Anda di halaman 1dari 25

CARA MEMBUAT SINOPSIS UNTUK

DIKIRIM KE PENERBIT
Posted by amaldofirjarahaditane on 05/09/2014

Nah, kerap kali naskah yang masuk ke meja editor di seluruh penerbit di Indonesia ternyata
bermasalah pada sinopsis. Maka dari itu bisa disimpulkan kalau sinopsis adalah bahan penting
yang dilirik oleh editor, baik naskah fiksi maupun nonfiksi. Namun, ada beberapa lirikan editor
untuk sebuah naskah:

1. Judul naskah novel tersebut.


2. Sinopsis ceritanya.
3. Keunikan cerita dengan naskah yang masuk.
4. Gaya bahasa si penulis dalam bercerita.
5. EYD, tanda baca, dan diksi.
6. Alur cerita.

SYNOPSIS, atau dalam bahasa Indonesia adalah SINOPSIS

Enam poin tersebut bisa dijadikan sebagai bahan penting bagi penulis, termasuk saya. Di sini,
ada beberapa poin yang akan saya paparkan sesuai dengan judul artikel untuk naskah fiksi:

1. Buatlah sinopsis yang tidak mengundang tanda tanya

Maksudnya, sinopsis itu tidak seperti kebanyakan sinopsis di bagian belakang novel kebanyakan.
Poin pertama ini juga kerap kali saya baca ulasan beberapa editor, seperti: Apakah si A akan
bertemu dan menyelamatkan kota yang terpendam itu? Siapakah penyebab dari ini-itu?

Namun, kalian bisa saja memasukkan beberapa informasi yang mengundang tanda tanya tanpa
memakai question words. Mengerti?

2. Pakai sudut pandang orang ketiga

Apa kalian pernah melihat bagian belakang seluruh novel ada yang memakai sudut pandang
orang pertama seperti aku atau saya, maupun sudut pandang orang kedua? Tidak! Biasanya,
sudut pandang orang ketiga ini memakai nama-nama tokoh dalam cerita sehingga enak dibaca
gitu.

3. Isi sinopsis dengan bagian-bagian inti di cerita kalian

Namun, jika ada banyak adegan yang menarik menurut kalian, tulis saja, tapi jangan dijelaskan
panjang lebar sehingga memakan halaman nantinya. Dengan kata lain, jelaskan saja dengan
kalimat yang jelas, tidak terlalu detail, dan mudah dipahami, serta mengundang tanda tanya
tanpa question words.
4. Tulislah dengan “membocorkan” masalah utama dalam cerita kalian

Nah, dalam arti kata “membocorkan” pasti sudah membuat penulis gelisah karena editor tak
menarik lagi untuk membuka lembaran-lembaran naskahnya. Eiitts! Jangan cemas dulu, ya!
Justru editor akan senantiasa menilai seluruh naskah yang masuk, termasuk idenya bagus.

“Membocorkan” masalah umum berarti apa penyebab masalah tersebut muncul, siapa pelaku
dalam masalah tersebut, bagaimana cara menyelesaikannya, kapan diselesaikannya, harus
dibocorkan. Seperti yang saya katakan, masalah yang tidak terlalu penting tidak harus
dibocorkan, yaitu pertanyaan tanpa questions word.

 Eh, empat poin yang bisa saya beritahu, ya! Tetapi, saya akan memberitahu beberapa
tentang sinopsis dalam naskah:

1. Letaklah sinopsis cerita kalian di halaman setelah daftar isi

Ini memudahkan editor untuk membaca cerita kalian.

2. Satukan saja sinopsis dengan naskah kalian

Tetapi, kalau kalian ikut lomba dengan batas 150 halaman atau kurang dari itu, maka pisahkan
saja sehingga kalian bisa leluasa untuk memperpanjang alur cerita di naskah novel kalian.
Kenapa? Contohnya, cerita kalian 150 halaman dan itu maksimal halamannya, tetapi ditambah
sinopsis 3 halaman. Kan jadi 153, otomatis nggak mengikuti syarat.

3. Tulislah sinopsis dengan rapi sesuai EYD

Ini pasti paling penting di mata editor. Namun, biasanya editor jarang mengoreksi EYD, tanda
baca, diksi, dan struktur kalimat dalam sinopsis. Jadi, jangan takut, tetapi tetaplah buat
sinopsis yang indah untuk dilihat.

Menulis Sinopsis
July 1, 2013

Kemarin, seorang penulis kirim email dan menanyakan ini:

Saya kan lagi bikin sinopsis untuk novel saya, cuma saya menemukan problem ketika
sinopsisnya malah jadi tiga halaman, padahal kan syaratnya maksimal dua halaman A4 saja.
Bagaimana, Kak? Apa boleh sebanyak tiga halaman? Kalau tidak, bagaimana saya
menyiasatinya?
Nah, karena pasti banyak yang bingung juga soal sinopsis ini, jadi sekalian aja ya jawabannya
ditulis di sini.

Setelah novelmu selesai, hal lain yang harus kamu lakukan (setelah mengedit draf pertamamu)
adalah menulis sinopsis. Biasanya, salah satu persyaratan pengiriman naskah dari penerbit adalah
harus melampirkan sinopsis (atau sederhananya, ringkasan cerita).

Nulis sinopsis itu susah (saya enggak akan bilang gampang-gampang susah, karena emang susah.
hahaha. sama halnya dengan menulis, susah. lah ini kok jadi demotivasi?). Kenapa susah?
Karena sinopsis adalah alatmu jualan naskah. Karena sinopsis harus bisa menggambarkan semua
hal dalam ceritamu. Karena biasanya, hal pertama yang dibaca editor setelah judul novelmu,
adalah sinopsis yang kamu lampirkan.

Lazimnya, penerbit akan memintamu menulis sinopsis sebanyak 1-2 halaman. Jadi, kamu harus
belajar memepatkan 100-150 halaman novelmu jadi cuma 1-2 halaman aja. (Terkadang, kalau
ketemu langsung editor, mereka suka nanya, novelmu ini tentang apa, sih? Kamu harus tahu cara
menjelaskannya dalam satu kalimat saja!).

 Jangan tutupi endingnya. Berbeda dengan blurb cover belakang yang haram banget
ngasih tahu ending, sinopsis untuk dikirim ke penerbit, harus ngasih tahu endingnya.
Singkatnya, semua hal penting yang ada dalam cerita, harus ada dalam sinopsis.
 Kalau kira-kira sinopsismu bakalan berhalaman-halaman, hapus subplot-nya dan
prioritaskan menulis plot utamanya saja.

Ini yang akan kamu butuhkan untuk menulis sinopsis satu halaman saja:

1. Penjelasan dasar tentang tokoh utama (nama, umur, pekerjaan, dan karakteristik utama si
tokoh). Misalnya: nama si tokoh adalah Bellawati Angsa, umur 16 tahun, pelajar, orangtuanya
berpisah.

2. Pembukaan (tempat cerita berlangsung dan keadaan apa yang dihadapi sama si tokoh utama).
Misalnya: si tokoh utama harus pindah sekolah karena sesuatu dan lain hal.

3.  Kejadian yang memulai aksi (si tokoh utama dipecat, atau putus, atau pacarnya selingkuh,
atau baru masuk kantor baru, atau baru pindah sekolah, dll). Misalnya: di tempat baru si tokoh
utama ketemu sama cowok ganteng.

4. Ide tentang sesuatu yang akan dipelajari si tokoh utama. Misalnya, ternyata cowok ganteng
yang dingin dan keren itu adalah vampir)

5. Sesuatu yang membuat keadaannya lebih kompleks. Misalnya, ternyata si cowok ganteng dan
keluarganya punya musuh dan ngincer si tokoh utama).

6. Resolusi atau ending

(lah kenapa contohnya jadi Twilight? Entahlah… cuma itu yang kepikiran)
Terus, semua itu dirangkai. Enggak usah pakai bahasa berbunga-bunga penuh majas seperti
dalam naskahmu, karena sinopsis cukup dengan bahasa lugas. Hindari juga pake kalimat
majemuk yang beranak pinak.

Menyunting Sendiri Tulisanmu


May 6, 2013

Oke, jadi kamu bisa menulis.

Kamu jago bikin cerita orisinal, twist menarik, juga ending yang tak tertebak. Bukankah itu yang
diinginkan pembaca? Ending yang tidak tertebak?

Tapi, apakah cuma sekadar itu yang kamu butuhkan? Enggak.

Terkadang, sebagai penulis baru yang punya banyak ide cemerlang, kita suka jadi sombong.
Mentang-mentang nulisnya selesai, berhasil menyelesaikan novel setebal seratus lima puluh
halaman dalam jangka waktu sebulan, belum tentu kamu jadi penulis yang oke.

Ada beberapa faktor lain.

Seratus lima puluh halaman itu isinya apa saja? Pengulangan-pengulangan adegan? Ungkapan-
ungkapan yang tidak perlu? Kalimat yang membosankan? Miskin diksi? Kalau ketemu editor
sih, bisa aja satu bab naskahmu dibabat habis. Mau?

Banyak penulis yang bilang kalau draf pertama bukanlah naskah final kamu. Serius deh. Jangan
pernah kirim naskah (cerpen maupun novel) yang belum kamu baca ulang. Pastikan naskahmu
(menurut pikiranmu sendiri) sudah cukup sempurna. Paling enggak, bebas typo, lah.

Ada blog memang suka bikin kita malas baca ulang. Nulis drafmu di blog dan langsung posting.
Akhir-akhir ini, saya juga suka gitu sih… jangan ditiru.  Tapi, kalau kamu mau kirim naskah ke
penerbit atau majalah, sebaiknya peram dulu tulisanmu.

Ketika kita baru menyelesaikan naskah, biasanya kita membuncah dengan perasaan bangga, lega,
dan puas. Wah, akhirnya gue nyelesaiin satu cerita, nih. Ceritanya oke banget, pasti bakalan
banyak yang suka. Nah… sebelum kirim naskah, endapkan beberapa hari, atau beberapa minggu.
Dua minggu lah maksimal. Bebaskan pikiranmu dulu dari naskah itu, baru balik lagi.

Biasanya, ketika kita membaca lagi naskah, kita akan melihat kesalahan-kesalahan kecil yang
tidak terlihat ketika kita menulis karena kita terlalu sibuk berbangga hati. Nah, yang harus kamu
perhatikan ketika mengedit tulisan itu di antaranya:

1. Penulisan kata/ ejaan. Ada beberapa kata yang orang biasa salah kaprah dalam menuliskannya.
Di antaranya:
 Sekedar, seharusnya sekadar
 Seksama, seharusnya saksama
 Antri, seharusnya antre
 Resiko, seharusnya risiko
 Lembab, terjerembab, harusnya lembap, terjerembap
 Hadang, hentak, hembus, hisap, harusnya adang, entak, embus, isap
 Perduli, harusnya peduli
 Ijin, seharusnya izin
 Jaman, harusnya zaman

(selengkapnya, kamu cek KBBI Daring http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/ atau beli KBBI


dan tesaurus)

Selain itu, yang sering salah juga penggunaan imbuhan. Ada beberapa kata yang lesap ketika
diberi awalan. Aturannya seperti ini:

1. tetap, jika huruf pertama kata dasar adalah l, m, n, q, r, atau w. Contoh: me- + luluh
→ meluluh, me- + makan → memakan.
2. me- → mem-, jika huruf pertama kata dasar adalah b, f, p*, atau v. Contoh: me- + baca
→ membaca, me- + pukul → memukul*, me- + vonis → memvonis, me- + fasilitas + i
→memfasilitasi.
3. me- → men-, jika huruf pertama kata dasar adalah c, d, j, atau t*. Contoh: me- + datang
→ mendatang, me- + tiup → meniup*.
4. me- → meng-, jika huruf pertama kata dasar adalah huruf vokal, k*, g, h. Contoh: me- +
kikis → mengikis*, me- + gotong → menggotong, me- + hias → menghias.
5. me- → menge-, jika kata dasar hanya satu suku kata. Contoh: me- + bom
→ mengebom, me- + tik → mengetik, me- + klik → mengeklik.
6. me- → meny-, jika huruf pertama adalah s*. Contoh: me- + sapu → menyapu*.

Jadi, kalau kamu bertemu dengan kata pesona, peduli, percaya, jadinya memesona,
memedulikan, memercayai, bukan mempesona, memperdulikan, ataupun mempercayai.

Ada aturan khusus lain, kalau kamu bertemu dengan kata yang huruf pertama dan kedua kata
dasarnya adalah konsonan, kata tersebut tidak lebur. Contohnya: memprotes, mengkritik,
mentraktir.

(selebihnya kamu cari tahu sendiri, ya)

https://id.wikisource.org/wiki/Pedoman_Umum_Ejaan_Bahasa_Indonesia_yang_Disempurnakan

Ada perbedaan fungsi di- sebagai kata depan dan di- sebagai imbuhan (begitu pula dengan ke-).
Jika kamu bermaksud menunjukkan tempat (di mana, di situ, di depan, di sana, di rumah, dll)
maka penulisan di- dipisah dengan kata yang mengiringinya. Kalau di- yang berhadapan dengan
kata kerja, ditulis serangkai (dimakan, dihalau, dimatikan, disunting, dll). Ke mana juga sama,
kecuali kemari sudah termasuk satu kata.
2. Ketika menyunting sendiri karyamu, pastikan kalimatnya mudah dimengerti, jangan memakai
kalimat majemuk yang terlalu banyak. Kalau kamu menemukan kalimat terlalu panjang (sampai
tiga baris misalnya), potong-potong aja jadi dua atau tiga kalimat. Ubah struktur kalimatnya.
Gunakan metafor seperlunya.

3. Pastikan logika kalimat maupun ceritamu benar. Periksa kembali setting waktu, dll. Cek juga
informasi yang kamu sampaikan dalam ceritamu. Jangan sampai menggunakan kata revolusi
untuk menyebut reformasi. Atau menyebut matahari bergelantungan (logikanya, matahari kita
kan cuma satu, kok bisa bergelantungan? bergelantungan itu kan kalau banyak). Pahami setiap
kata, jangan sampai pake kata yang salah untuk menyampaikan sesuatu.

4. Hindari menggunakan kata yang sama berkali-kali dalam satu kalimat atau satu paragraf.
Manfaatkan tesaurus, cari padanan katanya.

5. Jika kamu sedang menyunting novelmu, gunakan track changes di microsoft word. Dengan
begitu, kamu bisa tahu bagian mana saja yang berubah. Misalkan kamu pengin ngambil lagi
bagian yang sudah kamu hapus, track changes bisa mengembalikannya. Canggih, kan?

ps: kalau naskahmu udah diterima untuk diterbitkan dan editor minta kamu revisi di naskah yang
udah ada track changesnya, jangan sekali-kali ngedit dari file baru, karena editor pasti misuh-
misuh. Pakai file yang sama, kamu tinggal mengganti tampilannya aja seandainya kamu
terganggu dengan warna-warni dan berbagai macam garis petunjuk dalam track-changes. Buka
“Review” di aplikasi microsoft word, cari yang ada track changes, trus ubah “Final: Showing
Markup” jadi “Final” aja, tar si warna-warni itu akan menghilang.

Hal yang Sebaiknya Kaulakukan Sebelum


Mengirim Naskah Novelmu ke Penerbit
May 24, 2015

Ingat, kalau kata Hemingway, the first draft of anything is shit. Jadi, jangan langsung kirim
naskah ke penerbit begitu kamu selesai menulis. Pastikan naskah yang kamu setorkan sudah
bersih. Bersih dari apa saja, sih? Salah ketik, logika bolong, karakter datar, deskripsi
membosankan, dll dll. Kan sayang, sudah capai-capai menulis, tapi enggak ada satu pun penerbit
yang mau mengadopsi naskahmu.
Jadi, ritual apa, sih yang harus dilakukan sebelum mengirim naskah ke penerbit? Yang pasti,
tidak perlu gosok-gosok batu akik dulu biar dibantu jin di dalamnya.

1. Peram naskahmu

Ketika kamu mengetik huruf terakhir dari karya masterpiece-mu, peram selama beberapa hari.
Jika kamu “tahan” berpisah darinya, simpan selama seminggu atau lebih. Setiap hari menulis dan
bergelut dengan karakter dan semua hal dalam naskahmu membuat kamu tidak berjarak
dengannya, sehingga kamu tidak bisa melihat kesalahan-kesalahan kecil yang ada di dalamnya.

Memeram naskah juga membuatmu melupakan semua yang telah kautulis, jadi ketika kamu
melakukan swasunting, buku itu menjadi seolah-olah ditulis oleh orang lain.

2. Cetak naskahmu atau bacakan keras-keras

Sering kali, membaca di atas kertas membuatmu lebih teliti ketimbang menatap layar komputer.
Bagi sebagian lainnya, mendengarkan teks keras-keras membuat kesalahan itu terasa.

Membacakan teks keras-keras bisa kamu lakukan jika kamu cukup sabar dan punya persediaan
segalon air.

3. Cari kata-kata yang sering bermasalah

Banyak penulis yang salah kaprah menuliskan kata bahasa Indonesia, atau tidak bisa
membedakan di- sebagai preposisi dan di- sebagai imbuhan, atau tidak bisa memberikan
imbuhan yang tepat untuk sebuah kata.

Di bawah ini, saya tuliskan kata-kata yang sering kali salah.

Benar/baku Salah/tidak baku


andal handal
adang hadang
analisis analisa
aktif aktiv
aktivitas aktifitas
antre antri
apotek apotik
apalagi apa lagi
astronaut astronot
batin bathin
beledu beludru
berengsek brengsek
beterbangan berterbangan
cedera cidera
cengkeram cengkram
cicip icip
daripada dari pada
di mana dimana
di sana disana
ekstrem ekstrim
energi enerji
familier familiar
frustrasi frustasi
hafal hapal
hipotesis hipotesa
imbau himbau
ingar hingar
impit himpit
izin ijin
jerembap jerembab
jadwal jadual
kacamata kaca mata
kantong kantung
ke mana kemana
kemari ke mari
khusyuk khusyu’
kreativitas kreatifitas
kuitansi kwitansi
lembap lembab
makhluk mahluk
menyontek (kata
mencontek
dasar sontek)
menerjemahkan menterjemahkan
memperhatikan memerhatikan
miliar milyar
nomor nomer
objek obyek
orisinal orisinil
paham faham
peduli perduli
personel personil
rapi rapih
risi risih
resek rese
respons respon
risiko resiko
serdawa sendawa
saksama seksama
sekadar sekedar
saraf syaraf
semringah sumringah
sopir supir
sirop sirup
sutra sutera
tampak nampak
telantar terlantar
telanjur terlanjur
telentang terlentang
tenteram tentram
ubah rubah
… dan masiiih banyak lagi

Lengkapnya, belilah buku EYD (Ejaan yang Disempurnakan), biasanya ada di rak-rak bahasa di
rantai toko buku terbesar di Indonesia itu. Jika kamu belum punya EYD, Tesaurus, atau KBBI
Edisi IV, tapi ada koneksi internet, kamu bisa mencarinya secara daring di laman KBBI atau
kateglo. Jika tidak ada koneksi internet dan kamu tidak yakin apakah kata yang kamu tulis sudah
benar, gunakan kata yang lain.

4. Hapus atau ganti kata yang seriiing sekali kamu gunakan

Apa kamu tahu 10 kata yang paling sering kamu gunakan dalam naskahmu? (ini minus preposisi
dan kata-kata penting lain). Kamu mungkin terkejut melihat kata yang sering sekali kamu
gunakan. Inilah pentingnya memiliki KBBI dan Tesaurus. Kata yang terlalu sering muncul itu
bisa kamu ganti dengan sinonimnya.

5. Hapus semua spasi ganda

Seperti   ini, contohnya.


Ganggu, kan?

Jika kamu menggunakan Microsoft Word dan kesulitan (baca: malas) mencari satu-satu, gunakan
find-and-replace. Ketik dua kali spasi di “find”, dan satu spasi di “replace”, lalu tekan enter. Ini
biar kamu enggak usah menghapus spasinya satu per satu.

6. Cari tanda baca bermasalah

Saya sering menemukan kalimat yang panjaaaaang sekali, dan dipisahkan dengan koma-koma-
koma sampai saya koma membacanya. Padahal, kalimat tersebut sudah tidak nyambung dengan
kalimat sebelumnya. Ada baiknya, kamu memenggal kalimat-kalimat panjang itu. Ganti koma
dengan titik.

Selain itu, hindari menggunakan terlalu banyak tanda seru. Kalimatmu tidak perlu dikasih pagar
banyak-banyak.

7. Format naskahmu sesuai persyaratan dari penerbit.

 Kirim naskahmu dalam format Word (.doc atau .docx, jangan .rtf)
 Ketik satu kali spasi setelah titik.
 Gunakan font Times New Roman, 12, hitam. Dan jangan. Jangan-jangan-jangan pakai
font Comic Sans apalagi font aneh-aneh lainnya.
 Untuk memudahkan layouter/setter/penata letak, jangan membuat paragraf baru dengan
menggunakan tombol “tab”. Lebih baik, gunakan penggaris di menu Word. Di ruler itu
kan ada segitiga terbalik, tuh, geser bagian atasnya hingga membentuk paragraf baru.
Atau, pilih semua teks (Ctrl+A), format paragraf menggantung dengan menggunakan
Format > Paragraph. Di bawah “Indentation” dan “Left”, ketik .5. Di bawah “Special”,
pilih “First line”
 Gunakan page breaks di antara bab. Tempatkan kursor di bagian akhir bab, lalu klik
“Insert > Break > Page Break”

8. Jangan mengedit berlebihan

Kenapa? Segala yang berlebihan itu enggak baik kan, ya? Mengedit berlebihan malah membuat
novelmu terlalu “diatur” dan terasa kaku.

Menulis Bagian Awal Novel: 9 Hal yang


Sebaiknya TIDAK Dilakukan
September 21, 2015
Walaupun sudah enggak bekerja di satu penerbitan lagi, saya masih membantu beberapa penerbit
dan penulis memoles naskah novel. Dari naskah-naskah yang saya terima, bagian yang paling
menentukan adalah bab-bab awal. Paling tidak, tiga bab pertama. Tiga bagian ini bukan hanya
membantu naskahmu diterima penerbit untuk diterbitkan, tetapi juga mengikat pembaca.

Berbeda dengan editor bayaran (seperti saya) yang dipaksa membaca sampai akhir, pembaca
enggak akan repot-repot meneruskan baca kalau bab-bab awalnya enggak menarik. Enggak
menarik, enggak majuin cerita, enggak ngasih petunjuk ini mau nyeritain apa, enggak jelas
nyeritain siapa.

Nah, saya baru mengerjakan naskah yang fokus ceritanya muluuuuuuuuur banget sampai ke
halaman 100. *fiuh*. Seratus halaman pertama ngalor-ngidul nyeritain macam-macam, padahal
fokusnya bukan itu. Bagian awal atau perkenalan ini sebaiknya hanya 3-4 bab, enggak lebih dari
40-50-an halaman.

Gara-gara itu, saya jadi googling soal menulis bagian awal novel dan dapat artikel dari blog
Natasha Lester. Ini adalah sembilan hal yang sebaiknya tidak dilakukan ketika menulis bagian
awal novelmu. Kalau kamu pengin lebih lengkap, kamu bisa googling sendiri soal menulis
bagian awal novel, tapi menurutku, enggak akan jauh-jauh beda dari yang ditulis Mbak Lester
ini, sih.

1. Backstory

Backstory adalah informasi tentang latar belakang karaktermu, bisa jadi latar belakang peristiwa
dari ceritamu, atau latar belakang hubungan utama dalam cerita.

Pembaca ingin mengenal tokoh-tokoh dalam novel seperti kita mengenal orang sungguhan. Kita
tidak mengenal semua hal tentang seseorang pada pertemuan pertama. Mencari tahu dan
menemukan hal-hal menarik dari kenalan kita adalah bagian menyenangkan dari sebuah
hubungan. Ga seru juga sih, ketemu sama calon pacar yang kita udah tahu luar-dalam soal dia.
Apanya yang bikin penasaran?

Backstory melambatkan cerita. Gunakan itu ketika kamu membutuhkan momen untuk
menurunkan ketegangan. Awal novelmu harus aksi yang terus maju.

2. Mimpi

Tidak ada yang lebih buruk ketika kau membaca sebuah bab, dengan mencekam, dan tiba-tiba si
tokoh terbangun di bab dua dan mengatakan kalau semua itu hanyalah mimpi. Mimpi tidak bisa
membuat pembaca membentuk koneksi dengan karakter-karaktermu ataupun kejadian-kejadian
dalam cerita.

3. Deskripsi berlebihan

Pembaca tidak membutuhkan deskripsi mendetail tentang seting dan wilayah di tiga bab
pertama. Sebar informasi soal ini lewat sudut pandang si karakter ketimbang memperlihatkannya
dari mata segala tahu, karena paling tidak, kita akan mempelajari soal si tokoh dari caranya
mendeskripsikan seting.

4. Gagal fokus

Hal-hal yang bisa menyebabkan kurang fokus antara lain:

 kebanyakan tokoh
 terlalu banyak peristiwa, misalnya pindah ke narasi lain terlalu cepat sebelum
menguatkan untaian narasi sebelumnya.
 pindah-pindah antara satu pov ke pov lain.
 terlalu banyak lokasi/tempat

Kamu pengin pembaca kamu betah di tiga bab pertama daripada bikin mereka bosan dan
disorientasi tanpa tahu harus fokus ke karakter mana dan kejadian-kejadian apa yang penting.

5. Membuat daftar belanjaan

Eh, apa-apaan kok nulis daftar belanjaan di novel? Gini contohnya:

Rambutnya yang sedikit panjang dan bergelombang selalu dia biarkan terurai. Poninya tebal,
wajahnya bulat. Bibirnya kecil, selalu dilapisi dengan lipstik merah muda yang segar. 

Daripada menulis daftar sifat semacam itu, lebih baik informasi tersebut dimasukkan ke aksi.
Contohnya gini:

Gadis itu itu menoleh, rambut panjangnya yang bergelombang terayun. Matanya menyipit saat
dia mencari sumber suara, hingga membuat wajahnya yang dibingkai poni tebal tampak semakin
imut. Bibirnya yang dipulas lipstik merah muda langsung membentuk garis lengkung begitu dia
menyadari akulah yang memanggilnya.

(ini juga sejalan dengan konsep show don’t tell)

6. Tokohnya tidak melakukan apa pun

Mencuci piring, menatap jendela, memandang pantulan diri di cermin; tindakan-tindakan ini
sebaiknya tidak ada di tiga bab pertama novelmu.

Pikirkan kehidupan nyata. Memangnya kamu mau memperhatikan orang mencuci piring? Males,
kan? Jadi, kenapa pembaca mau?

Pastikan tiga bab pertama ini berisi hal-hal penting. Tindakan-tindakan yang akan
berlanjut/berpengaruh pada cerita berikutnya. Ya, kecuali habis mencuci piring, alien tiba-tiba
muncul di dapur dan dari situlah ceritanya bermula. Si mbak-mbak lagi cuci piring, alien muncul
di dapur, kemudian si mbak diculik untuk menjadi tukang cuci piring di piring terbang. *eh*
7. Si tokoh sedang melamun di masa sekarang

PERLIHATKAN situasi mereka. Jika si tokoh berada dalam hubungan penuh kekerasan,
perlihatkan ketika pasangannya melakukan kekerasan dan perlihatkan efek yang ditimbulkan
kepada si tokoh. Jika mereka malu, dapatkah kamu memperlihatkan rasa malu itu kepada
pembaca?

Jadi, bukan adegan si tokoh melamun sambil memikirkan hubungan abusive itu, yaps.

8. Flashback

Ini nanti aja. Jangan di tiga bab pertama. Pembaca butuh mengenal si tokoh pada masa sekarang
sebelum meloncat ke masa lalu.

9. Menyuapi pembaca

Percayalah kepada pembacamu. Mereka enggak perlu tahu segalanya di tiga bab pertama.
Bahkan, mereka enggak mau tahu segalanya. Alasan mereka membaca bukumu adalah mencari
tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul karena membaca tiga bab pertama yang
keren.

Simpan informasi, kasih sedikit-sedikit. Pastikan ini menciptakan pertanyaan dramatis yang
kepengin banget terjawab–di akhir buku!

Jadi, apakah bagian awal novelmu mengandung hal-hal itu? Kalau iya, sebaiknya revisi segera,
sebelum dikirim ke penerbit. Jika tidak yakin, kamu bisa mengonsultasikan naskahmu via
jiaeffendie@gmail.com
~Jia

[menulis] dialog
May 30, 2014

beberapa hari ini dapat email dari creative-writing-now yang menawarkan kelas menulis dialog
yang asyik. terus, jadi nyari-nyari, gimana sih, dialog yang bagus itu? berapa banyak porsi dialog
dalam novel? gimana menulis dialog yang efektif? dll dll.

dari pengalamanku membaca banyak novel (dan buku-buku panduan menulis), jadi tahu kalau
fungsi dialog antara lain adalah untuk menciptakan suara masing-masing karakter, untuk
memperlihatkan perkembangan dan kedalaman sifat si tokoh, memajukan cerita (mempercepat
pace, terutama), menciptakan ketegangan, juga memperlihatkan emosi, sikap, dan
tujuan/keinginan karakter.

jadi, dialog bukan sekadar chit-chats antartokoh.


kalau enggak ada dialog, novel kamu bisa jadi membosankan karena terlalu banyak narasi. tapiii,
kalau kebanyakan dialog pun, novel kamu jadi berasa kayak naskah drama. naskah drama yang
kacau pula! jadi, kita harus pintar-pintar membagi porsi antara narasi (dan deskripsi), adegan
(aksi), dan dialog.

ini tip menyeimbangkan porsi narasi, adegan, dan dialog menurut gloria kempton di
writerdigest.com

tanya dirimu sendiri:

 apakah ceritamu bergerak terlalu pelan dan perlu dipercepat? (gunakan dialog)
 apakah ini waktunya memberi pembaca latar belakang karakter agar mereka
merasa lebih simpati kepada karakter-karakternya? (gunakan narasi, dialog, atau
gabungan keduanya)
 apakah kamu terlalu banyak menulis dialog? (gunakan adegan atau narasi)
 apakah karaktermu terus-menerus memberi tahu karakter lain tentang hal-hal
yang seharusnya hanya ada di kepala mereka? (gunakan narasi)
 sebaliknya, apakah karaktermu selalu berada di kepalanya (melamun, berpikir,
membuat dialog imajiner yang nggak perlu) ketika percakapan akan membuat
ceritanya lebih efektif dan nyata? (gunakan dialog)
 apakah karaktermu memberikan terlalu banyak detail tentang latar belakang
karaktermu ketika mengobrol? (gunakan narasi)

***

Writing dialogue isn’t about replicating real-life conversations. It’s about giving an impression
of them… and also of improving them.

kata monica wood di buku “the pocket muse”, ketika menulis dialog, hilangkan sapaan-sapaan
karena kalimat sapaan biasanya nggak memajukan cerita ataupun memperlihatkan kedalaman
karakter.

dialog dari penulis kurang berpengalaman sering kali seperti ini:

“Halo.”

“Mira, kamukah itu?”

“Ya, ini aku.”

“Ada apa?”

“Si Empus pipis di sofa lagi.”


dan bla bla bla… hingga membekukan momentum. ketika membuat adegan telepon berdering,
tulislah langsung ke poin utamanya, karena pembaca pun tahu apa yang lazim dikatakan orang
ketika mengangkat telepon.

Ronny mengangkat telepon dan mendengar suara Mira mencerocos kesal di ujung sana. “Aku
udah nggak bisa ngurus dia lagi. Kamu buruan ke sini jemput dia.”

“Aku masih ujian, Mir. Nggak ada yang bisa ngurus dia di sini. Tolonglah, dua hari lagi.” Ronny
mengiba.

“Pokoknya, kalau kamu nggak dateng hari ini, aku tinggalkan Empus di luar rumah,” ancam
Mira.

nah, untuk menutup percakapan ini, alih-alih menggunakan sapaan lagi, gunakan aksi.

Ronny dan Mira berdebat sampai lima menit berikutnya, memutuskan siapa yang akan mengurus
empus selama dua hari ke depan. Hingga akhirnya, Ronny menutup telepon, mengambil kunci
mobil, dan menyetir ke rumah Mira.

***

untuk membuat dialog terasa nyata, coba ucapkan dialog yang sudah kamu buat dengan suara
keras. jika terdengar kaku dan terlalu panjang, cobalah ubah kalimatnya.

dialog boleh menggunakan kata yang tidak baku (tapi jangan banyak-banyak juga, sih. usahakan
buat dialog tetap asyik meski dengan kata-kata baku). dialog juga boleh menggunakan struktur
kalimat bahasa daerah (jika cerita berlangsung di daerah tertentu atau kamu sedang berusaha
menunjukkan kalau karakter A berasal dari daerah tertentu), dan menggunakan beberapa
kosakata bahasa daerah/bahasa asing.

1. Dialogue is set apart or identified with quotation marks. “Words spoken.”


2. Words spoken by a character in a story do not have to be in complete sentences
3. People in conversations do not always speak in complete sentences or use proper
grammar
4. In a story, make sure your dialogue sounds like what a person would say in
conversation.

(Terry W. Ervin II di http://www.fictionfactor.com)

***

penulisan dialog
meski sebagian besar dari kalian sudah tahu, enggak ada salahnya kalau dibahas, ya. soalnya,
sering kali saya suka dapat naskah dan penulisan dialognya bermasalah. kan enak kalau editor
nggak perlu mengganti semua titik di kalimat langsung jadi koma.

contohnya gini:

SALAH: “Aku tidak tahu harus gimana.” Katanya bingung.  | BENAR: “Aku tidak tahu harus
gimana,” katanya bingung.  (gunakan koma sebelum tanda kutip jika kamu mau menambahkan
keterangan).

SALAH: “Apa maksudmu?” Tanyanya. | BENAR: “Apa maksudmu?” tanyanya. (setelah tanda
tanya, tanda seru dalam kalimat langsung, pakai huruf kecil).

SALAH BANGET: “Aku benci kamu!”. (setelah tanda seru atau tanda tanya nggak usah pakai
titik lagi, karena mereka udah menutup kalimat).

menggambarkan emosi dalam cerita tanpa


membuat karaktermu terlalu “sadar diri”
April 10, 2014

janice hardy, seorang novelis amerika, menulis ini untuk romanceuniversity.org. saya mencoba
menerjemahkannya untuk teman-teman :)

emosi penting untuk membuat karakter terasa nyata. namun, mendeskripsikan mereka dari
kejauhan terkadang membuat pembaca merasa “terputus” dari karakter tersebut. deskripsinya
tidak terasa seperti perasaan karakter, tetapi seperti penulis memberi tahu pembaca bagaimana
perasaan si karakter. 
jika kita menggunakan sudut pandang orang ketiga serbatahu, mungkin tidak akan terlalu terasa.
namun, bagaimana jika kita menggunakan sudut pandang orang ketiga terbatas atau sudut
pandang orang pertama? kita bisa saja kehilangan hubungan emosi dengan pembaca. 

contoh: 

“aku menyeka keringat dari alisku dengan tangan gemetar, sisa ketakutan dari pengalaman-
hampir-mati-barusan mengalir lewat pembuluh darahku.” 

apakah kamu merasakan ketakutannya? barangkali tidak, karena si tokohnya pun sepertinya tidak
merasakannya. orang-orang yang sedang ketakutan tidak akan berpikir tentang apa yang
mengalir di pembuluh darah mereka atau kenapa ia mengalir. mereka hanya merasakan dan
bereaksi. 

“dengan tubuh bergetar, aku beringsut ke bangku terdekat dan duduk sebelum terjatuh. keringat
menyengat mataku dan aku menyeka wajah dengan bajuku. hampir saja. seandainya saja aku
tidak lari barusan… aku bergidik.”

kalimat kedua menunjukkan bagaimana perasaan si narator, apa yang sedang dipikirkannya
ketika ketika dia merasakan itu, bagaimana tubuhnya bereaksi tanpa membuat dia terlihat sadar
akan hal itu. perasaan itu keluar dari dalam dirinya, bukan ke dalam dirinya. kita tidak perlu
menjelaskan bahwa dia baru saja mengalami kejadian-hampir-mati, karena kita telah
memberikan cukup petunjuk. jadi, pembaca bisa dengan mudah menduga apa yang terjadi. 

berikut beberapa cara untuk menunjukkan emosi tanpa harus keluar dari karaktermu:

1. gunakan gejala-gejala fisik yang mungkin dialami oleh tokohmu.

emosi memacu reaksi fisik. ini adalah petunjuk-petunjuk yang bisa digunakan pembaca untuk
melihat bagaimana perasaan si karakter; jantung berdebar, jemari terasa membeku dan mati rasa,
telapak tangan berkeringat adalah semua pertanda rasa takut (atau mungkin cinta pada kasus-
kasus tertentu). gunakan juga reaksi refleks seperti pipi memanas atau terkesiap.

coba gunakan:

mereka tertawa terbahak-bahak dan dia berpaling dengan wajah yang seperti terbakar dan jemari
yang terasa sedingin es.

alih-alih:

dia berpaling, wajahnya memerah karena malu.

2. gunakan pikiran atau dialog untuk memperlihatkan emosi


emosi dapat memacu respons mental maupun verbal. kita bisa menulisnya dalam bentuk momen
refleksi diri si tokoh (ditulis dengan huruf miring). misalnya, komentar “dasar berengsek” yang
diucapkan dengan volume suara pelan dan cepat dapat menimbulkan emosi yang sama dengan
mengerutkan kening, dan terasa lebih natural.

coba: dasar berengsek! “permisi, tadi bilang apa?”

daripada: dia mengerutkan kening karena laki-laki itu sangat berengsek.

3. gunakan subteks untuk memperlihatkan emosi yang tidak ingin diperlihatkan

terkadang, apa yang tidak diucapkan oleh karakter malah lebih memperlihatkan apa yang terjadi.
sebuah keadaan mendesak yang berkontradiksi dengan apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan
bisa memperlihatkan berlapis-lapis emosi. subteks juga dapat menambahkan konflik dalam
sebuah adegan dan membantu menaikkan ketegangan.

coba: “tentu saja kau boleh tinggal,” katanya sambil menyobek-nyobek tisu di tangannya
menjadi potongan-potongan kecil.

daripada: dia tidak menjawab, walaupun dirinya tahu john ingin dia mengatakan iya.

4. gunakan indra eksternal untuk memperkuat emosi

emosi yang tinggi juga dapat meningkatkan indra, jadi persepsi bisa menjadi lebih kuat.
ketakutan bisa menimbulkan kewaspadaan berlebih, dan cinta bisa membuat hal-hal lebih
sensual. ketakutan sering kali diperlihatkan dengan bagaimana perut atau tenggorokan bereaksi.
tapi bagaimana dengan suara atau aroma? kamu bisa menunjukkannya dengan telinga
berdenging, atau sesuatu terdengar jauh dan teredam. aroma juga bisa memicu jenis emosi yang
ingin kamu perlihatkan.

coba:

ia tak hanya mendengar suara langkah di belakangnya—bau minyak wangi murah, bir yang
sudah basi, dan keputusasaan yang merayap semakin dekat, menambah rasa jerinya. dia
mempercepat langkahnya.

alih-alih:

rasa takut membuatnya mempercepat langkah. seseorang mengikutinya.


 

5. gunakan majas

metafor, simile, dan jenis majas lain bisa efektif untuk memperlihatkan emosi tanpa harus
menggunakan kata yang menunjukkan emosi secara spesifik.

cobalah:

dunia meluruh, warna-warna meluntur memperlihatkan sosok dirinya yang semakin jelas di
bawah gemilang cahaya matahari. 

alih-alih:

dia sangat tampan hingga aku tak bisa memalingkan mataku.

setiap karakter akan bereaksi berbeda terhadap emosi yang sama. jadi, kita harus pahami bahwa
bagaimana seorang karakter bereaksi bisa menggiring kita untuk bisa mendeskripsikan apa yang
dia rasakan. beberapa orang merasakan sesuatu lebih eksternal, menolak menganggapnya sebagai
emosi. beberapa lainnya berpikir terlalu banyak dan berusaha untuk menyangkal bahwa dirinya
bereaksi terhadap hal-hal tertentu. dan ketika seseorang bereaksi dengan cara tertentu,
menyediakan kesempatan bagi karakter lain untuk bereaksi, jadi emosi itu bisa saling dibangun.

jangan hanya mengatakan bagaimana perasaan tokohmu—buatlah pembaca merasakannya juga.

jika kita bisa menangkap emosi, maka kita bisa menangkap pembaca.

Memilih Sudut Pandang (PoV) dalam Novel


November 28, 2013

Ketika menulis fiksi, baik itu cerpen atau novel, kita harus pintar-pintar memilih PoV/Point of
View/ Sudut Pandang. Dari sudut pandang siapa cerita itu dituturkan? Ketika kita memilih sudut
pandang orang pertama misalnya, ada hal-hal yang tidak seharusnya dia ketahui.

Di tahun pertama saya menjadi editor, saya pernah melakukan hal yang fatal dengan meloloskan
“bocor”-nya PoV. Naskah ini ditulis dengan sudut pandang orang pertama. Dan ini berarti, hal-
hal lain yang tidak dia alami, tidak dia saksikan, tidak dia dengar, seharusnya tidak masuk ke
dalam cerita. Fiksi, sefiktif apa pun, haruslah masuk akal. Bagaimana bisa seseorang yang tidak
berada di lokasi kejadian, bisa menceritakan sesuatu yang tidak diketahuinya? Apakah dia
cenayang?
Nah, saya belajar dari kesalahan dan semoga tidak akan pernah mengulangi kesalahan yang
sama. Semoga teman-teman pun, membaca ini, tidak akan melakukan kesalahan serupa.

Paling tidak, ada tiga jenis PoV yang digunakan dalam menulis fiksi, yaitu PoV orang pertama
(penutur: aku, saya, kami), PoV orang kedua (cerita dikisahkan kepada kamu, dan “kamu”-lah
yang diceritakan), PoV orang ketiga (dia).

Sudut Pandang Orang Pertama

 Dalam sudut pandang orang pertama, penuturnya adalah “aku”. Pembaca hanya melihat
apa yang dilihat oleh karakter yang menarasikan, hanya tahu apa yang diketahui sang
karakter, dll. Seperti yang udah disinggung di atas, ya.
 Sang narator/penutur biasanya si karakter utama atau protagonis. Namun, narator ini bisa
juga tangan kanan si tokoh utama. Misalnya Dr. Watson di Sherlock Holmes atau
Hastings di novel-novel Agatha Christie. Ini jarang dipakai, ya. Soalnya ini bikin penutur
aku-nya tampak nggak keren. Hahaha. Dan saya juga belum membaca novel lain yang
penuturnya bukan tokoh utama.

Sudut Pandang Beberapa Orang Pertama 

 Kamu bisa menampilkan beberapa orang pertama secara bergantian, biasanya dimulai
dengan bab baru dengan narator baru pula. Strategi ini menawarkan jenis suara, sudut
pandang, dan cara berpikir yang berbeda. Contoh novelnya: Melbourne karya Winna
Efendi yang dibuat dengan PoV Max dan Laura. Versus karya Robin Wijaya, dari PoV
Amri, Chandra, dan Bima. Pintu Harmonika karya Clara Ng & Icha Rahmanti. Kalau
pilih PoV ini, kamu bener-bener mesti hati-hati. Jangan sampai ada karakter yang
suaranya bocor. Kamu harus bisa memberikan ciri khas setiap tokoh agar suaranya tidak
sama. Misalnya, kebiasaan-kebiasaan si tokoh A, jangan sampai bocor di penuturan tokoh
B. Tricky.
 Dengan cara ini, kamu bisamengemukakan segala macam hal melalui
seorang narator yang serbatahu tanpa disertai kesombongan seseorang
yang serbatahu.
 Peristiwa yang sama bisa berbeda artinya bagi pelaku dan pengamat yang berbeda. Jadi,
peristiwa ini bisa disajikan dengan kaya, tanpa melebih-lebihkan hal yang sebenarnya
terjadi.
 Ketika kamu menggunakan PoV beberapa orang pertama, jangan sampai mengulang
adegan. Jadi, hal yang sudah diinformasikan di cerita sebelumnya, jangan diulang lagi.
Ceritakan dari sudut pandang yang tidak diketahui oleh penutur sebelumnya. Jadi, harus
pintar-pintar menahan informasi.

Novel Epistolari

  Novel epistolari adalah novel yang ditulis sebagai serangkaian dokumen. Biasanya


berbentuk surat menyurat (misalnya novel Daddy Long Legs). Ada juga novel epistolari
yang berbentuk transkrip telepon, balas-balasan email, buku harian, dll (misalnya serial
Shopaholic).
  Keunggulan penulisan surat adalah, kamu bisa menampilkan seorang penerima surat dan
mengarahkan suara kamu kepadanya sebagai pembaca. Kamu bisa menyingkirkan
perasaan risi dan menciptakan suara yang berterus-terang.

Narator Orang Pertama yang Tidak Bisa Dipercaya

Saya sebenarnya berbohong ketika mengatakan bahwa saya adalah pejabat yang culas. Saya
berbohong karena sedang sebal. Saya sekadar menyenangkan diri sendiri menghadapi para
pemohon dan para pejabat itu, padahal sebenarnya saya tidak pernah bisa berbuat culas. Saya
selalu menyadari keadaan diri saya, bahwa saya memiliki banyak sekali unsur yang benar-
benar berlawanan dengan sifat itu.
(Notes from Underground – Fyodor Dostoyevski)

Keuntungan Menggunakan Sudut Pandang Orang Pertama

  Memudahkan pembaca masuk kepala si protagonis, juga untuk mengidentifikasi diri


dengan si tokoh, terutama jika kamu menggunakan sudut pandang subjektif.
 Ada kedekatan dan keintiman antara pembaca dan tokoh utama
 Alami. Lagi pula, kita semua hidup dari sudut pandang kita sendiri, jadi
akan lebih mudah untuk ditulis.
 Akan lebih mudah membagi pikiran, perasaan, dan emosi si tokoh.
 PoV 1 akan sangat penting jika kamu ingin memiliki narator yang tidak
bisa dipercaya
 Gaya tulisan bisa lebih ringan dan tidak terlalu formal
 Secara teknis, PoV1 adalah sudut pandang yang paling tidak ambigu. Pembaca
selalu tahu siapa yang melihat dan menafsirkan setiap aksi yang digambarkan secara
narasi.
 Pada PoV 1, kita bisa memilih suara dengan bebas. Narasi orang ketiga biasanya
membatasi kita untuk hanya menggunakan bahasa Indonesia baku, sementara PoV 1
memungkinkan kita menggunakan slang, tata bahasa yang buruk, bahasa sehari-hari, agar
suara narator bisa terdengar wajar
 PoV 1 bisa mengungkapkan pikiran seorang tokoh dengan lancar. Kita tidak usah
mengkhawatirkan perubahan kata ganti orang seperti  “Dia membuka pintu dan berpikir,
aku lebih baik memasak dulu ayam itu.”

Kelemahan PoV 1

 Kita tidak bisa memandang dari luar tokoh pembawa sudut pandang, kecuali jika kita
menempatkan cermin di suatu tempat, padahal cermin sudah terlalu sering digunakan
dalam fiksi.
 Dari SP-1, pengungkapan dialog yang bermacam-macam tampaknya mustahil. Orang
pertama ciptaanmu mungkin akan tampak seperti orang genius dengan pendengaran luar
biasa hebat.
 Jika sosok “aku” bercerita, artinya “aku” masih hidup. Jadi, salah satu sumber
ketegangan—apakah si tokoh utama akan selamat– hilang pada cerita dengan PoV
 Sulit menciptakan suara baru yang menarik untuk setiap cerita.
Sudut Pandang Orang Kedua

 Menggunakan “kamu” atau “kau”.


 Jarang digunakan.
 Mirip PoV ketiga, orang kedua diizinkan untuk tahu segala hal, kecuali pikiran si
“kau”/“kamu”.
 Bisa jadi melibatkan pembaca seakan-akan merekalah tokoh utamanya, atau
menceritakan “kau” yang menjadi tokoh utama.
 PoV orang kedua ini berpotensi bikin pembaca memprotes: “enggak kok, gue nggak
gitu.” 
 Biasanya digunakan di buku-buku nonfiksi

Sudut Pandang Orang Ketiga

PoV 3 adalah sudut pandang yang disarankan untuk penulis pemula, karena kalaupun suara
penulisnya “bocor”, nggak akan terlalu menyebabkan chaos.  Nah, karena postingan ini sudah
terlalu panjang, saya akan meneruskannya di postingan berikutnya, kapan-kapan.

Cheers,

♥ Jia

*disarikan dari berbagai sumber, terutama buku “Fiction Writer’s Workshop” karya Josip
Novakovich dan materi Widyawati Oktavia di Sunday Meeting GagasMedia-Bukune 24
November 2013

Etika Mengirim Naskah ke Penerbit


September 11, 2013

Saya sudah lama sekali ingin menulis ini. Banyak penulis baru yang belum tahu bagaimana cara
mengirim naskah ke penerbit. Apa yang harus dilakukan dan apa yang sebaiknya dihindari. 
Dos

 Memperlakukan naskahmu dengan baik. Kalau kamu ingin naskahmu dihargai oleh


editor (yang akan menilai naskahmu), kamu sendiri pun harus menghargainya, dong. Ini
artinya, kamu mengirimkan naskah yang sudah rapi ke penerbit. Bukan naskah baru jadi
lalu buru-buru dikirimkan karena sudah enggak sabar. Editor tahu kok, mana penulis
yang menghargai tulisannya sendiri dan yang enggak. 

Mungkin kamu belum hafal isi KBBI dan cara penulisan kata yang benar, ataupun EYD yang
benar. Tapi paling tidak, jangan sampai naskahmu penuh dengan kesalahan ketik dan tata bahasa.
Bersahabatlah dengan buku EYD, KBBI (Edisi 4), dan tesaurus.

 Kirim naskahmu sesuai dengan persyaratan dari penerbit. Paling penting, sertakan
biodata (alamat email dan nomor telepon yang bisa dihubungi) dan sinopsis (cara menulis
sinopsis bisa dibaca di sini) serta keunggulan naskahmu. 
 Catat setiap naskah keluar biar enggak lupa. Misalnya, tanggal, bulan, tahun berapa kamu
kirim naskah A ke penerbit B. Ini biar kamu tahu kapan harus menanyakan status
naskahmu kalau belum juga dikabari. Dan, biar kamu tahu ke mana kamu harus
menanyakan naskahmu. Soalnya, ada tuh, yang menanyakan naskah ke penerbit C,
padahal dia mengirimkannya ke penerbit B. Kalau udah mencak-mencak tahunya salah,
kan, malu. Udah gitu jadi ditandain sama editornya kalau nanti kirim lagi. 
 Lazimnya, penerbit akan mengabarimu soal keputusan terbit dalam waktu 1 minggu
sampai 6 bulan. Jika di bulan ketiga kamu belum dapat kabar, kamu boleh menelepon
sekretaris redaksi penerbit yang bersangkutan untuk menanyakan status naskahmu. Jika
editor bilang sedang dibaca dan minta tunggu, telepon lagi 2 minggu kemudian. Kalau
menelepon/menanyakan tiap hari, malah ganggu. 

Don’ts

 Mengirim naskah yang sama pada waktu bersamaan ke 2 penerbit sekaligus. Selain
enggak etis, ini menunjukkan kalau si penulis serakah. Jika naskahmu ternyata sebagus
itu dan keduanya ingin menerbitkan naskahmu, kamu harus memilih satu dan mengirim
surat penarikan ke penerbit yang lain. Namun, terkadang ada hal-hal di luar perkiraan.
Misalnya, ternyata surat penarikanmu tidak sampai ke penerbit yang dimaksud, akan
menimbulkan masalah di kemudian hari. Lagi pula, dengan sikap seperti ini, penerbit
yang kamu “tolak” mungkin akan memasukkan kamu ke daftar hitam. Kamu tunggu saja,
kalau penerbit menolak naskahmu, langsung perbaiki dan kirim ke penerbit lain yang
sesuai. 

 Caper sama editor di media sosial dan menanyakan status naskahmu berkali-kali. Kalau
kamu tahu email/nomor kontak editornya, sebaiknya lewat jalur pribadi aja, ya….
 Repot-repot menghias naskahnya biar tampak “beda”, dicetak di kertas berwarna atau
digambari satu per satu. Penerbit membutuhkan naskah, bukan dekorasi. Tulis surat
pengantar naskahmu dengan lugas dan jelas. 
 Membagi setiap pembicaraan/surat/update dari penerbit soal naskahmu di media sosial.
Diam-diam saja dulu, ya, sampai naskah itu terbit. Lagi-lagi, kita enggak tahu apa yang
akan terjadi nanti. Siapa tahu enggak jadi terbit di penerbit itu. Maksud hati mau promo
dan berbagi kesenangan, taunya enggak jadi. Lagi pula, surat dari penerbit itu ditujukan
kepada penulis, kamu, bukan untuk konsumsi orang banyak.

Nah, itu aja dulu. Kalau kamu punya dos and don’ts lain soal mengirim naskah ke penerbit,
silakan dibagi di kolom komentar.

Selamat mengirimkan naskahmu!

ps:

Ini soal teknis, sih. Ketika mengetik naskahmu, buat paragraf dengan menggunakan fitur
paragraph layout, jangan memakai tab, karena ini akan menyulitkan layouter kelak ketika
menyeting naskahmu. Kayak gini, nih:
 

Anda mungkin juga menyukai