Anda di halaman 1dari 5

MEMAHAMI AYAT-AYAT DAN HADITS NABI

TENTANG KESEHATAN

‫يم‬
ِ ‫س ِم هللاِ ال َّر ْحم ِن ال َّر ِح‬
ْ ‫ِب‬

Islam menetapkan tujuan pokok kehadirannya untuk memelihara agama, jiwa, akal, jasmani, harta, dan keturunan.
Setidaknya tiga dari yang disebut di atas berkaitan dengan kesehatan. Tidak heran jika ditemukan bahwa Islam amat kaya
dengan tuntunan kesehatan.

Paling tidak ada dua istilah literatur keagamaan yang digunakan untuk menunjuk tentang pentingnya kesehatan dalam
pandangan Islam, yaitu:

1. Kesehatan yang terambil dari kata sehat;


2. Afiat.

Keduanya dalam bahasa Indonesia, sering menjadi kata majemuk sehat afiat. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kata “afiat” dipersamakan dengan kata “sehat”. Afiat diartikan sehat dan kuat, sedangkan sehat sendiri antara
lain diartikan sebagai keadaan segenap badan serta bagian-bagiannya (bebas dari sakit).

Tentu pengertian kebahasaan ini berbeda dengan pengertian dalam tinjauan ilmu kesehatan, yang memperkenalkan
istilah-istilah kesehatan fisik, kesehatan mental, dan kesehatan masyarakat.

Istilah sehat dan afiat masing-masing digunakan untuk makna yang berbeda , kendati diakui tidak jarang hanya disebut
salah satunya, karena masing-masing kata tersebut dapat mewakili makna yang dikandung oleh kata yang tidak disebut.

Dalam literatur keagamaan, bahkan dalam hadits-hadits Nabi saw. Ditemukan sekian banyak do’a, yang mengandung
permohonan afiat, disamping permohonan memperoleh sehat.

Dalam kamus bahasa Arab, kata afiat diartikan sebagai perlindungan Allah untuk hamba-Nya dari segala macam bencana
dan tipu daya. Perlindungan itu tentunya tidak dapat diperoleh secara sempurna kecuali bagi mereka yang mengindahkan
petunjuk-petunjuk-Nya. Maka kata afiat dapat diartikan sebagai berfungsinya anggota tubuh manusia sesuai dengan
tujuan penciptaannya.

Kalau sehat diartikan sebagai keadaan baik bagi segenap anggota badan, maka agaknya dapat dikatakan bahwa mata yang
sehat adalah mata yang dapat meliahat maupun membaca tanpa menggunakan kaca mata. Tapi, mata yang afiat adalah
yang dapat melihat dan membaca objek-objek yang bermanfaat serta mengalihkan pandangan dari objek-objek yang
terlarang, karena itulah fungsi yang diharapkan dari penciptaan mata.

Memahami Ayat-Ayat tentang Kesehatan

1. QS. Al-Baqarah: 222

ُ ‫طهُرْ نَ فَِإ َذا تَطَهَّرْ نَ فَْأتُوه َُّن ِم ْن َحي‬


ُّ‫ْث َأ َم َر ُك ُم هَّللا ُ ِإ َّن هَّللا َ ي ُِحبُّ التَّوَّابِينَ َوي ُِحب‬ ْ َ‫يض َواَل تَ ْق َربُوه َُّن َحتَّى ي‬
ِ ‫يض قُلْ هُ َو َأ ًذى فَا ْعت َِزلُوا النِّ َسا َء فِي ْال َم ِح‬
ِ ‫َويَ ْسَألُونَكَ ع َِن ْال َم ِح‬
َ‫ْال ُمتَطَه ِِّرين‬

“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. oleh sebab itu hendaklah
kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.
Apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”

1. Penjelasan  Ayat
Ada dua bacaan yang diperkenalkan ayat ini, (‫ )يطهرن‬dan (‫ )يتطهرن‬ yang pertama berarti suci, yakni berhenti haidnya; dan
yang keduan berarti amat suci, yakni mandi setelah haidnya berhenti. Tentu saja yang kedua lebih ketat dari pada yang
pertama, dan agaknya lebih baik dan memang lebih suci.

Bertaubat adalah menyucikan diri dari kotoran bathin, sedang menyucikan diri dari kotoran lahir adalah mandi atau
berwudhu. Demikianlah penyucian jasmani dan rohani digabung oleh penutup ayat ini, sekaligus member isyarat bahwa
hubungan seks baru dapat dibenarkan jika haid telah berhenti dan istri telah mandi.

1. QS. : Al-Muddatsir: 4-5

)5( ْ‫) َوالرُّ جْ َز فَا ْهجُر‬4( ْ‫ك فَطَهِّر‬


َ َ‫َوثِيَاب‬

“Dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah”

1. Penjelasan Ayat

Kata (‫ )ثياب‬adala bentuk jama’ dari (‫ )ثوب‬ yang berarti pakaian. Di samping makna tesebut ia gunakan juga sebagai majaz
dengan makna-makna antara lain hati, jiwa, usaha, badan, budi pekerti keluarga dan istri.

Kata (‫ )طهّر‬adalah beentuk perintah, dari kata (‫ )طهر‬ yang berarti membersihkan dari kotoran. Kata ini juga dapat
dipahami dalam arti majaz, yaitu menyucikan diri dari dosa dan pelanggaran.

Kata (‫( )الرُّ جْ َز‬dengan dhammah pada ra’) atau (‫( )الّرِّجْ َز‬dengan kasrah pada ra’) keduanya merupakan cara yang benar
untuk membaca ayat ini, dan sebagian ulama’ tidak membedakan arti yang dikandungnya. Ulama’ yang tidak
membedakan kedua bentuk kata tersebut mengartikannya dengan dosa, sedangkan ulama’ yang membedakannya
menyatakan bahwa ar-rujz berarti berhala. Pendapat ini dipelopori oleh Abu ‘Ubaidah.

Kata (‫)فاهجر‬ fahjur, terambil dari kata (‫ )هجر‬yang digunakan untuk menggambarkan “sikap meninggalkan sesuatu karena
kebencian kepadanya”. Dari akar kata ini dibentuk kata-kata hijrah, karena Nabi dan sahabat-sahabatnya meninggalkan
Mekkah atas dasar ketidaksenangan beliau terhadap perlakuan penduduknya.

Sedangkan di dalam tafsir al-Azhar dijelaskan bahwa sesudah hati dibulatkan kepada Tuhan, hendaklah tilik diri sendiri,
sudahkah bersih. Sebab itu, maka syarat kedua yang wajib dilengkapkan sesudah membesarkan dan mengagungkan
Tuhan ialah; “Dan pakaian engkau, hendaklah engkau bersihkan” (ayat 4). Berbagai pula penafsiran ahli tafsir tentang
maksud pembersihan pakaian ini. Tetapi di sini kita ambil saja penafsiran yang sederhana, yaitu sabda Rasulullah saw.
sendiri:

ِ ‫اَلنَّظَا فَةُ ِمنَ اِإْل ْي َم‬


‫ان‬

“Kebersihan itu adalah satu sudut dari iman” (HR. Imam Ahmad dan Turmudzi)

Beliau Rasulullah saw. akan berhadapan dengan orang banyak, dengan pemuka-pemuka dari kaumnya atau dengan siapa
saja. Kebersihan adalah salah satu pokok yang penting bagi menarik perhatian orang. Kebersihan pakaian besar
pengaruhnya kepada sikap hidup sendiri. Kebersihan menimbulkan sikap hidup sendiri. Kebersihan menimbulkan harga
diri, yaitu hal yang amat penting dijaga oleh orang-orang yang hendak tegak menyampaikan dakwah ke tengah-tengah
masyarakat.

Pakaian yang kotor menyebabkan jiwa sendiri pun turut kusut masai. Tiap-tiap manusia yang budiman akan merasakan
sendiri betapa besar pengaruh pakaian yang bersih itu kepada hati sendiri dan kepada manusia yang di keliling kita,

Kemudian datanglah perintah agar memenuhi syarat yang ketiga; “Dan perbuatan dosa hendaklah engkau jauhi” (ayat
lima).
Dalam ayat ini disebut ar-rujza, kita artikan dengan arti yang dipakai oleh Ibrahim an-Nakha’I dan ad-Dhahhak, yaitu
hendaklah engkau jauhi dosa. Tetapi menurut riwayat Ali bin Abu Thalhah yang dia terima dari Ibnu Abbas; ar-rujza di
sini artinya khusus, yaitu berhala.

1. QS. : Al-A’raf: 31

ِ ‫ْرفُوا ِإنَّهُ اَل ي ُِحبُّ ْال ُمس‬


َ‫ْرفِين‬ ِ ‫يَا بَنِي َآ َد َم ُخ ُذوا ِزينَتَ ُك ْم ِع ْن َد ُك ِّل َم ْس ِج ٍد َو ُكلُوا َوا ْش َربُوا َواَل تُس‬

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid, Makan dan minumlah, dan janganlah
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”

2. Penjelasan Ayat:

Imam Bukhari mengatakan, Ibnu Abbas berkata bahwa makna yang dimaksud ialah “Makanlah sesukamu dan
berpakaianlah sesukamu selagi kau hindari dua pekerti, yaitu, berlebih-lebihan dan sombong”.

Kata “‫س ِرفُ ْوا‬


ْ ُ‫”والَ ت‬ yakni
َ janganlah kalian memakan yang diharamkan, karena memakan yang diharamkan merupakan
perbuatan berlebih-lebihan.

Sedangkan di dalam tafsir al-Misbah, disebutkan bahwa makna

ِ ‫َو ُكلُوا َوا ْش َربُوا َواَل تُس‬


‫ْرفُوا‬

adalah dan makanlah makanan yang halal, enak, bermanfaat lagi bergizi, berdampak baik serta minumlah apa saja yang
kamu sukai selama tidak memabukkan, tidak juga mengganggu kesehatan kamu dan janganlah kamu berlebih-
lebihan dalam segala hal, baik dalam beribadah dengan menambah cara atau kadarnya demikian juga dalam makanan dan
minuman apa saja, Karena sesungguhnya Allah tidak menyukai. Yakni tidak melimpahkan rahmat dan ganjaran bagi
orang-orang yang berlebih-lebihandalam hal apapun.

Islam, memperhatikan pula kualitas makanan. Tafrit (terlalu menghemat) dan terlalu rakus merupakan hal-hal yang
bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam:

1. Terlalu banyak makan akan menyebabkan usus tersiksa dan mengganggu pencernaan, membuat makanan menjadi
masam, kadang-kadang menimbulkan luka, infeksi pada usus besar dan usus dua belas. Kadang usus menjadi lebih
panjang karena menahan makanan, bahkan kelebihan makanan mampu menembus dinding usus dan melukainya
sehingga membahayakan. Semua penyakit ini, terjadi karena terlalu kenyang.
2. Makan terlalu kenyang akan mengganggu proses pencernaan, menjadikan proses pencernan menjadi begitu sulit.
Karena itu Rasulullah menganjurkan agar mengatur jarak waktu makan dan tidak akan makan kecuali lapar.
3. Rasulullah mensifatkan orang-orang yang berlebih-lebihan dalam makan sebgai orang yang rakus.
4. Islam tidak menyukai orang yang gemar membusungkan perutnya dan buncit, sebab keduanya akan menghalangi
seorang muslim untuk berjihad dan mematikan semangat kerja.
5. Di antara gangguan kesehatan yang berbahaya, dan baru ditemukan dewasa ini adalah hubungan usus besar dengan
alat-alat perasa (indra perasa) dalam tubuh, terutama hati. Hal ini yang disebut pengaruh usus besar terhadap hati.
Kondisi usus besar yang penuh dengan makanan akan menimbulkan gas asam, akhirnya akan mengganggu hati,
kadang-kadang menimbulkan kuguncangan hati, tekanan darah rendah atau sebaliknya tekanan darah tinggi
(hipertensi) yang berakibat menimbulkan berbagai macam penyakit dalam.
6. Perasaan sakit pada hati disebabkan karena usus besar dikacau-balaukan oleh makanan, dimana ia tidak mampu
mencernanya dengan baik.
7. Dalam kondisi sakit, terutama demam, maka perut besar memerlukan pelayanan sendiri.

1. QS. : Al-An’am: 145

‫ُأ‬ ْ ‫اع ٍم َي‬ ِ ‫قُلْ اَل َأ ِج ُد فِي َما ُأ‬ 


ٍ َ‫ير فَِإنَّهُ ِرجْ سٌ َأوْ فِ ْسقًا ِه َّل لِ َغي ِْر هَّللا ِ بِ ِه فَ َم ِن اضْ طُ َّر َغ ْي َر ب‬
‫اغ‬ ٍ ‫ط َع ُمهُ ِإاَّل َأ ْن يَ ُكونَ َم ْيتَةً َأوْ َد ًما َم ْسفُوحًا َأوْ لَحْ َم ِخ ْن ِز‬ ِ َ‫ي ُم َح َّر ًما َعلَى ط‬ َّ َ‫وح َي ِإل‬
‫ك َغفُو ٌر َر ِحي ٌم‬ َ َّ‫َواَل عَا ٍد فَِإ َّن َرب‬
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang
yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena
Sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam
Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.” (QS. Al-An’am: 145)

Kata (‫س‬ٌ ‫) ِر ْج‬ rijs/ kotor mengandung makna yang sangat luas, antara lain kotor lahir maupun bathin, dosa, pekerjaan yang
tidak layak dilakukan dan mengarah pada risiko siksa. Syaikh taqi Falsafi dalam bukunya Child between Heredity ang
Education, mengutip Alexis Carrel, pemenang hadiah Nobel Kedokteran dalam bukunya Man The Unknown, yang
menyatakan bahwa pengaruh campuran (senyawa) kimiawi yang dikandung oleh makanan terhadap aktivitas jiwa dan
pikiran manusia belum diketahui secara sempurna karena belum diadakan sendiri percobaan secara memadai. Namun,
tidak dapat diragukan bahwa perasaan manusia dipengaruhi oleh kualitas makanan dan kuantitasnya. Nah jika demikian,
makanan dan minuman memiliki pengaruh yang besar bukan saja bagi jasmani manusia tetapi juga bagi perasaan dan
jiwanya.

Melalui kata itu, ayat ini bermaksud menjelaskan salah satu hikmah pengharaman babi dan atau apa yang disebut di atas,
yakni bahwa makanan tersebut berdampak buruk dalam jiwa dan prilaku manusia.

Yang juga menjadi bahasan ulama’ dalam konteks kata itu adalah apakah kata ia pada firman-Nya çm¯RÎ*sù
sesungguhnya ia rijs, menunjuk kepada semua makanan yang diharamkan itu atau hanya kepada babi. Kalau kepada babi,
ini mengandung penekanan tersendiri terhadap keburukan babi. Memang, seperti komentar para penulis buku “al-
Muntkhab fi at-Tafsir”, “Babi termasuk binatang pemakan segala (omnivora) atau pemakan organik yang sudah mati atau
busuk (saprofit)”, termasuk kotoran manusia dan binatang. Itulah sebabnya mengapa babi mudah menjangkitkan penyakit
kepada manusia.

Ayat ini dipahami oleh Imam Malik sebagai membatasi yang haram dalam batas-batas yang disebut itu, apalagi masih ada
ayat-ayat lain yang turun sesudah ayat ini yang juga memberi pembatasan serupa, seperti dalam surat Al-Baqarah: 173.

Imam Syafi’i-misalnya- berpegang kepada sekian banyak hadits Nabi yang dinilainya tidak bertentangan dengan
kandungan-kandungan ayat tersebut. Karena walaupun redaksi ayat tersebut dalam bentuk hasr(pembatasan atau
pengecualian), namun itu tidak dimaksud sebagai pengecualian hakiki.

Di sisi lain, penjelasan tentang haramnya babi seperti dikutip di atas adalah karena rijs (kotor).

Nah, atas dasar inilah dipertemukan hadits-hadits Nabi yang mengharamkan makanan-makanan tertentu dengan ayat-ayat
yang menggunakan redaksi pembatasan di atas. Misalnya hadits yang mengharamkan semua binatang yang bertaring
(buas), burung yang memliki cakar (buas), binatang yang hidup di darat dan di air, dan sebagainya.

12 B Akuntansi

SITI MASITOH

Anda mungkin juga menyukai