Anda di halaman 1dari 14

MATI BATANG OTAK

Oleh:
Fitria Rizqifiera Octavia H1A016032
Safira Salsabila Az-Zahro H1A016076
Siti Fadhila Musafira H1A016081
OUTLINE
◦ DEFINISI
◦ ANATOMI DAN FISIOLOGI
◦ MEKANISME
◦ KEPENTINGAN KLINIS
◦ MANIFESTASI KLINIS
◦ PENEGAKKAN DIAGNOSIS
◦ PENILAIAN KLINIS REFLEKS BATANG OTAK
DEFINISI
◦ Kematian batang otak didefinisikan sebagai hilangnya seluruh fungsi otak secara
ireversibel yang ditandai dengan adanya keadaan koma dalam, hilangnya seluruh
refleks batang otak, dan apnea.

◦ Menurut Surat Keputusan PB IDI No.231/PB.A.4/07/90. Dalam fatwa tersebut


dinyatakan “bahwa seorang dikatakan mati,bila fungsi pernafasan dan jantung telah
berhenti secara pasti atau irreversible atau terbukti telah terjadi kematian batang
otak”
ANATOMI DAN FISIOLOGI BATANG OTAK
• Terdiri atas medulla oblongata, pons, dan mesensefalon
• Formasio reticularis pada Medulla merupakan pusat aktivitas
autonomic; pusat CV yang mengatur detak jantung dan
diameter PD, pusat respirasi mengatur irama pernapasan.
Terdapat juga pusat muntah, menelan, bersin, dan batuk.
• Nukleus saraf kranial;
• VIII terkait pendengaran,
• IX terkait rasa, menelan, salivasi,
• X; menerima dan mengirimkan impuls dari dan ke faring
laring,,dsb
• XI; menelan
• XII; pergerakan lidah saat berbicara maupun menelan
• Pada pons terdapat pontine respiratory grup
yang bekerja sama dengan pusat pada medulla
• Terdapat nucleus saraf kranialis;
• N Trigeminal (V); terima input sensoris
bagian wajah dan kepala; output motoric
proses mengunyah
• N Abducens (VI) impuls motoric
pergerakan bola mata
• N Facial (VII) input sensoris untuk
perasa dan output motoric untuk
kontraksi otot ekspresi wajah.
• N Vestibulocochlear (VIII) terkait
keseimbangan
• Pada mesensefalon terdapat nucleus
saraf kranialis;
• N oculomotor (III); pengerakan
bola mata dan pupil
• N trochlear (IV); pergerakan bola
mata
Terdapat jaras ascending dan descending.
• Ascending disebut dengan Reticular activating system;
akson sensoris yang memiliki proyeksi pada korteks.
Stimuli yang dapat memgaktifkan adalah visual, auditorik,
nyeri, tekanan, raba, dsb. Terkait fungsi kesadaran.
• Inaktivasi menyebabkan tidur, sedangkan kerusakan
menyebabkan koma.
• Descending; memiliki jaras ke cerebellum dan medulla
spinalis untuk mempertahankan tonus otot dan juga
regulasi HR, BP, RR

Brain stem: Midbrain + Pons + Medulla


 kesadaran
 Refleks saraf kranial
 Pusat kardiovaskular dan respirasi
Mekanisme
◦ Penyebab tersering yang memicu terjadinya kematian batang otak adalah trauma,
perdarahan subarachnoid, hipoksia, dan meningitis1
◦ kebutuhan metabolik otak tinggi, posisi otak berada di dalam suatu volume yang
terfiksir, dan ketidakmampuan sel neuron untuk mengalami perbaikan membuat otak
rentan cedera
◦ Jika jumlah darah yang mengalir ke dalam otak tersumbat secara parsial, maka akan
terjadi iskemi.
◦ Didapatkan 1) tekanan perfusi yang rendah, 2) PO2 turun, 3) CO2 dan asam laktat
tertimbun. Autoregulasi dan pengaturan vasomotor dalam daerah tersebut bekerja
sama untuk menanggulangi keadaan iskemik itu dengan mengadakan vasodilatasi
maksimal sehingga terjadi edema otak.
◦ Edema menyebabkan peningkatan TIK yang dapat melebihi MAP dan menyebabkan
henti sirkulasi ke otak. Hal ini menyebabkan terjadinya nekrosis dan herniasi.
KEPENTINGAN KLINIS PEMERIKSAAN
MATI BATANG OTAK
◦ Program transplantasi organ membutuhkan donasi organ perifer yang sehat agar
program tersebut berhasil. Dilakukakannya diagnosis dini kematian batang otak pada
seorang pendonor maka akan menyelamatkan organ yang akan didonorkan sebelum
sirkulasi sistemik gagal ke organ tersebut
◦ Keluarga pasien mengeluarkan biaya yang cukup besar dan harus menunggu tanpa
kepastian apabila diagnosis mati batang otak lama ditegakkan
◦ Penegakan diagnosis dini terhadap mati batang otak juga terkait dengan fasilitas ICU
dan alat bantu pernapasan yang terbatas yang secara tidak langsung menguras
sumber daya medis untuk pasien yang lain.
MANIFESTASI KLINIS
Menurut kriteria komite adhoc Harvard tahun 1968, kematian otak didefinisikan oleh
beberapa hal.
◦ Yang pertama, adanya otak yang tidak berfungsi lagi secara permanen, yang
ditentukan dengan tidak adanya respirasi dan respon terhadap rangsang, tidak
adanya pergerakan nafas, dan tidak adanya refleks-refleks, yaitu respon pupil
terhadap cahaya terang, pergerakan okuler pada uji pergelangan kepala dan uji
kalori, refleks berkedip, aktivitas postural (misalnya deserebrasi), refleks menelan,
menguap, dan bersuara, refleks kornea, refleks faring, refleks tendon dalam,dan refleks
terhadap rangsang plantar.
◦ Yang kedua adalah data konfirmasi yaitu EEG yang isoelektris
PENEGAKKAN DIAGNOSIS
1. Identifikasi riwayat maupun hasil pemeriksaan fisik yang
menunjukkan penyebab atau etiologi pasti dari disfungsi otak.
2. Eksklusi kondisi yang dapat mengacaukan hasil pemeriksaan
atau penegakkan diagnosis.
3. Lakukan pemeriksaan neurologis secara menyeluruh
a. Tidak adanya gerakan spontan, postur deserebrasi atau dekortikasi,
kejang, menggigil, respon terhadap rangsangan verbal, dan rangsangan
terhadap nyeri yang diberikan pada jalur nervus kranial.
b. Tidak adanya refleks pupil terhadap cahaya langsung maupun tidak
langsung.
c. Tidak adanya refleks kornea, refleks okulosefalik, refleks batuk dan muntah
d. Tidak adanya refleks okulovestibular ketika di test menggunakan 20-50 mL
air dingin yang dialirkan ke meatus akustikus eksternus setelah
mengangkat kepala pasien setinggi 30⁰
e. kegagalan jantung untuk meningkatkan 5 denyut/menit setelah diberikan
1-2 mg atropine IV.
f. tidak adanya usaha respirasi dalam keadaan hiperkarbia. Biasanya tes apneu dilakukan
setelah pemeriksaan refleks batang otak kedua. Tes apneu hanya perlu dilakukan 1 kali jika
hasilnya pasti. Syarat tes apneu : Suhu inti tubuh ≥ 36,5⁰C, Euvolemia (keseimbangan cairan
tubuh positif dalam 6 jam terakhir), PCO2 normal (PCO2 arteri ≥ 40 mmHg), PO2 normal (PO2 arteri
sebelum oksigenasi ≥ 200 mmHg).
CARA TES APNEU
◦ Pasang pulse-oxymeter dan putuskan hubungan ventilator oksigen.
◦ Pastikan sebelumnya pasien sdh diberi oksigen 100%, 6 L/menit ke dalam trakea (tempatkan
kanul setinggi carina).
◦ Amati Adanya gerakan pernafasan (gerakan dinding dada atau abdomen yang
menghasilkan volume tidal adekuat).
◦ Ukur PO2, PCO2, dan pH setelah kira-kira 8 menit, kemudian ventilator disambungkan kembali.
◦ Apabila tidak terdapat gerakan pernafasan, dan PCO2 ≥ 60 mmHg (↑)  hasil tes apnea (+) 
mendukung kemungkinan klinis kematian batang otak.
◦ Apabila terdapat gerakan pernafasan, tes apnea dinyatakan (-)  tdk mendukung
kemungkinan klinis kematian batang otak.
◦ Hubungkan ventilator selama tes apnea apabila TDS turun sampai < 90 mmHg ATAU pulse-
oxymeter mengindikasikan adanya desaturasi oksigen yang bermakna (pO2 < 85% ), ATAU
terjadi aritmia kardial.
Segera ambil sampel darah arterial dan periksa analisis gas darah.
◦ Apabila PCO2 ≥ 60 mmHg atau peningkatan PCO2 ≥ 20 mmHg di atas nilai dasar
normal, tes apnea dinyatakan positif.
◦ Jika memungkinkan, dapat dilakukan tes apneu selama 10 menit setelah dilakukan
preoksigenasi selama 10 menit dengan FiO2 sebesar 0,1 dan normalisasi PCO2 pasien
menjadi 40 mmHg.
Penilaian klinis refleks batang
otak
1. pupil
a. tidak ada respon cahaya (refleks cahaya negative)  Ukuran pupil midposisi (4
mm) sampai dilatasi (9 mm).
2. Gerakan bola mata atau okular :
a. Refleks okulosefalik negatif
b. Tidak ada deviasi gerakan bola mata terhadap irigasi kedua telinga dengan 50
mL air dingin
3. Respon motorik facial dan sensorik facial:
a. Refleks kornea negatif
b. Jaw reflex negatif
c. Tidak berespon terhadap rangsang tekanan dalam pada supraorbita, atau
temporo-mandibular joint
4. Refleks trakea dan faring
a. Tidak ada respon terhadap rangsangan di faring posterior  reflex muntah
b. Tidak ada respon terhadap trakeobronkial suctioning  reflex batuk
DAFTAR PUSTAKA
◦ (1) Dhanwate, A. (2014) ‘Brainstem death: A comprehensive review in Indian perspective’,
Indian Journal of Critical Care Medicine, 18(9), pp. 596–605. doi: 10.4103/0972-5229.140151.
◦ (2) Cameron, E. J. et al. ‘Confirmation of brainstem death’, Practical Neurology, 2016. 16(2),
pp. 129–135. doi: 10.1136/practneurol-2015-001297.
◦ (3) Grewal et al. Brain Death. Journal of Anaesthesiology Clinical Pharmacology .2015. 22(2) :
115-138
◦ (4) Pernyataan Ikatan Dokter Indonesia tentang mati. Surat Keputusan Pengurus Besar Ikatan
Dokter Indonesia SK PB IDI No.336/PB IDI/a.4 tertanggal 15 Maret 1988.
◦ (5) Pernyataan Ikatan Dokter Indonesia tentang mati. Surat Keputusan Pengurus Besar Ikatan
Dokter Indonesia SK PB IDI No.231/PB.A.4/07/90
◦ (6) Fauzi, A. 2014. Brain death: diagnois and clinical application. Department of Neurosurgery,
Airlangga University-Faculty of Medicine, Surabaya, Indonesia

Anda mungkin juga menyukai