Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN PENDAHULUAN

PSIKOSOSIAL

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Keperawatan Jiwa

Dosen Pembimbing

Indra Maulana, S.Kep., Ners., M.M

Disusun Oleh:

Wawan Junaedi
220112220022

PROGRAM PROFESI NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG
2022
KONSEP KECEMASAN

1. DEFINISI
Kecemasan adalah keadaan mood negatif yang ditandai dengan gejala fisik
ketegangan fisik dan ketakutan tentang masa depan (American Psychiatric Association,
2000; Barlow & Durand, 2012).
Kecemasan adalah suatu perasaan tidak santai yang samar-samar karena
ketidaknyamanan atau rasa takut yang disertai suatu respons (penyebab tidak spesifik
atau tidak diketahui oleh individu). Perasaan takut dan tidak menentu sebagai sinyal
yang menyadarkan bahwa peringatan tentang bahaya akan datang dan memperkuat
individu mengambil tindakan menghadapi ancaman. Kejadian dalam hidup seperti
menghadapi tuntutan, persaingan, serta bencana dapat membawa dampak terhadap
kesehatan fisik dan psikologis. Salah satu contoh dampak psikologis adalah timbulnya
kecemasan atau kecemasan (Yusuf, A.H & ,R & Nihayati, 2015).

2. Teori Penyebab
A. Faktor Predisposisi
Menurut Stuart & Laraia (2005) terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskan
kecemasan, di antaranya sebagai berikut:
a. Teori biologis.
Faktor biologis mencakup masalah biochemical yang ada di otak, salah
satunya gangguan neurotransmitter. Tiga neurotransmitter utama yang terkait
dengan munculnya kecemasan yaitu, NE (Norepinephrine), Serotonin, Gamma-
Aminobutyric Acid (GABA)
1) Norepinephrine
Norepinephrine merupakan respon dari “fight or flight” dan regulasi dari
tidur, suasana hati, dan tekanan darah. Ketika seseorang mengalami stress
akut mungkin memiliki sistem noradrenergik yang teregulasi secara buruk
dan akan terjadi peningkatan dari pelepasan NE. Pusat dari norepinephrine
terletak pada locus ceruleus di pons pars rostralis dan badan selnya
menjulurkan aksonnya ke korteks serebri, sistem limbik, batang otak serta
medula spinalis (Sadock et al., 2010). Aktivitas sistem norepinephrinedalam
tubuh dan otak menghasilkan gejala fisik kecemasan, seperti berkeringat dan
palpitasi, yang dapat menyebabkan orang menjadi khawatir.
2) Serotonin
Badan sel pada sebagaian besar neuron serotonergik berlokasi di nukleus
raphe di batang otak rostral dan berjalan ke korteks serebral, sistem limbik
dan hipotalamus. Pemberian obat serotonergik pada binatang menyebabkan
perilaku yang mengarah pada kecemasan.
3) Gamma-Aminobutyric Acid (GABA)
Peranan GABA dalam gangguan kecemasan telah dibuktikan oleh manfaat
benzodiazepine sebagai salah satu obat beberapa jenis gangguan kecemasan.
Benzodiazepine yang bekerja meningkatkan aktivitas GABA pada reseptor
GABA terbukti dapat mengatasi gejala gangguan kecemasan umum bahkan
gangguan panik. Beberapa pasien dengan gangguan kecemasan diduga
memiliki reseptor GABA yang abnormal. Stimulasi sistem saraf otonom
juga dapat menimbulkan gejala tertentu yang disebabkan oleh pelepasan
epinephrine dari adrenal. Hiperaktivitas sistem saraf otonom akan
mempengaruhi berbagai sistem organ dan menyebabkan gejala takikardi,
diare) dan takipnea.
Di dalam otak manusia terdapat reseptor khusus untuk untuk mengatur
kecemasan. Penghambat GABA juga berperan utama dalam mekanisme biologis
berhubungan dengan kecemasan sebagaimana halnya dengan endorfin. Kecemasan
mungkin disertai dengan gangguan fisik dan selanjutnya menurunkan kapasitas
seseorang untuk mengatasi stresor.

b. Faktor psikologis
1) Teori Psikoanalitik
Kecemasan adalah suatu sinyal kepada ego yang memberitahukan adanya suatu
dorongan yang tidak dapat diterima dan menyadarkan ego untuk mengambil
tindakan defensif terhadap tekanan dari dalam tersebut. Dalam kecemasanterjadi
konflik emosional antara dua elemen kepribadian yaitu id dan superego. Id
mewakili dorongan insting dan impuls primitif, sedangkan superego
mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh norma norma
budaya seseorang. Ego berfungsi menengahi tuntutan dari dua elemen yang
bertentangan dan fungsi kecemasan adalah mengingatkan ego bahwa ada
bahaya.
2) Teori Eksistensial
Teori eksistensial kecemasan memberikan model untuk kecemasan menyeluruh,
dimana tidak terdapat stimulus yang dapat diidentifikasikan secara spesifik
untuk perasaan cemas. Kecemasan timbul dari perasaan takut terhadap tidak
adanya penerimaan dan penolakan interpersonal. Kecemasan berhubungan
dengan perkembangan trauma, seperti perpisahan dan kehilangan, yang
menimbulkan kelemahan spesifik. Orang yang mengalami harga diri rendah
terutama mudah mengalami perkembangan kecemasan yang berat.
3) Teori Perilaku
Teori perilaku menyatakan bahwa kecemasan disebabkan oleh stimuli
lingkungan spesifik. Kecemasan merupakan produk frustasi yaitu segala sesuatu
yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang
diinginkan Pola berpikir yang salah, terdistorsi atau tidak produktif dapat
mendahului atau menyertai perilaku maladaptif dan ganggguan emosional.
Penderita gangguan cemas cenderung menilai lebih terhadap derajat bahaya
dalam situasi tertentu dan menilai rendah kemampuan dirinya untuk mengatasi
ancaman
c. Sosial budaya
Kecemasan merupakan hal yang biasa ditemui dalam keluarga. Ada tumpang
tindih dalam gangguan kecemasan dan antara gangguan kecemasan dengan depresi.
Faktor ekonomi dan latar belakang pendidikan berpengaruh terhadap terjadinya
kecemasan.

B. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dibedakan menjadi berikut.
a. Ancaman terhadap integritas seseorang meliputi ketidakmampuan fisiologis
yang akan datang atau menurunnya kapasitas untuk melakukan aktivitas hidup
sehari hari.
b. Ancaman terhadap sistem diri seseorang dapat membahayakan identitas, harga
diri, dan fungsi sosial yang terintegrasi seseorang.

3. Tanda dan Gejala


Adapun tanda dan gejala kecemasan, yaitu: (Nurhalimah, 2016)
a. Cemas (nafas pendek, nadi, dan tekanan darah naik), khawatir, firasat buruk, takut
akan pikirannya sendiri serta mudah tersinggung
b. Pasien merasa tegang, tidak tenang, gelisah dan mudah terkejut
c. Pasien mengatakan takut bila sendiri, atau pada keramaian dan banyak orang
d. Mengalami gangguan pola tidur dan disertai mimpi yang menegangkan
e. Gangguan konsensstrasi dan daya ingat
f. Adanya keluhan somatik, mis rasa sakit pada otot dan tulang belakang, pendengaran
yang berdenging atau berdebar-debar, sesak napas, mengalami gangguan
pencernaan berkemih atau sakit kepala
Adapun tanda dan gejala kecemasan berdasarkan tingkat kecemasan, yaitu : (Narrow et
al., 2013)
Tingkat Kecemasan Respon Psikologis Respon Fisiologis
Ringan - Pandangan persepsi luas - Resah
- Indera yang tajam - Gelisah
- Peningkatan motivasi - Sulit tidur
- Pemecahan masalah - Hipersensitivitas
efektif terhadap bunyi
- Peningkatan
kemampuan belajar
- Iritabilitas
Sedang - Pandangan persepsi - Tegang otot
terbatas - Diaforesis
- Perhatian selektif - Jantung berdebar
- Tidak dapat - Sakit kepala
menghubungkan pikiran - Mulut kering
atau kejadian secara - Nada suara tinggi
independen - Berbicara lebih cepat
- Peningkatan otomatisasi - Gangguan
gastrointestinal
- Sering berkemih
Berat - Pandangan persepsi pada - Sakit kepala berat
satu detail - Mual, muntah, diare
- Tidak dapat - Menggigil
menyelesaikan tugas - Cara berdiri rigid
- Tidak dapat - Vertigo
menyelesaikan masalah - Pucat
atau belajar secara efektif - Takikardia
- Nyeri dada
- Perilaku untuk
menenangkan kecemasan
dan biasanya tidak efektif
- Tidak respon terhadap
pengalihan arah
- Merasa kagum, takut,
atau ngeri
- Menangis/berteriak
- Perilaku ritualistik
Panik - Pandangan persepsi focus - Bisa melarikan diri
pada diri sendiri atau tidak bergerak dan
- Tidak dapat memproses diam
stimulant lingkungan - Pupil dilatasi
- Persepsi terdistorsi - Peningkatan tekanan
- Kehilangan pikiran darah dan denyut nadi
rasional - Respon flight, fight, or
- Tidak mengenal potensi freeze
bahaya
- Tidak dapat
berkomunikasi secara
verbal
- Delusi dan halusinasi
mungkin terjadi
- Dapat bunuh diri

4. Psikopatologi
Kecemasan merupakan respon dari persepsi ancaman yang diterima oleh sistem syaraf
pusat. Persepsi ini timbul akibat adanya rangsang dari luar serta dari dalam yang berupa
pengalaman masa lalu dan faktor genetik. Rangsangan tersebut dipersepsi oleh panca
indra, diteruskan dan direspon oleh sistem syaraf pusat sesuai pola hidup tiap individu.
Di dalam syaraf pusat, proses tersebut melibatkan jalur Cortex Cerebri – Limbic System
– Reticular – Activating System – Hypothalamus yang memberikan impuls kepada
kelenjar hipofise untuk mensekresi mediator hormonal terhadap target organ yaitu
kelenjar adrenal, yang kemudian memacu sistem syaraf otonom melalui mediator
hormonal yang lain menyebutkan bahwa di dalam sistem syaraf pusat yang merupakan
mediator-mediator utama dari gejala-gejala kecemasan adalah norepinephrine dan
serotonin. Neurotransmitter dan peptide lain, corticotropin-releasing factor, juga ikut
terlibat. Sistem XVIII syaraf otonom yang berada di perifer, terutama system syaraf
simpatis, juga memperantarai banyak gejala kecemasan (Narrow et al., 2013).

5. Diagnosa Keperawatan
Kecemasan
6. Intervensi
Diagnosa Rencana Keperawatan
Tujuan Tindakan Keperawatan Intervensi
Kecemasan Setelah dilakukan Pada Pasien Pada Pasien
tindakan keperawatan 1) Mendiskusikan SP1 Pasien: Asesmen kecemasan dan latihan relaksasi:
selama 1x24 jam kecemasan: penyebab, a. Bina hubungan saling percaya
kecemasan menurun proses terjadi, tanda dan 1) Mengucapkan salam terapeutik, memperkenalkan diri,
dengan kriteria hasil: gejala, akibat panggil pasien sesuai nama panggilan yang disukai
Generalis Pada Pasien 2) Melatih teknik relaksasi 2) Menjelaskan tujuan interaksi: melatih pengendalian
1) Pasien mampu fisik, pengendalian kecemasan agar proses penyembuhan lebih cepat
mengenal pikiran & emosi 3) Membuat kontrak (inform consent) dua kali pertemuan
kecemasan latihan pengendalian kecemasan
2) Pasien mampu 4) Bantu pasien mengenal kecemasan:
mengatasi a) Bantu pasien untuk mengidentifikasi dan
kecemasan melalui menguraikan perasaannya.
tehnik relaksasi b) Bantu pasien mengenal penyebab kecemasan
3) Pasien mampu c) Bantu klien menyadari perilaku akibat kecemasan
memperagakan dan 5) Latih teknik relaksasi:
menggunakan a) Tarik napas dalam
tehnik relaksasi b) Distraksi
untuk mengatasi
kecemasan. SP2 Pasien: Evaluasi kecemasan, manfaat teknik relaksasi dan
latihan hipnotis diri sendiri (latihan 5 jari) dan kegiatan spiritual
a. Pertahankan rasa percaya pasien
1) Mengucapkan salam dan memberi motivasi
2) Asesmen ulang kecemasan dan kemampuan melakukan
teknik relaksasi
3) Membuat kontrak ulang: latihan pengendalian
kecemasan
4) Latihan hipnotis diri sendiri (lima jari) dan kegiatan
spiritual
Generalisasi Pada Generalisasi Pada Keluarga Generalisasi Pada Keluarga
Keluarga 1) Mendiskusikan kondisi SP1 Keluarga: Penjelasan kondisi pasien dan cara merawat:
1) Keluarga mampu pasien: kecemasan, a. Bina hubungan saling percaya
mengenal masalah penyebab, proses terjadi, 1) Mengucapkan salam terapeutik, memperkenalkan diri
kecemasan pada tanda dan gejala 2) Menjelaskan tujuan interaksi: menjelaskan kecemasan
anggota 2) Melatih keluarga pasien dan cara merawat agar proses penyembuhan lebih
keluarganya merawat kecemasan cepat
2) Keluarga mampu pasien 3) Membuat kontrak (inform consent) dua kali pertemuan
merawat anggota 3) Melatih keluarga latihan cara merawat kecemasan pasien
keluarga yang melakukan follow up 4) Bantu keluarga mengenal kecemasan:
mengalami a) Menjelaskan kecemasan, penyebab, proses terjadi,
kecemasan tanda dan gejala, serta akibatnya
3) Keluarga mampu b) Menjelaskan cara merawat kecemasan pasien: tidak
memfollow up menambah masalah (stres) dengan sikap positif,
anggota keluarga memotivasi cara relaksasi yg telah dilatih perawat
yang mengalami pada pasien
kecemasan. c) Sertakan keluarga saat melatih teknik relaksasi pada
pasien dan minta untuk memotivasi pasien
melakukannya

SP 2 keluarga: Evaluasi peran keluarga merawat pasien, cara


merawat dan follow up
a. Pertahankan rasa percaya keluarga dengan mengucapkan
salam, menanyakan peran keluarga merawat pasien &
kondisi pasien
b. Membuat kontrak ulang: latihan lanjutan cara merawat
dan follow up
c. Menyertakan keluarga saat melatih pasien hipnotis diri
sendiri (lima jari) dan kegiatan spiritual
d. Diskusikan dengan keluarga cara perawatan di rumah,
follow up dan kondisi pasien yang perlu dirujuk (lapang
persepsi menyempit, tidak mampu menerima informasi,
gelisah, tidak dapat tidur) dan cara merujuk pasien
DAFTAR PUSTAKA
Barlow, D. H., & Durand, V. M. (2012). Abnormal Psychology : An Integrative Approach. In J.
Alderman (Ed.), WADSWORTH CENGAGE Learning (6th ed.). Nelson Education, Ltd.
Narrow, W. E., Blazer, D. G., Burke, J. D., & Carpenter, W. E. (2013). American Psychiatric
Assosication: Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorders (5th ed.). American
Psychiatric Association.
Nurhalimah. (2016). Keperawatan Jiwa (1st ed.). Pusdik SDM Kesehatan.
Sadock, Benjamin J. and Sadock V. A., 2010. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi
2. Jakarta : EGC
Stuart, G. W., & Laraia, M. T. (2005). Principles and Practice of Psychiatric Nursing (G. W.
Stuart (ed.)). Elsevier Mosby.
Yusuf, A.H, F., & ,R & Nihayati, H. . (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Buku
Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa, 1–366.
KONSEP KETIDAKBERDAYAAN
1. DEFINISI
Ketidakberdayaan adalah persepsi atau tanggapan klien bahwa perilaku atau tindakan
yang sudah dilakukannya tidak akan membawa hasil yang diharapkan atau tidak akan
membawa perubahan hasil seperti yang diharapkan, sehingga klien sulit mengendalikan
situasi yang terjadi atau mengendalikan situasi yang akan terjadi (Pardede, 2020a).
Ketidakberdayaan adalah persepsi bahwa tindakan seseorang tidak akan mempengaruhi hasil
secara signifikan, persepsi kurang kontrol pada situasi (PPNI, 2017).

2. TEORI PENYEBAB
Faktor Predisposisi (Utami, 2012):
a. Biologi
1) Tidak ada riwayat keturunan (salah satu atau kedua orang tua gangguan jiwa)
2) Gaya hidup (tidak merokok, alkhohol, obat dan zat adiktif) dan pengalaman
penggunaan zat terlarang
3) Menderita penyakit kronis (riwayat melakuka istirahat, riwayat melakukan general
check up, tanggal up, tanggal terakhir periksa)
4) Ada riwayat menderita penjakit jantung, paru-paru, yang mengganggu pelaksana
aktivitas harian pasien
5) Adanya riwayat sakit panas lama saat perkembangan balita sampai kejang-kejang atau
pernah mengalami riwayat trauma kepala yang menimbulkan lesi pada lobus frontal,
temporal dan limbik.
6) Riwayat menderita penyakit yang secara progresif menimbulkan ketidakmampuan,
misalnya: sklerosis multipel, kanker terminal atau AIDS.
b. Psikologi
1) Pengalaman perubahan gaya hidup akibat lingkungan tempat tinggal
2) Ketidakemampuan mengambil keputusan dan mempunyai kemampuan komunikasi
verbal yang kurang atau kurang dapat mengekspresikan perasaan terkait dengan
penyakitnya atau kondisi dirinya.
3) Ketidakmampuan menjalankan peran akibat jalankan peran akibat penyakit yang
secara progresif menimbulkan ketidakmampuan, misalnya: sklerosis multipel, kanker
terminal atau AIDS.
4) Kurang puas dengan kehidupannya (tujuan hidup yang sudah dicapai).
5) Merasa frustasi dengan kondisi kesehatannya dan kehidupannya yang sekarang.
6) Pola asuh orang tua pada saat klien anak hingga remaja yang terlalu otoriter atau terlalu
melindungi/menyayangi
7) Motivasi: penerimaan umpan balik negatif yang konsist aan umpan balik negatif yang
konsisten selama tahap perkembangan balita hingga remaja, kurang minat dalam
mengembangkan hobi dan aktivitas sehari-hari.
8) Pengalaman aniaya fisik, baik sebagai pelaku, korban maupun sebagai saksi
9) Self kontrol: tidak mampu mengontrol perasaan dan emosi, mudah cemas, rasa takut
akan tidak diakui, gaya hidup tidak berdaya
10) Kepribadian: mudah marah, pasif dan cenderung tertutup.
c. Sosial budaya
1) Usia 30-meninggal berpotensi mengalami ketidakberdayaan.
2) Jenis kelamin laki-laki ataupun perempuan mempunyai kecenderungan yang sama
untuk mengalami ketidakberdayaan tergantung dari peran yang dijalankan dalam
kehidupannya.
3) Pendidikan rendah.
4) Kehilangan kemampuan melakukan aktivitas akibat proses penuaan (misalnya:
pensiun, defisit memori, defisit motorik, status finansial atau orang terdekat yang
berlangsung lebih dari 6 bulan).
5) Adanya norma individu atau masyarakat yang menghargai control (misalnya kontrol
lokus internal).
6) Dalam kehidupan sosial, cenderung ketergantungan dengan orang lain, tidak mampu
berpartisipasi dalam sosial kemasyarakatan secara aktif, enggan bergaul dan kadang
menghindar dari orang lain
7) Pengalaman sosial, Pengalaman sosial, kurang aktif dalam kegiatan di masyarakat.
8) Kurang terlibat dalam kegiatan politik baik secara aktif maupun secara pasif.

Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat menstimulasi klien jatuh pada kondisi ketidakberdayaan
dipengaruhi oleh kondisi internal dan eksternal. Kondisi internal dimana pasien kurang dapat
menerima perubahan fisik dan psikologis yang terjadi. Kondisi eksternal biasanya keluarga
dan masyarakat kurang dan masyarakat kurang mendukung atau mengakui keberadaannya
yang sekarang terkait dengan perubahan fisik dan perannya. Sedangkan durasi stressor terjadi
kurang lebih 6 bulan terakhir, dan waktu terjadinya dapat bersamaan, silih berganti atau
hampir bersamaan, dengan jumlah stressor lebih dari satu dan mempunyai kualitas yang berat.
Hal tersebut dapat menstimulasi ketidakberdayaan bahkan memperberat kondisi
ketidakberdayaan yang dialami oleh klien. Faktor-faktor lain yang berhubungan dengan faktor
presiptasi resiptasi timbulnya timbulnya ketidakberdayaan adalah sebagai berikut :
a. Biologis :
1) Menderita suatu penyakit dan harus dilakukan terapi tertentu, Program pengobatan
yang terkait dengan penyakitnya (misalnya jangka panjang, sulit dan kompeks)
(proses intoksifikasi dan rehabilitasi).
2) Kambuh dari penyakit kronis dalam 6 bulan terakhir
3) Dalam enam bulan terakhir mengalami infeksi otak yang menimbulkan kejang atau
trauma kepala yang menimbulkan lesi pada lobus frontal, temporal dan limbik.
4) Terdapat gangguan sistem endokrin
5) Penggunaan alkhohol, obat-obatan, kafein, dan tembakau
6) Mengalami gangguan tidur atau istirahat.
7) Kurang mampu menyesuaikan diri terhadap diri terhadap budaya, ras, etnik, dan
gender
8) Adanya perubahan gaya berjalan, koordinasi dan keseimbangan.
b. Psikologis :
1) Perubahan gaya hidup akibat menderita penyakit kronis
2) Tidak dapat menjalankan pekerjaan, hobi, kesenangan dan aktivitas sosial yang
berdampak pada keputusasaan.
3) Perasaan malu dan rendah diri karena ketidakmampuan melakukan aktivitas
kehidupan sehari-hari akibat tremor, nyeri, kehilangan pekerjaan.
4) Konsep diri: gangguan pelaksanaan peran karena ketidakmampuan melakukan
tanggungjawab peran.
5) Kehilangan kemandirian atau perasaan ketergantungan dengan orang lain.
c. Sosial budaya :
1) Kehilangan pekerjaan dan penghasilan akibat kondisi kesehatan atau kehidupannya
yang sekarang.
2) Tinggal di pelayanan kesehatan dan pisah dengan keluarga (berada dalam lingkungan
perawatan kesehatan).
3) Hambatan interaksi interpersonal akibat penyakit maupun penyebab yang lain.
4) Kehilangan kemampuan melakukan aktivitas akibat proses penuaan (misalnya:
pensiun, defisit memori, defisit motorik, status finansial atau orang terdekat yang
berlangsung dalam 6 bulan terakhir.
5) Adanya perubahan dari status kuratif menjadi status paliatif.
6) Kurang dapat menjalankan kegiatan agama dan keyakinannya dan ketidakmampuan
berpartisipasi dalam kegiatan sosial di masyarakat

3. TANDA DAN GEJALA


Adapun tanda dan gejala (batasan karakteristik) (Townsend, 2010):
a. Ekspresi verbal dari tidak adanya kontrol atau pengaruh atau situasi, hasil atau perawatan
diri.
b. Tidak berpartisipasi berpartisipasi dalam perawatan perawatan atau pengambilan
pengambilan keputusan keputusan saat kesempatan diberikan.
c. Mengekspresikan keragu-raguan yang berkenaan dengan pelaksanaan peran.
d. Segan mengekspresikan perasaan sebenarnya, takut diasingkan dari pengasuh.
e. Apatis dan pasif
f. Ketergantungan pada orang lain yang dapat menghasilkan lekas tersinggung, kebencian,
marah, dan rasa bersalah.

Tanda dan Gejala Mayor (PPNI, 2017) yaitu:


Tanda dan Gejala Mayor
Subjektif Objektif
1. Menyatakan frustasi atau tidak mampu 1. Bergantung pada orang lain
melaksanakan aktivitas sebelumnya

Tanda dan Gejala Minor


Subjektif Objektif
1. Merasa diasingkan 1. Tidak berpartisipasi dalam perawatan
2. Menyatakan keraguan tentang kinerja 2. Pengasingan
peran
3. Menyatakan kurang kontrol
4. Menyatakan rasa malu
5. Merasa tertekan (depresi)

4. PSIKOPATOLOGI
Psikopatologi individu yang mengalami ketidakberdayaan saat ini belum diketahui secara
pasti, namun jika dianalisa dan proses terjadinya berasal dari ketidakmampuan individu dalam
mengatasi masalah sehingga menimbulkan stress yang diawali dengan perubahan respon otak
dalam menafsirkan perubahan yang terjadi. Stres akan menyebabkan korteks serebri
mengirimkan sinyal menuju hipotalamus. Hipotalamus kemudian akan menstimuli saraf
simpatis untuk melakukan perubahan, sinyal dari hipotalamus ini kemudian ditangkap oleh
sistem limbic dimana salah satu bagian pentingnya adalah amigdala yang akan bertanggung
jawab terhadap status emosional individu terhadap akibat dari pengaktifan sistem
hypothalamus pituitary adrenal (HTA) dan menyebabkan kerusakan pada hipotalamus
membuat seseorang kehilangan mood dan motivasi sehingga kurang aktivitas dan malas
melakukan sesuatu, hambatan emosi pada klien dengan ketidakberdayaan, kadang berubah
menjadi sedih atau murung sehingga merasa tidak berguna atau merasa gagal terus menerus
(Stuart & Laraia, 2005)
a. Ketidakberdayaan Situasional
Ketidakberdayaan situasional berhubungan erat dengan personal dan lingkungan sekitar,
seperti perubahan status kuratif menjadi paliatif, perasaan kehilangan control dan
pembatasan gaya hidup, sekunder akibat (sebutkan), pola makan yang berlebihan,
karakteristik personal yang sangat mengontrol nilai (mis., lokus kontrol internal),
pengaruh pembatasan rumah sakit atau lembaga, gaya hidup berupa ketidakmampuan
(helplessness), rasa takut akibat penolakan (ketidaksetujuan), kebutuhan dependen yang
tidak terpenuhi, umpan balik negatif yang terus-menerus, hubungan abusive jangka
panjang, kurangnya pengetahuan, dan mekanisme koping yang tidak adekuat.
b. Ketidakberdayaan Maturasional
Ketidakberdayaan maturasional berhubungan dengan masalah pengasuhan anak dan
peristiwa kehilangan lebih dari satu kali, sekunder akibat penuaan (misalnya pensiun,
defisit sensori, defisit motorik,uang, orang terdekat).

5. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Ketidakberdayaan
6. INTERVENSI
Diagnosa Rencana Keperawatan
Tujuan Intervensi
Ketidakberdayaan Setelah dilakukan SP1 Pasien:
tindakan keperawatan Assesmen ketidakberdayaan dan latihan
selama 1x24 jam berpikir positif
kecemasan menurun a. Bina hubungan saling percaya
dengan kriteria hasil: b. Mengucapkan salam terapeutik,
Generalis Pada Pasien memperkenalkan diri, panggil pasiensesuai
a. Pasien mampu nama panggilan yang disukai
membina c. Menjelaskan tujuan interaksi: melatih
hubungan saling pengendalian ketidakberdayaan agar proses
percaya penyembuhan lebih cepat
b. Pasien mampu d. Membuat kontrak (inform consent) dua kali
mengenali dan pertemuan latihan pengendalian
mengekspresikan ketidakberdayaan
emosinya. e. Bantu pasien mengenal ketidakberdayaan:
c. Pasien mampu 1) Bantu pasien untuk mengidentifikasi
memodifikasi dan menguraikan perasaannya.
pola kognitif yang 2) Bantu pasien mengenal penyebab
negatif ketidakberdayaan
d. Pasien mampu 3) Bantu klien menyadari perilaku akibat
berpartisipasi ketidakberdayaan
dalam 4) Bantu Bantu klien untuk
pengambilan mengekspresikan perasaannya dan
keputusan yang identifikasi area-area situasi
berkenaan dengan kehidupannya yang tidak berada dalam
perawatannya kemampuannya untuk mengontrol
sendiri. 5) Bantu klien untuk mengidentifikasi
e. Pasien mampu faktor-faktor yang dapat berpengaruh
termotivasi untuk terhadap ketidak berdayaannya
aktif mencapai 6) Diskusikan tentang masalah yang
tujuan yang dihadapi klien tanpa memintanya
realistis. untuk menyimpulkan
7) Identifikasi pemikiran yang negatif
dan bantu untuk menurunkan melalui
interupsi atau subtitusi
8) Bantu pasien untuk meningkatkan
pemikiran yang positif
9) Evaluasi ketepatan persepsi, logika
dan kesimpulan yang dibuat pasien
10) Identifikasi persepsi klien yang tidak
tepat, penyimpangan dan pendapatnya
yang tidak rasional
11) Latih mengembangkan harapan positif
(afirmasi positif)
SP2 Pasien:
Evaluasi ketidakberdayaan, manfaat
mengembangkan harapan positif dan latihan
mengontrol perasaan ketidakberdayaan
a. Pertahankan rasa percaya pasien
1) Mengucapkan salam dan memberi
motivasi
2) Asesmen ulang ketidakberdayaan dan
kemampuan mengembangkan pikiran
postif
b. Membuat kontrak ulang: latihan
mengontrol perasaan ketidakberdayaan
c. Latihan mengontrol perasaan
ketidakberdayaan melalui peningkatan
kemampuan mengendalikan situasi yang
masih bisa dilakukan pasien (Bantu klien
mengidentifikasi area-area situasi
kehidupan yang dapat dikontrolnya.
Dukung kekuatan – kekuatan diri yang
dapat di identifikasi oleh klien) misalnya
klien masih mampu menjalankan peran
sebagai ibu meskipun sedang sakit.

Generalisasi Pada Generalis Pada Keluarga


Keluarga SP1 Keluarga:
4) Keluarga mampu Penjelasan kondisi pasien dan cara merawat:
mengenal a. Bina hubungan saling percaya
masalah 1) Mengucapkan salam terapeutik,
kecemasan pada memperkenalkan diri
anggota 2) Menjelaskan tujuan interaksi:
keluarganya menjelaskan ketidakberdayaan pasien
5) Keluarga mampu dan cara merawat agar proses
merawat anggota penyembuhan lebih cepat
keluarga yang 3) Membuat kontrak (inform consent)
mengalami dua kali pertemuan latihan cara
kecemasan merawat ketidakberdayaan pasien
6) Keluarga mampu b. Bantu keluarga mengenal
memfollow up ketidakberdayaan:
anggota keluarga 1) Menjelaskan ketidakberdayaan,
yang mengalami penyebab, proses terjadi, tanda dan
kecemasan. gejala, serta akibatnya
2) Menjelaskan cara merawat
ketidakberdayaan pasien: membantu
mengembangkan motivasi bahwa
pasien dapat mengendalikan situasi
dan memotivasi cara afirmasi positif
yang telah dilatih perawat pada
pasien
Generalis Pada 3) Sertakan keluarga saat melatih
Keluarga afirmasi positif
a. Keluarga mampu
mengenal masalah SP 2 Keluarga:
ketidakberdayaan Evaluasi peran keluarga merawat pasien, cara
pada anggota latihan mengontrol perasaan
keluarganya ketidakberdayaan dan follow up
b. Keluarga mampu a. Pertahankan rasa percaya keluarga
merawat anggota dengan mengucapkan salam, menanyakan
keluarga yang peran keluarga merawat pasien & kondisi
mengalami pasien
ketidakberdayaan b. Membuat kontrak ulang: latihan lanjutan
c. Keluarga mampu cara merawat dan follow up
memfollow up c. Menyertakan keluarga saat melatih pasien
anggota keluarga latihan mengontrol perasaan tidakberdaya
yang mengalami d. Diskusikan dengan keluarga cara
ketidakberdayaan perawatan di rumah, follow up dankondisi
pasien yang perlu dirujuk (klien tidak mau
terlibat dalam perawatan diri) dan cara
merujuk pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Pardede, J. A. (2020). Konsep Ketidakberdayaan. https://doi.org/10.31219/osf.io/hd3g6
Stuart, G. W., & Laraia, M. T. (2005). Principles and Practice of Psychiatric Nursing (G. W.
Stuart (ed.)). Elsevier Mosby.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI). Edisi 1.
Jakarta: Persatuan Perawat Indonesia

Townsend, M.C (2010). Buku Saku Diagnosis Keperawatan Psikiatri rencana Asuhan & Medikasi
Psikotropik. Edisi 5. Jakarta: Penebit Buku Kedokteran EGC
Utami, U. A. P. (2012). Laporan Pendahuluan Ketidakberdayaan.
KONSEP KEPUTUSASAAN

1. DEFINISI
Keputusasaan merupakan keadaan subjektif seorang individu yang melihat keterbatasan
atau tidak ada alternatif atau pilhan pribadi yang tersedia dan tidak dapat memobilisasi energy
yang dimilikinya (NANDA, 2018).
Keputusasaan adalah kondisi individu yang memandang adanya keterbatasan atau tidak
tersedianya alternative pemecahan pada masalah yang dihadapi (PPNI, 2017).

2. TEORI PENYEBAB
Faktor Predisposisi
a. Teori Kehilangan
Teori ini berhubungan dengan faktor perkembangan misalnya kehilangan orang tua pada
masa anak-anak. Teori ini menjelaskan bahwa seseorang tidak berdaya dalam mengatasi
kehilangan.
b. Teori Kepribadian
Model ini menjelaskan bahwa putus asa merupakan masalah kognitif yang didominasi
oleh penilaian negatif seseorang terhadap diri sendiri, lingkungan, dan masa depan.
c. Model Belajar Ketidakberdayaan
Putus asa dimulai dari kehilangan kendali diri kemudian menjadi pasif dan tidak dapat
menyelesaikan masalah. Setelah ini, pada individu timbul keyakinan akan
ketidakmampuan mengendalikan kehidupan sehingga tidak berupaya mengembangkan
respon yang adaptif.
d. Model Perilaku
Putus asa terjadi karena kurangnya pujian positif selama berinteraksi dengan lingkungan.
e. Model Biologis
Pada keadaaan ini, dalam tubuh seseorang terjadi penurunan zat kimiawi yaitu
katekolamin, tidak berfungsinya endokrin dan terjadi peningkatan sekresi dari kortisol.
Faktor Presipitasi
a. Faktor biologis
Bila seseorang mengalami gangguan fisik tertentu, atau pengobatan yang berlangsung
lama menyebabkan seseorang mengalami kondisi putus asa.
b. Faktor Psikologis
Bila seseorang merasa kehilangan kasih saying dari seseorang yang dicintainya atau
kehilangan harga dirinya akan menyebabkan putus asa.
c. Faktor Sosial Budaya
Bila seseorang mengalami kehilangan peran karena adanya perceraian atau kehilangan
pekerjaan karena pemutusan pekerjaan akan menyebabkan kondisi putus asa.

3. TANDA DAN GEJALA


Menurut Keliat et al., (2010) terdapat beberapa tanda dan gejala keputusasaan, yaitu:
a. Klien mengungkapkan situasi kehidupannya seperti tanpa harapan dan hampa.
b. Klien mengeluh dan nampak murung
c. Klien kurang bicara dan tidak mau berbicara sama sekali.
d. Klien menarik diri dari lingkungan.
e. Klien kurang dalam kontak mata.
f. Klien mengangkat bahu tanda masa bodoh.
g. Klien nampak selalu murung atau blue mood.
h. Klien menunjukkan gejala fisik kecemasan (takikardia dan takipneu).
i. Klien menurun atau tidak adanya selera makan
j. Peningkatan waktu tidur.
k. Penurunan keterlibatan dalam perawatan.
l. Bersikap pasif dalam menerima perawatan.
m. Penurunan keterlibatan atau perhatian pada orang lain yang bermakna.
Adapun tanda dan gejala lain, yaitu: (PPNI, 2017)
TANDA DAN GEJALA MAYOR
SUBJEKTIF OBJEKTIF
1. Mengungkapkan keputusasaan 1. Berperilaku pasif

SUBJEKTIF OBJEKTIF
1. Sulit tidur 1. Afek datar
2. Selera makan menurun 2. Kurang inisatif
3. Meninggalkan lawan bicara
4. Kurang terlibat dalam aktivitas
perawatan
5. Mengangkat bahu sebagai respon pada
lawan bicara

4. PSIKOPATOLOGI
Keputusasaan berbeda dengan ketidakberdayaan orang yang putus asa tidak melihat adanya
solusi untuk permasalahannya atau tidak menemukan cara untuk mencapai apa yang
diinginkannya. Sebaliknya orang yang tidak berdaya masih dapat menemukan alternatif atau
untuk masalah tersebut, tetapi tidak mampu melakukan sesuatu untuk mewujudkannya karena
kurangnya kontrol dan sumber yang tersedia. Perasaan tidak berdaya yang tidak kunjung
hilang dapat menimbulkan keputusasaan. Keputusasaan biasanya terkait dengan duka, cita,
depresi, dan keinginan untuk bunuh diri. Untuk individu dengan risiko bunuh diri perawat
juga harus menggunakan risiko bunuh diri. Setiap orang pernah mengalami keputusasaan
dalam hidupnya. Hal ini muncul dalam berbagai bentuk dan merupakan sejenis perasaan yang
lebih sering dan lebih umum dirasakan daripada dilaporkan. Keputusasaan sering terlihat pada
mereka yang cenderung kaku dan tidak fleksibel baik dalam pikiran, perasaan maupun
perilaku. Keputusasaan adalah keadaan dimana seseorang atau individu tidak mampu
memandang kehidupan ke arah yang lebih baik dan cenderung putus asa akan segala
kemampuannya dan kebanyakan ungkapan klien mengarah ke situasi kehidupan tanpa
harapan dan terasa hampa (Keliat, 2010).
PATHWAY (Keliat, 2010)

KETIDAKBERDAYAAN


KEPUTUSASAAN


FAKTOR PREDISPOSISI/
PRESIPITASI

5. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Keputusasaan

6. INTERVENSI
Diagnosa Rencana Keperawatan
Tujuan Tindakan Keperawatan Intervensi
Keputusasaan Setelah dilakukan Pasien Pada Pasien
tindakan keperawatan a. Diskusi tentang kejadian SP 1 Pasien :
selama 1x24 jam yang membuat putus asa, Assesmen keputusasaan dan latihan berfikir positif
kecemasan menurun perasaan/pikiran/perilaku melalui penemuan harapan dan makna hidup
dengan kriteria hasil: yang berubah a. Bina hubungan saling percaya
Generalis Pada Pasien b. Latihan berfikir positif 1) Mengucapkan salam terapeutik,
melalui penemuan memperkenalkan diri, panggil pasien sesuai
nama panggilan yang disukai
a. Mampu mengenal harapan dan makna 2) Menjelaskan tujuan interaksi: melatih
masalah hidup pengendalian perasaan putis asa agar proses
keputusasaannya c. Latihan melakukan penyembuhan lebih cepat
b. Mampu aktivitas untuk b. Membuat kontrak (inform consent) dua kali
memberdayakan menumbuhkan harapan pertemuan latihan pengendalian perasaan putus
diri dalam dan makna hidup. asa
aktivitas c. Bantu pasien mengenal keputusasaan:
c. Mampu 1) Bantu pasien untuk mengidentifikasi dan
menggunakan menguraikan perasaan sedih/ kesendirian/
keluarga sebagai keputusasaannya.
sumber daya 2) Bantu pasien mengenal penyebab putus asa
3) Diskusikan perbedaan antara perasaan dan
pikiran klien terhadap kondisinya dengan
kondisi real kondisi klien
4) Bantu pasien menyadari akibat putus asa
5) Dukung klien untuk mengungkapkan
pengalaman yang mendukung pikiran, perasaan
dan perilaku positif
6) Latih restrukturisasi pikiran melalui latihan
berpikir positif dengan mengidentifikasi
harapan dan penemuan makna hidup

SP 2 Pasien :
Evaluasi keputusaan, manfaat berfikir positif, dan
latihan melakukan aktivitas untuk menumbuhkan
harapan dan makna hidup
a. Pertahankan rasa percaya pasien
1) Mengucapkan salam dan memberi motivasi
2) Asesmen ulang keputusasaan dan kemampuan
melakukan restrukturisasi pikiran
b. Membuat kontrak ulang: cara mengatasi
keputusaaan
c. Diskusikan aspek positif diri sendiri, keluarga, dan
lingkungan
d. Diskusikan kemampuan positif diri sendiri
e. Latih satu kemampuan positif
f. Tekankan bahwa kegiatan melakukan kemampuan
positif berguna untuk menumbuhkan harapan dan
makna hidup

Setelah diberikan Generalisasi Pada Keluarga Generalisasi Pada Keluarga


tindakan keperawatan a. Mendiskusikan kondisi SP1 Keluarga:
selama 1x24 jam pasien: keputusaan, Penjelasan kondisi pasien dan cara merawat:
diharapkan: penyebab, proses terjadi, a. Bina hubungan saling percaya
Generalisasi Pada tanda dan gejala, akibat 1) Mengucapkan salam terapeutik,
Keluarga b. Melatih keluarga memperkenalkan diri
a. Keluarga mampu merawat pasien dengan 2) Menjelaskan tujuan interaksi: menjelaskan
mengenal masalah ansietas keputusasaan pasien dan cara merawat agar
keputusasaan pada c. Melatih keluarga proses penyembuhan lebih cepat
anggota melakukan follow up b. Membuat kontrak (inform consent) dua kali
keluarganya pertemuan latihan cara merawat pasien dengan
b. Keluarga mampu keputusasaan
merawat anggota c. Bantu keluarga mengenal putus asa pada pasien:
keluarga yang 1) Menjelaskan keputusasaan, penyebab, proses
mengalami terjadi, tanda dan gejala, serta akibatnya
keputusasaan 2) Menjelaskan cara merawat pasien dengan putus
c. Keluarga mampu asa: menumbuhkan harapan positif melalui
memfollow up restrukturisasi pikiran melalui penemuan
anggota keluarga harapan dan makna hidup serta melatih
yang mengalami kemampuan positif
keputusasaan 3) Sertakan keluarga saat melatih restrukturisasi
pikiran dan latihan kemampuan positif
SP 2 Keluarga:
Evaluasi peran keluarga merawat pasien, cara merawat
dan follow up
a. Pertahankan rasa percaya keluarga dengan
mengucapkan salam, menanyakan peran keluarga
merawat pasien & kondisi pasien
b. Membuat kontrak ulang: latihan lanjutan cara
merawat dan follow up
c. Menyertakan keluarga saat melatih pasien melatih
kemampuan positif
d. Diskusikan dengan keluarga cara perawatan di
rumah follow up dan kondisi pasien yang perlu
dirujuk (muncul ide bunuh diri atau perilaku
pengabaian diri) dan cara merujuk pasien
DAFTAR PUSTAKA
Herdman, T.H. (2018). NANDA International Nursing Diagnoses: definitions and classification
2018-2020. Jakarta: EGC.
Keliat, Budi Anna, Dkk. 2010. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Edi. Jakarta: EGC
Narrow, W. E., Blazer, D. G., Burke, J. D., & Carpenter, W. E. (2013). American Psychiatric
Assosication: Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorders (5th ed.). American
Psychiatric Association.
Nurhalimah. (2016). Keperawatan Jiwa (1st ed.). Pusdik SDM Kesehatan.
Yusuf, A.H, F., & ,R & Nihayati, H. . (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Buku Ajar
Keperawatan Kesehatan Jiwa, 1–366.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI). Edisi 1.
Jakarta: Persatuan Perawat Indonesia
KONSEP GANGGUAN CITRA TUBUH

1. DEFINISI
Citra tubuh adalah kumpulan dari sikap individu yang disadari dan tidak disadari terhadap
tubuhnya (Stuart & Laraia, 2005; Nurhalimah, 2016). Termasuk dalam hal ini adalah persepsi
tentang masa lalu dan sekarang, serta perasaan tentang ukuran, fungsi, penampilan dan potensi
diri. Citra tubuh merupakan salah satu komponen dari konsep diri dimana konsep diri adalah
semua pikiran, keyakinan dan kepercayaan yang membuat seseorang mengetahui tentang
dirinya dan mempengaruhi hubungannya dengan orang lain. Citra tubuh sebagai sikap,
persepi, keyakinan, pengetahuan individu secara sadar atau tidak sadar terhadap tubuhnya
yaitu ukuran, bentuk, struktur, fungsi, keterbatasan, makna dan objek yang kontak secara terus
menerus baik masa lalu maupun sekarang.
Citra tubuh dipengaruhi oleh pertumbuhan kognitif dan perkembangan fisik. Perubahanm
perkembangan yang normal seperti pertumbuhan dan penuaan mempunyai efek penampakan
yang lebih besar pada tubuh dibandingkan dengan aspek lainnya dari konsep diri (Potter &
Perry, 2005)
Gangguan citra tubuh adalah perubahan persepsi seseorang tentang tubuhnya yang
diakibatkan oleh perubahan ukuran, bentuk, struktur, fungsi, keterbatasan, makna dan objek
yang sering kontak dengan tubuh.

2. TEORI PENYEBAB
Citra tubuh dipengaruhi oleh pertumbuhan kognitif dan perkembangan fisik. Perubahan
perkembangan yang normal seperti pertumbuhan dan penuaan mempunyai efek penampakan
yang lebih besar pada tubuh dibandingkan dengan aspek lainnya dari konsep diri. Selain itu,
sikap dan nilai kultural dan sosial juga mempengaruhi citra tubuh. Pandangan pribadi tentang
karakteristik dan kemampuan fisik dan oleh persepsi dan pandangan orang lain. Cara individu
memandang dirinya mempunyai dampak yang penting pada aspek psikologinya. Pandangan
yang realistik terhadap dirinya, menerima dan mengukur bagian tubuhnya akan membuatnya
lebih merasa aman sehingga terhindar dari rasa cemas dan meningkatkan harga diri. Proses
tumbuh kembang fisik dan kognitif perubahan perkembangan yang normal seperti
pertumbuhan dan penuaan mempunyai efek penampakan yang lebih besar pada tubuh bila
dibandingkan dengan aspek lain dari konsep diri (Potter & Perry, 2012).

3. TANDA DAN GEJALA


Pasien dengan gangguan citra tubuh dapat diketahui bila menunjukkan tanda dan gejala
sebagai berikut (Nurhalimah, 2016) :
a. Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah
b. Tidak menerima perubahan tubuh yang telah terjadi/akan terjadi
c. Menolak penjelasan perubahan tubuh
d. Persepsi negatif pada tubuh
e. Preokupasi dengan bagian tubuh yang hilang
f. Mengungkapkan keputusasaan
g. Mengungkapkan ketakutan
Adapun tanda dan gejala, yaitu : (PPNI, 2017)
TANDA DAN GEJALA MAYOR
SUBJEKTIF OBJEKTIF
1. Mengungkapkan kecacatan/kehilangan 1. Kehilangan bagian tubuh
bagian tubuh 2. Fungsi/struktur tubuh berubah/hilang

TANDA DAN GEJALA MINOR


1. Tidak mau mengungkapkan 1. Menyembunyikan/menunjukkan bagian
kecacatan/kehilangan bagian tubuh tubuh secara berlebihan
2. Mengungkapkan perasaan negatif 2. Menghindari melihat dan/atau menyentuh
tentang perubahan tubuh bagian tubuh
3. Mengungkapkan kekhawatiran pada 3. Focus berlebihan pada perubahan tubuh
penolakan/reaksi orang lain 4. Respon nonverbal pada perubahan dan
4. Mengungkapkan perubahan gaya hidup persepsi tubuh
5. Focus pada penampilan dan kekuatan
masa lalu
6. Hubungan social berubah

4. PSIKOPATOLOGI
Gangguan citra tubuh dapat diakibatkan oleh rendahnya cita-cita seseorang. Hal ini
mengakibatkan berkurangnya tantangan dalam mencapai tujuan. Tantangan yang rendah
menyebabkan upaya yang rendah. Selajutnya hal ini menyebutkan penampilan seseorang yang
tidak optimal. Citra diri rendah muncul saat lingkungan cenderung mengucilkan dan menuntut
lebih dari kemampuanya. Ketika seseorang mengalami gangguan citra tubuh, maka akan
berdampak pada orang tersebut mengisolasi diri dari kelompoknya. Dia akan cenderung
menyendiri dan menarik diri. Gangguan citra diri dapat berisiko terjadi isolasi sosial yaitu
menarik diri. Isolasi sosial menarik diri adalah gangguan kepribadian yang tidak fleksibel pada
tingkah laku yang maladaptive, mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan sosial (Yusuf
et al, 2015).

5. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Gangguan Citra Tubuh
6. INTERVENSI
Diagnosa Rencana Keperawatan
Tujuan Tindakan Keperawatan Intervensi
Gangguan Setelah dilakukan Pasien SP 1 Pasien : Assesmen dan menerima citra tubuh dan
Citra Tubuh tindakan keperawatan a. Asesmen citra tubuh latihan meningkatkan citra tubuh
selama 1x24 jam (gangguan dan a. Bina hubungan saling percaya
kecemasan menurun potensi) dan menerima 1) Mengucapkan salam terapeutik, memperkenalkan
dengan kriteria hasil: keadaan tubuh saat ini diri, panggil pasien sesuai nama panggilan yang
Generalis Pada Pasien; b. Latih cara disukai
a. Pasien dapat meningkatkan citra 2) Menjelaskan tujuan interaksi: melatih
mengidentifikasi tubuh pengendalian ketidakberdayaan agar proses
citra tubuhnya penyembuhan lebih cepat
b. Pasien dapat 3) Membuat kontrak (inform consent) dua kali
mengidentifikasi pertemuan latihan pengendalian gangguan citra
potensi (aspek tubuh
positif) dirinya 4) Bantu pasien mengenal gangguan citra tubuhnya:
c. Pasien dapat a) Bantu pasien untuk mengidentifikasi dan
mengetahui cara- menguraikan perasaannya.
cara untuk b) Bantu pasien mengenal penyebab gangguan
meningkatkan citra citra tubuh
tubuh c) Bantu klien menyadari perilaku akibat
d. Pasien dapat gangguan citra tubuhnya
melakukan cara- d) Diskusikan persepsi pasien tentang citra
cara untuk tubuhnya : dulu dan saat ini, perasaan tentang
meningkatkan citra citra tubuhnya dan harapan terhadap citra
tubuh tubuhnya saat ini.
e. Pasien dapat 5) Diskusikan potensi bagian tubuh yang lain yang
berinteraksi dengan masih sehat
orang lain tanpa 6) Bantu pasien untuk meningkatkan fungsi bagian
terganggu tubuh yang terganggu.
7) Bantu menggunakan bagian tubuh yang masih
sehatBantu pasienmelihat, menyentuh bagian
tubuh yang terganggu
SP2 Pasien: Evaluasi citra tubuh & latihan peningkatan
citra tubuh dan sosialisasi
a. Pertahankan rasa percaya pasien
b. Mengucapkan salam dan memberi motivasi
c. Asesmen ulang citra tubuh dan hasil latihan
peningkatan citra tubuh
d. Membuat kontrak ulang: latihan peningkatan citra
tubuh
e. Motivasi pasien untuk melakukan aktifitas yang
mengarah pada pembentukan tubuh yang ideal
f. Ajarkan pasien meningkatkan citra tubuh dengan cara:
1) Gunakan protese, wig, kosmetik atau yang lainnya
sesegera mungkin, gunakan pakaian yang baru
(jika diperlukan)
2) Motivasi pasien untuk melihat bagian yang hilang
secara bertahap.
g. Lakukan interaksi secara bertahap dengan cara :
1) Susun jadual kegiatan sehari-hari
2) Dorong melakukan aktifitas sehari-hari dan terlibat
dalam aktifitas dalam keluarga dan sosial
3) Dorong untuk mengunjungi teman atau orang lain
yang berarti/mempunyai peran penting baginya.
4) Beri pujian terhadap keberhasilan pasien
melakukan interaksi

Setelah diberikan Generalisasi Pada Generalisasi Pada Keluarga


tindakan keperawatan Keluarga SP1 Keluarga: Penjelasan kondisi pasien dan cara
selama 1x24 jam a. Mendiskusikan kondisi merawat:
diharapkan: pasien gangguan citra a. Bina hubungan saling percaya
Generalisasi Pada tubuh, penyebab, 1) Mengucapkan salam terapeutik, memperkenalkan
Keluarga proses terjadi, tanda diri
a. Keluarga mampu dan gejala, akibat
mengenal masalah
gangguan citra b. Melatih keluarga 2) Menjelaskan tujuan interaksi: menjelaskan
tubuh pada merawat gangguan gangguan citra tubuh pasien dan cara merawat
anggota citra tubuh pasien agar proses penyembuhan lebih cepat
keluarganya c. Melatih keluarga b. Membuat kontrak (inform consent) dua kali pertemuan
b. Keluarga mampu melakukan follow up latihan cara merawat gangguan citra tubuh pasien
merawat anggota c. Bantu keluarga mengenal gangguan citra tubuh:
keluarga yang 1) Menjelaskan gangguan citra tubuh, penyebab,
mengalami proses terjadi, tanda dan gejala, serta akibatnya
gangguan citra 2) Menjelaskan cara merawat gangguan citra tubuh
tubuh pasien: membantu mengembangkan motivasi
c. Keluarga mampu bahwa pasien untuk menerima kondisi tubuhnya
memfollow up yang telah dilatih perawat pada pasien
anggota keluarga 3) Sertakan keluarga saat melatih pasien
yang mengalami meningkatkan citra tubuh
ketidakberdayaan
SP 2 Keluarga: Evaluasi peran keluarga merawat pasien,
mengatasi gangguan citra tubuh melalui aktifitas yang
mengarah pada pembentukan tubuh yang ideal dan follow
up
a. Pertahankan rasa percaya keluarga dengan
mengucapkan salam, menanyakan peran keluarga
merawat pasien & kondisi pasien
b. Membuat kontrak ulang: latihan lanjutan cara merawat
dan follow up
c. Menyertakan keluarga saat melatih pasien mengatasi
gangguan citra tubuh melalui aktifitas yang mengarah
pada pembentukan tubuh yang ideal
d. Diskusikan dengan keluarga cara perawatan di rumah,
follow up dan kondisi pasien yang perlu dirujuk
(penolakan terhadap perubahan diri bersifat menetap
dan tidak mau terlibat dalam perawatan diri) dan cara
merujuk pasien
DAFTAR PUSTAKA
Narrow, W. E., Blazer, D. G., Burke, J. D., & Carpenter, W. E. (2013). American Psychiatric
Assosication: Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorders (5th ed.). American
Psychiatric Association.
Nurhalimah. (2016). Keperawatan Jiwa (1st ed.). Pusdik SDM Kesehatan.
Potter PA & Perry AG. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik
Edisi 4, Jakarta: EGC.
Potter, A & Perry, A 2012, Buku ajar fundamental keperawatan; konsep, proses, dan praktik, vol.2,
edisi keempat, EGC, Jakarta.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI). Edisi 1.
Jakarta: Persatuan Perawat Indonesia
Yusuf, A.H, F., & ,R & Nihayati, H. . (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Buku Ajar
Keperawatan Kesehatan Jiwa, 1–366.
KONSEP HARGA DIRI RENDAH SITUASIONAL

1. DEFINISI
Harga diri rendah situasional adalah evaluasi diri negatif yang berkembang sebagai respons
terhadap hilangnya atau berubahnya perawatan diri seseorang yang sebelumnya mempunyai
evaluasi diri positif (NANDA, 2018).
Harga diri rendah situasional merupakan evaluasi atau perasaan negatif terhadap diri
sendiri atau kemampuan klien sebagai respon terhadap situasi saat ini ( PPNI, 2017).
Harga diri rendah situasional adalah kondisi seseorang menilai keberadaan dirinya lebih
rendah dibandingkan orang lain berpikir adalah hal negative diri sendiri sebagai individu yang
gagal mampu, dan tidak berprestasi (Keliat, 2009).

2. TEORI PENYEBAB
Menurut Fitria (2012) faktor penyebab harga diri rendah yaitu:
a. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah adalah penolakan orangtua yang tidak
realistis, kegagalan berulang kali, kurang mempunyai tanggung jawab personal,
ketergantungan pada orang lain, ideal diri yang tidak realistis.
b. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah yaitu hilangnya sebagian anggota tubuh,
perubahan penampilan atau bentuk tubuh, mengalami kegagalan, serta menurunnya
produktivitas.
Gangguan konsep diri: harga diri rendah ini dapat terjadi secara situasional maupun
kronik:
1) Situasional : Gangguan konsep diri: harga diri rendah kronis yang terjadi secara
situasional bisa disebabkan oleh trauma yang muncul secara tiba tiba misalnya harus
dioperasi, mengalami kecelakaan, menjadi korban pemerkosaan, atau menjadi
narapidana sehingga haru masuk penjara. Selain itu, dirawat dirumah sakit juga bisa
menyebabkan rendahnya harga diri seseorang dikarenakan penyakit fisik, pemasangan
alat bantu yang membuat klien tidak nyaman, harapan yang tidak tercapai akan
struktur, bentuk, dan fungsi tubuh, serta perlakuan petugas kesehatan yang kurang
menghargai klien dan keluarga.
2) Kronik : Gangguan konsep diri: harga diri rendah biasanya sudah berlangsung sejak
lama yang dirasakan klien sebelum sakit atau sebelum dirawat. Klien sudah memiliki
pemikiran negatif sebelum dirawat dan menjadi semakin meningkat saat dirawat.
Harga diri rendah kronis merupakan proses kelanjutan dari harga diri rendah
situasional yang tidak diselesaikan atau dapat juga terjadi karena individu tidak pernah
mendapatkan feed back dari lingkungan tentang perilaku klien sebelumnya bahkan
mungkin kecenderungan lingkungan yang selalu memberi respon negative untuk
mendorong individu menjadi harga diri rendah. Harga diri rendah kronis disebabkan
banyak faktor. Awalnya individu berada pada situasi yang penuh dengan stressor.
Penilaian individu terhadap diri sendiri karena kegagalan menjalankan fungsi dan
peran adalah kondisi harga diri rendah situasional, jika lingkungan tidak memberi
dukungan positif atau justru menyalahkan individu dan terjadi secara terus menerus
akan mengakibatkan individu mengalami harga diri rendah kronis.
Faktor predisposisi maupun presipitasi dapat mempengaruhi seseorang dalam berpikir,
bersikap maupun bertindak maka akan dianggap mempengaruhi terhadap koping individu
tersebut sehingga menjadi tidak efektif (mekanisme koping individu tidak efektif). Bila
kondisi pada klien tidak mau bergaul dengan orang lain (isolasi sosial: menarik diri), yang
menyebabkan klien asik dengan dunia dan pikirannya sendiri sehingga dapat muncul
perilaku kekerasan.

3. TANDA DAN GEJALA


Adapun tanda dan gejala harga diri rendah situasional, yaitu: (PPNI, 2017)
TANDA DAN GEJALA MAYOR
SUBJEKTIF OBJEKTIF
1. Menilai diri negative (mis. tidak 1. Berbicara pelan dan lirih
berguna, tidak tertolong) 2. Menolak berinteraksi dengan orang lain
2. Merasa malu/bersalah 3. Berjalan menunduk
3. Melebih-lebihkan penilaian negatif 4. Postur tubuh menunduk
tentang diri sendiri
4. Menolak penilaian positif tentang diri
sendiri

TANDA DAN GEJALA MINOR


SUBJEKTIF OBJEKTIF
1. Sulit berkonsentrasi 1. Kontak mata kurang
2. Lesu dan tidak bergairah
3. Pasif
4. Tidak mampu membuat keputusan

4. PSIKOPATOLOGI
Harga diri rendah muncul apabila lingkungan cenderung mengucilkan dan menuntut lebih
dari kemampuannya. Proses terjadinya harga diri rendah disebabkan karena sering disalahkan
pada masa kecil jarang diberi pujian atas keberhasilannya. Individu pada saat mencapai masa
remaja keberadaannya kurang dihargai, tidak diberi kesempatan dan tidak diterima.
Menjelang dewasa awal sering gagal di sekolah, pekerjaan,atau pergaulan (Keliat, 2009).

Pathway (Stuart, 2013)


Faktor Predisposisi

Mempengaruhi harga diri mempengaruhi penampilan peran mempengaruhi identitas


• Penolakan orang tua ↓ peran
• Harapan orang tua Stressor presipitasi ↓
yang tidak realistis ↓ ketidakpercayaan orang
• Kegagalan yang Trauma ketegangan peran tua tekanan dari kelompok
Berulang ↓ sebaya, perubahan struktur
• Kurang mempunyai Penilaian terhadap stressor sosial
tanggung jawab ↓
personal Sumber-sumber koping
• Ketergantungan pada ↓
orang lain Integritas ego
• Ideal diri yang tidak ↓
Realistis Mekanisme Koping

Jangka Pendek Jangka Panjang Berorientasi Ego

RENTANG RESPON KONSEP DIRI


Konstruktif Destruktif

Respon Adaptif

Aktualisasi diri Konsep Diri Harga Diri Rendah Difusi Identitas Depersonalisasi

5. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Harga Diri Rendah Situasional
6. INTERVENSI
Diagnosa Rencana Keperawatan
Tujuan Tindakan Keperawatan Intervensi
Harga Diri Setelah dilakukan Pasien SP1 Pasien: Asesmen harga diri rendah dan latihan
Situasional tindakan keperawatan a. Mendiskusikan harga melakukan kegiatan positif:
selama 1x24 jam diri rendah : penyebab, a. Bina hubungan saling percaya
kecemasan menurun proses terjadinya 1) Mengucapkan salam terapeutik, memperkenalkan
dengan kriteria hasil: masalah, tanda dan diri, panggil pasien sesuai nama panggilan yang
Generalis Pada Pasien; gejala dan akibat disukai
a. Klien mampu b. Membantu pasien 2) Menjelaskan tujuan interaksi: melatih
meningkatkan mengembangkan pola pengendalian ansietas agar proses penyembuhan
kesadaran tentang pikir positif lebih cepat
hubungan positif c. Membantu b. Membuat kontrak (inform consent) dua kali
antara harga diri mengembangkan pertemuan latihan pengendalian ansietas
dan pemecahan kembali harga diri c. Bantu pasien mengenal harga diri rendah:
masalah yang positif melalui melalui 1) Bantu pasien untuk mengidentifikasi dan
efektif kegiatan positif menguraikan perasaannya.
b. Klien mampu 2) Bantu pasien mengenal penyebab harga diri
melakukan rendah
keterampilan 3) Bantu klien menyadari perilaku akibat harga diri
positif untuk rendah
meningkatkan 4) Bantu pasien dalam menggambarkan dengan jelas
harga diri keadaan evaluasi diri yang positif yang terdahulu
c. Klien mampu d. Bantu pasien mengidentifikasi strategi pemecahan
melakukan yang lalu, kekuatan, keterbatasan serta potensi yang
pemecahan dimiliki
masalah dan e. Jelaskan pada pasien hubungan antara harga diri dan
melakukan umpan kemampuan pemecahan masalah yang efektif
balik yang efektif f. Diskusikan aspek positif dan kemampuan diri sendiri,
d. Klien mampu keluarga, dan lingkungan
menyadari g. Latih satu kemampuan positif yang dimiliki
hubungan yang h. Latih kemampuan positif yang lain
positif antara
harga diri dan i. Tekankan bahwa kegiatan melakukan kemampuan
kesehatan fisik positif berguna untuk menumbuhkan harga diri positif

SP 2 Pasien : Evaluasi harga diri rendah, manfaat latihan


melakukan kemampuan positif, yaitu melatih
kemampuan positif
a. Pertahankan rasa percaya pasien
1) Mengucapkan salam dan memberi motivasi
2) Asesmen ulang harga diri rendah dan kemampuan
melakukan kegiatan positif
b. Membuat kontrak ulang: cara mengatasi harga diri
rendah
c. Latih kemampuan positif ke 2
d. Evaluasi efektifitas melakukan kegiatan positif untuk
meningkatkan harga diri
e. Tekankan kembali bahwa kegiatan melakukan
kemampuan positif berguna untuk menumbuhkan
harga diri

Setelah diberikan Generalisasi Pada Keluarga Generalisasi Pada Keluarga


tindakan keperawatan a. Mendiskusikan kondisi SP1 Keluarga: Penjelasan kondisi pasien dan cara
selama 1x24 jam pasien: keputusaan, merawat:
diharapkan: penyebab, proses terjadi, a. Bina hubungan saling percaya
Generalisasi Pada tanda dan gejala, akibat 1) Mengucapkan salam terapeutik, memperkenalkan
Keluarga b. Melatih keluarga diri
a. Keluarga mampu merawat pasien dengan 2) Menjelaskan tujuan interaksi: menjelaskan
mengenal masalah harga diri rendah keputusasaan pasien dan cara merawat agar
harga diri rendah c. Melatih keluarga proses penyembuhan lebih cepat
pada anggota melakukan follow up b. Membuat kontrak (inform consent) dua kali
keluarganya pertemuan latihan cara merawat pasien dengan harga
b. Keluarga mampu diri rendah
merawat anggota c. Bantu keluarga mengenal putus asa pada pasien:
keluarga yang 1) Menjelaskan harga diri rendah, penyebab, proses
mengalami harga terjadi, tanda dan gejala, serta akibatnya
diri rendah 2) Menjelaskan cara merawat pasien dengan harag
c. Keluarga mampu diri rendah: menumbuhkan harga diri positif
memfollow up melalui melakukan kegiatan positif
anggota keluarga 3) Sertakan keluarga saat melatih latihan
yang mengalami kemampuan positif
harga diri rendah
SP 2 Keluarga: Evaluasi peran keluarga merawat pasien,
cara merawat dan follow up
a. Pertahankan rasa percaya keluarga dengan
mengucapkan salam, menanyakan peran keluarga
merawat pasien & kondisi pasien
b. Membuat kontrak ulang: latihan lanjutan cara
merawat dan follow up
c. Menyertakan keluarga saat melatih pasien melatih
kemampuan positif ke 2
d. Diskusikan dengan keluarga cara perawatan di
rumah, follow up dan kondisi pasien yang perlu
dirujuk (kondisi pengabaian diri dan perawatan
dirinya) dan cara merujuk pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Fitria, Nita. 2012. Prinsip Dasar dan Amplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan. Jakarta: Salemba Medika.

Keliat, Budi Anna. (2009). Proses Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC

Stuart, G. W., & Laraia, M. T. (2005). Principles and Practice of Psychiatric Nursing (G. W.
Stuart (ed.)). Elsevier Mosby.

Stuart, G. W. (2013). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI). Edisi
1. Jakarta: Persatuan Perawat Indonesia
KONSEP DISTRESS SPIRITUAL

1. DEFINISI
Distress spiritual merupakan gangguan pada keyakinan atau sistem nilai berupa
kesulitan merasakan makna dan tujuan hidup melalui hubungan dengan diri, orang lain,
lingkungan atau tuhan (PPNI, 2017).
Distress spiritual adalah suatu keadaan yang berhubungan dengan hambatan
kemampuan untuk mengalami makna kehidupan melalui hubungan dengan diri sendiri,
dunia,atau kekuatan yang Maha Tinggi (Nanda, 2018).

2. TEORI PENYEBAB
a. Faktor Predisposisi
Gangguanpada dimensi biologis akan mempengaruhi fungsi kognitif seseorang
hingga akan mengganggu proses interaksi dimana dalam proses interaksi ini akan jadi
transfer pengalaman yang penting bagi perkembangan spiritual seseorang.
Faktor predisposisi sosiokultural meliputi usia, gender, pendidikan, pendapatan,
okupasi, posisi social, latar belakang budaya, keyakinan, politik, pengalaman social
tingkatan social.
b. Faktor Presipitasi
1) Kejadian stressfull
Kejadian Stresfull Mempengaruhi perkembangan spiritual seseorang dapat terjadi
karena perbedaan tujuan hidup, kehilangan hubungan dengan orang yang terdekat
karena kematian, kegagalan dalam menjalin hubungan baik dengan diri sendiri,
orang lain, lingkungan dan zat yang maha tinggi.
2) Ketegangan Hidup
Beberapa ketegangan hidup yang berkonstribusi terhadap terjadinya distres
spiritual adalah ketegangan dalam menjalankan ritual keagamaan, perbedaan
keyakinan dan ketidakmampuan menjalankan peran spiritual baik dalam keluarga,
kelompok maupun komunitas.

3. TANDA DAN GEJALA


Adapun tanda dan gejala distress spiritual yaitu: (PPNI, 2017)
TANDA DAN GEJALA MAYOR
SUBJEKTIF OBJEKTIF
1. Mempertanyakan makna/tujuan 1. Tidak mampu beribadah
hidupnya 2. Marah pada tuhan
2. Menyatakan hidupnya terasa
tidak/kurang bermakna
3. Merasa menderita/tidak berdaya

TANDA DAN GEJALA MINOR


SUBJEKTIF OBJEKTIF
1. Menyatakan hidupnya terasa 1. Menolak berinteraksi dengan
tidak/kurang tenang orang terdekat/pemimpin spiritual
2. Mengeluh tidak dapat menerima 2. Tidak mampu berkreativitas (mis.
(kurang pasrah) nyanyi, mendengarkan musik,
3. Merasa bersalah menulis)
2. Merasa terasing 5. Koping tidak efektif
3. Menyatakan telah diabaikan 6. Tidak berminat pada alam/literatur
spiritual

3. PSIKOPATOLOGI

Harga diri
rendah

Berhubungan dengan tantangan pada sistem keyakinan atau perpisahan dari ikatan spiritual
sekunder akibat : kehilangan bagian atau fungsi tubuh, penyakit terminal, penyakit yang
membuat kondisi lemah, nyeri, trauma, keguguran, kelahiran, dan mati.

4. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Distress Spiritual
5. INTERVENSI
Diagnosa Rencana Keperawatan
Tujuan Tindakan Keperawatan
Distress Setelah dilakukan tindakan Tindakan pada klien
Spiritual keperawatan selama 1x24 jam Tindakan keperawatan ners
diharapkan distress spiritual a. Kaji tanda dan gejala distress
menurun dengan kriteria hasil: spiritual
1. Kognitif, klien mampu: b. Jelaskan proses terjadinya
a. Menyampaikan penderita distress spiritual
yang dialami c. Diskusikan dengan klien:
b. Mengenali makna hidup 1) Penderitaan yang dialami
dan kekuatan yang maha 2) Kekuatan yang maha tinggi
tinggi (Tuhan)
2. Psikomotor, klien mampu: 3) Makna hidup
a. Membuat daftar makna d. Latih kegiatan hidup sehari-hari
hidup dan memaknainya
b. Melakukan kegiatan e. Latih kegiatan ritual spiritual dan
kehidupan yang berguna memaknainya
c. Melakukan ritual spiritual f. Berikan pujian dan motivasi
dan merasakan maknanya dalam melakukan kegiatan
3. Afektif, klien mampu: sehari-hari dan ritual spiritual
a. Merasakan kekuatan yang Tindakan pada keluarga
mahakuasa Tindakan keperawatan ners
b. Merasakan diperhatikan a. Kaji masalah yang dirasakan
dan dicintai oleh orang keluarga dalam merawat klien
terdekat b. Jelaskan pengertian, tanda dan
c. Merasakan kebahagiaan gejala, serta proses terjadinya
hidup distress spiritual serta
memutuskan cara merawat.
c. Latih keluarga cara merawat dan
membimbing klien
meningkatkan ritual spiritual dan
manfaatnya sesuai dengan
asuhan yang telah diberikan
kepada klien
d. Latih keluarga untuk
menciptakan suasana yang
mendukung klien melakukan
kegiatan bermakna
e. Diskusikan tanda dan gejala
distress spiritual yang
memerlukan rujukan segera serta
menganjurkan follow up ke
fasilitas pelayanan kesehatan
secara teratur
DAFTAR PUSTAKA
Keliat, Budi Anna. (2019). Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta:EGC
NANDA. (2018). International Nursing Diagnoses: definitions and classification 2018-2020.
Jakarta: EGC.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan
Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.
KONSEP DUKA CITA

1. DEFINISI
Berduka merupakan respon psikososial yang ditunjukkan oleh klien akibat kehilangan
(orang, objek, fungsi, status, bagian tubuh atau hubungan) (PPNI, 2017).
Duka cita adalah suatu proses kompleks yang normal meliputi respons dan perilaku
emosional, fisik, spiritual, social, dan intelektual ketika individu, keluarga, dan komunitas,
memasukkan kehilangan yang actual, adaptif, atau dipersepsikan kedalam kehidupan mereka
sehari-hari (Nanda, 2018).
2. TEORI PENYEBAB
Menurut Keliat (2019) penyebab duka cita yaitu:
a. Kematian anggota keluarga atau orang yang berarti
b. Antisipasi kematian keluarga atau orang yang berarti
c. Kehilangan (objek, pekerjaan, fungsi, status, bagian tubuh, hubungan social)
d. Antisipasi kehilangan (objek, pekerjaan fungsi, status, bagian tubuh, hubungan social)

3. TANDA DAN GEJALA


TANDA DAN GEJALA MAYOR
SUBJEKTIF OBJEKTIF
1. Merasa sedih 1. Menangis
2. Merasa bersalah atau menyalahkan 2. Pola tidur berubah
orang lain 3. Tidak mampu berkonsentrasi
3. Tidak menerima kehilangan
4. Merasa tidak ada harapan

TANDA DAN GEJALA MINOR


SUBJEKTIF OBJEKTIF
1. Mimpi buruk atau pola mimpi berubah 1. Marah
2. Merasa tidak berguna 2. Tampak panik
3. Fobia 3. Fungsi imunitas terganggu

4. PSIKOPATOLOGI
Duka cita dapat terjadi melalui beberapa proses, yaitu: (Yosep & Sutini, 2007)
a. Stressor (internal atau eksternal) menyebabkan terjadinya gangguan dan kehilangan.
Dilihat bagaimana individu itu memberi makna positif maka individu tersebut akan
melakukan kompensasi dengan kegiatan positif sehingga terjadilah perbaikan (adaptasi
dan nyaman).
b. Stressor (internal atau eksternal) menyebabkan terjadinya gangguan dan kehilangan.
Individu memberi makna negative sehingga individu itu merasa tidak berdaya, marah,
dan berperilaku agresif. Diekspresikan kedalam diri individu. Munculah gejala yang
menyebabkan gangguan fisik.
c. Stressor (internal atau eksternal) menyebabkan terjadinya gangguan dan kehilangan.
Individu memberi makna negative sehingga individu itu merasa tidak berdaya, marah,
dan berperilaku agresif. Diekspresikan keluar diri individu. Kompensasi dengan
perilaku konstruktif. Harus dilakukan perbaikan (beradaptasi dan merasa nyaman).
d. Stressor (internal atau eksternal) menyebabkan terjadinya gangguan dan kehilangan.
Individu memberi makna negative sehingga individu itu merasa tidak berdaya, marah,
dan berperilaku agresif. Diekspresikan keluar diri individu. Kompensasi dengan
perilaku konstruktif, merasa bersalah dan munculah ketidakberdayaan.

5. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Duka Cita

6. INTERVENSI
Diagnosa Rencana Keperawatan
Tujuan Tindakan Keperawatan
Duka Cita Setelah dilakukan tindakan Tindakan pada klien
keperawatan selama 1x24 jam 1. Kaji tanda dan gejala berduka
diharapkan duka cita menurun dan identifikasi kehilangan
dengan kriteria hasil: yang terjadi.
1. Kognitif, klien mampu: 2. Jelaskan proses terjadinya
a. Memahami proses berduka sesuai dengan tahapan
kehilangan yang kehilangan berduka, yaitu
dialami mengingkari, marah, tawar
b. Mengetahui cara menawar, depresi dan
mengatasi kehilangan menerima
secara bertahap 3. Latih melakukan tahapan
2. Psikomotor, klien mampu: kehilangan/berduka:
a. Menyadari respons a. Mengingkari: diskusikan
kehidupan fakta-fakta tentang
b. Menyebutkan fakta- kehilangan. Misalnya:
fakta kehilangan 1) Kehilangan Kesehatan:
c. Melakukan sampaikan hasil
manajemen rasa marah pemeriksaan penunjang
d. Melatih diri bergerak 2) Kehilangan orang yang
dari harapan ke realita dicintai: sampaikan
e. Melatih diri melihat proses kematiannya.
aspek positif b. Marah: latih relaksasi dan
f. Melatih rencana yang mengekspresikan emosi
baru dengan konstruktif
3. Afektif, klien mampu: c. Tawar-menawar:
a. Merasakan manfaat diskusikan harapan/rencana
latihan yang tidak tercapai dan
b. merasa mampu kaitkan dengan kenyataan
beradaptasi dengan d. Depresi: Latihan
keadaan mengidentifikasi aspek
c. Merasakan lebih positif dari kehilangan dan
optimis kehidupan yang masih
dijalani
e. Menerima: latih melakukan
kegiatan hidup sehari-hari
dengan pendampingan

Tindakan pada keluarga


1. Kaji masalah yang dirasakan
keluarga dalam merawat klien
yang berduka
2. Jelaskan pengertian, tanda dan
gejala, dan proses/tahapan
berduka/kehilangan serta
memutuskan cara merawat.
3. Latih keluarga cara merawat
dan mendampingi klien melalui
tahapan berduka/kehilangan
sesuai dengan asuhan
keperawatan yang telah
diberikan
4. Latih keluarga menciptakan
suasana yang mendukung
proses kehilangan. Misalnya,
telah ada yang menemani klien
melalui masa berdukanya
5. Diskusikan tanda dan gejala
berduka yang belum selesai dan
memerlukan rujukan segera ke
fasilitas pelayanan Kesehatan,
khusunya bersedih lebih dari 2
minggu
DAFTAR PUSTAKA
Keliat, Budi Anna. (2019). Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta:EGC
NANDA. (2018). International Nursing Diagnoses: definitions and classification 2018-2020.
Jakarta: EGC.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan
Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.
Yosep, Iyus & Sutini, Titin. (2007). Buku ajar Keperawatan Jiwa dan Advance Mental Health
Nursing. Bandung: PT Refika Aditama

Anda mungkin juga menyukai