Anda di halaman 1dari 16

Brain Death

Kelompok F1

Sylvia Wijaya

(102008119)

Yudia Mahardika

(102009028)

Firdaus Luke Nugraha

(102010007)

Laurence

(102010014)

Shynthia

(102010147)

Wijihari Purnamasari

(102010281)

Tevi Kristiantoni

(102010283)

Nor Farrizah Binti Osman

(102010370)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


Jalan Terusan Arjuna no. 6
Jakarta Barat
11510

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena berkat
anugerahNya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Makalah kami kali
ini berjudul Brain Death.
Pada kesempatan ini, kami juga tidak lupa untuk mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada dr. Dr. Mardi Santoso, DTM&H, Sp-PD-KEMD, FINASIM, FACE;
Prof. Dr. Herdiman, SpPD; dr. Didi Kurniadhi Sp.PD; dr. Todung DAS, Sp.PD, KKV; dr.
Oely Adhysantie, SpKJ; dr. Dan Hidayat, Sp.KJ; dr. Ratna Merdiati, Sp.KJ; dr. Noto Afiah
D, Sp.An; dr. Suparto, Sp.An; dr. Citra Perangin-Angin, Sp.An; dr. Frieda Hartono, Sp.A; dr.
Siti Zuraida Zulkarnain, Sp.A; dr. Bara L Tambing, Sp.A; dr. Harun Adam Sp.B, Sp.BP; dr.
Henk Kartadinata, Sp.B, Sp.BD, FICS; dr. Gunawan Kamadinata, Sp.S; dr. Yasavati Kurnia
Nah, MS; dr. Marina A. Rumawas, M.Kes, yang telah membimbing kami dalam proses
pembuatan makalah ini. Serta kepada dr. William yang telah memberi kami kesempatan
untuk membuat makalah ini sehingga kami dapat menambah wawasan dan pengetahuan kami
khususnya dalam mata kuliah Emergency Medicine.
Di dalam kamus Indonesia telah dikatakan bahwa tak ada gading yang tak retak.
Kami sadar kami dapat melakukan kesalahan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati
kami sangat mengharapkan saran dan kritik dari pembaca guna pembuatan makalah kami
yang berikutnya.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih. Semoga makalah ini dapat berguna dan
bermanfaat bagi para pembaca.
Jakarta, 20 November 2013

Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..............................................................................................................2


Daftar Isi ........................................................................................................................3
Pendahuluan ....................................................................................................................4
Isi
A. Pemeriksaan Fisik ............................................................................................5
B. Pemeriksaan Penunjang ...................................................................................8
C. Working Diagnosis ..........................................................................................9
D. Different Diagnosis .........................................................................................12
E. Etiologi ............................................................................................................12
F. Patofisiologi .....................................................................................................13
G. Penatalaksanaan ...............................................................................................15
H. Prognosis .........................................................................................................15
Kesimpulan .....................................................................................................................15
Daftar Pustaka .................................................................................................................16

BAB I
PENDAHULUAN

Brain death atau kematian otak diartikan sebagai kehilangan irreversibel dari seluruh
fungsi otak, termasuk batang otak. Temuan klinis yang essensial yang ditemukan pada pasien
dengan kematian otak adalah koma, tidak adanya reflex dari batang otak dan apneu.
Kematian batang otak atau kematian otak merupakan suatu gangguan fungsi hemisfer
serebril, batang otak, dan serebelum secara ireversibel. Tanda-tanda yang akan muncul dan
memerlukan penanganan segara berupa kesadaran menurun, pemeliharaan fungsi pernapasan,
kardiovaskuler, dan kontrol suhu. Pada keadaan kematian otak tidak akan ada lagi ditemukan
siklus tidur-terjaga, tidak ada respon nyeri, dan tidak ada refleks. Pada individu yang
mengalami kematian otak akan ditemukan hasil pemeriksaan elektroensefalogram (EEG)
datar.
Seorang pasien yang telah ditetapkan mengalami brain death berarti secara klinis dan
legal-formal telah meninggal dunia. Hal ini seperti dituangkan dalam pernyataan IDI tentang
mati, yaitu dalam Surat Keputusan PB IDI No.336/PB IDI/a.4 tertanggal 15 Maret 1988 yang
disusulkan dengan Surat Keputusan PB IDI No.231/PB.A.4/07/90. Dalam fatwa tersebut
dinyatakan bahwa seorang dikatakan mati, bila fungsi pernafasan dan jantung telah berhenti
secara pasti atau irreversible, atau terbukti telah terjadi kematian batang otak
Diagnosis kematian otak merupakan diagnosis klinis. Tidak diperlukan pemeriksaan
lain apabila pemeriksaan klinis (termasuk pemeriksaan refleks batang otak dan tes apnea)
dapat dilaksanakan secara adekuat. Apabila temuan klinis yang sesuai dengan kriteria
kematian otak atau pemeriksaan konfirmatif yang mendukung diagnosis kematian otak tidak
dapat diperoleh, diagnosis kematian otak tidak dapat ditegakkan
Apabila terjadi kematian otak, maka tindakan donasi organ diperbolehkan.
Sayangnya, fungsi organ yang didonorkan akan lebih dalam keadaan baik/sehat apabila
diambil dari individu sebelum terjadi kematian otak.

Skenario 5
Seorang pria berumur 76 tahun dirawat di ICU karena koma. Diketahui adanya riwayat
hipertensi dan mulai pikun. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan kaku deserebrasi, pupil
melebar, dan tekanan darah 70/50 mmHg. CT-Scan kepala menunjukkan ventrikel yang
membesar dan perdarahan ke dalam ventrikel. Direncakan untuk operasi tetapi ditunda karena
keadaan pasien mengalami kemunduran, nafas spontan hilang sehingga harus dipasang ETT.

1.

Identifikasi Istilah Yang Tidak Diketahui


Kaku deserebrasi
Berkenaan dengan binatang
1. fungsi otaknya telah diganggu
2. menunjukkan sifat-sifat neurologic yang serupa dengan hewan

2.

Rumusan Masalah
a. Pria 76 tahum dirawat karena koma
b. Riwayat hipertensi dan mulai pikun
c. Pemeriksaan fisik didapatkan kaku deserebrasi, tekanan darah 70/50, nafas spontan
hilang
d. Hasil CT-Scan : ventrikel yang membesardan perdarahan ke dalam ventrikel
Mind Map
Kriteria Brain
death

Pemeriksaan Fisik
dan Penunjang

RUMUSAN MASALAH

Different
Diagnosis

Etiologi

PEMBAHASAN

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik umum harus meliputi:
Tanda vital : suhu badan, jalan napas, jenis pernapasannya, dan sirkulasi (tekanan
darah, denyut nadi, aritmia)
Kepala: tanda trauma?, hematom di kulit kepala, hematom di sekitar mata, perdarahan
telinga dan hidung.
Leher: pemeriksaan leher hendakya dilakukan dengan hati-hati, tidak dilakukan jika
diduga ada fraktur tulang servikal.
Thoraks, abdomen, dan ekstremitas: tanda-tanda trauma, deformitas atau bekas
suntikan

Glasgow Coma Scale


Tingkat kesadaran sangat penting pada pasien cedera kepala Glasgow comascale
sudah digunakan secara luas untuk menentukan tingkat kesadaran penderita. Glasgow Coma
scale meliputi :

Tabel 1. Glasgow coma scale 2

Kriteria :2
Kesadaran baik/normal

: GCS 15

Koma

: GCS <7

Pemeriksaan batang otak :


Hilangnya refleks batang otak
Pupil
a.

Tidak terdapat respon terhadap cahaya / refleks cahaya negatif

b.

Ukuran: midposisi (4 mm) sampai dilatasi (9 mm)

Gerakan bola mata /gerakan okular:


a.

Refleks oculocephalic negative, (pengujian dilakukan hanya apabila secara nyata tidak
terdapat retak atau ketidakstabilan vertebrae cervical atau basis kranii)

b.

Tidak terdapat penyimpangan / deviasi gerakan bola mata terhadap irigasi 50 ml air
dingin pada setiap telinga, (membrana timpani harus tetap utuh; pengamatan 1 menit
setelah suntikan, dengan interval tiap telinga minimal 5 menit)

Respon motorik facial dan sensorik facial:


a.

Refleks kornea negatif

b.

Jaw reflex negatif (optional)

c.

Tidak terdapat respon menyeringai terhadap rangsang tekanan dalam pada kuku,
supraorbita, atau temporomandibular joint

Refleks trakea dan faring:


a.

Tidak terdapat respon terhadap rangsangan di faring bagian posterior

b.

Tidak terdapat respon terhadap pengisapan trakeobronkial / tracheobronchial suctioning

Tes Apneu
Secara umum, tes apnea dilakukan setelah pemeriksaan refleks batang otak yang kedua
dilakukan. Tes apnea dapat dilakukan apabila kondisi prasyarat terpenuhi, yaitu:
a.

Suhu tubuh 36,5 C atau 97,7 F

b.

Euvolemia (balans cairan positif dalam 6 jam sebelumnya)

c.

PaCO2 normal (PaCO2 arterial 40 mmHg)

d.

PaO2 normal (pre-oksigenasi arterial PaO2 arterial 200 mmHg)


7

Setelah syarat-syarat tersebut terpenuhi, dokter melakukan tes apnea dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
a.

Pasang pulse-oxymeter dan putuskan hubungan ventilator

b.

Berikan oksigen 100%, 6 L/menit ke dalam trakea (tempatkan kanul setinggi carina)

c.

Amati dengan seksama adanya gerakan pernafasan (gerakan dinding dada atau
abdomen yang menghasilkan volume tidal adekuat)

d.

Ukur PaO2, PaCO2, dan pH setelah kira-kira 8 menit, kemudian ventilator


disambungkan kembali

e.

Apabila tidak terdapat gerakan pernafasan, dan PaCO2 60 mmHg (atau peningkatan
PaCO2 lebih atau sama dengan nilai dasar normal), hasil tes apnea dinyatakan positif
(mendukung kemungkinan klinis kematian otak)

f.

Apabila terdapat gerakan pernafasan, tes apnea dinyatakan negatif (tidak mendukung
kemungkinan klinis kematian otak)

g.

Hubungkan ventilator selama tes apnea apabila tekanan darah sistolik turun sampai <
90 mmHg (atau lebih rendah dari batas nilai normal sesuai usia pada pasien < 18
tahun), atau pulse-oxymeter mengindikasikan adanya desaturasi oksigen yang
bermakna, atau terjadi aritmia kardial.
i.

Segera ambil sampel darah arterial dan periksa analisis gas darah.

ii. Apabila PaCO2 60 mmHg atau peningkatan PaCO2 20 mmHg di atas nilai
dasar normal, tes apnea dinyatakan positif.
iii. Apabila PaCO2 < 60 mmHg atau peningkatan PaCO2 < 20 mHg di atas nilai dasar
normal, hasil pemeriksaan belum dapat dipastikan dan perlu dilakukan tes
konfirmasi. 1

Pemeriksaan Penunjang
1. Angiografi (konsvensional, computer tomographic, magnetic resonance and
radionuclide). Diagnosis kematian otak diterima dengan menujukkan tidak adanya
dari aliran intraserebral pada bifurcatio carotis dari Circle of Willis. Opaksifikasi
mungkin terlihat pada bagian proksimal dari anterior dan tengah arteri cerebral.
Sirkulasi karotis eksterna nyata, dan aliran dari sinus sagitalis superior mungkin
tertunda. 1
2. Electroensefalografi. Diagnosis brain death di terima dengan pencatatan dari tidak
adanya aktivitas elektrik selama hampir 30 menit dari perekaman. Minimal 8
8

elektroda harus digunakan, kekuatan interelektorda harus diantara 100 dan 10.000 ,
integritas dari keseluruhan perekeman harus dites, jarak antara elektroda hasrus 10
cm. Sensitivitas harus meningkat 2 V selama 30 menit termasuk kalibrasi,
electroensefalografi dapat menunjukkan kurangnya dari reaktivasi somatosensory atau
stimulus audivisual. (brain death guideluine) Berdasarkan penuntun yang dibuat oleh
America Electroencephalographi Society. Jika ada gelombang dari otak, diagnosis
dari kematian otak tidak bisa dibuat. Konfirmasi EEG dari kematian otak tidak sah
pada pasien yang menggunakan sedatif atau toxin, yang secara langsung dapat
menekan aktivitas elektrik dari otak. 1

3. Transcranial Doppler Ultrasonography (TCD)


Menunjukkan adanya systolic spike dengan tidak adanya atau aliran balik diastolic
yang konsisten dengan penghentian dari aliran darah dan kematian otak

Working Diagnosis
Kematian batang otak didefinisikan sebagai kehilangan yang irreversibel dari otak,
termasuk jaringan otak. Tiga tanda umum yang ditemukan pada kematian otak adlah koma,
tidak adanya reflex brainstem dan apneu. Sebuah evaluasi dari kematian otak harus
dipertimbangkan pada pasien yang menderita sesuatu yang parah, cedera otak yang
irreversibel. Menentukan pasien yang mengalami kematian otak adalah legal dan secara klinis
memang meninggal.1

Kriteria Brain death

1. Identifikasi dari riwayat atau temuan pemeriksaan fisik yang menunjukkan secara
jelas etiologi dari disfungsi otak. Penentuan dari kematian otak membutuhkan
identifikasi dari penyebab terdekat dan irreversibel koma. Cedera kepala berat,
hipertensi perdarahan intraserebral, aneurysma perdarahan subarachnoid, hipoksiaiskemia otak dan gagal hati fulminan adalah penyebab dari kehilangan irreversibel
dari fungsi otak. 5

2. Pengecualian dari berbagai keadaan yang mungkin membingungkan pemeriksaan


lanjutan dari korteks atau fungsi jaringan otak. Kondisi-kondisi yang dapat
membingungkan diagnosis dari kematian otak adalah : 5
a. Shock atau hipotensi
b. Hipotermia-temprature < 32OC
c. Obat-obat yang diketahui mengubah neurologis, fungsi neuromuscular dan test
electroencephlografi,

seperti

obat

anestesi,

neuroparalisis,

methaqualone,

baribiturat, benzodiasepin, bretylium dosis tinggi, amitriptiline, meprobamate,


tricholoroethylene, alcohol.
d. Jaringan otak ensefalitis
e. Buillain-Barre syndrome
f. Ensefalopati dengan kegagalan hepar, uremia dan hiperosmolar koma
g. Hipophospatemia parah
3. Temuan dari pemeriksaan neurologi lengkap. Komponen dari pemeriksaan neurologi
lengkap adalah:
a. Pemeriksaan dari pasien yang tidak adanya pergerakan spontan, posisi deserebrasi
atau dekortikasi, kejang, gemetaran, respon untuk stimulus verbal, dan respon
untuk stimulus yang berbajaua diberikan melalui jalur saraf kranial.
b. Tidak adanya reflex pupil secara langsung dan sinar yang konsesual; pupil tidak
boleh sama atau dilatasi. Reflex pupil dapat berubah jika adanya trauma maa,
katarak, dopamine dosis tinggi, gluthetmide, skopolamin, bretilium atau
monoamine oksidase inhibitor, atropin.
c. Tidak adanya refleks kornea, okulosefalik, batuk dan muntah. Reflex kornea
mungkin dapat berubah sebagai hasil dari kelemahan wajah
d. Tidak adanya refleks okulovestibular saat dites dengan 20-50 ml diari air es ke
kanal auditori eksternal bersih dari serumen, dan setelah kepala pasien elevasi 30
derajat. Cedera labirin atau penyakit, antihkolinergik, anticonvulsan, antidepresan
trisiklik, dan beberapa sedativ dapat mengubah respon
e. Gagal dari denyut nadi untu meningkatkan lebih dari 5 kali permenite setelah 1-2
mg dari atropinintravena. Indikasi dari hal ini adalah tidak adanya fungsi dari
saraf vagus dan nukleus
f. Tidak adanya upaya respirasi menandakan adanya hiperkapnia

10

Secara umum, tes apnea dilakukan setelah pemeriksaan refleks batang otak yang
kedua dilakukan. Tes apnea dapat dilakukan apabila kondisi prasyarat terpenuhi,
yaitu:
a. Suhu tubuh 36,5 C atau 97,7 F
b. Euvolemia (balans cairan positif dalam 6 jam sebelumnya)
c. PaCO2 normal (PaCO2 arterial 40 mmHg)
d. PaO2 normal (pre-oksigenasi arterial PaO2 arterial 200 mmHg)
Setelah syarat-syarat tersebut terpenuhi, dokter melakukan tes apnea dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
a. Pasang pulse-oxymeter dan putuskan hubungan ventilator
b. Berikan oksigen 100%, 6 L/menit ke dalam trakea (tempatkan kanul setinggi
carina)
c. Amati dengan seksama adanya gerakan pernafasan (gerakan dinding dada atau
abdomen yang menghasilkan volume tidal adekuat)
d. Ukur PaO2, PaCO2, dan pH setelah kira-kira 8 menit, kemudian ventilator
disambungkan kembali
e. Apabila tidak terdapat gerakan pernafasan, dan PaCO2 60 mmHg (atau
peningkatan PaCO2 lebih atau sama dengan nilai dasar normal), hasil tes apnea
dinyatakan positif (mendukung kemungkinan klinis kematian otak)
f. Apabila terdapat gerakan pernafasan, tes apnea dinyatakan negatif (tidak
mendukung kemungkinan klinis kematian otak)
g. Hubungkan ventilator selama tes apnea apabila tekanan darah sistolik turun
sampai < 90 mmHg (atau lebih rendah dari batas nilai normal sesuai usia pada
pasien < 18 tahun), atau pulse-oxymeter mengindikasikan adanya desaturasi
oksigen yang bermakna, atau terjadi aritmia kardial.
i. Segera ambil sampel darah arterial dan periksa analisis gas darah.
ii. Apabila PaCO2 60 mmHg atau peningkatan PaCO2 20 mmHg di atas nilai
dasar normal, tes apnea dinyatakan positif.
iii. Apabila PaCO2 < 60 mmHg atau peningkatan PaCO2 < 20 mHg di atas nilai
dasar normal, hasil pemeriksaan belum dapat dipastikan dan perlu dilakukan tes
konfirmasi.1

11

Different Diagnosis
Persistent Vegetative State (PVS)
Terdapat perbedaan antara kematian batang otak dan PVS , dimana dapat terjadi
setelah cedera luas ke otak. Orang dengan PVS akan menunjukkan keadaan terjaga (mata
mereka terbuka, sebagai contoh) tapi tidak merespon sekitarnya. Namun, perbedaan penting
dari PVS dan kematian batang otak adalah pasien dengan PVS tetap mempunyai fungsi otak
yang normal, meskipun :
a. Beberapa jenis ketidaksadaran dapat muncul pada pasien PVS
b. Seorang pasien PVS masih dapat bernafas tanpa bantuan
c. Seorang pasien PVS mempunyai sedikit kesempatan untuk pulih karena fungsi utama
dari jaringan otak biasanya tidak berpengaruh, sedangkan pasien dengan kematian
batang otak tidak memiliki kesempatan untuk pulih karena tubuh tidak dapat hidup
tanpa bantuan alat.3
Locked-in-syndroma
Locked-in syndrome adalah suatu keadaan yang terjadi de-ferentasi motorik supranuklear
tertentu (pons) yang mengakibatkan paralise ke empat anggota gerak dan saraf kranial bawah,
tanpa gangguan kesadaran. Palalisa motorik volunter ini yang menghambat pasien untuk
berkomunikasi dengan kata-kata atau gerakan tubuh (seperti terkunci di dalam atau lockedin). Biasanya, tetapi tidak selalu, kelainan anatomis yang menyebabkan keadaan ini adalah
lesi-lesi batang otak yang tidak melibatkan gerakan bola mata vertikal dan refleks
kedip,sehingga memungkinkan awareness penderita berespons terhadap rangsangan eksternal
maupun internal. Sebagai penyebab penyakit antara lain: oklusi arteri basiler, mielinolisis
protein sentral, tumor pons, cedera kepala, Neuro Bechet's disease, polineuropati pasca
infeksi, kecanduan heroin, ensefalitis pasca vaksinasi, abses pons,cardiac arrest, multiple
sclerosis, perdarahan pons, embolisme udara, intoksikasi obat-obat penenang minor.4

Etiologi
Kematian batang otak dapat terjadi saat suplai darah dan oksigen ke otak dihentikan. Hal ini
dapat terjadi karena:3
12

a. Cardiac arrest ini terjadi saarjantung berhenti berdetak dan otak kekuarngan oksigen
b. Heart attack, kegawatdaruratan medis yang serius dapat terjadi saat suplai darah ke
jantung tiba-tiba diblock
c. Stroke, kegawatdaruratan medis yang serius terjadi saat gangguan suplai darah ke
otak
d. Pembekuan darah, terjadi sumbatan

pada salah satu pembuluh darah

yang

mengganggu dan menghambat aliran darah ke seluruh tubuh.


Kematian batang otak dapat juga terjadi sebagai hasil dari :3
a. Cedera otak yang berat
b. Infeksi. Seperti ensefalitis (infeksi virus dari otak)
c. Tumor otak (pertumbuhan sel abnormal yang multiple, tidak dapat dikontrol dalam
otak)

Patofisologi
Patofisiologi penting terjadinya kematian otak adalah peningkatan hebat tekanan
intrakranial (TIK) yang disebabkan perdarahan atau edema otak. Jika TIK meningkat
mendekati tekanan darah arterial, kemudian tekanan perfusi serebral (TPS) mendekati nol,
maka perfusi serebral akan terhenti dan kematian otak terjadi.Aliran darah normal yang
melalui jaringan otak pada orang dewasa rata-rata sekitar 50 sampai 60 mililiter per 100 gram
otak per menit. Untuk seluruh otak, yang kira-kira beratnya 1200 1400 gram terdapat 700
sampai 840 ml/menit. Penghentian aliran darah ke otak secara total akan menyebabkan
hilangnya kesadaran dalam waktu 5 sampai 10 detik. Hal ini dapat terjadi karena tidak ada
pengiriman oksigen ke sel-sel otak yang kemudian langsung menghentikan sebagian
metabolismenya. Aliran darah ke otak yang terhenti untuk tiga menit dapat menimbulkan
perubahan-perubahan yang bersifat irreversibel. Sedikitnya terdapat tiga faktor metabolik
yang memberi pengaruh kuat terhadap pengaturan aliran darah serebral. Ketiga faktor
tersebut adalah konsentrasi karbon dioksida, konsentrasi ion hidrogen dan konsentrasi
oksigen. Peningkatan konsentrasi karbon dioksida maupun ion hidrogen akan meningkatkan
aliran darah serebral, sedangkan penurunan konsentrasi oksigen akan meningkatkan aliran.
Faktor-faktor iskemia dan nekrotik pada otak oleh karena kurangnya aliran oksigen ke
13

otak menyebabkan terganggunya fungsi dan struktur otak, baik itu secara reversible dan
ireversibel. Percobaan pada binatang menunjukkan aliran darah otak dikatakan kritis apabila
aliran darah otak 23/ml/100mg/menit (Normal 55 ml/100mg/menit). Jika dalam waktu
singkat aliran darah otak ditambahkan di atas 23 ml, maka kerusakan fungsi otak dapat
diperbaiki. Pengurangan aliran darah otak di bawah 8-9 ml/100 mg/menit akan menyebabkan
infark, tergantung lamanya. Dikatakan hipoperfusi jika aliran darah otak di antara 8 dan 23
ml/100 mg/menit.
Jika jumlah darah yang mengalir ke dalam otak regional tersumbat secara parsial,
maka daerah yang bersangkutan langsung menderita karena kekurangan oksigen. Daerah
tersebut dinamakan daerah iskemik. Di wilayah itu didapati: 1) tekanan perfusi yang rendah,
2) PO2 turun, 3) CO2 dan asam laktat tertimbun. Autoregulasi dan kelola vasomotor dalam
daerah tersebut bekerja sama untuk menanggulangi keadaan iskemik itu dengan mengadakan
vasodilatasi maksimal. Pada umumnya, hanya pada perbatasan daerah iskemik saja bisa
dihasilkan vasodilatasi kolateral, sehingga daerah perbatasan tersebut dapat diselamatkan dari
kematian. Tetapi pusat dari daerah iskemik tersebut tidak dapat teratasi oleh mekanisme
autoregulasi dan kelola vasomotor. Di situ akan berkembang proses degenerasi yang
ireversibel. Semua pembuluh darah dibagian pusat daerah iskemik itu kehilangan tonus,
sehinga berada dalam keadaan vasoparalisis. Keadaan ini masih bisa diperbaiki, oleh karena
sel-sel otot polos pembuluh darah bisa bertahan dalam keadaan anoksik yang cukup lama.
Tetapi sel-sel saraf daerah iskemik itu tidak bisa tahan lama. Pembengkakan sel dengan
pembengkakan serabut saraf dan selubung mielinnya (udem serebri) merupakan reaksi
degeneratif dini. Kemudian disusul dengan diapedesis eritosit dan leukosit. Akhirnya sel-sel
saraf akan musnah. Yang pertama adalah gambaran yang sesuai dengan keadaan iskemik dan
yang terakhir adalah gambaran infark.
Adapun pada hipoglikemia, mekanisme yang terjadi sifatnya umum. Hipoglikemia
jangka panjang menyebabkan kegagalan fungsi otak. Berbagai mekanisme dikatakan terlibat
dalam patogenesisnya, termasuk pelepasan glutamat dan aktivasi reseptor glutamat neuron,
produksi spesies oksigen reaktif, pelepasan Zinc neuron, aktivasi poli (ADP-ribose)
polymerase dan transisi permeabilitas mitokondria. 5

14

Penatalaksanaan
Tatalaksana gawat darurat pertama pada pasien tidak sadar adalah proteksi fungsi pernapasan
dan sirkulasi dengan teknik penunjang hidup yang standar.

Airway: jalan napas, hilangkan obstruksi, gunakan pipa orofaring atau endotrakea
(ETT) jika perlu.

Breathing: pernapasan, berikan oksigen, lakukan ventilasi jika gerak pernapasan tidak
adekuat.

Circulation: sirkulasi, cek nadi dan tekanan darah, pasang akses intravena, dan
berikan pengganti darah yang hilang.6

Prognosis
Prognosis buruk jika ditemukan:7

Gangguan fungsi batang otak ( misalnya refleks kornea dan refleks muntah tidak ada)

Pupil dilatasi tanpa adanya refleks cahaya.

Skala koma glasgow yang rendah.

Kesimpulan
Brain death atau kematian otak diartikan sebagai kehilangan irreversibel dari seluruh
fungsi otak, termasuk batang otak. Temuan klinis yang essensial yang ditemukan pada pasien
dengan kematian otak adalah koma, tidak adanya reflex dari batang otak dan apneu.
Diagnosis untuk menentukan apakah orang tersebut mengalami kematian otak tidak
sembarangan diperlukan pemeriksaan penunjang seperti ct-sca, angiografi, dan USG dopler.

15

Daftar Pustaka
1. Goila AK, Pawar M. The diagnosis of brain death. J Crit Care Med 2009. Jan-Mar;
13(1): p. 7-11. Diunduh : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2772257/.
Pada 9 November 2013.
2. Universitas Jendral Sudirman. Pemeriksaan GCS dan PCS. Diunduh dari :
http://kedokteran.unsoed.ac.id/Files/Kuliah/modul%20/Ganjil%20II%20%20Pemeriksaasn%20GCS%20dan%20PCS.pdfl. 10 November 2013
3. GOV. Kematian otak. 30 Maret 2012. Diunduh : http://www.nhs.uk/conditions/braindeath/Pages/Introduction.aspx. Pada 9 November 2013
4. Satyanegara. Ilmu bedah saraf satyanegara. Edisi 4. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2010.h 181-2
5. Wilson LM. Sistem saraf dalam Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit
edisi kedua. Jakarta: EGC;1994. hal.902.
6. Ginsberg L. Lecture notes neurologi. Edis 8. Jakarta: Erlangga, 2007. h 8-10
7. Dewanto G. Panduan praktis diagnosis dan tata laksana penyakit saraf. Jakarta:
EGC,2009. h.1-5

16

Anda mungkin juga menyukai