Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

KEPERAWATAN JIWA
“Kecemasan, Kehilangan dan Berduka”

Disusun Oleh :
Kelompok 2 TK 3b

1. Lifa Aodiya krisdiyani


2. Lilian fajar rahmi
3. Liza ariska
4. Monica astrifayani
5. Nuraini
6. Muhammad Ifra

Dosen Pembimbing : Ns.Vivi Yuderna, S.Kep, M.Kep

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


JURUSAN KESEHATAN DAN REKREASI
FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2020
BAB I
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang yang telah memberikan petunjuk-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Kecemasan, Kehilangan dan Berduka”.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah
Keperawatan Jiwa.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada pengarang
buku maupun artikel yang telah membantu kami dengan tulisannya. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Dosen yang telah memberikan kesempatan untuk
menyusun makalah ini, serta teman – teman yang telah memotivasi sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
penulis dapat memperbaiki makalah ini.

Padang Pariaman, 26 Oktober 2020


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang………………………………………………………………
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………..
1.3 Tujuan………………………………………………………………………..
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………….
KECEMASAN………………………………………………………………….
2.1.1 Definisi………………………………………………………………….
2.2.1 Penggolongan……………………………………………………………
2.3.1 Faktor……………………………………………………………………
2.4.1 Bentuk Gangguan……………………………………………………….
2.5.1 Gejala Umum……………………………………………………………
2.6.1 Gambaran Klinis…………………………………………………………
KEHILANGAN DAN BERDUKA
2.2.1 Definisi………………………………………………………………….
2.2.2 Penyebab………………………………………………………………..
2.2.3 Jenis…………………………………………………………………….
2.2.4 Rentang Respon………………………………………………………
2.2.5 Proses Terjadinya Masalah……………………………………………
2.2.6 Tanda dan Gejala………………………………………………………
2.2.7 Akibat………………………………………………………………….
2.2.8 Mekanisme Koping……………………………………………………
2.2.9 Penatalaksanaan………………………………………………………
BAB III PENUTUP
Kesimpulan ………………………………………………………………….
Saran …………………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
PEMBAHASAN

2.1.1 Definisi Kecemasan


Kecemasan/Anxietas adalah perasaan yang difius, yang sangat tidak
menyenangkan, agak tidak menentu dan kabur tentang sesuatu yang akan terjadi.
Perasaan ini disertai dengan suatu atau beberapa reaksi badaniahyang khas dan
yang akan datang berulang bagi seseorang tertentu.Perasaan ini dapat berupa rasa
kosong di perut, dada sesak, jantung berdebar, keringat berlebihan, sakit kepala
atau rasa mau kencing atau buang air besan. Perasaan ini disertai dengan rasa ingin
bergerak dangelisah. “ ( Harold I. LIEF) “Anenvous condition of unrest” ( Leland
E.HINSIE dan Robert S CAMBELL).
Anxietas adalah perasaan tidak senang yang khas yang disebabkanoleh
dugaan akan bahaya atau frustrasi yang mengancam yang akanmembahayakan
rasa aman, keseimbangan, atau kehidupan seseorangindividu atau kelompok
biososialnya.” ( J.J GROEN).

2.2.1 Penggolongan Kecemasan


1) Anxietas Ringan
Ansietas ringan adalah perasaan bahwa ada sesuatu yang berbedadan
membutuhkan perhatian khusus. Stimulasi sensori meningkat danmembantu
individu memfokuskan perhatian untuk belajar, bertindak,menyelesaikan
masalah, merasakan, dan melindungi dirinya sendiri.Anxietas ringan
berhubungan dengan ketegangan akan peristiwakehidupan sehari-hari. Pada
tingkat ini lahan persepsi melebar dan individu akan berhati-hati dan waspada.
a. Respon Fisiologis
- Sesekali nafas pendek
- Nadi dan tekanan darah naik
- Gejala ringan pada lambung
- Muka berkerut dan bibir bergetar
- Sorotan
- Tambah Catatan
- Berbagi Kutipan
- Ketegangan otot ringan
- Rileks atau sedikit gelisah
b. Respon Kognitif
- Mampu menerima rangsang yang kompleks
- Konsentrasi pada masalah
- Menyelesaikan masalah secara efektif
- Perasaan gagal sedikit
- Waspada dan memperhatikan banyak hal
- Terlihat tenang dan percaya diri
- Tingkat pembelajaran optimal
c. Respon Perilaku dan Emosi
- Tidak dapat duduk tenang
- Tremor halus pada tangan
- Suara kadang-kadang meninggi
- Sedikit tidak sabar
- Aktivitas menyendiri

2) Anxietas Sedang
Ansietas sedang merupakan perasaan yang mengganggu bahwaada
sesuatu yang benar-benar berbeda, individu menjadi gugup atauagitasi.
Misalnya, seorang wanita mengunjungi ibunya untuk pertamakali dalam
beberapa bulan dan merasa bahwa ada sesuatu yang sangat berbeda. Ibunya
mengatakan bahwa berat badannya turun banyak tanpa ia berupaya
menurunkannya. Pada tingkat ini lahan persepsiterhadap lingkungan menurun,
individu lebih memfokuskan pada halyang penting saat itu dan
mengesampingkan hal yang lain.
a. Respon fisiologis
- Ketegangan otot sedang
- Tanda-tanda vital meningkat
- Pupil dilatasi, mulai berkeringat
- Sering mondar-mandir, memukulkan tangan
- Suara berubah: suara bergetar, nada suara tinggi
- Kewaspadaan dan ketegangan meningkat
- Sering berkemih, sakit kepala, pola tidur berubah, nyari punggung
b. Respon kognitif
- Lapang persepsi menurun
- Tidak perhatian secara selektif
- Fokus terhadap stimulus meningkat
- Rentang perhatian menurun
- Penyelesaian masalah menurun
- Pembelajaran berlangsung dengan memfokuskan
c. Respon prilaku dan emosi
- Tidak nyaman
- Mudah tersinggung
- Kepercayaan diri goyah
- Tidak sadar
- Gembira

3) Ansietas Berat
Ansietas berat dialami ketika individu yakin bahwa ada sesuatuyang berbeda
dan ada ancaman; ia memperlihatkan respon takut dandistres. Ketika individu
mencapai tingkat tertinggi ansietas, panik berat, semua pemikiran rasional
berhenti dan individu tersebutmengalami respon fight, flight atau freeze-yakni,
kebutuhan untuk pergi secepatnya, tetap ditempat dan berjuang, atau menjadi
beku atau tidak dapat melakukan sesuatu.
a. Respon fisiologis
- Ketegangan otot berat
- Hiperventilasi
- Kontak mata buruk
- Pengeluaran keringat meningkat
- Bicara cepat, nada suara tinggi
- Tindakan tanpa tujuan dan serampangan
- Rahang menegang, menggetakkan gigi
- Kebutuhan ruang gerak meningkat
- Mondar-mandir, berteriak
- Meremas tangan, gemetar
b. Respon kognitif
- Lapang persepsi terbatas
- Proses berfikir terpecah-pecah
- Sulit berfikir
- Penyelesaian masalah buruk
- Tidak mampu mempertimbangkan informasi
- Hanya memerhatikan ancaman
- Preokupasi dengan pikiran sendiri
- Egosentris
c. Respon prilaku dan emosi
- Sangat cemas
- Agitasi
- Takut
- Bingung
- Merasa tidak adekuat
- Menarik diri
- Penyangkalan dan ingin bebas

2.3.1 Faktor Predisposisi


1. Teori Psikoanaliti
Menurut freud,struktur kepribadian terdiri dari 3 elemen yaitu “ID,EGO Dan
SUPER EGO”. Ego melambangkan dorongan insting danimpuls primitif.
Super ego mencerminkan hati nurani seseorang dandikendalikan oleh norma-
norma budaya seseorang , sedangkan Egodigambarkan sebagai mediator antara
tuntutan dari ID dan Super Ego.
2. Teori Interpersonal
Anxietas terjadi dari ketakutan akan penolakan interpersonal. Halini juga
dihubungkan akan trauma pada masa pertumbuhan, sepertikehilangan,
perpisahan individu yang mempunyai harga diri rendah biasanya sangat mudah
mengalami anxietas yang berat.
3. Teori Perilaku
Anxietas merupakan hasil frustasi dari segala sesuatu yangmengganggu
kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yangdiinginkan.teori ini
meyakini bahwa manusia yang pada awalkehidupannya dihadapkan pada rasa
takut yang berlebihan akanmenunjukkan kemungkinan anxietas yang berat
pada kehidupan masadewasanya.

2.4.1 Bentuk Gangguan Anxietas


Gangguan Panik
Serangan panik adalah suatu episode ansietas yang cepat, intens,dan
meningkat, berlangsung 15-30 menit, ketika individu mengalamiketakutan
emosional yang besar juga ketidaknyamanan fisiologis.Diagnosis gangguan
panik ditegakkan ketika individu mengalamiserangan panik berulang dan tidak
diharapkan yang diikuti oleh rasakhawatir yang menetap sekurang-kurangnya
satu bulan bahwa ia akan mengalami serangan panik berikutnya atau khawatir
tentang maknaserangan panik, atau perubahab prilaku yang signifikan terkait
denganserangan panik, saat gejala-gejala tersebut bukan akibat
penyalahgunaan zat atau gangguan jiwa lain. Sedikitnya lebih dari 75%
individu dengan gangguan panik mengalami serangan awal spontan tanpa ada
pemicu dari lingkungan. Sisanya mengalami serangan panik yangdistimulasi
oleh stimulus fobia atau karena berada di bawah pengaruhzat yang mengubah
sistem saraf pusat dan menstimulasi responhormonal, organ, tanda vital yang
sama, yamg terjadi pada serangan panik. Setengah dari individu yang
mengalami serangan panik jugamengalami agorafobia.
Ada dua kriteria Gangguan panik : gangguan panik tanpaagorafobia dan
gangguan panik dengan agorofobia kedua gangguan panik ini harus ada
serangan panic.

2.5.1 Gejala Umum Anxietas


1. Gejala psikologik
Ketegangan, kekuatiran, panik, perasaan tak nyata, takut mati ,takut
”gila”, takut kehilangan kontrol dan sebagainya.
2. Gejala fisik
Gemetar, berkeringat, jantung berdebar, kepala terasa ringan, pusing,
ketegangan otot, mual, sulit bernafas, baal, diare, gelisah, rasagatal, gangguan
di lambung dan lain-lain. Keluhan yang dikemukakan pasien dengan anxietas
kronik seperti: rasa sesak nafas; rasa sakit dada;kadang-kadang merasa harus
menarik nafas dalam; ada sesuatu yangmenekan dada; jantung berdebar; mual;
vertigo; tremor; kaki dan tanganmerasa kesemutan; kaki dan tangan tidak
dapat diam ada perasaan harus bergerak terus menerus; kaki merasa lemah,
sehingga berjalan dirasakan beret; kadang- kadang ada gagap dan banyak lagi
keluhan yang tidak spesifik untuk penyakit tertentu. Keluhan yang
dikemukakan disini tidak semua terdapat pada pasien dengan gangguan
anxietas kronik, melainkanseseorang dapat saja mengalami hanya beberapa
gejala 1 keluhan saja.Tetapi pengalaman penderitaan dan gejata ini oleh pasien
yang bersangkutan biasanya dirasakan cukup gawat.

3. Gejala penyerta
Gejala depresi seringkali ditemukan pada serangan panik danagorafobia, pada
beberapa pasien suatu gangguan depresi ditemukan bersama-sama dengan
gangguan panik. Penelitian telah menemukan bahwa resiko bunuh diri selama
hidup pada orang dengan gangguan panik adalah lebih tinggi dibandingkan
pada orang tanpa gangguanmental.

2.6.1 Gambaran Klinis


Serangan panik pertama seringkali spontan, tanpa tanda mauserangan panik,
walaupun serangan panik kadang-kadang terjadi setelahluapan kegembiraan,
kelelahan fisik, aktivitas seksual atau traumaemosional. Klinisi harus berusaha
untuk mengetahui tiap kebiasaan atausituasi yang sering mendahului serangan
panik. Serangan sering dimulaidengan periode gejala yang meningkat dengan
cepat selama 10 menit.Gejala mental utama adalah ketakutan yang kuat, suatu
perasaanancaman kematian dan kiamat.
Pasien biasanya tidak mampumenyebutkan sumber ketakutannya. Pasien mungkin
merasakebingungan dan mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatian.Tanda
fisik adalah takikardia, palpitasi, sesak nafas dan berkeringat.Pasien seringkali
mencoba untuk mencari bantuan. Serangan biasanya berlangsung 20 sampai 30
menit.Agorafobma : pasien dengan agorafobia akan menghindari situasidimana ia
akan sulit mendapatkan bantuan. Pasien mungkin memaksa bahwa mereka harus
ditemani setiap kali mereka keluar rumah.

2.2.1 Definisi Kehilangan dan Berduka


A. Kehilangan
Kehilangan (loss) adalah suatu situasi actual maupun potensial yang dapat
dialami individu ketika berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, baik
sebagian atau keseluruhan, atau terjadi perubahan dalam hidup sehingga
terjadi perasaan kehilangan. Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah
dialami oleh setiap individu selama rentang kehidupannya. Sejak lahir,
individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya
kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda. Setiap individu akan berekasi
terhadap kehilangan. Respons terakhir terhadap kehilangan sangat
dipengaruhi oleh respons individu terhadap kehilangan sebelumnya (Hidayat,
2009 : 243).
B. Berduka
Berduka (grieving) merupakan reaksi emosional terhadap kehilangan. Hal ini
diwujudkan dalam berbagai cara yang unik pada masing – masing orang dan
didasarkan pada pengalaman pribadi, ekspektasi budaya, dan keyakinan
spiritual yang dianutnya (Hidayat, 2009 : 244).

2.2.2 Penyebab
a. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi yang mempengaruhi rentang respon kehilangan adalah :
1) Faktor genetik
Individu yang dilahirkan dan dibesarkan didalam keluarga yang mempunyai
riwayat depresi akan sulit mengembangkan sikap optimis dalam menghadapi
suatu permasalahan termasuk dalam menghadapi perasaan kehilangan
(Hidayat, 2009 : 246 ).

2) Kesehatan jasmani
Individu dengan keadaan fisik sehat, pola hidup yang teratur, cenderung
mempunyai kemampuan mengatasi stress yang lebih tinggi dibandingkan
dengan individu yang mengalami gangguan fisik (Prabowo, 2014 : 116).
3) Kesehatan mental
Individu yang mengalami gangguan jiwa terutama yang mempunyai riwayat
depresi yang ditandai dengan perasaan tidak berdaya pesimis, selalu dibayangi
oleh masa depan yang suram, biasanya sangat peka dalam menghadapi situasi
ikkehilangan (Hidayat, 2009 : 246).
4) Pengalaman kehilangan dimasa lalu
Kehilangan atau perpisahan dengan orang yang berarti pada masa kanak –
kanak akan mempengaruhi individu dalam mengatasi perasaan kehilangan
pada masa dewasa (Hidayat, 2009 : 246).
5) Struktur kepribadian
Individu dengan konsep yang negative, perasaan rendah diri akan
menyebabkan rasa percaya diri yang rendah yang tidak objektif terhadap stress
yang dihadapi (Prabowo, 2014 : 116).

b. Faktor presipitasi
Ada beberapa stressor yang dapat menimbulkan perasaan kehilangan. Kehilangan
kasih sayang secara nyata ataupun imajinasi individu seperti: kehilangan sifat bio-
psiko-sosial antara lain meliputi :
1) Kehilangan kesehatan
2) Kehilangan fungsi seksualitas
3) Kehilangan peran dalam keluarga
4) Kehilangan posisi dimasyarakat
5) Kehilangan harta benda atau orang yang dicintai
6) Kehilangan kewarganegaraan (Prabowo, 2014 : 117).

2.2.3 Jenis
A. Kehilangan
1) Kehilangan objek eksternal (misalnya kecurian atau kehancuran akibat
bencana alam).
2) Kehilangan lingkungan yang dikenal (misalnya berpindah rumah, dirawat
dirumah sakit, atau berpindah pekerjaan).
3) Kehilangan sesuatu atau seseorang yang berarti (misalnya pekerjaan,
kepergian anggota keluarga dan teman dekat, perawat yang dipercaya, atau
binatang peliharaan).
4) Kehilangan suatu aspek diri (misalnya anggota tubuh dan fungsi psikologis
atau fisik).
5) Kehilangan hidup (misalnya kematian anggota keluarga, teman dekat, atau
diri sendiri) (Hidayat. 2009 : 243).
B. Berduka Menurut hidayat ( 2009 : 244) berduka dibagi menjadi beberapa
antara lain :
1) Berduka normal
Terdiri atas perasaan, perilaku, dan reaksi yang normal terhadap kehilangan.
Misalnya kesedihan, kemarahan, menangis, kesepian, dan menarik diri dari
aktivitas untuk sementara.
2) Berduka antisipatif
Yaitu proses melepaskan diri yang muncul sebelum kehilangan dan kematian
yang sesungguhnya terjadi. Misalnya, ketika menerima diagnosis terminal,
seseorang akan memulai proses perpisahan dan menyelesaikan berbagai
urusan di dunia sebelum ajalnya tiba.
3) Berduka yang rumit
Dialami oleh seseorang yang sulit untuk maju ke tahap berikutnya, yaitu
tahap kedukaan normal. Masa berkabung seolah – olah tidak kunjung
berakhir dan dapat mengancam hubungan orang yang bersangkutan dengan
orang lain.
4) Berduka tertutup
Kedukaan akibat kehilangan yang tidak dapat diakui secara terbuka.
Contohnya kehilangan pasangan karena AIDS, anak mengalami kematian
orang tua tiri, atau ibu yang kehilangan anaknya dikandungan atau ketika
bersalin.

2.2.4 Rentang Respon


Respons berduka seseorang terhadap kehilangan dapat melalui tahap – tahap
berikut (Menurut Kubler – Ross, dalam Potter dan Perry, 1997) :

Tahap pengingkaran marah tawar – menawar depresi

Penerimaan
a. Tahap pengingkaran
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak
percaya, mengerti, atau mengingkari kenyataan bahwa kehilangan benar –
benar terjadi. Sebagai contoh orang atau keluarga dari orang yang
menerima diagnosis terminal akan terus berupaya mencari informasi
tambahan (Hidayat, 2009 : 245).
Reaksi fisik yang terjadi pada tahap ini adalah letih, lemah, pucat, mulai,
diare, gangguan pernapasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah, dan
sering kali individu tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi ini dapat
berlangsung dalam beberapa menit hingga beberapa tahun (Hidayat, 2009 :
245).
b. Tahap marah
Pada tahap ini individu menolak kehilangan. Kemarahan yang timbul
sering diproyeksikan kepada orang lain atau dirinya sendiri. Orang yang
mengalami kehilangan juga tidak jarang menunjukkan perilaku agresif,
berbicara kasar, menyerang orang lain, menolak pengobatan, bahkan
menuduh dokter atau perawat tidak kompeten. Respons fisik yang sering
terjadi, antara lain muka merah, denyut nadi cepat, gelisah, susah tidur,
tangan mengepal, dan seterusnya (Hidayat, 2009 : 245).
c. Tahap tawar – menawar
Pada tahap ini terjadi penundaan kesadaran atas kenyataan terjadinya
kehilangan dan dapat mencoba untuk membuat kesepakatan secara halus
atau terang – terangan seolah – olah kehilangan tersebut dapat dicegah.
Individu mungkin berupaya untuk melakukan tawar – menawar dengan
memohon kemurahan tuhan (Hidayat, 2009 : 245).
d. Tahap depresi
Pada tahap ini pasien sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang –
kadang bersikap sangat penurut, tidak mau bicara, menyatakan
keputusasaan, rasa tidak berharga, bahkan bisa muncul keinginan bunuh
diri. Gejala fisik yang ditunjukkan, antara lain menolak makan, susah tidur,
letih, turunnya dorongan libido, dan lain – lain (Prabowo, 2014 : 115).
e. Tahap penerimaan
Tahap ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran yang
selalu berpusat pada objek yang hilang akan mulai berkurang atau hilang.
Individu telah menerima kenyataan kehilangan yang dialaminya dan mulai
memandang ke depan. Gambaran tentang objek atau orang yang hilang
akan mulai dilepaskan secara bertahap. Perhatiannya akan beralih pada
objek yang baru. Apabila individu dapat memulai tahap tersebut dan
menerima dengan perasaan damai, maka dia dapat mengakhiri proses
berduka serta dapat mengatasi perasaan kehilangan secara tuntas.
Kegagalan masuk ke tahap penerimaan akan memengaruhi kemampuan
individu tersebut dalam mengatasi perasaan kehilangan selanjutnya
(Hidayat, 2009 : 245 - 246).

2.2.5 Proses Terjadinya Masalah


Kehilangan seseorang yang dicintai dan sangat bermakna atau orang yang berarti,
kehilangan yang ada pada diri sendiri, kehilangan objek eksternal misalnya
kehilangan milik sendiri atau bersama – sama, perhiasan, uang atau pekerjaan,
kehilangan diartikan dengan terpisahnya dari lingkungan yang sangat dikenal
termasuk dari kehidupan latar belakang dalam waktu satu periode atau bergantian
secara permanen, seseorang dapat mengalami mati baik secara perasaan, pikiran
dan respon pada kegiatan dan orang disekitarnya, sampai pada kematian yang
sesungguhnya. Sebagian orang berespon berbeda tentang kematian
Strees yang dapat menimbulkan perasaan kehilangan dapat berupa stress nyata,
ataupun imajinasi individu seperti: kehilangan sifat bio-psiko-sosial antara lain
meliputi: kehilangan kesehatan, kehilangan fungsi seksualitas, kehilangan peran
dalam keluarga, kehilangan posisi dimasyarakat, kehilangan milik pribadi seperti:
kehilangan harta benda atau orang yang dicintai, kehilangan kewarganegaraan,
dan sebagainya (Prabowo, 2014 : 116).
2.2.6 Tanda dan Gejala
A. Kehilangan
Menurut Prabowo (2014 : 117) tanda dan gejala kehilangan diantaranya :
1) Perasaan sedih, menangis
2) Perasaan putus asa, kesepian
3) Mengingkari kehilangan
4) Kesulitan mengekspresikan perasaan
5) Konsentrasi menurun
6) Kemarahan yang berlebihan
7) Tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain
8) Merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan
9) Reaksi emosional yang lambat
10) Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat aktivitas
(Eko prabowo, 2014 : 117).
B. Berduka Menurut Dalami (2009) tanda dan gejala berduka diantaranya :
1) Efek fisik
Kelelahan, kehilangan selera, masalah tidur, lemah,berat badan menurun, sakit
kepala, berat badan menurun, sakit kepala, pandangan kabur, susah bernapas,
palpitasi dan kenaikan berat , susah bernapas.
2) Efek emosi
Mengingkari, bersalah , marah, kebencian, depresi,kesedihan, perasaan gagal,
perasaan gagal, sulit untuk berkonsentrasi, gagal dalam menerima kenyataan,
iritabilita, perhatian terhadap orang yang meninggal.
3) Efek social
Menarik diri dari lingkungan, dan Isolasi (emosi dan fisik) dari istri, keluarga
dan teman.
2.2.7 Akibat
Inti dari kemampuan seseorang agar dapat bertahan terhadap kehilangan adalah
pemberian makna (personal meaning) yang baik terhadap kehilangan
(Husnudzon) dan kompensasi yang positif (konstruktur). Apa bila kondisi tersebut
tidak tercapai, maka akan berdampak pada terjadinya depresi. Pada saat individu
depresi sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang sebagai pasien sangat
penurut, tidak mau bicara, menyatakan keputusasaan, perasaan tidak berharga,
ada keinginan bunuh diri, dsb. Gejala fisik yang ditunjukkan antara lain : menolak
makan, susah tidur, letih, dorongan libido manurun( Prabowo, 2014 : 117).

2.2.8 Mekanisme koping


Koping yang sering dipakai individu dengan kehilangan respon antara lain :
Denial, Represi, Intelektualisasi, Regresi, Disosiasi, Supresi dan proyeksi yang
digunakan untuk menghindari intensitas stress yang dirasakan sangat
menyakitkan. Regresi dan disosiasi sering ditemukan pada pasien depresi yang
dalam. Dalam keadaan patologis mekanisme koping tersebut sering dipakai secara
berlebihan dan tidak tepat (Prabowo, 2014 : 117 – 118).
1) Denail
Dalam psikologi, terma “denail” artinya penyangkalan dikenakan pada
seseorang yang dengan kuat menyangkal dan menolak serta tak mau melihat
fakta-fakta yang menyakitkan atau tak sejalan dengan keyakinan,
pengharapan, dan pandangan-pandangannya. Denialisme membuat seorang
hidup dalam dunia ilusifnya sendiri, terpangkas dari kehidupan dan nyaris
tidak mampu keluar dari cengkeramannya.
Ketika seseorang hidup dalam denial “backfire effect” atau “efek bumerang”
sangat mungkin terjadi pada dirinya. Orang yang hidup dalam denial tentu
saja sangat ridak berbahagia. Dirinya sendiri tidak berbahagia, dan juga
membuat banyak orang lain tidak berbahagia (Prabowo, 2014 : 118).
2) Represi
Represi merupakan bentuk paling dasar diantara mekanisme lainnya. Suatu
cara pertahanan untuk menyingkirkan dari kesadaran pikiran dan perasaan
yang mengancam. Represi adalah mekanisme yang dipakai untuk
menyembuhkan hal-hal yang kurang baik pada diri kita kea lam bawah sadar
kita. Dengan mekanisme ini kita akan terhindar dari situasi tanpa kehilangan
wibawa kita (Prabowo, 2014 : 118).
3) Intelektualisasi
Intelektualisasi adalah pengguna logika dan alasan yang berlebihan untuk
menghindari pengalaman yang menganggu perasaannya. Dengan
intelektualisasi, manusia dapat mengurangi hal-hal yang pengaruhnya tidak
menyenangkan, dan memberikan kesempatan untuk meninjau permasalahan
secara objektif (Prabowo, 2014 : 118).
4) Regresi
Yaitu menghadapi stress dengan perilaku, perasaan dan cara berfikir mundur
kembali ke ciri tahap perkembangan sebelumnya (Prabowo, 2014 : 118).
5) Disosiasi
Beban emosi dalam suatu keadaan yang menyakitkan diputus atau diubah.
Mekanisme dimana suatu kumpulan proses-proses mental dipisahkan atau
diasingkan dari kesadaran dengan bekerja secara merdeka atau otomatis, afek
dan emosi terpisah, dan terlepas dari ide, situasi, objek, misalnya pada selektif
amnesia (Prabowo, 2014 : 118).
6) Supresi
Suatu proses yang digolongkan sebagai mekanisme pertahanan tetapi
sebenarnya merupakan analog dari represi yang disadari. Perbedaan supresi
dengan represi yaitu pada supresi seseorang secara sadar menolak pikirannya
keluar alam sadarnya dan memikirkan yang lain. Dengan demikian supresi
tidak begitu berbahaya terhadap kesehatan jiwa, Karena terjadinya dengan
sengaja, sehingga ia mengetahui apa yang dibuatnya (Prabowo, 2014 : 118).
7) Proyeksi
Proyeksi merupakan usaha untuk menyalahkan orang lain mengenai
kegagalannya, kesulitannya atau keinginan yang tidak baik. Dolah dan
Holladay (1967) berpendapat bahwa proyeksi adalah contoh dari cara untuk
memungkiri tanggung jawab kita terhadap impuls-impuls dan pikiran-pikiran
dengan melimpahkan kepada orang lain dan tidak pada kepribadian diri
sendiri (Prabowo, 2014 : 118).

2.2.9 Penatalaksanaan
Menurut Dalami, dkk (2009) isolasi social termasuk dalam kelompok penyakit
skizofrenia tak tergolongkan maka jenis penatalaksanaan medis yang bisa
dilakukan adalah :
a. Electro Convulsive Therapy (ECT)
Electro Convulsive Therapy (ECT) adalah suatu jenis pengobatan dimana
arus listrik digunakan pada otak dengan menggunakan 2 elektrode yang
ditempatkan dibagian temporal kepala (pelipis kiri dan kanan). Arus tersebut
menimbulkan kejang grand mall yang berlangsung 25 – 30 detik dengan
tujuan terapeutik. Respon bangkitan listriknya di otak menyebabkan
terjadinya perubahan faal dan biokimia dalam otak. Tujuan ECT adalah untuk
mengembalikan fungsi mental klien dan untuk meningkatkan ADL klien
secara periodic (Prabowo, 2014 : 118).
b. Psikoterapi
Membutuhkan waktu yang relative cukup lama dan merupakan bagian
penting dalam proses terapeutik, upaya dalam psikoterapi ini meliputi :
memberikan rasa aman dan tenang, menciptakan lingkungan yang terapeutik,
bersifat empati, menerima pasien apa adanya, memotivasi pasien untuk dapat
mengungkapkan perasaanya secara verbal, bersikap ramah, sopan dan jujur
kepada pasien.
c. Terapi okupasi
Adalah suatu ilmu dan seni untuk mengarahkan pasrtisipasi seseorang dalam
melaksanakan aktivitas atau tugas yang sengaja dipilih dengan maksud untuk
memperbaiki, memperkuat dan meningkatkan harga diri seseorang. Tujuan
terapi okupasi itu sendiri adalah untuk mengembalikan fungsi penderita
semaksimal mungkin, dan kondisi abnormal ke normal yang dikerahkan pada
kecacatan fisik maupun mental, dengan memberikan aktivitas yang terencana
dengan memperhatikan kondisi penderita sehingga penderita diharapkan
dapat mandiri di dalam keluarga maupun masyarakat (Prabowo, 2014 : 118)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami
suatu kekurangan atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau
pernah dimiliki. Kehilangan merupakan suatu keadaan individu berpisah
dengan sesuatu yang sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik sebagian atau
seluruhnya. Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian
kehilangan.. Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan
pengalaman individu dalam merespon kehilangan yang aktual ataupun yang
dirasakan seseorang, hubungan/kedekatan, objek atau ketidakmampuan
fungsional sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini masih dalam batas
normal. Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan
pengalaman individu yang responnya dibesar-besarkan saat individu
kehilangan secara aktual maupun potensial, hubungan, objek dan
ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal,
abnormal, atau kesalahan/kekacauan Kehilangan dibagi dalam 2 tipe yaitu:
Aktual atau nyata dan persepsi. Terdapat 5 katagori kehilangan,
yaitu:Kehilangan seseorang  seseorang yang dicintai, kehilangan lingkungan
yang sangat dikenal, kehilangan objek eksternal, kehilangan yang ada pada
diri sendiri/aspek diri, dan kehilangan kehidupan/meninggal. Elizabeth
Kubler-rose,1969.h.51, membagi respon berduka dalam lima fase, yaitu :
pengikaran, marah, tawar-menawar, depresi dan penerimaan.
B. Saran            
Dari makalah ini kami memberikan saran antara lain:
1. Seseorang harus dapat menerima suatu kehilangan terhadap seseorang
atau suatu benda dan selalu berduka jika mendapat rejeki.
2. Suatu kehilangan atau berduka harus di syukuri oleh seseorang,
khususnya perawat apabila pasien mendapat musibah atau meninggal
dunia
DAFTAR PUSTAKA

Azizah, L. M. (2011). Keperawatan Jiwa Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta: Graha


Ilmu.
Dalami, E. (2009). Asuhan Keperawatan Jika Dengan Masalah Psikososial. Jakarta:
Trans Info Media.
Hidayat, A. A. (2009). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Salemba
Medika.
Prabowo, E. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:
Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai