Anda di halaman 1dari 12

KEMATIAN OTAK

I. PENDAHULUAN
Pada mulanya, kematian seseorang secara tradisional dinyatakan sebagai
berhentinya denyut jantung dan pernafasan, karena keadaan- keadaan tersebut
menggambarkan akhir kehidupan. (Pallis,1983; Walshe,1986; Haerer,1992;
Vernon,1996).
Dengan berkembangnya teknologi kedokteran dalam bidang unit perawatan
intensif terutama penggunaan ventilator mekanik sekitar tahun 1950-1960,
sekelompok penderita yang tidak menunjukkan adanya fungsi neurologis tetapi tetap
menunjukkan sirkulasi dan nadi yang baik, kemudian ternyata penderita tersebut
menunjukkan henti jantung, meskipun dilakukan dukungan perawatan
kardiopulmonal yang maksimal (Vernon,1996).
Perawatan penderita seperti ini memerlukan biaya tinggi dan banyak fasilitas
unit perawatan intensif serta menyebabkan frustasi baik bagi petugas kesehatan
maupun keluarganya yang selalu mempertanyakan apakah penderita tersebut masih
hidup. Keterbatasan unit perawatan intensif menyebabkan para dokter harus memilih
penderita yang betul- betul memerlukan fasilitas tersebut (Pallis,1983; Vernon,1996).
Bersamaan dengan semakin berkembanganya teknologi transplantasi untuk
menyelamatkan kehidupan banyak orang yang sebelumnya berada pada stadium akhir
penyakit, menimbulkan pemikiran perlunya membuat suatu criteria kematian otak
secara medik, karena adanya kepastian kematian otak sebelum system sirkulasi gagal
akan menyelamatkan organ yang dibutuhkan (Vernon,1996).
Berdasarkan hal- hal tersebut, maka sejak sekitar tahun 1960 timbul usaha untuk
membuat criteria kematian otak yang disamakan dengan kematian seseorang. Kriteris
tersebut bukan berarti kriteria baru mengenai kematian, tetapi hanya menambahkan
formula neurologi pada kriteria yang sudah ada sebelumnya (Vernon,1996).
Meskipun konsep kematian otak sudah diterima secara luas, ternyata masih
terdapat perbedaan kriteria. Oleh karena itu pada sari kepustakaan ini akan dibahas
mengenai kriteria kematian otak, gambaran klinisnya, kebenaran kriteria, kesulitan
menegakkan diagnosis kematian otak, pemeriksaan penunjang, patologi dan criteria
kematian otak pada anak-anak.

II. KRITERIA KEMATIAN OTAK


Sampai saat ini belum ada kriteria kematian otak yang tepat, tetapi pada
umumnya para ahli sepakat bahwa pada kematian otak tidak ada fungsi hemisfer
serebri dan batang otak, dan kelainan- kelainan tersebut ireversibel (Plum dan Posner,
1982; Pallis,1983; Adam,1989; Pascucci,1989; Polacek,1989; Olsom,1994;
Kaufman,1996; Vernon,1996).
Kematian otak terjadi jika kerusakan otak sangat luas, ireversibel, tidak dapat
pulih kembali serta tidak lagi dapat mempertahankan homeostasis eksterna (tidak ada
kesadaran diri dan tidak mampu memberikan respon tingkah laku terhadap
lingkungan) dan homeostasis interna (fungsi normal pernafasan, kardiovaskular,
control suhu, saluran pencernaan dan sebagainya). Meskipun perawatan yang
maksimal untuk sementara dapat mempertahankan organ- organ perifer, kegagalan
sirkulasi sistemik tetap akan terjadi dalam beberapa hari atau kadang- kadang setelah
beberapa minggu (Plum dan Posner, 1982).
Sejak Mollaret dan Goulon mengungkapkan konsep modern mengenai kematian
otak pada tahun 1959, beberapa sarjana mencoba membuat kriteria kematian otak
Kriteria kematian otak yang pertama kali dikenal secara luas adalah criteria yang
bibuat oleh panitia khusus dari Harvard Medical School pada tahun 1968 (Plum dan
Posner, 1982; Setzer,1987; Black,1993; Kaufman,1996; Vernon,1996). Beberapa
tahun kemudian, beberapa sarjana lain mencoba menyempurnakan kriteria tersebut.
Kriteria- kriteria tampak pada tabel di bawah ini.
Pada tabel tersebut tampak bahwa pada semua kriteria, gambaran kliniknya
hampir sama, tetapi terdapat beberapa perbedaan antara lain dalam hal lamanya
pemantauan untuk menegakkan diagnosis, prosedur laboratorium dan ada tidaknya
refleks spinal (Plum dan Posner, 1982; Vernon,1996).
Terdapat 2 prinsip utama dalam menentukan diagnosis kematian otak :
1. Penyebabnya harus ireversibel. Kerusakaan dapat disebabkan oleh gangguan
struktural misalnya pada perdarahan serebral, infark, trauma otak, abses atau
karena gangguan metabolik seperti asfiksia yang berkepanjangan.
2. Struktur vital otak yang diperlukan untuk mempertahankan kesadaran dan
fungsi vegetatif rusak dan tidak dapat diperbaiki (Plum dan Posner, 1982)

Tabel 1. Beberapa Kriteria Kematian Otak


Kriteria Harvard (1968)
1. Koma tidak responsif
2. Apnea
3. Tidak ada reflek sefalik
4. Tidak ada reflek spinal
5. Gambaran EEG isoelektrik
6. Keadaan- keadaan tersebut menetap paling sedikit 24 jam
7. Tidak ada introksikasi obat atau hipotermi

Kriteria Minnesota (1971)


1. Kondisi dasar- diagnosis kerusakan serebri tidak dapat diperbaiki
2. Tidak ada gerakan spontan
3. Tidak ada pernafasan spontan
4. Tidak ada reflek batang otak
5. Keadaan tidak berubah selama 12 jam

Kriteria Swedia (1972)


1. Koma tidak responsif
2. Apnea
3. Tidak ada reflek batang otak
4. Gambaran EEG isoelektrik
5. Pembuluh darah serebri tidak terisi pada dua kali penyuntikan media kontras selang 25 menit

Kriteria Inggris (1976)


1. Penderita dalam keadaan koma dalam
a. Tidak minum obat- obat depresan
b. Tidak ada hipotermi
c. Tidak ada gangguan metabolik atau endokrin yang dapat diperbaiki sebagai penyebab
2. Ventilasi spontan tidak cukup atau tidak ada
Obat- obat relaksan dan depresan lain disingkirkan
3. Tentukan penyebab : keadaan akibat kerusakan struktural otak yang tidak dapat diperbaiki

Tes diagnostik :
1. Pupil terfiksasi dan depresan terhadap cahaya
2. Tidak ada refleks kornea
3. Tidak ada reflek vestibulookuler
4. Rangsangan disetiap tempat tidak memberikan respon motor syaraf- syaraf kranial
5. Tidak ada reflek muntah atau isap trakhea
6. Tidak ada gerakan pernafasan jika ventilor dilepaskan dan PaCO2 meningkat di atas ambang

Kriteria US ollaborative Study (1977)


1. Persyaratan semua prosedur pengobatan yang diperlukan sudah dilaksanakan
2. Koma tidak responsive
3. Apnea
4. Tidak ada reflek sefalik, pupil dilatasi dan terfiksasi
5. Gambaran EEG isoelektrik
6. Keadaan- keadaan tersebut diatas menetap selama 30 menit dan satu jam, dan 6 jam setelah
timbul koma dan apnea
7. Pemeriksaan penunjang menunjukkan tidak ada sirkulasi serebral

Dikutip dari : Plum dan Posner, 1982

III. GAMBARAN KLINIK KEMATIAN OTAK


Kematian otak hanya dapat ditentukan setelah pemantauan terus menerus pada
penderita dalam keadaan koma dalam lingkungan yang stabil, yaitu pada keadaan
normotermi dan hemodinamik stabil. Pada keadaan hipotermi metabolisme menjadi
lambat, sehingga fungsi neurologi terhambat. Gangguan sirkulasi akan menekan
susunan syaraf pusat sehingga sulit diperiksa. Menurut Joergensen dan Moller, pada
dewasa fungsi neurologi akan pulih 15 menit setelah tekanan darah menjadi stabil.
Pernapasan merupakan manifestasi yang pertama kali tampak, diikuti pulihnya fungsi
batang otak lainnya beberapa jam kemudian (Vernon,1996).
Diagnosis kematian otak tidak dilakukan di unit gawat darurat, karena pada saat
ini penderita masih menjalani stabilisasi awal dan berbagai pemeriksaan untuk
keperluan diagnostik. Penentuan diagnosis tersebut harus dipertimbangkan setelah
penderita berada di unit perawatan intensif, dengan syarat penyebab koma harus
diketahui dan kerusakan tersebut harus ireversibel (Pallis,1983; Vernon,1996).
Riwayat penyakit harus diketahui untuk mengetahui penyebab koma, riwayat
penggunaan obat- obatan tertentu, adanya penyakit penyerta yang dapat mengaburkan
penilaian neurologi atau adanya “child abuse” (Vernon,1996).
Keadaan siaga memerlukan integritas batang otak, ini berarti bahwa pada
kematian otak, batang otak tidak berfungsi (Plum dan Posner, 1982)

Fungsi hemisfer serebri


Tidak adanya fungsi serebri secara klinik tampak dengan hilangnya reseptivitas
dan responsivitas, hal ini berarti tidak ada respon otonom atau somatik terhadap setiap
rangsangan luar melalui batang otak (Ad Hoc Committee,1987).
Menurut Pulm dan Posner, pemeriksaan fungsi hemisfer serebri pada penentuan
kematian otak sedikit sekali kegunaannya, karena hemisfer serebri tidak dapat
berfungsi normal tanpa batang otak. Oleh karena itu kriteria kematian otak secara
klinik ditentukan dengan tidak adanya fungsi batang otak dan dapat didukung dengan
pemeriksaan penunjang, misalnya EEG (Plum dan Posner, 1982).

Fungsi batang otak


Pernafasan :
Pada kematian otak tidak ada pernapasan spontan. Biasanya pemeriksaan
dilakukan terhadap penderita yang sedang mendapat ventilator mekanik,
menghasilkan PaO2 diatas dan PaCO2 dibawah kadar normal. Ambang rangsang
pernapasan biasanya lebih meningkat pada penderita yang mengalami koma dalam,
akibatnya penderita- penderita tersebut mengalami apnea selama beberapa menit jika
dilepaskan dari ventilator. Untuk mengetahui fungsi batang otak, dilakukan teknik
oksigenasi apnea. Mula- mula penderita diberi oksigen 100% selama 10-20 menit
untuk mencegah hipoksemia, kemudian ventilator dihentikan dan oksigen diberikan
melalui tube endotrakheal lebih kurang 6 liter permenit. Menurut Schafer dan
Coronna, PaCO2 akan meningkat 3 mm Hg permenit samapi mencapai ambang
pernapasan, tetapi peningkatan PaCO2 diatas 60 mmHg tanpa usaha pernapasan
setelah 10 menit ventilator dilepaskan menunjukkan pusat pernapasan tidak berfungsi
(Plum dan Posner, 1982).

Pupil :
Reflek cahaya negatif. Menurut kriteria Harvard, pupil dilatasi dan terfiksasi.
Fiksasi di tengah lebih menunjukkan adanya kegagalan fungsi batang otak. Beberapa
penulis tidak perlu dilatasi. Pupil harus diperiksa menggunakan cahaya terang dan
pemeriksa harus yakin tidak ada pemberian midriatika sebelumnya (Plum dan Posner,
1982; Pallis, 1983; Kaufman,1996).
Gerakan bola mata :
Tidak didapatkan adanya gerakan mata spontan. Pada kamatian otak, tidak
dijumpai respon mata terhadap pemutaran kepala yang dikenal sebagai tes
okulosefalik (“doll’s eye) dan irigasi kalorik pada telinga menggunakan air es yang
dikenal sebagai tes okulovestibular atau tes kalori (Plum dan Posner, 1992; Lazuardi,
1989).

Aktivitas motorik :
Pada kriteria Harvard tidak ditemukan semua gerakan volunter dan refleks yaitu
refleks kornea, tidak ada reflek postural yaitu deserebrasi terhadap rangsangan
“noxious” dan tidak ada, “strech reflex” tidak diperlukan sebagai syarat kematian otak
oleh karena merupakan reflek spinal. Reflek ini menetap pada binatang percobaan
yang otaknya telah rusak diatas spinal atau medulla oblongata bagian bawah (Plum
dan Posner, 1982).

Jorgensen melaporkan adanya dua reflek spinal yang khas yang hanya
ditemukan pada penderita mati otak, yaitu fleksi ipsilateral setelah rangsangan pada
dermatom L3-L4 ditemukan pada 79 % penderita mati otak dan respon ekstensi-
pronasi setelah rangsangan pada lengan dan dada bagian atas pada 33 % kasus, respon
ini tampaknya seperti deserebrasi tetapi hanya terjadi ipsilateral. Kadang- kadang
tampak gerakan stereotipi pada ekstremitas dan posisi ekstensi yang dikenal sebagai
Lazarus sign. (Vernon,1996).
Beberapa keadaan lain yang khas sering dijumpai pada kematian otak, meskipun
tidak termasuk kriteria diagnostik, antara lain diabetes insipidus, metabolisme lambat
yang ditandai dengan produksi CO2 dan kebutuhan glukosa yang rendah. Meskipun
aliran darah intrakranial biasanya menghilang, denyut karotis tetap ada karena
menetapnya aliran darah melalui sistem karotis eksterna. Tidak dijumpai adanya
peningkatan respon jantung terhadap atropin dan tidak ada bradikardi pada manuver
vagus. Dapat juga dijumpai hipertensi sebagai respon terhadap insisi organ untuk
keperluan transplantasi dihubungkan dengan meningkatnya epinefrin dan norepinefrin
(Vernon,1996).

IV. MEKANISME KEMATIAN BATANG OTAK


Kerusakan hemisfer serebri tidak menyebabkan kematian otak bila tidak disertai
adanya gangguan fungsi batang otak. Kerusakan batang otak dapat terjadi karena
kerusakan primer atau karena meningkatnya tekanan supra atau infratentorial yang
berpengaruh terhadap aliran darah dan integritas struktural (Pallis,1983).
Cedera kepala yang berat dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial
walaupun tanpa disertai perdarahan subdural, ekstradural atau subarakhnoid. Tekanan
tinggi intrakranial ini memberikan gambaran edem serebri yang dapat menyebar ke
bawah dan bagian belakang diensefalon serta batang otak, yang cenderung
menyebabkan perforasi arteri basilaris cabang pons dan perdarahan sekunder di
daerah tersebut. Batang otak juga dapat tertekan oleh herniasi unkal ke dalam tentorial
yang terbuka (Pallis,1983).
Tekanan edema serebri pada tingkat foramen magnum dapat menyebabkan
kerusakan batang otak lebih lanjut. Jika pernapasan terus dilanjutkan dalam suhu
ruangan, akan terjadi otolisis otak sehingga seluruh otak mencair dan bagian- bagisn
dari tonsil serebelum yang rusak dapat terpisah dan ditemukan sepanjang akar cauda
equina (Pallis,1983).
Penyebab intrakranial primer lainnya adalah abses, meningitis dan ensefalitis
(Pallis,1983).
Hukuman gantung merusak batnag otak secara langsung, pernapasan segera
berhenti karena pengaruh ruptur batang otak pada pusat pernapasan. Arteri karotis
atau vertebra tetap utuh, jantung dapat terus berdenyut selama 20 menit, sirkulasi
berlanjut dan sebagian otak mungkin terisi darah dengan saturasi oksigen yang rendah
selama beberapa menit. Gambaran EEG untuk sementara menunjukkan beberapa
aktivitas, meskipun kerusakan otak menyebabkan kematian (Pallis,1983).

V. KEBENARAN KRITERIA KLINIK


Penelitian terhadap ratusan penderita yang memenuhi syarat kriteria kematian
otak di beberapa negara menunjukkan bahwa tidak seorangpun mengalami pemulihan
syaraf. Meskipun mendapat perawatan maksimal, mereka mengalami henti jantung
dalam beberapa hari atau kadang- kadang dalam beberapa minggu. Pada 37 kasus,
EEG menunjukkan sedikit aktivitas listrik serebri pada saat diagnosis secara klinik
ditegakkan, tak seorangpun bertahan hidup (Plum dan Posner, 1982).
Jannet dan kawan- kawan mendapatkan bahwa penderita yang mengalami koma
dalam akibat gangguan struktural atau penyakit metabolik yang ireversibel, tidak
dapat bertahan hidup kecuali penderita dengan riwayat keracunan obat. Jannet dan
kawan- kawan mengumpulkan secara prospektif data klinik 1939 penderita koma 6
jam setelah trauma kepala. Semuanya mendapat perawatan yang maksimal di unit
khusus di Inggris, Belanda dan Amerika Serikat. Diantara 1003 penderita yang masih
hidup, ternyata tidak seorangpun memenuhi kriteria kematian otak. Plum dan kawan-
kawan melakukan hal yang sama, secara prospektif meneliti 500 penderita koma di
Amerika dan Inggris. Seperti analisis Jannet, pemantauan klinik dicatat 6 jam setelah
terjadinya penurunan kesadaran kemudian diulang dengan interval yang pendek.
Data- data disimpan dalam komputer untuk analisis berikutnya. Semua penderita yang
meninggal mendapat dukungan perawatan sampai berhentinya denyut jantung.
Diantara 121 yang bertahan paling sedikit selama sebulan, ternyata tidak seorangpun
menunjukkan manifestasi klinik kematian otak (Plum dan Posner, 1982).

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan penunjang digunakan untuk membantu diagnosis kematian otak
secara objektif. Dikenal dua macam pemeriksaan, yaitu pemeriksaan yang menilai
aktivitas listrik otak, misalnya EEG dan “cerebral potential evoked response” serta
pemeriksaan yang menilai aliran darah otak misalnya angiografi, radionuklid,
ultrasonografi Doppler dan imajing resonan magnetik. Pemeriksaan penunjang
biasanya dilakukan bila terdapat keragu- raguan dalam diagnosais kematian otak atau
adnya faktor- faktor yang dapat mengaburkan diagnosis (Vernon,1996).

Electroencephalography (EEG)
Gambaran isoelektrik yang didapatkan pada pemeriksaan selama 6 sampai 12
jam terhadap penderita- penderita yang tidak hipotermi, tidak mengalami intoksikasi
obat- obat-obat depresan atau syok sirkulasi menunjukkan tidak adanya harapan
harapan hidup. Terdapat keterbatasan EEG, antara lain karena EEG hanya
menggambarkan aktivitas serebri, EEG sangat peka terhadap alat- alat listrik lainnya
di unit perawatan intensif dan tidak dapat dipercaya pada bayi- bayi yang sangat muda
terutama prematur, karena adanya pemulihan fungsi neuron dan aktivitas EEG setelah
gambaran isoelektrik (Plum dan Posner, 1982; Setzer, 1987; Vernon,1996).

Angiografi :
Pada kematian otak, angiografi digunakan untuk melihat tidak adanya sirkulasi
intrakranial atau berhentinya sirkulasi pada tingkat sirkulasi Willisi. Banyak ahli
berpendapat bahwa cara ini merupakan pemeriksaan penunjang terbaik untuk
menentukan kematian otak, karena tidak adanya aliran darah serebri berhubungan
dengan kelangsungan hidup neuron akibat kurangnya persediaan substrat seluler. Cara
ini tidak digunakan secara luas karena kurang menyenangkan, invasif dan penderita
harus dibawa ke ruang radiologi (Setzer, 1987; Vernon,1996).

Radionuklid :
Digunakan 99Tc intravena untuk menilai aliran darah intrakranial. Cara ini lebih
menguntungkan daripada angiografi karena relative tidak invasive, lebih mudah dan
dapat segera dilakukan di unit perawatan intensif. Pada kematian otak biasanya
penderita tidak menunjukkan adanya aliran darah serebri, tetapi kadang- kadang
tampak pengisian lambat pada sinus sagitalis, hal ini diduga merupakan drainage
arteri perforate ekstradural. Terdapat keterbatasan pemeriksaan ini, antara lain seperti
yang dilaporkan oleh Ashwal dan kawan- kawan adanya aliran darah serebri pada
sejumlah bayi- bayi yang secara klinis mati otak, sedangkan Toffol dan kawan- kawan
melaporkan adnaya perfusi serebri yang menetap pada seorang anak berusia 3 tahun
yang secara klinis dan pemeriksaan EEG berulang dinyatakan mati otak (Ashwal,
1977; Swartz, 1984; Setzer, 1987; Vernon,1996).

Ultrasonografi Doppler trankranial :


Digunakan untuk mengukur aliran darah serebri dengan cara menilai aliran
darah karotis. Cara ini digunakan pada bayi- bayi dengan ubun-ubun yang masih
terbuka. Pada kematian otak, aliran darah arteri serebri media tidak tampak. (Seizer,
1987; Vernon,1996).

Imajing resonan magnetik :


Dilakukan penyuntikan kontras gonadopentate dimeglumine untuk menilai
anatomi dan gangguan aliran darah intracranial. Gambaran khas berupa infark serebri
dan peningkatan ambilan dalam hidung dan kulit kepala (hot nose sign) yang
menggambarkan adanya peningkatan aliran ke daerah tersebut. Hal ini menunjukkan
bahwa tekanan intrakranial lebih besar daraipada tekanan arteri rata- rata, berarti tidak
ada perfusi serebri (Seizer, 1987; Vernon,1996).

Cerebral Evoked Potential Response :


Terdapat 3 jenis pengukuran, yaitu “brainstem auditory evoked respone”
(BAERs), “somatosensoris evoked response” dan “visual evoked respone”.
BAERs dinilai menggunakan rangsang suara. Pada kematian otak hanya
menunjukkan gelombang I atau tidak menunjukkan gelombang sama sekali.
Gelombang datar juga tampak pada penderita gangguan syaraf pendengaran, tetapi
pernah dilaporkan pada seorang manusia yang fungsi batang otaknya masih normal
(Setzer, 1987; Vernon,1996).
Pada pemeriksaan “somatosensoris evoked respone”, penderita yang mengalami
kematian otak tidak menunjukkan gelombang korteks setelah rangsangan listrik syaraf
perifer, keadaan ini juga dapat terlihat setelah trauma serebri yang berat. Dapat juga
dijumpai sebuah defleksi negatif di atas daerah servikal. Gelombang ini diduga
berasal dari medulla yang lebih bawah atau traktus servikalis dekat “cervicomedulary
junction”.
Pemeriksaan “visual evoked respone”, mengukur respon korteks terhadap
rangsangan cahaya. Gelombang datar juga tampak pada gangguan si setiap daerah
retina, syaraf optikus atau jaras optica (Setzer, 1987; Vernon,1996).

VII. KESULITAN MENENTUKAN DIAGNOSIS KEMATIAN OTAK


Dapat ditemukan beberapa kesulitan pada saat menentukan diagnosis kematian
otak terutama jika koma terjadi pada penderita yang sedang dirawat atau menderita
penyakit kronik, karena terdapat beberapa keadaan mempengaruhi penilaian
neurologi. Keadaan- keadaan tersebut tampak pada tabel berikut :

Tabel 2. Beberapa Kesulitan dalam menentukan Diagnosis Kematian Otak

Gambaran Kemungkinan penyebab


1. Pupil terfiksasi Obat- obat antikolinergik
Penghambat neuromuskular
Penyakit penyebab

2. Tidak ada reflek okulovestibular Zat- zat ototoksik


Penghambat vestibular
Penyakit penyebab

3. Tidak ada pernapasan Apnea posthiperventilasi


Penghambat neuromuskular

4. Tidak ada aktivitas motorik Penghambat neuromuskular


Keadaan “locked-in’
Obat- obat sedasi

5. Gambaran EEG isoelektrik Obat- obat sedasi


Anoksia
Hipotermi
Ensefalitis
Trauma
Dikutip dari : Plum dan Posner, 1982

Pada penderita koma, fiksasi pupil tidak selalu berarti batang otak tidak
berfungsi. Pada beberapa keadaan ini dapat disebabkan oleh penyakit mata
sebelumnya atau penyakit neurologi. Paling sering dijumpai setelah pemberian
suntikan atropin pada saat resusitasi penderita henti jantung. Pupil yang dilatasi dan
terfikasi tidak selalu menunjukkan tidak adanya fungsi batang otak. Zat-zat
penghambat neuromuskular juga dapat menyebabkan fiksasi pupil, biasanya ditengah,
tetapi tidak dilatasi (Plum dan Posner, 1982; Black, 1993).
Tidak adanya pespon okulovestibular tidak selalu berarti batang otak tidak
berfungsi, karena dapat juga dijumpai pada keracunan atau kerusakan okulovestibular
seperti gangguan fungsi labyrinthine, ototoksik karena penggunaan berbagai obat
meliputi antibiotik seperti gentamisin. Berbagai obat termasuk sedatif, antikolinergik,
antikonvulsan dan antidepresan trisiklik dapat okulovestibular menghilang (Plum dan
Posner, 1982).
Tidak adanya aktivitas motorik dapat juga ditemukan pada penggunaan
penghambat neuromuskular yang sering digunakan sebelum pemasangan respirator
(Plum dan Posner, 1982)
Kelebihan dosis obat- obat sedatif untuk mengobati anoksia atau kejang dapat
menghilangkan refleks dan respon motorik terhadap rangsangan luar (Plum dan
Posner, 1982).
Gambaran EEG isoelektrik juga dapat dijumpai pada kelebihan dosis obat
sedatif, setelah anoksia, selama hipotermi, setelah cedera serebri dan setelah
ensefalitis, tetapi pada keadaan- keadaan tersebut gambaran EEG dapat normal
kembali (Plum dan Posner, 1982).

VIII. PATOLOGI
Diagnosis kematian otak lebih bersifat fungsional. Usaha untuk membuat
criteria kematian otak berdasarkan gambaran patologis tidak berhasil ,karena
gambaran patologisnya tidak khas. Pada 40 % kasus didapatkan “extreme of brain
liquefaction necrosis” (mencairnya nekrosis otak yang ekstrim) dan sisanya
menunjukkan gambaran yang bervariasi. “Extreme of brain liquefaction necrosis”
terutama didapatkan pada penderita yang mendapat dukungan ventilator lebih dari 12
jam. Perubahan-perubahan makroskopis berupa kongesti dan edem otak, perlunakan,
fragmentasi serebelar dan infark hipofise, sedangkan pada pemeriksaan mikroskopis
tampak kongesti vaskular dan kurangnya respon peradangan. Pada pemeriksaan
mikroskopis otak penderita yang mengalami kematian otak kadang- kadang
ditemukan gambaran normal pada beberapa daerah. Otopsi pada penderita kematian
otak yang telah mendapat perawatan intensif lebih dari 4 hari menunjukkan adnaya
reaksi mengingoensefalitis. Adanya reaksi mengingoensefalitis, mungkin merupakan
awal perfusi serebri setelah perbaikan tekanan tinggi intrakranial (Setzer, 1987;
Vernon,1996).
Adanya aktivitas EEG beberapa jam sebelum henti jantung pada penderita
dengan “Extreme of brain liquefaction necrosis”, menunjukkan kelemahan EEG untuk
menentukan kematian otak (Setzer, 1987; Vernon,1996).

IX. KRITERIA KEMATIAN OTAK PADA ANAK- ANAK


Kriteria kematian otak yang telah disebutkan di atas, ditujukan untuk orang
dewasa. Kriteria untuk anak- anak berusia di bawah 5 tahun dalam menentukan
diagnosis kematian otak pada anak- anak berusia di bawah 5 tahun untuk pulih dari
keadaan klinik yang pada orang dewasa menyebabkan hilangnya fungsi otak yang
ireversibel. Juga adanya hipotesis bahwa otak bayi dan anak- anak lebih resisten
terhadap hipoksia dibanding orang dewasa, tetapi hipotesis ini kurang didukung oleh
penelitian (Setzer, 1987; Pascucci, 1989; Black, 1993; Kaufman, 1996; Vernon,1996).
Pada tahun 1987, “Task Force for the Determination of Brain Death in
Children” membuat kriteria kematian otak untuk anak- anak, yang tampak pada tabel
3.
Kriteria kematian otak pada anak-anak ini berbeda dengan criteria yang
digunakan untuk orang dewasa dalam beberapa hal, antara lain, pertama pemeriksaan
neurology tidak bermakna bila dilakukan terhadap bayi- bayi di bawah usia 7 hari,
karena penelitiannya belum banyak dilakukan disamping itu neonatus secara klinik
sulit dinilai seelah perinatal insult. Kesulitan lainnya adalah dalam menentukan
kemungkinan penyebab koma dan ketepatan tes laboratorium. Masalah ini lebih
menonjol lagi pada bayi- bayi prematur (Adam, 1987, Schneider, 1989). Kedua,
adanya perbedaan criteria yang khas sesuai dengan perbedaan usia. Ketiga, terutama
pada bayi diperlukan pemantauan yang lebih lama (48jam). Keempat, diperlukan EEG
untuk menyatakan kematian otak (Setzer, 1987; Lockman, 1989; Vernon,1996).
Walaupun belum terdapat kesepakatan atau bukti bahwa kriteria ini lebih baik
dibanding kriteria lainnya, kriteria ini dapat diterima sebagai pedoman standar
(Chugani, 1990; Black, 1993; Haerer, 1992; Kaufman, 1996; Vernon, 1996).

Tabel 3. Kriteria untuk Menentukan Kematian pada Anak- anak menurut Task
Force for Determination of Brain Death in Children

1. Harus ada koma dan apnea


2. Tidak ada fungsi batang otak :
 Pupil tidak reaktif terhadap cahaya (posisi di tengah atau dilatasi)
 Tidak ada gerakan mata spontan dan respon terhadap tes okulosefalik
dan okulovestibular (kalori)
 Tidak ada refleks kornea, muntah, batuk, isap, rooting dan gerakan
spontan otot- otot bulbar
 Tidak ada upaya pernapasan spontan
3. Tekanan darah dan temperatur normal
4. Tonus otot flasid, tidak ada gerakan spontan
5. Lamanya pemantauan dan tes, khas untuk setiap kelompok usia
6. Pemantauan dan tes menurut usia :
Usia 7 hari sampai 2 bulan :
Dua pemeriksaan dan EEG dengan selang waktu 48 jam
Usia 2 bulan sampai 1 tahun :
Dua pemeriksaan dan EEG dengan selang waktu 24 jam, kecuali jika
pemeriksaan dan EEG ulang tidak diperlukan yaitu jika dilakukan pemeriksaan
radionuklid yang menunjukkan tidak adanya perfusi serebri.
Lebih dari satu tahun :
Pemeriksaan penunjang tidak diperlukan jika penyebab koma ireversibel
diketahui. Dilakukan pemantauan selama 12 jam, kecuali jika luas dan
ireversibilitas kerusakan otak sulit ditentukan, terutama setelah hipoksik-
iskemik, pemantauan dilakukan selama 24 jam, dapat dipersingkat dengan
penggunaan EEG atau radionuklid.
Dikutip dari : Vernon, 1996

Alvares dan kawan- kawan melakukan penelitian secara retrospektif terhadap 52


anak- anak berusia di bawah 5 tahun yang mengalami kematian otak mendapatkan
bahwa kriteria yang sama dengan kriteria yang digunakan pada orang dewasa serta
pemantauan selama 24 jam dan sebuah gambaran EEG isoelektrik dapat diidentifikasi
dengan baik pada anak- anak berusia di atas 3 bulan. Kriteria pada neonatus terutama
bayi- bayi prematur merupakan masalah khusus. Ashwal dan Schneider mengusulkan
llamanya pemantauan paling sedikit 2 hari untuk bayi- bayi matur dan 3 hari untuk
bayi- bayi prematur (Setzer, 1987; Vernon,1996).
Terdapat beberapa penelitian yang memeriksa keabsahan dan aplikasi
penggunaan kriteria kematian otak pada anak- anak. Rowland dan kawan- kawan
melakukan penelitian secara retrospektif terhadap anak- anak yang tidak mempunyai
fungsi korteks serebri dan batang otak serta sebuah gambaran EEG isoelektrik,
mendapatkan bahwa semuanya mengalami kolaps kardiovaskular meskipun mendapat
perawatan yang maksimal, meskipun demikian diagnosis dan keabsahan kriteria
kematian otak pada anak- anak tidak seperti oran dewasa. Lebih lanjut Kohrman dan
Spivack melaporkan seorang anak perempuan berusia 3 bulan yang secara klinik
mengalami mati otak dan memiliki dua gambaran EEG isoelektrik kemudian
mendapatkan kembali fungsi batang otak dan “bertahan hidup” dalam ventilator lebih
dari satu bulan sebelum meninggal. Juga dilaporkan sebuah kasus kematian otak pada
seorang anak berusia 6 bulan yang dapat “bertahan hidup” selama 6 bulan (Vernon,
1996).

X. RINGKASAN
Dengan berkembangnya unit perawatan intensif terutama pemakaian ventilator
mekanik dan transplantasi organ, diperlukan suatu criteria kematian otak secara
medik.s
Kematian otak menunjukkan tidak berfungsinya serebri dan batang otak yang
irevesibel. Karena serebri tidak dapat berfungsi normal tanpa batang otak, penting
pemeriksaan hilangnya fungi batnag otak menentukan diagnosis kematian otak.
Kriteria kematian otak untuk orang dewasa sudah diterima secara luas, tetapi
kriteria kematian otak pada anak- anak masih dieprtanyakan, meskipun demikian
kriteria yang dibuat oleh Task Force for Determination of Brain Death in Children di
Amerika dapat digunakan sebagai pedoman standar.
Banyak keadaan yang perlu dipertimbangkan dalam menegakkan diagnosis
kematian otak, karena keadaan- keadaan tersebut dapat mempengaruhi pemeriksaan.

XI. DAFTAR PUSTAKA


1. Adam RD dan Victor M. Coma and related disoders of conciousness. Dalam :
Prinsiples of Neurology; edisi keempat.new York : Mc Graw Hill Information
Services Company, 1989 : 276-277.
2. Ad Ho Committee on Brain Death, The Children’s Hospital Boston.
Determination of Brain Death. The Journal of Pediatrics, 1987;110(I) : 15-19.
3. Ashwal, Smith AJ, Torres dkk. Radionuclide boles angiography : a technigue
for verification of brain death in infants and children. The Journal of Pediatrics,
1977;91(5);722-728.
4. Black PM. Diagnosis of Death by Brain Criteria. Dalam : Ropper AH.
Neurological and Neurosurgical Intensive Care. Edisi ketiga. New York : Raven
Press, 1993:453-464.
5. Chugani HT dan Menkes JH. Neurologic Manifestation of Systemic Disease.
Dalam : Menkes JH (ed). Textbook of Child Neurology. Edisi keempat.
Philadelphia : Lea and Febinger, 1990:726.
6. Haerer AF. Examination in coma, disordered conciousness and brain death.
Dalam : DeJong’s the Neurological examination. Edisi kelima. Philadelphia:JB
lippincott Company, 1992:728-730.
7. Kaufman HH, Brick J dan Frick M. brain death. Dalam : Youmans JR (ed).
Neurological Surgery. Edisi keempat. Philadelphia : WB Saunders Company,
1996:439-449.
8. Lazuardi S. Diagnosis dan Penatalaksanaan Koma pada Anak. Dalam : Naskah
Lengkap Pendidikan Tambahan Berkala Ilmu Kesehatan Anak ke- XVIII.
Kedaruratan Saraf Anak. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
1989:1-29.
9. Lockman. Impairement of conciousness. Dalam : Swayman (ed). Pediatric
Neurology Principle and practice. St Louis. CV Mosby Company;1989:163-166.
10. Olson WH, Brumback RA, Gascon G dan Iyer V. care of Patient With
Nervous. Edisi kedua. St Louis : Mosby,1994:464-467.
11. Pallis C. ABC of Brain Stem death. Article Published in the British Medical
Journal. London. 1983: 1-29
12. Pascucci RC. Pediatric Intensive Care. Dalam :Gregory GA. Pediatric
Anesthesia. Edisi kedua. New York : Churcil Livingstone,1989:1365-1366.
13. Plum F dan Posner JB. Brain death. Dalam : The Diagnosis of Stupor and
Coma. Edisi ketiga. Philadelphia : Davis Company, 1982: 313-326.
14. Setzer dan Rogers MC. Brain Death in Children. Dalam : Roger MC (ed).
Textbook of Pediatric Intensive Care. Edisi kedua. Baltimore : Williams and
Wilkins, 1987:741-751.
15. Schneider S dan Ashwal S. Determination of Brain Death in Childhood.
Dalam : Swaiman KF (ed). Pediatric Neurology Principle and Practice. Edisi
pertama, St. Louis : The CV Mosby Company,1989;II :747-752.
16. Swartz JA, Baxter J, Brill D dan Burns R. Radionuklide Cerebral Imaging
Confirming Brain Death. JAMA.1983;249(2( : 246-247.
17. Vernon DD, Grant MJ dan Setzer NA. Brain death, organ donation and
withdrawal of life support. Dalam : Rogers MC dkk (eds). Textbook of Pediatric
Intensive Care. Edisi ketiga. Baltimore : William and Wilkin, 1996:893-909.

Anda mungkin juga menyukai