Anda di halaman 1dari 5

SEJARAH ANTROPOLOGI DAN KURIKULUM PENDIDIKAN DI INDONESIA

Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Dasar IPS
Dosen Pengampu : Agung Prihatmojo, S.Pd., M.Pd.

Oleh :
Supriyono 2286206132
Sashykirana Az Zahra 2286206186
Aulia Anggelika Putri 2286206118

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KOTABUMI
2022
SEJARAH ANTROPOLOGI

Secara etimologi atau asal-usul kata, antropologi berasal dari dua kata dari bahasa Yunani:
anthropos, yang memiliki makna “manusia”; dan logos, artinya “ilmu.” Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), “manusia” adalah makhluk yang berakal budi sehingga mampu menguasai
makhluk lain. Sedangkan “ilmu” menurut KBBI adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang
disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala
tertentu di suatu bidang tersebut. Sehingga secara etimologi, antropologi adalah ilmu yang memiliki
metode-metode dalam mempelajari, menjelaskan, atau menerangkan gejala yang terjadi terhadap
manusia yakni tentang sifat mereka yang membedakan dengan makhluk lain berakal budi.

Franz Boas adalah salah seorang peletak dasar antropologi modern. Boas terkenal dengan teorinya
tentang  relativisme budaya. Bertentangan dengan pandangan dominan pada zamannya, Boas
meyakini bahwa semua masyarakat pada dasarnya setara. Bagi Boas semua budaya pada dasarnya
harus dipahami dalam konteks budaya mereka sendiri.  Boas menolak anggapan bahwa ada
pemilahan antara masyarakat yang dianggap beradab dan biadab atau primitif (Franz Boas 1858-
1942).

Sejarah antropologi merupakan sejarah karya-karya etnografi yang menjadi metode utamanya.
Sejarah antropologi sebagai sebuah ilmu “resmi” telah memasuki usia abad keduanya (Saifuddin,
2015). Beberapa antropolog sepakat bahwa antropologi secara formal dijadikan sebagai sebuah
disiplin keilmuan dua abad yang lalu. Meskipun tidak dipungkiri perkembangan awal antropologi
diawali oleh para ahli filsafat Perancis termasyhur seperti J.J. Rousseau (Saifuddin, 2005). Pada
perkembangan awal antropologi, yakni sebelum tahun 1800-an, berasal dari negara-negara di Benua
Eropa.

Di kalangan para antropolog masih menjadi perdebatan tentang sejak kapan antropologi dapat
dinyatakan sebagai disiplin keilmuan secara pasti. Namun, sebagian besar antropolog meyakini
bahwa antropologi muncul sebagai satu cabang keilmuan yang jelas batasannya dengan ilmu-ilmu
lain sejak abad ke-19. Kemunculan ilmu antropologi bersamaan dengan lahirnya teori Darwin
tentang evolusi manusia. Pada abad selanjutnya, antropologi mengalami perkembangan pesat
manakala antropologi telah diakui sebagai disiplin pengetahuan akademik. Hal itu terjadi ketika
antropolog diakui sebagai profesi yang ditandai dengan pengangkatan sarjana antropologi bekerja
pada universitas, museum, dan kantor-kantor pemerintahan (Saifuddin, 2005).
Koentjaraningrat berpendapat bahwa “sejarah gagasan” antropologi bahkan dimulai dari tulisan-
tulisan filsuf, pensyarah Yunani, sejarah Arab kuno, sejarah Eropa kuno, maupun masa abad
pencerahan atau renaisans yang dianggap pendorong dibangunnya tradisi antropologi
(Koentjaraningrat, 2009). Secara umum Koentjaraningrat (2009) membagi sejarah perkembangan
antropologi menjadi empat fase sebagaimana tersaji dalam tabel berikut ini:

Perkembangan di Dunia Perkembangan di Indonesia

Fase Pertama (Sebelum Abad ke-18)

Fase penemuan dan pencatatan, muncul istilah Dimulai dari kedatangan orang Eropa di bumi
etnografi (konsep pelukisan suku bangsa) yang Nusantara, Ex. W. Marsden (Inggris) di
dilakukan oleh orang Eropa terhadap negara- Bengkulu tahun 1873 menulis “The History of
negara yang dikunjunginya Sumatra” tentang suku-suku bangsa di
Indonesia (Minangkabau, Rejang

Fase Kedua (Pertengahan Abad ke-19)

Fase penyusunan dan analisis bahan Etnografi, Mulai ada catatan sejarah dari bangsa-bangsa
karangan etnografi tersusun berdasarkan cara Eropa di Nusantara misalnya catatan sejarah
berpikir evolusi masyarakat. Pada fase ini, tentang jalur rempah.
antropologi mulai menjadi ilmu yang bersifat
akademik.

Fase Ketiga (Permulaan Abad ke-20)

Fase kolonialisme-imperialisme (eksistensi Banyak etnografi yang dibuat oleh para


negara-negara Eropa/ Amerika). Ilmu pendeta agama Nasrani, penerjemah Kitab Injil
antropologi dimanfaatkan oleh bangsa-bangsa dan pegawai pemerintah Hindia Belanda
Eropa guna mendukung pemerintahan sebagai sebuah laporan. Ilmu antropologi
kolonial. digunakan untuk kepentingan praktis penjajah.
Misalnya kajian yang dilakukan oleh
Christiaan Snouck Hurgronje di Aceh.

Fase Keempat (Sesudah Tahun 1930)

Fase era pembaharuan dan penemuan ilmu Mulai banyak para antropolog yang datang dan
antropologi. Tujuan ber sifat praktis dan meneliti di Indonesia pada masa kolonialisme
akademik. Bebe rapa hal yang menjadi ilmu salah satunya yang terkenal adalah Clifford
antropologi berkembang pesat: • Geertz yang banyak menghasilkan karya
Bertambahnya bahan pengetahuan. • etnografi di Indonesia.
Ketajaman metode ilmiah. • Hilangnya istilah
primitif (bangsa asli dan terpencil). • Spirit
antikolonialisme yang menyuburkan kajian-
kajian pascakolonial.

KONTEKSTUALISASI PENDIDIKAN ANTROPOLOGI DAN KURIKULUM DI


INDONESIA
Di era globalisasi ini, pendidikan di Indonesia berada pada kondisi yang bertentangan jauh dengan
nilai-nilai dan unsur kebudayaan yang ada di dalam masyarakat saat ini. Pendidikan seharusnya
membekali manusia tersebut dengan pengetahuan yang positif dan berguna bagi keberlansungan
hidupnya baik secara praktis maupun subtantif. Namun, disisi lain terdapat berbagai macam kendala
dalam dunia pendidikan akibat pengaruh dari kepentingan-kepentingan ekonomi, sosial, politik dan
lain-lain yang selalu mengalami perubahan dari masa ke masa. Maka dari itu pendidikan
antropologi di Indonesia sangat dibutuhkan guna mengarahkan program pendidikan ke arah yang
lebih baik.

Pendidikan antropologi di Indonesia sebagai upaya dalam hal menanamkan rasa nasionalisme
kenegaraan terhadap para peserta didik untuk mengahadapi perubahan dari dampak krisis akulturasi
budaya dalam lingkungan masyarakat (Laksono, 2013). Pada dasarnya pendidikan antropologi
mengarahkan manusia pada usaha-usaha pengembangan ke arah sasaran-sasaran yang lebih
substansial dikarenakan adanya konflik-konflik internal dalam dunia pendidikan yang saat ini
berjalan tidak seimbang. Peserta didik diarahkan dan diberi kesempatan untuk mengembangkan
daya apresisasi, empati dan pengetahuannya dengan berbagai hal yang dipelajari dari pengalaman
hidupnya, dengan cara awal yaitu melakukan pendekatan partisipatoris kepada peserta didik agar
dapat menjangkau pengetahuannya dan identitasnya yang sedang mengalami perubahan, sehingga
mendapatkan hasil yang lebih baik bersifat apresiatif yaitu penemuan eksistensi manusia itu sendiri.

Dari beberapa kajian dipaparkan bahwa kontekstualisasi pendidikan antropologi di Indonesia


khususnya dalam pendidikan Islam menjadi upaya serius yang harus diintegrasikan dalam rumusan
kurikulum pembelajaran. Hasil yang diharapkan agar menciptkan tekstur kurikulum pendidikan
Islam ke arah pendidikan multikultural. Siregar (2018) menyatakan bahwa wujud konstekstual
antropologi dalam pendidikan Islam disajikan dalam bentuk subtansialkontekstual, sehingga
pendidikan Islam dapat berimplikasi dalam hal merawat pluralitas (keberagaman) bangsa di
Indonesia dan memiliki esensi bagi para penganut agamanya maupun secara kemanusiaan.
Sementara itu, falsafah antropologi dalam pengembangan kurikulum pendidikan sehendaknya
memberikan muatan bagi peserta didik sebagai individu religius, unik dan bernilai, melakukan
perbuatan-perbuatan yang positif, memiliki rasa solidaritas dan pengabdian kepada masyarakat
(Karnawati & Widodo, 2019).

Dengan demikian, landasan antropologi diupayakan agar terkoneksi dalam konstruksi kurikulum
agar dapat mendukung peserta didik dalam pembentukan karakter dan pemahaman
multikulturalisme dalam proses pembelajaran, sehingga menciptakan output peserta didik yang
memiliki integritas dalam pembangunan bangsa Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Nurcahyono, O.H., (2021). Buku Siswa Antropologi untuk Kelas SMA XI. Jakarta Selatan : Pusat

Perbukuan Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan,


Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. doi : https://buku.kemdikbud.go.id

Satria, R., Hanum, N. A., Shahbana, E. B., Supriyanto, A., & Ulfatin, N. (2020). Landasan

Antropologi Pendidikan dan Implementasinya Dalam Pembangunan Indonesia. Indonesian


Journal of Social Science Education (IJSSE), 2(1), 49-65. doi:
http://dx.doi.org/10.29300/ijsse.v2i1.2718

Anda mungkin juga menyukai