Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

Biological Pollution (Air)

Di Susun untuk Memenuhi Tugas UAS

Kimia Lingkungan

Disusun Oleh :
Hilna Diana Sahaya
2106780171

Dosen Pengampu:
Asep Saefumillah, S.Si.,M.Si.,Pd.D.

PROGRAM MAGISTER ILMU KIMIA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS INDONESIA
2022
KATA PENGANTAR

Penulis selalu mengucapkan syukur ke hadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan
rahmat, berkah dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan
makalah Kimia Lingkungan mengenai “Biological Pollution (Air)”. Penulis menyadari
bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk menjadikan makalah ini menjadi
lebih baik lagi.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.

Bandar Lampung, Juni 2022

Penulis
Table of Contents

BAB 1 PENDAHULUAN........................................................................................................................6
1.1 Latar Belakang..................................................................................................................6
1.2 Tujuan...............................................................................................................................6
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................................7
2.1 Polutan Biologis................................................................................................................7
2.1.1 Virus.........................................................................................................................7
2.1.1. Bakteri.....................................................................................................................8
2.1.3 Fungi.........................................................................................................................8
2.1.4 Protozoa...................................................................................................................9
2. 2 Sumber polutan biologis..................................................................................................9
2.2.1 Sumber alami...........................................................................................................9
2.1.2 Sumber antropogenik..............................................................................................11
2.3 Difusi dan transport.......................................................................................................14
2.4 Faktor yang mempengaruhi difusi dan transportasi polutan biologis............................16
2.4.1 Lokasi geografis.....................................................................................................16
2.4.2 Berbagai jenis penggunaan lahan...........................................................................17
2.4.3 Faktor lingkungan...................................................................................................18
2.4.4 Faktor meteorologi.................................................................................................18
2.4.5 Polusi udara............................................................................................................20
2.5 Fate Of Biological Pollution.............................................................................................21
2.5.1 Kadar Air (RH).........................................................................................................21
2.5.2 Suhu.......................................................................................................................23
2.5.3 Konsentrasi Oksigen...............................................................................................23
2.6 Identifikasi Sumber Biological Pollution..........................................................................23
2.6.1 Metode identifikasi sumber....................................................................................24
2.7 Contoh Kasus Biological Pollution.....................................................................................26
BAB III KESIMPULAN.........................................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................................33
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pencemaran lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas


kehidupan makhluk di sekitarnya sehingga masalah pencemaran lingkungan ini menjadi
salah satu hal yang paling krusial. Banyak pencemaran yang marak dalam kehidupan
sehari-hari yang kita temui seperti pencemaran udara, air, tanah. Semua dari pencemaran
tersebut terjadi karena beberapa faktor. Faktor penyebab dari pencemaran itu sendiri
sangatlah banyak salah satunya merupakan dari proses alam, manusia, dan faktor .
Pencemaran sendiri yang diartikan sebagai masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat,
energi dan atau komponen lain ke dalam air maupun ke dalam udara oleh kegiatan manusia
dan juga proses alam, sehingga kualitas udara tersebut menjadi kurang atau tidak dapat
berfungsi lagi sesuai dengan pembentukannya.

Aerosol atmosfer ada di mana-mana di alam dan lingkungan manusia. Bioaerosol adalah
bagian penting dari aerosol atmosfer. Bioaerosol, terutama termasuk bakteri, jamur, dan
mikroorganisme serta zat biologis lainnya, biasanya berukuran mulai dari nanometer
hingga sepersepuluh milimeter. Setiap tahun, sumber potensial yang berbeda melepaskan
sejumlah besar bioaerosol, yang memasuki atmosfer sebagai partikel. Karena ukurannya
yang kecil dan ringan, bioaerosol dapat diangkut dalam jarak jauh melalui angin, sehingga
menyebabkan berbagai penyakit akut dan kronis pada manusia, hewan, dan tumbuhan.
Pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh mikroorganisme atau makhluk hidup dikenal
dengan pencemaran biologis.

1.2 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk meninjau lebih jelas mengenai jenis polutan biologis, sumber
polutan biologis, difusi dan transport polutan biologis serta faktor yang mempengaruhinya
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Polutan Biologis

Pencemaran lingkungan adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi atau
komponen lain ke dalam lingkungan atau berubahnya tatanan lingkungan akibat kegiatan
manusia atau proses alam. Sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu
yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai
peruntukannya. Zat atau bahan yang mengakibatkan pencemaran disebut polutan atau
bahan pencemar. Bahan pencemar adalah zat, partikel atau organisme yang dapat
menimbulkan pencemaran lingkungan secara langsung maupun tidak langsung mengurangi
kualitas lingkungan hidup. Semua makhluk hidup, mulai dari mikroba bersel satu hingga
paus biru, bergantung pada pasokan udara dan air di bumi. Bila sumber daya ini tercemar,
semua bentuk kehidupan akan terancam. Polusi biologis adalah polusi yang disebabkan
oleh mikroorganisme atau makhluk hidup. Berikut ini merupakaan beberapa polutan
biologis.

2.1.1 Virus
Ukuran virus berkisar dari sekitar 0,3 hingga 0,02 µm terdiri dari inti asam nukleat (baik
RNA atau DNA tetapibukankeduanya) dalam satu atau dua selubung protein dan tidak
tumbuh atau berkembang biak tetapi bereplikasi di dalam sel inang. Virus tidak mampu
memproduksi enzim untuk memecah senyawa kompleks menjadi zat yang lebih sederhana
untuk nutrisi mereka, dan mereka umumnya dianggap bertahan hidup hanya dalam sel
living yang mungkin sel manusia atau hewan lainnya, sel tumbuhan, atau bahkan sel bakteri
atau jamur. Begitu berada di dalam sel, mereka mengubah fungsi normalnya menjadi
produksi virus yang pada akhirnya akan menghancurkan sel dan membebaskan lebih
banyak virion ke dalam tubuh inang. Virus tertentu ditularkan dari orang ke orang melalui
tetesan di udara, seperti virus influenza dan campak, atau dalam hubungannya dengan
bahan yang dikeluarkan dari tubuh, Oleh karena itu, ada kemungkinan bahwa beberapa
spesies virus dapat bertahan cukup lama di sirkulasi udara.
2.1.1. Bakteri
Ukuran bakteri berkisar dari sekitar 5 hingga 0,5 µm dan merupakan struktur bersel tunggal
yang hanya dapat dilihat secara tunggal di bawah mikroskop. Namun, ketika dibiakkan
secara artifisial, mereka membentuk koloni yang terdiri dari jutaan sel tunggal dan mudah
terlihat dengan mata telanjang. Bakteri bersifat prokariotik, artinya sepanjang siklus sel
tidak ada membran yang memisahkan bahan inti dari komponen sel lainnya..Beberapa
spesies memiliki flagela yang memungkinkan mereka berenang melalui media cair atau
berkerumun di atas permukaan yang lembab. Bakteri terdapat di hampir setiap lingkungan,
terutama di tempat-tempat berdebu dan kotor yang dihuni oleh manusia atau hewan lain.

2.1.3 Fungi

Kelompok mikroorganisme yang selnya memiliki membran dari sisa protoplasma sel
diklasifikasikan sebagai eukariotik dan termasuk jamur, ragi, dan jamur. Fungi adalah
organisme bersel satu atau bersel banyak atau berfilamen yang dinding selnya merupakan
struktur berbatas jelas yang mengandung polisakarida, dan terkadang polipeptida dan kitin.
Mereka sering bereproduksi secara seksual dan aseksual, dengan banyak spora yang dapat
terbawa aliran udara. Sebagian besar spesies bersifat saprofit;,dan kekosongan. Dari hasil
sekitar 200 survei yang dilakukan di berbagai belahan dunia terhadap spora udara luar
genus yang sama, Cladosporium, Alternaria, Penicillium,dan Aspergilus, menyumbang
persentase rata-rata tertinggi. Sebuah survei terhadap 11 rumah di Florida menunjukkan
insiden yang tinggi dari genus yang sama ini di udara yang bersirkulasi. Dari data
berdasarkan studi reaktivitas kulit, keempat genera ini juga merupakan penyakit pernapasan
alergi yang paling umum.4 Sekitar 85% pasien yang ditemukan alergi terhadap jamur akan
bereaksi terhadap satu atau lebih alergen jamur ini..Banyak spesies jamur lain yang secara
rutin diisolasi dari bagian dalam sistem HYAC dan hubungannya dengan alergi staf kurang
jelas.6 Spesies jamur yang diketahui menyebabkan infeksi adalah Aspergillus spp..,
terutama A.nigerdan fumigatus yang secara klasik menyebabkan infeksi paru-paru yang
serius.
2.1.4 Protozoa

Protozoa umumnya lebih maju dalam struktur mereka dengan lebih banyak diferensiasi
bagian-bagian untuk makan, bergerak, dan reproduksi. Pentingnya mereka di lingkungan
dalam ruangan adalah bahwa mereka mampu menjajah air yang tergenang di reservoir
pelembab udara dan baki kondensat yang dikeringkan dengan tidak benar. Aerosolisasi sel
mereka terjadi langsung dari air yang terkontaminasi saat berdiri atau ketika semprotan
pelembab diaktifkan kembali;jika air yang terkontaminasi mengering, baik di dalam
penahannya atau di bagian lain dari sistem setelah pemindahan, sel-sel yang dikeringkan
tersebut dimasukkan ke dalam suplai udara. Alergen kuat dapat terbentuk, yang jika
terhirup oleh orang yang rentan, menimbulkan respons hipersensitivitas yang
mengakibatkan pneumonitis, demam pelembab udara, asma, atau rinitis alergi. Selain itu,
sekarang diketahui7·8 bahwa protozoa ini memakan bakteri, termasuk Legionella sp., dan
bahwa bakteri dapat bertahan hidup, diasingkan di dalam sel yang terlindung dari biosida di
dalam air, atau kondisi tidak menguntungkan lainnya, untuk berkembang biak dan muncul
ketika kondisi yang lebih baik kembali.

2. 2 Sumber polutan biologis

Polutan biologis ada di mana-mana di lingkungan alami dan kerja. Karena udara umumnya
tidak menyediakan nutrisi untuk pertumbuhan mikroba, atmosfer hanya bertindak sebagai
tempat tinggal sementara daripada sumber. Akibatnya, konsentrasi dan komposisi
komunitas mikroba di udara terutama bergantung pada sumber emisinya. Polutan biologis
dihasilkan terutama dari emisi alam dan aktivitas manusia, seperti yang ditunjukkan pada
gambar 2. Badan air, tanah, tanaman, dan aktivitas antropogenik diakui sebagai sumber
utama bakteri, jamur, virus, dan senyawa biologis di udara.

2.2.1 Sumber alami


Tanah adalah sumber utama bioaerosol alami terestrial. Sejumlah besar komunitas mikroba
tumbuh subur di tanah , karena bahan organic yang kaya menyediakan media alami untuk
pertumbuhan mikroorganisme. Perkiraan jumlah prokariota (bakteri dan archaea) di gurun
dan tanah budidaya (~2-109sel/g) secara signifikan lebih besar dari tanah hutan (4-107sel/g).
Diperkirakan jumlah total bakteri yang dipancarkan dari daratan berkisar antara 1,5-
1023untuk 3,5-1024sel/tahun. Aksi angin melepaskan sejumlah besar bioaerosol ke atmosfer.
Salah satu sumber utama yang melepaskan sejumlah besar jamur ke udara. Curah hujan
juga dapat mempermudah pelepasan bioaerosol dari tanah ke udara. Dalam proses tetesan
air hujan mengenai permukaan tanah, tetesan yang mengandung bakteri tanah tersebar.
Dilaporkan bahwa 0,01% bakteri di dalam tanah dapat memasuki atmosfer ketika rintik
hujan turun, dan jumlah total bakteri yang disebarkan oleh tetesan air hujan dapat berkisar
antara 1,2-1022ke 8.5-1023 sel/tahun. Selain itu, badan air alami seperti sungai, danau, dan
laut juga kaya akan berbagai mikroorganisme. Ketika buih atau gelembung pecah di dalam
air, sejumlah besar mikroorganisme akan terbentuk dan memasuki atmosfer di bawah aksi
kekuatan eksternal lainnya seperti tenaga angin dan tenaga air. Dilaporkan bahwa
konsentrasi prokariota di Laut Timur sekitar 10 4–105sel/m3 Konsentrasi bakteri di udara di
atas wilayah Perpanjangan Kuroshio di barat laut Samudra Pasifik berada di urutan 104–105
sel/m3, dengan viabilitas tinggi rata-rata 93%. Tingginya pemuatan mikroorganisme di
udara laut terutama dilepaskan dari laut. Hewan dan tumbuhan biasanya melepaskan
mikroorganisme di udara. Hewan peliharaan dalam ruangan, terutama kucing dan anjing,
memiliki kontribusi yang lebih signifikan terhadap mikroflora dalam ruangan. Di kamar
dengan kucing dan anjing, kelimpahan 24 dan 56 spesies flora bakteri meningkat secara
signifikan. Semakin banyak penelitian menunjukkan bahwa beberapa hewan dapat
menyebarkan penyakit ke hewan lain atau manusia melalui bioaerosol. Misalnya, kelelawar
dianggap sebagai reservoir alami virus seperti SARS-CoV, MERS-CoV, NiV, HeV, virus
Ebola, dan virus Marburg. Virus yang dikeluarkan oleh kelelawar menyebar melalui
aerosol, menyebabkan penyakit pada inang perantara (kuda, babi, musang, atau primata
nonmanusia) dan kemudian manusia, atau secara langsung menyebabkan infeksi pada
manusia. Banyak mikroorganisme yang menempel pada permukaan daun tanaman dapat
bermigrasi ke atmosfer di bawah pengaruh angin. Diperkirakan bahwa komunitas bakteri
dalam lingkaran tumbuhan global terdiri dari hingga 10 26sel, dengan rata-rata 10 6–107 sel
per sentimeter persegi daun. Lymperopoulou dkk. (2016) mengumpulkan udara di atas area
vegetasi dan area nonvegetasi yang berdekatan secara bersamaan. Mereka menemukan
bahwa kelimpahan bakteri dan jamur di udara di area vegetasi 2–10 kali lebih tinggi
daripada lokasi non-vegetasi. Selanjutnya, lebih dari 50% bakteri dalam sampel udara
melawan arah angin ditelusuri kembali ke tanaman lokal. Serbuk sari dan spora jamur juga
berasal dari berbagai tanaman. Sementara membantu tanaman untuk melakukan aktivitas
reproduksi, serbuk sari dan spora jamur dapat menyebabkan peningkatan kejadian asma dan
alergi.

Gambar 1 Sumber dan transportasi bioaerosol di alam (Wenwen et al,2021)

2.1.2 Sumber antropogenik

Selain mikroorganisme di udara dari sumber alami, manusia dan aktivitasnya sehari-hari
juga dapat melepaskan sejumlah besar bioaerosol, yang mengakibatkan potensi risiko
kesehatan, polusi udara dalam dan luar ruangan. Berbagai jenis bakteri hidup di bagian
yang berbeda di dalam dan di luar tubuh manusia. Di antara mereka, sekitar 1012–1014jenis
mikroba hidup di kulit dan saluran pencernaan tubuh manusia. Oleh karena itu, dalam
lingkungan tertutup, manusia dapat menjadi sumber bioaerosol buatan terbesar dan dapat
secara langsung mempengaruhi struktur dan komposisi flora mikroba dalam ruangan.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa virus dapat ditularkan melalui aerosol yang
dikeluarkan dari pasien. Ketika pasien bernapas, berbicara, batuk, dan bersin, mereka
menghasilkan tetesan atau bioaerosol dengan sejumlah besar mikroba patogen (Gambar 3).
Infeksi saluran pernapasan seperti COVID-19, SARS, dan influenza terutama menyebar
melalui partikel cairan pembawa virus (tetesan dan aerosol) dari hidung dan mulut
pembawa saat bernapas, batuk, dan bersin. Aerosol yang sarat dengan virus dapat bertahan
di udara selama berjam-jam, membuat orang sakit. Bioaerosol ini memiliki jarak propagasi
yang relatif pendek dan waktu kelangsungan hidup yang lama di ruang dalam ruangan,
yang merupakan ancaman signifikan bagi kesehatan manusia. Oleh karena itu, sangat
penting untuk mementingkan studi sumber mikroba dalam ruangan, Bioaerosol dapat
dipancarkan dari berbagai lingkungan kerja seperti peternakan (hennery, pig farm, dan
peternakan sapi), tempat pembuangan sampah, instalasi pengolahan air limbah (IPAL)
Gambar 2 Rute transportasi yang berbeda dari bioaerosol yang dipancarkan oleh
manusia. Tetesan air kecil (<5mm) bertanggung jawab atas rute udara jarak pendek, rute
udara jarak jauh, dan rute kontak tidak langsung.

Karakteristik mikroba udara di berbagai lingkungan kerja telah diperiksa secara intensif
(Tabel 1) untuk mendapatkan wawasan tentang efek emisi bioaerosol pada pekerja dan
penduduk di dekat lokasi tersebut Lingkungan peternakan (unggas, peternakan babi dan)
melepaskan konsentrasi tinggi bioaerosol, mulai dari 103ke 105 CFU/m3(mikroorganisme
yang dapat dikultur) yang juga mempengaruhi konsentrasi aerosol ambien menunjukkan
bahwa debu dan bioaerosol bergerak dalam jarak pendek ke kebun almond dari arah angin
yang berdekatan.

Banyak bakteri patogen sering dapat dideteksi di udara dekat peternakan ini. Bakteri
patogen utama di atmosfer peternakan meliputi:Bacillus, Corynebacterium, dan
Streptococcus. yang terutama berasal dari kotoran dan pakan hewan atau terkait dengan
kegiatan pertanian di peternakan. IPAL adalah sumber bioaerosol lain yang dipelajari
dengan baik. Setiap proses pengolahan IPAL ternyata memiliki efek yang bervariasi
terhadap pelepasan bioaerosol. Banyak mikroorganisme, toksin, dan metabolit dilepaskan
dari sebagian besar unit pengolahan ke udara untuk membentuk bioaerosol. Bioaerosol ini
terkonsentrasi diudara dan dibawa oleh angin ke daerah tetangga. Di situs reseptor,
bioaerosol yang diangkut menjadi sumber pencemaran bagi tumbuhan, hewan, dan air
permukaan, serta mempengaruhi penduduk yang menghuni tempat-tempat baik yang dekat
maupun yang jauh dari IPAL. Dibandingkan dengan IPAL, lokasi TPA memiliki onsentrasi
mikroorganisme yang relatif lebih tinggi dan lebih kaya akan bakteri pathogen. Karena
lokasi TPA umumnya merupakan ruang terbuka, dampaknya terhadap lingkungan sekitar
jauh lebih signifikan dibandingkan dengan tempat kerja lainnya. Terbukti bahwa
konsentrasi dan komposisi bioaerosol dalam sumber buatan berbeda karena proses
pelepasan yang berbeda. Pengetahuan tentang karakteristik emisi bioaerosol di berbagai
tempat kerja akan meningkatkan pemahaman tentang sumber polusi. Selanjutnya, ini akan
membantu dalam memperkirakan tingkat polusi, merumuskan langkah-langkah mitigasi,
dan meningkatkan kualitas udara. Oleh karena itu, studi emisi dan distribusi lebih lanjut
tentang bioaerosol di sekitar tempat kerja yang beraneka ragam harus diberikan fokus
tambahan di bidang mikroorganisme di udara

2.3 Difusi dan transport

Setelah dilepaskan ke atmosfer, sebagian besar bioaerosol bergabung dengan materi


partikulat ambien untuk difusi dan transportasi. Bioaerosol dapat tersebar atau diangkut
dalam jarak yang jauh, dan dengan demikian dapat menjadi sumber bioaerosol lainnya.
mekanisme bioaerosol sangat kompleks. Mikroorganisme memasuki atmosfer sebagai
aerosol dari sumber yang disebutkan di atas.Begitu berada di udara, mikroba dibawa ke
atas oleh aliran udara karena ukurannya yang kecil, di mana mereka menempel pada
partikel yang ada. Oleh karena itu, ukuran partikel memiliki dampak yang signifikan
terhadap transportasi bioaerosol. Kehadiran bioaerosol di udara untuk jangka waktu yang
lama memberikan kondisi yang menguntungkan untuk transportasi mereka. Di bawah
aksi angin, bioaerosol dapat melakukan perjalanan dari sumber ke situs reseptor. Pada
akhirnya, bioaerosol diambil dari atmosfer baik dengan presipitasi atau deposisi langsung
ke permukaan. Namun, beberapa aktivitas manusia dapat mencegah pengendapan
bioaerosol, menyebabkan mikroba melayang kembali. Transportasi jarak jauh merupakan
modal penting penyebaran bioaerosol yang mempengaruhi ekosistem, kesehatan manusia,
produktivitas pertanian, dan perubahan. Bioaerosol yang dilepaskan dari permukaan bumi
berada di bawah pengaruh tekanan dan suhu yang konstan. Hanya sebagian kecil
bioaerosol yang akan bercampur dengan udara di troposfer dengan bantuan angin. Sebagai
contoh, Firmicutes hadir dalam jumlah besar di permukaan Gurun Gobi, dan mereka
sebagian besar dihilangkan karena tekanan dan dengan demikian hanya merupakan 5%
dalam sampel udara sebagai campuran bioaerosol yang menjalani transportasi atmosfer
dengan massa udara. Selama proses transportasi atmosfer, bioaerosol dapat berinteraksi
dengan radiasi ultraviolet (UV), fotooksidan, dan berbagai polutan udara. Interaksi ini
dapat menyebabkan transformasi kimia dan fisik lebih lanjut dan penuaan biologis
bioaerosol selama transportasi. Ketika bioaerosol terkena oksidan atmosfer (seperti OH,
NO3, dan O3) di udara, mereka dengan cepat berubah dari keadaan emisi aslinya.
Oksidan ini secara signifikan dapat mengubah komposisi dan sifat bioaerosol melalui
reaksi kimia yang homogen dan heterogen. Misalnya, serangan langsung oleh spesies
oksigen reaktif dapat merusak system biologis. Namun, agregasi sel atau selubung
pelindung dapat mempengaruhi kelangsungan hidup bioaerosol. Beberapa mikroorganisme
yang sangat tahan stres yang ditemukan di gurun dapat berkembang dalam kondisi
lingkungan yang parah (kekurangan air, suhu ekstrim, dan radiasi UV. Kondisi cuaca
ekstrim seperti hujan, salju, atau badai debu, mengais mikroorganisme dari atmosfer dan
mengembalikannya ke tanah untuk mempengaruhi struktur komunitas mikroba lokal.
Cuaca yang sarat debu juga diakui sebagai salah satu metode sedimentasi kering dalam
proses pengangkutan jarak jauh. Misalnya, dengan penyebaran debu Asia Timur,
komunitas mikroba di udara di Cina, Jepang, Republik Korea, dan
2.4 Faktor yang mempengaruhi difusi dan transportasi polutan biologis
2.4.1 Lokasi geografis
Seperti dibahas sebelumnya, tanah dan tanaman adalah salah satu sumber alami utama
polutan biologis. Struktur dan keanekaragaman jenis mikroorganisme di tanah dan
tumbuhan memiliki perbedaan geografis yang berbeda, yang disebut biogeografi, dan
sangat dipengaruhi oleh berbagai kondisi iklim dan geomorfik. Lokasi geografis merupakan
salah satu faktor utama yang mempengaruhi komposisi mikroorganisme di udara. Tabel 3
membandingkan komunitas mikroba dalam sampel udara dari berbagai wilayah di seluruh
dunia. Sebagian besar wilayah Cina berada di zona subtropis dan beriklim sedang, dengan
wilayah yang luas dan bentang alam yang kompleks. Tipe iklim utama adalah iklim
kontinental dan iklim monsun. Bakteri yang dominan di Changsha dan Urumqi ditemukan
adalah Proteobacteria (81,2%, 74,10%). Di sisi lain, bakteri yang paling banyak ditemukan
di Beijing adalah Actinobacteria (28,12%) dan Firmicutes (19,30%).

Tabel 3. Komunitas mikroba di udara di berbagai wilayah di dunia

Perbedaan nyata pada tingkat genus juga diamati di wilayah geografis yang berbeda.
Misalnya, bakteri yang dominan adalah serratia dan Delftia di Urumqi, pseudomonas di
Xi'an ,Lactococcus di Jinan, dan Arthrobacter di Beijing. Meskipun Ascomycota dan
Basidiomycota yang dominan menyumbang lebih dari 95% dari kelimpahan relative jamur,
variasi regional dalam kelimpahan relatif diamati.
Komposisi komunitas mikroorganisme di udara sangat bervariasi di berbagai wilayah
geografis. Hal ini disebabkan oleh perbedaan yang signifikan dalam keanekaragaman
spesies komunitas mikroba di berbagai tipe habitat yang selanjutnya mempengaruhi
pelepasan bioaerosol. Artinya, perbedaan biogeografis secara signifikan mempengaruhi
konsentrasi dan komposisi bioaerosol, yang berhubungan langsung dengan sumber emisi
mikroba dan kondisi difusi.

2.4.2 Berbagai jenis penggunaan lahan

Penggunaan lahan dapat menciptakan “lingkungan mikro” yang memiliki peran penting
dalam pembangkitan, propagasi, aerosolisasi, suspensi ulang, difusi, transportasi, dan
interaksi antarmolekul bioaerosol. Konsentrasi mikroba dan komunitas di pinggiran kota
sangat berbeda dari daerah pegunungan karena seringnya aktivitas manusia didaerah
pinggiran ditunjukkan pada Gambar 4. Lahan perkotaan dapat dibagi lagi menjadi ruang
hijau perkotaan, kawasan pemukiman, dan kawasan komersial. menemukan perbedaan
yang signifikan dalam konsentrasi bioaerosol jamur dan bakteri di lahan perkotaan dengan
penggunaan yang berbeda (ruang hijau, kawasan pemukiman, dan kawasan komersial).
Konsentrasi aerosol bakteri lebih tinggi di area komersial. Sebagai perbandingan,
konsentrasi aerosol jamur lebih tinggi dalam kelimpahan total mikroba, jumlah inti total,
dan komunitas bakteri di pinggiran kota, pertanian, dan ruang hijau. Selain itu, ruang
terbuka hijau perkotaan juga mempengaruhi komunitas bakteri di udara. Perbedaan lahan
pertanian ini terutama disebabkan oleh metode pertanian dan tanaman utama yang
dibudidayakan. Aktivitas yang berbeda akan menghasilkan bioaerosol yang berbeda.
Karena mikroorganisme di udara berubah dengan sumbernya, dan komunitas mikroba
tertentu telah ditemukan pada permukaan tanah dan daun yang berbeda, dapat diperkirakan
bahwa jenis penggunaan lahan juga akan memiliki pengaruh penting pada komunitas
mikroba di udara
Gambar 4 Karakteristik bioaerosol dari berbagai jenis penggunaan lahan. (a) “A”
Kelimpahan bakteri dari berbagai jenis penggunaan lahan, “B” jumlah total inti es. (b)
Filum bakteri yang dominan dalam sampel dari tipe penggunaan lahan yang berbeda.

2.4.3 Faktor lingkungan

Struktur komunitas bioaerosol bervariasi secara regional. Bahkan di lokasi yang sama,
struktur komunitas mikroba telah ditemukan memiliki pola distribusi musiman yang
berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa struktur komunitas mikroba juga terkait dengan
kondisi lingkungan (faktor meteorologi dan polusi udara).

2.4.4 Faktor meteorologi

Jones dan Harrison (2004) menulis tinjauan mendalam tentang pengaruh faktor meteorologi
pada konsentrasi bioaerosol. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa suhu dan
kelembaban relatif mempengaruhi jumlah emisi dari sumber dan mengontrol proses
pelepasan spora jamur yang dilepaskan secara aktif. Selanjutnya, dibandingkan dengan
mikroorganisme permukaan tanah, mikroorganisme pada permukaan tanaman lebih
terpengaruh pada kecepatan angin yang lebih rendah dan tersuspensi kembali di udara.
Selain itu, radiasi UV matahari berpotensi mensterilkan udara ambien dari bioaerosol,
sebuah fenomena yang lebih efektif untuk bakteri di udara. Curah hujan juga dapat
mempengaruhi konsentrasi mikroorganisme di udara. Di satu sisi, beberapa penelitian
menunjukkan bahwa tetesan hujan melepaskan sejumlah besar partikel bioaerosol dari
tanaman dan permukaan tanah ke atmosfer, meningkatkan konsentrasi
mikroorganisme. Di sisi lain, beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa air hujan
mengangkut bioaerosol dari ketinggian ke lingkungan permukaan. Spearman digunakan
untuk menguji korelasi antara bakteri di udara dengan kelimpahan yang relatif tinggi dan
faktor meteorologi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bakteri dari genus yang berbeda
memiliki respon yang berbeda terhadap berbagai faktor meteorologi (Gambar 5). Tingkat
atmosfer sebagian besar bakteri berkorelasi positif dengan suhu, kelembaban relatif, dan
kecepatan angin. Namun, beberapa bakteri,seperti Termus dan Bacillus.

Gambar 5. Analisis peta panas genus bakteri dominan di Xi'an, Cina, berdasarkan korelasi
peringkat Spearman (**p<0,01; *p<0,05).
2.4.5 Polusi udara
Konsentrasi bioaerosol lebih tinggi selama kabut, tetapi cenderung menurun dalam kondisi
dengan beban polutan yang tinggi. Zat beracun dan logam berat pada partikel juga
meningkat dengan meningkatnya konsentrasi polutan yang berbahaya bagi
mikroorganisme. Efek dari polutan udara gas (SO2, CO) pada bioaerosol kontroversial dan
membutuhkan eksplorasi lebih lanjut. Dampak pencemaran udara terhadap bioaerosol lebih
kecil dibandingkan dengan faktor meteorology. Sebagian besar studi tentang efek polutan
pada bioaerosol berfokus pada analisis korelasi kualitatif. Namun, sedikit yang diketahui
tentang dampak kuantitatif berbagai jenis polutan pada bioaerosol. Dua metode kuantitatif
digunakan untuk menentukan hubungan antara faktor lingkungan dan bioaerosol: pohon
yang dikuatkan secara agregat (ABT) dan pohon regresi multivariat (MRT). Polutan di
atmosfer memiliki berbagai tingkat efek pada potensi bakteri patogen di udara (Gambar
6a). Diantaranya, konsentrasi massa PM10dan PM2.5adalah faktor dominan yang
mempengaruhi potensi bakteri patogen di PM, terhitung 27,56% dan 19,88% dari pengaruh
relatif, masing-masing. Selain itu, SO2 dan NO2 juga memiliki efek yang berbeda pada
komposisi komunitas bakteri patogen di PM10(6,70%, 6,79%) dan PM2.5 (11,36%,
11,92%). Adapun bioaerosol jamur menunjukkan bahwa kelimpahan komunitas jamur di
udara dipengaruhi secara nyata oleh tingkat pencemaran partikulat (42,8%), diikuti oleh
O3(22,57%) (Gambar 6b).
Gambar 6. Pengaruh faktor lingkungan pada bioaerosol. (a) Efek relatif dari kondisi
lingkungan pada pathogen oportunistik dalam partikel ; (b) Pengaruh kondisi lingkungan
terhadap kekayaan dan keragaman jamur di udara.

2.5 Fate Of Biological Pollution

2.5.1 Kadar Air (RH)

Kelembaban relatif dinyatakan sebagai persentase dan menggambarkan jumlah uap air yang
terkandung dalam volume udara pada suhu tertentu relatif terhadap jumlah maksimum uap
air yang dapat ditampung oleh udara pada suhu tersebut. Pada suhu yang lebih tinggi, udara
dapat menampung lebih banyak uap air daripada pada suhu yang lebih rendah, sehingga
setiap diskusi tentang hubungan RH dengan viabilitas mikrobiologis juga harus mencakup
suhu. Kelembaban mutlak, yang tidak tergantung pada suhu dan merupakan ukuran aktual
kadar air, mungkin merupakan variabel lingkungan yang paling penting dan harus
digunakan dalam studi mendatang tentang hubungan bioaerosol-kandungan air. Keadaan air
dan kandungan air yang terkait dengan bioaerosol merupakan faktor mendasar yang
mempengaruhi nasib atau kelangsungan hidup mikroorganisme ini. Saat kandungan air di
atmosfer menurun, demikian juga air yang tersedia untuk lingkungan luar mikroorganisme.
Kehilangan air dapat menyebabkan pengeringan, mengakibatkan inaktivasi banyak
mikroorganisme. Dari semua parameter meteorologi terukur, RH dan kandungan uap air
terkait adalah yang paling penting sehubungan dengan stabilitas aerosol. Mekanisme
kematian sel pada bioaerosol disebabkan oleh perubahan konformasi pada lapisan ganda
fosfolipid biomembran dari fase kristal ke fase gel sebagai akibat dari kehilangan air yang
mempengaruhi makromolekul seluler, seperti protein dan asam nukleat. Namun, efek
kandungan uap air pada mikroorganisme di udara sebagai fungsi RH tidak konsisten di
semua kelas mikroorganisme atau bahkan di dalam kelas. Dari bakteri, beberapa penelitian
tentang bakteri Gram-negatif di udara menunjukkan peningkatan tingkat kematian pada
kelembaban relatif sedang hingga tinggi 50-90%. Stabilitas relatif bakteri Gram-negatif
pada RH menengah hingga tinggi seperti yang diharapkan. Peningkatan tingkat kematian
sel untuk bakteri Gram-positif di udara pada RH menengah juga telah diamati untuk
stafilokokus, streptokokus, dan Basil. Kondisi kandungan air pada penyebaran dan
aerosolisasi juga dapat mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup bakteri. Organisme
dengan aerosol kering cenderung menyerap air dari lingkungan dan sebagian mengalami
rehidrasi, dan organisme yang mengalami aerosol basah cenderung kehilangan air ke
lingkungan dan mengering.

Kadar air aerosol yang berbeda mempengaruhi kelangsungan hidup akhir sehingga aerosol
basah Pasteurella tularensis maksimum terjadi pada 50–55% RH dan aerosol kering
Pasteurella maksimum terjadi pada 75% RH. Beberapa generalisasi dapat dibuat mengenai
stabilitas dan kemampuan bertahan virus yang terkait dengan RH atau kandungan air.
Biasanya, virus dengan kandungan lipid yang lebih tinggi cenderung lebih persisten pada
kelembaban relatif yang lebih rendah, dan virus dengan kandungan lipid yang lebih rendah
lebih stabil pada kelembaban relatif yang lebih tinggi. Virus berselubung non-lipid
cenderung bertahan lebih lama pada RH dalam kisaran 70-90% dan virus dengan amplop
lipid cenderung bertahan lebih lama pada 20-30% RH. Kelangsungan hidup minimal untuk
virus berselubung dan tidak berselubung tampaknya umumnya terjadi pada kisaran RH
menengah 40-70%. Tidak hanya kandungan air dari mikroorganisme aerosol merupakan
faktor utama yang berkontribusi terhadap viabilitas aerosol. tetapi RH suatu sistem akan
secara langsung mempengaruhi densitas unit bioaerosol. Ukuran, bentuk, dan kepadatan
partikel aerosol secara langsung berhubungan dengan diameter aerodinamis, yang
menentukan kecepatan pengendapan dan lokasi pengendapan di saluran pernapasan dan
akan mempengaruhi efisiensi pengumpulan sampel aerosol.
2.5.2 Suhu
Pengaruh suhu terhadap stabilitas bakteri umumnya menunjukkan bahwa peningkatan suhu
cenderung menurunkan viabilitas mikroorganisme di udara. Sebuah tinjauan studi
sebelumnya menunjukkan kelangsungan hidup bakteri di udara menurun pada suhu di atas
24°C untuk organisme gramnegatif dan Gram-positif. Selain itu, sel-sel beku cenderung
kehilangan protein seluler yang mengakibatkan peningkatan tingkat inaktivasi aerosol.
Suhu dianggap sebagai faktor utama yang menentukan inaktivasi virus di lingkungan.
Secara umum, kelangsungan hidup virus sebagai aerosol berbanding terbalik dengan suhu,
tetapi efek suhu secara keseluruhan tergantung pada jenis virus dan RH. Virus yang
mengandung DNA lebih stabil daripada virus RNA pada kisaran suhu yang sama, tetapi
suhu tinggi pada akhirnya mempengaruhi integritas DNA virus juga. Inaktivasi virus lebih
cepat pada suhu≥50 ° C daripada pada suhu

2.5.3 Konsentrasi Oksigen

Konsentrasi oksigen dapat memiliki efek nyata pada stabilitas aerosol dan infektivitas
beberapa bakteri melalui inaktivasi oleh radikal bebas oksigen. Kerentanan oksigen
meningkat dengan dehidrasi, peningkatan konsentrasi oksigen, dan waktu paparan.
Virus cenderung lebih tahan terhadap efek toksisitas oksigen daripada bakteri karena secara
struktural dan biokimia mereka jauh lebih kompleks. Oksigen atmosfer tidak berpengaruh
pada virus aerosol dan konsentrasi oksigen yang ditentukan memiliki sedikit efek pada
kelangsungan hidup bakteri dalam aerosol

2.6 Identifikasi Sumber Biological Pollution


Untuk mengidentifikasi secara akurat mengenai asal mikroorganisme di udara dan
memperkirakan efek bioaerosol diatmosfer, penting untuk kita mengetahui tingkat
kontribusi yang tepat dari setiap sumber mikroorganisme. Berbagai metode identifikasi
sumber telah dikembangkan untuk mencapai hal ini. Saat ini, identifikasi sumber bioaerosol
terutama didasarkan pada teknik biokimia.
2.6.1 Metode identifikasi sumber
Ada tiga cara untuk mengidentifikasi sumber mikroorganisme dalam aerosol, yaitu
Database Analysis Method (DAM), Correlation Analysis Method (CAM), dan Model
Analysis Method (MAM). Tabel 4 menyajikan kelebihan dan keterbatasan metode yang
disebutkan di atas. DAM adalah cara untuk mengidentifikasi sumber mikroorganisme di
udara. Metode ini dapat mengidentifikasi sumber spesifik mikroorganisme dan selanjutnya
menghitung kontribusi berbagai sumber mikroorganisme di udara.Untuk menilai hubungan
antara sumber potensial yang berbeda dan mikroorganisme di udara, CAM juga telah
digunakan oleh beberapa peneliti. Metode ini membutuhkan sampel mikrobiologi seperti
sumber potensial (tanah, daun, dll) di sekitar lokasi pengambilan sampel. Ini terutama
menentukan satu atau beberapa sumber potensial yang berkontribusi lebih banyak terhadap
mikroorganisme di udara dengan menghitung korelasi antara sampel udara dan komposisi
komunitas mikroba dari sumber potensial yang ditempatkan secara spasial, berdasarkan
analisis komponen utama (PCA). Metode ini dapat digunakan untuk menemukan bahwa
komunitas bakteri pada permukaan daun sangat mirip dengan komunitas bakteri di udara.
Namun, metode ini tidak dapat secara akurat mencerminkan tingkat kontribusi sumber
potensial. Untuk lebih mendapatkan tingkat kontribusi sumber potensial untuk
mikroorganisme di udara mengembangkan ModelAnalysis Method (MAM). STM Source
Tracker Method adalah metode yang digunakan untuk mengidentifikasi sumber polusi dan
proporsi polusi dalam gen penanda dan studi metagenomik fungsional. Fitur utama STM
yaitu kemampuannya untuk secara langsung memperkirakan proporsi sumber dan
ketidakpastian di lingkungan sumber yang diketahui dan tidak diketahui. STM telah
digunakan untuk menganalisis sumber bakteri di Tokyo, Jepang. Karena algoritma STM
dapat memberikan tingkat kontribusi, itu menutupi kekurangan analisis komponen utama.
Hasil model ini juga mengungkapkan bahwa sumber beberapa mikroorganisme bukan dari
sampel yang dikumpulkan, tetapi dari transportasi jarak jauh
Tabel 4. Keuntungan dan keterbatasan berbagai metode identifikasi sumber

Gambar 7 menunjukkan hasil identifikasi sumber dari bakteri dan jamur di udara di Xi'an,
Cina, berdasarkan model STM. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mikroorganisme di
udara terutama berasal dari permukaan daun. Selain itu, perbedaan
sumber mikroba diamati di lokasi pengambilan sampel yang berbeda menunjukkan bahwa
kontribusi permukaan daun terhadap pemuatan bioaerosol lebih tinggi di daerah
pegunungan daripada di perkotaan, yang mungkin disebabkan oleh perbedaan spesies
tanaman dan luas tutupan lahan. Patogen di udara dipengaruhi oleh sumber lokal yang
potensial, terutama dari permukaan daun di musim gugur. Ada beberapa metode untuk
menentukan sumber signifikan bioaerosol. Analisis sumber mikroba bermanfaat untuk
menilai dan mengendalikan pencemaran mikroba. Oleh karena itu, perlu dikembangkan
lebih lanjut metode sumber mikroba yang lebih tepat identifikasi untuk mengungkap
kontribusi berbagai sumber potensial mikroorganisme di udara. Biomarker seperti protein,
asam amino, karbohidrat, dan lipid barubaru ini diterapkan untuk membantu identifikasi
sumber aerosol dan mempelajari lintasan transportasi aerosol. Selain itu, pengaruh
komponen kimia dalam aerosol pada distribusi sumber mikroorganisme di udara masih
belum jelas. Faktor ini harus dipertimbangkan dalam pengembangan metode identifikasi
sumber baru.
Gambar 7 Sumber bakteri dan jamur di Xi'an, China. (a) Kontribusi sumber yang berbeda
terhadap pemuatan bakteri di udara; (b) Kontribusi berbagai sumber jamur di udara.

2.7 Contoh Kasus Biological Pollution


2.7.1 Virus Flu Burung
Wabah penyakit flu burung yang melanda dunia, khususnya kawasan Asia, memang sangat
menjadi pe rhatian, baik masyarakat luas maupun badan kesehatan dunia seperti WHO. Hal
ini disebabkan oleh flu burung yang dapat menular pada manusia dan berakibat fatal karena
dapat membawa kematian. Kasusnya sangat gencar diberitakan diberbagai media massa
sehingga membuat resah banyak pihak. Bahkan, World Health Organization (WHO)
mengkhawatirkan virus flu burung akan menjadi ancaman serius di kaw asan Asia melebihi
tsunami yang pernah terjadi pada akhir 2004 di Aceh, Thailand, Bangladesh, Sri langka,
dan India. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun ikut memperingatkan bahwa flu
burung lebih berbahaya dari penyakit Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS), karena
virus flu burung mampu menekan sistem imunitas tubuh manusia. Hingga saat ini dampak
kematian ternak unggas sudah mencapai puluhan, bahkan ratusan juta ekor. Tidak hanya itu
menurut data dari WHO menunjukkan kenaikan bahkan sampai dengan akhir bulan Juni
2005, dari hasil pemeriksaan laboratorium tidak kurang dari 108 orang terjangkit virus flu
burung dan tidak kurang dari 56 orang diantaranya meninggal dunia.Tidak semua virus
pada binatang dapat menyerang manusia. Virus flu burung yang tingkat kemampuan
mematikannya tinggi atau high-pathogenic avian influenza dan dapat menginfeksi manusia
(Zoonosis) adalah tipe H5N1 dan H9N2. Galur virus influenza H5N1 ini, hanya ditemukan
di Hongkomg pada tahun 1997 dan tidak ditemukan di negara di luar Hongkong. Namun
dalam perkembangannya, ternyata galur H5N1 itu juga yang menyebabkan kematian
manusia di Vietnam bulan Januari 2004. Penularan dari unggas ke manusia terjadi bila kita
melakukan kontak langsung seperti memelihara atau menyembelih dan tinggal di sekitar
unggas yang terinfeksi penyakit ini. Unggas yang terinfeksi dapat pula mengeluarkan virus
ini melalui tinja, yang kemudian mengering dan hancur menjadi bubuk. Bubuk inilah yang
dihirup preventif, baik terhadap unggas maupun pada manusia yang bersinggungan
langsung dengan ternak unggas . Para pekerja di peternakan ayam, pasar burung, dan rumah
potong ayam, memiliki risiko besar tertular virus flu burung. Keunikan biologi virus
influenza adalah kemampuan virus ini mengalami perubahan genetika ( genetic
reassortment) sehingga mampu menembus spesies barrier dan terjadilah penularan antar
jenis (spesies) mahluk, misalnya dari binatang ke manusia, sekali virus ini menyerang
manusia, maka penularan antarmanusia dapat terjadi. Hal inilah yang dik hawatirkan oleh
masyarakat. Kelompok yang paling rentan terkena penyakit ini adalah anak -anak dibawah
12 tahun, hampir separuh kasus flu burung pada m anusia menimpa anak-anak. Hal ini
disebabkan kekebalan tubuh anak -anak belum begitu kuat. Obat dan vaksin untuk flu
burung hingga saat ini belum ada, obat-obatan hanya meredam gejalanya teta pi tidak
mengobati penyakitnya. Sejak 19 September 2005, Menteri Kesehatan (Menkes) Siti
Fadillah Supari menetapkan status kejadian luar biasa (KLB) secara nasional. Hal ini
diungkapkan Menkes setelah adanya kasus pasien RS. Internasional Bintaro, yaitu Rini
Dina m eninggal dunia karena terinfeksi Virus Avian Influenza (AI) berdasarkan
konfirmasi dari laboratorium di Universitas Hongkong. Virus Avian Influenza yang
memulai mewabah di Indonesia ternyata telah menyebabkan kerugian yang diderita
peternak unggas berupa k ematian tidak kurang dari 4,7 juta ekor. Untuk merehabilitasi
dibutuhkan dana ratusan miliar dengan jangka waktu antara 3 hingga 5 tahun.

Virus ini sebenarnya tidak berpotensi menjadikan KLB, tetapi telah terjadi KLB pada tahun
2004 yang meluas ke Asia. D imulai dari Jepang, Korea, Cina, Vietnam, Laos, Kamboja,
Thailand hingga Indonesia. Jutaan ternak mati atau dimusnahkan. Di sektor kesehatan
masyarakat menjadi prihatin dengan jatuhnya korban manusia akibat virus yang mematikan
ini. Pada flu burung ini ang ka kematian tertinggi pada kelompok umur dibawah 15 tahun.
Kasus flu burung pada manusia terbukti secara laboratories dengan adanya DNA yang
disekuens, serta hasilnya menunjukkan bahwa didalam tubuhnya telah ditemukan virus
influenza H5N1 yang menyebabkan penyakit dan kematian. Meskipun kejadian penularan
dari unggas ke manusia saat ini belum sampai pada skala besar, tetapi secara berkelanjutan
kejadiannya semakin sering. Yang perlu dikhawatirkan adalah terjadinya perubahan sifat
genetik virus yang disebut genetic reassortment. Virus influenza H5N1 pada awalnya
diperkirakan penyebarannya melalui burung -burung liar yang secara periodik melakukan
migrasi pada setiap perubahan musim. Virus kemudian menular ke peternakan unggas.
Pada awalnya virus itu hanya mampu menginfeksi dan menyebabkan kematian dalam
waktu singkat pada unggas, kemudian pada babi dan binatang-binatang lainnya. Kedekatan
manusia dan unggas salah satu faktor timbulnya genetic reassortment. Perubahan ini
memberi kemampuan H5N1 untuk menembus sel tubuh manusia dan menyebabkan sakit,
serta merusak si stem pernafasan dan pada kasus berat berakhir dengan kematian. Jadi
semakin banyak manusia/masyarakat berhubungan dengan unggas yang sakit, semakin
besar kemungkinan terjadinya genetic reassortment. Flu burung atau Avian Influenza
adalah penyakit yang mampu melintas batas (transboundary disesase), sehingga potensi
endemisitas dan pandeminya tinggi. Salah satu cara mencegah genetic reassortment dengan
cara biosecurity diperternakan unggas lebih ketat dan tidak hanya menyemprotkan obat
desinfektan saja tetapi melengkapi para pekerja unggas ini dengan Alat Pelindung Diri
(APD) berupa sarung tangan, masker, sepatu boot, baju pelindung, kaca mata serta topi.
Masa inkubasi pada unggas 1 minggu dan pada manusia berlangsung 1-3 hari, masa infeksi
1 hari sebelum sampai 3-5 hari sesudah timbul gejala, pada anak -anak mencapai 21 hari.

2.7.1.1 Cara Penularan Flu Burung


Virus flu burung (H5N1) dapat menyebar dengan cepat di antara populasi unggas dengan
kematian yang tinggi. Bahkan dapat menyebar antarpeternakan dari suatu daerah ke daerah
lain. Penyakit ini juga teridentifikasi bersifat zoonosis, yaitu menular dari hewan ternak ke
manusia
1. Penularan Antar-Ternak Unggas
Penyakit flu burung dapat ditularkan dari unggas ke unggas lain atau dari peternakan ke
peternakan lainnya dengan cara sebagai berikut:
a. Kontak langsung dari unggas terinfeksi dengan hewan yang peka.
b. Melalui lendir yang berasal dari hidung dan mata.
c. Melalui kotoran (feses) unggas yang terserang flu burung.
d. Lewat manusia melalui sepatu dan pakaian yang terkontaminasi dengan virus.
e. Melalui pakan, air, dan peralatan kandang yang terkontaminasi.
f. Melalui udara karena memiliki peran penting dalam penularan dalam satu kandang, tetapi

memiliki peran terbatas dalam penularan antarkandang.


g. Melalui unggas air yang dapat berperan sebagai sumber (reservoir) virus dari dalam
saluran intestinal dan dilepaskan lewat kotoran.

2. Penularan dari Ternak ke Manusia


Faktor yang dapat membatasi penularan flu burung dari ternak ke manusia adalah jarak dan
intensitas dalam aktivitas yang berinteraksi dengan kegiatan peternakan. Semakin dekat
jarak peternakan yang terkena wabah virus dengan lingkungan manusia maka peluang
untuk menularnya virus bisa semakin besar. Penularan virus ke manusia lebih mudah
terjadi jika orang tersebut melakukan kontak langsung dengan aktivitas ternak. Perla
diperhatikan pula cara pengolahan dan pemasakan daging unggas. Daging yang dimasak
harus dipastikan benar -benar matang untuk menghindari adanya sisa kehidupan dari virus.
Kematian virus dapat terjadi jika dipanaskan dengan suhu 60 0C selama 3 jam. Semakin
meningkat suhu akan semakin cepat mematikan virus. Telur yang cangkangnya terdapat
kotoran kering perla diwaspadai. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kotoran yang
menempel pada telur tadi berasal dari kotoran unggas yang terjangkit flu burung.

3.Penularan Antar-Manusia
Orang yang mempunyai risiko besar terserang flu burung adalah pekerja peternakan
unggas, penjual, penjamah unggas, sampai ke dokter hewan yang bertugas memeriksa
kesehatan ternak di peternakan. Sampai saat ini, peneliti meyakini bahwa flu burung
ditularkan dariu unggas ke manusia. Kemungkinan penularan flu burung antar-manusia
Cecil, tetapi tetap perla diwaspadai. Hal ini dikarenakan virus cepat bermutasi dan
beradapasi dengan manusia sehingga memungkinkan adanya varian baru dari flu burung.

2.7.1.2 Gejala Flu Burung

Gejala-gejala flu burung pada masyarakat amat beragam yang bisa dideteksi dan perlu
diwaspadai adalah:
a) Adanya kenaikan suhu badan sekitar 390C.
b) Keluarnya eksudat hidung yang bersifat mucus (lendir) bening
c) Batuk dan sakit tenggorokan
d) Nafsu makan berkurang, muntah, nyeri perut dan diare
e) Infeksi selaput mata (conjunctivitis)
f) Sesak nafas dan radang paru-paru (pneumonia)
g) Pusing.
Pada unggas yang bisa dilihat adalah:

a) Jengger bewarna biru


b) Adanya borok atau luka dikaki
c) Lendir di rongga hidung
d) Lemas dan malas makan
e) Kematian mendadak
BAB III
KESIMPULAN

 Polutan biologis dapat disebabkan oleh mikroorganisme baik berupa virus, bakteri,
fungsi, atau protozoa
 Sumber polutan biologis terbagi menjadi sumber alami dan sumber antropogenik
 Model difusi dan transportasi dapat sangat membantu untuk
meningkatkan pemahaman tentang proses transportasi polutan biologis dan faktor-
faktor yang mempengaruhinya.
 Faktor-faktor yang mempengaruhi difusi dan transportasi polutan biologis,
diantaranya yaitu lokasi geografis, faktor lingkungan, faktor meteorology, dan
polusi udara
 Contoh kasus yang termasuk kedalam pencemaran biologis yaitu virus flu burung
DAFTAR PUSTAKA
A. Budiyono, “Pencemaran Udara : Dampak Pencemaran Udara Pada Lingkungan,”
Dirgantara, vol. 2, no. 1, pp. 21–27, 2010.

G. S. Brown and A. J. Mohr, “Fate and Transport of Microorganisms in Air,” Man.


Environ. Microbiol., pp. 3.2.4-1-3.2.4-12, 2015, doi:
10.1128/9781555818821.ch3.2.4.

J. Fröhlich-Nowoisky et al., “Bioaerosols in the Earth system: Climate, health, and


ecosystem interactions,” Atmos. Res., vol. 182, pp. 346–376, 2016, doi:
10.1016/j.atmosres.2016.07.018.

M. Elliott, “Biological pollutants and biological pollution - An increasing cause for


concern,” Mar. Pollut. Bull., vol. 46, no. 3, pp. 275–280, 2003, doi: 10.1016/S0025-
326X(02)00423-X.

P. W. H. Binnie, “Biological Pollutants in the Indoor Environment,” Indoor Air Pollut., pp.
13–24, 2021, doi: 10.1201/9781003210566-4.

S. M. Burrows, W. Elbert, M. G. Lawrence, and U. Pöschl, “Bacteria in the global


atmosphere – Part 1 : Review and synthesis of literature data for different
ecosystems,” Atmos. Chem. Phys., vol. 9, no. 1987, pp. 9263–9280, 2009.

S. Sudarmaji and R. Yudhastuti, “Mengenal Flu Burung dan Bagaimana Kita


Menyikapinya,” J. Kesehat. Lingkung. Unair, vol. 2, no. 2, p. 3961, 2006.

W. Smets, S. Moretti, S. Denys, and S. Lebeer, “Airborne bacteria in the atmosphere:


Presence, purpose, and potential,” Atmos. Environ., vol. 139, no. 2016, pp. 214–221,
2016, doi: 10.1016/j.atmosenv.2016.05.038.

W. Xie et al., “The source and transport of bioaerosols in the air: A review,” Front.
Environ. Sci. Eng., vol. 15, no. 3, pp. 1–19, 2021, doi: 10.1007/s11783-020-1336-8.

Anda mungkin juga menyukai