Anda di halaman 1dari 3

SERBA-SERBI PASCA COVID 19 MELANDA

Semenjak 21 bulan yang lalu, dunia mengalami beberapa kejutan.


Yang pertama adalah kejutan terkait dengan gaya hidup dimana kita harus
melakukan penyesuaian. Yang mana sebelumnya kita bisa melakukan interaksi
anonim, tiba-tiba kita nggak bisa karena keterbatasan mobilitas fisik.
Kejutan kedua adalah terkait dengan informasi yang datang dari berbagai sudut.
Datang dari rumah tangga, dari sekolah, dari kantor, dari RT/RW, kabupaten, kota,
provinsi, negara, dan mancanegara. Seringkali membingungkan, karena sering kali
tidak ada simetri dalam informasi yang kita terima.
Yang ketiga, tentunya adalah kejutan terkait dengan kebijakan yang juga bisa
datang dari rumah tangga, sekolah, RT/RW, kantor, kabupaten, kota, provinsi,
negara, dan mancanegara. Yang mana nggak selalu atau nggak semestinya selaras
satu sama lain. Hal-hal seperti ini, tentunya membuahkan kekhawatiran. Tapi juga,
gimana mengenai masa depan kita ke depan.

DUNIA BARU
Semenjak awal tahun lalu, saya sudah menyampaikan beberapa pesan mengenai
kira-kira atribut apa yang akan mewarnai era di pasca Covid.
Yang pertama tentunya, telah dan akan terus terjadinya penurunan daya beli.
Mungkin ada beberapa episode dimana kita melihat pemulihan, tapi dengan
ketidakpastian mengenai mutasi atau variasi dari virus, ini akan selalu terekspos,
kita dengan risiko penurunan daya beli atau aggregate demand.
Yang kedua tentunya dengan keterbatasan mobilitas fisik, daya produksi, supply
side, itu sudah dan akan terus terdampak. Kita melihat bahwasanya supply chain di
berbagai negara, khususnya di Tiongkok, terdampak sekali di tahun 2020. Dan
recovery atau pemulihannya juga masih kelihatan, masih cukup cyclical bukan
sekuler. Nah ini juga mewarnai beberapa titik supply chain atau rantai pasok di
beberapa negara lainnya. Termasuk juga di Indonesia dan di Asia Tenggara karena
keterbatasan mobilitas fisik.
Yang ketiga adalah penyesuaian bagaimana kita melakukan virtualisasi. Yang
tadinya kita melakukan aktivitas fisik, kita harus mendigitalisasi diri, memvirtualisasi,
dan ini tentunya dengan kenyataan bahwa cukup banyak teman-teman kita yang
nggak bisa melakukan penyesuaian atau adaptasi.
Yang keempat, ini terkait dengan aktivitas utang, yang banyak dilakukan oleh
pribadi, dilakukan banyak oleh korporasi, dan juga oleh pemerintah. Dan ini sangat
menyeluruh, bukan hanya di negara-negara berkembang, bahkan di negara maju,
berlomba-lomba untuk meningkatkan level utang. Dan ini sangat akan terus
mewarnai perekonomian dunia ke depan.
Yang berikutnya adalah atribut terkait dengan divergensi antara apa yang kita lihat di
pasar modal, dan apa yang kita lihat di ekonomi riil. Pasar modal berlimpah-limpah
dengan likuiditas yang disiram dikarenakan pencetakan uang yang dilakukan oleh
ekonomi maju, terutama di Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, dan sampai taraf
tertentu di Tiongkok juga. Nah ini, disiram dan terserap hanya di instrumen pasar
modal. Sayangnya, ini tidak terus ke bawah, yang bisa dirasakan di sektor riil.
Sehingga kita melihat adanya perbedaan atau divergensi antara indeks pergerakan
di pasar modal dan indeks pergerakan di sektor atau ekonomi riil.
Atribut berikutnya, ini adalah siklus atau bahkan siklus super yang bisa diwarnai
dengan tingkat inflasi yang rendah. Atau bahkan ada kekhawatiran bahwasanya
akan terjadi episode dimana deflasi yang akan mewarnai siklus ke depan ini. Ini
lebih didorong oleh peran teknologi. Kita melihat bahwasanya inovasi teknologi
seperti kecerdasan artifisial atau artificial intelligence ini, biayanya untuk pendidikan
artificial intelligence berkurang antara 60% sampai 70% per tahun. Dan tentunya
pemberdayaan robotika, pemberdayaan genetika, pemberdayaan inovasi-inovasi
yang disruptif, itu niscaya berdampak terhadap siklus baru yang diwarnai dengan
inflasi yang jauh lebih rendah dibandingkan era-era sebelumnya.
Atribut berikutnya tentunya terkait dengan bagaimana percakapan sehari-hari. Ini
sangat lebih terpolarisasi. Ini juga berkolerasi dengan gimana platform digital itu
sangat bisa mengamplifikasi narasi-narasi yang sifatnya memecah belah, dan ini
terlihat sekali dalam polarisasi percakapan yang juga nyambung dengan bagaimana
sulitnya kita melakukan multilateralisasi atau melakukan kerjasama atau kolaborasi
dengan berbagai negara. bahkan akhir-akhir ini kecenderungan untuk melakukan
kerjasama hanya dengan satu atau dua negara, itu yang lebih nge-trend.
Dibandingkan mungkin 10-20 tahun yang lalu di mana mancanegara itu berlomba-
lomba untuk melakukan kesepakatan multilateral. Saya percaya ini sangat episodik,
dan dalam beberapa tahun ke depan ini semestinya akan menurun, sehingga kita
bisa balik ke era dimana kita lebih bisa melakukan kesepakatan atau diskusi atau
percakapan yang sifatnya jauh lebih multilateral dibandingkan bilateral atau pun
plurilateral.
Yang terakhir adalah tensi yang semakin tinggi antara Amerika dan Tiongkok, ini
yang sering kali disebut sebagai decoupling. Decoupling ini bisa dibilang sebagai
perceraian atau intensitas pertikaian bahasa, semantik, diskursus antara kedua
perekonomian terbesar di dunia. Dan saya rasa ini akan cukup berkepanjangan
dalam beberapa tahun ke depan. Dan yang mungkin harus diawasi adalah
bagaimana decoupling ini akan terus berdampak terhadap negara-negara
berkembang lainnya di dunia, khususnya kita yang berada di Asia Tenggara, yang
terdiri dari sepuluh negara yang sudah sepakat untuk bekerjasama. Dan tentunya ke
depan, dalam beberapa tahun, arah bagaimana kita melakukan kesepakatan
ekonomi, kesepakatan investasi, dagang, dan bahkan kesepakatan geo-politik ini
akan semakin terdampak oleh percikan-percikan yang dibuahkan oleh salah satu
mungkin atau dua negara besar yaitu Tiongkok dan Amerika Serikat.

ADAPTASI BARU
Dalam 21 bulan terakhir, kita melihat bahwasanya di level individu, korporasi,
ataupun negara, ataupun pemerintahan, adaptasi selama COVID dan penyesuaian
ke depan di era pasca COVID ini memerlukan beberapa hal.
Yang pertama ini adalah yang sering kali kita sebut agilitas; bagaimana seseorang
atau suatu korporasi atau negara itu bisa melakukan perubahan diri, dan yang
dibutuhkan adalah bagaimana seseorang itu bisa menumbuhkan keterbukaan diri.
Dan keterbukaan diri itu adalah bekal untuk bagaimana kita bisa melakukan re-
skilling ataupun re-purposing, bahkan up-skilling atapun up-purposing. Banyak sekali
teman-teman kita yang tidak bisa melakukan penyesuaian dikarenakan mereka
sayang sekali tidak bisa menunjukkan keterbukaan diri sehingga mereka tidak bisa
melakukan digitalisasi atau virtualisasi atau penyesuaian apa pun, agar mereka bisa
melakukan re-purposing. Tapi dalam konteks agilitas, ini juga terkait dengan
bagaimana mereka bisa membaca tren ke depan, tren yang sifatnya sekuler
dibandingkan cyclical. Cyclical itu sifatnya cukup lebih jangka pendek dan
menengah, sedangkan sekuler itu sifatnya jangka panjang.
Atribut kedua yang membuahkan kapasitas seseorang atau korporasi atau negara
atau pemerintahan untuk bisa melakukan penyesuaian, adalah speed atau
kecepatan. Kecepatan ini sangat berkolerasi dengan kualitas SDM yang ada di
suatu perusahaan atau korporasi, dan diri kita sendiri kalau kita tentunya memiliki
kualitas yang tinggi, kita akan sangat bisa cakap untuk melakukan penyesuaian dan
bisa membuahkan efisiensi dan efektivitas dalam, bukan hanya pengambilan
keputusan tapi juga ekseskusi keputusan yang diambil. Dan speed atau kecepatan
ini juga berkolerasi dengan hierarki pengambilan keputusan. Banyak perusahaan itu
hierarkinya sangat vertikal, sangat tebal. Itu yang menyulitkan untuk dilakukannya
feedback loop dari ujung ke ujung dan juga sulitnya untuk diambil keputusan. Dan ini
yang sering kali menyebabkan beberapa atau banyak orang dan perusahaan sulit
sekali untuk melakukan penyesuaian dikarenakan mungkin birokrasi atau hierarki
yang sangat tebal atau vertikal. Semangatnya adalah horizontalisasi, semakin kita
bisa menghorizontalisasi pengambilan keputusan, semakin tipis dan semakin cepat
kita bisa membuahkan feedback loop.
Yang terakhir adalah atribut terkait dengan humility atau kerendahan diri. Nah ini
seorang pemimpin atau seseorang atau suatu korporasi negara atau pun
pemerintahan, semakin mereka bisa menunjukkan kerendahan diri bukan hanya
dalam konteks sopan, santun, dan segalanya. Tapi bagaimana mereka itu bisa
menyambung dirinya dengan hal-hal yang sifatnya berjangka panjang. Yang
berjangka panjang itu sering kali saya sampaikan terkait dengan apakah itu
perubahan iklim, kesenjangan atau inequality, atau inklusi keuangan, dibandingkan
hal-hal yang sifatnya itu bukan menu utama, atau sifatnya itu lebih hidangan penutup
atau hidangan pembuka, yang sangat jangka pendek atau jangka menengah. Nah
semakin seseorang atau seorang pemimpin, korporasi, pemerintahan, dan negara
bisa menunjukkan kerendahan diri dengan melengketkan dirinya itu dengan hal-hal
yang sifatnya jangka panjang. Itu sangat bisa tercermin dalam humility yang sangat
dibutuhkan untuk bisa menunjukkan kesabaran, bisa menunjukkan ketegaran untuk
bisa melalui episode yang penuh dengan cobaan seperti Covid di tahun 2020 dan
2021 ini.

Anda mungkin juga menyukai