Anda di halaman 1dari 12

MEMAHAMI AYAT-AYAT DAN HADITS

NABI TENTANG KESEHATAN


1. A.

Pendahuluan

Islam menetapkan tujuan pokok kehadirannya untuk memelihara agama, jiwa, akal, jasmani,
harta, dan keturunan. Setidaknya tiga dari yang disebut di atas berkaitan dengan kesehatan. Tidak
heran jika ditemukan bahwa Islam amat kaya dengan tuntunan kesehatan.
Paling tidak ada dua istilah literatur keagamaan yang digunakan untuk menunjuk tentang
pentingnya kesehatan dalam pandangan Islam, yaitu:
1. Kesehatan yang terambil dari kata sehat;
2. Afiat.
Keduanya dalam bahasa Indonesia, sering menjadi kata majemuk sehat afiat. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kata afiat dipersamakan dengan kata sehat. Afiat diartikan sehat
dan kuat, sedangkan sehat sendiri antara lain diartikan sebagai keadaan segenap badan serta
bagian-bagiannya (bebas dari sakit).
Tentu pengertian kebahasaan ini berbeda dengan pengertian dalam tinjauan ilmu kesehatan, yang
memperkenalkan istilah-istilah kesehatan fisik, kesehatan mental, dan kesehatan masyarakat.
Istilah sehat dan afiat masing-masing digunakan untuk makna yang berbeda , kendati diakui
tidak jarang hanya disebut salah satunya, karena masing-masing kata tersebut dapat mewakili
makna yang dikandung oleh kata yang tidak disebut.
Dalam literatur keagamaan, bahkan dalam hadits-hadits Nabi saw. Ditemukan sekian banyak
doa, yang menagandung permohonan afiat, disamping permohonan memperoleh sehat.
Dalam kamus bahasa Arab, kata afiat diartikan sebagai perlindungan Allah untuk hamba-Nya
dari segala macam bencana dan tipu daya. Perlindungan itu tentunya tidak dapat diperoleh secara
sempurna kecuali bagi mereka yang mengindahkan petunjuk-petunjuk-Nya. Maka kata afiat
dapat diartikan sebagai berfungsinya anggota tubuh manusia sesuai dengan tujuan
penciptaannya.
Kalau sehat diartikan sebagai keadaan baik bagi segenap anggota badan, maka agaknya dapat
dikatakan bahwa mata yang sehat adalah mata yang dapat meliahat maupun membaca tanpa
menggunakan kaca mata. Tapi, mata yang afiat adalah yang dapat melihat dan membaca objekobjek yang bermanfaat serta mengalihkan pandangan dari objek-objek yang terlarang, karena
itulah fungsi yang diharapkan dari penciptaan mata.

1. B.

Memahami Ayat-Ayat tentang Kesehatan

2. QS. Al-Baqarah: 222






Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: Haidh itu adalah suatu kotoran.
oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah
kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah Suci, Maka campurilah
mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orangorang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
1. Mufradat Ayat

: kotoran

: maka hendaklah kamu menjauhkan diri

: orang-orang yang mensucikan diri

1. Penjelasan Ayat
Ada dua bacaan yang diperkenalkan ayat ini, ( )dan ( )yang pertama berarti suci,
yakni berhenti haidnya; dan yang keduan berarti amat suci, yakni mandi setelah haidnya
berhenti. Tentu saja yang kedua lebih ketat dari pada yang pertama, dan agaknya lebih baik dan
memang lebih suci.
Bertaubat adalah menyucikan diri dari kotoran bathin, sedang menyucikan diri dari kotoran lahir
adalah mandi atau berwudhu. Demikianlah penyucian jasmani dan rohani digabung oleh penutup
ayat ini, sekaligus member isyarat bahwa hubungan seks baru dapat dibenarkan jika haid telah
berhenti dan istri telah mandi.[1]
1. QS. : Al-Muddatsir: 4-5
(5) ( 4)
Dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah.
1. Mufradat ayat:
1.

: dan perbuatan dosa.

2.
2. Penjelasan Ayat

: tinggalkanlah

Kata ( )adala bentuk jama dari ( )yang berarti pakaian. Di samping makna tesebut ia
gunakan juga sebagai majaz dengan makna-makna antara lain hati, jiwa, usaha, badan, budi
pekerti keluarga dan istri.
Kata ( )adalah beentuk perintah, dari kata ( )yang berarti membersihkan dari kotoran.
Kata ini juga dapat dipahami dalam arti majaz, yaitu menyucikan diri dari dosa dan
pelanggaran.
Kata (( ) dengan dhammah pada ra) atau (( ) dengan kasrah pada ra) keduanya
merupakan cara yang benar untuk membaca ayat ini, dan sebagian ulama tidak membedakan arti
yang dikandungnya. Ulama yang tidak membedakan kedua bentuk kata tersebut mengartikannya
dengan dosa, sedangkan ulama yang membedakannya menyatakan bahwa ar-rujz berarti
berhala. Pendapat ini dipelopori oleh Abu Ubaidah.
Kata ( )fahjur, terambil dari kata ( )yang digunakan untuk menggambarkan sikap
meninggalkan sesuatu karena kebencian kepadanya. Dari akar kata ini dibentuk kata-kata
hijrah, karena Nabi dan sahabat-sahabatnya meninggalkan Mekkah atas dasar ketidaksenangan
beliau terhadap perlakuan penduduknya.[2]
Sedangkan di dalam tafsir al-Azhar dijelaskan bahwa sesudah hati dibulatkan kepada Tuhan,
hendaklah tilik diri sendiri, sudahkah bersih. Sebab itu, maka syarat kedua yang wajib
dilengkapkan sesudah membesarkan dan mengagungkan Tuhan ialah; Dan pakaian engkau,
hendaklah engkau bersihkan (ayat 4). Berbagai pula penafsiran ahli tafsir tentang maksud
pembersihan pakaian ini. Tetapi di sini kita ambil saja penafsiran yang sederhana, yaitu sabda
Rasulullah saw. sendiri:

Kebersihan itu adalah satu sudut dari iman (HR. Imam Ahmad dan Turmudzi)
Beliau Rasulullah saw. akan berhadapan dengan orang banyak, dengan pemuka-pemuka dari
kaumnya atau dengan siapa saja. Kebersihan adalah salah satu pokok yang penting bagi menarik
perhatian orang. Kebersihan pakaian besar pengaruhnya kepada sikap hidup sendiri. Kebersihan
menimbulkan sikap hidup sendiri. Kebersihan menimbulkan harga diri, yaitu hal yang amat
penting dijaga oleh orang-orang yang hendak tegak menyampaikan dakwah ke tengah-tengah
masyarakat.
Pakaian yang kotor menyebabkan jiwa sendiri pun turut kusut masai. Tiap-tiap manusia yang
budiman akan merasakan sendiri betapa besar pengaruh pakaian yang bersih itu kepada hati
sendiri dan kepada manusia yang di keliling kita,
Kemudian datanglah perintah agar memenuhi syarat yang ketiga; Dan perbuatan dosa
hendaklah engkau jauhi (ayat lima).

Dalam ayat ini disebut ar-rujza, kita artikan dengan arti yang dipakai oleh Ibrahim an-NakhaI
dan ad-Dhahhak, yaitu hendaklah engkau jauhi dosa. Tetapi menurut riwayat Ali bin Abu
Thalhah yang dia terima dari Ibnu Abbas; ar-rujza di sini artinya khusus, yaitu berhala.[3]
1. QS. : Al-Araf: 31

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid, Makan dan
minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berlebih-lebihan.
1. Mufradat Ayat:

: dan janganlah kalian berlebih-lebihan

: pakaianmu, perhiasan

2. Penjelasan Ayat:
Imam Bukhari mengatakan, Ibnu Abbas berkata bahwa makna yang dimaksud ialah Makanlah
sesukamu dan berpakaianlah sesukamu selagi kau hindari dua pekerti, yaitu, berlebih-lebihan
dan sombong.
Kata yakni janganlah kalian memakan yang diharamkan, karena memakan yang
diharamkan merupakan perbuatan berlebih-lebihan.[4]
Sedangkan di dalam tafsir al-Misbah, disebutkan bahwa makna

adalah dan makanlah makanan yang halal, enak, bermanfaat lagi bergizi, berdampak baik serta
minumlah apa saja yang kamu sukai selama tidak memabukkan, tidak juga mengganggu
kesehatan kamu dan janganlah kamu berlebih-lebihan dalam segala hal, baik dalam beribadah
dengan menambah cara atau kadarnya demikian juga dalam makanan dan minuman apa saja,
Karena sesungguhnya Allah tidak menyukai. Yakni tidak melimpahkan rahmat dan ganjaran bagi
orang-orang yang berlebih-lebihan dalam hal apapun.[5]
Islam, memperhatikan pula kualitas makanan. Tafrit (terlalu menghemat) dan terlalu rakus
merupakan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam:

1. Terlalu banyak makan akan menyebabkan usus tersiksa dan mengganggu pencernaan,
membuat makanan menjadi masam, kadang-kadang menimbulkan luka, infeksi pada usus
besar dan usus dua belas. Kadang usus menjadi lebih panjang karena menahan makanan,
bahkan kelebihan makanan mampu menembus dinding usus dan melukainya sehingga
membahayakan. Semua penyakit ini, terjadi karena terlalu kenyang.
2. Makan terlalu kenyang akan mengganggu proses pencernaan, menjadikan proses
pencernan menjadi begitu sulit. Karena itu Rasulullah menganjurkan agar mengatur jarak
waktu makan dan tidak akan makan kecuali lapar.
3. Rasulullah mensifatkan orang-orang yang berlebih-lebihan dalam makan sebgai orang
yang rakus.
4. Islam tidak menyukai orang yang gemar membusungkan perutnya dan buncit, sebab
keduanya akan menghalangi seorang muslim untuk berjihad dan mematikan semangat
kerja.
5. Di antara gangguan kesehatan yang berbahaya, dan baru ditemukan dewasa ini adalah
hubungan usus besar dengan alat-alat perasa (indra perasa) dalam tubuh, terutama hati.
Hal ini yang disebut pengaruh usus besar terhadap hati. Kondisi usus besar yang penuh
dengan makanan akan menimbulkan gas asam, akhirnya akan mengganggu hati, kadangkadang menimbulkan kuguncangan hati, tekanan darah rendah atau sebaliknya tekanan
darah tinggi (hipertensi) yang berakibat menimbulkan berbagai macam penyakit dalam.
6. Perasaan sakit pada hati disebabkan karena usus besar dikacau-balaukan oleh makanan,
dimana ia tidak mampu mencernanya dengan baik.
7. Dalam kondisi sakit, terutama demam, maka perut besar memerlukan pelayanan sendiri.
[6]
1. QS. : Al-Anam: 145



Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau
darah yang mengalir atau daging babi karena Sesungguhnya semua itu kotor atau binatang
yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang
Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Anam: 145)
Kata (
) rijs/ kotor mengandung makna yang sangat luas, antara lain kotor lahir maupun
bathin, dosa, pekerjaan yang tidak layak dilakukan dan mengarah pada risiko siksa. Syaikh taqi
Falsafi dalam bukunya Child between Heredity ang Education, mengutip Alexis Carrel,
pemenang hadiah Nobel Kedokteran dalam bukunya Man The Unknown, yang menyatakan

bahwa pengaruh campuran (senyawa) kimiawi yang dikandung oleh makanan terhadap aktivitas
jiwa dan pikiran manusia belum diketahui secara sempurna karena belum diadakan sendiri
percobaan secara memadai. Namun, tidak dapat diragukan bahwa perasaan manusia dipengaruhi
oleh kualitas makanan dan kuantitasnya. Nah jika demikian, makanan dan minuman memiliki
pengaruh yang besar bukan saja bagi jasmani manusia tetapi juga bagi perasaan dan jiwanya.
Melalui kata itu, ayat ini bermaksud menjelaskan salah satu hikmah pengharaman babi dan atau
apa yang disebut di atas, yakni bahwa makanan tersebut berdampak buruk dalam jiwa dan
prilaku manusia.
Yang juga menjadi bahasan ulama dalam konteks kata itu adalah apakah kata ia pada firmanNya mR*s sesungguhnya ia rijs, menunjuk kepada semua makanan yang diharamkan itu
atau hanya kepada babi. Kalau kepada babi, ini mengandung penekanan tersendiri terhadap
keburukan babi. Memang, seperti komentar para penulis buku al-Muntkhab fi at-Tafsir, Babi
termasuk binatang pemakan segala (omnivora) atau pemakan organik yang sudah mati atau
busuk (saprofit), termasuk kotoran manusia dan binatang. Itulah sebabnya mengapa babi mudah
menjangkitkan penyakit kepada manusia.[7]
Ayat ini dipahami oleh Imam Malik sebagai membatasi yang haram dalam batas-batas yang
disebut itu, apalagi masih ada ayat-ayat lain yang turun sesudah ayat ini yang juga memberi
pembatasan serupa, seperti dalam surat Al-Baqarah: 173.
Imam Syafii-misalnya- berpegang kepada sekian banyak hadits Nabi yang dinilainya tidak
bertentangan dengan kandungan-kandungan ayat tersebut. Karena walaupun redaksi ayat tersebut
dalam bentuk hasr (pembatasan atau pengecualian), namun itu tidak dimaksud sebagai
pengecualian hakiki.
Di sisi lain, penjelasan tentang haramnya babi seperti dikutip di atas adalah karena rijs (kotor).
Nah, atas dasar inilah dipertemukan hadits-hadits Nabi yang mengharamkan makanan-makanan
tertentu dengan ayat-ayat yang menggunakan redaksi pembatasan di atas. Misalnya hadits yang
mengharamkan semua binatang yang bertaring (buas), burung yang memliki cakar (buas),
binatang yang hidup di darat dan di air, dan sebagainya.[8]
C.

Memahami Hadits-Hadits Nabi tentang Kesehatan


1. Dalam Kitab LuLu wal Marjan

:
:

.

Abu Hurairah r.a. berkata: Nabi saw. Bersabda: Tuntunan fitrah itu ada lima (atau: lima dari
tuntunan fitrah) yaitu: khitan, mencukur bulu di sekitar kemaluan, mencabut bulu ketiak,
memotong kuku, dan memotong (menggunting) kumis. (HR. Bukhari Muslim)[9]

Islam adalah perintis pertama yang berbicara tentang bakteri dan kotoran yang dimasukkan
dalam istilah khabats atau khataya atau syaithan. Sebagai contoh adalah sabda Rasulullah
saw.:

potonglah kukumu, sesungguhnya syetan duduk (bersembunyi) di bawah kukumu yang
panjang .
Hadits diatas dengan jelas menunjukkan adanya bakteri yang tersembunyi di bawah kuku-kuku,
seperti bakteri thypoeid, desentri atau telur cacing.[10]
Banyak bakteri yang hidup di bawah kuku yang panjang dan kotor. Kondisi semacam ini dapat
menularkan penyakit, yakni ketika kita setelah berak tidak mencuci tangan dengan bersih hingga
bakteri yang ada pada tangan berpindah ke makanan. Di antara penyakit yang dipindahkan
adalah semua penyakit yang dibawa lalat terutama typhoeid, solamania, desentri, keracunan
makanan, dan telur cacing terutama cacing aksoris dan ascaris (cacing gelang, yaitu cacing yang
hidup di dalam usus halus manusia) dan cacing pita dengan segala macamnya.
Inilah sebagian penyakit yang dipindahkan oleh serangga, yang dapat berpindah hanya dengan
menyentuh.[11]
_
_ :
.
Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw. Bersabda: Andaikan aku tidak memberatkan pada
umatku (atau pada orang-orang) pasti aku perintahkan (wajibkan) atas mereka bersiwak (gosok
gigi) tiap akan sembahyang. (HR. Bukhari Musllim)[12]
Pejelasan:
Syara melarang seseorang melakukan shalat sedang pada mulutnya masih terdapat sisa-sisa
makanan, melainkan terlebih dahulu dibersihkan dan berkumur tiga kali. Gigi-gigi dibersihkan
dan sisa-sisa makanan yang ada dikeluarkan, karena sisa-sisa makanan yang tertinggal dalam
mulut akan membusuk, dan apabila masuk di antara gigi-gigi akan menimbulkan infeksi yang
pada gilirannya menyebabkan kerusakan gigi, oleh karena itu dilarang menelannya. Apabila
ditinggalkan begitu saja, akan menimbulkan bau yang tidak sedap dan juga mengganggu
kesehatan gigi. Itulah hikmah Rasulillah mendorong kita untuk menggunakan siwak (sikat gigi).
Rasulullah bersabda:

siwak adalah membersihkan mulut dan mendapat keridhoan Tuhan[13]

) ( .

.


Artinya:
1433. Usamah bin Zaid r.a. berkata: Rasulullah saw. Bersabda: Thaun (wabah cacar) itu
suatu siksa yang diturunkan Allah kepada sebagian Bani Israil atau atas umat yang
sebelummu. Maka bila kamu mendengar bahwa pentakit itu berjangkit di suatu tempat,
janganlah kalian masuk ke tempat itu, dan jika di daerah di mana kamu telah ada di sana maka
janganlah kamu keluar dari daerah itu karena melarikan diri dari padanya. .[14]
Penjelasan:
Islam meletakkan suatu kaidah kesehatan yang sangat penting untuk mengantisipasi penyakit
menular, seperti kolera, thaun, dan sopak.
Kaidah-kaidah ini tidak berbeda dengan nilai-nilai sains modern dewasa ini. Apabila kita
mengetahui perkembangan kesehatan, maka kita akan mengetahui jika terjadi wabah kolera, atau
sopak di suatu kota, maka buatlah pengaman di sekitarnya. Kemudian dengan alasan apapun, tak
seorang pun didizinkan memasukinya, kecuali para petugas kesehatan atau orang yang
mempunyai kepentingan di dalamnya, itu pun mesti di bawah pengawasan Departemen
Kesehatan.
Suatu ketika Umar bin Khattab hendak mengunjungi Syam bersama para sahabat. Maka Abu
Ubaidah, Gubernur Syam pada waktu itu, keluar untuk menjemputnya di jalan dan
menyampaikan kepadanya bahwa di negeri ini sedang berjangkit wabah penyakit thaun, maka
Umar pun bermusyawarah dengan para sahabat yang mengikutinya. Di antara mereka ada yang
mengusulkan agar tetap ke Syam dan tidak membatalkan atau tidak lari dari qadar Allah.
Sebagian yang lain mengusulkan agar kembali dan tidak menghadapkan kaum muslimin dan
para sahabat itu ke dalam lingkungan yang terjangkit wabah thaun itu. Mereka berpendapat
bahwa lari dari qadar Allah kepada qadar Allah.
Akhirnya datang seorang sahabat menyampaikan sebuah hadits yang didengar dari Rasulullah
saw. Maka mereka kembali ke Madinah, sedangkan penduduk Syam diperintahkan agar tidak
meninggalkan daerahnya sehingga wabah itu benar-benar hilang.[15]
1. Dalam Kitab Shahih Muslim

Semua yang memabukkan adalah haram, dan semua yang memabukkan adalah khamr. (HR.
Muslim melalui Ibnu Umar)
Di sisi lain Imam At-Tirmidzi, AN-NasaI, dan Abu Dawud meriwatkan melalui sahabat Jabir bin
Abdillah bahwa Nabi saw. bersabda:


sesuatu yang memabukkan bila banyak, maka sedikit pun tetap haram. (HR. Imam AtTirmidzi, AN-NasaI, dan Abu Dawud)
Dari pengertian kata khamr dan esensinya seperti yang dikemukakan di atas, maka segala macam
makanan dan minuman yang terolah atau tidak, selama mengganggu pikiran maka dia adalah
haram.[16]
Rasulullah saw. bersabda:
.

Pukulah dia dengan pagar ini sebab minuman ini minuman orang yang tidak beriman kepada
Allah dan hari akhir.
Minuman keras dapat membangkitkan kangker tenggorokan, di samping menyebabkan
pendarahan di tenggorokan, pembengkakan pembulu darah di pangkal tenggorokan, radang
pangkreas, dan lain-lainya, ada kalanya dapat menyebabkan kematian.
Khamr mempunyai arti setiap minuman yang dihasilkan dari perasan anggur, namun berarti pula
setiap yang memabukkan disebut khamr, karena dapat menutupi dan merusak akal. Rasulullah
mendera peminum khamr sebanyak 40 kali deraan. Umar bin Khattab mencambuknya dengan 80
kali cambukan, menurut hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah pernah
bersabda: Setiap yang memabukkan itu khamr, dan setiap khamr itu haram.
1. D.

Pokok-Pokok Kandungan Ayat dan Hadits

Islam adalah satu-satunya agama yang datang laksana undang-undang dasar, atau protokolprotokol yang mengatur kedokteran, pengobatan, dan kesehatan masyarakat. Dialah yang pada
saat ini disebut dengan at-Tibbul Wiqai.
Dalam tinjauan ilmu kesehatan, kesehatan manusia itu dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Kesehatan fisik
2. Kesehatan mental
3. Kesehatan masyarakat
Pokok-pokok yang terkandung dalam syariat Islam tentang kesehatan adalah sebagai berikut:
1. Sanitation and personal hygiene (kesehatan lingkungan dan kesehatan), yang meliputi
kesehatan badan, tangan, gigi, kuku, dan rambut. Demikian juga kebersihan lingkungan,
jalan, rumah, tata kota, saluran irigasi, sumur dll.

2. Epidemiologi (prteventif penyakit menular) melalui karantina, preventif kesehatan, tidak


memasuki suatu daerah yang terjangkit wabah penyakit, tidak lari dari tempat itu,
mencuci tangan sebelum menjenguk orang sakit dan sesudahnya, berobat ke dokter dan
mengikuti semua petunjuk preventif dan terapinya.
3. Memerangi binatang melata, serangga dan hewan yang menularkan penyakit kepada
orang lain. Oleh karena itu diperintahkan agar membunuh tikus, kala jengking dan
musang serta membunuh serangga yang berbahaya seperti kutu, lalat dan diperintahkan
untuk membunuh anjing liar dan anjing gila.
4. Nutrition (kesehatan makanan)
Masalah kesehatan makanan ini terbagi ke dalam tiga bagian yaitu:
1. Menu makanan yang berfaedah terhadap kesehatan jasmani, seperti tumbuh-tumbuhan,
daging binatang darat, daging binatang laut, segala sesuatu yang dihasilkan dari daging,
madu, kurma, susu, dan semua yang baergizi.
2. Tata makanan. Islam melarang berlebih-lebihan dalam hal makanan, makan bukan karena
lapar hingga kekenyangan, diet ketika sedang sakit, memerintahkan puasa agar usus dan
perut besarnya dapat beristirahat dan tidak berbuka puasa dengan berlebih-lebihan dan
melampaui batas.
3. Mengharamkan segala sesuatu yang berbahaya bagi kesehatan, seperti bangkai, darah,
dan daging babi.
1. Sex Hygiene (kesehatan seks)
Yakni meliputi hal-hal yang berkaitan dengan seks, kebersihan seks seperti mandi setelah
bersetubuh, istinjasetelah kencing dan berak.
1. Mental and Psychic Hygiene (kesehatan mental dan jasmani)
Yakni ajaran-ajaran untuk mencegah terjadinya stress, oleh karena itu Islam melarang semua
benda yang dapat menghilangkan kesadaran dan melemahkan daya pikir, seperti khamr.
1. E.

Korelasi antara Ayat dan Hadits tentang Kesehatan

Islam menetapkan tujuan pokok kehadirannya untuk memelihara agama, jiwa, akal, jasmani,
harta, dan keturunan bagi umat manusia. Diantara kelima unsur tersebut yang berkaitan dengan
kesehatan adalah jiwa, akal dan jasmani.
Islam bertujuan memelihara jiwa, akal dan jasmani umat manusia. Anggota badan manusia pada
hakekatnya adalah milik Allah yang dianugerahkan-Nya untuk dimanfaatkan dengan sebaikbaiknya, bukan untuk disalah gunakan.

Dari beberapa ayat Al-Quran dan hadits Nabi di atas, dapat tarik sebuah korelasi (hubungan)
bahwa Islam sangat menekankan tentang kebersihan, baik kebersihan jasmani maupun rohani. Di
satu sisi Allah memerintahkan untuk menjaga kesehatan dan kebersihan fisik, di sisi yang lain
Allah juga memerintahkan untuk menjaga kesehatan mental dan jiwa (rohani).
Dalam hal kesehatan jasmani, Islam memerintahkan untuk menjaga kebersihan pakaian (QS. AlMuddatsir: 4-5) dan perintah untuk membersihkan badan (hadits tentang lima hal dari fitrah)
Sedangkan dalam hal kesehatan rohani, Islam memerintahkan untuk meninggalkan segala
sesuatu yang dapat merusak akal, seperti khamr dan segala sesuatu yang dapat menghilangkan
akal.

[1] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misabah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran, (Jakarta:
Lentera Hati, 2007), 448.
[2]Ibid., Hal. 556-557.
[3] Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz 29, (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1982), 202-203
[4] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: PT Sinar Baru Algresindo, 2002), 290-291
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misabah, 75
[6] Ahmad Syauqi Al-Fanjari, Nilai Kesehatan dalam Syariat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,
1996), 61-64.
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misabah , 707-708
[8] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: MIZAN, 1998), 142-143.
[9] M. Fuad Abdul Baqi, al-Lulu wal Marjan, penerjemah H. Salim Bahreisy, (Surabaya: PT
Bina Ilmu, 2002), 96
[10] Ahmad Syauqi Al-Fanjari, Nilai Kesehatan,11.
[11] Ibid., Hal. 35.
[12] M. Fuad Abdul Baqi, al-Lulu wal Marjan, 95.
[13] Ahmad Syauqi Al-Fanjari, Nilai Kesehatan dalam Syariat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,
1996),20-21.
[14] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Lului wal Marjan, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2006),
853-854

[15] Ahmad Syauqi Al-Fanjari, Nilai Kesehatan, 40-41.


[16] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, 147-148.

Anda mungkin juga menyukai