Anda di halaman 1dari 15

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FK UNPAD/RSHS BANDUNG

Sari Pustaka
Subdivisi : Respirologi
Oleh : Citra Cesilia
Pembimbing : Prof. Cissy R.S. Prawira, dr.,Sp.A(K), MSc, PhD
Prof. Dr. Heda Melinda, dr., Sp.A(K), MKes
Sri Sudarwati, dr., Sp.A(K)
Diah Asri Wulandari, dr.,Sp.A(K)
Tanggal : Desember 2017

PADUAN STANDAR JANGKA PENDEK SEBAGAI TATA LAKSANA


TUBERKULOSIS RESISTEN OBAT PADA ANAK

PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) telah dinyatakan sebagai kegawatdaruratan dunia oleh World Health
Organization (WHO) pada tahun 1994.1 Jumlah seluruh kasus Tuberkulosis Resisten Obat
(TB-RO) dan Extensively drug-resistant tubeculosis (XDR-TB) meningkat di seluruh dunia
dari tahun ke tahun. World Health Organization memperkirakan bahwa kasus TB-RO baru
meningkat dari 250.000 pada tahun 2009 menjadi 450.000 pada tahun 2012, dan sebesar
480.000 kasus TB-RO baru terjadi di seluruh dunia pada tahun 2014, dengan angka kematian
sejumlah 190.000 orang.1,2 Perkembangan dalam mendiagnosis dan mentatalaksana TB-RO
sesuai target WHO masih lambat. Pada tahun 2012 sebagian besar negara dengan beban TB-
RO yang tinggi hanya dapat mendeteksi kurang dari 25% pasien yang diperkirakan memiliki
TB-RO dan hanya sekitar 77.000 pasien TB-RO memulai pengobatan di seluruh dunia.
Jumlah ini hanya merepresentasikan sebesar 17% dari jumlah kasus TB-RO yang
diperkirakan. 1–3
Secara umum sebagian besar kasus TB-RO masih tidak terdeteksi dan tidak diobati karena
kemampuan laboratorium yang terbatas untuk melakukan tes resistansi obat dan akses
terbatas terhadap pengobatan lini kedua.4 Pengobatan TB-RO berdasarkan rekomendasi WHO
tahun 2014 membutuhkan waktu yang lama (18–20 bulan), menghabiskan biaya yang besar,
dan sering dihubungkan dengan terjadinya efek samping yang tidak diinginkan. Tata laksana
TB-RO pada anak dipersulit lagi dengan keterbatasan data mengenai dosis dan keamanan
terapi, serta kurangnya pengobatan yang ramah terhadap anak-anak.2 Pada tahun 2010
dilakukan penelitian kohort prospektif terhadap pasien TB-RO yang mendapat terapi standar,
namun angka keberhasilan terapi hanya 48%, hal ini disebabkan angka loss to follow up dan
atau kematian yang tinggi.1 Regimen obat yang lebih efektif, ramah anak, dan durasi yang

1
lebih singkat diperlukan dalam tata laksana dan pencegahan TB-RO, disamping hadirnya
obat-obat baru masih memerlukan evaluasi lebih lanjut pada anak-anak. 3 Pada Mei 2016
WHO mengeluarkan rekomendasi mengenai paduan standar jangka pendek selama 9–11
bulan yang dapat digunakan pada dewasa dan anak. Paduan ini dikatakan memiliki angka
keberhasilan lebih baik dari paduan standar sebesar >85% dan menurunkan angka loss to
follow up serta biaya yang lebih murah.
Tinjauan pustaka kali ini akan membahas mengenai definisi TB-RO, epidemiologi TB-
RO, paduan tata laksana jangka pendek TB-RO pada anak, perbedaan jangka pendek dan
jangka panjang, dan penggunaan paduan jangka pendek di Indonesia.

DEFINISI
Mono resisten didefinisikan sebagai tuberkulosis yang disebabkan karena strain
Mycobacterium tuberculosis (MTB) yang resisten hanya pada satu obat antituberkulosis lini
pertama (isoniazid atau rifampisin) pada hasil uji kepekaan. Poli resistensi bila didapatkan
resistensi terhadap lebih dari satu obat anti tuberkulosis lini pertama (namun bukan isoniazid
atau rifampisin secara bersama-sama). Tuberkulosis resisten obat (TB-RO) didefinisikan
sebagai tuberkulosis yang disebabkan karena strain MTB yang resisten, pada isoniazid dan
rifampisin. Extensively drug-resistant (XDR-TB) jika pada hasil uji kepekaan didapatkan TB-
RO ditambah resisten terhadap obat golongan fluorokuinolon dan obat injeksi lini kedua
(amikasin, kanamisin, kapreomisin). Diagnosis TB-RO ditegakkan menggunakan tes cepat
molekuler (TCM) dengan metode PCR (Xpert MTB/Rif) dan pemeriksaan uji kepekaan
kuman terhadap obat TB (Drug susceptilbility test/DST).1,5–7 Pasien dinyatakan sembuh jika
telah selesai menjalani pengobatan sesuai rekomendasi tanpa adanya bukti kegagalan dan
pemeriksaan BTA 3 kali berturut-turut dalam rentang 30 hari setelah pengobatan dinyatakan
negatif.7

EPIDEMIOLOGI
Pada tahun 2015 WHO memperkirakan sebesar 14.4 juta insidensi baru TB diseluruh dunia,
dimana sebesar 5,9 juta (56%) adalah laki-laki, 3,5 juta (34%) adalah perempuan, dan 1 juta
(10%) adalah anak-anak. Indonesia menduduki posisi ke empat dari 30 negara dengan TB-
RO tertinggi pada tahun 2015. Data WHO pada tahun 2015 menyebutkan incidence rate TB-
RO di Indonesia sebesar 12:100.000 populasi, kelompok usia 0–14 tahun sejumlah 942 kasus,
dan dari 10.000 kasus yang diperkirakan sebagai TB-RO, yang terkonfirmasi sebagai TB-RO
sebesar 2.135 kasus dan XDR-TB sebesar 28 kasus, namun hanya sejumlah 895 kasus yang

2
menjalani pemeriksaan resistensi obat lini kedua, dan hanya sejumlah 71% (n=1.519 pasien)
TB-RO yang mendapat terapi, dan 78% (n=22 pasien) pasien XDR-TB yang mendapat
terapi.8
Data mengenai TB-RO pada anak memiliki dokumentasi yang belum baik. 3 Kejadian TB-
RO anak meningkat seiring meningkatnya jumlah TB-RO dewasa. 9, Evaluasi data terbaru dari
WHO menemukan bahwa hanya 35 dari 85 negara yang melaporkan kasus TB-RO yang
menyertakan anak-anak (usia <15 tahun), setidaknya satu kasus TB-RO anak pada data
surveilans resistensi obat berdasarkan kelompok usia.4 Penelitian di Inggris menggunakan
modeling matematika untuk memperkirakan beban TB-RO secara global pada anak-anak
menunjukkan rata-rata 6,9% dari insiden penyakit tuberkulosis pada anak-anak adalah
monoresisten isoniazid dan sebesar 2,9% adalah TB-RO. Tuberkulosis resisten obat pada
anak-anak rata-rata 4,7% diperkirakan akan menjadi XDR-TB.8,10
Pada akhir November 2016, di Indonesia, layanan Programmatic Management of Drug
resistant Tuberculosis (PMDT) telah meluas ke 35 rumah sakit rujukan PMDT, 57 pusat
perawatan PMDT dan 1.193 lokasi pengobatan (satelit pengobatan) di 34 provinsi. Sebanyak
lebih dari 55.000 pasien TB yang diuji untuk resistansi obat dan 6.000 pasien TB-RO (pasien
RR,TB-RO, dan XDR-TB) telah dirawat di Indonesia sejak 2009. Pada tahun 2016 (Januari–
November), sebanyak 2.293 orang dikonfirmasi sebagai TB-RO maupun TB-Rifampisin
resisten (TB-RR) dan sebanyak 1.420 (62%) didata sebagai kasus baru. Tingkat keberhasilan
pengobatan untuk kasus TB-RO/TB-RR yang terdata pada tahun 2013 di Indonesia sebesar
51% dan tingkat keberhasilan pengobatan yang terdata di Indonesia pada tahun 2013 hanya
sebesar 40%.11
Di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) sejak tahun 2014 terdapat 12 penderita TB-RO
anak berdasarkan data registri TB-RO Divisi Respirologi anak, dua diantaranya meninggal
dunia. Usia terkecil yaitu usia 2 bulan dan terbesar hingga saat ini yaitu usia 17 tahun.

PADUAN STANDAR JANGKA PENDEK SEBAGAI TATA LAKSANA TB-RO


ANAK
Pada bulan Mei 1997 sampai Desember 2007 dilakukan suatu penelitian observasional
prospektif selama 12 tahun oleh suatu yayasan non-pemerintah di Bangladesh bernama
Yayasan Damien yang bekerja sama dengan pemerintah menerapkan layanan tuberkulosis
pada suatu pedesaan di Bangladesh, desa ini ditempati oleh lebih dari 27 juta penghuni. Pada
penduduk desa ini diterapkan 6 kategori kelompok selama 9–11bulan pada tiga RS yang
penduduknya terdata sebesar 75% di antaranya memiliki BTA positif dan kurang dari 1% di

3
antaranya memiliki TB yang resisten terhadap berbagai jenis obat. Pemantauan selama 12
tahun menunjukkan dari 124.498 pasien sputum BTA-positif pada pengobatan lini pertama
didapatkan sebesar 87,5% dinyatakan sembuh dan kurang dari 2% dinyatakan gagal
pengobatan, dan sekitar 5% pasien meninggal atau gagal selama pengobatan. Semua obat
yang digunakan pada penelitian paduan jangka pendek adalah sediaan generik sehingga biaya
yang digunakan untuk regimen ini hanya menghabiskan dana sekitar 200 Euro, sehingga
paduan ini memberikan keuntungan bagi banyak negara dengan penghasilan rendah. Reaksi
simpang obat yang hebat jarang terjadi dan dapat segera diatasi.12

Pada bulan November 2015 WHO mengadakan pertemuan Guideline Development Group
(GDG) yang terdiri dari kelompok multidisiplin TB-RO untuk memperbarui rekomendasi
kebijakan mengenai pengobatan TB yang resistan terhadap obat. Hasil TB Update 2016 salah
satunya membahas mengenai efektifitas dan keamanan regimen standar jangka pendek untuk
pengobatan pasien dengan TB-RO (shorter regiment MDR-TB) bila dibandingkan dengan
pengobatan yang konvensional.13

Serangkaian regimen yang digunakan di Bangladesh untuk mengobati TB-RO telah


menghasilkan apa yang dikenal sebagai rejimen 'Bangladesh'. Penelitian yang melibatkan
anak-anak dilakukan pertama kali di Mumbai terhadap 515 anak-anak dengan usia terkecil
adalah 12 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan keberhasilan sebesar 85%, signifikan jika
dibandingkan denga paduan sebelumnya yang lebih lama yaitu 24 bulan.14 Data Bangladesh
selanjutnya didukung oleh data dari banyak negara, sebagian besar di Afrika dari tahun 2005
sampai tahun 2011, menunjukkan tingkat keberhasilan pengobatan >80%, secara signifikan
lebih tinggi daripada yang umumnya dilaporkan dengan regimen 1824 bulan. Hasil
penelitian dari 515 pasien yang memenuhi kriteria inklusi penelitian didapatkan sebanyak
84,4% memilki hasil yang baik secara bakteriologis.6

Pada bulan Mei 2016 WHO mengeluarkan rekomendasikan regimen pengobatan yang
lebih singkat dan lebih murah untuk TB-RO yang dikenal dengan shorter regiment MDR-TB
atau “Bangladesh regimen”. Regimen ini terdiri dari tujuh macam obat dan durasi pengobatan
yang lebih singkat yaitu 912 bulan. Kriteria utama penggunaan regimen ini antara lain tidak
terbukti adanya resistensi yang dikonfirmasi atau diduga terhadap obat yang terkandung
dalam regimen (kecuali isoniazid), tidak ada riwayat terpapar sebelumnya terhadap obat lini
kedua dalam regimen (selama > 1 bulan) dan tidak ada intoleransi obat. Pasien hamil dan
pasien dengan penyakit ekstrapulmoner tidak dianjurkan untuk menerima rejimen yang lebih

4
pendek.6,14 Alur penentuan pengobatan pasien TB-RO di Indonesia dapat dilihat seperti pada
gambar 1.

Gambar 1. Alur penentuan paduan pengobatan pasien TB-RO di Indonesia


Sumber: Petunjuk teknis pengobatan pasien TB resisten obat dengan paduan jangka
pendek 6

Pedoman standar jangka pendek diberikan kepada pasien TB RR/MDR yang memenuhi
semua kriteria. Bila ada salah satu kriteria yang tidak terpenuhi maka pasien akan
mendapatkan paduan pengobatan individual.6 Regimen standar jangka pendek terdiri dari
empat macam obat (moksifloksasin, clofazimin, etambutol, dan pirazinamid) yang digunakan
selama 9–12 bulan, ditambah 3 macam obat (kanamisin, isoniazid dosis tinggi, dan
protionamid/etionamid) pada fase inisia 4–6 bulan. (Tabel 1)6,14

5
Tabel 1. Obat Pada Paduan Standar Jangka Pendek
Tahap awal (diberikan setiap hari selama 46 Tahap lanjutan (diberikan setiap ari selama 5 bulan)
bulan)
Kanamisin (Km) Moxifloxacin (Mfx)
Moxifloxacin (Mfx) Clofazimin (Cfz)
Etionamid (Eto)/Protionamid (Pro) Etambutol (E)
Isoniazid dosis tinggi (HDT) Pirazinamid (Z)
Clofazimin (Cfz)
Etambutol (E)
Pirazinamid (Z)
Sumber: Petunjuk teknis pengobatan pasien TB resisten obat dengan paduan jangka pendek 6

4–6 Km-Mfx-Eto(Pro)-H(DT)-Cfz-E-Z / 5 MFx-Cfz-E-Z

Dosis obat pada paduan


standar jangka pendek berdasarkan pengelompokkan berat badan. (Tabel 2).6 Rekomendasi
WHO menyebutkan bahwa paduan jangka pendek ini dapat digunakan pada anak-anak usia
diatas 14 tahun, dengan asumsi pada anak usia diatas 14 tahun memiliki berat-badan sekitar
30 kilogram.15 Pada penelitian yang di lakukan di India didapatkan data bahwa paduan obat
jangka pendek diberikan pada usia 12–76 tahun, namun tidak didapatkan data berapa jumlah
pasien yang berusia <15 tahun.16

Tabel 2. Dosis OAT Berdasarkan Berat Badan


Nama obat Dosis berdasarkan kelompok berat badan
<33kg 33-50kg >50-70kg >70kg
Kanamisin 0,5 g 0,75 g 0,75 g 1g
Moxifloxacin 400 mg 600 mg 800 mg 800 mg
Clofazimin 50 mg 100 mg 100 mg 100 mg
Etambutol 600 mg 800 mg 1000 mg 1200 mg
Pirazinamid 750 mg 1500 mg 2000 mg 2000 mg
Isoniazid 300 mg 600 mg 600 mg 900 mg
Etionamid 500 mg 500 mg 750 mg 1000 mg
Protionamid 500 mg 500 mg 750 mg 1000 mg
Sumber: Petunjuk teknis pengobatan pasien TB resisten obat dengan paduan jangka pendek 6
Keterangan:
-Khusus untuk INH pasien dengan BB 33-40kg diberikan 450mg, >40kg diberikan 600mg
Cara pemberian obat:6
1. Pasien akan mendapatkan pengobatan paduan standar jangka pendek selama minimal
9 bulan, terdiri dari 4 bulan fase awal dan 5 bulan fase lanjutan.
2. Pada tahap awal, obat oral dan injeksi diberikan setiap hari (tujuh hari, Senin sampai
dengan Minggu).

6
3. Pada keadaan dimana tidak terjadi konversi BTA pada bulan ke-4, tahap awal
diperpanjang menjadi 6 bulan sehingga durasi total pengobatan menjadi 11 bulan (6
bulan tahap awal dan 5 bulan tahap lanjutan). Pada bulan ke-5 dan ke-6 obat injeksi
diberikan 3 kali seminggu (intermitten) dan obat oral tetap diberikan setiap hari (7
hari, Senin sampai dengan Minggu).
4. Bila pada bulan ke-6 tidak terjadi konversi BTA, maka terapi dengan paduan standar
jangka pendek dihentikan dan hasil pengobatan akan dicatat sebagai “pengobatan
gagal”. Pasien dirujuk ke fasyankes rujukan TB-RO untuk dievaluasi lebih lanjut dan
diobati dengan paduan individual.
5. Pemilihan etionamid dan protionamid tergantung pada ketersediaan obat program.
6. Semua dosis pengobatan harus diberikan dengan pengawasan langsung Pengawas
Menelan Obat (PMO).
7. Pasien yang mendapatkan paduan standar jangka pendek dan tanpa penyulit sangat
dianjurkan untuk melanjutkan pengobatan di fasyankes terdekat dengan tempat
tinggal pasien. Langkah-langkah desentralisasi pasien tersebut mengikuti tata cara
sesuai Juknis Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resistan Obat (MTPTRO) yang
selama ini diterapkan.

PERBEDAAN PADUAN STANDAR JANGKA PENDEK DAN JANGKA PANJANG

Regimen obat
Sesuai rekomendasi WHO 2014, prinsip paduan pengobatan TB resisten obat harus terdiri
dari kombinasi sekurangnya 5 (lima) jenis OAT pada tahap awal, yaitu 4 (empat) OAT inti
yaitu OAT lini kedua yang terbukti masih efektif atau belum pernah digunakan, yaitu salah
satu OAT dari grup A (golongan flurokuinolon), salah satu OAT dari grup B (golongan OAT
suntik lini kedua, 2 OAT dari grup C (golongan OAT oral lini kedua), 1 (satu) OAT lini
pertama yaitu pirazinamid (grup D1), masuk sebagai bagian dari dari 5 obat yang harus
diberikan tetapi tidak dihitung sebagai obat inti. Tidak dihitung sebagai bagian dari 5 (lima)
OAT TB-RO yang dipersyaratkan di atas adalah OAT inti dari grup D1 yang bisa
ditambahkan untuk memperkuat efikasi paduan. Contoh paduan obat TB-RO anak dengan
TB-RO terhadap isoniazid dan Rifampisin terkonfirmasi dengan Xpert MTB/Rif atau uji
kepekaan obat:
8Km-Lfx-Eto—Cs-Z-E/12-18Eto-Lfx-Cs-Z-E

7
Pedoman standar jangka pendek diberikan kepada pasien TB RR/RO yang memenuhi
semua kriteria, bila ada salah satu kriteria yang tidak terpenuhi maka pasien akan
mendapatkan paduan pengobatan individual.6 Regimen standar jangka pendek terdiri dari
empat macam obat (moksifloksasin, clofazimin, etambutol, dan pirazinamid) yang digunakan
selama 9–12 bulan, ditambah 3 macam obat (kanamisin, isoniazid dosis tinggi, dan
protionamid/etionamid) pada fase inisial 4–6 bulan. Pada paduan standar jangka pendek
menggunakan moksifloksasin daripada levofloksasin.

4-6 Km-Mfx-Eto(Pro)-H(DT)-Cfz-E-Z / 5 MFx-Cfz-E-Z

Pada keadaan dimana tidak terjadi konversi BTA pada bulan ke-4, tahap awal
diperpanjang menjadi 6 bulan sehingga durasi total pengobatan menjadi 11 bulan (6 bulan
tahap awal dan 5 bulan tahap lanjutan). Pada bulan ke-5 dan ke-6 obat injeksi diberikan 3 kali
seminggu (intermitten) dan obat oral tetap diberikan setiap hari (7 hari, Senin sampai dengan
Minggu).
Kelompok terapi

Pada paduan jangka panjang dapat digunakan pada anak mulai usia 0 tahun, dengan
perhitungan dosis obat berdasarkan berat badan. Sedangkan pada paduan jangka pendek
sesuai rekomendasi WHO hanya dapat digunakan pada usia diatas 14 tahun, karena
perhitungan dosis obat berdasarkan berat badan sekitar 30 kg. Hingga saat ini belum ada
penelitian yang melibatkan anak-anak dibawah 12 tahun untuk diberikan paduan jangka
pendek.

Monitoring dan evaluasi

Selama menjalani pengobatan, pasien TB-RO harus dipantau gejala klinis, kepatuhan minum
obat, berat badan, efek samping dan pemeriksaan penunjang. Pemantauan yang dilakukan
pada penggunaan paduan standar jangka panjang antara lain setiap bulan harus dilakukan
pemeriksaan apusan dan biakan dahak pada tahap awal dan setiap 2 bulan sekali pada tahap
lanjutan. Selain itu pada paduan standar dilakukan uji kepekaan obat pada awal sebelum
memulai pengobatan dan berdasarkan indikasi. Pemeriksaan EKG dilakukan pada awal
sebelum diberikan terapi dan setiap 3 bulan atau sesuai indikasi.(Tabel 3)7
Tabel 3. Pemantauan Kemajuan Pengobatan Paduan Standar Jangka Panjang
Pemantauan Bulan Pengobatan
0 1 2 3 4 5 6 8 10 12 14 16 18
Evaluasi Utama
Pemeriksaan apusan dahak √ Setiap bulan pada tahap awal, setiap 2 bulan pada tahap lanjutan
dan biakan dahak

8
Evaluasi penunjang
Evaluasi klinis (termasuk Setiap bulan sampai pengobatan selesai atau lengkap
BB)
Uji kepekaan obat √ Berdasarkan indikasi
Foto toraks √ √ √ √
Ureum, kreatinin, serum √ √ √ √ √ √ √
elektrolit
EKG √ Setiap 3 bulan sekali
Thyroid stimulating √ √ √ √
hormone (TSH)
Enzime hepar (SGOT, √ √ √ √ √
SGPT)
Tes kehamilan √ Berdasarkan indikasi
Sumber: Kementrian Kesehatan RI7
Pada paduan obat jangka pendek dilakukan pemeriksaan awal yang harus ada sebelum
memulai pengobatan adalah EKG, fungsi ginjal, fungsi hati, dan tes kehamilan. Selama
pengobatan juga dilakukan berbagai pemeriksaan untuk memantau kemajuan pengobatan.
Pemeriksaan dan jadwal pemantauan pengobatan dapat dilihat pada tabel 3.13
Tabel 4. Pemeriksaan Awal dan Selama Pengobatan Paduan Jangka Pendek
Jenis Tahap awal 4 bulan (dapat diperpanjang sampai 6 Tahap lanjutan 5 bulan
pemeriksaan bulan)
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Anamnesis √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Pemeriksaan √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
fisik (BB)
BTA sputum √ √ √ √ √√* √√* √√* √ √ √√*
Biakan sputum √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
LPA lini kedua √
Uji kepekaan √ √√**
EKG+ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Tes √
pendengaran***
Tes √
penglihatan++
Foto thoraks √ √ √ √
Darah √
lengkap***
GDP dan GD √
2jam PP***
Ureum, √ √ √ √ √ √ √
creatinine
Elektrolit √ √ √ √ √ √ √
SGOT/SGPT, √
BT/BD***
TSH/TSHS √
Tes √
kehamilan***
Tes HIV √
Keterangan:
*) Pemeriksaan BTA dilakukan setiap bulan dengan mengumpulkan 1 (satu) dahak pagi. Pada bulan
ke-4, ke-5, ke-6 dan akhir pengobatan dilakukan pemeriksaan BTA dari dua (2) dahak pagi berurutan.
Pada tahap lanjutan, pemeriksaan BTA dan biakan dilakukan setiap 2 bulan (pada bulan ke 5,7, dan 9
atau bulan ke-7,9, dan 11)

9
**) Uji kepekaan untuk OAT lini kedua akan diulang bila hasil BTA positif pada bulan ke-6 atau
terjadi reverse BTA atau kultur pada fase lanjutan
***) Pemeriksaan dapat diulang sesuai indikasi
+) Pemeriksaan EKG dilakukan pada baseline, hari ke-2, hari ke-7, dan bulan ke-1 pengobatan dan
sesuai indikasi; dilakukan di rumah sakit rujukan
++) Tes penglihatan yang dilakukan ialah tes buta warna dan lapang pandang sederhana
Catatan:
- Pemeriksaan mikroskopis (BTA), biakan dan uji kepekaan dilakukan di laboratorium rujukan
yang tersertifikasi. Hasil BTA diinformasikan dan dimasukkan ke dalam eTB manager dalam
waktu paling lambat 3 hari.

Pada paduan jangka pendek pemeriksaan BTA dilakukan setiap bulan dengan sputum pagi
hari, namun ada bulan ke-4,5,6, dan di akhir pengobatan dilakukan pemeriksaan BTA dari 2
sputum pagi berturut-turut. Selain ini uji kepekean obat OAT lini kedua dapat diulang jika
hasil BTA tetap positif pada bulan ke-6 atau terjadi reversi BTA atau kultur pada fase
lanjutan. Selain itu pada paduan jangka pendek lebih sering melakukan pemeriksaan EKG,
hal ini disebabkan pada regimen ini menggunakan moksifloxacin dan clofazimin yang
diketahui memiliki potensi gangguan jantung.6

TATA LAKSANA EFEK SAMPING PENGOBATAN PADUAN STANDAR JANGKA


PENDEK
Pemantauan terjadinya efek samping obat penting dilakukan selama pengobatan TB-RO.
Semua OAT yang digunakan untuk pengobatan pasien TB RR/RO mempunyai kemungkinan
untuk timbul efek samping ringan, sedang, maupun berat. Petugas kesehatan harus selalu
memantau munculnya efek samping dan memberikan tata laksana sesegera mungkin.
Penanganan efek samping yang baik dan adekuat adalah kunci keberhasilan pengobatan.
Berbagai efek samping yang dapat muncul dalam tata laksana TB-RO antara lain:6
1. Efek teratogenik
Protionamid dan kanamisin tidak boleh digunakan selama kehamilan sehingga paduan
standar jangka pendek tidak diberikan untuk wanita hamil.
2. Gangguan jantung
Moxifloksasin dan clofazimin diketahui dari beberapa penelitian dapat menyebabkan
gangguan jantung. Beberapa tindakan yang dapat kita lakukan untuk mencegah
gangguan jantung antara lain melakukan monitoring EKG secara rutin atau lebih ketat
bila ada indikasi, menghentikan pemberian obat jika didapatkan pemanjangan
QTc>500 ms, serta merujuk ke Tim Ahli Klinis (TAK) di fasyankes rujukan TB-RO.
3. Neuropati perifer

10
Isoniazid, kanamisin, etoposid diketahui dapat mengakibatkan neuropati pada pasien
TB-RO. Pada kondisi ini pemberian obat standar jangka pendek tetap dilanjutkan
dengan pemberian Vitamin B6 sampai dengan 200 mg per hari, mengurangi dosis
INH ¼ sampai 1/3 dosis semula atau rujuk ke ahli neurologi bila terjadi gejala
neuropati berat (nyeri dan sulit berjalan).
4. Gangguan pendengaran
Kanamisin dapat menyebabkan gangguan pendengaran pada pasien TB-RO. Periksa
data baseline untuk memastikan bahwa gangguan pendengaran disebabkan oleh OAT
atau sebagai pemburukan gangguan pendengaran yang sudah ada sebelumnya. Rujuk
kembali pasien segera ke fasyankes TB-RO/ rujukan TB-RO untuk diperiksa
penyebabnya dan konsultasikan dengan TAK karena jika penganganan terlambat
maka gangguan penengaran sampai dengan tuli dapat menetap.
5. Depresi
Isoniazid, moxifloksasin, protionamid dan etionamid dapat menyebabkan gangguan
psikotik pada pasien TB-RO. Riwayat depresi sebelumnya bukan merupakan
kontraindikasi bagi penggunaan obat tetapi berisiko terjadinya depresi selama
pengobatan. Lakukan konseling kelompok atau perorangan. Penyakit kronik dapat
merupakan faktor risiko depresi. Jika gejala menjadi lebih berat dan tidak dapat
diatasi di fasyankes TB-RO atau satelit, segera rujuk kembali ke fasyankes Rujukan
TB-RO. Pilihan anti depressan yang dianjurkan adalah amitriptilin atau golongan
SSRI misalnya Sentralin/Fluoxetin. Bila memungkinkan turunkan dosis obat
penyebab. Hentikan obat terkait selama 1–2 minggu sampai masalah psikologi
teratasi.
6. Hipotiroid
Protionamid dan etionamid diketahui dapat menyebabkan hipotiroid. Diagnosis
hipotiroid ditegakkan berdasarkan peningkatan kadar TSH (kadar normal <10mU/I).
Kondisi ini dapat ditatalaksana dengan pemberian levotiroksin/natiroksin serta
evaluasi yang benar.
7. Gangguan gastrointestinal
Obat-obatan seperti etionamid, protionamid, clofazimin, isoniazid, etambutol,
pirazinamid, dan moxifloksasin dapat menyebabkan gangguan gastrointestinal seperti
mual, muntah, nyeri ulu hati, dan diare. Pada kondisi ini pengobatan tetap dilanjutkan
sambil dilakukan evaluasi dan monitoring. Singkirkan penyebab lain yang menjadi

11
pencetus seperti infeksi. Bila perlu dapat diberikan antiemetik, PPI, H2 antagonis,
antasida, atau sukralfat.
8. Kelainan fungsi hati
Pirazinamid, isoniazid, etoposid, protionamid, etambutol, dan moxifloksasin dapat
menyebabkan gangguan fungsi hati. Pasien akan menunjukkan gejala mual, muntah,
dan badan kuning. Pada kondisi ini hentikan semua OAT dan segera rujuk pasien
kembali ke fasyankes rujukan TB-RO. Jika didapatkan tanda-tanda Antituberculosis
Drug Induced Hepatotoxicity (ADIH) maka pasien harus dirawat inap.
9. Kelainan fungsi ginjal
Kanamisin dan capreomisin dapat menyebabkan gangguan fungsi ginjal seperti
gangguan diuresis, peningkatan kadar serum kreatinin. Pada kondisi ini pasien harus
dirujuk ke fasyankes rujukan TB-RO.
10. Neuritis optik
Etambutol dan aminoglikosida dapat menyebabkan gangguan penglihatan. Setiap
gejala gangguan penglihatan perlu dievaluasi dan dikonsultasikan ke ahli mata.
11. Artralgia/artritis
Pirazinamid, moxifloksasin, etionamid, isoniazid dapat menyebabkan gejala artralgia
karena peningkatan asam urat. Lakukan pemeriksaan asam urat diawal sebelum terapi.
Bila terdapat gejala artralgia disertai peningkatan kadar asam urat dapat diberikan
Obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) dan fisioterapi tanpa harus menghentikan
pemberian pirazinamid.
12. Perubahan warna kulit
Clofazimine dapat menyebabkan perubahan warna kulit berupa hiperpigmentasi yang
bersifat sementara dan akan menghilang setelah pengobatan dihentikan.6

PENGGUNAAN PADUAN JANGKA PENDEK TB-RO ANAK DI INDONESIA


Anak-anak memiliki hasil pengobatan yang lebih baik jika dibandingkan orang dewasa
dengan TB-RO, namun angka keberhasilan pengobatan secara global masih rendah dan
berpotensi menderita efek samping serius dari obat TB-RO lini kedua.2 Sampai saat ini
penelitian mengenai penggunaan obat-obat baru dalam tata laksana TB-RO seperti
Bedaquiline dan Delamanid pada anak-anak masih terbatas, selain itu obat-obatan seperti
clofazimine dan linezolid yang meskipun terbukti menunjukkan hasil yang lebih baik dan
lebih aman pada dewasa namun data pada anak masih terbatas. 2,5,17 Anak-anak juga memiliki

12
keterbatasan terhadap sediaan regimen pengobatan TB-RO jangka pendek yang terbukti
menjanjikan pada pasien dewasa dan remaja dan telah direkomendasikan oleh WHO.2,5
Saat ini penggunaan paduan jangka pendek di Indonesia mulai diperkenalkan pada tata
laksana TB-RO dewasa. Penggunaan pada anak masih bersifat sosialisasi, meskipun WHO
telah mengeluarkan rekomendasi penggunaan pada anak.5,12,18 Sejak dikeluarkannya
rekomendasi oleh WHO pada tahun 2016, penggunaan pada anak di Indonesia masih belum
direkomendasikan, salah satu yang mungkin menjadi hambatan adalah dosis obat yang
direkomendasikan dapat digunakan pada kelompok berat badan sekitar 30 kg atau lebih,
sehingga biasanya regimen ini digunakan pada remaja (usia diatas 14 tahun). Rekomendasi
yang dikeluarkan oleh WHO menyebutkan bahwa paduan jangka pendek ini dapat digunakan
pada anak-anak usia 14 tahun keatas. 15 Masalah lain yang ditemukan adalah obat-obatan pada
regimen ini diproduksi untuk penggunaan pada dewasa, sehingga menyulitkan dalam
pemberian dengan dosis anak-anak.2,8 Hambatan lain yang dihadapi negara berkembang
adalah fasilitas pemeriksaan DST yang terbatas di negara-negara berkembang.19,20 Pada tahun
2017 di Indonesia tercatat Jawa barat memiliki 54 tempat untuk pemeriksaan Tes Cepat
Molekuler (TCM)/Xpert MTB Rif, Bandung memiliki 13 tempat untuk pemeriksaaan TCM.
Fasilitas DST di Indonesia masih sangat terbatas, Indonesia hanya memiliki 5 laboratorium
yang tersertifikasi untuk pemeriksaan DST, dimana 2 diantaranya ada di Bandung yaitu di
Laboratorium Kesehatan Daerah Bandung (Labkesda Bandung) dan di RS Cibabat.
Pemeriksaan DST saat ini masih belum masuk kedalam program Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) sehingga pemeriksaan ini mengharuskan pasien untuk membayar sebesar
Rp250.000/pemeriksaan. Pemeriksaan DST yang dapat dilakukan di Labkesda antara lain
kepekaan terhadap isoniazid, rifampisin, etambutol, streptomisin, kanamisin, amikasin,
ofloksasin. Pemeriksaan ini membutuhkan waktu sekitar 6 bulan hingga hasil keluar.
Beberapa hambatan ini mungkin perlu didiskusikan kembali meskipun pemerintah telah
menambahan paduan jangka pendek ini sebagai alternatif pilihan dalam tatalaksana TB-RO
anak yang dicantumkan pada petunjuk teknis tatalaksana TB anak.7

SIMPULAN

Pada Mei 2016 WHO merekomendasikan penggunaan paduan jangka pendek dalam tata
laksana TB-RO pada dewasa dan anak. Paduan jangka pendek TB-RO yang disarankan oleh
WHO diberikan pada kasus TB-RR dan TB-RO yang tidak terbukti resisten terhadap
fluorokuinolon atau obat injeksi lini kedua. Penting untuk dipahami bahwa keberhasilan

13
regimen akan sangat tergantung pada ketersediaan dukungan psikososial, termasuk
penyuluhan dan bantuan keuangan, dan ketersediaan alat diagnostik molekuler cepat dan
DST. Paduan jangka pendek TB-RO sangat bergantung pada pola DST, riwayat setiap pasien,
ketersediaan uji diagnostik untuk menyingkirkan resistensi obat lini kedua dan ketersediaan
obat spesifik dalam program ini.

Paduan standar jangka pendek memiliki beberapa keuntungan antara lain angka
keberhasilan yang lebih baik, penghematan biaya, menurunkan angka loss to follow up, dan
mendorong pemerintah untuk menyediakan fasilitas TCM dan DST di daerahnya. Penelitian
lebih lanjut masih harus terus dilakukan untuk penggunaan obat-obatan paduan ini pada anak-
anak dengan usia yang lebih muda.

DAFTAR PUSTAKA
1. Gunther G. Multidrug-resistant and extensively drug-resistant tuberculosis: a review
of current concepts and future challenges. Clin Med. 2014;14:3:279–85.
2. Tadolini M, J. Anthony, Garcia-Prats, D`Ambrosio L, Hewison C, Centis R, dkk.
Compassionate use of new drugs in children and adolescents with multidrug-resistant
and extensively drug-resistant tuberculosis: early experiences and challenges. Eur
Respir J. 2016;48:3:1–6.
3. Schaan H.S, J. Anthony, Garcia-Prats, C. Anneke, Hasseling, Seddon J.A. Managing
multidrug-resistant tuberculosis in children: review of recent developments. Curr
Opin Infect Dis. 2014;27:3:211–9
4. Zignol M, Sismanidis C, Falzon D, Glaziou P, Dara M, Floyd K. Multidrug-resistant
tuberculosis in children: evidence from global surveillance. Eur Respir J.
2013;42:701–7.
5. Mukherje A, Lodha R, Kabra S.K. Current therapies for the treatment of multidrug-
resistant tuberculosis in children in India. Expert Opin Pharmacother. 2017;18:1595–
606.
6. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk teknis pengobatan pasien TB
resistan obat dengan paduan standar jangka pendek di fasyankes TB resistan obat;
2017.
7. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk teknis manajemen dan tata
laksana TB anak; 2016.

14
8. World Health Organization. Global tuberculosis report; 2016.
9. McAnaw S.E, Hesseling A.C, Seddon J.A, Dooley K.E, Garcia-Prats, Kim S., dkk.
Pediatric multidrug-resistant tuberculosis clinical trials: challenges and opportunities.
Int J Infect Dis. 2017;56:194–9.
10. Dodd P.J, Sismanidis C. Seddon J.A. Global burden of drug-resistant tuberculosis in
children: a mathematical modelling study. Lancet Infect Dis. 2016;16:1–9.
11. World Health Organization Indonesia. MDR TB Indonesia update 2016. Available at:
http://www.searo.who.int/indonesia/topics/tb/indTBmdr2016/en/. Di akses 26
November 2017.
12. Van Deun A, Maug AKJ, Salim AH, Das PK, Sarker MR, Daru P, dkk. Short, Highly
Effective, and Inexpensive Standardized Treatment of Multidrug-resistant
Tuberculosis. Am J Respir Crit Care Med. 2010;182:684–92.
13. World Health Organization. WHO treatments and guidelines for drug-resistance
tuberculosis 2016 Update; 2016.
14. Dhedha K, Cox H, Esmail A, Wasserman S, Chang K.C, Lange C. Recent
controversies about MDR and XDR-TB: Global implementation of the WHO shorter
MDR-TB regimen and bedaquiline for all with MDR-TB? Respirology. 2017:1–10.
15. Frequently asked questions about the implementation of the new WHO
recommendation on the use of the shorter MDR-TB regimen under programmatic
condition. World Health Organization; 2016.
16. Aung KJM, Van Deun A, Declercq E, Sarker M.R, Das P.K, Hossain M.H, dkk.
Successful ‘9-month Bangladesh regimen’ for multidrug- resistant tuberculosis among
over 500 consecutive patients. Int J Tuberc Lung Dis. 2014;18:1180–7.
17. P. Elizabeth, Harausz, J Anthony, Garcia-Prats, Seddon J.A, Schaaf H.S, dkk. New
and repurposed drugs for pediatric multidrug-resistant tuberculosis. Am J Respir Crit
Care Med. 2017;195:10:1300–10.
18. Sotgiu G, Tiberi S, D`Ambrosio L, Centis R, Zumla A, Migliori GB, dkk. WHO
recommendations on shorter treatment of multidrug-resistant tuberculosis. Lancet
Infect Dis. 2016;387:2486–7.
19. Swaminathan S, G. Ramachandran. Challenges in childhood tuberculosis. Clin Phar
Ther. 2015;98:3:240–4.
20. Shah Ira. Is shorter treatment regimen for multidrug-resistant Tuberculosis feasible in
Indian children? Indian Pediatr. 2017:54:160.

15

Anda mungkin juga menyukai