang menyala pada dada kirinya hingga menimbulkan jeritan
panjang yang mengenaskan.
³$K EDJDLPDQD NHDGDDQ DQDN SHUHPSXDQ LWX ´ ,D EHUELFDUD VHQGLUL
(Sekarningsih, 2002:15)
Data di atas merupakan jeda singkat ketika Osakat sedang memahat ukiran patung
barunya. Tiba-tiba ia teringat adik temannya yang sedang sakit. Sekilas narator
menyisipkan cerita singkat dalam ingat Osakat yang nantinya menjadi bagian
pokok cerita pada bab 3. Ingatan Osakat pada adik temannya, Wafoco, menjadi jeda
singkat yang mengantarkan cerita pada usaha Osakat membujuk ibu Wafoco dan
membawa adiknya Banew berobat ke Puskesmas. Usaha itu akhirnya tidak sia-sia
karena pada akhirnya Ibu Wafoco mau membawa anaknya berobat ke Puskesmas.
Data di atas merupakan contoh peristiwa penting yang dialami oleh Osakat dan
teman-temannya yang kedapatan mencuri bungkusan ulat sagu di dalam rumah
adat. Dalam prosesi peradatan suku Asmat, bungkusan ulat sagu merupakan salah
satu makanan khas yang disajikan pada saat prosesi upacara sakral mbis atau
upacara tonggak leluhur. Setelah prosesi selesai, setiap kepala keluarga
mendapatkan jatah bungkusan ulat sagu yang selanjutnya dibagikan kepada seluruh
anggota keluarganya. Karena merasa hanya sering mendapat jatah sedikit, Osakat
dan teman-temannya mencuri bungkusan ulat sagu yang tersimpan di dalam rumah
adat. Pada akhirnya ketahuan oleh pemangku adat. Peristiwa ini hanya diceritakan
sekali di dalam novel, tepatnya pada halaman 11.
Contoh kedua di bawah ini adalah peristiwa penting yang dirasakan oleh Osakat
ketika dinyatakan sebagai pemenang lomba mengukir dan anak berbakat dalam
rangka 17 Agustus. Osakat merasa sangat senang karena mampu menunjukkan
kemampuannya mengukir patung dengan jelimet dan mampu menjadi yang terbaik
Dominasi durasi frekuensi tunggal dalam novel OAA mendukung hadirnya pola
urutan naratif yang sifatnya akroni. Penceritaan tunggal terhadap satu peristiwa
menyebabkan urutan naratif berjalan sejajar antara waktu cerita (story time) dan
waktu penceritaannya (narrative time). Selain itu, dominasi frekuensi tunggal
digunakan oleh pengarang untuk bisa lebih banyak mendeskripsikan hal-hal yang
dirasa penting diceritakan, yaitu deskripsi kebudayaan. Dengan kalimat lain,
frekuensi tunggal memungkinkan pengarang untuk lebih banyak mendeskripsikan
aspek kebudayaan masyarakat suku Asmat, terutama yang berkaitan dengan
berbagai pola pikir dan perilaku masyarakat setempat dalam berinteraksi sosial.
Teknik fokalisasi yang digunakan adalah fokalisasi nol, yaitu narator tahu lebih
tentang apa yang diketahui oleh satu atau beberapa tokoh. Narator mahatahu
berbagai hal tentang tokoh di dalam cerita. Bentuk fisik, apa yang dirasakan, apa
yang dipikirkan, bahkan apa yang akan dialami oleh tokoh bisa diprediksi. Tidak
hanya pada satu tokoh utama, namun sampai beberapa tokoh. Berikut contoh teknik
fokalisasi dalam novel Osakat.
Usia Osakat sekarang empat belas tahun. Badannya tegap, kukuh, serta
padat berisi. Rambutnya keriting lada, berwarna hitam pekat. Baru enam
bulan ia duduk di kelas satu SMP. Sementara Bicem dan Wafoco yang
berusia 16 dan bertumbuh tinggi dari Osakat masih duduk di kelas 5. Owey
dan Kalektuske sebaya dengan Osakat, masih duduk dikelas 4, murid
ibunya.
(Sekarningsih, 2002:3)
Ceritanya, Pak Guru Kindom kesal. Rumahnya sudah banyak bocor. Untuk
menyiangi atap daun rumbia rumahnya ia harus mencari bahan-bahannya
sendiri di hutan. Akan tetapi, pekerjaan mengajarnya tidak sedikit. Ia harus
membuat persiapan, membuat soal-soal ulangan, dan memeriksa hasil-hasil
ulangannya sekaligus. Sementara murid-murid kelasa tiga harus
dipersiapkan lebih ketat menghadapi ujian akhir yang sudah mendesak.
Padahal ia juga masih harus tambahan penghasilan karena gaji yang
diterimanya selalu terlambat, tidak cukup. Sedangkan biaya di daerah
terpencil seperti Asmat, mencekik leher.
(Sekarningsih, 2002:22)
Pada data pertama, narator mendeskripsikan bentuk fisik tokoh Osakat dan tokoh-
tokoh lainnya. Secara detail narator menggambarkan bentuk tubuh, tinggi badan,
hingga usia mereka. Penggambaran seperti ini lebih mengkonkretkan kehadiran
tokoh-tokoh cerita sehingga pembaca secara imajinatif dapat membayangkan
keadaan fisik tokoh-tokoh tersebut. Pada data kedua, narator menggambarkan
perasaan kesal tokoh Pak Guru Kindom yang merasa kesal karena harus
memperbaiki rumahnya di tengah-tengah himpitan tugas mengajarnya. Dua contoh
Waktu penceritaan yang simultaneous sesuai dengan teknik waktu naratif yang
digunakan dalam novel ini yaitu akroni. Untuk jelasnya, berikut dua data peristiwa
yang menggambarkan waktu penceritaan simultaneous atau waktu penceritaan
masa kini dalam novel Osakat Anak Asmat.
Pertama kali Osakat masuk dalam lingkungan rumah adat, tepat saat
diadakan awal pesta upacara mbis. Yakni upacara membuat tonggak leluhur
berupa patung bersusun setinggi 12 m terbuat dari jenis pohon bakau yang
mempunyai akar papan yang lebar. Guna memperingati meninggalnya salah
seorang kakek dari pihak Enakap, ayah Osakat.
(Sekarningsih, 2002:5)
Osakat tidak sepenuhnya memahami dialeg bahasa mereka. Namun, hampir
setiap irama lagu, Osakat dapat merasakan irama napas alam itu sendiri.
Penaklukan terhadap kekalahan dan kemenangan selama berates-ratus tahun
yang mewarnai hidup orang-orang yang akrab dengan hutan rawa. Ada
semacam nada kerinduan pada keheningan semesta yang entah di mana.
Kecuali mengatasnamakan tiap peristiwa pada dunia arwah para leluhur.
Gunter menyerahkan tembakau Lampion dan beberapa bungkus rokok
kepada salah seorang di antara mereka.
(Sekarningsih, 2002:48)
Dua data di atas merupakan contoh peristiwa yang dialami oleh tokoh utama yaitu
Osakat. Dua contoh peristiwa tersebut terjadi secara kronologis dan berurut sesuai
alur cerita. Peristiwa pertama terjadi ketika Osakat diajak oleh ayahnya pergi ke
rumah adat untuk menyaksikan upacara sacral yaitu upacara adat mbis. Peristiwa
ini diceritakan oleh narator pada bagian-bagian awal cerita. Peristiwa kedua
merupakan contoh peristiwa yang dijalani oleh Osakat ketika ia mendampingi
Gunter, seorang turis asal Jerman, yang sedang melakukan penelitian kebudayaan
di Asmat. Semua peristiwa diceritakan secara kronologis atau akroni dengan waktu
penceritaan yang sama dengan peristiwa yang dialami oleh tokoh.
Dalam dua data novel di atas, narator memosisikan dirinya sebagai pengamat yang
melaporkan apa yang diamatinya tentang tokoh-tokoh di dalam cerita. Data pertama
tampak narator bercerita tentang tokoh Gunter yang kagum akan kekayaan alam
dan budaya suku Asmat. Demikian pula pada data kedua, narator mengamati secara
detail dan menyampaikan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh tokoh Osakat
kepada pembaca. Teknik narator heterodiegetik ini sangat relevan dengan teknik
fokalisasi yang digunakan oleh pengarang, yaitu fokalisasi nol.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan disimpulkan struktur naratif novel
Osakat Anak Asmat karya Ani Sekarningsih sebagai berikut. Pertama, formula
novel OAA disusun dengan pola urutan naratif yang akroni (achrony), yaitu
terdapat kesejajaran antara waktu cerita dan waktu penceritaannya. Kedua, terdapat
dua gerakan durasi naratif yang digunakan, yaitu adegan (scene) dan jeda (pause).
Adegan lebih dominan di dalam cerita karena mendukung hadirnya urutan naratif
akroni yang menyejajarkan waktu cerita dan waktu naratifnya. Sementara jeda
hanya ditemukan pada beberapa bagian cerita. Ketiga, frekuensi naratif yang
digunakan di dalam novel adalah representasi tunggal (singulative representation).
Artinya, setiap peristiwa yang terjadi sekali di dalam novel hanya dikisahkan atau
diceritakan sekali pula. Frekuensi naratif tunggal mendukung hadirnya urutan
naratif yang akroni. Selain itu, hal tersebut memungkinkan pengarang untuk
mendeskripsikan kebudayaan suku Asmat lebih banyak lagi. Keempat, modus
naratif novel OAA adalah teknik narator di luar cerita, teknik fokalisasi yang
digunakan adalah fokalisasi nol, yaitu narator tahu lebih tentang apa yang diketahui
oleh satu atau beberapa tokoh. Teknik narator dan fokalisasi novel OAA
berhubungan dengan tingkat suara naratifnya yaitu ekstradiegetik-heterodiegetik.
Tingkat naratif ekstradiegetik-heterodiegetik, yaitu tingkat naratif pertama yang
naratornya tidak hadir dalam ceritanya. Adapun waktu penceritaan novel OAA
adalah simultaneous atau penceritaan masa kini, yaitu teknik penceritaan yang
mengambil latar waktu penceritaan pada satu masa yang terjadi di dalam novel.
DAFTAR PUSTAKA
Didipu, Herman. (2017). Struktur dan Simbol Narasi Budaya dalam Novel
Etnografis: Kajian Interpretatif Simbolik. Disertasi tidak diterbitkan.
Surabaya, PPs UNESA.
Genette, Gérard. (1980). Narrative Discourse: An Essay in Method. Translated by
Jane E. Lewin. New York: Cornell University Press.
Sekarningsih, Ani. (2002). Oskata Anak Asmat. Jakarta: Dewata Publishing.