I. PENDAHULUAN
Pada mulanya, kematian seseorang secara tradisional dinyatakan sebagai
berhentinya denyut jantung dan pernafasan, karena keadaan- keadaan tersebut
menggambarkan akhir kehidupan. (Pallis,1983; Walshe,1986; Haerer,1992;
Vernon,1996).
Dengan berkembangnya teknologi kedokteran dalam bidang unit perawatan
intensif terutama penggunaan ventilator mekanik sekitar tahun 1950-1960,
sekelompok penderita yang tidak menunjukkan adanya fungsi neurologis tetapi tetap
menunjukkan sirkulasi dan nadi yang baik, kemudian ternyata penderita tersebut
menunjukkan henti jantung, meskipun dilakukan dukungan perawatan
kardiopulmonal yang maksimal (Vernon,1996).
Perawatan penderita seperti ini memerlukan biaya tinggi dan banyak fasilitas
unit perawatan intensif serta menyebabkan frustasi baik bagi petugas kesehatan
maupun keluarganya yang selalu mempertanyakan apakah penderita tersebut masih
hidup. Keterbatasan unit perawatan intensif menyebabkan para dokter harus memilih
penderita yang betul- betul memerlukan fasilitas tersebut (Pallis,1983; Vernon,1996).
Bersamaan dengan semakin berkembanganya teknologi transplantasi untuk
menyelamatkan kehidupan banyak orang yang sebelumnya berada pada stadium akhir
penyakit, menimbulkan pemikiran perlunya membuat suatu criteria kematian otak
secara medik, karena adanya kepastian kematian otak sebelum system sirkulasi gagal
akan menyelamatkan organ yang dibutuhkan (Vernon,1996).
Berdasarkan hal- hal tersebut, maka sejak sekitar tahun 1960 timbul usaha untuk
membuat criteria kematian otak yang disamakan dengan kematian seseorang. Kriteris
tersebut bukan berarti kriteria baru mengenai kematian, tetapi hanya menambahkan
formula neurologi pada kriteria yang sudah ada sebelumnya (Vernon,1996).
Meskipun konsep kematian otak sudah diterima secara luas, ternyata masih
terdapat perbedaan kriteria. Oleh karena itu pada sari kepustakaan ini akan dibahas
mengenai kriteria kematian otak, gambaran klinisnya, kebenaran kriteria, kesulitan
menegakkan diagnosis kematian otak, pemeriksaan penunjang, patologi dan criteria
kematian otak pada anak-anak.
Tes diagnostik :
1. Pupil terfiksasi dan depresan terhadap cahaya
2. Tidak ada refleks kornea
3. Tidak ada reflek vestibulookuler
4. Rangsangan disetiap tempat tidak memberikan respon motor syaraf- syaraf kranial
5. Tidak ada reflek muntah atau isap trakhea
6. Tidak ada gerakan pernafasan jika ventilor dilepaskan dan PaCO2 meningkat di atas ambang
Pupil :
Reflek cahaya negatif. Menurut kriteria Harvard, pupil dilatasi dan terfiksasi.
Fiksasi di tengah lebih menunjukkan adanya kegagalan fungsi batang otak. Beberapa
penulis tidak perlu dilatasi. Pupil harus diperiksa menggunakan cahaya terang dan
pemeriksa harus yakin tidak ada pemberian midriatika sebelumnya (Plum dan Posner,
1982; Pallis, 1983; Kaufman,1996).
Gerakan bola mata :
Tidak didapatkan adanya gerakan mata spontan. Pada kamatian otak, tidak
dijumpai respon mata terhadap pemutaran kepala yang dikenal sebagai tes
okulosefalik (“doll’s eye) dan irigasi kalorik pada telinga menggunakan air es yang
dikenal sebagai tes okulovestibular atau tes kalori (Plum dan Posner, 1992; Lazuardi,
1989).
Aktivitas motorik :
Pada kriteria Harvard tidak ditemukan semua gerakan volunter dan refleks yaitu
refleks kornea, tidak ada reflek postural yaitu deserebrasi terhadap rangsangan
“noxious” dan tidak ada, “strech reflex” tidak diperlukan sebagai syarat kematian otak
oleh karena merupakan reflek spinal. Reflek ini menetap pada binatang percobaan
yang otaknya telah rusak diatas spinal atau medulla oblongata bagian bawah (Plum
dan Posner, 1982).
Jorgensen melaporkan adanya dua reflek spinal yang khas yang hanya
ditemukan pada penderita mati otak, yaitu fleksi ipsilateral setelah rangsangan pada
dermatom L3-L4 ditemukan pada 79 % penderita mati otak dan respon ekstensi-
pronasi setelah rangsangan pada lengan dan dada bagian atas pada 33 % kasus, respon
ini tampaknya seperti deserebrasi tetapi hanya terjadi ipsilateral. Kadang- kadang
tampak gerakan stereotipi pada ekstremitas dan posisi ekstensi yang dikenal sebagai
Lazarus sign. (Vernon,1996).
Beberapa keadaan lain yang khas sering dijumpai pada kematian otak, meskipun
tidak termasuk kriteria diagnostik, antara lain diabetes insipidus, metabolisme lambat
yang ditandai dengan produksi CO2 dan kebutuhan glukosa yang rendah. Meskipun
aliran darah intrakranial biasanya menghilang, denyut karotis tetap ada karena
menetapnya aliran darah melalui sistem karotis eksterna. Tidak dijumpai adanya
peningkatan respon jantung terhadap atropin dan tidak ada bradikardi pada manuver
vagus. Dapat juga dijumpai hipertensi sebagai respon terhadap insisi organ untuk
keperluan transplantasi dihubungkan dengan meningkatnya epinefrin dan norepinefrin
(Vernon,1996).
Electroencephalography (EEG)
Gambaran isoelektrik yang didapatkan pada pemeriksaan selama 6 sampai 12
jam terhadap penderita- penderita yang tidak hipotermi, tidak mengalami intoksikasi
obat- obat-obat depresan atau syok sirkulasi menunjukkan tidak adanya harapan
harapan hidup. Terdapat keterbatasan EEG, antara lain karena EEG hanya
menggambarkan aktivitas serebri, EEG sangat peka terhadap alat- alat listrik lainnya
di unit perawatan intensif dan tidak dapat dipercaya pada bayi- bayi yang sangat muda
terutama prematur, karena adanya pemulihan fungsi neuron dan aktivitas EEG setelah
gambaran isoelektrik (Plum dan Posner, 1982; Setzer, 1987; Vernon,1996).
Angiografi :
Pada kematian otak, angiografi digunakan untuk melihat tidak adanya sirkulasi
intrakranial atau berhentinya sirkulasi pada tingkat sirkulasi Willisi. Banyak ahli
berpendapat bahwa cara ini merupakan pemeriksaan penunjang terbaik untuk
menentukan kematian otak, karena tidak adanya aliran darah serebri berhubungan
dengan kelangsungan hidup neuron akibat kurangnya persediaan substrat seluler. Cara
ini tidak digunakan secara luas karena kurang menyenangkan, invasif dan penderita
harus dibawa ke ruang radiologi (Setzer, 1987; Vernon,1996).
Radionuklid :
Digunakan 99Tc intravena untuk menilai aliran darah intrakranial. Cara ini lebih
menguntungkan daripada angiografi karena relative tidak invasive, lebih mudah dan
dapat segera dilakukan di unit perawatan intensif. Pada kematian otak biasanya
penderita tidak menunjukkan adanya aliran darah serebri, tetapi kadang- kadang
tampak pengisian lambat pada sinus sagitalis, hal ini diduga merupakan drainage
arteri perforate ekstradural. Terdapat keterbatasan pemeriksaan ini, antara lain seperti
yang dilaporkan oleh Ashwal dan kawan- kawan adanya aliran darah serebri pada
sejumlah bayi- bayi yang secara klinis mati otak, sedangkan Toffol dan kawan- kawan
melaporkan adnaya perfusi serebri yang menetap pada seorang anak berusia 3 tahun
yang secara klinis dan pemeriksaan EEG berulang dinyatakan mati otak (Ashwal,
1977; Swartz, 1984; Setzer, 1987; Vernon,1996).
Pada penderita koma, fiksasi pupil tidak selalu berarti batang otak tidak
berfungsi. Pada beberapa keadaan ini dapat disebabkan oleh penyakit mata
sebelumnya atau penyakit neurologi. Paling sering dijumpai setelah pemberian
suntikan atropin pada saat resusitasi penderita henti jantung. Pupil yang dilatasi dan
terfikasi tidak selalu menunjukkan tidak adanya fungsi batang otak. Zat-zat
penghambat neuromuskular juga dapat menyebabkan fiksasi pupil, biasanya ditengah,
tetapi tidak dilatasi (Plum dan Posner, 1982; Black, 1993).
Tidak adanya pespon okulovestibular tidak selalu berarti batang otak tidak
berfungsi, karena dapat juga dijumpai pada keracunan atau kerusakan okulovestibular
seperti gangguan fungsi labyrinthine, ototoksik karena penggunaan berbagai obat
meliputi antibiotik seperti gentamisin. Berbagai obat termasuk sedatif, antikolinergik,
antikonvulsan dan antidepresan trisiklik dapat okulovestibular menghilang (Plum dan
Posner, 1982).
Tidak adanya aktivitas motorik dapat juga ditemukan pada penggunaan
penghambat neuromuskular yang sering digunakan sebelum pemasangan respirator
(Plum dan Posner, 1982)
Kelebihan dosis obat- obat sedatif untuk mengobati anoksia atau kejang dapat
menghilangkan refleks dan respon motorik terhadap rangsangan luar (Plum dan
Posner, 1982).
Gambaran EEG isoelektrik juga dapat dijumpai pada kelebihan dosis obat
sedatif, setelah anoksia, selama hipotermi, setelah cedera serebri dan setelah
ensefalitis, tetapi pada keadaan- keadaan tersebut gambaran EEG dapat normal
kembali (Plum dan Posner, 1982).
VIII. PATOLOGI
Diagnosis kematian otak lebih bersifat fungsional. Usaha untuk membuat
criteria kematian otak berdasarkan gambaran patologis tidak berhasil ,karena
gambaran patologisnya tidak khas. Pada 40 % kasus didapatkan “extreme of brain
liquefaction necrosis” (mencairnya nekrosis otak yang ekstrim) dan sisanya
menunjukkan gambaran yang bervariasi. “Extreme of brain liquefaction necrosis”
terutama didapatkan pada penderita yang mendapat dukungan ventilator lebih dari 12
jam. Perubahan-perubahan makroskopis berupa kongesti dan edem otak, perlunakan,
fragmentasi serebelar dan infark hipofise, sedangkan pada pemeriksaan mikroskopis
tampak kongesti vaskular dan kurangnya respon peradangan. Pada pemeriksaan
mikroskopis otak penderita yang mengalami kematian otak kadang- kadang
ditemukan gambaran normal pada beberapa daerah. Otopsi pada penderita kematian
otak yang telah mendapat perawatan intensif lebih dari 4 hari menunjukkan adnaya
reaksi mengingoensefalitis. Adanya reaksi mengingoensefalitis, mungkin merupakan
awal perfusi serebri setelah perbaikan tekanan tinggi intrakranial (Setzer, 1987;
Vernon,1996).
Adanya aktivitas EEG beberapa jam sebelum henti jantung pada penderita
dengan “Extreme of brain liquefaction necrosis”, menunjukkan kelemahan EEG untuk
menentukan kematian otak (Setzer, 1987; Vernon,1996).
Tabel 3. Kriteria untuk Menentukan Kematian pada Anak- anak menurut Task
Force for Determination of Brain Death in Children
X. RINGKASAN
Dengan berkembangnya unit perawatan intensif terutama pemakaian ventilator
mekanik dan transplantasi organ, diperlukan suatu criteria kematian otak secara
medik.s
Kematian otak menunjukkan tidak berfungsinya serebri dan batang otak yang
irevesibel. Karena serebri tidak dapat berfungsi normal tanpa batang otak, penting
pemeriksaan hilangnya fungi batnag otak menentukan diagnosis kematian otak.
Kriteria kematian otak untuk orang dewasa sudah diterima secara luas, tetapi
kriteria kematian otak pada anak- anak masih dieprtanyakan, meskipun demikian
kriteria yang dibuat oleh Task Force for Determination of Brain Death in Children di
Amerika dapat digunakan sebagai pedoman standar.
Banyak keadaan yang perlu dipertimbangkan dalam menegakkan diagnosis
kematian otak, karena keadaan- keadaan tersebut dapat mempengaruhi pemeriksaan.