Anda di halaman 1dari 33

Vol. 12 No.

01, Januari-April 2020


hlm. 56-68
p-ISSN: 2085-2274, e-ISSN 2502-227X DOI: 10.30998/deiksis.v12i01.4215

FOKALISASI DALAM NOVEL SEMUA IKAN DI LANGIT


KARYA ZIGGY ZEZSYAZEOVIENNAZABRIZKIE
(SUATU KAJIAN NARATOLOGI)

Rendy Pribadi1, M. Rinzat Iriyansah2


1
Program Magister Pendidikan Bahasa, Universitas Negeri Jakarta
2
Prodi Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Indraprasta PGRI
1
Rendypribadi_pb18s2@mahasiswaunj.ac.id, 2Rinzat@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui simbol dalam novel Semua Ikan Di Langit karangan
Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie dari unsur cerita (narasi) dialog, dan laku dari tokoh-tokohnya.
Terdapat sebuah teknik yang berbeda saat beberapa tokoh menceritakan kehidupannya, mulai dari
simbol ikan, bus, dan kecoa serta obyek beliau yang selalu hadir kala di awal dan akhir bahkan
seluruh bab. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode pengumpulan data
menggunakan metode kepustakaan. Teknik analisis isi. Penulis menemukan sejumlah teknik
bercerita; 1. Fokalisasi interen (“saya”) berdasarkan narator, 2. Fokalisasi ekstern dengan bentuk
simbol, 3. Cerita harmonis dan miris dalam satu bingkai novel tersebut.

Kata Kunci: Fokalisasi, Naratologi

Abstract

This study aims to find out the symbols in the novel All Fish in the Sky by Ziggy
Zezsyazeoviennazabrizkie from the elements of the story (narration) dialogue, and the behavior of
the characters. There is a different technique when some characters tell their lives, ranging from
symbols of fish, buses, and cockroaches and objects that are always present at the beginning and
end of all chapters. This study uses a qualitative approach with data collection methods using the
library method. Content analysis technique. The author finds a number of storytelling techniques;
1. Internal vocalization ("I") based on the narrator, 2. External vocalization with symbolic form,
3. Harmonious and sad story in one frame of the novel

Keywords: Focalisation, Naratology

PENDAHULUAN
Jika kita hendak memahami strukturalisme dalam naratologi melalui pengertian
struktur sebagai “sebuah bangun abstrak yang terdiri atas sejumlah komponen yang
berkaitan satu sama lain untuk membentuk struktur itu, ada dua aspek penting yang perlu
digarisbawahi (Ridho, 2013). Pertama, yang penting di dalam struktur adalah abstraksi
atau model, bukan benda atau material. Dari segi ini, pandangan dunia yang disebut
strukturalisme pada dasarnya lebih dekat dengan asumsi-asumsi idealisme daripada
realisme. Kesenjangan ini yang di kemudian hari hendak dicoba diatasi dalam
perkembangan strukturalisme itu sendiri.

56
Fokalisasi dalam Novel Semua Ikan di Langit Karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
(Suatu Kajian Naratologi)
(Rendy Pribadi, M. Rinzat Iriyansah)

Kedua, struktur mengandaikan adanya hubungan (relasi) antar komponen (unsur)


yang membentuknya, yang disebut juga dengan istilah difference. Berbeda dengan
positivisme yang cenderung mengutamakan kausalitas yang ketat sebagai landasan dalam
setiap relasi unsur-unsur alamiah maupun sosial, strukturalisme lebih menekankan relasi
maknawi atau simbolik, dan hal ini membuka jalan bagi ilmu-ilmu sosial dan budaya
untuk dapat keluar dari dominasi paradigma positivistik ilmu-ilmu alam.
Levi-Strauss (2005, 48) merintis jalan itu dengan ungkapannya yang
sugestif:…dalam suatu tatanan realitas yang lain, fenomena-fenomena kekerabatan
merupakan fenomena dengan jenis yang sama seperti fenomena linguistik. Dengan
mempergunakan sebuah metode yang analog dengan metode yang menyangkut bentuk
(kalau bukan menyangkut isi/kandungannya) seperti pada bentuk yang diperkenalkan
melalui fonologi, bisakah sosiolog mencapai kemajuan sebuah ilmu yang analog dengan
kemajuan yang baru saja mengambil tempat dalam ilmu-ilmu bahasa ini ? (Ridho, 2013)
(cetak miring dari Levi-Strauss)
…dalam suatu tatanan realitas yang lain, fenomena-fenomena kekerabatan
merupakan fenomena dengan jenis yang sama seperti fenomena linguistik.
Dengan mempergunakan sebuah metode yang analog dengan metode yang
menyangkut bentuk (kalau bukan menyangkut isi/kandungannya) seperti pada
bentuk yang diperkenalkan melalui fonologi, bisakah sosiolog mencapai
kemajuan sebuah ilmu yang analog dengan kemajuan yang baru saja mengambil
tempat dalam ilmu-ilmu bahasa ini? (cetak miring dari Levi-Strauss).

Konsep struktural mendapat kritik dari ilmu para ilmuwan kontemporer. Hal ini
karena yang semula mengambil bentuk strukturalisme languae dan parole- hanya
mengambil bentuk abstrak dan wujud nyata dari sebuah bahasa, kini bisa diwujudkan
dalam ilmu sastra yang lebih fleksibel dan interdisipliner terhadap ilmu lainnya, misalya
culture studies dan sosiohistoris yang menganalisis teks dari tataran riwayat dan
penceritaan. Subdisiplin ilmu lainya seperti Beberapa subdisiplin yang kemudian
merebak di antaranya adalah naratologi psikoanalitik, naratologi feminis, studi cerita
yang berorientasi cultural studies, dan studi cerita pascakolonial (Ridho, 2013). Konsep
yang diungkapkan oleh Fludernik (2005, 37) bahwa perkembangan ini mengarah pada;
“reorientation and diversification of narrative theories, producing a series of
subdisciplines that arose in reaction to post-structuralism and the paradigm shift
to cultural studies.

Setelah menekankan pada aspek interdisipliner, selanjutnya menentukan dikotomi


dari naratologi itu sendiri. Dalam pendeskripsian narativitas itu, para naratolog awal
memang masih mendasarkan diri pada model sintaksis dalam strukturalisme. Karena itu,
studi mereka masih menekankan pada salah satu tataran, yaitu story, di antara tiga levels
of narrative (tataran cerita) yang terdiri dari tataran story, text, dan narration (Ridho,
2013).
Story dalam hal ini didefinisikan oleh Rimmon-Kenan (2002) sebagai “the
narrated events, abstracted from their disposition in the text and reconstructed in
their chronological order, together with the participants in these events.”

Dalam tataran ini, yang dipersoalkan adalah bagaimana menentukan unsur


terkecil cerita dan membangun kaidah kombinasi dan permutasinya. Konsep kejadian
(event) dan peran tokoh menjadi sangat menentukan dalam hal ini, kemudian berbagai

57
DEIKSIS | Vol. 12 No.01 | Januari-April 2020: 57-69

terminologi diajukan oleh para naratolog awal ini untuk menjawab persoalan tersebut,
seperti fungsi, kalimat naratif, cardinal function, catalyzer, sphere of action, dan aktan.
Dalam konteks pencarian tata cerita di tataran story itulah narativitas pada mulanya
dipahami (Ridho, 2013).
Pada perkembangan selanjutnya, penelitian dalam naratologi bergeser dari
perhatian terhadap tataran story (riwayat) ke tataran text (teks), yaitu yang
mempertanyakan bagaimana kombinasi (urutan kronologis) kejadian dalam story
mengalami perubahan dalam tataran teks. Dalam rumusan Rimmon-Kenan (2002),
tataran ini diartikan sebagai "…

what we read. In it, the events don’t


necessarily appear in chronological order, the characteristics of the participants
is dispersed throughout, and all the items of narrative content are filtered through
some prism or perspective (‘focalizer’)."

Dengan kata lain, jika riwayat adalah hasil abstraksi, maka teks adalah sumber
abstraksi itu. Menurut Abbot (2007, 41), jika dikemukakan dalam istilah Saussure tentang
pembedaan penanda dan petanda, maka teks adalah penanda sedangkan riwayat adalah
petandanya. Meskipun urutan kronologis biasanya dianggap sebagai urutan yang normal
dan alamiah, para naratolog memandangnya sebagai semata-mata sebuah konvensi
tentang waktu karena pada dasarnya waktu juga bergerak secara serempak dan banyak-
arah (multiliniar). Karena itu, mereka membuat dikotomi penting yang khas struktural,
yaitu waktu riwayat (story time) dan waktu teks (text time). Dalam tataran teks, kejadian-
kejadian tidak mesti berurutan secara kronologis atau mengikuti waktu riwayat, tetapi
berada dalam apa yang disebut sebagai waktu teks.
Penyimpangan dari urutan kronologis ini diistilahkan sebagai anakroni (Bal
1997, 83). Jadi, pada dasarnya fenomena anakronilah yang diteliti dalam tataran teks itu.
Dalam konteks ini, studi Genette (1980) yang ekstensif dalam tataran teks memberi arah
yang inspiratif dalam pengembangan naratologi selanjutnya. Konsep-konsep penting,
seperti durasi, order, frekuensi, dan fokalisasi kemudian menjadi topik studi yang subur
bagi peneliti naratologi selanjutnya. Konsep fokalisasi—yang menggantikan konsep lama
seperti point of view dan perspektif—memicu perdebatan, tetapi juga memberi jalan pada
pendekatan naratologi kognitif akhir-akhir ini (lihat, misalnya, Hühn, Schmid, dan
Schönert 2009).
Aspek lainnya dalam tataran teks adalah karakterisasi. Aspek yang menghadirkan
karakter tidak hanya bekerja individu tetapi ia bekerja dengan sebuah kode. Cara
menemukannya menurut terminologi Barthes yakni dengan menggunakan sumbu
semantik (semantic axes) yang didasari oleh complexes of descriptions (Margolin, 2007);

“…they are not open to direct perception by us, and can be known only through
textual descriptions or inferences based on those descriptions. In fact, they are
these complexes of descriptions, not having any independent worldly existence.”

Pada tataran ketiga, yaitu tataran penceritaan (narration), para naratolog mulai
lebih banyak mempertimbangkan teori pragmatik dalam ilmu bahasa/komunikasi.
Menganalisis cerita dari tataran ini berarti berupaya melihat bahwa kejadian dan tokoh
dalam cerita tidaklah dengan sendirinya hadir di sana, tetapi diceritakan oleh pencerita
(narrator) kepada pecerita (narratee) (Ridho, 2013). Dikotomi pencerita dan pecerita

58
Fokalisasi dalam Novel Semua Ikan di Langit Karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
(Suatu Kajian Naratologi)
(Rendy Pribadi, M. Rinzat Iriyansah)

mempunyai peran yang berbeda. Pencerita bisa kita dikatakan sebagai orang yang
menceritakan sebuah riwayat kepada orang yang diceritai (pecerita). Pecerita adalah
orang yang diceritai sebuah teks atau yang mendengar sebuah simakan dari pencerita.
Berikut penjelasan dengan gambar

Gambae 1 hubungan teks riwayat, pencerita dan pecerita (Ridho, 2013)

Setelah mengalami beberapa tahap penting dalam pembentukan struktural menuju


ke arah sastra dan subdisiplin ilmu lainnya, pada tahun 1966 Perkembangan studi sastra
struktural rupanya lebih terlihat maju pesat dalam studi cerita. Pada tahun 1966, beberapa
tokoh penting strukturalisme Prancis, yaitu Barthes, Greimas, Bremond, Eco, Genette,
dan Todorov mengemukakan pandangan mereka dalam salah satu jurnal terkemuka,
Communication, tentang studi cerita secara struktural. Menurut Herman dan Vervaeck
(2001, 41), hal inilah yang memulai pembentukan bidang keilmuan “naratologi” oleh
Todorov (Ridho, 2013).
Naratologi dalam ancangan Todorov mampu untuk menguak sebuah identitas
seperti dalam studi Aimee Davis (2010) temtang orang Indonesia Tionghoa membentuk
identitasnya di masa Orde Baru. Studi naratologi lainnya yang membahas masalah
identitas dalam bingkai cerita adalah Nilan (2006) yang membedah feminis dengan
sebuah bingkai naratologis. Kemudian ada Seno Gumira Ajidarma (2009) yang
membahas Culture Studies dalam cerita silat Nagabumi dengan teknik yang sama,
naratologi.
Setelah menjabarkan denah di atas, penulis akan memberikan beberapa contoh
penerapan tentang arus kesadaran dari siapa yanng menjadi pencerita dan seperti apa
orang yang menjadi pecerita dari novel “Semua Ikan di Langit” yang kita singkat menjadi
SIdL karangan Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie yang diterjemahkan oleh Zuriyati;
Narration (pencerita) : Bus: Pertemuan kami dengan Shoshanna membuat
perjalanan terhambat cukup lama. Anpa ikan julung-julung yang cuku banyak, saya tidak
bisa terbang. (SidL, 52)
Narratee (pecerita) : Nad: “Kamu bukan Cuma berjalan keliling Bumi dan
angkasa, bus tololku yang baik,” kata Nad sambil mengusap lantai saya...”. (SIdL, 53)

59
DEIKSIS | Vol. 12 No.01 | Januari-April 2020: 57-69

Perbedaan ada pada kata kunci “siapa yang bercerita” dari dikotomi pencerita dan
pecerita. Sebuah simbol bus adalah yang adalah seorang pencerita dalam novel SIdL
menuturkan bahwa “Pertemuan kami dengan Shoshanna membuat perjalanan terhambat
cukup lama”. Sementara sebagai seorang pecerita adalah “saya” (bus) yang disapa oleh
Nad. Perasaannya ini boleh jadi mempunyai agenda untuk melanjutkan cerita tentang
kehidpannya yang terbentang luas untuk menandakan episode selanjutnya agar bisa
diikuti oleh para tokoh dan pembaca.
Pada gambar berikutnya penulis akan mencoba mengabstraksi tataran riwayat dari
cerita novel SIdL;

PECERITA ( tokoh tokoh di dalam novel yang disapa oleh pencerita)

RIWAYAT

PENCERITA (saya)

Pada gambar di atas menunjukkan bahwa peran pecerita dan pencerita menjadi
hal yang memungkinkan untuk diceritakan lebih detail karena berdasarkan riwayat,
pecerita adalah orang yang disapa kemudian diceritakan dalam sebuah teks oleh pencerita
merujuk kepada Rimmon-Kenan.

By ‘narative fiction’ I mean the narration of a succession of fictional event....Te


term narrartion suggests (1) a communication process in which the narrative as
message is transmitted by addresser to addressee and (2) the verbal nature of the
medium used to transmitt the message. It is tis that distinguishes narrative fiction
from narratives in other media, such as film, dance, or pantomime.

Yang dimaksud dengan “cerita fiksi” adalah penceritaan serangkaian kejadian


fiksi…. Istilah penceritaan mengandung arti (1) proses komunikasi yang berlangsung
ketika cerita sebagai pesan disampaikan oleh pencerita kepada pecerita dan (2) medium
verbal yang digunakan untuk menyampaikan pesan tersebut. Medium inilah yang
membedakan cerita fiksi dengan cerita yang menggunakan media lain, seperti film, tari,
atau pantomim.) (Ridho, 2013).
Dari penjelasan di atas konsep dikotomi pencerita dan pecerita adalah
memperlihatkan mana peran sebagai pencerita dan pecerita. Seorang pencerita adalah
tokoh dalam sebuah cerita yang berdasarkan riwayat dan kronoogis ia bertindak sebagai
seorang yang bercerita. Kemudian jika kita mencoba menceritakan bentuk pecerita maka
ia adalah orang yang disapa atau yang akan diajak berbicara oleh narator di dalam teks
atau cerita tersebut.
Setelah dikotomi pencerita dan pecerita telah dijelaskan, maka tahap selajutnya
akan menjelaskan bentuk arus kesadaran atau persepsi atau biasa disebut istilah fokalisasi.
Menurut Kutha Ratna (2015: 128) naratologi berasal dari bahasa Latin yaitu, dari kata
naarratio yang berarti cerita, perkataan, kisah, hikayat, sedangkan logos berarti ilmu.

60
Fokalisasi dalam Novel Semua Ikan di Langit Karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
(Suatu Kajian Naratologi)
(Rendy Pribadi, M. Rinzat Iriyansah)

Dengan demikian, naratologi dapat diartikan sebagai seperangkat konsep mengenai cerita
dan penceritaan. Naratologi juga disebut teori wacana (teks) naratif karena dalam
perkembangannya didasari atas analogi linguistik, seperti model sintaksis sebagaimana
memiliki hubungan antara subjek, predikat, dan objek penderita. Lebih lanjut, menurut
Genette (dalam Kutha Ratna, 2015: 254—255) pokok naratologi terbagi dalam lima hal,
yaitu Order atau tata yang merupakan hubungan antara peristiwa-peristiwa nyata,
peristiwa kronologis dengan peristiwa-peristiwa yang diatur kembali sebagai
dekronologisasi, duration atau durasi merupakan hubungan antara waktu cerita yang telah
berlalu, frekuensi (frequency) adalah hubungan potensial antara cerita dan pencerita
sebagai repetisi, tutur (voice) membicarakan cerita, penceritaan, dan latar belakang
sosialnya, dan modus (mood) adalah berbagai bentuk yang digunakan untuk menjelaskan
intensitas yang dibicarakan. Satu aspek dalam modus adalah fokalisasi (focalization).
Oleh karena itu, dalam penelitian ini pokok naratologi yang dipergunakan hanya
fokalisasi yang lebih mendetail tentang persepsi dari pencerita dan pecerita.
Genette (dalam Nurgiyantoro, 2013: 339) menawarkan istilah fokalisasi
(focalization), yang lebih dekat berhubungan dengan pengisahan. Fokalisasi berasal dari
kata focus yang berarti unsur yang menonjolkan sesuatu, pusat pandang atau pusat
perhatian. Menurut Luxemburg dkk., (1991: 125) fokalisasi itu sendiri menunjuk pada
pengertian adanya hubungan antara unsur-unsur peristiwa dan visi yang disajikan kepada
pembaca. Fokalisasi dalam kaitanya dengan posisi pencerita digolongkan oleh
Luxemburg dkk. (1991: 117) menjadi dua jenis, yakni (1) fokalisasi intern dan (2)
fokalisasi ekstern. Fokalisasi intern merupakan sudut pandang yang berasal dari dalam
cerita yang dapat berupa cakapan langsung, ungkapan tokoh, solilokui (curahan hati
seorang tokoh dengan berbicara seorang diri), lakuan (perbuatan atau tindakan) maupun
ungkapan seorang penutur sedangkan fokalisasi ektern disebut juga sebagai sudut
pandang menyeluruh karena sudut pandang tersebut melihat keseluruhan cerita.
Fokalisasi ekstern berkaitan dengan pencerita atau teks pencerita.
Menurut Luxemburg dkk. (1991:125—126) fokalisator atau subjek fokalisasi
dibagi menjadi tiga, yaitu fokalisator intern, fokalisator ektern, dan fokalisator kolektif.
Fokalisator intern, adalah fokalisator yang berasal dari dalam cerita. Fokalisator ekstern
adalah fokalisator yang berasal dari luar cerita. Fokalisator ekstern mengantarkan kita
kepada sudut pandang berbagai tokoh. Fokalisator kolektif merupakan beberapa
fokalisator yang memiliki sudut pandang sama dalam memandang sesuatu hal dalam
cerita. Lebih lanjut, Luxemburg dkk. (1991: 134) menyatakan bahwa proses interpretasi
cerita, latar hampir selalu menunjang makna cerita. Dengan demikian, fokalisasi memiliki
hubungan yang erat dan tidak dapat terpisahkan dengan aspek latar terjadinya peristiwa.
Keterkaitan fokalisasi dengan latar dapat dilihat melalui lakuan yang dimunculkan oleh
tokoh. Pelukisan latar dalam cerita dapat berfungsi untuk memberi latar belakang realitas
tertentu, mendapat makna dalam hubungannya dengan peristiwa (makna simbolik), atau
bisa juga berfungsi ganda. Penentuan waktu dan tempat bisa saja menyatu dengan hanya
memunculkan salah satunya, yakni memiliki sifat tempat, tetapi secara simbolik bersifat
waktu, atau sebaliknya. Penentuan waktu dan tempat juga bisa menyatu melalui suatu
tindakan yang muncul akibat fokalisasi atau persepsi.

Dikotomi subjek dan objek Fokalisasi


Tahap selanjutnya dari analisa naratologi adalah menentukan unsur-unsur fokalisor.
Seperti yang sudah diketahui bahwa fokalisor adalah bentuk sub bagian dari tataran
naratologi yang mennentukan arus sadar dari si pencerita. Istilah fokalisasi sebenarnya

61
DEIKSIS | Vol. 12 No.01 | Januari-April 2020: 57-69

didasarkan pada konsep “persepsi” (Ridho, 2013). Peran persepsi menerangkan bahwa
suatu cerita bisa dimaknai dari beberapa sudut pandang dalam seg penceritaan. Suatu
sudut pandang bisa dilihat dari aspek narator dan fokalisor. Dalam tingkat persepsi, bisa
jadi mempunyai beberapa alasan seperti contoh kaimat berikut: “Saya sangat senang
ketika ia memakai topi”. Kalimat ini mempunyai muatan persepsi dan refleksi, yakni
ketika orang teersebut tersebut melihat si dia yang memakai topi, di satu sisi, dan
“melihat” perasaan senang di dalam dirinya sendiri, di sisi lain. Persepsi pertama adalah
dia memakai topi (bentuk ril) dan persepsi kedua menyatakan perasaan senang.

Gambar 2 persepsi tingkat I dan II (Ridho, 2013)

Setelah menerangkan tingkat peresepsi maka tahap selanjutnya adalah menetukan


fokalisor (subjek) dan objek fokalisasi; fokalisasi internal dan eksternal; dan fokalisasi ke
luar dan ke dalam (Ridho, 2013). Dalam teknik penceritaan fokalisor “saya” adalah
sebuah perepsi yang memiliki arus kesadaran dari sebuah cerita. Ke “saya” ini
mempunyai kesempatan untuk melihat, merasakan, dan mendengar kejadian yang
menjadi objek dalam sebuah cerita yang dibentuk oleh sebuah cerita. Lain hal dengan
subjek, objek fokalisasi adalah bentuk abstrak dari sebuah persitiwa. Sebuah peristiwa
boleh jadi tidak mempunyai bentuk konkret ketika diterjemahkan ke dalam teks, ia hadir
dalam bentuk ide dari si fokalisor. Bisa jadi berbentuk ingatan, perasaan, dan petunjuk
yang membentuk sebuah kejadian. Berikut posisi subjek dan objek fokalisasi dalam novel
SidL.
“Dan dari tangannya, saya akhirnya mendengar suara-suara Beliau. Dan saya
hanya menemukan jawaban dai pertanyaan yang sudah sama sekali saya tanyakan:
Mengapa beliau tidak pernah mau menapakkan kakinya dan berbincang-bincang
dengan saya? Bukan karena Beliau tidak ingin dimengerti oleh saya, melainkan
karena Beliau memiliki lebih banyak pengetahuan, lebih banyak pemikiran
daripada Chinar dan anak-anaknya, dan selebihnya, yang hidup dan yang mati”.

Subjek kesadaran (fokalisor) di atas adalah “saya” yang mempunyai perasaan dan
ingatan tentang Beliau yang mempunyai ‘memiliki lebih banyak pengetahuan, lebih
banyak pemikiran’. Hal inilah yang dijadikan sebagai obyek fokalisasi karena timbul
daari perasaan dan ingatan berdasarkan cerita-cerita sebelumnya tentang beliau. Objek
fokalisasi ini berdasarkan unsur penilaian pribadi dari seorang fokalisor (saya) mengenai
Beliau. Skema fokalisor dan objek fokalisor jika dibuat bentuk bagan maka sebagai
berikut:

62
Fokalisasi dalam Novel Semua Ikan di Langit Karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
(Suatu Kajian Naratologi)
(Rendy Pribadi, M. Rinzat Iriyansah)

Fokalisor (saya) Fokalisor (saya) + Objek fokalisasi

➢ Perasaan dan ingatan


“saya” terhadap Beliau

Fokalisasi internal dan eksternal


Dalam Fokalisasi internal beberapa hal yang bisa dilihat ketika menentukan bentuk ini
adalah sebuah perbedaan antara kejadian di luar dan di dalam. Kejadian di dalam
(internal) merupakan sebuah bentuk fokalisasi yang kejadiannya dirasakan betul oleh si
“saya”. Kemudian fokalisasi eksternal adalah bentuk fokalisasi yang di dalamnya terdapat
kejadian yang dibicarakan oleh pihak lain di luar si “saya” tersebut yang seolah-olah ikut
merasakan peristiwa tersebut. Lalu fokalisasi eksternal adalah sebuah teknik penceritaan
yang seolah-olah si pencerita berada pada peristiwa tersebut. Indikasi yang melekat kuat
pada dalam ceita berupa ingatan dan pengalaman dari si narator kepada tokoh lainnya
Lain hal jika melihat dari fokalisor internal, maka fokalisor eksternal adalah tokoh
baru yang dibentuk oleh narator. Dalam cerpen “Hikayat Siti Rahima” (HSR) ada indikasi
fokalisor eksternal tokoh “akuan” yang memerankan sebatang pohon asam kemudian
“akuan” yang lainnya adalah seorang perempuan (Ridho, 2013). Pada paragraf pertama,
fokalisornya adalah “aku” yang mengaku dirinya adalah sebatang pohon asam. Dia
mengakui hal itu di hadapan tokoh lain yang disebutnya, “Tuan”. Pengakuan ini
merupakan sebuah kejadian di awal cerpen, dan si “aku” merupakan salah satu tokoh yang
berada di dalam kejadian tersebut bersama dengan tokoh “Tuan”. Karena itu, fokalisasi
pada paragraf pertama ini adalah fokalisasi internal. Semua objek fokalisasi pada paragraf
pertama ini—yaitu perasaan senang dalam dirinya ketika bercerita, orang-orang yang
tertidur di gerowong tubuh si “aku”, dan si ‘Tuan” yang kini berada di hadapannya—
semua itu dilihat dalam kesadaran si “aku” sebagai fokalisor internal.
Namun, pada paragraf kedua, si “aku” yang pohon asam ini tiba-tiba mengambil
jarak terhadap dirinya yang lain, yaitu si “aku” yang manusia. Mulailah dia bercerita
tentang dirinya ketika menjadi manusia. Maka, di sini muncul tokoh baru, yaitu si “aku”
yang manusia. Si “aku”-manusia tersebut menjadi objek fokalisasi, sedangkan
fokalisornya adalah si “aku”-pohon asam. Karena itu, fokalisasi berpindah menjadi
fokalisasi eksternal karena kini si “aku”- pohon asam meletakkan dirinya di luar kejadian
yang menimpa si “aku”-manusia. Sejak dari paragraf kedua ini, seluruh kejadian yang
menimpa si “aku”-manusia beserta kejadian di awal perubahannya menjadi pohon asam,
semuanya dilihat melalui fokalisasi eksternal, yaitu dari fokalisor si “aku”-pohon asam.
Dalam konteks ini, bisa juga dikatakan bahwa si “aku” pohon bertindak tidak hanya
sebagai fokalisor tetapi sekaligus pula sebagai narator.

Fokalisasi Dari Dalam dan dari Luar


Kemudian penentuan fokalisasi yang terakhir adalah ke dalam dan ke luar. Fokalisasi ke
dalam dan keluar didasarkan pada sejauh mana fokalisor bisa mendeskripsikan aspek-
aspek yang berada pada objek fokalisasinya. Misalkan tokoh “saya” (Bus) dalam novel
Sidl menjadi fokalisor internal karena mendeskripsikan Beliau. “Beliau lalu mengambil
sebuah wadah kecil berbentuk kotak yang berwarna cokelat. Dari dalamnya keluar benda
kecil berbentuk tak beraturan, dengan lubang-lubang di sekujur permukaannya, berwarna

63
DEIKSIS | Vol. 12 No.01 | Januari-April 2020: 57-69

emas terang. Potongan sarang lebah. Dibawa julung-julung ke tengah-tengah lingkaran


permen. Jejak mereka menimbulkan garis panjang di bawah pusaran gula-gula tadi.” .
Fokalisor hanya mampu untuk mendekripsikan aspek lahiriah dari Beliau yang objek
fokalisornya adalah kegiatan Beliau.
Dalam aspek fokalisasi ke luar misalnya dalam cerpen “Potret Keluarga”. Saya
ambilkan paragraf ketiganya: “Maka kini Marni memandangi potret keluarga itu. Sudah
agak buram sebenarnya, bahkan telah berwarna cokelat tua, tidak hitam-putih lagi. Marni
meluruskan kakinya di kursi malas—kursi malas terbuat dari rotan yang sudah reyot. Ia
ingat kursi malas itu dulu milik kakeknya, tempat kakeknya juga suka meluruskan
kaki,…” (hlm. 33). Fokalisasi pada bagian ini adalah fokalisasi eksternal, tetapi fokalisor
eksternal itu ternyata tidak hanya melihat dari luar ke arah Marni yang sedang
memandangi potret keluarganya, tetapi juga seolah-olah masuk ke dalam diri Marni dan
mengetahui hal yang sedang diingat Marni, yaitu tentang kebiasaan kakeknya duduk di
kursi malas itu. Jadi, dalam contoh ini, tidak hanya aspek lahiriah yang dilihat, tetapi juga
aspek batin dari obyek fokalisasi tersebut. Inilah yang disebut fokalisasi dari dalam
(Ridho, 2013).

METODE PENELITIAN
Menurut Kutha Ratna (2015: 34) metode berfungsi untuk menyederhanakan masalah,
sehingga lebih mudah untuk dipecahkan dan dipahami. Oleh karena itu, metode
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kepustakaan.
Sugiyono (2015: 291) menyatakan bahwa studi kepustakaan berkaitan dengan kajian
teoretis dan referensial lain yang berhubungan dengan nilai, budaya, dan norma yang
berkembang pada situasi sosial yang diteliti.
Menurut Riffaterre (dalam Bramantio, 2010: 28) pembacaan karya sastra
dilakukan dengan dua tahap. Pembacaan tahap pertama disebut dengan pembacaan
heuristik. Dalam pembacaan heuristik kompetensi kebahasaan dan kesastraan memainkan
peranan penting. Pembacaan tahap kedua disebut pembacaan hermeutik. Pada tahap
kedua ini terjadi proses interpretasi yang sesungguhnya. Pembaca berusaha melakukan
perbandingan berkaitan dengan yang telah dibaca pada saat pembacaan tahap pertama.
Setelah melalui tahapan membaca dan menemukan kutipan-kutipan yang
berkaitan dengan objek penelitian, kutipan tersebut dicatat. Kutipan-kutipan berupa
tuturan dan lakuan fokalisator yang berkaitan dengan jenis-jenis fokalisasi serta
keterkaitan fokalisasi dengan unsur-unsur intrinsik lainnya dicatat pada kartu data.
Teknik catat digunakan agar data yang berhasil dikumpulkan terjamin kebenarannya.
Data yang telah diperoleh melalui pembacaan dan pencatatan tersebut, selanjutnya
data dianalisis. Analisis data penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik.
Kutha Ratna (2015: 53) menyatakan bahwa metode deskriptif analitik dilakukan dengan
cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Analisis tidak
semata-mata menguraikan, melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan
secukupnya sesuai dengan fokus penelitian. Langkah-langkah yang ditempuh dalam
analisis ini, yaitu membaca kartu data yang berisi kutipan tuturan dan lakuan fokalisator
yang berkaitan dengan fokalisasi, menganalisis fokalisasi yang terkandung dalam novel
Tempurung, mengklasifikasi jenis-jenis fokalisasi yang ditemukan, menguraikan dan
memperjelas jenis-jenis fokalisasi yang ditemukan dengan menyertakan kutipan,
menguraikan dan memperjelas keterkaitan fokalisasi dengan unsur intrinsik lainnya, dan
Lebih lanjut, data yang sudah dianalisis kemudian akan disajikan. Metode penyajian hasil
analisis data dilakukan dengan metode formal dan metode informal. Sudaryanto (2015:

64
Fokalisasi dalam Novel Semua Ikan di Langit Karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
(Suatu Kajian Naratologi)
(Rendy Pribadi, M. Rinzat Iriyansah)

241) menyatakan bahwa metode penyajian formal adalah perumusan hasil penelitian yang
disajikan dengan tanda dan lambang-lambang, sedangkan metode penyajian informal
adalah penyajian hasil penelitian dengan pemaparan kata-kata biasa secara tertulis.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode informal dengan pemaparan
kata-kata, sementara metode formal berupa tabel bersifat sebagai pembentuk data hasil
penulisan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Penentuan Subjek dan Objek Fokalisasi
Dalam penentuan subyek aspek “saya” sangat mendominasi dari keseluruhan cerita.
Subjek “saya” adalah sebuah bus yang merupakan tokoh utama dari novel ini yang
berisikan sejumlah personifikasi (penghidupan) benda-benda mati dan binatang yang
mempunyai perasaan dan akal layaknya manusia. Subjek “saya” sebagai sebuah bus yang
sangat ingin dicintai oleh Beliau. Berbagai deskripsi dalam novel ini sangat
mencerminkan aspek Beliau yang kharismatik. Berikut adalah tabel temuan hasil subjek
dan objek fokalisasi.

Subjek (fokalisor) Objek Fokalisasi


“saya” (bus) Perasaan ingin dicintai Beliau (SIdL, 267)
“saya” (bus) Keheranan dengan tokoh Bastet Sang Dewa
Kucing (SidL, 54)
“saya” (bus) Kecoa yang anggun gerak-geriknya. Tenang dan
berwibawa (SIdL, 25)
Chinar Ingatan tentang beliau terhadap hal-hal yang tida
disukainya. (SidL,152)
Char Ingatan tentang Beliau yang memusnahkan hal-hal
yang tidak disukainya. (SIdL ,181)

“Beliau memang tidak berkata-kata. Tapi tindakannya menunjukkan bahwa


Beliau menyayangi saya. Ah, mungkin memang inilah cara orang-orang yang
sukar dipahami menunjukkan rasa sayang mereka. Bus biasa seperti saya hanya
bisa memaklumi keterbatasan mereka dalam meyampaikan perasaan –itu juga
adalah bentuk rasa sayang , dan saya rasa, yang paling bagus di antaranya”.

Subjek (fokalisor) dalam kutipan ini adalah “saya” tentang perasaan dari Beliau
tentang dirinya ditandai sebagai Objek fokalisasi karena “saya” menyadari seolah-oleh
Beliau suka dengannya.

Fokalisasi internal dan eksternal


Dari hasil penelitian ini didapat berupa bentuk- bentuk subyek dan objek fokalisasi,
fokalisor internal dan eksternal pada bab yang tediri dari 39 cerita ini. Dalam penentuan
fokalisasi internal dan eksternal, penulis menentukannya dengan mencari cerita dari si
“Saya” yang menjelaskan berbagai peristiwa yang dialami sendiri atau orang lain, dialog,
atau berbicara dalam hati (solilokui).

Fokalisasi Internal
Klakson saya berbunyi nyaring karena terkejut ,Nad mendengking. Saya tidak pernah
mendengar kecoa mendengking sebelumnya. (SIdL ,73)

65
DEIKSIS | Vol. 12 No.01 | Januari-April 2020: 57-69

Saya melihat Beliau mendekati gadis itu dan pelan-pelan membawanya ke dalam saya.
Anak itu menapakkan kakinya tapi hanya sedikit sekali yang ia ceritakan pada asya.
Hanya ingatan terakhirnya: ditampar oleh ibunya, melarikan diri ke taman, bermainan
ayunan berhari-hari sampai akhirnya dia berayun terlalu jauh dan terlempar ke luar
angkasa. (SIdL,75)
Ah Beliau yang baik. Beliau bisa meakukan apa saja yang Beliau inginkan di dunia tapi
Beliau tetap mau saja memili untuk melakukan sesuatu supaya bisa menyenangkan
orang gendut yang tidak ada artinya ini (SidL, 115)
Serpihan tubuh saya yang terakhir adalah sebatang besi tipis yang menyerupai lidi
pendek. Sebelum terjatuh, Beliau mengulurkan tangannya dan menangkap serpihan
itu.” (SIdL, 239)
Saya mencintai Beliau. Lebih dari segalanya di dunia ini, dan di seluruh duni ayng ada,
pernah ada, dan akan ada. Hancur berkeping-keping demi mempertahankan perasaan
cinta yang begitu kuat bukanlah hal besar ketika tidak ada ha lain yang lebih penting
dari rasa itu. Kehancuran diri ini tidak berarti apa-apa bagi saya, karena saya hancur
demi dirinya (SidL, 241)

Beberapa tuturan di atas yang penulis kutip dari beberapa kutipan dalam novel ini
terlihat aspek fokalisasi internal yang banyak terlihat untuk mendeskripsika perasaan
“saya” pada objek fokalisasinya adalah Beliau. Fokalisasi internal memang sudah terlihat
pada saat pendeskripsian Beliau dan kemudian hampir semua keterlibatan peristiwa,
sosok “saya” selalu ada. Apakah ia menjadi pendengar, terlibat dialog, dan berbicara pada
diri sendiri adalah semua aspek yang mempertegas bahwa fokalisasi internal menjadi
dominan dalam novel ini.

Fokalisasi ke luar dan dari dalam


Dalam peristiwa novel SidL, aspek fokalisasi dalam muncul saat perasaan dari “saya”
memulai perasaannya dan ingin masuk ke dalam hati Beliau namun ia tidak bisa
mengetahui seberapa besar perasaan yang sama dari Beliau kepada “saya”. Hal ini
menandai sebuah aspek ke luar dengan indikasi tokoh Beliau tidak mau menyatakan
perasaannya, ia hanya menunjukkan perilaku sehari-hari yang ia biasa lakukan (lahiriah).
Sebuah penceritaan awal yang menandai permulaan petualangan yang menyenangkan
tanpa ada berfungsi sebagai fokalisasi ke dalam. Proses fokalisasi ke dalam terdapat pada
beberapa kaimat, Beliau tampaknya sangat gembira berada di foto pembuat sepatu. Beliau
berkeliling, dengan ikan-ikannya (SidL, 2).

Fokalisasi ke luar Fokalisasi ke dalam


Beliau membawa kami ke tempat yang Perjalanan ini membuat saya menyayangi
sangat menarik kali ini. Ada sebuah Beliau. Bahkan, meskipun Beliau tidak
lemari raksasa yang membentuk cincin, berkata-kata langsung kepada saya. Ada
mengapung dekat dengan planetoid sesuatu yang membuat saya merasa bahwa
suram. Di setiap jengkal lemari itu, diisi saya begitu dekat dan begitu mengenal
berbagai macam piring, cangkir, Beliau. Namun, pada saat bersamaan, saya
mangkuk, stoples, botol, kaleng, dan tahu bahwa Beliau begitu jauh dari
berbagai wadah yang menampung jangkauan saya, dan saya tidak akan pernah
macam-macam benda berwarna-warni benar-benar memahami dirinya (SidL, 64).
(SidL, 65)

66
Fokalisasi dalam Novel Semua Ikan di Langit Karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
(Suatu Kajian Naratologi)
(Rendy Pribadi, M. Rinzat Iriyansah)

Beliau tidak memakai sepatu. Ini


baru saya sadari ketika melihat ikan-ikan
menyamar jadi sepatu bot untuknya.
Yahh, mungkin Beliau memang tidak
memerlukan sepatu. Dia kan bisa
menapak di tanah. Kulit di telapak
kakiya tidak akan tanpa sengaja
meginjak pecahan kaca atau permen
karet (SidL, 114).
Yah, kalau Beliau mau, Beliau Ah orang aneh. Dia bertanya-tanya
memang bisa membungkam keusilan kenapa oran-orang bilang dia
anak jahat itu. Tapi, mungkin orang- membingungkan, sampai memanggil dia
orang yang tidak meminta pertolongan “Membingungkan”, padahal jawabannya
Beliau tidak akan pernah jadi prioritas jelas sekali: karena dia orang aneh – dan
Beliau. Mungkin karena itu ada orang- memang membingungkan betul tingkah
orang yang mati dilindas mobil, ada yang lakunya. Yah, apa boleh buat. Orang yang
tetap terlelap di kasurnya dalam tidur sungguh-sungguh aneh (SidL, 208)
tanpa mimpi. (SidL, 219 )

Bagian fokalisasi ke dalam memang sulit untuk ditentukan karena “saya”


menceritakan seolah-olah tahu dan prediksi yang akan diperbuat oleh pelaku lainnya.
Dalam fokalisasi dalam, “saya” seolah-olah terlibat dalam pergolakan batin dari tokoh
yang ada dalam novel tersebut. Unsur ini terkadang yang memberikan deskripsi secara
detil dari seorang pengarang.

Ciri Perwatakan Dalam Novel SidL


Pola fokalisasi
Jenis Subjek/objek Internal /Eksternal Ke Luar/ ke Dalam
Arus fokalisasi
Berubah I III V
Tetap II IV VI

Dari hasil kajian di atas, maka tipe fokalisasi yang sesuai dari hasil penelitian ini
adalah pola II dan III. Pola ini hanya mengalami perubahan dari segi internal dan
eksternal, namun tuturan “saya” dominan dari keseluruhan data yang diambil dari 39 bab
ini. Dan fokalisasi pun mengalami perubahan yang signifikan pula karena pepindahan
dari aspek perasaan “saya” yang hanya ia yang mengetahui kini pindah karena kecemasan
yang mempunyai hubungan kausal. Maka dalam hal ini pola yang dipakai dalam novel
SidL ini adalah, I, IV, dan V.

SIMPULAN
Dari hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa kajian naratologi bukan mengkritik
atau membandingkan mana yang labih baik dalam hal penceritaan. Kajian ini hanya
menguraikan penceritaan sebuah bentuk dalam teks lewat tuturan dari tokoh-tokohnya.
Pengkhususan kajian ini terletak pada pentingnya aspek keterbacaan cerita dari sebuah
karya tersebut sehingga mampu memunculkan beragam teknik dan bahkan maksud dari
seorang pengarang “memainkan” teknik dalam bercerita. Aspek temuan yang dinamis

67
DEIKSIS | Vol. 12 No.01 | Januari-April 2020: 57-69

menandakan bahwa pengarang sudah mempunyai pemetaan yang detail dan jelas ketika
memainkan arus (fokalisasi) dari berbagai macam tokoh, sehingga dari deskripsi tersebut
bisa dikembangkan menjadi sebuah ideologi, gender, bahkan feminisme dari cara tiap
tokoh bercerita.

DAFTAR PUSTAKA
Bal, M. (1997). Narratology: Introduction to the theory of narrative, second companion
to narrative theory. MA: Blackwell. Cornell University Press. dan Pustaka
Malaysia.

Davis, A. (2010). Orang Indonesia Tionghoa mencari identitas. Jakarta: Edition.


Toronto: University of Toronto Press.

Dewii, N. P. Y. (2018). Fokalisasi Novel Tempurung Karya Oka Rusmini dan


Relevansinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA/SMK. Bali: Stilistika Volume 7
(1), Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, IKIP PGRI Bali

Fludernik, M. (2005). Histories of narrative theory (II): From Structuralism

Genette, G. (1980). Narrative discourse: An essay in method. New York: Gramedia.

Ratna, N. K. (2015). Teori, metode, dan teknik penelitian sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Luxemburg dkk. (1991). Tentang sastra. Penerjemah: Akhadiati Ikram. Jakarta:


Intermasa.

Nurgiyantoro, B. (2013). Teori pengkajian fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University


Press.

Propp, V. (1987). Morfologi cerita rakyat. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa.

Ridho, I. (2013). Kajian prosa fiksi. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta.

Rimmon-Kenan, S. (2002). Narrative fiction. Second Edition. London: Routledge.

Sugiyono. (2015). Metode penelitian pendidikan: Pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan


R&D. Bandung: Alfabeta. to the Present. Dalam James Phelan dan Peter J.
Rabinowitz (Ed.), A

68
BASINDO : Jurnal Kajian Bahasa, Sastra Indonesia, dan
Pembelajarannya

Volume 2 Nomor 2, 2018


Journal homepage : http://journal2.um.ac.id/index.php/basindo

KAJIAN NARATOLOGI GENETTE DALAM TIGA CERITA PENDEK


PILIHAN KOMPAS TAHUN 2000AN
Sufi Ikrima Sa’adah*
Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Sunan Ampel Surabaya

ARTICLE INFO ABSTRACT


Penelitian ini mengkaji aspek penceritaan pada tiga cerita pendek
Article history: (cerpen) terbaik pilihan Kompas di tahun 2000an. Kerangka teoritis
Received: 03 Februari 2018 yang dipakai adalah naratologi Genette dan berfokus pada konsep
Accepted: 13 May 2018 durasi (duration), fokalisasi (focalization), dan penutur (person).
Published: 15 Nov 2018 Penelitian ini berbentuk kajian pustaka dan menggunakan metode
analisis deskriptif melalui pembacaan secara seksama dan mendalam.
Keyword: Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa aspek penceritaan pada
cerita pendek, aspek masing-masing cerpen menyiratkan sikap masyarakat terhadap
penceritaan, durasi, permasalahan yang dimunculkan dalam ketiga cerpen tersebut.
fokalisasi, penutur

PENDAHULUAN
Cerita pendek (cerpen) merupakan genre karya sastra yang bisa dikatakan tidak memiliki
definisi yang pasti. Seberapa pendek seharusnya sebuah cerita pendek merupakan pertanyaan yang
kerap muncul. Genre yang satu ini oleh Cuddon (1998) dianggap atau sebagai yang paling sulit
untuk dikategorikan. Untuk memudahkan, Cuddon menganalogikan cerpen dengan kategori lari
jarak pendek dalam atletik, yakni yang berjarak 100 atau 200 meter. Analogi tersebut sebenarnya
kurang mengena, mengingat lari jarak pendek mempunyai aturan jarak yang tetap dan pasti
sedang cerita pendek tidak memiliki acuan panjang yang pasti.
Meskipun begitu, bukan berarti tidak ada usaha untuk memunculkan suatu aturan yang
cukup baku mengenai kategorisasi cerpen. Poe, misalnya, memunculkan semacam aturan tentang
cerpen setelah ia mereview Twice Told Tales karya Hawthorne. Poe mendefinisikan cerpen sebagai
‘a prose narrative (of indeterminate length) requiring anything from half an hour to one or two hours in its 'perusal'
...’ (Cuddon, 1998). Dari pengertian tersebut memang tidak diperoleh ketentuan pasti mengenai
panjang seharusnya sebuah cerpen, tapi pernyataan mengenai durasi ‘pembacaan’ antara setengah
jam hingga satu atau dua jam sepertinya cukup untuk memberikan batasan.
Cerpen Cinta di Atas Perahu Cadik (selanjutnya disebut Cinta) karya Seno Gumira
Ajidarma, Waktu Nayla karya Djenar Maesa Ayu, dan Senja Buram, Daging di Mulutnya (selanjutnya
disebut Senja) karya Radhar Panca Dahana merupakan cerpen terbaik versi koran Kompas pada
tahun yang berbeda. Cinta didaulat menjadi pemenang pertama cerpen pilihan Kompas tahun
2007, Waktu Nayla sebagai cerpen terbaik tahun 2003, sedangkan Senja menjadi cerpen terbaik di

*Corresponding author.
E-mail addresses: Sufi_ikrima@yahoo.com (Sufi Ikrima Sa’adah)

ISSN : 2579-3799 (Online) - BASINDO : Jurnal Kajian Bahasa, Sastra Indonesia, dan Pembelajarannya is licensed
under Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License
(http://creativecommons.org/licenses/BY/4.0/).

119 | BASINDO : Jurnal Kajian Bahasa, Sastra Indonesia, dan Pembelajarannya


tahun 2005. Ada satu hal yang menggelitik saat pertama membaca ketiga cerpen tersebut. Masing-
masing cerpen seperti mengajak pembaca bermain-main dengan berbagai unsur penceritaan, satu
di antaranya adalah keberadaan sang penutur. Cinta menyuguhkan ceritanya melalui penutur yang
seakan memberikan reportase melalui lensa kamera, yang berusaha menghadirkan sebuah cerita
yang apa adanya. Sementara itu, penutur di Waktu Nayla menjadi sosok yang begitu mengenal
seluk beluk sang tokoh, lahir dan batin. Yang paling membuat bingung adalah Senja yang
menggoda pembaca dengan dua penutur yang saling bergantian menuturkan cerita mereka.
Meskipun begitu, dari keberadaan penutur yang berbeda tersebut ketiganya seakan sepakat bahwa
mereka ingin menyuguhkan permasalahan yang dipandang biasa dengan cara yang tidak biasa.
Narasi yang dikembangkan oleh Gerard Genette memilah adanya tiga tingkatan narasi,
yakni narration, discourse, dan story. Narration merupakan apa yang dikenal sebagai penceritaan (the
telling of a story by a narrator), sedangkan discourse mengacu pada apa yang dipahami sebagai teks
narasi. Sementara itu, story merupakan segala yang diacu atau yang diceritakan oleh teks atau
wacana narasi. Berdasar pada tiga tingkatan narasi tersebut, Genette memunculkan tiga kategori
yang merefleksikan bagaimana ketiga tingkatan tersebut saling berhubungan (Fludernik, 2009).
Tiga kategori tersebut adalah tense, mood, dan voice yang masing-masing memiliki beberapa
subkategori. Oleh karena ketiga cerpen di atas dibahas melalui keberadaan penutur dan kala
penceritaan, pembacaan ini hanya akan menggunakan konsep duration, focalization, dan person.
Duration merupakan elemen yang berhubungan dengan cara penutur mempercepat atau
memperlambat penceritaannya. Penutur bisa merangkum perjalanan hidup tokoh hanya dalan
satu kalimat atau menceritakannya dalam ratusan halaman. Laju sebuah penceritaan berhubungan
dengan panjang waktu cerita yang yang diukur dalam satuan detik, menit, jam, hari, bulan, dan
tahun, dan panjang waktu wacana yang diketahui dari banyaknya baris dan halaman. Perbedaan
antar panjang waktu cerita dan panjang waktu wacana dalam elemen ini disebut dengan
anisokroni (anisochronies). Dari perbedaan tersebut Genette membedakan antara empat jenis
pergerakan wacana (four narrative movements), yaitu pause, scene, summary, dan ellipsis.
Focalization (fokalisasi) merupakan elemen modus (mood) yang membahas tentang sudut
pandang yang dipakai oleh penutur. Focalization terdiri atas zero focalization. internal focalization, dan
external focalization.
Person merupakan elemen subkategori dari voice (tutur) yang berkaitan dengan siapa yang
menjadi penutur cerita. Elemen ini selanjutnya dibedakan lagi menjadi dua, yakni homodiegetic
untuk menyebut penutur yang muncul atau terlihat dalam cerita yang dituturkannya dan
heterodiegetic untuk menamakan penutur yang tidak terlihat dalam cerita (Genette, 1983).

METODE
Penelitian ini mengoperasikan teori narasi yang dikembangkan oleh Gerard Genette pada
tiga cerpen, yakni Cinta di Atas Perahu Cadik (selanjutnya disebut Cinta) karya Seno Gumira
Ajidarma, Waktu Nayla karya Djenar Maesa Ayu, dan Senja Buram, Daging di Mulutnya (selanjutnya
disebut Senja) karya Radhar Panca Dahana. Ketiganya merupakan cerpen terbaik versi koran
Kompas pada tahun yang berbeda, yakni. Cinta tahun 2007, Waktu Nayla tahun 2003, dan Senja
mtahun 2005. Tiga cerpen tersebut juga memiliki kesamaan waktu ‘pembacaan’, yakni sekitar tiga
puluh menit.
Teori narasi Genette terdiri atas narration, discourse, dan story. Narration merupakan apa yang
dikenal sebagai penceritaan (the telling of a story by a narrator), sedangkan discourse mengacu pada apa
yang dipahami sebagai teks narasi. Sementara itu, story merupakan segala yang diacu atau yang
diceritakan oleh teks atau wacana narasi. Berdasar pada tiga tingkatan narasi tersebut, Genette
memunculkan tiga kategori yang merefleksikan bagaimana ketiga tingkatan tersebut saling
berhubungan. Tiga kategori tersebut adalah tense, mood, dan voice yang masing-masing memiliki
beberapa subkategori. Oleh karena ketiga cerpen di atas dibahas melalui keberadaan penutur dan
kala penceritaan, pembacaan ini hanya akan menggunakan konsep duration, focalization, dan person.

120 | BASINDO : Jurnal Kajian Bahasa, Sastra Indonesia, dan Pembelajarannya


HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pada bagian hasil ini dideskripsikan tentang naratologi Genette pada setiap cerpen secara
terpisah.
Selingkuh itu Indah (?) dalam “Cinta di Atas Perahu Cadik”
Cerpen Seno berlatar tempat di sebuah kampung nelayan, cerpen ini mengisahkan dua
pernikahan yang tidak bahagia, Hayati dan Dullah serta Sukab dan Waleh. Tidak dijelaskan akan
awal ketidakbahagiaan mereka kecuali kenyataan bahwa ‘Hayati dan Sukab saling mencintai’, meski
mereka masih terikat dengan pasangan masing-masing (Ajidarma, 2007: 3).
Satu hal yang menarik mengenai cerpen ini adalah keberadaan sang penutur. Dituturkan
oleh orang ketiga, penutur menuturkan jalannya cerita layaknya sebuah lensa kamera yang
bergerak mengikuti kemanapun para tokoh berada. Ia bergerak mengikuti langkah Hayati yang
‘memikul air sejak subuh’ (1), kemudian mengikuti nenek tua ibu Dullah ‘… pergi ke satu gubuk ke
gubuk lain, menanyakan apakah mereka melihat perahu Sukab yang membawa Hayati di atasnya.’ (4),
hingga melaporkan kembalinya Sukab dan Hayati pada hari ketujuh dari menghilangnya mereka
(8). Dalam melakukan ‘reportase’ tersebut, sang penutur sama sekali tidak memberikan informasi
mengenai segala yang dipikirkan para tokoh maupun komentar akan semua yang terjadi. Ia
seakan-akan menginginkan siapapun yang membaca cerpen ini menebak dan menyimpulkan
sendiri bagaimana cerita yang dituturkannya. Hanya saja, penceritaan semacam ini membatasi
informasi yang bisa diperoleh pembaca. Pembaca hanya bisa melihat pada apa yang terekam oleh
‘kamera’ penutur. Dengan kata lain, penutur memiliki wewenang penuh untuk menentukan
peristiwa yang harus ‘dilihat’ oleh pembaca.
Dalam “Cinta”, penutur memusatkan arah penceritaannya seputar Hayati dan Sukab. Dua
tokoh yang saling mencintai meski masing-masing telah terikat pernikahan dengan yang lain.
Meskipun begitu, ikatan pernikahan yang nyaris putus tidak terlihat berpengaruh pada keduanya.
Keduanya terlihat begitu menikmati keberduaan mereka dengan ‘api cinta yang membara’ (8). Dari
awal yang diperlihatkan adalah kesan betapa Hayati tidak bisa terpisah dari Sukab.
Sepeninggal Sukab yang membawa Hayati pergi melaut, barulah pembaca disuguhi
informasi mengenai Dullah, suami Hayati. Penutur menceritakan tentang Dullah di tidak lebih
dari lima paragraf di akhir bagian pertama. Hal tersebut memungkinkan pembaca mengalami
kesulitan mencari tahu siapa dan bagaimana Dullah. Yang bisa ditangkap dari ucapan-ucapan
Dullah adalah bahwa ia telah rela melepaskan Hayati untuk Sukab dan akan segera menceraikan
istrinya itu. Sehingga, ia tidak terlihat berkeberatan mengetahui istrinya menghilang dengan suami
orang dan karenanya lebih suka ‘nonton tivi’ daripada ‘cabut badik’ (3).
Setelah itu, penutur mengajak pembaca menengok keadaan anak dan istri Sukab
sepeninggal ia melaut dengan Hayati. Anak Sukab seorang perempuan ‘yang rambutnya merah’ dan
belum bisa bicara meski sudah berusia lima tahun. Ia hanya bisa ‘menunjuk ke arah suara laut’ saat
nenek tua ibu Dullah bertanya kemana bapaknya. Sementara Waleh, istri Sukab, ‘terkapar meriang
karena malaria’ (4-5). Seperti Dullah, Waleh juga tidak ‘mengumbar amarah menggebu-gebu. [Ia
men]doakan suami[nya] pulang dengan selamat – dan jika dia berbahagia dengan Hayati, melalui perceraian,
agama [mereka] telah memberi jalan agar mereka bisa dikukuhkan’ (6).
Dari ‘pelaporan’ penutur mengenai Dullah dan Waleh, pertanyaan yang muncul pertama
kali adalah mengapa dua tokoh itu bersikap biasa saja dalam menghadapi perselingkuhan
pasangan masing-masing. Wajarnya, seorang suami yang berada pada posisi seperti Dullah pasti
merasa marah atau setidaknya bersedih akan perilaku istrinya. Sementara Dullah justru terlihat
begitu santai dan tidak merasa perlu melakukan apa-apa. Penutur yang sama sekali tidak
memberikan informasi akan isi pikiran Dullah sedikit mempersulit pemahaman. Sehingga, yang
terjadi adalah pembaca harus menebak sebab apa Dullah berperilaku seperti itu. Sementara itu,
yang dilakukan Waleh juga tak ada beda dengan yang dilakukan Dullah. Waleh lebih memilih
merestui kebersamaan Sukab dan Hayati dibanding harus ‘menghukum si jalang Hayati’ (6).

121 | BASINDO : Jurnal Kajian Bahasa, Sastra Indonesia, dan Pembelajarannya


Apa yang dilakukan Dullah maupun Waleh terkesan jauh dari kewajaran. Mereka tetap
bersikap tenang meski pasangan masing-masing berselingkuh. Bisa jadi, sikap yang ditunjukkan
Dullah dan Waleh diakibatkan mereka telah lelah menanggapi perilaku Hayati maupun Sukab
yang pastinya sudah berselingkuh sejak lama. Hal tersebut bisa disimpulkan dari keadaan anak
Sukab telah berusia lima tahun tapi belum bisa berbicara. Bocah tersebut sepertinya menjadi
korban ketidakpedulian orang tuanya. Baik Dullah maupun Waleh seperti telah kebas akan rasa
sakit akibat perselingkuhan pasangan mereka.
Dalam penulisannya, Cerpen “Cinta” diceritakan dalam empat bagian. Setiap akhir bagian
ditandai oleh tiga tanda bintang. Menariknya, keempat bagian tersebut diceritakan dalam rentang
waktu yang berbeda-beda. Bagian pertama ditulis dalam tiga halaman diawali dengan Hayati yang
menuruni tebing dengan memanggul air di pagi subuh dan berakhir dengan ‘perahu Sukab yang juga
bercadik melaju bersama cinta membara di atasnya’ (3). Bagian kedua juga ditulis dalam tiga halaman
berawal dengan ‘akhir hari setelah senja menggelap’ (4) hingga ‘menjelang tengah malam’ ketika nenek tua
ibu Dullah mencari informasi tentang Sukab dan Hayati dari para nelayan tetangga hingga ke
rumah Sukab (6). Sementara itu, bagian tiga ditulis lebih pendek dari dua bagian sebelumnya,
hanya sekitar satu dan sepertiga halaman. Waktu penceritaannya juga dipersingkat yang
berlangsung dari ‘hari pertama, kedua, dan ketiga setelah perahu Sukab tidak juga kembali,’ (7) hingga
‘setelah hari keempat, [ketika] tidak seorangpun dari para nelayan di kampung itu mengharapkan Sukab dan
Hayati akan kembali’ (8). Bagian terakhir adalah bagian yang paling pendek, dua pertiga halaman
dengan hanya tiga paragraf. Bagian ini berawal dengan ‘pada suatu malam, pada hari ketujuh ... [saat]
perahu Sukab mendarat juga’ (8) dan berakhir dengan ‘keduanya saling memandang’ (9).

Waktu yang Memburu dalam “Waktu Nayla”


Seperti judulnya, “Waktu Nayla” menceritakan tentang waktu dalam hidup Nayla yang ia
coba taklukkan sebelum maut menjemput. Nayla adalah perempuan yang telah menikah yang
divonis mati karena kanker ganas yang bersarang di ovariumnya.
Seperti juga cerpen “Cinta”, hal yang menarik perhatian dari awal pembacaan “Waktu
Nayla” adalah keberadaan penuturnya. Namun tidak seperti penutur “Cinta” yang seakan
berusaha menjaga jarak dengan para tokoh, penutur “Waktu Nayla” justru terlihat begitu dekat
dengan Nayla. Penutur mampu mengetahui segala apa yang berkecamuk dalam benak Nayla. Ia
tahu bahwa Nayla ‘menjadi muram’ saat ‘matahari sudah lama tenggelam’. Penutur juga tahu ketika ‘hati
[Nayla] dirundung kecemasan’ (Ayu, 2003: 1). Dalam “Waktu Nayla” penutur seakan menjelma
menjadi sosok yang maha tahu (omniscient).
Meskipun begitu, kemahatahuan sang penutur ternyata tidak benar-benar maha tahu. Di
segmen ke dua misalnya, dimulai dengan pernyataan ‘Entah kapan persisnya Nayla mulai tidak
bersahabat dengan waktu’ (2). Dari kalimat tersebut muncul kesan bahwa sang penutur tidak
selalu hadir bersama Nayla. Sepertinya ada masa di mana sang penutur menghilang untuk sesaat
dan kemudian kembali lagi.
Sementara itu, penutur yang mengetahui saat dokter memvonis bahwa ‘umur Nayla hanya
akan bertahan maksimal satu tahun ke depan’ (6) akibat ‘kanker ganas pada ovariumnya’ (5) menambah
ketidakkonsistenan akan kemahatahuan penutur. Jika keakraban Nayla dengan waktu terjadi
‘ketika cincin melingkar agung di jari manisnya’ (3), bisa jadi titik balik dalam kehidupan Nayla adalah
ketika ia tahu bahwa ada kanker ganas yang mengerogoti tubuhnya. Lalu, bagaimana mungkin
penutur bisa tidak yakin akan awal Nayla tidak lagi menyukai waktu? Ditambah lagi segmen ke
tiga yang dimulai dengan kalimat ‘Mungkin Nayla tidak bermaksud dengan sengaja melupakan, ia hanya
tidak sadar’ (4), seakan juga menodai kemahatahuan sang penutur. Penutur yang sebelumnya selalu
tahu apa yang terjadi pada diri dan pikiran Nayla, justru dihinggapi keraguan ketika keseharian
hidup Nayla membuatnya melupakan banyak hal.
Cerita dalam “Waktu Nayla” dimulai pada jam lima petang saat Nayla berada dalam
mobilnya. Setelah itu yang bergerak hanyalah lamunan Nayla. Ia teringat akan kehidupannya
setelah menikah untuk kemudian memundurkan ingatannya pada waktu ia masih menikmati masa

122 | BASINDO : Jurnal Kajian Bahasa, Sastra Indonesia, dan Pembelajarannya


lajangnya. Selanjutnya, yang muncul adalah imajinasi dalam tidurnya yang ‘memberontak terbang’
memimpikan berbagai hal yang pernah dilakukannya atau yang ingin dia lakukan sebelum
akhirnya ia terbangun oleh ‘suara ketukan pembantu di pintu luar kamar’ (5). Hal-hal yang diimpikan
Nayla kemudian muncul kembali dalam lamunannya ditambah dengan segala yang tidak ingin ia
lakukan. Hingga akhirnya cerita berakhir dengan Nayla yang ‘memacu laju mobilnya semakin kencang’
(9).
Secara kronologis, urutan peristiwa dalam cerpen “Waktu Nayla” seharusnya diceritakan
sebagai berikut.

(1) Nayla semasa lajang (2) Nayla selepas menikah (3) Nayla selepas
vonis kanker (4) Nayla di dalam mobilnya pada jam lima petang.
Gambar 1: Urutan peristiwa Waktu Nayla

Dalam “Waktu Nayla”, tiga peristiwa pertama sekedar isi lamunan dan mimpi Nayla dan
bukan rentetan peristiwa sebenarnya. Sehingga, ketiga peristiwa tersebut sebenarnya berada dalam
peristiwa ke empat, dan jika digambarkan menjadi seperti berikut.

(1) (2) (3)


jam lima petang

) (4)
Gambar2: Peristiwa keempat Waktu Nayla
Terdapat beberapa pengulangan kata )dan kalimat ) dalam cerpen “Waktu Nayla”. Pada
halaman 8 misalnya, kata ‘waktu’ diulang sampai empat kali dengan penulisan yang berbeda.
Keempatnya ditulis dengan indentasi yang berbeda-beda dan diakhiri dengan tiga tanda titik
kecuali kata ‘waktu’ yang ke empat ditulis dengan ) tanda titik yang jauh lebih banyak dan diakhiri
dengan tanda tanya. Indentasi yang diberikan kepada keempat kata ‘waktu’ tersebut seakan
membentuk ujung anak panah yang sedang melesat, yang sama juga seperti waktu yang terus
melesat cepat tanpa kita ketahui akan ke mana arah lajunya, sehingga dimunculkan tanda anak
panah setelah kata ‘waktu’ ke empat.
Pengulangan berikutnya terjadi pada kalimat ‘Sebelum jam tangannya berubah jadi sapu, mobil
sedannya berubah jadi labu, dan dirinya berubah jadi abu’ yang muncul di akhir segmen pertama pada
halaman 2. Kalimat tersebut kemudian berulang pada halaman 9 di akhir segmen terakhir.
Bedanya, pada halaman 2 kalimat tersebut diakhiri dengan tanda titik sementara pada halaman 9
berakhir dengan tanda titik tiga. Melalui kalimat tersebut Nayla (atau Djenar?) seakan menegaskan
bahwa kehidupannya pasti akan berubah seiring dengan lesatan waktu. Sementara tanda titik tiga
di akhir kalimat memberi semacam pertanda bahwa perubahan yang akan dialami Nayla tidak kan
berhenti dan akan terus berubah.
Hidup yang Dikebiri dalam “Senja Buram, Daging di Mulutnya”
Secara pribadi, di antara ketiga novel yang dibaca kali ini, cerpen “Senja” adalah yang
paling sulit pembacaannya. Sebabnya adalah adanya dua penutur yang saling bergantian
menuturkan cerita. Penutur pertama mengisi segmen pertama, ke tiga, dan ke lima sementara
penutur ke dua bercerita di segmen ke dua, ke empat, dan ke enam. Selanjutnya, kedua penutur
tersebut bergantian menuturkan segmen ke tujuh.
Penutur pertama menuturkan cerita dalam kacamata orang pertama. Ia muncul dan
terlihat dalam wacana sebagai sang tokoh utama. Di segmen pertama, ia menceritakan peristiwa
pencopetan yang terjadi padanya di dalam bus kota yang menuju wilayah Cawang pada pukul ‘lima
sore lebih’ (Dahana, 2005: 31) yang berakhir dengan istri penutur yang ‘mengumpat habis di rumah’
(33). Selanjutnya pada segmen ke tiga, penutur yang juga tokoh bercerita tentang masalah yang
muncul akibat tingkah polah Padri, anak sulungnya yang berada di polsek akibat ‘ketahuan
123 | BASINDO : Jurnal Kajian Bahasa, Sastra Indonesia, dan Pembelajarannya
mengganja di kolong jembatan Krukut’ (34-35). Di segmen ke lima, penutur menceritakan pengalaman
kencannya bersama seorang waria dan imajinasi yang muncul karena pengalamannya tersebut
hingga ia ‘pulang dan melihat semua seperti baru’ (37-40).
Sementara itu, penutur kedua adalah orang ketiga yang menceritakan segala hal tentang
sang tokoh utama. Di segmen ke dua penutur seakan-akan turut duduk bersama tokoh utama
untuk menyaksikan ‘siaran televisi menjelang malam itu’ sambil juga menceritakan apa yang dilakukan
oleh sang tokoh saat menonton hingga esok pagi ketika sang tokoh tak lagi berteriak saat
‘menemukan ulat dalam sayur sawi buatan istrinya’ dan memilih untuk coba mengunyah dan
menelannya (33-34). Di segmen ke empat, penutur barulah memberi tahu bahwa ‘lelaki 30
tahunan’ yang diceritakannya itu bernama Songkang, yang pada saat itu sedang mengamati Ipung,
bocah ‘belum tujuh tahun’ yang meninggal lantaran ‘disodomi delapan orang’ sambil ‘dicekik agar tidak
berteriak’. Segmen ke empat berakhir dengan lamunan Songkang mengenai Ipung yang buyar
akibat ia teringat akan anaknya (35-37). Segmen ke enam sedikit berbeda. Penutur tidak lagi
menceritakan tentang gerak-gerik Songkang melainkan tentang orang-orang di sekitar Songkang
karena ia ‘sudah tiga hari tak keluar rumahnya’ (40-41).
Segmen ke tujuh adalah yang paling unik sekaligus paling membingungkan. Diceritakan
dalam lima paragraf, paragraf pertama dituturkan oleh penutur pertama, yakni tokoh ‘aku’
Songkang. Dalam paragraf ke dua inilah terjadi pergantian penutur dari penutur pertama ke
penutur kedua yang kemudian menuturkan paragraf ke tiga dan ke empat. Satu titik yang
memunculkan kebingungan adalah fakta pada paragraf ke tiga dan ke empat bahwa Songkang
ditemukan ‘sudah menjadi mayat’. Ia ‘bunuh diri karena frustasi’ (42). Jika Songkang sudah mati, lalu
siapa tokoh ‘aku’ yang menuturkan kalimat-kalimat di paragraf pertama? Jawabannya mungkin
sama tidak masuk akalnya dengan keberadaan penutur tersebut, bahwa paragraf pertama
dituturkan oleh arwah ‘aku’ yang masih berkeliaran di sekitar rumah menunggu orang-orang
menemukan jasadnya. Jawaban tersebut didasarkan pada kalimat ‘Aku pasti gembira melihat mimik
mereka’ (42). Kata ‘aku’ di kalimat tersebut bukanlah ‘aku’ penutur, sebab adanya kata ‘pasti’ di
situ. Jika ‘aku’ adalah ‘aku’ penutur seharusnya kalimat tersebut berbunyi: ‘aku sungguh gembira
melihat mimik mereka’. Kata ‘pasti’ dalam kalimat di atas seakan memunculkan pengandaian
bahwa jika ‘aku’ Songkang yang telah mati itu bisa melihat mimik mereka, ‘aku’ Songkang yang
telah mati pasti gembira.
Keberadaan dua penutur yang berbeda dalan cerpen “Senja” ternyata juga diikuti oleh
rentang waktu penceritaan yang berbeda-beda di tiap segmennya. Segmen pertama diceritakan
dalam delapan paragraf dengan rentang waktu antara ‘pukul lima sore lebih’ hingga ‘tiga menit
kemudian’ (30-33). Segmen ke dua terjadi dalam rentang waktu tengah malam hingga keesokan
harinya yang diceritakan dalam empat paragraf (33-34). Segmen ke tiga memiliki lima paragraf
dengan rentang waktu yang dipercepat, yakni ‘dua minggu kemudian’ sampai ‘pagi-pagi’ setelahnya
(34-35). Segmen ke empat memiliki rentang waktu yang dimulai dari ‘kemarin’, ‘pagi hari ini’, hingga
‘malamnya’ yang terjadi dalam empat paragraf (35-37). Segmen ke lima adalah segmen yang paling
panjang dengan sepuluh paragraf meski hanya menceritakan peristiwa di Jumat petang hingga hari
pagi (37-40). Bedanya di rentang waktu tersebut hanya berisi tentang hayalan tokoh mengenai
kesenangannya bersama waria. Segmen ke enam berisi empat paragraf dengan rentang waktu ‘pagi
itu’ setelah ‘Songkang sudah tiga hari tak keluar rumahnya’ (40-41). Segmen terakhir terdiri dari lima
paragraf yang menceritakan peristiwa dalam rumah Songkang beberapa saat sebelum ‘senja di luar
datang’ (41-43).

Pembahasan
Melalui beberapa konsep dalam naratologi Genette di atas, penceritaan dalam tiga cerpen
“Cinta”, “Waktu Nayla”, dan “Senja” bisa dipetakan sebagai berikut.

Cerpen
Elemen
“Cinta” “Waktu Nayla” “Senja”

124 | BASINDO : Jurnal Kajian Bahasa, Sastra Indonesia, dan Pembelajarannya


Duration Scene (segmen 1, 4), Pause Scene (segmen 1, 6, 7) summary
Summary (segmen 2, (segmen 2, 3, 4, 5), pause
3) (segmen 5)
Focalization Eksternal Nol Internal (segmen 1, 3, 5, 7),
eksternal (segmen 6) dan nol
(segmen 2, 4)
Person Tidak terlihat Tidak terlihat Terlihat (segmen 1,3,5, 7) dan
tidak terlihat (segmen 2,4,6,7)

Dari pemetaan tersebut bisa dikatakan bahwa rentang waktu yang dipercepat dalam
cerpen “Cinta” menunjukkan wajah masyarakat dalam menghadapi persoalan perselingkuhan.
Awalnya mereka akan begitu bersemangat membahasnya, namun seiring waktu berjalan masalah
tersebut sedikit demi sedikit akan terlupakan, seperti juga penceritaan “Cinta” yang waktunya
semakin lama semakin dipercepat. Cerpen ini menunjukkan bagaimana suatu pernikahan yang
berlanjut pada perselingkuhan dan akan berakhir dengan perceraian ditanggapi dengan biasa saja
oleh para tokoh yang bersangkutan. Tidak ditunjukkan kemarahan atau kesedihan dari pasangan
yang dikhianati. Yang terlihat justru betapa pasangan yang berselingkuh menikmati kebersamaan
mereka tak pedulu dengan carut-marut yang terjadi di sekitar mereka.
Sementara itu, permasalahan yang dihadapi Nayla tidak bisa membuatnya bersikap biasa
layaknya Hayati, Sukab, Waleh, dan Dullah. Kanker rahim yang diidapnya memaksa Nayla
berlomba dengan waktu yang tersisa. Hanya saja, semakin ia berusaha mengalahkan waktu,
semakin waktu membuatnya diam di tempat. Waktu penceritaan “Waktu Nayla” yang tidak
bergerak bisa dimaknai sebagai sikap lain dalam menghadapi gejolak hidup dengan tidak bergerak
kemana-mana. Yang bisa dilakukan hanya melambungkan lamunan dan mimpi-mimpi tanpa
peduli bahwa waktu akan terus berlari.
Wajah ketiga dimunculkan oleh tokoh Songkang yang memilih mengakhiri hidup daripada
terus dirundung frustasi. Perubahan penutur dan perbedaan sudut pandang bisa jadi merupakan
perlambang ketidak konsistenan sifat manusia. Apa yang nampak kadang tidak sesuai dengan
yang tidak nampak. Seorang yang nampak baik-baik saja dalam waktu singkat bisa saja berubah
menjadi sosok yang tidak bisa dipahami. Terakhir, wajah manakah yang kita tunjukkan saat
permasalahan hidup datang menghampiri?

PENUTUP
Aspek penceritaan pada tiga cerita pendek (cerpen) terbaik pilihan Kompas di tahun
2000-an dengan naratologi Genette berfokus pada konsep durasi (duration), fokalisasi (focalization),
dan penutur (person). Hasil menunjukkan bahwa aspek penceritaan pada masing-masing cerpen
menyiratkan sikap masyarakat terhadap permasalahan yang dimunculkan dalam ketiga cerpen
tersebut.

Daftar Pustaka
Ajidarma, S. G. (2007). “Cinta di Atas Perahu Cadik.” In Cinta di Atas Perahu Cadik: Cerpen Kompas
Pilihan 2007. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Ayu, D. M. (2003). “Waktu Nayla.” In Waktu Nayla: cerpen Pilihan Kompas 2003. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas.
Cuddon, J. A. (1998). The Penguin Dictionary of Literary Terms and Literary Theory. London: Penguin
Books.
Dahana, R. P. (2005). “Senja Buram, Daging di Mulutnya.” In Jl. “Asmaradana”: Cerpen Pilihan
kompas 2005. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Fludernik, M. (2009). An Introduction to Narratology. London: Routledge.
Genette, G. (1983). Narrative Discourse: An Essay in Method. New York: Cornell University Press.

125 | BASINDO : Jurnal Kajian Bahasa, Sastra Indonesia, dan Pembelajarannya


AKSARA Jurnal Bahasa dan Sastra
Vol. 19, No. 1, Hal. 15 ± 27, April 2018
http://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/aksara

Struktur Naratif Novel Osakat Anak Asmat


Karya Ani Sekarningsih
(Perspektif Naratologi Gérard Genette)*
Oleh:
Herman Didipu
Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo
Email: herdi.ung@gmail.com HP: 085240773101

Abstract. This study aims to describe the narrative structure of Osakat Anak Asmat
novel by Ani Sekarningsih. The narrative structure of the novel OAA analyzed
based on Gerard Genette's theoretical perspective, which focuses on five narrative
structures, namely order, duration, frequency, mood, and voice. The method used
is qualitative descriptive. The data analysis is based on Genette's theory of
nathology which includes two stages, namely partial analysis and integral analysis.
Based on the results of the research, the OAA novel narrative structure structure is
as follows. First, the OAA novel formula is structured in the narrative sequence of
the achrony. Secondly, there are two narrative duration movements used, ie scene
and pause. Third, the narrative frequency used in the novel is a singular
representation. Fourth, narrative mood of OAA novel is narrator technique outside
story, focalization technique used is zero focalization. Fifth, narrator techniques and
focalizations of OAA novels relate to the level of narrative sounds that are
heterodiegetik-ekstradiegetik.

Abstrak. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan pola struktur naratif novel


Osakat Anak Asmat karya Ani Sekarningsih. Struktur naratif novel OAA dianalisis
berdasarkan perspektif teori naratologi Gerard Genette yang memfokuskan kajian
pada lima struktur naratif, yaitu urutan naratif, durasi naratif, frekuensi naratif,
modus naratif, dan suara naratif. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif
kualitatif. Analisis data didasarkan pada teori naratologi Genette yang meliputi dua
tahapan, yaitu analisis parsial dan analisis integral. Berdasarkan hasil penelitian
ditemukan pola struktur naratif novel OAA sebagai berikut. Pertama, formula
novel OAA disusun dengan pola urutan naratif yang akroni (achrony). Kedua,
terdapat dua gerakan durasi naratif yang digunakan, yaitu adegan (scene) dan jeda
(pause). Ketiga, frekuensi naratif yang digunakan di dalam novel adalah
representasi tunggal (singulative representation). Keempat, modus naratif novel
OAA adalah teknik narator di luar cerita, teknik fokalisasi yang digunakan adalah
fokalisasi nol. Kelima, teknik narator dan fokalisasi novel OAA berhubungan
dengan tingkat suara naratifnya yaitu ekstradiegetik-heterodiegetik.

Kata kunci: novel etnografis, struktur naratif, Gérard Genette

*
Artikel ini diambil dari sebagian kajian disertasi penulis pada PPs Universitas Negeri Surabaya
(2017)

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni 15


FKIP Universitas Lampung
AKSARA Jurnal Bahasa dan Sastra
Vol. 19, No. 1, Hal. 15 ± 27, April 2018
http://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/aksara

PENDAHULUAN
Novel Osakat Anak Asmat karya Ani Sekarningsih merupakan salah satu novel
etnografis Indonesia. Novel Osakat Anak Asmat (selanjutnya disingkat OAA) dapat
disebut sebagai novel etnografis karena di dalamnya banyak mendeskripsikan atau
menggambarkan kebudayaan suku Asmat di Papua. Dengan membaca novel ini,
pembaca seolah-olah diajak berwisata budaya ke tanah Papua, khususnya ke suku
Asmat. Tidak hanya mengenalkan berbagai aturan adat dan budaya suku Asmat,
novel itu pun memberikan deskripsi tentang pola pikir dan pola tingkah laku
masyarakat setempat sebagai bentuk ekspresi mereka terhadap kehidupan.
Singkatnya, novel OAA GDSDW PHQMDGL ³MHQGHOD´ EDJL siapa saja yang ingin
mengenali suku Asmat di Papua.

Salah satu kekuatan dari novel ini adalah konstruksi penceritaannya yang mampu
merepresentasikan kehidupan masyarakat Asmat dari sudut pandang pengarang
atau narator orang luar (outsider). Sebagaimana diketahui bahwa pengarang/narator
yaitu Ani Sekarningsih merupakan orang luar Asmat yang hanya melakukan
perjalanan ke Asmat Papua. Berbagai pengalaman dan pengamatannya terhadap
pola kebudayaan suku Asmat ditransformasikan salah satunya ke dalam novel
OAA. Harus diakui bahwa tidaklah mudah mentransformasikan peristiwa-peristiwa
realistis yang didasarkan pada pengalaman dan pengamatan visual menjadi
peristiwa-peristiwa imajinatif melalui cerita. Dalam hal ini, perlu kepiawaian dan
kreativitas khusus dalam merekonstruksi peristiwa nyata ke dalam konstruksi
naratif imajinatif.

Aspek naratif (narrative) atau penceritaan menjadi salah satu aspek terpenting
dalam sebuah novel. Naratif menjadi kekuatan utama dari novel sehingga mampu
menarik perhatian pembacanya. Bahkan, dapat dikatakan bahwa tidaklah mungkin
sebuah novel ada tanpa unsur naratif di dalamnya. Dengan hadirnya unsur-unsur
naratif, sebuah novel menjadi lebih hidup. Peristiwa-peristiwa (events) nyata dalam
kehidupan tidak akan mungkin dapat tersaji menjadi peristiwa-peristiwa imajinatif,
jika pengarang tidak kreatif dalam meyusunnya ke dalam bentuk naratif.

Struktur naratif, menurut Genette (1980), terdiri atas lima kategori utama, yaitu (1)
urutan naratif (order), (2) durasi naratif (duration), (3) frekuensi naratif
(frequency), (4) modus naratif (mood), dan (5) suara naratif (voice). Pertama,
urutan naratif (order) mengacu pada hubungan antara urutan kejadian dalam cerita
dan pengaturannya dalam cerita. Urutan penyajian cerita dapat secara kronologis
atau berurutan maju (prolepsis), dan dapat pula secara non-kronologis atau kilas
balik flashback (analepsis). Kedua, durasi naratif (duration) yang menggambarkan

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni 16


FKIP Universitas Lampung
AKSARA Jurnal Bahasa dan Sastra
Vol. 19, No. 1, Hal. 15 ± 27, April 2018
http://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/aksara

perbedaan antara waktu yang sebenarnya dari suatu peristiwa (discourse time) dan
waktu yang dibutuhkan narator untuk menceritakan peristiwa tersebut (narrative
time). Ketiga, frekuensi naratif (frequency) berhubungan dengan keseringan sebuah
peristiwa terjadi dalam cerita dan seberapa sering peristiwa tersebut disebutkan
dalam cerita. Keempat, modus naratif (mood) yang memfokuskan pada konsep
µMDUDN¶ distance GDQ µSHUVSHNWLI¶ perspective) atau fokalisasi (focalization).
Kelima, suara naratif (voice) berhubungan dengan siapa yang bercerita, dan dari
mana ia bercerita.

Berdasarkan kerangka teori naratologi Genette, penelitian ini bertujuan


mendeskripsikan struktur naratif novel Osakat Anak Asmat karya Ani Sekarningsih.
Struktur naratif tersebut mencakup urutan naratif (order), durasi naratif (duration),
frekuensi naratif (frequency), modus naratif (mood), dan suara naratif (voice).

METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif.
Artinya, data penelitian yang berupa data kata, kalimat, dan paragraf,
dideskripsikan secara detail sehingga menemukan makna yang utuh dari objek
penelitian. Analisis data didasarkan pada teori naratologi Genette seperti yang telah
dikembangkan oleh Didipu (2017) yang meliputi dua tahapan, yaitu analisis parsial
dan analisis integral. Analisis parsial dilakukan dengan mengidentifikasi masing-
masing unsur naratif secara terpisah yang terdiri atas urutan naratif (order), durasi
naratif (duration), frekuensi naratif (frequency), modus naratif (mood), dan suara
naratif (voice). Setelah analisis parsial pada masing-masing unsur, analisis
diarahkan pada keterjalinan unsur-unsur naratif tersebut secara integral. Analisis
integral ini dimaksudkan untuk mendapatkan makna keseluruhan dari struktur
naratif novel etnografis.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Urutan Naratif (Order)
Novel Osakat Anak Asmat karya Ani Sekarningsih menggunakan pola urutan
penceritaan akroni (acrony). Novel OAA menggunakan pola urutan naratif akroni
karena terdapat kesejajaran antara waktu cerita dan waktu penceritaannya. Pada
tabel berikut didaftarkan urutan peristiwa yang tersusun berdasarkan urutan waktu
cerita (dengan angka) dan waktu penceritaan (dengan huruf).

Waktu Waktu
Peristiwa Cerita
Cerita Penceritaan
Osakat menjalani keseharian dengan
1 A
bermain dan sekolah

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni 17


FKIP Universitas Lampung
AKSARA Jurnal Bahasa dan Sastra
Vol. 19, No. 1, Hal. 15 ± 27, April 2018
http://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/aksara

Osakat menyaksikan upacara adat


2 B
mbis di rumah adat
Osakat dan teman-temannya
3 C
menyusup ke dalam rumah adat
Mereka ketahuan oleh salah seorang
4 D
pemangku adat
Osakat dan Kalektuske pergi
5 E
menjenguk adik Wafoco
Ibu Wafoco bersikeras tidak mau
membawa anaknya ke puskesmas
6 F
walau sudah dibujuk oleh ibu Osakat
dan suster
Pak Guru Kindom kesal dan marah
kepada kelas Osakat karena tidak
7 G
mau membantunya menyiangi atap
rumahnya
Osakat mengajak teman-temannya
untuk mencari daun-daun rumbia dan
8 H
membantu Pak Guru Kindom
memperbaiki atap rumahnya
Kepala sekolah menyampaikan
pengumuman seluruh siswa SMP
9 I
diundang melihat ke atas kapal
perang
Osakat dan dua temannya diajak
makan oleh Komandan kapal perang 10 J
di ruang makan
Osakat bertemu dengan Gunter,
seorang turis Jerman yang hendak 11 K
meneliti kebudayaan di Asmat
Osakat ikut bersama Gunter dalam
12 L
kunjungannya ke Gunung Brazza
Bersama Gunter dan tim lainnya,
Osakat melewati rimba rawa Asmat
13 M
menuju ke beberapa perkampungan
dan sekolah
Osakat mengikuti lomba anak
14 N
berbakat dan berprestasi sekecamatan
Osakat menjadi juara umum lomba
anak berbakat dengan ukiran 15 O
terbaiknya

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni 18


FKIP Universitas Lampung
AKSARA Jurnal Bahasa dan Sastra
Vol. 19, No. 1, Hal. 15 ± 27, April 2018
http://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/aksara

Berdasarkan pola formula urutan waktu cerita dan waktu penceritaan yang
dikemukakan oleh Genette, maka formula cerita novel OAA adalah sebagai berikut.

A1-B2-C3-D4-E5-F6-G7-H8-I9-J10-K11-L12-M13-N14-O15

Novel OAA terdiri atas delapan bab. Setiap bab berisi satu peristiwa yang dialami
oleh tokoh utama cerita yaitu seorang anak Asmat yang bernama Osakat. Walaupun
demikian, peristiwa demi peristiwa dalam novel disusun secara akroni. Cerita
diawali dengan rutinitas keseharian Osakat yaitu sekolah dan bermain, menangkap
ikan, dan sebagainya. Osakat berharap bisa sebebas teman-temannya yang lain,
yang hanya sekolah jika mereka mau ke sekolah. Namun orang tua Osakat tetap
mengarahkannya untuk mengutamakan sekolah daripada kegiatan lainnya. Pada
bab 2, cerita beralih pada peristiwa upacara adat mbis atau upacara adat tonggak
leluhur. Pada kesempatan tersebut Osakat mengajak teman-temannya untuk
menyusup ke dalam rumah adat jew untuk mencuri bungkusan ulat sagu. Namun
mereka ketahuan oleh seorang pemangku adat dan meminta mereka menyerahkan
bungkusan ulat sagu atau akan disidangkan secara hokum ada Asmat.

Peristiwa berlanjut pada bab 3 tentang usaha Osakat untuk membawa adik
temannya yang sakit ke puskesmas. Osakat mengajak Kalektuske untuk menjenguk
adik Wafoco yang sudah beberapa minggu sakit di rumahnya. Osakat mengusulkan
agar adiknya dibawa ke puskesmas, namun ibu Wafoco menolak. Akhirnya Osakat
meminta bantuan ibunya dan suster untuk membujuk ibu Wafoco hingga ia bersedia
membawa anaknya ke puskesmas. Cerita kemudian beralih ke bab 4 yang berkisah
tentang guru Osakat yang bernama Pak Guru Kindom yang kesal dan marah di kelas
Osakat karena tidak satu pun di antara mereka yang mau membantunya
memperbaiki atap rumahnya yang rusak. Akibatnya, Pak Guru Kindom
memutuskan untuk tidak mengajar lagi di kelas Osakat karena dia masih harus
memperbaiki atap rumahnya. Osakat berinisiasi dengan mengajak teman-temannya
yang lain untuk mencari daun-daun rumbia di hutan. Mereka pun membantu Pak
Guru Kindom memperbaiki atap rumahnya. Pak Guru Kindom menjadi senang dan
berterima kasih sehingga memutuskan untuk mengajar kembali di kelas Osakat.

Pada bab 5, cerita beralih pada peristiwa datangnya kapal perang ke dermaga.
Harapan Osakat untuk bisa naik dan melihat-lihat isi kapal akhirnya terwujud
setelah Kepala Sekolah menyampaikan pengumuman bahwa semua siswa di
sekolahnya diundang untuk melihat dan bertanya langsung ke atas kapal perang.
Hal itu tidak disia-siakan oleh Osakat dengan banyak bertanya kepada para ABK
dan petugas kapal tentang sejarah, fungsi, dan berbagai hal tentang kapal perang

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni 19


FKIP Universitas Lampung
AKSARA Jurnal Bahasa dan Sastra
Vol. 19, No. 1, Hal. 15 ± 27, April 2018
http://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/aksara

tersebut. Ternyata rasa ingin tahu Osakat dan beberapa temannya menarik perhatian
Komandan kapal tersebut hingga mereka diajak makan oleh Komandan dan para
petinggi di kapal tersebut. Peristiwa selanjutnya beralih ke bab 6 tentang pertemuan
Osakat dengan Gunter, seorang turis kebangsaan Jerman yang hendak meneliti
kebudayaan Asmat. Gunter mengajak Osakat untuk mendampinginya melakukan
perjalanan untuk mengunjungi kelompok-kelompok suku yang ada di Gunung
Brazza. Osakat pun mengonsultasikan rencana tersebut dengan ayahnya. Tanpa
ragu dan dengan memberikan pesan-pesan tentang berbagai aturan dan hokum adat
Asmat, ayahnya pun mengizinkannya mendampingi Gunter.

Papa bab 7 peristiwa berlanjut pada perjalanan Osakat, Gunter, dan rombongan.
Mereka menelusuri lembah dan rimba rawa Asmat, menuju ke beberapa
perkampungan dan sekolah di Asmat. Dalam perjalanan tersebut mereka banyak
menyaksikan keunikan tanaman yang hidup di bumi Asmat. Tidak sedikit pula
mereka melewati beberapa perkampungan dengan ciri budaya dan dialek sendiri.
Bab terakhir berkisah tentang keinginan Osakat mengikuti lomba anak berbakat dan
berprestasi tingkat kecamatan yang digelar dalam rangka hari kemerdekaan 17
Agustus. Untuk mempersiapkan dirinya, Osakat terus mengasah kreativitasnya
mengukir patung hingga harus menyepi ke tengah hutan. Hasil ukirannya pun
selesai dan siap dinilai oleh tim juri. Tak disangka akhirnya Osakat menjadi juara
umum lomba pengukir terbaik. Sebagai bentuk penghargaan, seorang pengusaha
sukses memberikannya beasiswa hingga perguruan tinggi.

Durasi Naratif (Duration)


Terdapat dua gerakan naratif yang digunakan dalam novel Osakat Anak Asmat,
yaitu adegan (scene) dan jeda (pause). Dari kedua jenis gerakan naratif ini, adegan
lebih dominan daripada jeda. Adegan lebih dominan di dalam cerita karena
mendukung hadirnya urutan naratif akroni yang menyejajarkan waktu cerita dan
waktu naratifnya. Sementara jeda hanya ditemukan pada beberapa bagian cerita.
Itupun tidak terlalu panjang karena hanya menyisip pada inti cerita. Beberapa jeda
yang ditemukan di dalam novel hanya bersifat kilasan singkat yang berfungsi
sekadar mengantarkan pengetahuan dan imajinasi pembaca pada fokus cerita
selanjutnya.

Jeda (pause) terjadi jika naratif terputus karena disisipi oleh cerita lain yang sifatnya
tidak dominan. Dalam jeda, waktu naratif tetap menduduki posisi dominan,
sedangkan waktu cerita hanya menjadi bagian kecil naratif. Berikut beberapa
contoh jeda di dalam novel Osakat Anak Asmat.

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni 20


FKIP Universitas Lampung
AKSARA Jurnal Bahasa dan Sastra
Vol. 19, No. 1, Hal. 15 ± 27, April 2018
http://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/aksara

Ketiga sahabatnya itu, Bicem, Wafoco, dan Kalaktuske sering turut dengan
ayahnya menebang jauh ke hutan. Berminggu-minggu tidak sekolah. Ia
pernah dibuat kagum oleh ketiga temannya yang menceritakan wajah Pak
Guru Mathias Simpu, yang menjemput ketiga sahabat tersebut dengan suara
memelas, agar sekolah. Ayah mereka menyambutnya dengan busur panah
yang terpentang.
³$QDN LWX PLOLN NDPL *XUX %DQ\DN \DQJ PHUHND KDUXV NHUMDNDQ 'LVLQL
PHUHND PHQGDSDW XSDK VHGDQJNDQ GL VHNRODK WLGDN ´
³%XNDQ EHJLWX %DSDN =DPDQ EHUXEDK WHUXV .LWD GLWXQWXW KDUXV MDGL OHELK
FHUGDV $QGDL PHPEDFD PHQXOLV GDQ EHUKLWXQJ ´ NDWD 3DN *XUX 0athias.
³$SDNDK JXUX PHQMDPLQ DQDN VD\D GDSDW PHQMDGL FDPDW GL NHPXGLDQ KDUL"´
tantang ayah mereka dengan suara bersamaan.
(Sekarningsih, 2002:3)

Data novel di atas dikatakan jeda karena hanya diceritakan sekilas oleh narator.
Ketika itu tokoh Osakat kesal karena ibunya selalu memaksanya untuk ke sekolah.
Ia berharap ibunya seperti orang tua ketiga temannya tersebut, yang justru lebih
suka mengajak anak mereka ke hutan. Bahkan, ketika ada guru mereka yang
menjemput mereka untuk ke sekolah, ayah mereka justru menantang guru tersebut.
Kisah itu diceritakan secara sepintas yang hanya untuk memperkuat alasan pikiran
Osakat sehingga pembaca menjadi lebih mengetahui apa yang dipikirkannya.

Contoh lain dari jeda di dalam novel dapat dilihat pada data berikut ini.
Tiba-tiba Osakat teringat bahwa sudah dua minggu adik Wafoco, Banew,
tergolek sakit, sejak keluarga itu pulang dari penebangan di hutan.
Setahunya, sampai dengan hari kemarin belum seorang pun membawanya
ke Puskesmas. Lima hari lalu, Osakat melihat Pak Tua Jokor, seorang
cenayang terkemuka, menyulut tubuh kecil itu dengan sepotong punting
kayu bara yang menyala pada dada kirinya hingga menimbulkan jeritan
panjang yang mengenaskan.
³$K EDJDLPDQD NHDGDDQ DQDN SHUHPSXDQ LWX ´ ,D EHUELFDUD VHQGLUL
(Sekarningsih, 2002:15)

Data di atas merupakan jeda singkat ketika Osakat sedang memahat ukiran patung
barunya. Tiba-tiba ia teringat adik temannya yang sedang sakit. Sekilas narator
menyisipkan cerita singkat dalam ingat Osakat yang nantinya menjadi bagian
pokok cerita pada bab 3. Ingatan Osakat pada adik temannya, Wafoco, menjadi jeda
singkat yang mengantarkan cerita pada usaha Osakat membujuk ibu Wafoco dan

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni 21


FKIP Universitas Lampung
AKSARA Jurnal Bahasa dan Sastra
Vol. 19, No. 1, Hal. 15 ± 27, April 2018
http://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/aksara

membawa adiknya Banew berobat ke Puskesmas. Usaha itu akhirnya tidak sia-sia
karena pada akhirnya Ibu Wafoco mau membawa anaknya berobat ke Puskesmas.

Frekuensi Naratif (Frequency)


Frekuensi naratif yang digunakan di dalam novel Osakat Anak Asmat adalah
representasi tunggal (singulative representation). Artinya, setiap peristiwa yang
terjadi sekali di dalam novel hanya dikisahkan atau diceritakan sekali pula. Tidak
ditemukan pengulangan-pengulangan kejadian atau peristiwa yang sama di dalam
novel tersebut. Setiap peristiwa yang dialami oleh tokoh, baik tokoh utama maupun
tokoh lainnya, hanya diceritakan sekali selama penceritaan novel. Beberapa contoh
peristiwa penting yang dialami oleh tokoh utama dan beberapa tokoh lain di dalam
novel seperti dikutipkan berikut ini.

³%DLN VHPXD WLGDN EHUVHGLD PHQMHODVNDQ ´ (QDNDS PHQDWDS WDMDP ³%LFHP


segera kamu kembalikan benda itu ke tempatnya. Cepat lakukan atau
VHNDUDQJ MXJD VD\D PHQ\LGDQJNDQ NDPX GL KDGDSDQ VHOXUXK SHPXND DGDW ´
Sekonyong-konyong dari balik asap terdengar perintah Pak Tua Owitipits
penuh wibawa.
³$QDN-anak itu tentu sudah mengambil bungkusan ulat saJX (QDNDS ´
katanya kepada ayah Osakat.
Ayah Osakat menatap berang keempat anak-anak tersebut.
Semua mendapat jatah tempelengnya. Ia harus mendidik mereka agar tidak
mengulang perbuatan yang tidak terpuji itu.
(Sekarningsih, 2002:11)

Data di atas merupakan contoh peristiwa penting yang dialami oleh Osakat dan
teman-temannya yang kedapatan mencuri bungkusan ulat sagu di dalam rumah
adat. Dalam prosesi peradatan suku Asmat, bungkusan ulat sagu merupakan salah
satu makanan khas yang disajikan pada saat prosesi upacara sakral mbis atau
upacara tonggak leluhur. Setelah prosesi selesai, setiap kepala keluarga
mendapatkan jatah bungkusan ulat sagu yang selanjutnya dibagikan kepada seluruh
anggota keluarganya. Karena merasa hanya sering mendapat jatah sedikit, Osakat
dan teman-temannya mencuri bungkusan ulat sagu yang tersimpan di dalam rumah
adat. Pada akhirnya ketahuan oleh pemangku adat. Peristiwa ini hanya diceritakan
sekali di dalam novel, tepatnya pada halaman 11.

Contoh kedua di bawah ini adalah peristiwa penting yang dirasakan oleh Osakat
ketika dinyatakan sebagai pemenang lomba mengukir dan anak berbakat dalam
rangka 17 Agustus. Osakat merasa sangat senang karena mampu menunjukkan
kemampuannya mengukir patung dengan jelimet dan mampu menjadi yang terbaik

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni 22


FKIP Universitas Lampung
AKSARA Jurnal Bahasa dan Sastra
Vol. 19, No. 1, Hal. 15 ± 27, April 2018
http://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/aksara

di antara sekian banyak pengrajin ulung di Asmat. Berkat kemampuannya itu,


seorang pengusaha sukses berjanji akan memberikan beasiswa pendidikannya.
Peristiwa ini hanya diceritakan sekali pada menjelang akhir novel, yaitu pada
halaman 64-65.
Ketua panitia masih tegak di depan corong mikrofon. Ia memerluka
beberapa waktu diam dan membalik-balik lembaran kertas. Pengeras suara
itu lalu mengeluarkan bunyi. Menggelegar memecah jeda kesunyian.
³$GDSXQ MXDUD XPXP GLUDLK ROHK « ´ .HWXD SDQLWLDQ PHQJHOLOLQJNDQ
SDQGDQJDQQ\D NHSDGD SDUD WDPX ³2VDNDW 0XULG 603 1HJHUL $JDWV ´
Osakat tersentak, gugup. Ia tidak percaya namanya dipanggil. Ia menyadari
seluruh penonton yang memenuhi lapangan kecamatan tertuju kepadanya.
Tidak urung dalam hati menyelinap perasaan ragu dan malu.
(Sekarningsih, 2002:61)

Dominasi durasi frekuensi tunggal dalam novel OAA mendukung hadirnya pola
urutan naratif yang sifatnya akroni. Penceritaan tunggal terhadap satu peristiwa
menyebabkan urutan naratif berjalan sejajar antara waktu cerita (story time) dan
waktu penceritaannya (narrative time). Selain itu, dominasi frekuensi tunggal
digunakan oleh pengarang untuk bisa lebih banyak mendeskripsikan hal-hal yang
dirasa penting diceritakan, yaitu deskripsi kebudayaan. Dengan kalimat lain,
frekuensi tunggal memungkinkan pengarang untuk lebih banyak mendeskripsikan
aspek kebudayaan masyarakat suku Asmat, terutama yang berkaitan dengan
berbagai pola pikir dan perilaku masyarakat setempat dalam berinteraksi sosial.

Modus Naratif (Mood)


Dalam menyampaikan ceritanya, pengarang menggunakan teknik narator yang
bukan merupakan tokoh dalam cerita, analisis internal peristiwa, pengarang
mahatahu atau analitis dalam mengisahkan cerita. Narator berada di luar cerita, dan
hanya mengisahkan tokoh utama Osakat dan beberapa tokoh lainnya. Walaupun
berada di luar cerita, narator mampu mengisahkan setiap peristiwa yang dialami
oleh tokoh utama dan beberapa tokoh lain secara detail dan mendalam. Narator
bersifat mahatahu dan analitis terhadap bentuk fisik, pikiran dan perasaan beberapa
tokoh di dalam novel. Berikut contoh data dari dalam novel Osakat.

³2VDNDW EXQJNXVDQ DSD LWX"´ VHNDUDQJ (QDNDS EHUEDOLN EHUWDQ\D ODQJVXQJ


menghadapi putranya. Sebagai lelaki sejati Osakat tidak menjawab. Atau ia
memperoleh pengakuan sebagai sebagai seorang penghianat, dan kemudian
menjadi bahan olok-olokan seluruh kampung dan dijauhi teman-teman
sebaya. Demikian pula dengan kedua temannya yang lain, ketika ayahnya
meminta penjelasan, tidak seorang pun membuka mulut.
(Sekarningsih, 2002:11)

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni 23


FKIP Universitas Lampung
AKSARA Jurnal Bahasa dan Sastra
Vol. 19, No. 1, Hal. 15 ± 27, April 2018
http://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/aksara

Data novel di atas memperlihatkan teknik penceritaan yang naratornya berada di


luar cerita. Narator hanya mengisahkan atau menceritakan tokoh-tokoh di dalam
cerita dengan cara melaporkan semua hal yang dialami tokoh-tokoh. Walaupun
demikian, narator mampu menceritakan sedetail mungkin apa yang dialami dan
dirasakan oleh tokoh-tokoh di dalam cerita. Pada contoh data di atas, narator bahkan
mampu meramalkan sesuatu yang akan terjadi jika tokoh Osakat dan dua temannya
mengakui perbuatan mereka. Ini membuktikan bahwa walaupun tidak secara
langsung menjadi tokoh utama di dalam cerita, pengarang mampu mendeskripsikan
secara mendalam berbagai hal yang berhubungan isi cerita.

Teknik fokalisasi yang digunakan adalah fokalisasi nol, yaitu narator tahu lebih
tentang apa yang diketahui oleh satu atau beberapa tokoh. Narator mahatahu
berbagai hal tentang tokoh di dalam cerita. Bentuk fisik, apa yang dirasakan, apa
yang dipikirkan, bahkan apa yang akan dialami oleh tokoh bisa diprediksi. Tidak
hanya pada satu tokoh utama, namun sampai beberapa tokoh. Berikut contoh teknik
fokalisasi dalam novel Osakat.
Usia Osakat sekarang empat belas tahun. Badannya tegap, kukuh, serta
padat berisi. Rambutnya keriting lada, berwarna hitam pekat. Baru enam
bulan ia duduk di kelas satu SMP. Sementara Bicem dan Wafoco yang
berusia 16 dan bertumbuh tinggi dari Osakat masih duduk di kelas 5. Owey
dan Kalektuske sebaya dengan Osakat, masih duduk dikelas 4, murid
ibunya.
(Sekarningsih, 2002:3)
Ceritanya, Pak Guru Kindom kesal. Rumahnya sudah banyak bocor. Untuk
menyiangi atap daun rumbia rumahnya ia harus mencari bahan-bahannya
sendiri di hutan. Akan tetapi, pekerjaan mengajarnya tidak sedikit. Ia harus
membuat persiapan, membuat soal-soal ulangan, dan memeriksa hasil-hasil
ulangannya sekaligus. Sementara murid-murid kelasa tiga harus
dipersiapkan lebih ketat menghadapi ujian akhir yang sudah mendesak.
Padahal ia juga masih harus tambahan penghasilan karena gaji yang
diterimanya selalu terlambat, tidak cukup. Sedangkan biaya di daerah
terpencil seperti Asmat, mencekik leher.
(Sekarningsih, 2002:22)

Pada data pertama, narator mendeskripsikan bentuk fisik tokoh Osakat dan tokoh-
tokoh lainnya. Secara detail narator menggambarkan bentuk tubuh, tinggi badan,
hingga usia mereka. Penggambaran seperti ini lebih mengkonkretkan kehadiran
tokoh-tokoh cerita sehingga pembaca secara imajinatif dapat membayangkan
keadaan fisik tokoh-tokoh tersebut. Pada data kedua, narator menggambarkan
perasaan kesal tokoh Pak Guru Kindom yang merasa kesal karena harus
memperbaiki rumahnya di tengah-tengah himpitan tugas mengajarnya. Dua contoh

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni 24


FKIP Universitas Lampung
AKSARA Jurnal Bahasa dan Sastra
Vol. 19, No. 1, Hal. 15 ± 27, April 2018
http://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/aksara

data di atas menjelaskan teknik fokalisasi yang secara akurat mampu


mendeskripsikan berbagai keadaan tokoh-tokoh cerita hingga pada berbagai
deskripsi kebudayaan suku Asmat. Dengan demikian, walaupun narator tidak
secara langsung hadir dalam cerita, namun ia mampu mendeskripsikan secara detail
berbagai seluk beluk kehidupan masyarakat Asmat.

Suara Naratif (Voice)


Waktu penceritaan novel Osakat Anak Asmat adalah simultaneous atau penceritaan
masa kini, yaitu teknik penceritaan yang mengambil latar waktu penceritaan pada
satu masa yang terjadi di dalam novel. Sementara novel Osakat Anak Asmat
menggunakan teknik narator heterodiegetik, yaitu teknik penceritaan yang narator
atau penceritanya berada di luar cerita. Dengan demikian, novel ini berada pada
tingkat naratif ekstradiegetik-heterodiegetik, yaitu tingkat naratif pertama yang
naratornya tidak hadir dalam ceritanya.

Waktu penceritaan yang simultaneous sesuai dengan teknik waktu naratif yang
digunakan dalam novel ini yaitu akroni. Untuk jelasnya, berikut dua data peristiwa
yang menggambarkan waktu penceritaan simultaneous atau waktu penceritaan
masa kini dalam novel Osakat Anak Asmat.

Pertama kali Osakat masuk dalam lingkungan rumah adat, tepat saat
diadakan awal pesta upacara mbis. Yakni upacara membuat tonggak leluhur
berupa patung bersusun setinggi 12 m terbuat dari jenis pohon bakau yang
mempunyai akar papan yang lebar. Guna memperingati meninggalnya salah
seorang kakek dari pihak Enakap, ayah Osakat.
(Sekarningsih, 2002:5)
Osakat tidak sepenuhnya memahami dialeg bahasa mereka. Namun, hampir
setiap irama lagu, Osakat dapat merasakan irama napas alam itu sendiri.
Penaklukan terhadap kekalahan dan kemenangan selama berates-ratus tahun
yang mewarnai hidup orang-orang yang akrab dengan hutan rawa. Ada
semacam nada kerinduan pada keheningan semesta yang entah di mana.
Kecuali mengatasnamakan tiap peristiwa pada dunia arwah para leluhur.
Gunter menyerahkan tembakau Lampion dan beberapa bungkus rokok
kepada salah seorang di antara mereka.
(Sekarningsih, 2002:48)

Dua data di atas merupakan contoh peristiwa yang dialami oleh tokoh utama yaitu
Osakat. Dua contoh peristiwa tersebut terjadi secara kronologis dan berurut sesuai
alur cerita. Peristiwa pertama terjadi ketika Osakat diajak oleh ayahnya pergi ke
rumah adat untuk menyaksikan upacara sacral yaitu upacara adat mbis. Peristiwa

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni 25


FKIP Universitas Lampung
AKSARA Jurnal Bahasa dan Sastra
Vol. 19, No. 1, Hal. 15 ± 27, April 2018
http://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/aksara

ini diceritakan oleh narator pada bagian-bagian awal cerita. Peristiwa kedua
merupakan contoh peristiwa yang dijalani oleh Osakat ketika ia mendampingi
Gunter, seorang turis asal Jerman, yang sedang melakukan penelitian kebudayaan
di Asmat. Semua peristiwa diceritakan secara kronologis atau akroni dengan waktu
penceritaan yang sama dengan peristiwa yang dialami oleh tokoh.

Novel Osakat Anak Asmat Ani Sekarningsih menggunakan teknik narator


heterodiegetik dalam menyampaikan ceritanya. Teknik narator heterodiegetik
digunakan dengan cara narator bercerita tentang tokoh-tokoh di dalam cerita
sedangkan narator sendiri berada di luar cerita. Narator hanya menjadi pelapor dari
peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokoh di dalam cerita. Berikut contoh data dalam
novel.

Ia tertarik akan Asmat sejak kunjungannya semasa masih mahasiswa di


Aachen Universiteit. Tatkala ia berkunjung ke Musium Metropolitan di
New York dan mendengar penjelajahan Michael Rockefeller menyusuri
sungai Unir melalui pegunungan Jayawijaya hingga tewas digulung ombak
lautan Arafura di Pantai Kasuari. Ia mengagumi koleksi deretan patung mbis
yang mencapai ketinggian 1 meter. Megah berbaris di museum yang
bergengsi itu. Lain dengan yang ada di museum Tropen di Amsterdam atau
di museum Volkerkunde di Roterdam, yang menayangkan artefak alat-alat
rumah tangga, berupa terompet berukir, piring sagu, dayung, kepala perahu,
tifa, batu bintang untuk menokok kepala musuh dan benda-benda kecil
lainnya.
(Sekarningsih, 2002:41)
Yah, mereka sesungguhnya orang-orang kaya. Namun kemudian Osakat
sadar. Ada yang berubah di sekelilingnya. Nilai kekayaan dan
kesejahteraan, sekarang ini ditentukan dengan nilai uang. Pola makan
berubah. Mereka sekarang memilih membeli beras yang mudah
mengolahnya. Lain halnya dengan proses sagu, perlu waktu lima belas tahun
untuk dapat memanen sari patinya. Sementara kebiasaan menebang pohon
sagu tidak hanya pohon yang bernas dirubuhkan, tetapi juga dibarengi
dengan pohon sagu muda yang ditebang dan mubazir. Pikiran mengukur
laba rugi suatu proses kehidupan itu sudah saling berulang menampar-
nampar kepalanya yang kecil. Betapa sulitnya uang ditempatnya.
(Sekarningsih, 2002:50-51)

Dalam dua data novel di atas, narator memosisikan dirinya sebagai pengamat yang
melaporkan apa yang diamatinya tentang tokoh-tokoh di dalam cerita. Data pertama
tampak narator bercerita tentang tokoh Gunter yang kagum akan kekayaan alam
dan budaya suku Asmat. Demikian pula pada data kedua, narator mengamati secara

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni 26


FKIP Universitas Lampung
AKSARA Jurnal Bahasa dan Sastra
Vol. 19, No. 1, Hal. 15 ± 27, April 2018
http://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/aksara

detail dan menyampaikan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh tokoh Osakat
kepada pembaca. Teknik narator heterodiegetik ini sangat relevan dengan teknik
fokalisasi yang digunakan oleh pengarang, yaitu fokalisasi nol.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan disimpulkan struktur naratif novel
Osakat Anak Asmat karya Ani Sekarningsih sebagai berikut. Pertama, formula
novel OAA disusun dengan pola urutan naratif yang akroni (achrony), yaitu
terdapat kesejajaran antara waktu cerita dan waktu penceritaannya. Kedua, terdapat
dua gerakan durasi naratif yang digunakan, yaitu adegan (scene) dan jeda (pause).
Adegan lebih dominan di dalam cerita karena mendukung hadirnya urutan naratif
akroni yang menyejajarkan waktu cerita dan waktu naratifnya. Sementara jeda
hanya ditemukan pada beberapa bagian cerita. Ketiga, frekuensi naratif yang
digunakan di dalam novel adalah representasi tunggal (singulative representation).
Artinya, setiap peristiwa yang terjadi sekali di dalam novel hanya dikisahkan atau
diceritakan sekali pula. Frekuensi naratif tunggal mendukung hadirnya urutan
naratif yang akroni. Selain itu, hal tersebut memungkinkan pengarang untuk
mendeskripsikan kebudayaan suku Asmat lebih banyak lagi. Keempat, modus
naratif novel OAA adalah teknik narator di luar cerita, teknik fokalisasi yang
digunakan adalah fokalisasi nol, yaitu narator tahu lebih tentang apa yang diketahui
oleh satu atau beberapa tokoh. Teknik narator dan fokalisasi novel OAA
berhubungan dengan tingkat suara naratifnya yaitu ekstradiegetik-heterodiegetik.
Tingkat naratif ekstradiegetik-heterodiegetik, yaitu tingkat naratif pertama yang
naratornya tidak hadir dalam ceritanya. Adapun waktu penceritaan novel OAA
adalah simultaneous atau penceritaan masa kini, yaitu teknik penceritaan yang
mengambil latar waktu penceritaan pada satu masa yang terjadi di dalam novel.

DAFTAR PUSTAKA

Didipu, Herman. (2017). Struktur dan Simbol Narasi Budaya dalam Novel
Etnografis: Kajian Interpretatif Simbolik. Disertasi tidak diterbitkan.
Surabaya, PPs UNESA.
Genette, Gérard. (1980). Narrative Discourse: An Essay in Method. Translated by
Jane E. Lewin. New York: Cornell University Press.
Sekarningsih, Ani. (2002). Oskata Anak Asmat. Jakarta: Dewata Publishing.

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni 27


FKIP Universitas Lampung

Anda mungkin juga menyukai