Anda di halaman 1dari 150

TUGAS MAKALAH

JUDUL

PANDANGAN PANCASILA UNTUK MENGURANGI


RADIKALISME DI KAMPUS

Nama : Lucky Heinberth Rompis


Nim : 21210120
BAB I
PENDAHULUAN

Bangsa dan negara Indonesia merupakan suatu


bangsa yang besar dan luas serta
terdiri dari banyak Pulau. Masyarakat Indoensia
terdiri dari berbagai keragaman sosial, kelompok
etnis, budaya, agama, aspirasi politik dan
sebagainya, sehingga bangsa ini secara
sederhana dapat disebut sebagai masyarakat
multicultural. Pancasila yang ditawarkan oleh
Soekarno sebagai philosofische Gronslag (dasar,
filsafat, atau jiwa) dari Indonesia mardeka.
Kemauan dan hasrat untuk merdeka menurut
Soekarno harus mendahului perdebatan
mengenai dasar negara Indonesia. Menurut
Soekarno buat apa membicarakan dasar negara
jika kemerdekaan tidak ada. Dari sini bisa kita
mengerti logika berpikirnya Soekarno yang
terlebih dahulu menggelorakan semangat untuk
merdeka, bahkan ketika rakyat masih miskin
sekalipun harus punya semangat untuk merdeka.
Kehadiran Pancasila sebagai dasar negara
untuk menjadi pemersatu kebegaraman yang ada
pada bangsa Indonesia. Namun hal yang
memprihatikan adalah masih ada kelompok dan
organisasi tertentu belum menyadari dan
menghayati nilai dan fungsi Pancasila. Selain itu
ada kelompok tertentu yang ingin mengganti
Pancasila ini sebagai dasar dan Ideologi bangsa.
Bangsa ini sudah sudah 73 tahun mardeka namun
rasanya keutuhan kemerdekaan itu masih belum
sepenuhnya dirasakan bangsa ini. Hasil survey
Media Indonesia serta penelitian
Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (Media
Indonesia 2011:4) menunjukkan bahwa lembaga
pendidikan telah menjadi sumber bertumbuhnya
sikap membenci dan intoleransi terhadap mereka
yang berbeda agama. Survey juga menunjukkan
bahwa tingkat dukungan terhadap aksi kekerasan
cukup tinggi, begitu juga tingkat kesediaan
mereka untuk terlibat dalam aksi kekerasan
terkait isu agama sangat sensitif. Sampai saat ini
aksi kekeran masih menjadi persoalan bagi
bangsa ini yang di hadapkan dengan radikalisme
agama.
Radikalisme agama merupakan hal tidak bisa di
sepelekan oleh bangsa Indonesia.
Radikalisme adalah paham atau gerakan yang
menginginkan pembaharuan dengan
mengembalikan diri mereka ke “akar” secara
ektrem. Pandangan ini kerap disandingkan
dengan gerakan fundamentalisme. Gerakan
radikal biasanya dicapai dengan segala cara,
mulai dari cara yang halus sampai cara yang
keras sekalipun . Pendidikan interreligius yang
berbasiskan Pancasila akan melawan dan
membantah stigma terhadap sektor pendidikan
yang selama ini diduga menjadi salah satu
penyebab menguatnya radikalisme. Pendidikan
agama di sekolah-sekolah selama ini adalah
pendidikan agama yang bersifat
ideologisotoriter.
Nilai-nilai Pancasila perlu segera diterapkan
secara langsung di dunia pendidikan dengan
tujuan untuk mengatasi radikalisme berbasis
agama. Nilai-nilai Pancasila dapat mendorong
terlaksananya pendidikan interreligius.
Pendidikan interreligius akan melaksanakan
dorongan nilai-nilai Pancasila yang
melaksanakan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa,
namun tetap melaksanakan keempat sila lainnya
secara baik. Pendidikan interreligius yang
menggunakan Pancasila sebagai acuan tepat
untuk mengurangi sikap fanatisme berlebihan
dan mendorong untuk melaksanakan kegiatan
beragama dengan menghormati umat agama
yang lain atau dengan kata lain bisa mempunyai
sifat toleransi dan menghargai orang lain.

Pancasila terdiri dari lima sila, yang intinya


merupakan nilai-nilai universal, yakni: nilai
ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan,
nilai musyawarah mufakat, dan nilai keadilan.
Kelima nilai dalam Pancasila ini merupakan
senyawa yang sangat penting bagi bangsa
Indonesia dalam menggerakan roda kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pancasila harus disosialisasikan dan diajarkan
secara terus menerus kepada semua komponen
bangsa secara interaktif, dialogis dan menarik,
dan harus dihilangkan cara dan metode
pembumian Pancasila yang doktiner, monologis
dan satu arah. Oleh karena itu, akan dilihat
implementasi nilai-nilai Pancasila di tengah
masyarakat saat ini dan apa yang seharusnya
dilakukan agar supaya nilainilai Pancasila
tersebut dapat menjadi nilai yang praksis,
aplikatif, operasional, dan mampu dipahami
serta diamalkan secara mudah oleh semua
komponen bangsa. Hal ini penting karena
Pancasila harus dikebumikan agar tidak terkesan
menjadi bahasa dewa-dewa yang sulit
membumi. Tugas dari masyarakat Indonesia
yang harus membumikan Pancasila menjadi
bahasa yang mudah dicerna, tindakan yang
kongkret dan contoh yang riel dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat.
A. Latar Belakang
Para pendiri bangsa dari berbagai latar belakang
sepakat untuk membangun Negara kebangsaan
Indonesia
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam
bingkai
kebhinekaan dan naungan Negara Kesatuan
Republik
Indonesia (NKRI). Guna mewujudkan
kesepakatan tersebut
telah ditetapkan berbagai peraturan
perundangundangan
dan kebijakan. Dalam Undang-Undang No 24
Tahun 2009
tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara,
Serta Lagu
Kebangsaan (Depdiknas, 2009) ditetapkan
sebagai simbol
identitas wujud eksistensi bangsa dilaksanakan
berdasarkan asas: persatuan, kedaulatan,
kehormatan, kebangsaan, ketertiban,
kebhinnekatunggalikaan, kepastian hukum,
keseimbangan, keserasian dan
keselarasan (ps. 2);
serta bertujuan untuk memperkuat persatuan dan
kesatuan
bangsa dan negara, Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI),
menjaga kehormatan yang menunjukkan
kedaulatan bangsa
dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
menciptakan
ketertiban, kepastian, dan standardisasi
penggunaan
bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu
kebangsaan dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (pasal 3).
Kemudian dalam Undang-Undang No. 20 Tahun
2003
Pasal 3 “Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka
mencerdaskan kehdupan bangsa, bertujuan
untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan
Yang Maha Esa berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara
yang demokratis serta bertanggungjawab
(Depdiknas,
2003). Lalu dalam Misi Perencanaan
Pembangunan Jangka
Panjang (PJPN) 2005-2025 ditetapkan delapan
misi
pembangunan nasional yakni mewujudkan: 1)
masyarakat
yang berakhlak mulia, bermoral, beretika
berbudaya, dan beradab berdasarkan Pancasila,
2) bangsa yang berdaya
saing,
3) masyarakat demokratis yang berdasarkan
hukum,
4) Indonesia yang aman, damai dan bersatu,
5) pemerataan
pembangunan yang berkelanjutan,
6) Indonesia asri lestari,
7) Indonesia yang menjadi Negara kepulauan
yang mandiri,
maju kuat dan berbasiskan kepentingan
nasional, dan
8) Indonesia berperan penting dalam pergaulan
internasional.
Kebijakan lain yang yang mendukung NKRI
yaitu
Pencanangan Trisakti, yakni Mewujudkan
Generasi yang
Berkepribadian dalam Kebudayaan dan RPJMN
2015- 2019: “Penguatan pendidikan karakter
pada anak
usia sekolah pada semua jenjang pendidikan
untuk
memperkuat nilai-nilai moral, akhlak, dan
kepribadian
peserta didik dengan memperkuat pendidikan
karakter
yang terintegrasi ke dalam
matapelajaran”.Sejalan dengan
itu, Pencanangan Nawa Cita yang penting dan
strategis
ialah pembangunan mental bangsa, melalui
pembangunan karakter yang ditindaklanjuti
Kemendikbud antara lain mencanangkan
Gerakan
Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) secara
melalui
pengembangan nilai utama, yakni Nilai
Karakter
Nasionalis, Nilai Karakter Religius, Nilai
Karakter
Mandiri, Nilai Karakter Gotong Royong, dan
Nilai
Karakter Integritas.
Keseriusan Pemerintah untuk penguatan
ideologi
Pancasila, tertuang dalam Peraturan Presiden
Nomor 54
Tahun 2017 tentang Unit Kerja Presiden
Pembinaan
Ideologi Pancasila (UKP-PIP), yang berfungsi
antara lain
merumuskan arah kebijakan umum pembinaan
ideologi
Pancasila dan menyusun garis-garis besar
haluan ideologi
Pancasila dan roadmap pembinaan ideologi
Pancasila. Ini
merupakan salah satu komitmen pemerintah
dalam hal penguatan Pancasila.
Ditingkat teknis, kebijakan yang berkaitan
dengan
membangun jiwa kebangsaan dilaksanakan
melalui Surat
Edaran Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor:
21042/MPK/PR/2017 tanggal 11 April 2017
perihal
implementasi PPK, yang menyebutkan
bahwa a)
memasang naskah pancasila, foto presiden,
dan wakil
presiden di setiap ruang kelas serta
memasang
beberapa foto pahlawan nasional dalam
bingkai/pigura
yang rapi; b) menyiapkansetiap kelas agar
menyanyikan
lagu Indonesia Raya di pagi awal kegiatan
Belajar
Mengajar (KBM) dan menyanyikan salah
satu lagu kebangsaan/ nasional sebelum
pulang. Namun demikian, akhir-akhir ini
muncul gejala yang
mengkhawatir-kan, yakni di sementara
kalangan pelajar
yang tidak ingin, atau menentang dan
bahkan mengganti
dasar Negara RI Pancasila, UUD 1945,
NKRI dan Bhineka
Tunggal Ika dengan paham dan ideologi
lain yang berbeda dengan kesepakatan para
pendiri Negara RI tersebut.
Terdapat kecenderungan beberapa pelajar
telah terpengaruh
dan memiliki paham serta ideologi lain yang
tidak sejalan
dan mengakui Pancasila dan NKRI
sebagaimana tercermin
dalam hasil eksplorasi dari hasil
penelitian di berbagai lembaga survei.
B. RUMUSAN MASALAH
Indikasi empiris tentang radikalisme di
lingkungan kampus
diatas meng-indikasikan bahwa kendati
pemerintah,
pemerintah daerah, masyarakat dan satuan
pendidikan telah
berupaya mewujudkan berbagai kebijakan
penanaman
Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka
Tungal Ika di
kalangan mahasiswa, namun belum
menunjukkan hasil yang
optimal, mengingat masih terdapat beberapa
mahasiswa dan
Tenaga Pengajar yang memiliki paham yang
berbeda, bahkan ingin
mengganti dasar Negara Pancasila, UUD 1945,
NKRI dan
Bhineka Tungal Ika. Terkait dengan itu dapat
dirumuskan
permasalahannya yakni: “Bagaimana
rekomendasi
kebijakan tentang strategi untuk mencegah dan
menanggulangi radikalisme serta memperkuat
nilai
Karakter religious dan nilai nasionalis yang
berdasar
Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka
Tungal Ika di kalangan Mahasiswa“?
Agar diperoleh bahan rekomendasi yang
komprehensip,
maka selain memanfaatkan data/informasi dari
hasil
penelitian yang sudah ada, perlu lebih didalami,
diperkaya
dan dilakukan validasi fakta hasil studi yang
ada terkait dengan:

1. Bagaimanakah kondisi paham dan tindakan


radikalisme di lingkungan Mahasiswa?
Khususnya
bagaimana tanggapan terhadap dasar Pancasila,
UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tungal Ika di
kalangan
Mahasiswa saat ini“?

2. Mengapa paham dan tindakan radikalisme


terjadi di
lingkungan kampus ? Atau mengapa tanggapan
terhadap
Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka
Tungal Ika di kalangan Mahasiswa saat
ini seperti itu?

3. Upaya apa saja yang telah/sedang dilakukan


untuk
mencegah dan menanggulangi radikalisme
terjadi di lingkungan Kampus?
4. Kebijakan apa yang dapat dijalankan untuk
mencegah
dan menanggulangi radikalisme serta
memperkuat
Karakter nilai nasionalis yang berdasar
Pancasila, UUD
1945, NKRI dan Bhineka Tungal Ika di
kalangan
Mahasiswa?
BAB II
C. TUJUAN PEMBAHASAN

A. Pandangan Pancasila Untuk Mengurangi


Rasikalisme Di Kampus.

Aksi terorisme bisa diawali dari paham


radikalisme. Aksi ini tentu menjadi musuh
bersama bangsa Indonesia karena paham
radikalisme bertentangan dengan ideologi
Pancasila.

Perlu sinergitas berbagai pihak untuk mencegah


paham ini menyebar di masyarakat. Termasuk
di lingkungan perguruan tinggi.

Secara yuridis, perguruan tinggi dituntut terlibat


aktif dalam menangkal radikalisme maupun
ekstrimisme di kampus.
Pada mulanya masuknya paham terorisme itu
berawal dari terdapatnya ideologi radikalisme di
dalam diri seseorang. Radikalisme merupakan
suatu sikap yang mendambakan perubahan
secara total (berubah secara drastis) dan bersifat
revolusioner dengan menjungkir balikkan
nilainilai atau aturan yang ada yang berlaku
dalam kehidupan masyarakat secara drastis
lewat cara- cara kekerasan dan aksi-aksi yang
ekstrem. Namun perlu diingat tidak semua
orang yang radikal itu teroris, karena
radikalisme tidak selalu bersifat membunuh
dalam menjalankan aksi dan tujuannya. Oleh
karena itu ideologi radikalisme dan terorisme
ini sangat berbahaya karena sama-sama bersifat
merusak. Atas dasar itulah sangat penting untuk
mencegah dan menangkal masuknya ajaran itu
dalam kehidupan bermasyarakat. Perlu diingat
penyelesaian kasus teroris ini tidak akan dapat
diselesaikan dengan hanya menggunakan
metode hard power berupa penegakan hukum
dan penindakan hukum. Harus dilakukan upaya
metode soft power (pencegahan) secara
berkesinambungan. Salah satu kelompok yang
paling rentan sekali yang menjadi target
rekrutan dari para kelompok teroris adalah
kalangan kaum muda terpelajar yaitu
mahasiswa. Mahasiswa sangat sering dijadikan
sasaran rekrutan oleh kelompok teroris
mengingat mahasiswa memiliki kapasitas fisik
dan mental yang berani, kuat dan daya tahan
yang prima.
Ironinya kelompok mahasiswa ini juga mudah
terbawa dan tergabung menjadi bagian dari
kelompok teroris tersebut. Hal ini disebabkan
oleh berbagai faktor diantaranya yang paling
kuat penyebabnya menurut penulis yaitu berasal
dari internal diri yaitu belum matangnya pola
pikir dan kondisi kesehatan batin. Hal ini
disebabkan karena sedikitnya pengetahuan
tentang wawasan ilmu kognitif, afektif dan
esensi dari ilmu agama. Terlebih lagi dengan
minimnya intensitas dari pihak pengajar (dosen)
dalam melakukan pengajaran yang bersifat
pendekatan secara emosional seperti yang
dilakukan oleh pengajar sekolah (guru) pada
umumnya. Sehingga membuat proses
penanaman nilai-nilai moral dan pembentukan
karakter bagi mahasiswa tidak dapat cepat
tercapainya. Oleh karena itu maka sangat
penting bagi para civitas kampus dan orang tua
agar terus melakukan upaya pencegahan dan
pemantauan ihwal masuknya ideologi
radikalisme dan terorisme pada kalangan
mahasiswa.
Tidak hanya civitas kampus dan para orang tua
saja, melibatkan berbagai pihak seperti tokoh
agama, tokoh adat dan elit pemerintah dalam
berbagai tingkatan sangat diperlukan sekali
sinergitasnya dalam menangani masalah
radikalisme dan terorisme ini. Tujuannya agar
ruang gerak arus dokrtin radikalisme dan
terorisme ini menjadi sempit dan dapat hilang.
Saat ini, peran sekolah dan lembaga pendidikan
memiliki arti penting dalam menghentikan laju
arus radikalisme dan terorisme. Ada beberapa
cara dalam mencegah masuknya arus doktrin
radikalisme dan terorisme pada generasi muda
Pertama dengan menguatkan pemberian materi
Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan
Pancasila secara holistis dan
berkesinambungan. Tujuannya agar para
pemuda (mahasiswa) mampu menanamkan rasa
nasionalisme terhadap bangsa dan negara
sehingga mahasiswa memiliki pondasi dasar
nilai dan moral untuk berperilaku yang baik
dalam kehidupan seharinya. Lalu juga akan
terbangun kepribadian yang menjunjung
nilainilai luhur yang universal, kepedulian yang
tinggi antar sesama, semangat bela negara,
berperilaku dan berpikir positif, kritis, analitis
dan perilaku anti korupsi.
Kedua dengan menguatkan pemberian materi
Pendidikan Agama. Melakukan pengajaran
secara intens dan berkesinambungan agar
eksistensi nilai religius agama dapat
tertanamkan dalam hati mahasiswa. Lalu
meningkatkan pemberian pendidikan tentang
manfaat akan pentingnya menanam dan
membangun budaya toleransi antar sesama
umat beragama. Ini sangat penting sekali
mengingat negara kita ini terdapat enam agama
yang berbeda yang diakui secara sah. Ketiga
dengan memberikan Pendidikan Multikultural
Budaya Bangsa. Selain agama, bangsa kita ini
juga memiliki budaya yang berbeda-beda. Atas
dasar itulah pentingnya juga memberikan materi
pengajaran tentang nilainilai budaya-budaya
yang ada di Indonesia secara umum kepada
seluruh mahasiswa. Agar kedepannya jika
mahasiswa pergi ke daerah lain yang memiliki
budaya berbeda dari tempat asalnya dapat
menghargai dan menghindarkan perilaku-
perilaku yang dianggap dilarang oleh budaya
daerah setempatnya.
Keempat yaitu intensif menaungi Organisasi
Kemahasiswaan. Sangat penting sekali bagi
para civitas akademis agar selalu membimbing
dan melakukan pengawasan terhadap berbagai
pelaksanaan rotasi dari organisasi
kemahasiswaan. Terlebih lagi pada zaman
globalisasi ini dimana arus sirkulasi masuknya
informasi sangat pesat sekali yang rentan
membuat mahasiswa terjerumus kepada hal-hal
yang negatif. Para civitas akademis kampus
harus memaksimalkan mewadahi mahasiswa
dari segi kebutuhan ilmu dan sarana prasarana.
Agar kebutuhan mahasiswa dalam prosesi
berorganisasi menjadi terpenuhi dan dapat
meraih hasil yang optimal.
Terakhir memberikan edukasi tentang Esensi
Integrasi. Myron Weiner (1971) mengatakan
integrasi merujuk pada proses penyatuan
berbagai kelompok sosial dan budaya ke dalam
kesatuan wilayah dalam rangka pembentukan
suatu identitas nasional. Konsepsi ini sangat
penting sekali untuk diimplementasikan
mengingat Indonesia adalah negara yang
memiliki penduduk yang heterogen. Dalam
artian perlunya kita sebagai masyarakat
Indonesia selalu berperilaku sesuai dengan
nilai-nilai yang terkandung di dalam dasar
negara kita yaitu Pancasila.

Belakangan ini, kita dapat melihat


perkembangan paham radikal yang mencoba
untuk menggantikan Pancasila menjadi
Khilafah. Salah satu yang menjadi viral adalah
video sejumlah mahasiswa yang bersumpah
untuk tegakkan syariah Islam dalam naungan
Negara Khilafah sebagai solusi tuntas
problematika masyarakat Indonesia. Hal
tersebut bukan suatu kebetulan, karena menurut
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI), Anas Saidi, radikalisme telah merambah
dunia mahasiswa melalui proses islamisasi
secara tertutup. Riset LIPI tahun 2011 juga
menyebutkan bahwa terdapat peningkatan
pemahaman konservatif atau fundamentalisme
keagamaan.

Mahasiswa adalah target potensial penyebar


an paham radikalisme
Hal di atas semakin menegaskan bahwa kampus
sudah menjadi ladang subur tumbuhnya paham
radikalisme dan tentunya hal ini suatu ancaman
besar bagi kesatuan dan persatuan bangsa
Indonesia. Dalam banyak kasus, bidikan dari
pengusung radikalisme adalah mahasiswa yang
“polos”, atau tidak memiliki latar keagamaan
yang kuat. Kepolosan ini yang kemudian
dimanfaatkan memberikan doktrin keagamaan
yang monolitik, kaku, dan jauh dari
konstektualisasi. Di samping itu, proses
kaderisasi paham radikal juga dilakukan secara
tertutup.

Penanggulangan radikalisme
Melihat kondisi di atas, peran dan fungsi
organisasi keagamaan di kampus amatlah
penting untuk menetralisir dan mencegah
bertumbuhnya paham
radikal. Pertama, diperlukan kerjasama antar
organisasi keagamaan di kampus untuk
mengadakan diskusi atau seminar untuk
membahas isu-isu terkini terkait hal-hal yang
ingin menggantikan eksistensi
Pancasila. Kedua, diperlukan suatu forum
kajian antar organasasi keagamaan yang
berkelanjutan sebagai wadah dalam
meregenerasikan dan mengedukasi terutama
mahasiswa baru mengenai pentingnya
kebhinekaan dalam menjaga kesatuan dan
persatuan bangsa; dan ketiga, diperlukan
pembukaan khotbah yang bertemakan nilai-nilai
Pancasila. Hal di atas tidak akan berjalan
apabila kita sebagai Warga Negara Indonesia
dan terutama umat Kristen yang berada di
kampus berlaku pasif, antipati, dan hanya fokus
mengejar nilai akademik tanpa memedulikan
ancaman yang merongrong Pancasila. Sebagai
umat beragama, kita harus berani menjalin
kerjasama dan persaudaraan dengan umat
agama lain dalam mewujudkan perdamaian.
Selain hal di atas, diperlukan pula peran
Pemerintah dalam upaya mempertahankan
Pancasila. Pertama, merestorasi kembali
Pancasila khususnya kepada kalangan terpelajar
melalui pembuatan cetak biru Pemerintah Pusat
berkoordinasi dengan Kemendiknas,
Kemenrisetdikti, Kementerian Agama dan
lainnya dalam pengaktifan kembali mata
pelajaran seperti Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4) dari SD sampai
Universitas. Kedua, pejabat kampus melakukan
pembersihan kampus beserta tempat ibadah
kampus dari organisasi serta paham radikal; dan
ketiga, pemberian sanksi yang tegas terhadap
organisasi radikal yang menentang eksistensi
Pancasilsila.

Paham radikalisme kini tidak hanya menerpa


kalangan bawah yang minim pendidikan, tetapi
juga mulai mewabah di kalangan intelektual di
perguruan tinggi. Akademisi – dosen maupun
mahasiswa — dan birokrat kampus terpapar
sindrom “radikalisme” Fenomena ini tercermin
dari hasil penelitian yang dilakukan Pusat
Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
dalam satu dekade terakhir pasca Reformasi
Sungguh ironis dan memprihatinkan, perguruan
tinggi (PT) yang seharusnya merupakan
institusi bagi pengembangan keilmuan dan
sumber daya manusia, serta turut membantu
dalam pembangunan bangsa terutama
pembangunan mental dan kepribadian bangsa
ang inklusif, toleran dan mengedepankan
tenggang rasa, kini dalam kadar tertentu
berubah fungsi menjadi lahan penyemaian
paham yang membahayakan keutuhan negara.
Terlebih lagi, saat ini juga infiltrasi gerakan
radikalisme agama mulai menyerang ormas
yang ada di dalam masyarakat. Kita tentu dapat
memahami mana saja beberapa ormas yang
sangat jelas pola gerakan dan tindakan mereka
yang sangat anarkis serta tak beda dengan
pelaku teror yang menebar kebencian dan
kekerasan atas nama agama. Walau kita tak
menyebutnya secara verbal, tentu kita semua
hampir pasti paham, ormas mana sajakah itu.
Akar radikalisme

Dari berbagai bentuk radikalisme atas nama


agama, mayoritas kalangan yang paling mudah
diinfiltrasi berasal dari kalangan anak-anak
muda yang masih dalam proses pencarian jati
diri. Apabila mencermati gerakan radikal di
kampus, banyak faktor penyebab yang bisa
dianalisis. Namun, di sini penulis lebih tertarik
pada dua faktor utama.

Pertama, latar belakang pemahaman keagamaan


yang minim dan keliru. Dari pemahaman agama
yang tekstual, literal dan terkesan
sepotongsepotong alias parsial, biasanya kaum
intelektual yang berasal dari kampus sekuler
(non-keagamaan) maupun kamus berbasis
agama mudah terjangkiti oleh virus
fundamentalisme dan eksklusivisme
keberagaman.
Selama ini, kita ketahui dari laporan media
massa dan berbagai penelitian ilmiah bahwa
target perekrutan jaringan radikal banyak
berasal dari kalangan mahasiswa PT umum,
terutama dari fakultas-fakultas sains. Mengapa
demikian? Sudah tentu itu adalah cara efektif
agar proses infiltrasi dan indoktrinasi mudah
dilakukan karena pemahaman keagamaan
kalangan ini cenderung kurang memadai. Otak
mereka dicuci (brainwashing) secara terstruktur
dan sistematis, tujuannya menanamkan
pemahaman bahwa Indonesia adalah negara
thaghut (penguasa zalim) yang tidak wajib
dipatuhi dan mesti diperangi.

Hal itu juga terkonfirmasi dari penelusuran LIPI


bahwa kampus-kampus umum—seperti UGM,
UI, ITB, ITS, IPB, Undip, Unair, Unibraw—
termasuk PT yang selama ini banyak dijangkiti
paham radikal. Namun, tren itu kini sedikit
meluas. Seperti kita ketahui, ada PT yang
bercorak keagamaan, seperti UIN/IAIN, juga
menunjukkan segelintir mahasiswanya telah
beberapa kali terlibat gerakan radikal kendati
kuantitasnya tidak begitu banyak ketimbang PT
umum. Keterlibatan oknum mahasiswa PT
keagamaan itu terjadi karena adanya perubahan
orientasi dan ekspansi keilmuan yang bersifat
umum.

Kedua, faktor ketimpangan dan ketidakadilan


sosial, politik, dan ekonomi yang masih
mengakar dalam masyarakat. Tidak bisa
dipungkiri, fragmentasi politik dan sosial yang
menjalar ke berbagai lapisan masyarakat, baik
di akar rumput maupun kalangan terdidik
(intelektual), berpotensi, bahkan telah
menimbulkan konflik horizontal yang laten dan
luas. Kemudian timpangnya ekonomi yang
dipicu oleh kenaikan harga bahan kebutuhan
sehari-hari membuat masyarakat semakin
terjepit. Akibatnya, orang atau kelompok yang
tak berdaya ini dengan mudah disulut dan
bahkan ditunggangi oleh kelompok radikal
untuk bertindak anarkis dan melanggar hukum.

Upaya Preventif

Radikalisme yang terjadi di kalangan intelektual


dan generasi muda atau bahkan organisasi
kemasyarakatan (ormas) adalah masalah serius
yang mesti ditangani karena proses penyebaran
yang dilakukan cenderung tertutup dan
berdampak pada perilaku intoleran dan anarkis.
Menyikapi masalah ini, penulis mengusulkan
beberapa langkah. Pertama, pemerintah melalui
Dirjen Pendidikan Tinggi dapat bekerja sama
dengan Perguruan Tinggi — negeri ataupun
swasta — dalam membuat program bina damai
keberagaman di kampus. Program ini, misalnya,
bisa dilakukan dengan sosialisasi pemahaman
akan toleransi, inklusivisme, multikulturalisme,
serta bahaya paham radikalisme. Bila perlu
melibatkan Badan Nasional Penanggulangan
(BNPT) yang merupakan institusi khusus dalam
penanganan terorisme. Kegiatan ini dapat
disampaikan saat orientasi pengenalan
akademik berlangsung. Dengan demikian, ada
upaya preventif sebelum mahasiswa lebih jauh
mengikuti aktivitas di kampus.

Kedua, dengan merevitalisasi kurikulum dan


mengevaluasi pengajaran setiap semester,
terutama terkait mata kuliah yang bersifat
ideologis, seperti Pancasila, Pendidikan
Kewarganegaraan, dan dilengkapi dengan
Pendidikan Agama yang inklusif. Selama ini,
pengajaran mata kuliah di atas cenderung
berkutat pada aspek kognisi, yang belum
menyentuh tataran afeksi dan sikap. Terlebih
dalam membangun sikap toleransi, inklusif dan
bahkan pluralis dalam bingkai keindonesiaan
kita yang beragam ini.
Ketiga, pihak kampus dapat bekerja sama
dengan organisasi kemahasiswaan ekstra
kampus yang relatif moderat, seperti HMI,
PMII, IMM, PMKRI, dan GMNI GMKI dan
lain-lain dalam membantu mencairkan
pemahaman gerakan radikal di kampus. Selama
ini, kampus yang terjangkit paham radikalisme
ditengarai akibat tumbuh suburnya organisasi
lembaga dakwah kampus yang bersifat
eksklusif.
Banyak analisis terkait sepak terjang lembaga
kampus yang mengekslusi. Misalnya, adanya
pengaderan dan mentoring pemahaman secara
under ground dan penguasaan kampus secara
sepihak dan eksklusif.

Keempat, mayarakat secara massif dengan


bantuan ormas kepemudaan maupun ormas lain
yang ada, membangun jejaring masyarakat anti
radikalisme agama. Jejaring ini dapat sebentuk
komunitas atau paguyuban antar ormas yang
dapat dibentuk lewat prakarsa bersama melalui
forum komunikasi yang intens dan terpadu,
serta harus mampu untuk selalu berkoordinasi
dengan instansi terkait, seperti BNPT terutama
dan Kesbangpol di tingkat kabupaten/kota
maupun Propinsi. Langkah yang dapat
dilakukan dapat melalui berbagai acara seminar,
workshop, sarasehaan dan lain sebagainya yang
selanjutnya dapat ditindaklanjuti dengan
membangun kampong-kampung toleransi
misalnya, kampung-kampung keberagaman di
tengah-tengah masyarakat.

Contoh Kasus

Contoh yang pernah terjadi, beberapa


mahasiswa dibujuk mengikuti ajaran NII
ataupun ISIS. Melalui proses pencucian otak,
banyak korban bersaksi tentang paham yang
sarat muatan radikal dan anti konstitusi, seperti
diperbolehkannya melakukan kekerasan,
pencurian, pengabaian ibadah, dan perilaku
menyimpang lainnya. Itulah beberapa langkah
yang kiranya relevan dilakukan sebagai upaya
menangkal radikalisme agama di kalangan
intelektual, khususnya di sejumlah kampus PT
Indonesia belakangan ini. Dalam pertandingan,
ambil contoh sepakbola, kemenangan yang
diraih tentu sebagai hasil kerja keras sebuah
tim. Walaupun yang menjebolkan bola ke
gawang lawan adalah hanya salah satu pemain.
Akan tetapi, dalam prosesnya butuh strategi
yang jitu, kerja sama yang solid dan saling
mendukung antarpemain yang menjadi kunci
utama sehingga mengantarkan mereka meraih
kemenangan. Itu hanya salah satu analogi.
Dalam konteks melawan dan memberantas
prograganda dan tindakan radikalisme, perlu
peran bersama sehingga tujuan ini bisa tercapai.
Tidak hanya menumpukan pada salah satu
pihak semata, misalnya pemerintah. Adalah
Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI)
yang juga memiliki inisiatif untuk bersamasama
membentengi masyarakat dari aksi terorisme
yang notabene tak sesuai falsafah bangsa. LPOI
yang memiliki perhatian besar terhadap
pencegahan dan penanggulangan aksi terorisme
dan radikalisme agama. LPOI terdiri dari 12
ormas Islam, yaitu Nahdlatul Ulama (NU),
Syarikat Islam Indonesia (SII), Persatuan
Islam (PERSIS), Al Irsyad Al Islamiyyah,
Mathlaul Anwar, Al-Ittihadiyah, Persatuan
Islam Tionghoa Indonesia (PITI), Ikatan DA’I
Indonesia (IKADI) LPOI memiliki peran dan
posisi yang strategis di tengah-tengah
masyarakat dalam memberikan pencerahan
akan bahaya terorisme. Peran itu bisa dilakukan
secara bersinergi dengan Kementerian Agama
melalui beragam program kegiatan untuk
meningkatkan kualitas keagamaan di Indonesia.
Salah satunya, LPOI dapat terlibat dalam
pengembangan pendidikan di Perguruan Tinggi
moderat yang terkait pada pemikiran.
LPOI juga banyak memberian masukan pada
pemerintah. Di antaranya, mengimbau
pemerintah untuk melacak pihak-pihak yang
terlibat dalam proses rekrutmen warga
Indonesia yang pergi ke Irak dan Suriah untuk
bergabung dengan ISIS. Selain itu, LPOI
menyarankan untuk dilakukan pengawasan
terhadap masuknya dana-dana asing yang
penyalurannya langsung ke sejumlah kelompok
masyarakat untuk pembiayaan aksi terlarang.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
(BNPT) juga sangat menyambut baik peran
serta dan keterlibatan ormas-ormas Islam dalam
membendung berbagai propaganda radikalisme.
Salah satunya, Nahdlatul Ulama (NU) yang
membentuk NU Online sebagai sarana bagi
para ulama dan generasi muda untuk bertukar
informasi dan pengetahuan di dunia maya.
Khususnya, yang terkait dengan isu-isu
terorisme. Wahana ini bertujuan untuk
mengimbangi propaganda radikalisme dan
terorisme di dunia maya. Dengan adanya NU
Online, setiap paham negatif yang muncul bisa
langsung diluruskan. Seperti dikatakan mantan
Wakil Ketua Umum PBNU KH As’ad Said Ali
pada acara Workshop Penguatan Jaringan
AntiRadikalisme di Dunia Maya untuk Ulama
Muda yang digelar Nahdatul Ulama (NU)
Online bersama BNPT beberapa waktu lalu, NU
selalu memonitor berbagai kegiatan di dunia
maya. NU Online memudahkan pihak-pihak
untuk bersinergi dan berkomunikasi dalam
menyiarkan agama islam yang benar di dunia
maya. Hal itu sekaligus merupakan upaya
preventif dalam rangka membendung makin
menjalarnya paham radikalisme dan terorisme
di Indonesia. kita pun memiliki berbagai
langkah dan upaya yang sama dalam
menanggulangi terorisme. Tak lupa
saudarasaudara Kristiani, Katolik, maupun
Hindu, Budha dan Konghuchu mesti
mempunyai pemahaman dan agenda serupa
dalam upaya menangkal dan menjauhkan
radikalisme agama
dalam masyarakat kita

Seperti:

A. Radikalisme Pemikiran.
Radikalisme dapat berkembang karena adanya
pemikiran yang menolak dan/atau anti terhadap
Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia
1945, Mengatasnamakan agama/ kelompok/
atau komuniteas tertentu dalam menjalankan
tujuannya Walaupun bertentangan dengan
sistem sosial yang berlaku.

B. Radikalisme Sikap .
Kecendrungan menyebarkan paham atas
penolakan dan/atau anti terhadap Pancasila
UUD Negara Republik Indonesia 1954,NKRI
dan kebhinekaan Indonesia, baik melalui
ketokohan seorang maupun Teknik cuci otak
klaim-klaim kebenaran

C. Radikalisme Tindakan.
Radikalisme dengan melakukan Tindakan
penolakan secara terus menerus dan menuntut
perubahan drastic dengan anggapan bahwa
semua pihak yang berbeda pandangan
denganya adalah bersalah.
bahkan tidak segan-seganya melakukan
kekerasan (Pengerusakan Bahkan
Pengeboman).
*Perguruan tinggi harus aktif
Untuk mencegah paham itu menyusup di
lingkungan kampus, turut aktif menjadi patner
pemerintah dan masyarakat dalam menangkal
paham radikalisme. paham radikalisme bisa
masuk lewat mana saja. Baik itu pergaulan
maupun melalui media sosial.

Bahkan adanya media sosial justru lebih


berbahaya. "Para pelaku bisa bergerak secara
lone wolf atau operasi sendiri. Operasinya bisa
terputus dari jaringan, tidak memiliki
kelompok, tetapi bisa melakukan sendiri
Radikalisme di kampus bisa terjadi kapan saja.
Hal ini bisa terjadi adanya faktor komunikasi
mahasiswa dengan jaringan tertentu. Mahasiswa
adalah masyarakat akademis yang dapat
meracuni persepsi orang lain bahwa gerakan
radikalisme hanya untuk orang tidak
berpendidikan. Tetapi radikalisme dianggap
sudah menjangkiti kalangan mahasiswa sendiri.
Penelitian Nurudin pada tahun 2013 lalu
menerangkan bahwa paham agama dan
demografis dengan segenap relasi sosial,
kultural, ekonomi, dan politik berpengaruh
terhadap sikap dan kecenderungan berperilaku
radikal keagamaan. 17 Bahkan, penelitian yang
dilakukan Khozin menggunakan motode survey
dengan kombinasi teori sosial teologis
menyebutkan bahwa dalam menyikapi gerakan
radikalisme di kalangan mahasiswa perguruan
tinggi agama, yaitu aspirasi positivisasi ajaran
agama, faktor ekspose mahasiswa terhadap
keragaman paham keagamaan dan kelompok
keagamaan di luar, dan lainnya. 18 Lebih lanjut,
Hadziqdalam penelitiannya menyebutkan
bahwa faktor munculnya radikalis gerakan dan
fundamentalis pada mahasiswa disebabkan oleh
faktor internal dan eksternal. 19 Senada dengan
itu, Saifuddin dalam penelitiannya
menambahkan bahwa faktor gerakan
radikalisme di kalangan mahasiswa disebabkan
oleh organisasi radikal di luar lingkungan
kampus. 20 Sejatinya, kajian terkait radikalisme
di Indonesia telah banyak diteliti, meliputi
aspek historis, 21 kajian konstruk radikalisme
dengan teologi, 22 pandangan bahwa
radikalisme merupakan ancaman dan masalah
bangsa, 23 dan kajian radikalisme agama. 24
Bahkan, kajian relevan lainnya membahas
radikalisme yang menjurus pada dunia
pendidikan25 dan fenomena radikalisme di
kalangan kaum muda. 26 Mencermati kajian
mutakhir dan relevan di atas, ditemukan “ruang
kosong” kajian tersebut di kalangan mahasiswa
perguruan tinggi terkait bagaimana
mempersepsikan radikalisme di Indonesia.
Ditanggapi dan disikapi sebagai masalah,
ancaman, atau bahkan paham yang
diperbolehkan tumbuh subur sebagai kajian
keilmuan dalam ranah diskusi akademik
kemahasiswaan. Berdasarkan pemaparan di
atas, dipahami bahwa urgennya mengkaji dan
menganalisa pandangan mahasiswa terhadap
radikalisme. Untuk itu, penelitian ini
difokuskan pada kajian tersebut, dengan
melibatkan mahasiswa sebagai objek.
Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisa
pandangan mahasiswa tentang radikalisme.
Radikalisme sendiri memberikan dampak nyata
dengan terbentuknya politisasi di dalam agama.
Membahas agama sangat sensitif, sebab
menyangkut keyakinan seseorang terhadap
Tuhan. Sedikit pergeseran menimbulkan
fanatisme, gerakan kekerasan yang terjadi di
lingkup kehidupan perseorangan maupun
kelompok. Inilah yang menjadi timbulnya
gerakan kelompok radikal

Perlu kontrol orangtua dan sosial


masuknya paham ekstrimisme bisa karena
kurangnya kontrol sosial dan orangtua. Padahal
itu penting sekali dan menjadi tembok
pertahanan yang penting dalam menangkal
pengaruh paham yang bertentangan dengan
Pancasila
Perlu kontrol orangtua dan sosial
Menurut Wildan, masuknya paham ekstrimisme
bisa karena kurangnya kontrol sosial dan
orangtua. Padahal itu penting sekali dan
menjadi tembok pertahanan yang penting dalam
menangkal pengaruh paham yang bertentangan
dengan Pancasila.

1. Nilai Ketuhanan.
Kondisi saat ini menunjukkan bahwa nilai-nilai
Pancasila kurang mendapatkan tempat dihati
sebagian kecil masyarakat Indonesia. nilai-nilai
ketuhanan sebagai sila pertama dari Pancasila
kurang dihayati dan diamalkan. Hal ini
tercermin dari masih adanya sekelompok pihak
yang menginginkan tujuh kata dalam Piagam
Jakarta agar ditumbuhkan kembali. Sudah
menjadi kesepakatan bangsa bahwa Indonesia
bukan negara agama, namun negara yang
mendasarkan pada negara Pancasila, dimana
terdapat enam agama yang dianut oleh
masyarakat Indonesia. Namun demikian, pada
kenyataannya, masih ada yang menginginkan
terbentuknya negara yang berbasis pada agama,
alergi terhadap agama lain, dan cenderung
sempit dalam memandang ajaran agama,
sehingga timbul potensi konflik intra agama dan
konflik antar agama. Oleh karena itu, nilai-nilai
ketuhanan harus diinternalisasi dalam
kehidupan masyarakat, baik di lingkungan
keluarga, lingkungan pendidikan, lingkungan
pekerjaan, maupun lingkungan masyarakat.
Semua agama mengajarkan perdamaian,
kedamaian, kasih sayang, saling menghormati,
saling menghargai, dan saling tenggang rasa
antar pemeluk agama, sehingga tidak boleh ada
penganut agama yang satu mengkafirkan dan
mentoghutkan pemeluk agama lain hanya
karena beda keyakinan/ beda aliran
kepercayaan/ dan beda agama. Nilai ketuhanan
dalam Pancasila justru mengharuskan kepada
semua pemeluk agama untuk memeluk agama
dan aliran kepercayaannya masing-masing,
tanpa harus menyudutkan pemeluk agama lain.
Sikap intoleransi, radikalisme dan terorisme,
harus dihapus dan dihilangkan melalui program
deradikalisasi, dimana nilai-nilai ketuhanan
dalam Pancasila harus mampu diserap,
dipahami, dan diamalkan oleh semua komponen
bangsa. Bukankah merusak, menyiksa,
membunuh, dan merugikan orang lain
merupakan perbuatan dosa yang dilarang oleh
semua ajaran agama apapun?. Para pelaku
terorisme harus memahami bahwa nilai-nilai
ketuhanan menganjurkan agar yang mayoritas
melindungi yang minoritas, dan yang minoritas
menghormati yang mayoritas.

2. Nilai Kemanusiaan.
Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa
Pancasila, khususnya sila kedua, yakni nilainilai
kemanusiaan, belum terpatri semuanya dalam
hati sanubari semua masyarakat Indonesia.
Masih ada segelintir kelompok masyarakat yang
kurang menghormati hak dan kewajiban warga
negara. Dalam aturan perundang-undangan,
semua warga negara wajib membela negara,
namun dalam prakteknya, masih ada
sekelompok warga negara yang menolak bela
negara dan mengusulkan untuk lebih melakukan
bela agamanya masing-masing. Contoh perilaku
yang menistakan nilai-nilai kemanusiaan adalah
menghalangi orang untuk beribadah, menolak
pendirian tempat ibadah, merusak rumah
ibadah, mengintimidasi pemeluk agama lain,
dan membuat kebijakan publik yang merugikan
pemeluk agama lain. Nilai-nilai kemanusiaan,
yang didalamnya terkandung penghormatan
terhadap hak dan kewajiban, menghargai
manusia lain, menghormati orang lain, dan
menjunjung tinggi HAM, harus mampu
diinternalisasi dan disosialisasikan kepada
semua komponen bangsa. tidak boleh dalam
kehidupan masyarakat menghina agama lain,
menistakan ajaran agama lain, menjelek-jelekan
penganut agama lain, dan memprovokasi orang
untuk membunuh, menyiksa, maupun
menyerang pemeluk agama lain, karena hal itu
akan melanggar nilainilai ketuhanan dalam
Pancasila. Kebijakan deradikalisasi yang
digerakan oleh BNPT untuk menangkal aksi
terorisme harus dilandasi oleh nilai-nilai
kemanusiaan dalam ideologi Pancasila. Harus
ditampilkan dalam kehidupan masyarakat yang
menghormati perbedaan, menghargai pluralitas,
memegang teguh prinsip / slogan bhineka
tunggal ika, dan memelihara kemajemukan
dalam bingkai NKRI. Melalui aplikasi dan
implementasi nilai-nilai kemanusiaan,
masyarakat Indonesia harus mampu
menunjukkan diri sebagai masyarakat yang
beradab, bukan masyarakat yang biadab,
sehingga proses keadaban bangsa Indonesia
akan menampilkan warisan luhur bagi anak
cucu penerus bangsa.
3. Nilai Persatuan.
Praktek nyata di lapangan membuktikan bahwa
Pancasila, khususnya sila ketiga, yang
mengandung nilai-nilai persatuan, masih belum
dihayati dan diamalkan oleh semua masyarakat
Indonesia. Nilai-nilai persatuan, yang
menekankan pada nasionalisme, patriotisme,
cinta tanah air, rela berkorban, yang terbingkai
dalam bela negara dan wawasan kebangsaan,
sudah mengalami kelunturan. Sekelompok
pihak masih mengungkit-ngungkit tentang
bentuk negara yang lebih memilih membela
agama saja dibandingkan membela negara,
lebih memilih negara khilafah dibandingkan
dengan negara Pancasila berbasis NKRI, dan
lebih memilih nasionalisme keagamaan
dibandingkan dengan nasionalisme terhadap
NKRI. Wawasan kebangsaan juga belum
tercermin dalam sikap dan perilaku, karena
yang menonjol malah primordialisme, semangat
kedaerahan, wawasan kedaearahan, dan
xenophobia, yang cenderung menafikan
eksistensi Pancasila.
Nilai-nilai persatuan yang merupakan nilai
Pancasila mencerminkan bahwa Pancasila dapat
memperkokoh NKRI, meneguhkan bhineka
tunggal ika, dan menumbuhkan semangat
wawasan kebangsaan, bela negara, dan
patriotisme. Nilai persatuan dalam Pancasila ini
sebenarnya sejalan dengan ajaran agama Islam,
yang menyebutkan bahwa : “hizbul wathan
minal iman”, yang artinya : “cinta tanah air
bagian dari iman”. Maksudnya, ketika rakyat
Indonesia yang sebagian besar adalah beragama
Islam, mencintai tanah air Indonesia, maka
dapat dikatakan bahwa sikap dan perasaan
tersebut merupakan bagian dari keimanan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sehingga tidak
ada yang bertentangan antara nilai-nilai
persatuan dalam Pancasila dengan ajaran agama
. Pendekatan bela negara dan pendekatan
wawasan kebangsaan yang bersumber dari
nilai-nilai persatuan dalam kerangka Pancasila
dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif
metode untuk menerapkan kebijakan
deradikalisasi untuk para teroris, mantan teroris,
mantan napi teroris, keluarga teroris maupun
masyarakat umum lainnya. Nilai nilai persatuan
harus terus dikumandangkan kepada semua
komponen bangsa kapanpun dimanapun dalam
kondisi apapun, agar supaya semua masyarakat
Indonesia dan seluruh komponen bangsa selalu
cinta, sayang dan suka terhadap bangsa
Indonesia, sehingga akan tumbuh rasa bela
negara, yang pada akhirnya akan mampu
menangkal dan menangkis potensi aksi
radikalisme dan terorisme.

4. Nilai Musyawarah Mufakat.


Dalam perspektif Pancasila, terdapat nilai-nilai
demokrasi yang substansial, yakni berupa nilai
musyawarah mufakat. Namun demikian,
nilainilai musyawarah yang diamanatkan dalam
ideologi Pancasila sudah banyak mengalami
degradasi baik di lingkungan pemerintahan
maupun di lingkungan masyarakat. Sudah
menjadi rahasia umum bahwa setiap
perselisihan dan sengketa di tengah masyarakat
sebagian besar diselesaikan melalui cara-cara
yang kurang beradab, melanggar hukum, dan
tidak mencerminkan budaya bangsa Indonesia.
Hal ini terbukti dari maraknya ujaran kebencian
(hate speech), berita hoax, kampanye hitam,
mengkafirkan orang lain, menyiksa, dan
membunuh untuk balas dendam dan
kepentingan pribadi jangka pendek yang
emosional. Musyawarah mufakat merupakan
amanat dalam Pancasila sila keempat, yang
seharusnya menjadi solusi dan jalan pemecahan
terhadap setiap sengketa, konflik, maupun
perselisihan ataupun beda pendapat di tengah
masyarakat. Selama ini, perbedaan dipandang
sebagai kutukan sehingga yang satu
meniadakan yang lain dengan cara-cara
kekerasan. Aksi terorisme yang dilakukan di
Indonesia merupakan aksi yang salah dan
kebablasan karena tidak mampu menghargai
perbedaan dan tidak mampu
mentransformasikan perbedaan agama menjadi
perekat melalui jalan dialog dan diskusi.
Caracara kekerasan dengan mengebom,
munculnya bom panci, menjadikan polisi
menjadi target operasi, maupun orang / fasilitas
berbau barat sebagai sasaran, hanya karena
berbeda atribut di dunia, merupakan
pengingkaran terhadap musyawarah mufakat.
Pemerintah dan aparat terkait sudah saatnya
menumbuhkan sikap dialog dan diskusi antar
pihak yang bertikai dalam menyelesaikan
perbedaan, menangani beda keyakinan, maupun
menanggulangi beda
paham ideologi tertentu. Intoleransi,
radikalisme, dan terorisme adalah contoh
dimana sekelompok pihak tidak mau
menyelesaikan perbedaan dengan cara damai,
namun menempuh cara kekerasan, dan bahkan
menghalalkan segala cara untuk
kepentingannya sendiri, dengan atribut agama
tertentu, namun dalam perkembangannya,
malah menodai dan mencoreng agama tertentu.
Aksi intoleransi, radikalisme, dan terorisme
sebenarnya dapat dikatakan sebagai aksi
penistaan agama karena melanggar ajaran
agama apapun, mengingat ajaran agama justru
menganjurkan dialog dan diskusi dalam
menyelesaikan permasalahan, persoalan, dan
perbedaan, sehingga sejalan dengan nilai
Pancasila, khususnya sila keempat, musyawarah
mufakat.

5. Nilai Keadilan.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
merupakan bunyi dari sila kelima Pancasila.
Nilai keadilan merupakan nilai universal yang
diakui oleh seluruh masyarakat dunia, sehingga
Pancasila sebagai falsafah negara, khususnya
sila kelima, harus mendapatkan tempat dihati
masyarakat Indoensia untuk ditaati, dipatuhi,
direalisasikan, dan diamalkan dalam kehidupan
seharihari. Namun demikian, dalam prakteknya,
nilai keadilan masih jauh panggang dari api.
Masih ada jurang pemisah antara yang kaya dan
yang miskin, antara buruh dan borjuis, antara
yang kuat dan yang lemah. Ketmpangan
pendapatan dan ketimpangan sosial di tengah
masyarakat yang diwarnai oleh pengangguran,
kemiskinan, dan kemelaratan dapat potensial
mendorong perilaku intoleran, radikalisme, dan
terorisme. Kenyataan saat ini menunjukkan
bahwa aksi terorisme dilakukan sebagian besar
oleh masyarakat bawah, berpendapatan rendah,
status sosial yang rendah, dan pekerjaan yang
rendah. Kondisi ketiadaan ekonomi sosial ini
menjadi peluang bagi penyebaran ajaran radikal
dan aksi teror, melalui cuci otak / brain wash,
dan caracara indoktrinasi lainnya. Pelaku teror
yang ditangkap oleh Densus 88/AT Polri
membuktikan bahwa pelakunya penjual bubur
ayam, penjual baso, maupun pedagang kaki
lima, maupun penjahit dan lain-lain. Ini
menunjukkan bahwa kemiskinan adalah sumber
pemicu terjadinya aksi terorisme. Mereka
menganggap bahwa dunia ini tidak adil,
pemerintah tidak adil, dan aparat tidak adil,
karena semua dianggap menindas dan
memihak, sehingga mereka meyakini untuk
menyerang siapa saja yang membuat tidak adil,
sebagai bentuk frustasi sosial yang dialaminya.
Pendekatan ekonomi, pendekatan
kewirausahaan, dan pendekatan usaha lainnya
merupakan alternatif untuk dijalankan untuk
menerapkan kebijakan deradikalisasi, dengan
tujuan masyarakat mendapatkan pekerjaan yang
layak, status sosial yang layak, mata
pencaharian yang baik, dan penghidupan yang
mapan, sehingga akan dirasakan oleh
masyarakat terjadi proses keadilan sosial.
Nilainilai keadilan sosial akan dapat berhasil
dan menangkal aksi terorisme apabila
masyarakat disejahterakan melalui pembukaan
lapangan pekerjaan maupun melalui usaha
sendiri dan bantuan modal dari pemerintah,
sehingga mereka merasa diperhatikan, yang
pada akhirnya mereka merasa diberikan
keadilan, dan terorisme diharapkan tidak akan
terjadi.
Wahid Foundation (2016) mendefinisiskan
radikalisme
sebagai sikap atau tindakan yang
mengatasnamakan agama
yang tidak sejalan dengan dasar atau prinsip
dasar
kehidupan berbangsa yang menjunjung tinggi
toleransi dan
terbuka terhadap sesama warga yang majemuk
yang
dijamin keberadaannya oleh konstitusi, atau
yang bertumpu
pada prinsip-prinsip kemanusiaan. Bertolak
pada definisi
tersebut, studi ini melihat radikalisme tidak
hanya dipahami
pada tataran sikap/tindakan melainkan juga
gagasan.
Sementara itu, dalam studi ini yang dimaksud
dengan
prinsip dasar kehidupan berbangsa ialah
nilainilai yang
terdapat pada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan
Bhineka Tunggal
Ika.
Radikalisme sering dimaknai berbeda diantara
kelompok
kepentingan. Dalam lingkup keagamaan,
radikalisme
merupakan gerakan-gerakan keagamaan yang
berusaha
merombak secara total tatanan sosial dan politik
yang ada
dengan jalan menggunakan kekerasan. Dalam
studi Ilmu
Sosial, Radikalisme diartikan sebagai
pandangan yang
ingin melakukan perubahan yang mendasar
sesuai dengan
interpretasinya terhadap realitas social atau
ideologi yang
dianutnya. Dengan demikian, radikalisme
merupakan
gejala umum yang bisa terjadi dalam suatu
masyarakat
dengan motif beragam, baik sosial, politik,
budaya maupun
agama, yang ditandai oleh tindakan-tindakan
keras,
ekstrim, dan anarkis sebagai wujud penolakan
terhadap gejala yang dihadapi.

Kelompok radikal memiliki ciri-ciri antara lain;


pertama
sering mengklaim kebenaran tunggal dan
menyesatkan
kelompok lain yang tak sependapat. Klaim
kebenaran selalu muncul dari kalangan yang
seakan-akan mereka adalah Nabi yang tak
pernah melakukan kesalahan ma’sum
padahal mereka hanya manusia biasa. Klaim
kebenaran tidak dapat dibenarkan karena
manusia hanya memiliki
kebenaran yang relatif dan hanya Tuhan yang
tahu kebenaran absolut.
Kedua, radikalisme mempersulit agama yang
sejatinya
samhah (ringan) dengan menganggap ibadah
sunnah
seakan-akan wajib dan makruh seakan-akan
haram.
Radikalisme dicirikan dengan perilaku
beragama yang
lebih memprioritaskan persoalan-persoalan
sekunder dan mengesampingkan yang
primer.
Ketiga, kelompok radikal kebanyakan
berlebihan dalam
beragama yang tidak pada tempatnya. Dalam
beriman
mereka mengesampingkan metode gradual yang
digunakan
oleh itu, sehingga dakwah mereka justru
membuat umat
agama yang masih awam merasa ketakutan dan
keberatan.
Ada berbagai penyebab terjadinya paham dan
tindakan radikalisme. beberapa factor yang
mendorong dan penarik terjadinya
radikalisme. "Faktor Dorong" mendorong
individu ke
ekstremisme kekerasan, seperti: marginalisasi,
ketidaksetaraan, diskriminasi, penganiayaan
atau pema-
haman sejenisnya; keterbatasan terhadap akses
dan mutu
pendidikan yang relevan; Penolakan hak dan
kebebasan
sipil; dan keluhan lingkungan, sejarah dan
sosio-ekonomi lainnya.

Adapun '"Faktor Tarik" terjadinya ekstremisme


kekerasan, antara lain: adanya kelompok
ekstrimis yang terorganisir dengan baik
dengan wacana dan program efektif yang
memberikan layanan, pendapatan dan/atau
pekerjaan dengan imbalan keanggotaan.
Kelompok ini juga bisa memikat anggota baru
dengan menyediakan gerai untuk keluhan
dan janji petualangan dan kebebasan.
Selanjutnya, kelompok-kelompok ini
tampaknya menawarkan kenyamanan rohani,
"tempat untuk dimiliki" dan jaringan sosial
yang mendukung. Ditambahkan bahwa faktor
kontekstual yang memberikan wilayah yang
menguntungkan bagi munculnya kelompok
ekstremis yang keras, seperti: negara yang
rapuh, kurangnya penegakan hukum, korupsi
dan kriminalitas.
untuk mencegah berkembanganya gerakan
radikal yang mengusung kekerasan sebagai
bentuk aktivitas pergerakan, pihak kampus
ataupun pergurun tinggi di Indonesia memiliki
peran yang sangat penting. Penanaman ideologi
Pancasila serta pendekatan agama menjadi
bagian yang sangat penting untuk mencegah
masuknya paham radikalisme di kampus.
Pembelajaran kebangsaan melalui organisasi
kemahasiswaan merupakan langkah strategis,
inovatif, terpadu, sistematis, serius, dan
komprehensif dalam menanggulangi
radikalisme.
Di samping itu, perlu adanya suatu tempat
konsultasi bagi mahasiswa di setiap perguruan
tinggi dimana setiap dosen termasuk dosen
pembimbing keagamaan yang memiliki
kualifikasi dapat menjalankan peran konsultasi
tersebut. Masih tingginya tingkat intoleransi di
kalangan mahasiswa akan menyimpan benih
sekam radikalisme yang masih besar yang jika
tidak diatasi dapat menjadi pukulan berat bagi
perguruan tinggi khususnya dan dunia
pendidikan secara umum yang gagal dalam
menanamkan nilai-nilai ke-bhinneka-an dan
ideologi Pancasila terhadap mahasiswa. Oleh
karena itu, tantangan tersebut harus dijawab
dan dilaksanakan dengan sebagaikbaiknya oleh
kampus yang kita cintai ini, kampus yang
menjadi kebanggaan kita bersama, Universitas
Khairun. Menurut penulis, setidaknya ada 4
(empat) cara agar lingkungan kampus terbebas
dari paham radikalisme.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaranagar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual
keagamaan,pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara (Pasal 1 angka
1 UU No 20 Tahun 2003). Adapun fungsi dan
tujuan pendidikan nasional adalah berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta
peradaban bangsa yangbermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didikagar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu,cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3
UU No. 20 Tahun 2003). Dengan demikian
pendidikan di Indonesia mempunyai dua fungsi,
yaitu tercapainya kecerdasan lahiriah dan
kecerdasan batiniah, yaitu selain menguasai
ilmu pengetahuan dan teknologi, juga menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa serta
bertanggung jawab.
Sedangkan Pendidikan Tinggi adalah jenjang
pendidikan setelah
pendidikan menengah yang mencakup
programdiploma, program sarjana, program
magister, program doktor, dan program
profesi, serta program spesialis, yang
diselenggarakan oleh perguruantinggi
berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia
(Pasal 1 angka 2 UU No. 12 Tahun 2012).
Adapun tujuan penyelenggaraan Pendidikan
Tinggi adalah:
a. berkembangnya potensi Mahasiswa agar
menjadimanusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat,
berilmu,cakap, kreatif, mandiri, terampil,
kompeten, danberbudaya untuk kepentingan
bangsa;

b. dihasilkannya lulusan yang menguasai


cabang IlmuPengetahuan
dan/atau Teknologi untuk
memenuhikepentingan nasional dan
peningkatan daya saingbangsa;

c. dihasilkannya Ilmu Pengetahuan dan


Teknologimelalui Penelitian
yang memperhatikan danmenerapkan nilai
Humaniora agar bermanfaat bagikemajuan
bangsa, serta kemajuan peradaban dan
kesejahteraan umat manusia; dan

d. terwujudnya Pengabdian kepada


Masyarakat berbasispenalaran dan karya
Penelitian yang bermanfaatdalam
memajukan kesejahteraan
umum danmencerdaskan kehidupan
bangsa.(Pasal 5 UU No 12 Tahun
2012).
Sesuai dengan tujuan Pendidikan Nasional,
maka tujuan Pendidikan
Tinggi juga mendidik Mahasiswa menjadi
manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya
untuk kepentingan bangsa. Selain itu para
Mahasiswa mempunyai tugas sesuai Tri Darma
Perguruan Tinggi yaitu melakukan kegiatan
pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat.

Karakteristik orang maupun kelompok yang


berpaham radikal umumnya dilukiskan sebagai
paham yang intoleran, fanatik berlebihan,
mengklaim diri paling benar, memiliki stigma
buruk terhadap barat,mengusung,menolak
modernisasi,cenderung anarkis dalam
memperjuangkan ideologinya, terkesan rigid
dantekstual dalam menafsirkan ayat maupun
hadits.

-Regulasi Perguruan Tinggi yang Bernuansa Bela


Negara/Cinta Tanah Air.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
(BNPT) mengeluarkan hasil survei nasional
tentang radikalisme tahun 2020. Hasilnya cukup
mengejutkan yaitu 85% generasi millineal
rentan terpapar paham radikalisme. Pasalnya
generasi millineal lebih banyak ditemukan di
lingkungan kampus. Bercermin dari hal itu,
maka regulasi sangatlah penting untuk
diterapkan dalam kehidupan perkuliahan
sehari-hari. Regulasi dibuat untuk
mengendalikan suatu kelompok atau organisasi
serta masyarakat untuk mencapai tujuan
tertentu. Salah satu penyebab munculnya
paham radikalisme di lingkungan kampus
adalah ketidakadaan regulasi terkait Bela
Negara/Cinta Tanah Air/Kode Etik
Mahasiswa/Surat Pernyataan komitmen
bersedia melaksanakan peraturan kampus
termasuk komitmen kepada 4 konsensus yaitu
Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan
NKRI kepada para mahasiswa khususnya yang
baru memasuki dunia perkuliahan.
-Program Pendampingan UKM/BEM
Media pembelajaran atau pembentukan sikap
mahasiswa tidak sempurna apabila hanya
diadakan melalui pembelajaran di kelas saja.
Melalui organisasi mahasiswa atau yang sering
dikenal dengan ormawa, mahasiswa dapat
menambah skill atau membentuk kepribadian
mereka. Namun, mengingat hasil survei BNPT
diatas 85% generasi millineal rentan terpapar
paham radikalisme. Oleh karena itu, Perguruan
Tinggi diharapkan dapat mendukung dan
melakukan pendampingan serta memasukkan
pembelajaran bela negara kepada UKM/BEM.

-Kerjasama dengan Instansi terkait Pencegahan


Penanggulan Paham Radikalisme
Suatu permasalahan apabila dikerjakan dengan
bersama-sama akan terasa mudah dan cepat
teratasi, begitu juga dengan pencegahan paham
radikalisme di Perguruan Tinggi. Perguruan
Tinggi bisa melakukan kerjasama dengan BNPT
untuk mengatasi pencegahan paham
radikalisme dilingkungan kampus. Kerjasama ini
akan memberikan suatu produk bagaimana
mencari jalan yang terbaik supaya mahasiswa
betul-betul memiliki daya tahan terhadap
paham radikalisme.

-Sosialisasi agar Mahasiswa Memiliki Kesadaran


dan Pengetahuan dalam Memilih Pertemanan
atau Kelompok
Dengan adanya sosialisasi diharapkan para
mahasiswa bisa memilih bergabung dengan
kelompok/organisasi yang sudah memilik
trackrecord yang jelas. Kampus adalah ruang
terbuka, siapa dan apa saja bisa masuk ke
lingkungan kampus. Disinilah para mahasiswa
harus benar-benar cermat dalam memilih
tempat untuk belajar dan mengembangkan
diri.

bahwa Perguruan tinggi mempunyai empat


peran dalam pembangunan bangsa, yakni
sebagai supporter (pendukung), sebagai driver,
enabler, dan sebagai pemicu transformasi.
Menurutnya, peran sebagai supporter
(penopang) adalah peran paling bawah dalam
hierarki.Sebagai driver perguruan tinggi
menggerakkan sekaligus
mengarahkan.Sebagai enabler, perguruan
tinggi bertugas mendobrak ketidakmungkinan
melalui kreativitas dan inovasi.Adapun
sebagai pemicu
transformasi, perguruan tinggi memulai
perubahan transformatif.
“Peran terbaik adalah sebagai pemicu
tranformasi, yakni penggerak perubahan.Maka,
perguruan tinggi harus bergerak
dinamis.Pengajarannya harus berubah, jangan
itu-itu saja.Risetnya harus berkembang, jangan
ituitu saja,” lanjut

Paham radikalisme memiliki tujuan yaitu


mengadakan perubahan untuk merealisasikan
paham mereka dan selalu menggunakan cara
kekerasan serta menentang struktur
masyarakat yang ada. Selain itu, menimbulkan
perubahan dramatis dalam pemerintahan,
seperti revolusi, perang saudara atau perang
antar negara. Mengganti ideologi suatu negara
dengan ideologi kelompoknya, mempengaruhi
kebijakan pembuat keputusan baik dalam
lingkup lokal nasional, regional atau
internasional serta ingin memperoleh
pengakuan politis bahwa merupakan badan
hukum untuk mewakili suatu suku bangsa atau
kelompok nasional. Berdasarkan tujuan
radikalisme di atas dapat disederhanakan
bahwa tujuan radikalisme adalah mengadakan
perubahan yang dilakukan sampai keakarnya
dan selalu menggunakan kekerasan serta
menentang struktur masyarakat yan
menyampaikan, di antara entitas lain,
masyarakat perguruan tinggi adalah yang paling
beruntung. Oleh karena itu, ia mengajak
masyarakat perguruan
tinggi memanjatkan syukur dengan
memberikan sumbangan terbaik bagi bangsa
Perguruan Tinggi mempunyai peran penting dan
strategis dalam menangkal bahaya radikalisme
dan intoleransi yang tumbuh di
masyarakat.”Mahasiswa diharapkan jadi ujung
tombak untuk menangkal tumbuh kembangnya
paham
radikalisme.
1. Faktor Internal
Ada beberapa faktor penyebab munculnya
paham radikalisme dikalangan mahasiswa,
Pertama, mahasiswa berada pada usia yang
selalu ingin melakukan perubahan. Dalam fase
ini, mereka membuka diri terhadap berbagai
informasi. Kedua, terbuka informasi melalui
internet membuat paham radikal bisa
menyebar dengan pesat. Dunia siber adalah
ruang imajiner yang memungkinkan
orangorang untuk membangun identitas dan
dunia mereka yang baru. Sekaligus
menjalin komunikasi dengan orang lain yang
melakukan penyebaran paham radikal. Ketiga,
banyak mahasiswa yang terpapar paham
radikal adalah mereka yang tidak, atau belum
memiliki konsep diri yang jelas. Mahasiswa
radikalis ini memiliki daerah terbuka yang
sempit. Mereka menutup diri dari informasi
yang bertententangan dengan pemahaman
nya. Keempat, adanya pengaruh dari alumni
dan pengurus orgaisasi kemahasiswaan yang
sudah terpapar sebelumnya. Seniorlah yang
mendoktrin juniornya. Berdasarkan penelitian
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
(BNPT) di 15 provinsi terdapat 39 persen
mahasiswa Indonesia terpapar
radikalisme,menurut media informasi dari
internet yg pernah saya baca.

Mahasiswa yang terpapar radikalisme memiliki


ciri-ciri anti sosial, Selain itu, perlu upaya
menumbuhkan rasa nasionalisme kepada
mahasiswa. Misalnya di saat penerimaan
mahasiswa baru. “Kampus juga diminta aktif
membuat regulasi yang jelas di bidang kegiatan
kemahasiswaan mengalami perubahan emosi
dan tingkah laku, mereka memang bergaul
dengan komunitas akan tetapi komunitas atau
organisasi nya tersembunyi atau bersifat
rahasia. Mereka juga kerap menggunakan
kekerasan, untuk meraih keinginannya.
Biasanya berupa gerakan revolusioner atau
perubahan. Mereka juga membuat hoax atau
berita bohong, berita palsu yakni berdasarkan
pikiran dan keinginannya.

Oleh karenanya, kampus berpotensi menjadi


ladang yang basah bagi pertumbuhan dan
penyebaran radikalisme. Sekalipun pendidikan
bukanlah faktor langsung yang dapat
menyebabkan munculnya gerakan radikal yang
berujung pada perilaku teror, akan tetapi
dampak yang dihasilkan dari suatu pendidikan
yang keliru juga sangat berbahaya.
Pendidikan agama khususnya yang harus lebih
diperhatikan. Ajaran agama yang mengajarkan
toleransi, kesantunan, keramahan, membenci
pengerusakan, dan menganjurkan persatuan
tidak sering didengungkan. Retorika pendidikan
yang disuguhkan kepada ummat lebih sering
bernada mengejek daripada mengajak, lebih
sering memukul daripada merangkul, lebih
sering menghardik daripada mendidik. Maka
lahirnya generasi umat yang merasa dirinya dan
kelompoknyalah yang paling benar sementara
yang lain salah maka harus diperangi, adalah
akibat dari sistem pendidikan kita yang salah.

Dan juga ada faktor yang memotivasi sesorang


untuk bergabung dalam jaringan radikalisme.
Motivasi tersebut disebabkan oleh beberapa
faktor .pertama faktor domestik, yakni kondisi
dalam negeri semisal kemiskinan, ketidak adilan
atau merasa kecewa dengan pemerintah. Kedua
faktor internasional, yakni pengaruh lingkungan
luar negeri yang memberikan daya drorong
tumbuhnya sentime keagamaan seperti
ketidakadilan global, politik luar negeri yang
arogan, dan imperialisme, negara modern
adidaya. Ketiga faktor kultural yang sangat
terkait dengan pemahaman keagamaan yang
dangkal. Sikap pemahaman yang radikal dan
dimotivasi oleh berbagai faktor diatas seringkali
dijadikan seorang yang memilih untuk
bergabung dalam aksi jaringan terorisme.

Radikalisme pada mulanya disebarkan oleh


eksitrimisme gagasan jihan, permushan dan
ekstrimisme. Kelompok radikal menyampaikan
bahwa demokrasi dan Indonesia dianggap
sebagai musuh bagi agama. Upaya ini dilakukan
melalui pemnafaatan situs blog, website,
facebook, twitter.
2. faktor Eksternal
Salah satu sasaran radikalisme saat ini adalah di
lingkungan kampus, kenapa demikian? Karena
kampus memiliki pengaruh yang besar dan
signifikan bagi paham radikal jika tidak dicegah
sejak dini. Dapat kita bayangkan bagaimana
pengaruhnya jika seorang yang terpelajar,
dianggap sebagai tokoh panutan di masyarakat
namun menyebarkan paham radikal, sudah
tentu hal ini bukan tanpa pengikut, bahkan
sebaliknya, bisa saja pengikutnya bisa
berpuluhpuluh kali lipat dibandingkan jika yang
menyebarkan paham radikal adalah orang biasa
(tanpa latar belakang pendidikan dan
ketokohan dimasyarakat)

Sekolah-sekolah agama dipaksa untuk


memasukkan kurikulum-kurikulum umum,
sementara sekolah umum alergi memasukan
kurikulum agama, dan tidak sedikit orang-orang
yang terlibat dalam aksi terorisme justru dari
kalangan yang berlatar pendidikan umum,
seperti dokter, insinyur, ahli teknik, ahli sains,
namun hanya mempelajari agama sedikit dari
luar sekolah, yang kebenaran pemahamananya
belum tentu dapat dipertanggungjawabkan,
atau dididik oleh kelompok aliran agama yang
keras dan memiliki pemahaman agama yang
serabutan.

Pahaman ini tidak boleh masuk sedikitpun ke


dalam lingkungan kampus yang bersih dari
nilainilai negatif perusak keutuhan bangsa,
kampus harus menjadi pilar pemersatu bangsa
melalui para lulusan/alumni di berbagai bidang.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi
bangsa Indonesia berkaitan dengan
perkembangan gerakan radikal tersebut adalah
berkembangnya ideologi radikal di dalam
lingkungan perguruan tinggi dengan
menjadikan mahasiswa sebagai target.
Organisasi mahasiswa adalah organisasi yang
beranggotakan mahasiswa untuk mewadahi
bakat, minat dan potensi mahasiswa yang
dilaksanakan di dalam kegiatan. Organisasi ini
dapat berupa organisasi kemahasiswaan
intrakampus, organisasi kemahasiswaan antar
kampus, organisasi ekstra kampus maupun
semacam ikatan mahasiswa kedaerahan yang
pada umumnya beranggotakan lintas atau antar
kampus. Dasarnya organisasi mahasiswa juga
memiliki andil dalam membentuk sikap
nasionalisme mahasiswa, yang kini di
lingkungan kampus sendiri sikap nasionalisme
telah bersaing dengan paham paham
ekstrimisme. Kini nasionalisme menghadapi
tantangan besar dari pusaran peradaban baru
bernama globalisasi. Nasionalisme sebagai basic
drive (kemampuan dasar) serta elan vital (daya
juang) dari sebuah bangsa bernama Indonesia
sedang diuji fleksibilitasnya, dalam arti
kemampuan untuk berubah sehingga selalu
akurat dalam menjawab tantangan zaman.
Fleksibilitas tidaklah mengurangi jiwa
nasionalisme, justru sebaliknya, fleksibilitas
menunjukkan begitu dalamnya nasionalisme
mengakar sehingga dalam waktu bersamaan dia
tetap hidup dan terus-menerus
bermetamorfosis. Saat ini nasionalisme
seakanakan tenggelam, terutama di kalangan
generasi muda Indonesia yang tidak lain adalah
para mahasiswa yang sedang mencari jati diri.
Mahasiswa terbawa arus budaya Barat agar
dianggap telah maju. Pemikiran Barat yang
menjunjung tinggi kebebasan menjadi sesuatu
yang diidam-idamkan. Mereka lebih menyukai
hasil kebudayaan bangsa lain dibandingkan
kebudayaan bangsa sendiri. Inilah antara lain
beberapa gejala, di samping terlihat
berkurangnya sikap nasionalisme di kalangan
pelajar atau generasi muda.
Dalam beberapa media dijelaskan bahwa
paham radikalisme telah berkembang pesat di
dalam dunia kampus. Kampus dalam beberapa
kesempatan telah dijadikan sebagai tempat
kaderisasi dimana mahasiswa didoktrin untuk
mengikuti paham radikal seperti khilafah. Salah
satu narasumber yang pernah menjadi pengikut
salah satu organisasi radikal menyebutkan
bahwa doktrinisasi (cuci otak) paham radikal
terjadi saat menjadi mahasiswa, yang kemudian
dilanjutkan dengan kegiatan pelatihan militer.

Demikian apa yang dapat saya tuliskan. Tulisan


ini berdasarkan beberapa refrensi dan media
yang pernah saya baca, juga baik itu dari media
seperti buku,koran,dan dari beberapa refrensi
yg ada dinternet. Walaupun begitu,sebelum
menuliskan ini saya juga melihat dari realita
bagaimana paham radikalisme itu muncul
dikalangan mahasiswa dilingkungan sekitar
saya. Sekian, semoga bisa menambah
pemahaman dan kesadaran kita tentang bahaya
paham radikalisme ini, terutama dikalangan
mahasiswa seperti kita ini.
3.faktor-faktor yang dapat menyebabkan
kemungkinan terjadinya radikalisme di kampus.

Gerakan Radikalisme Di kampus.

Jaringan kelompok radikal menganggap kampus


memiliki pengaruh yang besar dan signifikan
untuk penyebaran paham radikal Oleh
karenanya kampus kini menjadi salah satu
sasaran strategis untuk pengembangan jaringan
kelompok radikal Perekrutan dan penyebaran
radikalisme di kampus, selain memanfaatkan
media sosial, juga sering memanfaatkan
organisasi dan unit kegiatan mahasiswa sebagai
pintu masuk pengenalan terhadap radikalisme
Mereka menggunakan berbagai pendekatan,
seperti membangun sikap kritis terhadap
Pemerintah, mengusung isu ketidakadilan,
hingga kebencian terhadap negara-negara Barat
dengan dalih telah menindas umat Islam di
belahan negara lain.
Cara berfikir: yang mengharuskan semua
aturan harus dikembalikan ke “agama”
meskipun dengan cara yang kaku hingga
menggunakan cara kekerasan.
Politik: melakukan pemihakan tertentu untuk
menegakkan keadilan dengan cara kekerasan
Kondisi ekonomi dan sosial: memiliki ekonomi
lemah dan biasanya punya pemikiran yang
sempit sehingga mudah dipengaruhi oleh
kelompok radikal.
Psikologis: berawal dari peristiwa pahit dalam
hidup seseorang. Misalnya saja masalah
ekonomi, masalah keluarga, masalah
percintaan, rasa benci dan dendam, semua
masalah ini berpotensi membuat seseorang
menjadi radikal.
Pendidikan: pendidikan yang salah, khususnya
pendidikan agama.
Faktor pemikiran Radikalisme dapat muncul dan
berkembang karena yakin jika segala
sesuatunya harus diubah ke arah yang
kelompoknya inginkan, sekalipun harus
menggunakan cara kekerasan untuk meraih
tujuannya tersebut.

Faktor ekonomi Radikalisme bisa dipengaruhi


oleh faktor permasalahan ekonomi. Karena
manusia akan berusaha sekeras mungkin untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk
menyebarkan suatu paham atau ideologi
dengan cara kekerasan.
Faktor politik Radikalisme bisa muncul dan
berkembang ketika sekelompok orang merasa
pemerintah negara tidak adil kepada rakyatnya
atau hanya mempehatikan segelintir kelompok
saja.
Faktor sosial Radikalisme dapat disebarkan
dengan memengaruhi pemikiran orang lain.
Terlebih lagi jika orang tersebut berpikiran
sempit dan mudah percaya kepada pihak yang
dianggap membawa perubahan ke dalam
hidupnya. Padahal pihak tersebut menyebarkan
suatu paham yang bertentangan dengan
ideologi negaranya.

Faktor psikologis Radikalisme dapat tumbuh dan


berkembang dalam diri seseorang yang memiliki
berbagai permasalahan, rasa benci, serta
dendam. Sehingga berpotensi menjadi radikalis
dan mudah dipengaruhi orang lain.
Faktor pendidikan Radikalisme dapat muncul di
berbagai tempat, termasuk sarana pendidikan.
Ideologi radikalisme bisa dengan mudah
disisipkan dalam pengajaran.
BAB III
PENUTUP
Bangsa Indonesia Pada dasarnya terbentuk dari
mengatasi segala macam perbedaan
etnis,kultural, budaya,suku,agama , dan Bahasa.
Artinya bangsa negara Indonesia dibangun atas
dasar nilai plural dan perbedaan multicultural
yang telah ada dan eksis jauh sebelum ditemu
ciptakannya oleh para founding father
Indonesia.

- Multi Aliran
- Multi Etnis
- Multi Agama
- Multi Ras
- Multi Kepentingan
- Multi Bahasa
- Multi kebudayaan
Pluralitas dan perbedaan multikultural tersevut
berhasil direkatkan oleh founding father
Indonesia melalui kesamaan visi dan tujuan
untuk hidup Bersama melalui ideologi Pancasila
yang kemudian secara sah dijadikan dasar
negara oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945.

Dalam masa orde baru, untuk menanamkan dan


memasyarakatkan kesadaran akan nilai nilai
Pancasila dibentuk satu badan yang bernama
BP7. Badan tersebut merupakan penanggung
jawab (leading sector) terhadap perumusan,
aplikasi, sosialisasi, internalisasi terhadap
pedoman penghayatan dan pengamalan
Pancasila, dalam kehidupan berbangsa,
bermasyarakat dan bernegara.
Saat ini Pancasila adalah ideologi yang terbuka.,
dan sedang diuji daya tahannya terhadap
gempuran, pengaruh dan ancaman ideologi-
ideologi besar lainnya, seperti liberalisme (yang
menjunjung kebebasan dan persaingan),
sosialisme (yang menekankan harmoni),
humanisme (yang menekankan kemanusiaan),
nihilisme (yang menafikan nilai-nilai luhur yang
mapan), maupun ideologi yang berdimensi
keagamaan.
Pancasila, sebagai ideologi terbuka pada
dasarnya memiliki nilai-nilai universal yang
sama dengan ideologi lainnya, seperti
keberadaban, penghormatan akan HAM,
kesejahteraan, perdamaian dan keadilan. Dalam
era globalisasi, romantisme kesamaan historis
jaman lalu tidak lagi merupakan pengikat rasa
kebersamaan yang kokoh. Kepentingan akan
tujuan yang akan dicapai lebih kuat
pengaruhnya daripada kesamaan latar
kesejarahan. Karena itu, implementasi nilai-nilai
Pancasila, agar tetap aktual menghadapi
ancaman radikalisme harus lebih ditekankan
pada penyampaian tiga message berikut :
1. Negara ini dibentuk berdasarkan
kesepakatan dan kesetaraan, di mana di
dalamnya tidak boleh ada yang merasa
sebagai pemegang saham utama, atau warga
kelas satu.

2. Aturan main dalam bernegara telah


disepakati, dan Negara memiliki kedaulatan
penuh untuk menertibkan anggota
negaranya yang berusaha secara sistematis
untuk merubah tatanan, dengan cara-cara
yang melawan hukum.

3. Negara memberikan perlindungan,


kesempatan, masa depan dan pengayoman
seimbang untuk meraih tujuan nasional
masyarakat adil dan makmur, sejahtera,
aman, berkeadaban dan merdeka.

Nilai-nilai Pancasila dan UUD NRI 1945 yang


harus tetap diimplementasikan itu adalah :
• Kebangsaan dan persatuan
• Kemanusiaan dan penghormatan terhadap
harkat dan martabat manusia
• Ketuhanan dan toleransi
• Kejujuran dan ketaatan terhadap hukum dan
peraturan
• Demokrasi dan kekeluargaan
Ketahanan Nasional merupakan suatu kondisi
kehidupan nasional yang harus diwujudkan dan
dibina secara terus menerus secara sinergis dan
dinamis mulai dari pribadi, keluarga, lingkungan
dan nasional yang bermodalkan keuletan dan
ketangguhan yang mengandung kemampuan
pengembangan kekuatan nasional.
Salah satu unsur ketahanan nasional adalah
Ketahanan Ideologi. Ketahanan Ideologi perlu
ditingkatkan dalam bentuk :
Pengamalan Pancasila secara objektif dan
subjektif
Aktualisasi, adaptasi dan relevansi ideologi
Pancasila terhadap nilai-nilai baru
Pengembangan dan penanaman nilai-nilai
Bhinneka Tunggal Ika dalam seluruh kehidupan
berbangsa, bermasyarakat.
Membentengi Pemuda Dari Radikalisme
Pemuda adalah aset bangsa yang sangat
berharga. Masa depan negeri ini bertumpu pada
kualitas mereka. Namun ironisnya, kini tak
sedikit kaum muda yang justru menjadi pelaku
terorisme. Serangkaian aksiterorisme mulai dari
Bom Bali-1, Bom Gereja Kepunton, bom di JW
Marriot dan Hotel Ritz-Carlton,hingga aksi
penembakan Pos Polisi Singosaren di Solo dan
Bom di Beji dan Tambora, melibatkan pemuda.
Sebut saja, Dani Dwi Permana, salah satu pelaku
Bom di JW Marriot dan Hotel Ritz-Carlton, yang
saat itu berusia 18 tahun dan baru lulus SMA.
Fakta di atas diperkuat oleh riset yang dilakukan
Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian
(LaKIP). Dalam risetnya tentang radikalisme di
kalangan siswa dan guru Pendidikan Agama
Islam (PAI) di Jabodetabek, LaKIP menemukan
sedikitnya 48,9 persen siswa menyatakan
bersedia terlibat dalam aksi kekerasan terkait
dengan agama dan moral.
Rentannya pemuda terhadap aksi kekerasan
dan terorisme patut menjadi keprihatinan kita
bersama. Banyak faktor yang menyebabkan
para pemuda terseret ke dalam tindakan
terorisme, mulai dari kemiskinan, kurangnya
pendidikan agama yang damai, gencarnya
infiltrasi kelompok radikal, lemahnya semangat
kebangsaan, kurangnya pendidikan
kewarganegaraan, kurangnya keteladanan, dan
tergerusnya nilai kearifan lokal oleh arus
modernitas negatif.
Untuk membentengi para pemuda dan
masyarakat umum dari radikalisme dan
terorisme,
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
(BNPT), menggunakan upaya pencegahan
melalui kontra-radikalisasi (penangkalan
ideologi). Hal ini dilakukan dengan membentuk
Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme
(FKPT) di daerah, Pelatihan anti radikal-
terorisme bagi ormas, Training of Trainer (ToT)
bagi sivitas akademika perguruan tinggi, serta
sosialiasi kontra radikal terorisme siswa SMA di
empat provinsi.
ada beberapa hal yang patut dikedepankan
dalam pencegahan terorisme di kalangan
pemuda :
Pertama, memperkuat pendidikan
kewarganegaraan (civic education) dengan
menanamkan pemahaman yang mendalam
terhadap empat pilar kebangsaan, yaitu
Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal
Ika. Melalui pendidikan kewarganegaraan, para
pemuda didorong untuk menjunjung tinggi dan
menginternalisasikan nilai-nilai luhur yang
sejalan dengan kearifan lokal seperti toleransi
antar-umat beragama, kebebasan yang
bertanggung jawab, gotong royong, kejujuran,
dan cinta tanah air serta kepedulian antarwarga
masyarakat.
Kedua, mengarahkan para pemuda pada
beragam aktivitas yang berkualitas baik di
bidang akademis, sosial, keagamaan, seni,
budaya, maupun olahraga.
Ketiga, memberikan pemahaman agama
yang damai dan toleran, sehingga pemuda
tidak mudah terjebak pada arus ajaran
radikalisme. Dalam hal ini, peran guru agama di
lingkungan sekolah dan para pemuka agama di
masyarakat sangat penting.
Keempat, memberikan keteladanan kepada
pemuda. Sebab, tanpa adanya keteladanan dari
para penyelenggara negara, tokoh agama, serta
tokoh masyarakat, maka upaya yang dilakukan
akan sia-sia.
Wawasan Adalah cara pandang atau cara
melihat
Kebangsaan Adalah hubungan hukum antara
orang dan negara
WAWASAN Kebangsaan Adalah konsep politik
bangsa Indonesia yang memandang Indonesia
sebagai satu kesatuan wilayah, meliputi tanah
(darat), air (laut) termasuk dasar laut dan tanah
di bawahnya dan udara di atasnya secara tidak
terpisahkan, yang menyatukan bangsa dan
negara secara utuh menyeluruh mencakup
segenap bidang kehidupan nasional yang
meliputi aspek politik, ekonomi, sosial budaya,
dan hankam.
Keberagaman Adalah adalah suatu kondisi pada
kehidupan masyarakat. Perbedaan seperti itu
ada pada suku, bangsa, ras, agama, budaya dan
gender.
Wawasan Kebangsaan dalam kerangka NKRI,
adalah cara kita sebagai bangsa Indonesia di
dalam memandang diri dan lingkungannya
dalam mencapai tujuan nasional yang
mencakup perwujudan Kepulauan Nusantara
sebagai kesatuan politik, sosial budaya,
ekonomi dan pertahanan keamanan, dengan
berpedoman pada falsafah Pancasila dan UUD
1945 atau dengan kata lain bagaimana kita
memahami Wawasan Nusantara sebagai satu
kesatuan POLEKSOSBUD dan HANKAM.

TUJUAN WAWASAN KEBANGSAAN


Mewujudkan Nasionalisme yang tinggi dari
segala aspek kehidupan rakyat indonesia yang
mengutamakan kepentingan Nasional dari
pada kepentingan perorangan, kelompok,
golongan, suku Bangsa atau daerah.
Kepentingan tersebut tetap dihargai agar tidak
bertentangan dari kepentingan Nasional.
• Wawasan kebangsaan mengamanatkan
kepada seluruh bangsa agar menempatkan
persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan
keselamatan bangsa dan negara di atas
kepentingan pribadi atau golongan
• Wawasan kebangsaan mengembangkan
persatuan Indonesia sedemikian rupa
sehingga asas Bhinneka Tunggal Ika
dipertahankan;
• Wawasan kebangsaan tidak memberi tempat
pada patriotisme yang licik;
• Dengan wawasan kebangsaan yang dilandasi
oleh pandangan hidup Pancasila, bangsa
Indonesia telah berhasil merintis jalan
menjalani misinya di tengah-tengah tata
kehidupan di dunia;
• NKRI yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil
dan makmur bertekad untuk mewujudkan
bangsa yang maju dan mandiri serta sejahtera
lahir batin, sejajar dengan bangsa lain yang
sudah maju
Dasar Hukum Bela Negara

Bela Negara adalah sikap dan perilaku warga


negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945 dalam menjalin kelangsungan hidup
bangsa dan negara yang seutuhnya.
Pengertian Bela Negara menurut UU No. 3
Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara adalah
sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai
oleh kecintaannya kepada Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam
menjalin kelangsungan hidup bangsa dan
negara yang seutuhnya.

Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta


dalam upaya pembelaan negara. 2. Pasal 30
ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta
dalam upaya pertahanan dan keamanan negara.
3. Pasal 30 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
Usaha pertahanan dan keamanan negara
dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan
keamanan rakyat semesta oleh TNI dan Polri
sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai
kekuatan pendukung.
4. UU No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan
Negara
5. UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal
68:
“Setiap warga negara wajib ikut serta dalam
upaya pembelaan negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan

SASARAN BELA NEGARA DI LINGKUNGAN


PENDIDIKAN
• SADAR AKAN PERANANNYA SEBAGAI TUNAS
BANGSA
• PAHAM NILAI PERJUANGAN BANGSA,
PAHAM ARTI PEMBANGUNAN BANGSA
• MILIKI WATAK DAN SIKAP PEJUANG,
KSATRIA YANG PENUH JIWA PENGABDIAN
SERTA MILIKI SIKAP ULET DAN PANTANG
MENYERAH.
• MILIKI DISIPLIN TINGGI DAN TUNTUT IPTEK
DENGAN DIDASARI MOTIFASI KUAT.
• MILIKI KEYAKINAN AKAN KEBENARAN DAN
KESAKTIAN PANCASILA SEBAGAI IDIOLOGOI
& FALSAFAH HIDUP.
• MENGHAYATI AJARAN AGAMA
MASINGMASING
• MILIKI KASIH SAYANG DIANTARA SESAMA
DAN MEMBANGUN KERUKUNAN DAN
KERJA SAMA POSITIF DI KAMPUS
• MILIKI SOPAN SANTUN, MENGHARGAI
ORANG TUA, DOSEN DAN SESAMA
MAHASISWWA

Tujuan Fungsi Bela Negara


FUNGSI

1..Sebagai penjaga keutuhan wilayah negara 2.


Sebagai pertahanan negara dari suatu
ancaman
3. Sebagai sebuah panggilan sejarah
4. Sebagai kewajiban masing-masing warga
negara

TUJUAN
1.Menjalankan nilai-nilai Pancasila dan UUD
1945
2. Mempertahankan kelangsungan hidup
bangsa dan negara
3. Melestarikan budaya bangsa yang luhur
4. Melakukan yang terbaik bagi bangsa dan
negara
5. Menjaga identitas dan integritas suatu
bangsa

RADIKALISME & TERORISME


SEBAGAI ANCAMAN KEBHINEKAAN
1. MENGHENDAKI PERUBAHAN SECARA
EKSTREM SESUAI DENGAN KEHENDAK
PENGIKUTNYA.
2. HANYA MEMBENARKAN KELOMPOK/
AJARANNYA (TRUTH CLAIM).
3. FANATISME SEMPIT/DILUAR DIRINYA
ADALAH KAFIR.
4. DALAM MEMAHAMI AGAMA BERSIFAT
TEKTUALIS & SKRIPTUALIS.
5. ISLAMO PHOBIA YANG MELANCARKAN
AKSI DEISLAMISASI, MEMUPUK PAHAM
SEKULARISME.
6. MERENDAHKAN CITRA ISLAM
DIKALANGAN UMAT LAIN.
MEMECAH PERSATUAN & KESATUAN UMAT
ISLAM SERTA DISINTEGRASI BANGSA

Apa Itu Radikalisme


Istilah radikalisme berasal dari bahasa Latin,
yaitu radix yang artinya akar, sumber atau asal
mula. Istilah radikal memiliki arti ekstrem,
menyeluruh fanatik, revolusioner, fundamental.
Sedangkan radikalisme adalah doktrin atau
praktek yang mengenut paham radikal
(Widiana, 2012).

Radikalisme adalah suatu pandangan, paham


dan gerakan yang menolak secara menyeluruh
terhadap tatanan, tertib sosial dan paham
politik yang ada dengan cara perubahan atau
perombakan secara besar-besaran melalui jalan
kekerasan

Kartodirdjo (1985), radikalisme adalah gerakan


sosial yang menolak secara menyeluruh tertib
sosial yang sedang berlangsung dan ditandai
oleh kejengkelan moral yang kuat untuk
menentang dan bermusuhan dengan kaum yang
memiliki hak-hak istimewa dan yang berkuasa.
Menurut para Ahli, radikalisme adalah suatu
ideologi baik ide atau gagasan yang ingin
melakukan perubahan pada sistem sosial dan
politik dengan menggunakan kekerasa yang
ekstrim. Tohir Bawazir (2020) kelompok radikal
menginginkan perubahan yang cepat dan
drastis.

Hasani dan Naipospos (2010), radikalisme


adalah pandangan yang ingin melakukan
perubahan yang mendasar sesuai dengan
interpretasinya terhadap realitas sosial atau
ideologi yang dianutnya.

KELOMPOK RADIKAL YANG TERUS BERUPAYA


MENYEBARKAN PAHAM DAN IDEOLOGINYA KE
BERBAGAI ELEMEN MASYARAKAT. JARINGAN
KELOMOK RADIKAL MEMPUNYAI METODE
YANG SISTEMATIS DALAM MENYEBARKAN
AJARANNYA DAN MEREKRUT ANGGOTANYA.
SEBAGAI CONTOH, PENYEBARAN RADIKALISME
DI KAMPUS, SELAIN MEMANFAATKAN MEDIA
SOSIAL, JUGA SERING MEMANFAATKAN
ORGANISASI DAN UNIT KEGIATAN MAHASISWA
SEBAGAI PINTU MASUK PENGENALAN
TERHADAP RADIKALISME.

Ketegasan sikap pemerintah & DPR dlm hadapi


tindakan kekerasan & anarkisme terutama yg
berlatar belakang
radikalisme a.n. Agama & isu SARA dgn cara;
Kehadiran negara secara cepat & tepat dlm
konflik SARA,
Polri harus didukung agar berani menerapkan
kewenangan bertindak berdasarkan
pertimbangan sendiri (azas diskresi).

Memperkuat UU Kerangka Hukum antara lain;


Kriminalisasi propaganda yg mengarah pada
penanaman kebencian dan penyebaran
permusuhan,
Kriminalisasi terhadap siapapun yg melakukan
pelatihan militer di LN & DN (selain instansi
pemerintah yg berwenang),
Perberat ancaman hukuman.
Realisasikan asset freezing dari Pok teroris

Perkembangan paham radikal yang masuk ke


dunia kampus saat ini adalah suatu ancaman
yang serius bagi eksistensi Pancasila di masa
depan, mengingat mahasiswa merupakan
golongan intelektual yang punya akses lebih
besar untuk mengambil posisi strategis. Oleh
sebab itu, diperlukan pencegahan paham
radikal berupa peran dan fungsi serta kerjasama
antar organisasi keagamaan kampus untuk
menetralisir paham-paham yang bertentangan
dengan Pancasila, serta peran aktif warga dan
secara khusus umat Kristen untuk menyuarakan
nilai-nilai Pancasila. Tak lupa pula, peran
pemerintah untuk membuat cetak biru
kebijakan nasional dalam merestorasi nilai-nilai
Pancasila ke kalangan terpelajar dan
pembersihan kampus dan tempat ibadah dari
organisasi dan paham radikal serta pemberian
sanksi yang tegas terhadap organisasi yang
berupaya menggantikan Pancasila.

Metode Perekrutan Dan Penyebaran Paham


Radikalisme.

Pola konvesional
Sebelumnya pola penyebaran dilakukan secara
terpusat melalui pertemuan tertutup dengan
jumlah pengikut terbatas

Pola Modern
Saat ini, polanya mengalami perubahan yakni
memanfaatkan teknologi informasi, seperti
media sosial, diantaranya twitter, facebook,
Instagram, watsapp, dan telegram.

Penyebaran menggunakan teknologi informasi


kini menjadi pilihan kelompok radikal, karena
penyebarannya dianggap lebih cepat dan
massif. Hal ini mengingat penyebaran melalui
teknologi informasi tidak dibatasi oleh ruang
dan waktu, serta bisa menyasar semua lini
masyarakat dalam waktu yang singkat.

SARAN.

Upaya Untuk Melawan.


1. Memperkuat pendidikan
kewarganegaraan untuk menanamkan
pemahaman yang mendalam terhadap
empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila,
UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika
2. Perlu memberikan pemahaman agama
yang damai dan toleran, sehingga mahasiswa
tidak mudah terjebak pada ajaran
radikalisme.
3. Mengarahkan para mahasiswa untuk ikut
aktif pada beragam aktivitas yang berkualitas
baik di bidang akademis, sosial, keagamaan,
seni, budaya, maupun olahraga.

Berbagai langkah tersebut, jika dapat dilakukan


secara optimal diyakini akan dapat membangun
ketahanan kampus dari ideologi radikalisme.
Kondisi tersebut diyakini akan dapat
memberikan kontribusi positif terhadap upaya
memberantas pengembangan jaringan
kelompok radikal di Indonesia.
Untuk mencegah penyebaran paham radikal,
antara lain dengan semangat menjalankan
nilainilai Pancasila yang terbukti sudah menjadi
alat pemersatu bangsa. Dengan semangat
Pancasila para pemuda dan segenap komponen
bangsa harus merapatkan barisan untuk
mencegah paham radikalisme dan terorisme
demi keutuhan NKRI dan kedamaian di dunia.
Lebih lanjut, Unit Kerja Presiden Pembinaan
Ideologi Pancasila (UKP-PIP) mengenalkan
pendidikan Pancasila gaya baru. Menurut Yudi
Latif (Kepala UKP-PIP) seperti dimuat dalam
(Kompas 20 Juli 2017). Sejalan dengan upaya
diatas, untuk mencegah paham radikalisme
yang dapat merusak cara pandang dan
pemikiran menurut Yenny sebagaimana dikutip
dari
http://news.liputan6.com/read/3034980/radik
al isme-ancaman-nyata-pemuda-tanah-air
diakses 14 Nopember 2017 bahwa Pancasila
menjadi jawaban untuk mencegah radikalisasi
menyusup ke generasi muda. Tidak hanya sila
Ketuhanan Yang Maha Esa, jika sila ke-2 dan ke5
diamalkan dan diwujudkan, ide mengenai
negara khilafah atau ide-ide radikal lainnya tidak
akan diterima masyarakat Indonesia. Namun
demikian, selagi masih banyaknya korupsi yang
dilakukan pejabatpejabat negara, sedang disisi
lain masyarakat miskin masih banyak, ini mudah
sekali jadi ladang subur persemaian
gagasangagasan radikalisme. Mencegah upaya
propaganda paham radikal juga dapat melalui
media. Peran media menjadi hal yang penting
sebagai respon dalam menghadapi ancaman
asimetris, mempunyai peranan sangat strategis
dan efektif yang dapat mempengaruhi, baik
situasi nasional, regional maupun internasional
diberbagai bidang. Kekuatan media dapat
dijadikan alat untuk merubah persepsi, opini
dan kontrol sosial yang mengarah kepada
kebijakan publik. Persepsi dan nilai-nilai yang
disampaikan oleh media massa sering kali
dianggap sebagai persepsi masyarakat secara
keseluruhan. Semakin sering berita tersebut
muncul, maka akan semakin besar pengaruh
yang akan didapatkan. Melalui berita-berita
yang disiarkan, secara tidak langsung telah
memberikan referensi kepada masyarakat
untuk mempengaruhi keputusan politik,
termasuk dalam hal pemberantasan radikalisme
dan terorisme. Upaya untuk mencegah paham
radikal tidak akan berdampak signifikan tanpa
bantuan media, baik cetak, elektronik maupun
online, karena tanpa kehadiran media,
himbauan, fatwa, peringatan dan pemikiran
pemangku kepentingan tidak akan ter ekspose
ke publik. Media massa merupakan elemen
integral dan penting dari masyarakat lokal,
nasional, regional, maupun global untuk
menyediakan berbagai kebutuhan informasi
bagi masyarakat. Karenanya dalam mengatasi
akar terorisme yang bermotif ideologis,
doktrinal, serta penyebarannya yang bervariasi,
sinergitas lembaga aparat keamanan dibantu
dengan peran berbagai pihak, tokoh
masyarakat, organisasi masyarakat, tokoh
politik, tokoh agama, dan kontribusi dari media
sangat diperlukan agar paham radikalisme dan
terorisme di masyarakat tidak berkembang
menjadi kekuatan yang dapat memecah NKRI.
HAM RADIKALISME Pemuda sering dijadikan
target utama oleh para kelompok radikal dalam
penyebaran paham radikal karena pemuda
selama ini mudah sekali untuk dihasut. Namun
sebenarnya, para pemuda tidak hanya
mempunyai peran yang sangat penting dalam
mengatasi masalah ini namun juga potensi
untuk memberantas masalah-masalah
radikalisme di Indonesia. Para pemuda dapat
melakukan hal-hal sebagai berikut: Pemuda
Indonesia sebagai generasi penerus bangsa
dituntut untuk mampu menciptakan suasana
yang nyaman, aman dan kondusif di tengah
perbedaan yang muncul dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Bangsa ini
membutuhkan peran pemuda sebagai
pemersatu keberagaman yang hadir di
Indonesia. Pemuda dapat melakukan kerja sama
dengan tenaga pendidik formal dalam
memberikan informasi mengenai nilai-nilai
agama yang benar. Tidak hanya memberikan
informasi para pemuda juga harus berperan
dalam penanaman nilai agama yang benar
dalam jiwa para anak bangsa. Selain itu arus
informasi gerakan radikalisme di dunia yang
begitu mudah sampai kepada anak bangsa juga
menjadi prioritas perhatian pemuda Indonesia.
Pemuda hendaknya menjadi penyaring
pahampaham negatif yang menyentuh anak
bangsa. Pemuda harus berperan memberikan
penyuluhan ataupun sosialisai berkenaan
dengan radikalisme kepada masyarakat.
Informasi akan mudah sampai di masyarakat
ketika para pemuda turun langsung ke lapangan
berbaur dengan masyarakat dalam
penyampaian bahaya paham tersebut. Dengan
penyuluhan tersebut masyarakat tidak lagi
kebingungan akan hadirnya paham tersebut di
sekitarnya, sehingga masyarakat mampu
menghindari paham tersebut. Paradigma
masyarakat yang masih menganggap sebuah
perbedaan adalah kekacauan juga harus
dihilangkan dalam memori ingatan masyarakat.
Pemuda harus mampu berperan dalam proses
perubahan paradigma tersebut dengan
mengadakan berbagai kegiatan yang mampu
mempererat tali silaturahmi antar kelompok
masyarakat. Kesenjangan sosial antara
kelompok yang satu dengan yang lainnya akan
mudah hilang ketika tali silaturahmi terikat erat
diantara mereka. Gerakan gerakan radikalisme
yang beredar di tengah masyarakat juga
berperan besar dalam penyebaran paham
tersebut. Oleh karenanya, para pemuda perlu
diarahkan pada beragam aktivitas yang
berkualitas baik di bidang akademis, sosial,
keagamaan, seni, budaya, maupun olahraga.
Kegiatan-kegiatan positif ini akan memacu
mereka menjadi pemuda yang berprestasi dan
aktif berorganisasi di lingkungannya sehingga
dapat mengantisipasi pemuda dari pengaruh
ideologi radikal. Pemuda dituntut untuk
membentuk organisasi kemanusiaan atau
organisasi yang mampu melibatkan masyarakat
ke dalam kegiatan yang positif. Dengan
dibentuknya organisasi kemanusiaan tersebut
pemuda berperan sebagai penggerak
masyarakat untuk tetap peduli terhadap orang
lain yang terkena bencana atau musibah
sehingga para pemuda mampu kembali
mempererat tali silaturahmi antar kelompok
masyarakat. Peran-peran tersebut akan berjalan
ketika dalam diri para pemuda telah tertanam
sikap toleran dan keprihatinan terhadap
maraknya kasus perpecahan ataupun pertikaian
di masyarakat. Ketika sikap tersebut telah
tertanam dalam diri pemuda maka dorongan
untuk mempersatukan bangsa
Indonesia akan terus digalakkan dan pemuda
sebagai unsur terpenting di dalamnya.

KESIMPULAN
dapat disimpulkan bahwa peran generasi muda
melalui peningkatkan pengetahuan pendidikan
dan pemahaman agama pada dasarnya
merupakan tempat untuk mencegah gerakan
radikalisme di Indonesia. Ada beberapa hal yang
dapat dilakukan dalam rangka menangkal
paham radikalisme yang dapat merusak cara
pandang dan pemikiran. Pertama,
bersilaturrahim dengan banyak pihak atau
kalangan. Kedua, melakukan banyak kegiatan
membaca dari berbagai referensi. Ketiga,
mempunyai keinginan yang kuat untuk
memperbaiki diri, dan yang terakhir
menetapkan tujuan hidup. Selain itu, pemuda
juga dituntut untuk membentuk sebuah
organisasi kemanusiaan atau organisasi yang
mampu menyibukkan masyarakat ke arah
positif. Dengan dibentuknya organisasi
kemanusiaan tersebut pemuda dapat berperan
sebagai penggerak masyarakat untuk tetap
peduli terhadap sesama atau orang lain. Adapun
beberapa saran yang dapat dikemukakan yaitu
agar para pemuda senantiasa menjaga
silaturrahmi dengan banyak pihak agar orang
yang open-minded atau memiliki cara pandang
yang luas terhadap sebuah persoalan.
Kemudian, pemuda disarankan untuk
memperbanyak referensi bacaan agar
terbentuk mindset dan wawasan yang luas
dalam melihat sebuah persoalan serta
menetapkan tujuan hidup agar tidak mudah
terpengaruh paham dan ajaran radikalisme
yang berbahaya.

Arus globalisasi yang dibarengi dengan


perkembangan teknologi informasi, komunikasi
dan digitalisasi, telah memberikan kemudahan
bagi masyarakat Indonesia untuk mengakses
berbagai ajaran, paham maupun ideologi yang
bertentangan dengan ideologi Pancasila. Media
sosial juga telah dimanfaatkan oleh sekelompok
pihak untuk menyebarkan paham intoleran,
ajaran radikalisme, dan semangat terorisme.
Dalam dunia yang tanpa batas ini, interaksi
antar warga negara di dunia tidak bisa dibatasi
oleh apapun, sehingga memberikan ruang gerak
yang bebas bagi kelompok teroris untuk
menyebarkan paham sesat, mengajarkan cara
membuat bom, menularkan doktrin sesat dan
menganjurkan aksi teror terhadap sasaran yang
telah ditetapkan sebagai toghut dan kafir.
Intoleransi, radikalisme, dan terorisme,
merupakan ancaman bagi eksistensi Pancasila
sebagai ideologi negara, dasar negara, dan
falsafah negara. Pancasila sengaja berupaya
diganti dengan ideologi lain berbasis agama,
NKRI ingin diganti menjadi negara khilafah, dan
bhineka tunggal ika ingin dirubah menjadi
uniformitas, sehingga semua pihak perlu sikap
waspada terhadap sekelompok pihak yang
mengarah pada kelompok radikal yang
berpotensi mengarah pada aksi teror. Sebagai
ideologi negara, Pancasila harus diselematkan
oleh semua komponen bangsa. Semua pihak
harus bertanggungjawab terhadap eksistensi
dan penyelamatan Pancasila, dan bukan hanya
menjadi tanggungjawab TNI/Polri semata.
Nilainilai Pancasila yang didalamnya terdapat
nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai
persatuan, nilai musyawarah mufakat, dan nilai
keadilan, harus diajarkan, dipahami, diketahui,
dihayati, dijiwai dan diamalkan oleh semua
komponen bangsa, khususnya generasi muda
penerus bangsa melalui penyelenggaraan
pendidikan tingkat dasar, mengah maupun
tinggi. Program dan kegiatan untuk
membumikan nilai-nilai Pancasila harus menjadi
agenda prioritas pemerintah agar diserap dan
dijiwai oleh semua komponen bangsa. Nilainilai
Pancasila harus mampu menjadi penangkal,
penangkis, penindak, dan pemulih terhadap
degradasi keimanan dan moralitas sekelompok
masyarakat yang berperilaku intoleran, radikal,
dan melakukan aksi teror.

Maraknya sikap dan perilaku intoleransi di


Indonesia sebenarnya sangat mengkhawatirkan
terhadap keragaman Indonesia yang terbingkai
dalam slogan “Bhineka Tunggal Ika” dan dalam
kerangka rumah besar bernama NKRI, yang
telah terbangun menjadi bangunan negara
bangsa sejak Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Intoleransi merupakan tangga awal dari
terorisme, dimana intoleransi merupakan benih
munculnya radikalisme, yang kemudian akan
menyebabkan aksi terorisme. Terorisme yang
ada di tengah masyarakat berawal dari sikap
dan perilaku intoleransi yang kemudian
termanifestasikan dalam aksi teror. Aksi
terorisme sangat membahayakan kemanusiaan
karena tidak sesuai dengan nilai-nilai keadaban,
pluralisme, multikulturalisme, dan inklusifisme.
Untuk memerangi terorisme, maka diperlukan
upaya mendeteksi akar terorisme yang
bermuara pada sikap intoleransi dan
radikalisme. Para pelaku teror yang selama ini
melakukan aksi terorisme memiliki ideologi
radikal yang cenderung tidak toleran terhadap
keberbedaan, menentang hetergonitas, dan
anti kebhinekaan. Sikap yang tidak mau
berbeda, menganggap dirinya yang paling
benar, memahami bahwa hanya agamanya yang
paling benar, dan bahkan menganggap bahwa
dirinya memiliki otoritas kebenaran, sehingga
meniadakan orang lain, menganggap keyakinan
orang lain salah, serta memaksakan kehendak
agar supaya orang lain sama keyakinannya
dengan dirinya, merupakan cerminan sikap
intoleran, yang akan mengarah pada perilaku
radikal. Radikalisme diwujudkan dengan
melakukan pengrusakan, penistaan,
pengkafiran, dan pembakaran terhadap
fasilitas, benda, orang maupun sarana
prasarana yang dianggap berbeda dan
bertentangan dengan keyakinannnya.
Sikap intoleran, perilaku radikal, dan aksi
terorisme merupakan mata rantai yang saling
berkaitan satu dengan yang lain. Agar supaya
mampu memberantas aksi terorisme, maka
diperlukan upaya untuk meredam perilaku
radikal. Perilaku radikal hanya bisa dicegah
dengan cara menghapus sikap intoleran di
tengah masyarakat. Sikap-sikap toleransi,
kebersamaan, harmoni, kebhinekaan, yang
terbungkus dalam ideologi Pancasila harus
dikedepankan di semua lapisan masyarakat agar
supaya mampu mengikis dan menghilangkan
sikap intoleran. Penanaman rasa toleransi
keberagaman harus terpatri pada masyarakat
Indonesia sejak dini, khususnya sejak jenjang
pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Bahkan
pendidikan dalam keluarga sejak balita harus
dilakukan secara gencar oleh orang tua agar
supaya setiap orang Indonesia memahami
keberagaman, hetergonitas, dan kebhinekaan
secara terbuka, berpikiran terbuka, dan modern
dalam berpikir, bertindak dan berbuat,
sebagaimana amanat dalam Pancasila.
Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa
Pancasila cenderung diabaikan di tengah
masyarakat yang modern, di era globalisasi, dan
di era revolusi industri 4.0. perkembangan
media sosial dan dunia maya yang sangat masif
memungkinkan setiap manusia mendapatkan
akses informasi secara cepat melalui gadget
pribadi sehingga berdampak buruk pada pola
pikir dan gaya hidup generasi muda, khususnya
generasi milenial (Y) dan generasi Z yang serba
konsumeris, hedonis, individualis, dan liberalis.
Selain itu, muncul perilaku anarkis, radikalis, dan
fanatisme tertentu akibat perkembangan
informasi di media sosial yang belum tentu
kebenarannya, dan bahkan cenderung berita
fake atau hoax. Pancasila sebagai ideologi
negara cenderung ditinggalkan oleh masyarakat
Indonesia, khususnya generasi muda,
digantikan oleh ideologi-ideologi lain yang
bertentangan dengan Pancasila. Hasil survei
Cyrus Network tahun 2019 tentang Persepsi
Publik terhadap penerimaan masyarakat pada
ideologi Pancasila menunjukkan bahwa
ditemukan ada 4,7 persen responden yang
secara terang-terangan mendukung
terbentuknya khilafah dan 13 persen
menyatakan Indonesia harus berlandaskan
syariat Islam karena merasa Islam adalah agama
mayoritas. Pancasila dianggap kurang menarik
bagi masyarakat sehingga mereka lebih melirik
Khilafah, yang tentunya hal ini sangat
membahayakan. Survei dari Kementerian Dalam
Negeri (Kemendagri) Tahun 2019 juga
menunjukkan data yang mengkhawatirkan
tentang eksistensi Pancasila sebagai ideologi
negara Indonesia, dimana data survei hasilnya
adalah 19,4 pegawai negeri sipil (PNS) di
Indonesia tidak setuju dengan ideologi
Pancasila. Penolakan terhadap ideologi
Pancasila di kalangan pegawai negeri tersebut
jadi penyebab lemahnya ketahanan nasional
dan membahayakan keamanan nasional.
Penyebab turunnya ketahanan nasional di
negara Indonesia adalah penurunan di masalah
ideologi bangsa, yakni Pancasila. Sekitar 19,4
persen PNS tidak setuju ideologi ancasila, yang
tentunya merupakan data yang sangat
mengagetkan semua pihak. Survei Alvara
Research Center Tahun 2017 juga menemukan
ada sebagian milenial atau generasi kelahiran
akhir 1980-an dan awal 1990-an, yang setuju
dengan konsep khilafah sebagai bentuk negara
Indonesia. Survei ini dilakukan terhadap 4.200
milenial yang terdiri dari 1.800 mahasiswa dan
2.400 pelajar SMA di seluruh Indonesia.
Mayoritas milenial memang memilih Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai
bentuk negara. Namun ada 17,8 persen
mahasiswa dan 18,4 persen pelajar yang setuju
khilafah sebagai bentuk negara ideal sebuah
negara. Survei terhadap kalangan profesional
yang melibatkan 1.200 responden ini dapat
dimaknai bahwa Pancasila saat ini memang
dalam ancaman sehingga diperlukan berbagai
upaya untuk melakukan pembumian Pancasila
di tengah masyarakat. Kementerian Riset,
Teknologi dan Pendidikan Tinggi
(Kemenristekdikti) Tahun 2017 juga melakukan
penelitian dan mengungkapkan hasil riset
bersama LIPI, UI, dan sejumlah peneliti sosial
lainnya di Indonesia tentang radikalisme dan
wawasan kebangsaan pada pelajar dan
mahasiswa. Hasilnya, sekitar 23 persen pelajar
dan mahasiswa siap menegakan sistem khilafah.
Artinya, ternyata kalangan pelajar dan
mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa
malah siap berjihad untuk menegakkan sistem
khilafah, yang jelas-jelas bertentangan dengan
Pancasila. Di kelompok mahasiswa menduduki
23,4 persen pada akhir tahun 2017 yang siap
mengikuti khilafah.
Mahasiswa sebagai tonggak penerus bangsa
dengan perkembangan dunia yang terus maju
dan modern perlunya pengetahuan secara
global tentang paham radikalisme. Melahirkan
calon kader bangsa yang berkemajuan, beradab
dengan daya saing yang global merupakan
tujuan dari Perguruan Tinggi. Urgensi
pengetahuan, pandangan mahasiswa terhadap
radikalisme untuk menghindari pemikiran
mahasiswa yang menyimpang dari kaidah
ideologi. Karakter mahasiswa tercermin dari
perilaku, kehidupan selama di kampus.
Mahasiswa harus memahami kenyataan yang
terjadi pada zamannya, sehingga terhindar dari
paham garis keras. Kegiatan mahasiswa dapat
dikelola dengan baik, dengan penerapan nilai
moral sehingga menjadi kebiasaan mahasiswa.
Ideologi menjadi salah indikator timbulnya
paham radikalisme di Indonesia. Melibatkan
berbagai golongan umat dalam pemerintahan
seperti musyawarah dan penetapan peraturan
hubungan antar umat beragama adalah cara
mencegah timbulnya gerakan radikalisme.
Pemerintah harus netral dalam artian memihak
agama tertentu. Letak Indonesia yang strategis
dan merupakan kumpulan dari pulau-pulau
menyebabkan Indonesia sering dilewati oleh
negara lain. Indonesia terdiri dari beraneka
ragam budaya sehingga radikalisme dapat
dengan mudah masuk dan menyebar di
Indonesia. Radikalisme sudah “menjangkiti”
aliran-aliran sosial, politik, budaya, dan
ekonomi. Di Indonesia, aksi kekerasan (teror)
yang terjadi dilakukan oleh sekelompok orang
yang mengatasnamakan/mendompleng agama
tertentu.

Gerakan radikalisme di Indonesia dapat


merugikan ketatanegaraan NKRI dan juga tidak
sesuai dengan Pancasila. Radikalisme dapat
menjadikan negera dipandang rendah oleh
bangsa lain sehingga ekonomi negara
memburuk, sehingga Pemerintahan Indonesia
harus berupaya memulihkan hal tersebut yang
tentu merugikan ketatanegaraan. Selain itu
radikalisme bertentangan dengan pancasila sila
pertama. Tidak ada satupun agama yang di
Indonesia yang mengajarkan radikalisme untuk
mencapai tujuan dari suatu umat beragama.

Daftar Pustaka
[18.15, 1/12/2021] .: Danim, Sudarwin. (2013).
Menjadi Peneliti
Kualitatif. Jakarta : Pustaka Setia.
Kansil. CST. (2006). Modul Pancasila dan
Kewarganegaraan. Jakarta : PT Pradnya
Paramita.

Latif, Yuddy, (2011). Negara Paripurna.


Jakarta, Penerbit Gramedia Pustaka
Utama.

MS. Kaelan. (1996). Pendidikan Pancasila :


Yuridis Kenegaraan. Yogyakarta :
Penerbit Paradigma.
MS. Kaelan. (2004). Pendidikan Pancasila.
Yogyakarta : Penerbit Paradigma.
Srijanti, A. Rahman H.I., Purwanto S.K.
(2006). Etika Berwarga Negara.
Jakarta: Salemba Empat.
Subagyo, Agus. (2014), Pendidikan
Pancasila Untuk Mahasiswa Kedokteran.
Bandung, Penerbit Alfabeta.
Subagyo, Agus. (2015). Bela Negara :
Peluang dan Tantangan Di Era
Globalisasi. Yogyakarta, Penerbit Graha
Ilmu.
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian
Pendidikan Pendekatan
Kuantitatif, kualitatif, dan R&D.
Bandung: Alfabeta
Syarbaini, Syahrial. (2003). Pendidikan Pancasila
di Perguruan Tinggi.
Jakarta: Ghalia.
https://metro.tempo.co/read/1153860/ja
karta-paling-intoleran-ketiga-
inihasilsurveiselengkapnya/full&view=ok.

https://www.merdeka.com/politik/lipitemukan
-fakta-intoleransimeningkat-di-indonesia.html.
https://mediaindonesia.com/read/detail/
284269-survei-wahid-
instituteintoleransiradikalismecenderung-naik.

https://politik.rmol.id/read/2019/08/09/3
98765/survei-masih-adamasyarakat-
yangmenolakideologi-pancasila.

https://tirto.id/kemendagri-sebut-194- persen-
pns-tak-setuju-ideologipancasila-daef
https://www.cnnindonesia.com/nasional/
20180307191320-20-
281228/survei-alvara-sebagianmilenial-
setujukhilafah.

https://www.liputan6.com/news/read/33
32028/menristekdikti-hasil-survei23-
persenpelajar-siap-tegakkankhilafah.
Smith, A. D. 1979. Nationalist Movement.
London: The
Macmillan Press.
Snyder, L. L. 1964. The Dynamic of Nationalism.
Princeton: D. Van Nostrand Co. Inc.
Shafer, Boyd C. 1955. Nationalism Myth and
Reality.
New York: A Harvest Book Harcourt
Sutrisno, Hadi. 2002. Metodologi Riset.

Yogyakarta:
Andi Ofset
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kualitatif
Kuantitatif
dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2006. Metode


Penelitian
Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya
Suwandi dan Basrori. 2008. Memahami
Penelitian
Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta
Suwarno, dkk. 1992. Rumusan Hasil Seminar
Nasional
Nasionalisme dalam Menyongsong Era
Kebangkitan
Nasional Kedua. Malang: Universitas Merdeka.
Taneko, Soleman. 1986. Konsepsi System Sosial
Dan
System Sosial Indonesia. Jakarta: Fajar Aagung

Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani:


Gagasan, Fakta dab Tantangan, Cetakan I, PT.
Remaja Rosda Karya, Bandung, 1999.
Azyumardi Azra, Konflik Baru Antar Peradaban:
Globalisasi,Radikalisme, dan Pluralitas.
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2000
Harun Nasution, Islam Rasional, Mizan,
Bandung, 1995.

James. M. Henslin, Social Problems, Prentice


Hall, Englewood Cliffs, New Jersey, Second
Edition, 1990. Mizan, Bandung, 1995.
James. M. Henslin, Social Problems, Prentice
Hall, Englewood Cliffs, New Jersey, Second
Edition, 1990.

Anda mungkin juga menyukai