Anda di halaman 1dari 15

BAGAIMANA MANUSIA MEMAHAMI UJARAN

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikolinguistik

Dosen Pembimbing :
Rizki Erdayani,S.Pd., M.A.

Disusun Oleh:

Fitri Yuliani 12011224170

Rinanda Setyanisa Guntoro 12011223270

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

PEKANBARU

2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirrat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini yang alhamdulillah
tepat pada waktunya yang berjudul “Bagaimana manusia memahami ujaran”.
Makalah ini berisi informasi tentang Bagaimana manusia memahami ujaran. Diharapkan
makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang kritik sastra bandingan.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun kami selalu harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir, semoga Allah SWT senantiasa meridhai
segala usaha kita, Aamin.

Pekanbaru, 25 September 2022

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Balakang ……………………………………………..……………………………….4


1.2 Rumusan Masalah …………………………..………………………………………………4
1.3 Tujuan ………………………………………………………………………………………4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Struktur Batin dan Struktur Lahir …………………………………………………………..5


2.2 Proposisi …………………………………………………………...………………………5
2.3 Konstituen Sebagai Realita Psikoligis ………………………………..…………………….6
2.4 Strategi Dalan Memahami Ujaran ………………………………………………………….7
2.5 Ambiguitas …………………………………………………………………...…………….9

2.5.1 Macam Ambiguitas ………………………………………………...……………10

2.5.2 Macam Pemrosesan Kalimat Non-harfiah ………………………….……………10

2.5.3 Pemrosesan Secara Sintaksis atau Semantik …………………….………..……..11

2.6 Penyimpanan Kata ……………………………………………………………..……….….12

2.6.1 Faktor yang Mempengaruhi Akses terhadap Kata …………………..…………..12

2.6.2 Teori Tentang makna …………………………………………………...….……13

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan …………………………………………………………………..……..……..14

3.2 Saran …………………………………………………………………………………..…..14

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
3
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dari gambaran di atas dapatlah disimpulkan bahwa kata di simpan dalam benak kita
berdasarkan berbagai 4ahasa: ada yang berdasarkan keseringannya, ada yang
berlandaskan ketergam barannya, ada yang karena kemiripan fonetiknya, ada yang ka
rena kedekatan semantiknya, dan ada pula yang karena kategori sintaktiknya. Fitur
4ahasa4c juga memegang peran yang sangat besar karena kedekatan antara satu entitas
dengan entitas yang lain dapat pula disebabkan oleh jumlah serta macam fitur yang sama
atau mirip.
Manusia dapat memahami ujaran karena mereka dapat mengenali kata-kata yang
mereka dengar secara intuitif yang sebenarnya berdasarkan pada pengetahuan yang
mereka miliki tentang 4ahasa dan budaya mereka. Mereka dapat pula meretrif kata-kata
yang mereka perlukan waktu berujar karena kata-kata ini terorganisir secara sistematis
dalam benak manusia berdasar kan berbagai kritea
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana struktur batin dan lahir pada suatu ujaran ?
2. Bagaimana proposisi terhadap ujaran itu ?
3. Bagaimanakah konstituen dalam ujaran tersebut ?
4. Apa saja strategi dalam memahami ujaran ?
5. Bagaimana ambiguitas dalam suatu ujaran ?
6. Bagaimana penyimpanan kata dalam suatu ujaran ?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui proposisi mengenai memehami ujaran


2. Untuk mengetahui strategi dalam memahami ujaran
3. Untuk mengetahui ambiguitas dalam ujaran tersebut
4. Agar mengetahui bagaimana penyimpanan dalam ujaran
5. Untuk mengetahui struktur batin dan lahir terhadap ujaran

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Struktur Batin dan Struktur Lahir


Dalam kebanyakan hal makna suatu ujaran dapat difahami dari urutan kata yang
terdapat pada ujaran tersebut, atau dari ciri-ciri tertentu masing-masing kata yang
dipakai. Seperti kalimat :
(1) Lelaki tua itu masih dapat bermain tenis
Dapat difahami cukup dari urutan kata-kata yang terdengar atau terlihat oleh kita.
Siapa pun yang mendengar kalimat ini akan memberikan interpretasi makna yang sama,
yakni, adanya seorang lelaki, lelaki itu tua, dia dari dulu sampai sekarang bermain
sesuatu, dan sesuatu itu adalah tenis.
Pada kasus yang lain, tidak mustahil bahwa suatu kalimat yang tampaknya
sederhana ternyata memiliki makna yang rumit. Seperti kaliamt :
(2) Lelaki dan wanita tua itu masih dapat bermain tenis
Kita tidak yakin apakah lelaki itu juga tua seperti si wanita atau hanya wanitanya
sajalah yang tua sedangkan lelakinya tidak. Interpretasi ini muncul karena adjektiva tua
dapat berfungsi sebagai pewatas hanya pada nomina wanita saja atau pada frasa lelaki
dan wanita.
Dari contoh-contoh di atas tampak bahwa makna suatu kalimat ternyata tidak
hanya ditentukan oleh wujud permukaan yang kita dengar atau lihat saja tetapi bahkan
terutama oleh representasi yang mendasarinya. Dengan kata lain, suatu kalimat tidak
hanya memiliki struktur lahir tetapi juga struktur batin.

2.2 Proposisi
Waktu kita mendengar suatu ujaran, yang kita dengar memang serentetan bunyi
yang membentuk sukukata, dan dari sukukata menjadi kata, dari kata menjadi frasa,
dst. Akan tetapi, untuk memahami ujaran itu kita harus meramu bunyi dan kata-kata itu
sehingga terbentuklah representasi makna yang mendasarinya. Unit-unit makna pada
kalimat dinamakan proposisi. Dengan kata lain, untuk memahami suatu kalimat kita
perlu memahami proposisi yang dinyatakan oleh kalimat tersebut.
Proposisi terdiri dari dua bagian:
(a) argumen, yakni, ihwal atau ihwal-ihwal yang dibicarakan, dan

5
(b) predikasi, yakni, pernyataan yang dibuat mengenai argumen.
Ada beberapa macam proposisi seperti terlihat berikut:
(1) a Marsudi menyanyi. (Proposisi mepredikati kegiatan menyanyi oleh Marsudi)
b. Santi sakit. (Proposisi memperdikati keadaan Santi sedang sakit )
Pada contoh (1) menyanyi, dan sakit, adalah predikasi sedangkan Marsudi,
Santi, adalah argumen. Argumen bisa apa atau siapa saja dan predikat juga bisa
bermacam-macam,
Suatu kalimat bisa mengandung lebih dari satu proposisi. Dalam kalimat :
(2) Preman tua itu mencuri sepeda saya
terdapat proposisi-proposisi berikut:
Seseorang mencuri sepeda, Seseorang itu adalah preman, Preman itu tua, Sepeda itu
sepeda saya. Pengertian mengenai proposisi ini penting untuk komprehensi karena yang
kita fahami dari suatu kalimat sebenarnya adalah proposisi-proposisi itu kenyataan
bahwa ada orang, orang itu preman, preman itu tua, orang itu mencuri sepeda, sepeda
yang dicuri adalah sepeda milik saya, dsb.
Begitu kita mendengar sebuah kata, proses mental kita mulai bekerja dan
membangun makna untuk kata ini dengan memanfaatkan fitur-fitur yang ada pada kata
itu. Pada saat kita mendengar kata preman muncullah dalam benak kita fitur-fitur
semantik [+manusia], [+jantan], [+perilaku negatif], dsb. Kata tua menambahkan fitur
[+berumur lanjut], dan kata itu menambahkan lagi fitur [+definit] (dan bukan
[+generik]). Pengurutan kata preman, kemudian tua, dan kemudian itu (dan bukan
preman, lalu itu, dan kemudian tua!) membentuk suatu hierarkhi proposisi pada tataran
frasa yang menyatakan bahwa lelaki tersebut adalah preman yang telah berumur lanjut.
Dan prosesnya berlanjut sehingga kalimat 2 tersebut terbentuk. Yang sering terjadi pada
manusia adalah bahwa begitu suatu proposisi kalimat difahami, kata-kata yang
mewakilinya menjadi tidak penting lagi. Kita bahkan sering lupa kata-kata apa
persisnya yang dipakai oleh penutur tadi. Hal ini terbukti dengan kenyataan bahwa
kalau kita harus menyatakan proposisi tersebut, belum tentu kita akan memakai kata-
kata dan urutan yang sama.

2.3 Konstituen Sebagai Realita Psikologis


Dalam analisis bahasa, kita selalu disodori dengan pemotongan kalimat menjadi
berbagai bagian yang masing-masingnya dinamakan konstituen. Pemotongan kalimat
menjadi konstituen mempunyai landasan psikologis maupun sintaktis yang kuat.

6
Pertama, konstiltuen merupakan satu kesatuan yang utuh secara konseptual. Frasa
nomina preman tua itu pada contoh di atas memiliki satu makna konseptual yang utuh
karena frasa ini dapat digantikan dengan konstituen lain yang berupa hanya satu kata,
misalnya, Alex atau dia. Penggantian satu kata untuk frasa nomina ini menunjukkan
bahwa frasa ini mengandung satu ke satuan makna. Kedua, pemotongan kelompok kata
di luar konstituen akan mengganggu komprehensi kita. Cobalah kita lihat petikan (A)
berikut dengan berhenti sejenak hanya pada tiap tanda /.
A. Kaidah-kaidah / penyakit ini memang sukar. Para / mahasiswa sering kurang
dapat / menggunakan kaidah ini dengan sempurna
Sekarang bacalah petikan di atas yang disajikan berdasarkan pemotongan konstituen
yang benar seperti pada (B) berikut dengan tanda // untuk hentian yang agak lebih lama:
B. Kaidah-kaidah penyakit ini memang sukar //. Para mahasiswa sering kurang
dapat menggunakan / kaidah ini dengan sempurna //
Dari (A) dan (B) di atas dapat kita rasakan bahwa cara membaca pada (A)
membuat kita sebagai pendengar kesukaran memahami kutipan itu. Sebaliknya, cara
pada (B) memudahkan kita memahami isi kutipan tersebut.
Ketiga, yang kita simpan dalam memori kita bukanlah kata kata yang terlepas
dari konstituennya, tetapi kesatuan makna dari masing-masing konstituen.

2.4 Strategi dalam Memahami Ujaran


Kita memakai strategi-strategi sintaktik untuk membantu kita memahami suatu
ujaran. Strategi-strategi ini antara lain adalah:
1. Setelah kita mengidentifikasi kata pertama dari suatu konstituen yang kita
dengar, proses mental kita akan mulai mencari kata lain yang selaras dengan
kata pertama dalam konstituen tersebut. Seandainya kata pertama yang kita
dengar adalah orang, maka kita mencari kata lain yang secara sintaktis bisa
berkolokasi dengan kata ini. Kata-kata ini bisa tua, besar, bodoh, atau itu. Proses
seperti ini terjadi karena kita sebagai penutur asli bahasa Indonesia secara
intuitif tahu bahwa kata seperti orang hampir selalu diikuti oleh sesuatu yang
lain untuk bisa menjadi suatu konstituen. Karena itu, kita mengharap kan
adanya kata lain yang menyusul.
2. Setelah mendengar kata yang pertama dalam suatu konstituen, perhatikan
apakah kata berikutnya mengakhiri konstruksi itu. Seandainya setelah kata
orang muncullah kata yang, maka kita berkesimpulan bahwa konstruksi orang

7
yang tidak mungkin membentuk suatu konstituen. Karena itu, benak kita masih
mengharapkan adanya kata atau kata-kata lain yang mengikutinya lagi. Karena
secara intuitif kita juga tahu bahwa kata yang pastilah membentuk anak kalimat
maka kita mengharapkan munculnya anak kalimat itu. Begitu anak kalimat tadi
muncul, misalnya, Orang yang mencari kamu, kita akan merasa lega karena
dengan adanya anak kalimat ini maka telah terciptalah suatu FN.
3. Setelah kita mendengar suatu verba, carilah macam serta jumlah argumen
yang selaras dengan verba tersebut. Jika verba yang kita dengar misalnya, verba
memukul, maka kita pasti mengharapkan adanya satu argumen, yakni, benda
atau makhluk yang dipukul.
(11) Dia memukul...
4. Tempelkanlah tiap kata baru pada kata yang baru saja mendahuluinya.
Strategi ini berkaitan dengan kenyataan bahwa wujud kalimat memang dalam
bentuk linear sehingga kata yang mengikuti biasanya menjelaskan kata yang
mendahuluinya. Perhatikan contoh berikut:
(13) buku sejarah kebudayaan Indonesia
Ikutilah progresi pikiran berikut: (a) Ini apa? - buku, (b) buku apa? buku sejarah;
(c) sejarah apa? sejarah kebudayaan; (d) kebudayaan bangsa mana? - kebudaya an
bangsa Indonesia.
5. Pakailah kata atau konstituen pertama dari suatu klausa untuk
mengidentifikasi fungsi dari klausa tersebut. Seandainya kata yang kita dengar
adalah jika, meskipun, atau ketika, maka pastilah akan ada klausa induk dalam
kalimat tersebut. Contoh:
(15) Jika kamu setuju, ...
(16) Ketika kami di Medan, ...

Di samping strategi sintaktik, orang juga memakai strategi semantik dalam


memahami ujaran. Berikut adalah beberapa strategi semantik yang kita pakai:
1. Pakailah nalar dalam memahami ujaran. Kita hidup dalam masyarakat yang memiliki
persepsi yang sama tentang banyak hal, misalnya, kita pasti sama-sama memahami
bahwa di dunia ini kucing mengejar tikus, dan bukan sebaliknya. Dengan pengetahuan
seperti ini maka kalau kita diberi proposisi yang berkaitan dengan seekor tikus, seekor
kucing, dan perbuatan mengejar, pastilah kita berpikir bahwa kalimat yang kita dengar
adalah seperti

8
(21a) Kucing itu mengejar tikus. Dan bukan,
(21b) Tikus itu mengejar kucing.
2. Carilah konstituen yang memenuhi syarat-syarat semantik tertentu. Kalau kita
mendengar kata mencarikan, pastilah muncul dalam benak kita konsep-konsep semantik
yang berkaitan dengan kata ini, yakni, (a) pasti harus ada pelaku perbuatan, (b) pasti ada
obyek yang dicari, dan (c) pasti ada orang lain yang dicarikan apa pun yang dicari itu.
Dengan demikian, kalau kalimat yang kita dengar hanyalah
(22) Dia sedang mencarikan anaknya
pastilah kita masih mengharapkan adanya kelanjutan dari kalimat itu karena
verba mencarikan belum lengkap kalau hanya diikuti oleh orang yang mendapat
manfaat, dalam hal ini anaknya.
3. Apabila ada urutan kata N V N, maka N yang pertama adalah pelaku perbuatan,
kecuali ada tanda-tanda lain yang mengingkarinya. Dalam kalimat
(23a) Dia nabrak polisi
dia adalah pelaku perbuatan. Akan tetapi, bila verbanya telah ditandai oleh afiks
tertentu, misalnya, prefiks di-, sehingga kalimatnya menjadi
(23b) Dia ditabrak polisi
kata dia tidak lagi menjadi pelaku perbuatan.
4. Bila dalam wacana kita temukan pronomina seperti dia, mereka, atau kami,
mundurlah dan carilah antesiden un tuk pronomina ini. Dalam suatu wacana berikut
(24) Waktu itu saya, Fivien, dan Marsudi sedang menyusuri sungai. Tiba-tiba kami lihat
ada seekor ular besar yang...
kita temukan pronomina kami pada kalimat kedua. Pada saat kita membaca atau
mendengar kata ini, kita otomatis pasti akan mundur untuk mencari antesiden dari
pronomina ini, dan kita temukan tiga orang, yakni, saya, Fivien, dan Marsudi.
Dari gambaran di atas tampak bahwa baik strategi sintaktik maupun strategi
semantic diperlukan untuk memahami ujaran.

2.5 Ambiguitas
Dalam beberapa hal kadang-kadang kita menemukan kalimat yang bermakna
lebih dari satu yang umumnya disebut sebagai kalimat yang ambigu atau taksa. Dari
segi pemrosesan untuk pemahaman, kalimat yang ambigu memerlukan waktu yang
lebih lama untuk diproses. Hal ini terjadi karena pendengar menerka makna tertentu
tetapi ternyata terkaan dia itu salah sehingga dia harus mundur lagi untuk memproses

9
ulang seluruh interpretasi dia. Dalam kalimat Inggris berikut :
(27a) Mohamad Ali's punch was so powerful ..
kita pasti menerka bahwa yang dimaksud dengan punch adalah pukulan
Mohamad Ali karena dari pengetahuan dunia kita tahu bahwa Mohamad Ali adalah
seorang mantan petinju tingkat dunia. Akan tetapi, begitu pembicara menambahkan
kata-kata baru sehingga seluruh kalimatnya berbunyi
(27b) Mohamad Ali's punch was so powerful that everyone at the party got drunk
kita menjadi sadar bahwa terkaan kita yang pertama adalah keliru. Ternyata kata
punch bukan merujuk pada pukulan tetapi pada macam minuman yang disuguhkan pada
waktu pesta. Untuk memperoleh pemahaman ini kita harus balik kepermulaan kalimat,
dan ini tentunya makan waktu.

2.5.1 Macam Ambiguitas


Dilihat dari segi unsur leksikal dan struktur kalimatnya, ambiguitas dapat dibagi
menjadi dua macam: (a) ambiguitas leksikal dan (b) ambiguitas gramatikal. Sesuai
dengan namanya, ambiguitas leksikal adalah macam ambiguitas yang penyebabnya
adalah bentuk leksikal yang dipakai. Dalam kalimat :
(28) He was shot near the bank
kita tidak tahu apakah dia ditembak di tempat simpan menyimpan uang ataukah
di tepian sungai. Ambiguitas ini muncul semata-mata karena bentuk leksikal bank
mempunyai dua makna: tempat simpan-menyimpan uang dan tepian sungai.
Ambiguitas gramatikal adalah macam ambiguitas yang penyebabnya adalah
bentuk struktur kalimat yang dipakai. Dalam bahasa Indonesia kita ketahui bahwa bila
dua nomina berjejeran sebagai frasa, maka nomina kedua dapat menerangkan nomina
pertama atau nomina kedua merupakan objek dari nomina pertama. Dengan demikian,
kalimat :
(30) Pengusaha wanita itu kaya
adalah ambigu karena pengusaha wanita bisa berarti pengusaha yang berjenis
kelamin wanita atau pengusaha yang mendagangkan wanita. Ambiguitas ini muncul
semata-mata karena urutan katanya, karena struktur kalimatnya. Bila dibalik, wanita
pengusaha, maka tidak akan muncul ambiguitas itu.

2.5.2 Pemrosesan Kalimat Non-harfiah


Kalimat yang kita dengar tidak selalu mengungkapkan perpaduan makna dari

10
tiap kata yang ada dalam kalimat tersebut. Seringkali terjadi bahwa makna dari suatu
elemen A yang berjejer dengan elemen B tidak dapat ditelusuri dari makna A maupun
B. Kolokasi antara A dan B bukan memunculkan mak na AB tetapi makna C. Sebagai,
kata tong dan kata seng bila dikolokasikan akan membentuk frasa tong seng. Elemen A
dan B yang memunculkan makna C dinamakan idiom. Dengan kata lain, makna frasa
yang dinamakan idiom tidak merujuk pada makna masing-masing kata; karena tong
seng telah membentuk makna tersendiri, yakni, makanan semacam soto maka tong seng
kita namakan idiom.
Ungkapan idiom, metafora, seperti ini harus pula kita fahami dengan benar.
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana kita memahami kalimat kalimat seperti ini.
Jawaban untuk hal ini belum ada yang memuaskan. Sebagian teori menyatakan bahwa
ada tiga tahap da lam pemrosesannya. Pertama, kita berikan tanggapan secara harfiah
untuk tiap kata yang masuk terlebih dahulu. Jadi, begitu mendengar kata tong, maka
segala fitur yang berkaitan dengan kata ini muncul dalam benak kita: [-bernyawa],
[+benda], [ manusia], [+nomina], dsb. Begitu juga waktu mendengar kata seng.
Kemudian kita berikan makna harfiah terhadap kata-kata yang kita dengar itu. Dalam
contoh tadi kita memberikan makna harfiah terhadap tong seng. Ternyata kolokasi
antara tong dan seng, apalagi bila dalam konteks dia lagi makan tong seng, tidak masuk
akal. Karena terbentur pada interpretasi semacam ini maka masuklah kita ketahap
pemrosesan ketiga, yakni, mencari makna lain di luar makna harfiah yang mustahil itu.
Dengan pengetahuan kita tentang dunia di mana kita ting gal, akhirnya dapatlah kita
memahami makna yang dimaksud.

2.5.4 Pemrosesan Secara Siontaksis atau Semantik


Seperti dinyatakan sebelumnya, ada dua macam pendekatan yang membantu kita
mempersepsi dan memahami ujaran, dan kedua pendekatan ini seolah-olah merupakan
dua kelompok yang berdiri sendiri-sendiri. Dalam kenyataannya kedua kelompok ini
saling membantu. Kompetensi kita sebagai penutur asli tentang sintaksis 11ahasa kita
tentu merupakan bekal intuitif yang membimbing kita untuk menerima, menolak,
meragukan, dan mendeteksi ambiguitas suatu kalimat. Sebagai penutur asli, kita juga
memiliki intuisi semantik, baik yang sifatnya universal (misalnya, kuda dapat memakai
sepatu sedangkan buaya tidak – horseshoes vs alligator shoes) maupun yang 11ahas
(mengawini harus dengan pelaku pria).

11
2.6 Penyimpanan Kata
Saat kita ditanyak benda yang bisa dipakai untuk menulis dan terdapat tinta,
maka “tanpa berfikir” kita katakana itu pena.Proses penyimpanan kata sangatlah
Panjang dan komplek. Pertama, kita harus dapat terlebih dahulu menentukan apakah
empat bunyi yang kita dengar itu, /p/ /e/ /n/ /a/, adalah kata dalam bahasa kita.
Penentuan ini didasarkan pada kompetensi kita sebagai penutur bahasa Indonesia yang
secara intuitif tahu bahwa urutan bunyi seperti itu memang mengikuti kaidah fonotaktik
Bahasa kita atau tidak; artinya, apakah urutan bunyi seperti di atas membentuk wujud
yang “pantas” dalam Bahasa kita. Seandainya urutannya adalah /n/ /p/ le la npea
bagaimana? Kedua, kita harus mengumpulkan fitur-fitur apa yang secara alami melekat
pada benda itu bentuk fisiknya, ukurannya, fungsinya, warnanya, dsb. Ketiga, kita
harus membandingkan dengan benda-benda lain yang fitur-fiturnya tumpang tindih
dengan fitur-fitur ini, misalnya, pensil, kapur, spidol. Pena dan pensil, misalnya,
memiliki bentuk fisik yang mirip dan fungsinya pun juga boleh dikatakan sama, yakni,
untuk menulis. Namun ada fitur lain yang membuat kedua benda itu berbeda yang satu
mudah dihapus, yang lainya tidak, dst. Keempat, kita harus memilih di antara benda-
benda yang sama itu mana yang memenuhi semua syarat. Proses ini tentunya makan
waktu karena untuk mencapai kata yang kita inginkan harus dilakukan proses eliminasi:
pensil memenuhi banyak syarat, tetapi wujud fisik tulisannya bukan dari tinta; spidol
juga memenuhi banyak syarat tetapi wujud fisik besar dan hasil tulisannya juga
berbeda, dst.

2.6.1 Faktor Mempengaruhi Akses Terhadap Kata


Pada dasarnya retrival kata dipengaruhi oleh pelbagai faktor. Pertama, frekuensi
kata: makin sering suatu kata dipakai makin cepatlah kita dapat memanggilnya pada
saat kita memer lukannya. Faktor kedua adalah ketergambaran: suatu kata yang dapat
dengan mudah digambarkan atau dibayangkan akan lebih mu dah dimengerti dan
diingat. Faktor ketiga adalah keterkaitan semantik kata tertentu membawa keterkaitan
makna yang lebih dekat kepada kata tertentu yang lain dan bukan kepada kata tertentu
yang lainnya lagi. Faktor keempat adalah kategori gramatikal: ada kecenderungan
bahwa kata-kata disimpan berdasarkan kategori sintaktiknya. Faktor kelima adalah
faktor fonologi: morfem yang bunyi nya sama atau mirip disimpan pada tempat-tempat
yang berdekatan. Hal ini terbukti pada gejala “lupa-lupa ingat” (tip of the tongue). Kata

12
yang kita lupa-lupa ingat memiliki ciri-ciri berikut: (a) jumlah sukukatanya sama
dengan kata yang sebe narnya, (b) konsonan pertama untuk kata itu selalu sama dengan
konsonan pertama aslinya, dan (c) bunyi kata itu mirip dengan bunyi kata aslinya.

2.6.2 Teori Tentang Makna


Seorang anak yang sedang dalam proses memperoleh bahasa suatu hari diberitahu
oleh ibunya bahwa binatang yang mereka lihat di halaman depan itu adalah anjing: “Oh,
itu, ada guguk, Dhira.” Tertanamlah pada benak anak itu bahwa binatang itu adalah
“guguk.” Anak lalu menyerap fitur-fitur yang ada pada binatang itu – kakinya empat,
berbulu coklat, telinganya dua, matanya dua, ekornya satu, dst. Keesokan harinya dia
melihat binatang yang memenuhi syarat-syarat itu, kecuali ukurannya lebih kecil. Dia
berkata pada ibunya “Mama, guguk.” Ibunya menyahut: “O, itu bukan guguk, Dhira.
Itu pus.” Dst.
Dari cerita di atas dapat kita lihat bahwa untuk membentuk pengertian mengenai
konsep anjing saja bukanlah suatu hal yang mudah. Untuk menjawab hal semacam ini,
bagaimana orang memahami makna kata, diajukan dua teori: teori fitur dan teori
berdasar-pengetahuan.
Teori Fitur pada dasarnya menyatakan bahwa kata memiliki seperangkat fitur, atau
ciri, yang menjadi bagian integral dari kata itu. Kata kucing, misalnya, memiliki fitur
[+bernyawa], [+binatang]. [+warna (hitam, soklat, putih, belang-belang)]. [+kaki
empat], [+telinga dua],dst. Fitur-fitur inilah yang secara keseluruhan membentuk
konsep yang dinamakan kucing.
Meskipun teori fitur ini sangat bermanfaat, ada beberapa masalah yang belum
terpecahkan dalam teori ini. Dalam hal fitur suatu konsep, misalnya, kuda, memang
binatang ini hanya memiliki empat kemungkinan warna: hitam, putih, coklat, atau
belang-belang. Akan tetapi, jika kita andaikan ada orang yang mengecat kudanya
dengan warna hijau, apakah binatang itu sudah bukan kuda lagi?.
Untuk menangani masalah ini muncullah teori lain yang di namakan Teori
Berdasar-pengetahuan. Dalam teori ini tidak hanya fitur yang dilihat tetapi juga esensi
dan konteksnya. Manusia tidak hanya menyerap fitur-fitur itu tetapi juga melihat
esensinya. Kucing, misalnya, memang memiliki fitur [+kaki 4], tetapi tidak mustahil
bahwa ada kucing yang karena kegagalan sejak lahir hanya mempunyai tiga kaki.
Begitu juga saat satu kakinya patah, dia akan terus hidup dengan tiga kaki. Binatang ini
akan saja tetap kita anggap sebagai kucing.

13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari sudut pandang ilmu psikolinguistik, ada dua macam komprehensi (Clark
& Clark 1977). Pertama, komprehensi yang berkaitan dengan pemahaman atas ujaran
yang kita dengar. Kedua, komprehensi yang berkaitan dengan tindakan yang perlu
dilakukan setelah pemahaman itu terjadi. Untuk macam yang pertama, komprehensi
dapat didefinisikan sebagai suatu proses mental di mana pendengar mempersepsi bunyi
yang dikeluarkan oleh seorang pembicara dan memakai bunyi-bunyi itu untuk
membentuk suatu interpretasi tentang apa yang kiranya dimak sud oleh pembicara tadi.
Secara mudah dapat dikatakan bahwa komprehensi adalah pembentukan makna dari
bunyi.
Setelah pemahaman atas ujaran itu terjadi, pendengar me nentukan apakah ada
tindakan yang perlu dilakukan sesuai de ngan apa yang dia fahami. Proses mental ini
dinamakan pelak sanaan kalimat (utilization of sentences).

3.2 Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari masih terdapat kesalahan,
baik dari segi penulisan maupun dari segi penyusunan kalimatnya. Dari segi isi juga
masih perlu ditambahkan. Oleh karen itu, penulis masih sangat mengharapkan kepada
para pembaca makalah ini, agar dapat memberikan kritik dan saran yang membangun
guna kesempurnaan makalah ini.

14
DAFTAR PUSTAKA
Dardjowidjojo, Soenjono. (2008). Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa
Manusia.Edisi Kedua. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

15

Anda mungkin juga menyukai