Anda di halaman 1dari 144

ANALISA FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA

STUNTING PADA BALITA USIA 24-60 BULAN DI DESA


SUMBERANYAR KECAMATAN PAITON KABUPATEN
PROBOLINGGO

SKRIPSI

Disusun Oleh:
Nur Mutmainnah
NIM : 1420.09.17045

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN STIKES


HAFSHAWATY PESANTREN ZAINUL HASAN
PROBOLINGGO
2021
ANALISA FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA
STUNTING PADA BALITA USIA 24-60 BULAN DI DESA
SUMBERANYAR KECAMATAN PAITON KABUPATEN
PROBOLINGGO

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan


Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Keperawatan

Oleh:
Nur Mutmainnah
NIM : 1420.09.17045

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN STIKES


HAFSHAWATY PESANTREN ZAINUL HASAN
PROBOLINGGO
2021

i
HALAMAN PERSETUJUAN

SKRIPSI

ANALISA FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA


STUNTING PADA BALITA USIA 24-60 BULAN DI DESA
SUMBERANYAR KECAMATAN PAITON KABUPATEN
PROBOLINGGO

Untuk Memenuhi Persyaratan


Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Keperawatan

Oleh :

Nur Mutmainnah

14201.09.17045

Menyetujui :

Pembimbing I Pembimbing II

Rizka Yunita, S,Kep,Ns.M.Kep Dr. Grido Handoko S.

NIDN. 0710069004 NIDN. 0715027202

ii
HALAMAN PENGESAHAN

Untuk Memenuhi Persyaratan


Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Keperawatan

Oleh :
Nur Mutmainnah
14201.09.17045
Telah diuji pada :
Hari :
Tanggal :
Dan dinyatakan lulus oleh

Ketua penguji :
NIDN :
Pembimbing I : Rizka Yunita, S,Kep,Ns.M.Kep (………………………)

NIDN : 0710069004
Pembimbing II : Dr. Grido Handoko S (……………………….)

NIDN : 0715027202

Mengetahui
Ketua STIKES Hafshawaty Zainul Hasan Genggong

Dr. H. Nur Hamim,S.KM.,S.Kep.Ns.,M.Kes


NIDN.0706037103

iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawahi ni :

Nama Mahasiswa : Nur Mutmainnah

NIM : 14201.09.17045

Jurusan : Ilmu Keperawatan

Prodi :Sarjana Keperawatan STIKES Hafshawaty Pesantren

Zainul Hasan Genggong Probolinggo.

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-

benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilan alihan tulisan

atau pikiran orang lain. Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa hasil

skripsi ini adalah hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas

perbuatan tersebut.

Probolinggo,13 Agustus 2021

Yang membuat pernyataan

Nur Mutmainnah
NIM: 14201.09.17045

iv
ABSTRAK

Mutmainnah, Nur . 2021. Analisa Faktor Penyebab Terjadinya Stunting Pada


Balita Usia 24-60 Bulan Di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton
Kabupaten Probolinggo. Skripsi, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Hafshawaty Pesantren Zainul Hasan Probolinggo Pembimbing: (1)
Rizka Yunita S.Kep.,Ns.,M.Kep (2) Dr. Grido Handoko Sriyono

Stunting merupakan bentuk kegagalan pertumbuhan (growth faltering)


akibat akumulasi ketidakcukupan gizi yang berlangsung lama mulai dari
kehamilan sampai usia 24 bulan. Keadaan ini diperparah dengan tidak
terimbanginya kejar tumbuh (catch up growth) yang memadai.
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain studi
analitik korelasional dengan pendekatan cross sectional. Populasi 71 dan
Sample 60 responden ibu dengan anak stunting desa sumberanyar kecamatan
paiton kabupaten probolinggo dan memenuhi kriteria inklusi dan kriteria ekslusi
yang diambil dengan cara Purposive Sampling. Instrumen penelitian
menggunakan lembar kuisioner dan buku KIA. Pengumpulan data meliputi
editing, coding, scoring dan tabulating, data yang diperoleh dari penelitian ini
dianalisis menggunakan analisis regresi logistic.
Hasil penelitian didapatkan variabel jenis kelamin r= 0,006, pola
pemberian makan r= 0,034, nilai r status gizi = 0,012, nilai r status imunisasi =
0,010, nilai r tingkat pendidikan = 0,021 dan faktor dominan penyebab terjadinya
stunting dengan menggunakan SPSS adalah faktor jenis kelamin OR=9,996 kali.
Jenis kelamin memberikan kontribusi terhadap kebutuhan gizi dan nutrisi.
Anak laki-laki cenderung memiliki proporsi tubuh yang lebih besar dan pola
aktivitasnya lebih berat di banding anak perempuan oleh karena itu kebutuhan
nutrisinya juga lebih banyak. Selain itu, komposisi jenis kelamin laki-laki dan
perempuan berbeda.

Kata Kunci : Jenis Kelamin, Pola Pemberian Makan, Status Gizi, Status
Imunisasi, Tingkat Pendidikan, Stunting

v
ABSTRACT

Mutmainnah, Nur . 2021. Analysis of Factors Causing Stunting On Toddlers


Age 24-60 Months in Sumberanyar Village, Paiton, Probolinggo.
Thesis, Hafshawaty Institute of Health Sciences Zainul Hasan Islamic
Boarding School. Advisors: (1) Ns. Rizka Yunita, S. Kep., M. Kep. (2)
Dr. Grido Handoko Sriyono

Stunting is a form of growth failure (growth faltering) due to accumulation


of nutrional deficiency that last for a long time starting from pregnancy until the
month. This situation is exacerbated by the unbalanced catch up growth
adequate.
The research design used in this study is an analytical study design
correlational with cross sectional approach. The population was 71 and sample
was 60 respondents mother with stunting children in Sumberanyar Village,
Paiton, Probolinggo and meet the inclusion criteria and exclusion criteria taken by
means of purposivve sampling. The research instrument used a questionnaire
sheet and KIA handbook. Data collection includes editing, coding, scoring, and
tabulating, the data obtained from this research analyzed using logistic
regression analysis.

The results showed gender variable p = 0,006, feeding patterns p = 0,034,


the value of p nutrional status = 0,012, the value p immunization status= 0,010,
the value of p level of education = 0,021 and the dominan factor causing stunting
using SPSS is gender factor OR=9,996.

Gender contributes to nutrition and nutrional needs. Boy and men tend to
have large body proportion and heavier activity patterns in than girls, their
nutrional needs are also higher. Besides that, the composituon of the sexes of
men and women is different.

Keywords : Gender, Feeding Pattern, Nutrional Status, Immunization


Status, Education Level, Stunting

vi
KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan Taufik
serta hidayah-nya atas terselesainya skripsi yang berjudul ”Analisa Faktor
Penyebab Kejadian Stunting Pada Balita Usia 24-60 Bulan Di Desa Sumberanyar
Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo”.
Skripsi ini disusun guna memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan
program Sarjanah Keperawatan di Stikes Hafshawaty Pesantren Zainul Hasan.
Pada penyusunan skripsi ini, tidak lepas dari kesulitan dan hambatan
namun berkat bimbingan pengarahan dan bantuan dari beberapa pihak,
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan, untuk itu dengan segala hormat peneliti
sampaikan terimakasih kepada:
1. KH. Moh. Hasan Mutawakkil Alallah, SH.MM. Selaku Ketua Yayasan
STIKES Hafshawaty Pesantren Zainul Hasan.
2. Dr. H. Nur Hamim ,S.KM.,S.Kep,Ns,.M.Kes, Selaku ketua STIKES
Hafshawaty Pesantren ZainulHasan.
3. Shinta Wahyusari S.Kep.,Ns.,M.Kep.,Sp.Kep.Mat, Selaku Ketua Prodi
Sarjana Keperawatan STIKES Hafshawaty Pesantresn Zainul Hasan.
4. Rizka Yunita S.Kep.,Ns.,M.Kep, Selaku pembimbing I yang banyak
meluangkan waktu, pikiran serta petunjuk demi perbaikan dalam
pembuatan skripsi ini.
5. Dr. Grido Handoko S, Selaku pembimbing II yang banyak meluangkan
waktu, pikiran serta petunjuk demi perbaikan dalam pembuatan skripsi ini.
6. Selaku kepala pukesmas Paiton yang telah memberikan izin penelitian
demi terselesainya skripsi ini.
7. Bapak dan ibu yang selalu mensupport baik moral dan materi hingga
selesainya skripsi ini.
8. Semua keluarga yang memberikan semangat serta telah banyak
membantu demi terselesainya skripsi ini.
9. Semuar rekan seperjuangan Sarjana Keperawatan angkatan 09, tahun
2017 STIKES suka maupun duka Hafshawaty Zainul Hasan yang telah
menemani dalam serta telah banyak membantu demi terselesainya
skripsi ini.

vii
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas amal yang
diberikan dan semoga skripsi ini berguna baik peneliti maupun pihak lain
yang memanfaatkan.

Probolinggo, 13 Agustus 2021


Peneliti

Nur Mutmainnah
NIM: 14201.09.17045

viii
DAFTAR ISI

COVER JUDUL ........................................................................................... i


HALAMAN PERSETUJUAN......................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN........................................................... iv
KATA PENGANTAR...................................................................................... v
DAFTAR ISI................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL............................................................................................ viii
DAFTAR BAGAN.......................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xii
DAFTAR SIMBOL, SINGKATAN DAN ISTILAH........................................... xiii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...................................................................................
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................
1.3 Tujuan Penelitian................................................................................
1.3.1 Tujuan Umum...........................................................................
1.3.2 Tujuan Khusus..........................................................................
1.4 Manfaat Penelitian.............................................................................
1.4.1 Bagi Institusi Pendidikan...........................................................
1.4.2 Bagi Profesi Keperawatan.........................................................
1.4.3 Bagi Lahan Penelitian...............................................................
1.4.4 Bagi Responden ......................................................................
1.4.5 Bagi Peneliti..............................................................................

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Konsep Stunting................................................................................
2.1.1 Definisi stunting........................................................................
2.1.2 Etiologi stunting........................................................................
2.1.3 Tanda dan gejala stunting........................................................
2.1.4 Klasifikasi stunting....................................................................
2.1.5 Patofisiologi stunting................................................................
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang..........................................................
2.1.7 Pencegahan.............................................................................

ix
2.1.8 Penatalaksanaan.....................................................................
2.1.9 Indikator stunting ...................................................................
2.1.10 Dampak stunting....................................................................
2.2 Konsep Balita....................................................................................
2.2.1 Definisi Balita..........................................................................
2.2.2 Karakteristik Balita..................................................................
2.2.3 Pertumbuhan dan Perkembangan Balita.................................
2.2.4 Kebutuhan Utama Proses Tumbuh Kembang.........................
2.2.5 Ciri dan Prinsip Tumbuh Kembang..........................................
2.2.6 Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan..............................
2.3 Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Stunting.................................
2.3.1Jenis Kelamin............................................................................
2.3.2 Pola Pemberian Makan............................................................
2.3.2.2 Definisi Pola Makan......................................................
2.3.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Pola Makan............
2.3.2.3 Pola Pemberian Makan yang Sesuai............................
2.3.2.4 Indikator Pola Pemberian Makan..................................
2.3.2.5 Penilain Kuesioner CFQ (Child Feeding Questionnaire)
......................................................................................
2.3.3 Status Imunisasi.......................................................................
2.3.3.1 Definisi Imunisasi........................................................
2.3.3.2 Tujuan Imunisasi.........................................................
2.3.3.3 Macam-Macam Imunisasi...........................................
2.3.4 Status Gizi................................................................................
2.3.4.1 Definisi Status Gizi......................................................
2.3.4.2 Penilaian Status Gizi...................................................
2.3.4.3 Kebutuhan Gizi Balita..................................................
2.3.4.4 Klasifikasi Status Gizi..................................................
2.3.5 Tingkat Pendidikan...................................................................
2.3.5.1 Definisi Tingkat Pendidikan.........................................
2.3.5.2 Tingkat Pendidikan......................................................
2.3.5.3 Indikator Pendidikan atau Tolak Ukur..........................
2.3.5.4 Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pendidikan.........
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep.............................................................................

x
3.2 Hipotensis Penelitian........................................................................

BAB 4 METODE PENELITIAN


4.1 Desain Penelitian..............................................................................
4.2 Kerangka Kerja Penelitian.................................................................
4.3 Populasi Sample ..............................................................................
4.3.1 Populasi....................................................................................
4.3.2 Sample .....................................................................................
4.3.3 Teknik Sampling .......................................................................
4.4 Variabel Penelitian............................................................................
4.4.1 Variabel Independen (Bebas) ...................................................
4.4.2 Variabel Dependen (Terikat)......................................................
4.5 Lokasi Dan Waktu Penelitian............................................................
4.5.1 Lokasi........................................................................................
4.5.2 Waktu........................................................................................
4.6 Definisi Operasional..........................................................................
4.7 Prosedur Penelitian...........................................................................
4.7.1 Prosedur Administrasi...............................................................
4.7.2 Prosedur Tekhnis Atau Alur Penelitian......................................
4.8 Pengumpulan Data ..........................................................................
4.8.1 Instrument Penelitian.................................................................
4.8.2 Uji Validitas Dan Uji Reabilitas..................................................
4.8.3 Tehnik Pengumpulan Data .......................................................
4.9 Analisa Data......................................................................................
4.10 Etika Penelitian...............................................................................
4.10.1 Nilai Sosial Atau Nilai Klinis.....................................................
4.10.2 NilaiI lmiah...............................................................................
4.10.3 Pemerataan Bebas Dan Manfaat............................................
4.10.4 Potensi Resiko Dan Manfaat...................................................
4.10.5 Kerahasiaan (Confidentiality) Atau Privasi...............................
4.10.6 Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP) Atau Informed
Consent (IC)...........................................................................
4.10.7 Bujukan (Inducements) ..........................................................

xi
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN ANALISA DATA
5.1 Hasil Penelitian.................................................................................
5.1.1 Data Umum...............................................................................
5.1.2 Data Khusus..............................................................................
5.2 Analisa Data......................................................................................
5.2.2 Analisis Bivariat.........................................................................
5.2.2 Analisis Multivariat.....................................................................
BAB 6 PEMBAHASAN
6.1 Identifikasi Faktor Jenis Kelamin, Pola Pemberian Makan, Status Gizi,
Status Imunisasi, Tingkat Pendidikan Di Desa Sumberanyar Kecamatan
Paiton Kabupaten Probolinggo.........................................................
6.1.1 Identifikasi Jenis Kelamin..........................................................
6.1.2 Identifikasi Pola Pemberian Makan...........................................
6.1.3 Identifikasi Status Gizi...............................................................
6.1.4 Identifikasi Status Imunisasi......................................................
6.1.5 Identifikasi Tingkat Pendidikan..................................................
6.2 Analisa Jenis Kelamin Dengan Penyebab Terjadinya Stunting Pada Balita
Usia 24-60 Bulan Di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten
Probolinggo......................................................................................
6.3 Analisa Pola Pemberian Makan Dengan Penyebab Terjadinya Stunting
Pada Balita Usia 24-60 Bulan Di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton
Kabupaten Probolinggo....................................................................
6.4 Analisa Status Gizi Dengan Penyebab Terjadinya Stunting Pada Balita
Usia 24-60 Bulan Di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten
Probolinggo......................................................................................
6.5 Analisa Status Imunisasi Dengan Penyebab Terjadinya Stunting Pada
Balita Usia 24-60 Bulan Di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton
Kabupaten Probolinggo....................................................................
6.6 Analisa Tingkat Pendidikan Dengan Penyebab Terjadinya Stunting Pada
Balita Usia 24-60 Bulan Di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton
Kabupaten Probolinggo....................................................................
6.7 Analisa Faktor Dominan Penyebab Terjadinya Stunting Pada Balita Usia
24-60 Bulan Di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten
Probolinggo.......................................................................................

xii
6.8 Keterbatasan Penelitian....................................................................
6.9 Implikasi Keperawatan......................................................................
BAB 7 PENUTUP
7.1 Kesimpulan.......................................................................................
7.2 Saran ...........................................................................................
7.2.1 Bagi Institusi pendidikan............................................................
7.2.2 bagi Profesi Perawat.................................................................
7.2.3 Bagi Lahan Penelitian................................................................
7.2.4 Bagi Responden........................................................................
7.2.5 Bagi Peneliti..............................................................................
7.2.6 Bagi Peneliti Selanjutnya...........................................................
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................
LAMPIRAN

xiii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Pengelompokan Status Gizi Berdasarkan Z-Score ........................

Tabel 2.2 Pola Pemberian Makan yang Sesuai..............................................

Tabel 2.3 Waktu Pemberian Imunisasi ..........................................................

Tabel 2.4 Penilaian Status Gizi Anak Berdasarkan Standar Antropometri......

Tabel 2.5 Rumus Perkiraan Berat Badan.......................................................

Tabel 2.6 Rumus Perkiraan Tinggi Badan......................................................

Tabel 2.7 Kebutuhan air sehari pada anak.....................................................

Tabel 4.1 Definisi Operasional.......................................................................

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan

Ibu dari Anak Stunting....................................................................

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan

Ibu dari Anak Stunting....................................................................

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Stunting Pada Balita Usia 24-60

Bulan Di Desa Sumberanyar.........................................................

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Pola Pemberian Makan Stunting Pada Balita Usia

24-60 Bulan Di Desa Sumberanyar...............................................

Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Status Imunisasi Stunting Pada Balita Usia 24-60

Bulan Di Desa Sumberanyar.........................................................

Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Status Gizi Stunting Pada Balita Usia 24-60 Bulan

Di Desa Sumberanyar...................................................................

Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan Stunting Pada Balita Usia 24-

60 Bulan Di Desa Sumberanyar....................................................

xiv
Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Stunting Pada Balita Usia 24-60 Bulan Di Desa

Sumberanyar.................................................................................

Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Hubungan Antara Jenis

Kelamin Dengan Stunting Pada Balita Usia 24-60 Bulan Di Desa

Sumberanyar.................................................................................

Tabel 5.10 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Hubungan Antara Pola

Pemberian Makan Dengan Stunting Pada Balita Usia 24-60 Bulan Di

Desa Sumberanyar........................................................................

Tabel 5.11 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Hubungan Antara

Status Gizi Dengan Stunting Pada Balita Usia 24-60 Bulan Di Desa

Sumberanyar.................................................................................

Tabel 5.12 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Hubungan Antara

Status Imunisasi Dengan Stunting Pada Balita Usia 24-60 Bulan Di

Desa Sumberanyar........................................................................]

Tabel 5.13 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Hubungan Antara

Tingkat Pendidikan Dengan Stunting Pada Balita Usia 24-60 Bulan Di

Desa Sumberanyar........................................................................

Tabel 5.14 Analisa Faktor Penyebab Terjadinya Stunting ..............................

xv
DAFTAR BAGAN

Bagan 3.1 Kerangka Konseptual...................................................................

Bagan 4.1 Kerangka Kerja Penelitian............................................................

xvi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Permohonan Ijin Melaksanakan Studi Pendahuluan Untuk

Penyusunan Skripsi

Lampiran 2 Surat Balasan Ijin Penelitian Dari Bankesbangpol

Lampiran 3 Surat Balasan Ijin Penelitian Dari Dinas Kesehatan

Lampiran 4 Pernyataan Telah Melakukan Informen Consent

Lampiran 5 Surat Persetujuan Menjadi Responden Penelitian

Lampiran 6 Pengantar Kuesioner

Lampiran 7 Kisi-kisi Kuesioner

Lampiran 8 Lembar Observasi

Lampiran 9 Kuesioner Pola Pemberian Makan

Lampiran 10 Lembar Uji Validitas dan Reabilitas

Lampiran 11 Master Tabel

Lampiran 12 Hasil Uji Statistik

Lampiran 13 Sertifikat Uji Etik

Lampiran 14 Dokumentasi

Lampiran 15 Lembar Konsultasi

Lampiran 16 Riwayat Hidup

xvii
DAFTAR SIMBOL, SINGKATAN, DAN ISTILAH

Daftar simbol
α : Alpha
H1 : Hipotesa Diterima
H0 : Hipotesa Ditolak
ρ : Value
% : Persentase
< : Kurang dari
> : Lebih dari

Daftar singkatan
ACTH : Adrenocorticotropi
ASI : Air Susu Ibu
BB : Berat Badan
BBLR : Beran Badan Lahir
BCG : Bacillus Calmette Guerin
CFQ : Child Feeding Questionnaire
Depkes : Departemen Kesehatan
Fe : Zat Besi
GH : Growth Hormone
Hb : Hemoglobin
HCT : Ceratinin Height Index
HPK : Hari Pertama Kehidupan
Ht : Hematokrit
IgA : Imunoglubulin A
IgM : Imunoglubulin M
IgG : Imunoglubulin G
IgE : Imunoglubulin E
IgD : Imunoglubulin D
IGF-1 : Insulin like Growth Factor 1
IMD : inisiasi Menyusui Dini
IPV : Inactivated Polio Vaccine
JKN : Jaminan Kesehatan Nasional
Jampersal : Jaminan Persalinan Universal
KB : Keluarga Berencana
KIA : Kesehatan Ibu dan Anak
KEMENKES : Kementrian Kesehatan
KEP : Kurang Energi Protein
MA : Madrasah Aliyah
MAK : Madrasah Aliyah Kejuruan
MI : Madrasah Ibtidaiyah
MR : Measles dan Rubella

xviii
MTS : Madrasah Tsanawiyah
PAUD : Pendidikan Anak Usia Dini
PB : Panjang Badan
PSP : Persetujuan Setelah Penjelasan
SDGs : Sustainable Development Goals
SD : Standart Deviasi
SD : Sekolah Dasar
SMP : Sekolah Menengah Pertama
SMA : Sekolah Menengah Atas
SUN : Scalling Up Nutrition
TB : Tinggi Badan
TKPM : Program pemberian makanan tinggi kalori, protein dan
nutrium
TSH : Thyroid Stimulating
U : Umur
UKS : Usaha Kesehatan Sekolah
UNICEF : United Nations Children’s Fund
WHO : Word Health Organization

xix
xx
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Stunting merupakan bentuk kegagalan pertumbuhan (growth

faltering) akibat akumulasi ketidakcukupan gizi yang berlangsung lama mulai

dari kehamilan sampai usia 24 bulan. Keadaan ini diperparah dengan tidak

terimbanginya kejar tumbuh (catch up growth) yang memadai (Yosephin,

2019). Stunting merupakan kurang gizi kronis yang disebabkan oleh

kurangnya asupan nutrisi (karbohidrat, protein, vitamin, mineral, dan lemak)

dalam kurun waktu yang cukup lama, sehingga menyebabkan gangguan

pertumbuhan yakni tinggi badan anak menjadi lebih rendah atau pendek dari

standart usianya (Depkes RI, 2019).

Menurut data World Health Organization (WHO) pada 2017, ada

150,8 juta balita stunting di dunia. Indonesia menempati peringkat ketiga

dengan negara pravalensi stunting tertinggi di Asia pada tahun 2017

angkanya mencapai 36,4%. Namun, pada tahun 2018 angka terus menurun

hingga 23,6%. Prevalensi stunting di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2017

turun signifikan dari lima tahun yang lalu sebesar 32,7 % menjadi 26,7 %

dan pada tahun 2018 prevalensi stunting di Jawa Timur mencapai 32,81%.

Prevalensi stunting di Kabupaten Probolinggo terus melonjak pada 2017

menjadi 30,4% dan pada 2018 sedikit mengalami kenaikan menjadi 30,5%

(Riskesdas, 2018).

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 04 Mei

didapatkan data dari pukesmas Paiton dari 13 desa yang terbanyak stunting

yaitu desa Sumberanyar yaitu terdapat 71 anak yang stunting dengan

1
2

kategori sangat pendek (14) dan pendek (57). Terdapat beberapa faktor

penyebab terjadinya stunting yaitu seperti jenis kelamin yang terjadi pada

anak stunting rata antara laki-laki dan perempuan. Selain itu, mayoritas

disebabkan pola pemberian makan yang mana pemberian makan yang tidak

sesuai kebutuhan seperti halnya tidak sesuai dengan umur dan jenis

makanan yang diberikan serta jadwal makannya yang tidak teratur,

sedangkan terkait faktor status imunisasi mayoritas yang terjadi pada anak

stunting yaitu yang tidak imunisasi ataupun tidak lengkap pemberian

imunisasinya. Selain itu, faktor status gizi yang terjadi pada anak stunting

mayoritas pengukurannya berdasarkan pengukuran tinggi badan dengan

umur (TB/U) dan mayoritas anak yang mengalami stunting tingkat

pendidikan orang tuanya yaitu lulusan SMP.

Stunting saat ini menjadi salah satu permasalahan kesehatan pada

anak yang secara signifikan angka terjadinyanya meningkat. Stunting dapat

terjadi dikarenakan oleh beberapa faktor penyebab. Menurut Yanti (2020)

stunting disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor pengetahuan ibu dan

pola asuh orang tua, asupan gizi, BBLR, dan status ekonomi diindikasikan

sebagai faktor penyebab stunting di usia emas anak. Selain itu, stunting

juga dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu faktor jenis kelamin,

pola pemberian makan, status gizi, status imunisasi dan tingkat pendidikan

orang tua.

Balita dengan stunting dipengaruhi oleh faktor penyebab tidak

langsung yaitu jenis kelamin. Menurut Dewi (2016) bahwa stunting

didominasi oleh anak balita berjenis kelamin laki-laki dibandingkan dengan

anak balita jenis perempuan. Hal ini dapat dikarenakan anak laki-laki

cenderung memiliki proporsi tubuh yang lebih besar dan pola aktivitasnya

lebih berat di banding anak perempuan oleh karena itu kebutuhan nutrisinya
3

juga lebih banyak (Nurhasanah, 2018). Selain itu, anak laki-laki memerlukan

kebutuhan energi dan protein lebih banyak sehingga lebih berisiko untuk

mengalami kekurangan gizi apabila kebutuhannya tidak terpenuhi (Bahmat,

2015).

Selain itu, pola pemberian makan menjadi salah satu faktor

terjadinya stunting pada anak balita dikarenakan sangat penting sebagai

penunjang pertumbuhan. Pola pemberian makan yang kurang

memperhatikan kebutuhan anak balita dapat mengalami defisiensi asupan

gizi dalam tubuh, sehingga dapat mengakibatkan anak balita lebih sering

mudah mengalami penyakit infeksi dan frekuensi yang sering berakibat

mengganggu proses pertumbuhan anak (Purwanti dan Mariyam, 2013).

Status imunisasi juga menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya

stunting. Hal ini dikarenakan imunisasi merupakan salah satu upaya efektif

dalam mencegah terjadinya penyakit infeksi melalui proses memberikan

kekebalan anak dari penyakit. Menurut Rahmad dan Miko (2016) di Banda

Aceh mengatakan bahwa balita yang tidak mendapat imunisasi dasar

lengkap berisiko 5, 32 kali lebih besar mengalami stunting.

Status gizi dapat mempengaruhi terjadinya stunting pada balita. Hal

ini dikarenakan untuk mengetahui keseimbangan keadaan tubuh terkait

asupan energi dan protein serta zat-zat gizi esensial lainnya. Menurut

Oktaviana (2013) semakin baik asupan energi pada balita maka semakin

baik status gizinya, sebaliknya semakin buruk asupan energi pada balita

maka semakin buruk pula status gizinya. Balita yang memilih asupan energi

rendah berisiko stunting.

Tingkat pendidikan merupakan faktor penyebab tidak langsung

terjadinya stunting. Hal ini dikarenakan tingkat pendidikan dapat

mempengaruhi pengetahuan tentang gizi. Semakin rendah tingkat


4

pendidikan ibu maka proporsi masalah gizi balita semakin meningkat.

Pengetahuan ibu tentang gizi diharapkan mampu menyediakan makanan

dengan jenis dan jumlah yang tepat agar anak dapat tumbuh dan

berkembang secara optimal (Mustamin, 2018).

Berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik untuk mengetahui

faktor jenis kelamin, pola pemberian makan, status gizi, status imunisasi,

tingkat pendidikan di dengan terjadinya stunting balita pada usia 24-60 bulan

di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka peneliti

merumuskan masalah pada penelitian ini “apakah faktor-faktor penyebab

terjadinya stunting balita usia 24-60 bulan di Desa Sumberanyar Kecamatan

Paiton Kabupaten Probolinggo”?

1.3 Tujuan Penilitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk menganalisa faktor penyebab terjadinya stunting balita usia

24-60 bulan di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten

Probolinggo”.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi jenis kelamin, pola pemberian makan, status gizi, status

imunisasi, tingkat pendidikan di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton

Kabupaten Probolinggo .

2. Menganalisis jenis kelamin dengan terjadinya stunting pada balita usia

24-60 bulan di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten

Probolinggo.
5

3. Menganalisis pola pemberian makan dengan terjadinya stunting pada

balita usia 24-60 bulan di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton

Kabupaten Probolinggo .

4. Menganalisis status gizi dengan terjadinya stunting pada balita usia 24-

60 bulan di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten

Probolinggo.

5. Menganalisis status imunisasi dengan terjadinya stunting pada balita

usia 24-60 bulan di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten

Probolinggo.

6. Menganalisis tingkat pendidikan dengan terjadinya stunting pada balita

usia 24-60 bulan di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten

Probolinggo.

7. Menganalisis faktor dominan penyebab terjadinya stunting pada balita

usia 24-60 bulan di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten

Probolinggo.

1.4 Manfaat

1.4.1 Bagi Instusi Pendidikan

Hasil penelitian ini dapat berguna sebagai sumber data baru yang bisa di

gunakan sebagai pemecahan yang ada kaitannya dengan stunting.

1.4.2 Bagi Profesi Keperawatan

Setelah dilakukan penelitian ini dapat memberikan informasi baru bagi

profesi keperawatan khususnya keperawatan anak tentang analisis faktor

penyebab terjadinya stunting pada balita usia 24-60 bulan.

1.4.3 Bagi Lahan Penelitian

Hasil penelitian ini dapat menjadi informasi baru bagi lahan penelitian

tentang faktor penyebab terjadinya stunting pada balita usia 24-60 bulan.
6

1.4.4 Bagi Responden

Dapat digunakan untuk meningkatkan pengetahuan responden tentang

faktor penyebab terjadinya stunting pada balita usia 24-60 bulan.

1.4.5 Bagi Peneliti

Dapat menambah pemahaman terhadap ilmu pengetahuan tentang faktor

penyebab terjadinya stunting pada balita usia 24-60 bulan.


7
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stunting

2.1.1 Definisi Stunting

Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak akibat dari

kekurangan gizi kronis yang terjadi sejak bayi dalam kandungan sampai

usia 2 tahun sehingga anak terlalu pendek untuk usianya (Doni, 2020).

Stunting merupakan kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya

asupan nutrisi (karbohidrat, protein, vitamin, mineral, dan lemak) dalam

kurun waktu yang cukup lama, sehingga menyebabkan gangguan

pertumbuhan yakni tinggi badan anak menjadi lebih rendah atau pendek

dari standart usianya (Depkes RI, 2019).

Stunting merupakan bentuk kegagalan pertumbuhan (growth

faltering) akibat akumulasi ketidakcukupan gizi yang berlangsung lama

mulai dari kehamilan sampai usia 24 bulan. Keadaan ini diperparah

dengan tidak terimbanginya kejar tumbuh (catch up growth) yang

memadai. Periode 24 bulan merupakan periode yang menentukan

kualitas kehidupan sehingga disebut dengan periode emas. Periode ini

merupakan periode yang sensitive karena akibat yang ditimbulkan

terhadap bayi pada masa ini akan bersifat permanen dan tidak dapat

dikoreksi. Untuk itu diperlukan pemenuhan gizi yang adekuat pada usia ini

(Yosephin, 2019).

Menurut world Health Organization (WHO, 2013), stunting

merupakan kekurangan gizi kronis akibat kekurangan asupan zat gizi

dalam waktu yang lamadan biasanya diikuti dengan frekuensi sering sakit.

Stunting merupakan pertumbuhan yang rendah yang diakibatkan oleh

8
9

kekurangan gizi dalam waktu yang panjang atau infeksi yang terjadi

berulang kali pada anak.

2.1.2 Etiologi Stunting

Penyebab terjadinya stunting sangat beragam dan kompleks,

mulai dari faktor genetik hingga lingkungan. Berdasarkan kerangka

konsep UNICEF, penyebab terjadinya stunting, di antaranya adalah

kurangnya kebutuhan dasar, seperti keadaan politik, status sosial

ekonomi yang buruk, serta kurangnya asupan gizi dan infeksi. Selain itu,

sejumlah faktor lain juga memengaruhi terjadinya stunting, seperti ibu

yang pendek, jarak melahirkan yang sempit, hamil ketika remaja, jenis

kelamin laki-laki, pola pendidikan, pelayanan kesehatan, ibu defisiensi

zink dan zat besi, berat bayi lahir rendah, panjang badan lahir yang

pendek, riwayat malnutrisi pada awal kehidupan, lingkungan yang tidak

higienis, praktik pemberian ASI yang buruk, anemia, kurangnya suplemen

vitamin A, infeksi, ibu yang merokok, dan bayi lahir premature (Helmyati,

2018).

Menurut Kusuma (2013), mengatakan bahwa penyebab stunting

diantaranya adalah hambatan petumbuhan dalam kandungan, asupan zat

gizi yang tidak mencukupi untuk mendukung pertumbuhan dan

perkembangan yang cepat pada masa bayi dan anak-anak serta

seringnya terkena infeksi selama masa awal kehidupan, anak memiliki

panjang badan yang rendah ketika lahir, anak yang mengalami berat lahir

yang rendah pada saat dilahirkan dan pemberian makanan tambahan

yang tidak sesuai menurut usia disertai dengan konsistensi makanannya.

Stunting disebabkan oleh faktor multidimensi, di antaranya

pengasuhan gizi yang kurang baik, termasuk kurangnya kurangnya


10

pengetahuan ibu mengenai kesehatan gizi sebelum dan pada masa

kehamilah serta setelah ibu melahirkan (Ramayulis,2018).

Secara lebih detil, beberapa faktor yang menjadi penyebab

stunting dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Praktek pengasuhan yang kurang baik.

Pengetahuan ibu yang kurang mengenai kesehatan dan gizi

sebelum dan pada masa kehamilan, serta setelah ibu melahirkan.

Beberapa fakta dan informasi yang ada menunjukkan bahwa 60% dari

anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) secara

ekslusif, dan 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima Makanan

Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI). MP-ASI diberikan/mulai

diperkenalkan ketika balita berusia diatas 6 bulan. Selain berfungsi

untuk mengenalkan jenis makanan baru pada bayi, MP-ASI juga dapat

mencukupi kebutuhan nutrisi tubuh bayi yang tidak lagi dapat disokong

oleh ASI, serta membentuk daya tahan tubuh dan perkembangan

sistem imunologis anak terhadap makanan maupun minuman

(TNP2K, 2017).

2. Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan

Layanan ANC-Ante Natal Care (pelayanan kesehatan untuk ibu

selama masa kehamilan) Post Natal Care dan pembelajaran dini yang

berkualitas. Informasi yang dikumpulkan dari publikasi Kemenkes dan

Bank Dunia menyatakan bahwa tingkat kehadiran anak di Posyandu

semakin menurun dari 79% di 2007 menjadi 64% di 2013 dan anak

belum mendapat akses yang memadai ke layanan imunisasi. Fakta

lain adalah 2 dari 3 ibu hamil belum mengkonsumsi sumplemen zat

besi yang memadai serta masih terbatasnya akses ke layanan

pembelajaran dini yang berkualitas (baru 1 dari 3 anak usia 3-6 tahun
11

belum terdaftar di layanan PAUD/Pendidikan Anak Usia Dini) (TNP2K,

2017).

3. Masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga ke makanan bergizi.

Hal ini dikarenakan harga makanan bergizi di Indonesia

masih tergolong mahal.Menurut beberapa sumber (Riskesdas 2013,

Sdki 2012, Susenas), komoditas makanan di Jakarta 94% lebih mahal

dibanding dengan di New Delhi, India. Harga buah dan sayuran di

Indonesia lebih mahal daripada di Singapura. Terbatasnya akses ke

makanan bergizi di Indonesia juga dicatat telah berkontribusi pada 1

dari 3 ibu hamil yang mengalami anemia (TNP2K, 2017).

4. Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi.

Data yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa 1 dari 5

rumah tangga di Indonesia masih buang air besar (BAB) diruang

terbuka, serta 1 dari 3 rumah tangga belum memiliki akses ke air

minum bersih (TNP2K, 2017).

2.1.3 Tanda dan Gejala Stunting

Menurut Niken (2019) mengatakan bahwa ciri-ciri stunting pada anak

meliputi:

1. Pertumbuhan melambat.

2. Wajah tampak lebih muda dari usianya.

3. Pertumbuhan gigi terlambat.

4. Performa buruk pada tes perhatian dan memori belajar.

5. Tanda pubertas terlambat.

6. Menjadi lebih pendiam, tidak banyak melakukan eye contact.

2.1.4 Klasifikasi Stunting

Menilai status gizi anak dapat menggunakan tinggi badan dan umur

yang dikonversikan ke dalam Z-Score. Menurut Kemenkes (2010),


12

berdasarkan nilai Z-Score masing-masing indikator tersebut ditentukan

status gizi balita sebagai berikut:

Tabel 2.1 Pengelompokkan Status Gizi Berdasarkan Z-Score

Indikator Status Gizi Z-Score


TB/U Sangat pendek < 3,0 SD
Pendek -3,0s/d<-2SD
Normal -2,0 SD s/d 2SD
Tinggi >2 SD

Rumus Z-Score: Nilai pengukuran - Nilai median

Nilai simpangan baku

1. Sangat Pendek

Balita sangat pendek adalah kondisi dimana balita memiliki

panjang atau tinggi badan yang kurang di bandingkan umur. Demikian

pula, anak-anak dianggap sangat pendek jika panjang / tinggi mereka

di bawah 3 SD dari median standar pertumbuhan (Nurlaeli, 2019).

2. Pendek

Balita pendek adalah kondisi dimana balita memiliki panjang

atau tinggi badan yang kurang di bandingkan umur. Demikian pula,

anak-anak pendek jika panjang / tinggi mereka di bawah -3,0 s/d < -

2,0 SD dari median standar pertumbuhan (Nurlaeli, 2019).

3. Normal

Balita normal adalah kondisi dimana balita memiliki panjang

atau tinggi badan yang sebanding dengan umurnya. Demikian pula,

dianggap anak normal jika panjang / tinggi mereka rata-rata -2,0 SD

s/d 2 SD dari median standar pertumbuhan (Nurlaeli, 2019).

4. Tinggi

Balita normal adalah kondisi dimana balita memiliki panjang

atau tinggi badan yang lebih dibandingkan dengan umurnya. Demikian


13

pula, dianggap anak tinggi jika panjang / tinggi mereka rata-rata >2

SD dari median standar pertumbuhan (Nurlaeli, 2019).

2.1.5 Patofisiologi

Proses pertumbuhan dan perkembangan manusia, yang memakan

waktu hampir 20 tahun adalah fenomena yang kompleks. Proses

pertumbuhan di bawah kendali genetik dan pengaruh lingkungan, yang

beroperasi sedemikian rupa sehingga, pada waktu tertentu selama periode

pertumbuhan, satu atau yang lain mungkin merupakan pengaruh dominan.

Pada masa konsepsi, terdapat blueprint (cetak biru) genetik yang

mencakup potensi untuk mencapai ukuran dan bentuk dewasa tertentu.

Lingkungan mengubah potensi ini. Ketika lingkungan netral, tidak

memberikan pengaruh negatif pada proses pertumbuhan, potensi genetik

dapat sepenuhnya diwujudkan. Namun demikian kemampuan pengaruh

lingkungan untuk mengubah potensi genetik tergantung pada banyak

faktor, termasuk waktu di mana mereka terjadi; kekuatan, durasi, frekuensi

kemunculannya; dan usia serta jenis kelamin anak (Candra, 2020).

Dalam hal pertumbuhan dan perkembangan manusia, kelenjar

endokrin yang berperan penting adalah kelenjar hipofisis, yang terletak di

bawah dan sedikit di depan hipotalamus. Suplai darah yang kaya dalam

infundibulum, yang menghubungkan dua kelenjar, membawa hormon

pengatur dari hipotalamus ke kelenjar hipofisis. Hipofisis memiliki lobus

anterior dan posterior. Lobus anterior, atau adenohipofisis, melepaskan

hormon utama yang mengendalikan pertumbuhan dan perkembangan

manusia yaitu hormon pertumbuhan (Growth Hormone / GH), hormon

perangsang tiroid (Thyroid Stimulating Hormone (TSH), prolaktin,


14

gonadotrofin (Luteinizing dan hormon perangsang folikel), dan hormon

adrenocorticotropik (ACTH) (Candra, 2020).

Pertumbuhan normal tidak hanya bergantung pada kecukupan

hormon pertumbuhan tetapi merupakan hasil yang kompleks antara sistem

saraf dan sistem endokrin. Hormon jarang bertindak sendiri tetapi

membutuhkan kolaborasi atau intervensi hormon lain untuk mencapai efek

penuh. Hormon pertumbuhan menyebabkan pelepasan faktor pertumbuhan

mirip insulin (Insulin like Growth Factor 1 (IGF-1)) dari hati. IGF-1 secara

langsung mempengaruhi serat otot rangka dan sel-sel tulang rawan di

tulang panjang untuk meningkatkan tingkat penyerapan asam amino dan

memasukkannya ke dalam protein baru, sehingga berkontribusi terhadap

pertumbuhan linear selama masa bayi dan masa kecil. Pada masa remaja,

percepatan pertumbuhan remaja terjadi karena kolaborasi dengan hormon

gonad, yaitu testosteron pada anak laki-laki, dan estrogen pada anak

perempuan (Candra, 2020).

Ada banyak bukti dari penelitian tentang anak-anak dengan

perawakan pendek yang tidak normal terjadi akibat faktor lingkungan yang

mengganggu sistem endokrin, menyebabkan pengurangan dalam

pelepasan hormon pertumbuhan. Namun, hormon lain juga terpengaruh,

membuat penyebab gangguan pertumbuhan menjadi kompleks (Candra,

2020).

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang

Parameter biokimia yang dapat dikaitkan dengan defisiensi zat gizi

terkait resiko stunting adalah sebagai berikut :

1. Albumin rendah atau ceratinin height index (HCT) urine rendah dan

atau keseimbangan nitrogen negarif : kemungkinan berhubungan


15

dengan defisiensi protein dan peristiwa katabolisme (karena

penyakit infeksi ).

2. Serum asam folat rendah: kemungkinan berhubungan dengan

defisiensi asam folat dan vitamin B12.

3. Zat besi (Fe) serum rendah: kemungkinan berhubungan dengan

defisiensi zat besi (Fe) dan inflamasi.

4. Hematokrit (Ht) rendah: kemungkinan berhubungan dengan

defisiensi asam folat, Fe, vitamin B12, dan overhidrasi.

5. Hemoglobin (Hb) rendah: kemungkinan berhubungan dengan

defisiensi protein dan Fe. (Ramayulis, 2018).

2.1.7 Pencegahan

Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan salah satu

upaya pencegahan stunting yang termasuk pada tujaun pembangunan

berkelanjutan yaitu menghilangkan kelaparan dan segala bentuk malnutrisi

pada tahun 2030 serta mencapai ketahanan pangan. Target yang

ditetapkan menurunkan angka stunting hingga 40%. Pada tahun 2025

(Atmaria, Zahrani, dan Bappenas, 2018). Adapun upaya yang dilakukan

untuk menurunkan angka stunting diantaranya sebagai berikut :

1. Ibu Hamil dan Bersalin

a. Intervensi pada 1000 hari pertama kelahiran.

b. Mengupayakan jaminan mutu ante natal care (ANC)

terpadu.

c. Meningkatkan persalinan di fasilitasi kesehatan.

d. Menyelenggarakan Program Pemberian Makanan Tinggi

Kalori, Protein dan Nutrium (TKPM).

e. Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular).

f. Pemberatasan kecacingan.
16

g. Menyelenggarakan konseling Insiasi Menyusu Dini (IMD)

h. Penyuluhan dan pelayanan KB.

2. Balita

a. Pemantauan pertumbuhan balita.

b. Menyelenggarakan kegiatan pemberian makanan

tambahan untuk balita.

c. Menyelenggarakan stimulasi dini perkembangan anak.

d. Memberikan pelayanan kesehatan yang optimal.

3. Anak Usia Sekolah

a. Melakukan revitalisasi Usaha Kesehatan Sekolah (UKS).

b. Menyelenggarakan program gizi anak sekolah remaja.

c. Meningkatkan penyuluhan untuk perilaku sehat.

d. Pendidikan kesehatan reproduksi.

4. Dewasa Muda

a. Penyuluhan dan pelayanan Keluarga Berencana (KB).

b. Deteksi dini penyakit menular.

c. Meningkatkan penyuluhan untuk PHBS, pola gizi

seimbang, tidak merokok dan sex bebas.

2.1.8 Penatalaksanaan

Menurut Word Health Organization (WHO, 2013), intervensi

yang dapat digunakan untuk menanggulangi balita stunting adalah

intervensi prenatal dan pascanatal sebagai intervensi spesifik dan

sensitive. Seiring dengan hal tersebut intervensi prenatal dan pascanatal

melalui gerakan perbaikan gizi dengan fokus pada 1000 hari pertama

kehidupan pada tataran global yaitu melalui strategi SUN (Scalling Up

Nutrition) dan di Indonesia disebut dengan gerakan Nasional Perbaikan

Sadar Gizi (Khoeroh, 2017).


17

Dalam perbaikan gizi di masyarakat, kontribusi intervensi gizi

sensitive lebih besar yaitu sekitar 70% di banding dengan intervensi

spesifik 30% oleh karena itu kedua intervensi gizi tersebut harus

dilaksanakan secara bersamaan dan komprehenshif.

1. Intervensi gizi spesifik adalah kegiatan yang cukup cost effective

untuk mengatasi masalah gizi khususnya masalah gizi bagi anak

stunting. Berikut intervensi gizi spesifik yang di terapkan

a. Intervensi gizi spesifik dengan sasaran ibu hamil. Intervensi ini

meliputi kegiatan memberikan makanan tambahan (PMT) pada ibu

hamil untuk mengatasi kekurangan energi dan protein kronis,

mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat, mengatasi

kekurangan iodium, menanggulangi kecacingan pada ibu hamil

serta melindungi ibu hamil dari Malaria.

b. Intervensi gizi spesifik dengan sasaran ibu menyusui dan anak

usia 0-6 Bulan. Intervensi ini dilakukan melalui beberapa kegiatan

yang mendorong inisiasi menyusui dini / IMD terutama melalui

pemberian ASI jolong / colostrum serta mendorong pemberian ASI

Eksklusif.

c. Intervensi gizi spesifik dengan sasaran ibu menyusui dan anak

usia 7-23 bulan. Intervensi ini meliputi kegiatan untuk mendorong

penerusan pemberian ASI hingga anak / bayi berusia 23 bulan.

Kemudian, setelah bayi berusia diatas 6 bulan didampingi oleh

pemberian MP-ASI, menyediakan obat cacing, menyediakan

suplementasi zink, melakukan fortifikasi zat besi ke dalam

makanan, memberikan perlindungan terhadap malaria,

memberikan imunisasi lengkap, serta melakukan pencegahan dan

pengobatan diare (Demsa, 2019).


18

2. Intervensi gizi sensitif. Kerangka ini idealnya dilakukan melalui

berbagai kegiatan pembangunan diluar sektor kesehatan dan

berkontribusi pada 70% intervensi stunting. Sasaran dari intervensi

gizi spesifik adalah masyarakat secara umum dan tidak khusus ibu

hamil dan balita pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan / HPK. Kegiatan

terkait intervensi gizi sensitif dapat dilaksanakan melalui beberapa

kegiatan yang umumnya makro dan dilakukan secara lintas

kementerian dan lembaga. Ada 12 kegiatan yang dapat berkontribusi

pada penurunan stunting melalui intervensi gizi spesifik sebagai

berikut:

a. Menyediakan dan memastikan akses terhadap air bersih.

b. Menyediakan dan memastikan akses terhadap sanitasi.

c. Melakukan fortifikasi bahan pangan.

d. Menyediakan akses kepada layanan kesehatan dan Keluarga

Berencana (KB).

e. Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

f. Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal).

g. Memberikan pendidikan pengasuhan pada orang tua.

h. Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Universal.

i. Memberikan pendidikan gizi masyarakat.

j. Memberikan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi, serta gizi

pada remaja.

k. Menyediakan bantuan dan jaminan sosial bagi keluarga miskin.

l. Meningkatkan ketahanan pangan dan gizi (Sandjojo, 2017).


19

2.1.9 Indikator Stunting

Tinggi badan menurut umur (TB/U) adalah indikator untuk

mengetahui seseorang anak stunting atau normal. Tinggi badan

merupakan ukuran antropometri yang menggambarkan pertumbuhan

skeletal. Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring pertambahan

umur. Pertumbuhan tinggi badan relatif kurang sensitif terhadap masalah

kekurangan gizi dalam waktu yang pendek. Indeks TB/U menggambarkan

status gizi masa lampau serta erat kaitannya dengan sosial ekonomi

(Supariasa et al, 2011).

Metode penilaian status gizi secara langsung yang paling populer

dan dapat diterapkan untuk populasi dengan jumlah sampel besar adaIah

antropometri. Penilaian status gizi dengan menggunakan metode

antropometri ialah pengukuran ukuran, berat, proporsi tubuh, beberapa

literatur menyatakan bahwa antropometri ialah proses pengukuran dimensi

fisik dan komposisi tubuh. Tinggi badan merupakan antropometri yang

menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Dalam keadaan normal,

tinggi badan tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan umur. Pengukuran

tinggi badan atau panjang badan pada anak dapat dilakukan dengan alat

pengukur tinggi / panjang badan dengan presisi 0.1 cm. Penggunaan

indeks TB/U memiliki beberapa kelebihan antara lain:

1. Merupakan indikator yang baik untuk mengetahui kurang gizi pada

masa lampau.

2. Alat mudah dibawa.

3. Murah.

4. Pengukuran objektif
20

Sedangkan  kelemahannya antara lain antara lain :

1. Dalam penilaian intervensi harus disertai dengan indeks lain (seperti

BB/U), karena perubahan tinggi badan tidak banyak terjadi dalam

waktu singkat.

2. Ketepatan umur sulit didapat. Indikator TB/U memberikan indikasi

masalah gizi yang sifatnya kronik sebagai akibat dari keadaan

berlangsung lama, misalnya kemiskinan, perilaku hidup sehat dan

pola asuh / pemberian makanan yang kurang baik dari sejak anak

dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi pendek (Riskesdas.

2010). Kategori dan ambang batas penilaian status gizi berdasarkan

indikator tinggi badan menurut umur (TB/U) atau panjang badan

menurut umur (PB/U).

2.1.10 Dampak Stunting

Menurut Atmarita (2018) mengatakan dampak yang ditimbulkan

stunting dapat dibagi menjadi dampak jangka pendek dan jangka panjang

1. Dampak Jangka Pendek.

a) Peningkatan terjadinya kesakitan dan kematian;

b) Perkembangan kognitif, motorik, dan verbal pada anak tidak

optimal; dan

c) Peningkatan biaya kesehatan.

2. Dampak Jangka Panjang.

a) Postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa (lebih pendek

dibandingkan pada umumnya);

b) Meningkatnya risiko obesitas dan penyakit lainnya;

c) Menurunnya kesehatan reproduksi;


21

d) Kapasitas belajar dan performa yang kurang optimal saat

masa sekolah; dan

e) Produktivitas dan kapasitas kerja yang tidak optimal.

2.2 Balita

2.2.1 Definisi Balita

Kata balita adalah istilah yang umum digunakan untuk usia

anak hingga berusia 5 tahun. Balita adalah individu atau sekelompok

individu dari suatu penduduk yang berada dalam rentang usia tertentu.

Usia balita dikelompokkan menjadi tiga golongan yaitu golongan usia bayi

(0-2 tahun), golongan balita (2-3 tahun), dan golongan pra sekolah (>3-5

tahun). Adapun menurut WHO, kelompok usia balita adalah adalah 0-60

bulan (Andriani dan Wirajatmadi, 2012).

Masa balita adalah masa yang yang paling penting dalam

siklus kehidupan, karena pada usia 0 sampai 5 tahun balita mengalami

perkembangan fisik, mental dan perilaku. Oleh karena itu, di usia tersebut

balita perlu mendapatkan perhatian khusus dalam hal gizi mereka

(Gunawan, 2018).

Usia balita merupakan masa dimana proses pertumbuhan dan

perkembangan terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan

asupan zat gizi yang cukup dalam jumlah dan kualitas yang banyak,

karena pada umumnya aktivitas fisik yang cukup tinggi dan masih dalam

perubahan belajar. Apabila asupan gizi tidak terpenuhi maka

pertumbuhan fisik dan intelektualitas balita akan mengalami gangguan,

yang akhirnya akan menyebabkan mereka menjadi generasi yang hilang

(lost generation), dan dampak yang luas negara akan kehilangan sumber

daya manusia yang berkualitas (Khoeroh, 2017)


22

Masa balita merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan

penyakit. Anak balita dengan kekurangan gizi dapat mengakibatkan

terganggunya pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan spiritual

serta mengakibatkan rendahnya kualitas sumber daya manusia (Khoeroh,

2017).

2.2.2 Karakteristik Balita

Menurut Septiari (2012) menyatakan karakteristik balita dibagi

menjadi dua yaitu:

1) Anak usia 1-3 tahun

Usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif artinya anak

menerima makanan yang disediakan orang tuanya. Laju pertumbuhan

usia balita lebih besar dari usia pra sekolah, sehingga diperlukan jumlah

makanan yang relatif besar. Perut yang lebih kecil menyebabkan jumlah

makanan yang mampu diterimanya dalam sekali makan lebih kecil bila

dibandingkan dengan anak yang usianya lebih besar oleh sebab itu,

pola makan yang diberikan adalah porsi kecil dengan frekuensi sering.

2) Anak usia prasekolah (3-5 tahun)

Usia 3-5 tahun anak menjadi konsumen aktif. Anak sudah

mulai memilih makanan yang disukainya. Pada usia ini berat badan

anak cenderung mengalami penurunan, disebabkan karena anak

beraktivitas lebih banyak dan mulai memilih maupun menolak makanan

yang disediakan orang tuanya.

2.2.3 Pertumbuhan dan Perkembangan Balita

Pertumbuhan adalah proses bertambahnya ukuran atau

dimensi tubuh yang bersifat kuantitatif yang disebabkan oleh meningkatnya

jumlah dan ukuran sel tubuh. Pertumbuhan dapat diketahui melalui


23

pemeriksaan antropometri seperti panjang / tinggi badan, lingkar kepala,

dan berat badan (Fikawati, 2017)

Perkembangan adalah proses pematangan fungsi tubuh

manusia yang ditandai dengan bertambahnya kemampuan fungsi suatu

organ yang lebih kompleks yang bersifat kuantitatif dan kualitatif,

peningkatan keterampilan, kreativitas, dan kemampuan afektif (Fikawati,

2017).

Pola pertumbuhan anak yang normal terbagi menjadi tiga fase

yaitu fase bayi, fase anak, dan fase pubertas. Pada fase bayi, faktor

penggerak utama pertumbuhan sama seperti fase intrauterine yaitu nutrisi

dan insulin like growth factor (IGF). Pada fase ini, bayi mengalam

ipercepatan atau perlambatan pertumbuhan sesuai dengan potensi

genetiknya. Kecepatan pertumbuhan bayi pada tahun pertama yairu 20-25

cm / tahun sehingga panjang badan bayi saat umur 1 tahun sudah

mencapai 1,5 kali dari panjang lahir. Pada tahun kedua kecepatan

pertumbuhan mulai menurun yaitu 10-13 cm / tahun. Pada fase anak,

faktor yang mendominasi pertumbuhan adalah pengaruh hormon

pertumbuhan.

Pada tahap ini, fase deselerasi akan berlanjut hingga usia3

tahun, dan selanjutnya pertumbuhan menjadi stabil yaitu > 4 cm / tahun

selama usia pre pubertas. Tinggi badan anak usia 4 tahun sudah mencapai

2 kali panjang lahir dan tinggi badan prepubertas sudah mencapai 80-85%

tinggi badan dewasa. Pada masa pubertas, terjadi akselerasi kecepatan

pertumbuhan maksimal yaitu pada laki-laki sebesar 11-12 cm / tahun dan

pada perempuan 8-9 cm / tahun. Setelah akselerasi maksimal akan terjadi

deselerasi pertumbuhan sampai mencapai tinggi badan maksimal saat

dewasa (IDAI, 2013).


24

2.2.4 Kebutuhan Utama Proses Tumbuh Kembang

Menurut Evelin dan Djamaluddin (2010) proses tumbuh kembang,

anak memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi, kebutuhan tersebut yakni :

1. Pemenuhan kebutuhan gizi (asuh)

Menyangkut asupan gizi anak selama dalam kandungan dan

sesudahnya, kebutuhan akan tempat tinggal, pakaian yang layak dan

aman, perawatan kesehatan dini berupa imunisasi dan intervensi dini

akan timbulnya gejala penyakit

2. Pemenuhan kebutuhan emosi dan kasih sayang (asih)

Penting menimbulkan rasa aman (emotional security) dengan

kontak fisik dan psikis sedini mungkin dengan ibu. Kebutuhan anak

akan kasih sayang, diperhatikan dan dihargai, pengalaman baru,

pujian, tanggung jawab untuk kemandirian sangatlah penting untuk

diberikan.

3. Pemenuhan kebutuhan stimulasi dini (asah)

Cikal bakal proses pembelajaran, pendidikan dan pelatihanyang

diberikan sedinidan sesuai mungkin. Terutama pada usia 4–5 tahun

pertama (golden year) sehingga akan terwujud etika, kepribadian yang

baik, kecerdasan, kemandirian, keterampilan dan produktivitas yang

baik.

2.2.5 Ciri dan Prinsip Tumbuh Kembang

Proses tumbuh kembang anak mempunyai beberapa ciri-ciri yang

saling berkaitan. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut (Kemenkes RI,

2012) :
25

a) Perkembangan menimbulkan perubahan

Perkembangan terjadi bersamaan dengan pertumbuhan.

Setiap pertumbuhan disertai dengan perubahan fungsi. Misalnya

perkembangan intelegensia pada seorang anak akan menyertai

pertumbuhan otak dan serabut saraf. Seorang anak tidak akan bisa

melewati satu tahap perkembangan sebelum ia bisa berdiri. Seorang

anak tidak akan bisa berdiri jika pertumbuhan kaki dan bagian tubuh

lain yang terkait dengan fungsi berdiri anak terhambat, karena itu

perkembangan awal merupakan masa kritis karena akan menentukan

perkembangan selanjutnya.

b) Pertumbuhan dan perkembangan mempunyai kecepatan yang

berbeda

Sebagaimana pertumbuhan, perkembangan mempunyai

kecepatan yang berbeda-beda, baik dalam pertumbuhan fisik maupun

perkembangan fungsi organ dan perkembangan pada masing-masing

anak.

c) Perkembangan berkolerasi dengan pertumbuhan

Pada saat pertumbuhan berlangsung cepat, perkembangan

pun demikian, terjadi peningkatan mental, memori, daya nalar, asosiasi

dan lain-lain. Anak sehat, bertambah umur, bertambah berat dan tinggi

badannya serta bertambah kepandaiannya.

2.2.6 Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan

Pada umumnya anak memiliki pola pertumbuhan dan perkembangan

normal yang merupakan hasil interaksi banyak faktor yang mempengaruhi


26

pertumbuhan dan perkembangan anak. Adapun faktor-faktor tersebut

antara lain (Kemenkes RI, 2012):

a. Faktor dalam (internal) yang berpengaruh pada tumbuh kembang anak.

1) Ras / etnik atau bangsa

Anak yang dilahirkan dari ras / bangsa Amerika, maka ia tidak

memiliki faktor herediter ras / bangsa Indonesia atau sebaliknya.

2) Keluarga

Kecenderungan keluarga yang memiliki postur tubuh tinggi, pendek,

gemuk atau kurus.

3) Umur

Kecepatan pertumbuhan yang pesat adalah pada masa prenatal,

tahun pertama kehidupan dan masa remaja.

4) Jenis kelamin

Fungsi reproduksi pada anak perempuan berkembang lebih cepat

daripada laki-laki. Tetapi setelah melewati masa pubertas,

pertumbuhan anak laki-laki lebih cepat.

5) Genetik

Genetik (heredokonstitusional) adalah bawaan anak yaitu potensi

anak yang akan menjadi ciri khasnya. Ada beberapa kelainan genetik

yang berpengaruh pada tumbuh kembang anak seperti kerdil.

6) Kelainan kromosom

Kelainan kromosom umumnya disertai dengan kegagalan

pertumbuhan seperti pada sindroma Down’s dan sindroma Turner’s.

b. Faktor luar (eksternal)

1. Faktor Prenatal

a) Gizi
27

Nutrisi ibu hamil terutama dalam trimester akhir kehamilan akan

mempengaruhi pertumbuhan janin.

b) Mekanis

Posisi fetus yang abnormal bisa menyebabkan kelainan kongenital

seperti club foot.

c) Toksin / zat kimia

Beberapa obat-obatan seperti Aminopterin, Thalidomid, dapat

menyebabkan kelainan kongenital seperti palatoskisis.

d) Endokrin

Diabetes meilitus dapat menyebabkan mekrosomia, kardiomegali,

hiperplasia adrenal.

e) Radiasi

Paparan radium dan sinar rontgen dapat mengakibatkan kelainan

pada janin seperti mikrosefali, spina bifida, retardasi mental dan

deformitas anggota gerak, kelainan kongenital mata, kelainan

jantung.

f) Infeksi

Infeksi pada trimester pertama dan kedua oleh TORCH

(Toksoplasma, Rubella, Sitomegalo Virus Herpers simpleks) dapat

menyebabkan kelainan pada janin ; katarak, bisu tuli, mikrosefali,

retardasi mental, dan kelainan jantung kongenital.

g) Kelainan imunologi

Eritobaltosis fetalis timbul atas dasar perbedaan golongan darah

antara janin dan ibu sehingga ibu membentuk antibodi terhadap

sel darah merah janin, kemudian melalui plasenta masuk dalam

peredaran darah janin dan akan menyebabkan hemolisis yang


28

selanjutnya mengakibatkan hiperbilirubinemia dan Kern icterus

yang akan menyebabkan kerusakan jaringan otak.

h) Anoksia embrio

Anoksia embrio yang disebabkan oleh gangguan fungsi plasenta

menyebabkan pertumbuhan terganggu.

i) Psikologi ibu

Kehamilan yang tidak diinginkan, perlakuan salah / kekerasan

mental pada ibu hamil dan lain-lain.

2. Faktor Persalinan

Komplikasi persalinan pada bayi seperti trauma kepala, asfiksia,

dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak.

a) Faktor pasca persalin

1. Gizi

Untuk tumbuh kembang bayi, diperlukan zat makanan yang

adekuat.

2. Penyakit kronis / kelainan congenital

Tuberkulosis, anemia, kelainan jantung bawaan mengakibatkan

retardasi pertumbuhan janin.

3. Lingkungan fisis dan kimia

Lingkungan sering disebut melieuadalah tempat anak tersebut

hidup yang berfungsi sebagai penyedia kebutuhan dasar anak

(provider). Sanitasi lingkungan yang kurang baik, kurangnya

sinar matahari, paparan sinar radioaktif, zat kimia tertentu (Pb,

Mercuri, rokok, dll) mempunyai dampak yang negatif terhadap

pertumbuhan anak.
29

4. Psikologis

Hubungan anak dengan orang sekitarnya. Seorang anak yang

tidak diketahui oleh orang tuanya atau anak yang selalu merasa

tertekan, akan mengalami hambatan di dalam pertumbuhan

dan perkembangannya.

5. Endokrin

Gangguan hormon, misalnya pada penyakit hipotiroid akan

menyebabkan anak mengalami hambatan pertumbuhan.

6. Sosio-ekonomi

Kemiskinan selalu berkaitan dengan kekurangan makanan,

kesehatan lingkungan yang jelek dan ketidaktahuan, akan

menghambat pertumbuhan anak.

7. Lingkungan pengasuh

Pada lingkungan pengasuh, interaksi ibu-anak sangat

mempengaruhi tumbuh kembang anak.

8. Stimulasi

Perkembangan memerlukan rangsangan / stimulasi khususnya

dalam keluarga, misalnya penyediaan alat mainan, sosialisasi

anak, keterlibatan ibu dan anggota keluarga lain terhadap

kegiatan anak.

9. Obat-obatan

Pemakaian kortikosteroid jangka lama akan menghambat

pertumbuhan, demikian halnya dengan pemakaian obat

perangsang terhadap susunan saraf yang menyebabkan

terhambatnya produksi hormon pertumbuhan.

2.3 Faktor Penyebab Terjadinya Stunting


30

2.3.1 Jenis Kelamin

Jenis kelamin adalah perbedaan biologis laki-laki dan perempuan

yang berkaitan dengan alat dan fungsi reproduksinya. Laki-laki memiliki

penis, testis, jakun dan sperma, sedangkan perempuan memiliki rahim,

indung telur dan payudara (Azisah, 2016). Menurut Hungu jenis kelamin

(sex) adalah perbedaaan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir.

Seks berkaitan dengan tubuh laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki

memproduksi sperma, sementara perempuan menghasilkan sel telur dan

secara biologis mampu untuk menstruasi, hamil dan menyusui (Suhardin,

2016).

Secara umum seks digunakan untuk mengindentifikasi perbedaan

laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis, sedang gender lebih

banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, dan aspek-aspek

non biologis lainnya. Perbedaan biologis dan fungsi biologis laki-laki dan

perempuan tidak dapat dipertukarkan diantara keduanya, dan fungsinya

tetap laki-laki dan perempuan pada segala ras yang ada di muka bumii

(Suhardi, 2016).

Selain itu, anak laki-laki memerlukan kebutuhan energi dan protein

lebih banyak sehingga lebih berisiko untuk mengalami kekurangan gizi

apabila kebutuhannya tidak terpenuhi (Bahmat, 2015). Dalam proses

biologis, laki-laki menghasilkan hormone testosteron dan progesterone

diduga mampu mempengaruhi peningkatan agresifitas, sehingga laki-laki

cenderung stabil dalam beraktivitas. Perempuan menghasilkan hormon

estrogen diduga mempengaruhi psikis dan perasaan. Hal ini berdampak

bahwa laki-laki lebih rasional dibandingkan perempuan, tetapi perempuan

lebih sensitif, lebih perasa dibandingkan laki-laki (Suhardi, 2016).


31

Perbedaan komposisi laki-laki dan perempuan juga dapat

mempengaruhi terhadap besarnya kebutuhan gizi. Perempuan memiliki

lebih banyak jaringan lemak dan jaringan otot lebih sedikit dari pada laki-

laki. Secara metabolik, otot lebih aktif jika dibandingkan dengan lemak,

sehingga secara proporsional otot akan memerlukan energi lebih tinggi

dari pada lemak (Nurlaeli, 2019).

2.3.2 Pola Pemberian Makan

2.3.2.1 Definisi Pola Makan

Pola makan merupakan perilaku paling penting yang dapat

mempengaruhi keadaan gizi yang disebabkan karena kualitas dan

kuantitas makanan dan minuman yang dikonsumsi akan mempengaruhi

tingkat kesehatan individu. Gizi yang optimal sangat penting untuk

pertumbuhan normal serta perkembangan fisik dan kecerdasan bayi,

anak- anak serta seluruh kelompok umur. Pola makan merupakan

tingkah laku seseorang atau sekelompok orang dalam pemenuhan

kebutuhan makan yang meliputi sikap, kepercayaan dan pilihan

makanan. Pola makan terbentuk sebagai hasil dari pengaruh fisiologis,

psikologis, budaya dan sosial (Waryono, 2010).

Pola makan pada balita sangat berperan penting dlam proses

pertumbuhan pada balita, karena dalam makanan banyak mengandung

gizi. Gizi menjadi bagian yang sangat penting dalam pertumbuhan. Gizi

di dalamnya memiliki keterkaitan yang sangat erat hubungannya dengan

kesehatan dan kecerdasan. Apabila terkena defisiensi gizi maka

kemungkinna besar sekali anak akan mudah terkena infeksi. Gizi ini

sangat berpengaruh pada nafsu makan. Jika pola makan tidak tercapai

dengan baik pada balita, maka pertumbuhan balita akan terganggu,


32

tubuh kurus, pendek bahkan bisa terjadi gizi buruk pada balita (Purwani,

2013).

2.3.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi pola pemberian makan

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola pemberian makan.

1. Faktor status sosial ekonomi

Menurut (Septiana, Djannah dan Djamil, 2010), ekonomi

keluarga secara tidak langsung dapat mempengaruhi ketersediaan

pangan keluarga. Ketersediaan pangan dalam keluarga

mempengaruhi pola konsumsi yang dapat berpengaruh terhadap

intake gizi keluarga Tingkat pendapatan keluarga menyebabkan

tingkat konsumsi energi yang baik.

2. Faktor pendidikan

Tingkat pendidikan formal merupakan faktor yang ikut

menentukan ibu dalam menyerap dan memahami informasi gizi

yang diperoleh (Septiana, Djannah dan Djamil, 2010).

3. Faktor lingkungan

Lingkungan dibagi menjadi lingkungan keluarga, sekolah

dan promosi yang dilakukan oleh perusahaan makanan baik pada

media cetak maupun elektronik. Lingkungan keluarga dan sekolah

akan mempengaruhi kebiasaan seseorang yang dapat membentuk

pola makannya. Promosi iklan makanan juga akan membawa daya

tarik kepada seseorang yang nantinya akan berdampak pada

konsumsi makanan tersebut, sehingga dapat mempengaruhi pola

makan seseorang (Sulistyoningsih, 2011).

4. Faktor sosial budaya


33

Konsumsi makanan seseorang akan dipengaruhi oleh

budaya. Pantangan dan anjuran dalam mengkonsumsi makanan

akan menjadi sebuah batasan seseorang untuk memenuhi

kebutuhannya. Kebudayaan akan memberikan aturan untuk

menentukan tata cara makan, penyajian, persiapan dan makanan

tersebut dapat dikonsumsi. Hal tersebut akan menjadikan gaya

hidup dalam pemenuhan nutrisi. Kebiasaan yang terbentuk

berdasarkan kebudayaan tersebut dapat mempengaruhi status gizi

dan menyebabkan terjadinya malnutrisi. Upaya untuk pencegahan

harus dilakukan dengan cara pendidikan akan dampak dari suatu

kebiasaan pola makan yang salah dan perubahan perilaku untuk

mencegah terjadinya malnutrisi sehingga dapat meningkatkan

status kesehatan seseorang serta memelihara kebiasaan baru yang

telah dibentuk dengan tetap mengontrol pola makan (Booth and

Booth, 2011).

Budaya atau kepercayaan seseorang dapat mempengaruhi

pantangan dalam mengkonsumsi makanan tertentu. Pada

umumnya, pantangan yang didasari kepercayaan mengandung sisi

baik atau buruk. Kebudayaan mempunyai kekuatan yang cukup

besar untuk mempengaruhi seseorang dalam memilih dan

mengolah makanan yang akan dikonsumsi. Keyakinanan terhadap

pemenuhan makanan berperan penting untuk memelihara perilaku

dalam mengontrol pola makan seseorang (Ames et al., 2012).

5. Faktor agama

Segala bentuk kehidupan di dunia ini telah diatur dalam

agama. Salah satunya yaitu tentang mengkonsumsi makanan.

Sebagai contoh, agama Islam terdapat peraturan halal dan haram


34

yang terdapat pada setiap bahan makanan. Hal tersebut juga akan

mempengaruhi konsumsi dan memilih bahan makanan.

2.3.2.3 Pola Pemberian Makan yang Sesuai

Pola makan balita sangat berperan penting dalam proses

pertumbuhan pada balita, karena dalam makanan banyak mengandung

gizi. Gizi merupakan bagian penting dalam pertumbuhan. Gizi tersebut

memiliki keterkaitan yang sangat erat hubungannya dengan kesehatan

dan kecerdasan. Apabila pola makan tidak tercapai dengan baik pada

balita maka pertumbuhan balita akan terganggu, tubuh kurus, pendek

bahkan terjadi gizi buruk pada balita (Purwani dan Mariyam, 2013). Tipe

kontrol yang diidentifikasi dapat dilakukan oleh orang tua terhadap

anaknya-anaknya ada tiga, yaitu memaksa, membatasi dan

menggunakan makanan sebagai hadiah.

Beberapa literatur mengidentifikasi pola makan dan perilaku orang

tua seperti memonitor asupan nutrisi, membatasi jumlah makanan,

respon terhadap pola makan dan memperhatikan status gizi anak (Karp

et al., 2014). Pola pemberian makan anak harus disesuaikan dengan

usia anak supaya tidak menimbulkan masalah kesehatan

(Yustianingrum, 2017).
35

Tabel 2.2 Pola Pemberian Makan yang Sesuai

Kelompok Umur Jenis dan jumlah makanan Frekuensi makanan


0-3 bulan ASI eksklusif Sesering mungkin
4-6 bulan Makanan lumat 1x sehari
2 sendok makan
setiap kali
7-12 bulan Makanan lembek 2x sehari, 2x
selingan
1-3 tahun Makanan keluarga 3x sehari
1-1 ½ piring nasi atau
pengganti
2-3 potong lauk hewani
4-6 tahun 1-2 piring nasi atau 3x 3x sehari
sehari pengganti
2-3 potong lauk hewani
1-2 potong lauk nabati
1-1 ½ mangkuk sayur
2-3 potong buah
1-2 gelas susu

2.3.2.4 Indikator Pola Pemberian Makan

Menurut Kemenkes (2014) mengatakan bahwa secara umum, pola

makan memiliki 3 (tiga) komponen yang terdiri dari: jenis, jumlah

makanan, dan jadwal makan.

a. Jenis makan

Jenis makan adalah sejenis makanan pokok yang dimakan

setiap hari terdiri dari makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati,

sayuran ,dan buah yang dikonsumsi setiap hari. Makanan pokok

adalah sumber makanan utama di negara indonesia yang dikonsumsi

setiap orang atau sekelompok masyarakat yang terdiri dari beras,

jangung, sagu, umbi-umbian, dan tepung (Sulistyoningsih, 2011).


36

b. Jumlah makan

Jumlah makan adalah banyaknya makanan yang dimakan

dalam setiap orang atau setiap individu dalam kelompok (Willy, 2011).

c. Jadwal makan

Jadwal makan merupakan cara ibu untuk mengatur pola

makan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Apabila jadwal

makan tidak dibentuk, maka pola makan anak tidak akan terbentuk.

Jadwal makan sangat penting untuk memantau frekuensi makan dan

kebutuhan nutrisi sesuai dengan kebutuhan anak (Subarkah, 2016).

2.3.2.5 Penilaian Kuesioner CFQ (Child Feeding Questionnaire)

CFQ (Child Feeding Questionnaire) adalah ukuran yang

menilai keyakinan, sikap dan praktik orang tua tentang pemberian

makan anak. CFQ diterapkan pada ibu yang memiliki anak berusia 2–11

tahun. CFQ adalah salah satu dari sedikit ukuran yang ada untuk

menilai berbagai aspek sikap dan praktik pemberian makan anak

( Chamci, Bas & Buyukkaragoz, 2014 ). Kuesioner CFQ terdiri dari

tujuh subskala:

1. Persepsi tanggung jawab orang tua tentang berat badan anak,

2. Persepsi berat orang tua selama masa kanak-kanak orang tua,

3. Persepsi berat badan anak,

4. Perhatian tentang berat badan anak (perhatian),

5. Ibu yang membatasi asupan makanan (pembatasan),

6. Tekanan ibu untuk makan (tekanan untuk makan), dan

7. Ibu pemantauan konsumsi makanan tinggi lemak (pemantauan).


37

2.3.3 Status Imunisasi

2.3.3.1 Definisi Imunisasi

Imunisasi merupakan salah satu cara untuk memberikan

kekebalan pada bayi dan anak terhadap berbagai penyakit, sehingga

dengan imunisasi diharapkan bayi dan anak tetap tumbuh dalam

keadaan sehat. Secara alamiah tubuh sudah memiliki pertahanan

terhadap berbagai kuman yang masuk. Pertahanan tubuh tersebut

meliputi pertahanan nonspesifik dan pertahanan spesifik. Mekanisme

pertahanan tubuh pertama kali adalah pertahanan nonspesifik, seperti

komplemen dan makrofag. Komplemen dan makrofag ini yang pertama

kali akan memberikan peran ketika ada kuman yang masuk ke dalam

tubuh (sebelum itu ada mekanisme pertahanan fisik berupa kulit, selaput

lendir, dan lain-lain) (Hidayat, 2008).

Setelah itu kuman harus menghadapi pertahanan tubuh yang

kedua, yaitu pertahanan tubuh spesifik yang terdiri atas sistem

pertahanan tubuh humoral dan seluler. Pertahanan tubuh humoral

dilakukan oleh sel limfosit B dan hanya dapat bereaksi apabila

mikroorganisme sampai di cairan tubuh. Sistem pertahanan humoral

akan menghasilkan zat yang disebut imunoglobulin (1gA, IgM, IgG, IgE,

IgD). Sistem pertahanan tubuh dilakukan oleh limfosit T dan bereaksi

apabila virus menempel pada sel. Dalam pertahanan tubuh yang

spesifik terutama sel B, selanjutnya akan menghasilkan satu sel yang

disebut cell memory. Sel ini, akan berguna dan sangat cepat bereaksi

apabila ada kuman yang sudah pernah masuk ke dalam tubuh. Kondisi

inilah yang digunakan dalam prinsip imunisasi (Hidayat, 2008).


38

Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan pada bayi

dan anak dengan memasukkan vaksin ke dalam tubuh agar tubuh

membuat zat anti untuk mencegah terhadap penyakit tertentu.

Sedangkan yang dimaksud dengan vaksin adalah bahan yang dipakai

untuk merangsang pembentukan zat anti yang dimasukkan ke dalam

tubuh melalui suntikan (misalnya vaksin BCG, DPT, dan campak) dan

melalui mulut (misalnya vaksin polio) (Hidayat, 2008).

2.3.3.2 Tujuan Imunisasi

Tujuan pemberian imunisasi adalah diharapkan anak menjadi

kebal terhadap penyakit sehingga dapat menurunkan angka morbiditas

dan mortalitas serta dapat mengurangi kecacatan akibat penyakit yang

dapat dicegah dengan imunisasi (Hidayat, 2008).

2.3.3.3 Macam-Macam Imunisasi

Berdasarkan proses atau mekanisme pertahanan tubuh, imunisasi

dibagi menjadi dua sebagai berikut:

a) Imunisasi Aktif

Imunisasi aktif merupakan pemberian zat sebagai antigen

yang diharapkan akan terjadi suatu proses infeksi buatan, sehingga

tubuh mengalami reaksi imunologi spesifik yang akan menghasilkan

respons seluler dan humoral serta dihasilkannya cell memory.

Dalam imunisasi aktif terdapat empat macam kandungan dalam

setiap vaksinnya, yang dijelaskan sebagai berikut.

1) Antigen merupakan bagian dari vaksin yang berfungsi

sebagai zat atau mikroba guna terjadinya semacam infeksi


39

buatan (berupa polisakarida, toksoid, virus yang dilemahkan,

atau bakteri yang dimatikan).

2) Pelarut dapat berupa air steril atau berupa cairan kultur

jaringan.

3) Preservatif, stabiliser, dan antibiotik yang berguna untuk

mencegah tumbuhnya mikroba sekaligus untuk stabilisasi

antigen.

4) Adjuvans yang terdiri atas garam aluminium yang berfungsi

untuk meningkatkan imunogenitas antigen (Hidayat, 2008).

b) Imunisasi Pasif

Imunisasi pasif merupakan pemberian zat (imunoglobulin),

yaitu suatu zat yang dihasilkan melalui suatu proses infeksi yang

dapat berasal dari plasma manusia atau binatang yang digunakan

untuk mengatasi mikroba yang diduga sudah masuk dalam tubuh

yang terinfeksi (Hidayat, 2008).

c) Waktu Pemberian Imunisasi

Tabel 2.3 Waktu Pemberian Imunisasi

Umur Pemberian Imunisasi (Bulan)


Jenis Vaksin 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12+

HB 0 (0-24 jam)
BCG
*Polio
*DPT-HB-Hib 1
*Polio 2
*DPT-HB-Hib 2
Polio 3
* DPT-HB-Hib 3
* Polio 4
* IPV
Campak
40

Umur Pemberian Imunisasi (Bulan)


Jenis Vaksin 18 24

*** DPT-HB-Hib Lanjutan


*** Campak Lanjutan

d) Jenis Imunisasi Dasar

1. Imunisasi BCG (Bacillus Calmette Guerin)

Vaksin BCG merupakan vaksin beku kering yang mengandung

Mycobacterium bovis hidup yang dilemahkan. Vaksin BCG tidak

mencegah infeksi tuberculosis tetapi mengurangi resiko tuberculosis

berat dan tuberkulosa primer. Imunisasi BCG diberikan pada bayi <3

bulan, atau pada anak dengan uji tuberkulin negatif. Vaksin BCG

diberikan secara intrakutan di daerah lengan kanan atas pada insersio

M. Deltoideus sesuai anjuran WHO dengan dosis 0,05 mL (Ranuh dkk.,

2017).

Kontraindikasi imunisasi BCG antara lain bayi yang mengalami

defisiensi sistem kekebalan, reaksi uji tuberkulin >5 mm, demam tinggi,

terinfeksi HIV asimtomastis maupun simtomatis, adanya penyakit kulit

yang berat / menahun, atau sedang menderita TBC (Ranuh dkk, 2017).

KIPI yang terjadi yaitu reaksi lokal yang timbul setelah imunisasi BCG

adalah ulkus lokal yang superfisial pada 3 minggu setelah penyuntikkan.

Ulkus tertutup krusta, akan sembuh dalam 2-3 bulan, dan meninggalkan

parut bulat dengan diameter 4-8 mm. Apabila dosis terlalu tinggi maka

ulkus yang timbul lebih besar, namun apabila penyuntikkan terlalu dalam

maka parut yang terjadi tertarik ke dalam (Ranuh dkk., 2017).


41

2. Imunisasi Hepatitis B

Vaksin Hepatitis B adalah vaksin virus rekombinan yang telah

dinonaktivasikan dan bersifat non-infecious. Pemberian imunisasi ini

bertujuan untuk mendapatkan kekebalan terhadap penyakit hepatitis B.

Vaksin disuntikkan dengan dosis 0,5 ml, pemberian suntikan secara

intramuskuler, sebaiknya anteroateral paha. Pemberian sebanyak 3

dosis, dosis pertama diberikan pada usia 0-7 hari, dosis berikutnya

dengan interval minimum 4 minggu (Ranuh dkk., 2017).

KIPI yang terjadi yaitu reaksi lokal seperti rasa sakit,

kemerahan dan pembengkakan di sekitar tempat penyuntikan. Reaksi

yang terjadi ringan dan biasanya hilang setelah 2 hari. Kontraindikasi

pemberian vaksin hepatitis B pada bayi yang memiliki riwayat anafilaksis

setelah vaksinasi hepatitis B sebelumnya (Ranuh dkk., 2017).

3. Imunisasi Pentavalen

Vaksin Pentavalen (Difteri, Pertusis, Tetanus, Hepatitis B

Rekombinan, Haemophilus influen-zae tipe b) berupa suspensi

homogen yang mengandung toksoid tetanus dan difteri murni, bakteri

pertussis (batuk rejan) inaktif, antigen permukaan Hepatitis B (HbsAg)

murni yang tidak infeksius dan komponen HiB sebagai vaksin bakteri

sub unit berupa kapsul polisakarida Haemophilus Influenza tipe B tidak

infeksius yang dikonjugasikan kepada protein toksoid tetanus. Indikasi

digunakan untuk pencegahan terhadap difteri, pertussis, tetanus,

hepatitis B, dan infeksi Haemophilus influenza tipe b secara simultan

(Ranuh dkk., 2017).

Vaksin ini harus disuntikkan secara intramuskular pada

anterolateral paha atas, dengan dosis anak 0,5 ml. Kontraindikasi

pemberian vaksin ini adalah riwayat anafilaksis pada pemberian vaksin


42

sebelumnya, ensefalopati sesudah pemberian vaksin pertusis

sebelumnya, keadaan lain dapat dinyatakan sebagai perhatian khusus

(precaution). Riwayat kejang dalam keluarga dan kejang yang tidak

berhubungan dengan pemberian vaksin sebelumnya bukanlah suatu

kontraindikasi terhadap pemberian vaksin ini (Ranuh dkk., 2017). KIPI

yang terjadi reaksi local kemerahan, bengkak, dan nyeri pada lokasi

injeksi, demam ringan, anak gelisah dan menangis terus menerus, dan

lemas (Ranuh dkk., 2017).

4. Imunisasi Polio

Imunisasi polio yaitu proses pembentukan kekebalan terhadap

penyakit polio. Vaksin yang digunakan yaitu IPV (Inactivated Polio

Vaccine) yang berisis virus polio virulen yang sudah diinaktivasi

dimatikan dengan panas dan formaldehid.

Vaksin IPV meningkatkan antibodi humoral dengan cepat.

Namun, Vaksin IPV sedikit memberikan kekebalan lokal pada dinding

usus sehingga virus polio masih dapat berkembang biak dalam usus

orang yang telah mendapat IPV saja. Hal ini memungkinkan terjadinya

penyebaran virus ke sekitarnya, yang membahayakan orang-orang

disekitarnya, sehingga vaksin ini tidak dapat mencegah penyebaran

virus polio liar. IPV tidak dipergunakan untuk radiasi polio, namun dapat

mencegah kelumpuhan baik akibat virus polio liar atau virus polio vaksin

sabin (Ranuh dkk, 2017).

Kontraindikasi umumnya pada imunisasi : vaksinasi harus

ditunda pada mereka yang sedang menderita demam, penyakit atau

penyakit kronis progresif. Hipersensitif pada saat pemberian vaksin ini

sebelumnya. Penyakit demam akibat infeksi akut : tunggu sampai

sembuh (Ranuh dkk.,, 2017).


43

KIPI yang terjadi reaksi lokal pada tempat penyuntikan antara

lain nyeri, kemerahan, indurasi dan bengkak bisa terjadi dalam waktu 48

jam setelah penyuntikan dan bisa bertahan selama satu atau dua hari.

Terjadinya dan tingkat keparahan dari reaksi lokal tergantung pada

tempat dan cara penyuntikan serta jumlah dosis yang sebelumnya

diterima. Reaksi sistemik yang ditimbulkan demam dengan atau tanpa

disertai myalgia, sakit kepala atau limfadenopati (Ranuh dkk., 2017)

5. Imunisasi MR (Measles dan Rubella)

Campak dan Rubella adalah penyakit infeksi menular melalui

saluran nafas yang disebabkan oleh virus. Campak dapat menyebabkan

komplikasi yang serius seperti diare, radang paru (pneumonia), radang

otak (ensefalitis), kebutaan bahkan kematian. Rubella biasanya berupa

penyakit ringan pada anak, akan tetapi bila menulari ibu hamil pada

trimester pertama dapat menyebabkan keguguran atau kececatn pada

bayi yang dilahirkan. Kecacatan tersebut dikenal segabai Sindroma

Rubella Konginetal di antaranya meliputi kelainan pada jantung dan

mata, ketulian dan keterlambatan perkembangan (Kemenkes RI, 2017).

Kontraindikasi pemberian vaksin MR adalah anak dengan

penyakit keganasan yang tidak diobati atau gangguan imunitas, yang

mendapat pengobatan dengan imunosupresif atau terapi sinar atau

mendapat steroid dosis tinggi. Anak dengan alergi berat gelatin atau

neomisin. Anak yang mendapat vaksin hidup yang lain harus di tunda

minimal 1 bulan setelah imunisasi yang terakhir. Vaksin MR tidak boleh

diberikan dalam waktu 3 bulan setelah pemberian immunoglobulin atau

transfusi darah (Ranuh dkk., 2017).


44

KIPI yang terjadi yaitu dapat terjadi malaise (lemas), demam dan

ruam yang berlangsung 7-12 hari setelah imunisasi dan pada umumnya

berlangsung selama 1-2 hari (Ranuh dkk., 2017).

2.3.4 Status Gizi

2.3.4.1 Definisi Status Gizi

Status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi

makanan dan penggunaan zat gizi, dimana zat gizi sangat dibutuhkan

oleh tubuh sebagai sumber energi, pertumbuhan dan pemeliharaan

jaringan tubuh, serta pengatur proses tubuh (Auliya et al., 2015). Status

gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat interaksi antara asupan energi

dan protein serta zat-zat gizi esensial lainnya dengan keadaan

kesehatan tubuh.

Status gizi adalah kondisi tubuh sebagai akibat penyerapan zat-

zat gizi esensial. Status gizi merupakan ekspresi dari keseimbangan zat

gizi dengan kebutuhan tubuh, yang diwujudkan dalam bentuk variabel

tertentu. Ketidakseimbangan (kelebihan dan kekurangan) antara zat gizi

dengan kebutuhan tubuh akan menyebabkan kelainan patologi bagi

tubuh manusia (Hidayati, 2019).

2.3.4.2 Penilaian Status Gizi

Penilaian status gizi merupakan langkah awal dari manajemen

gizi. Secara garis besar metode penilaian gizi dibedakan menjadi dua

yaitu metode langsung dan tak langsung (Setyawati, 2018). Metode

langsung dibagi menjadi empat yaitu antropometri, klinis, biokimia dan

biofisik. Sedangkan metode tak langsung dibagi menjadi 3 yaitu survei

konsumsi, statistic vital, dan faktor ekologi.


45

Metode penilaian gizi secara langsung

1) Antropometri

Penilaian status gizi dengan menggunakan metode

antropometri ialah pengukuran ukuran, berat, proporsi tubuh,

beberapa literatur menyatakan bahwa antropometri ialah proses

pengukuran dimensi fisik dan komposisi tubuh. Hasil pengukuran

antropometri sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain

usia, fisiologis, pola makan, dan lain-lain. Metode antropometri

membutuhkan beberapa parameter diantaranya umur, berat badan,

tinggi badan, lingkar kepala, lengan atas, lingkar kepala, dan lingkar

dada. Masing-masing parameter akan dibahas dibawah ini (Nusi.

2019). Berdasarkan (Kemenkes, 2016 ), kategori status anak antara

lain sebagai berikut:

Tabel 2.4 Penilaian status gizi anak berdasarkan standar

antropometri

Indikator Status Gizi Z-Score


BB/U Gizi Buruk < -3,0 SD
Gizi Kurang -3,0 SD s/d < -2,0
Gizi Baik SD
Gizi Lebih -2,0 SD s/d 2,0 SD
> 2,0 SD
a) Umur

Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi.

Kesalahan penentuan umur akan menyebabkan interpretase

status gizi menjadi salah (Nusi, 2019).

b) Berat Badan

Berat badan merupakan salah satu antropometri yang

memberikan gambaran masa tubuh (otot dan lemak). Hal ini

dikarenakan tubuh sangat sensitive terhadap perubahan


46

keadaan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit

infeksi, menurunnya nafsu makan, dan menurunnya jumlah

makanan yang dikonsumsi, sehingga berat badan merupakan

antropometri yang sangat labil (Nusi, 2019).

Tabel 2.5 Rumus Perkiraan Berat Badan

Usia Berat Badan (Kg)


Lahir 3,25
1-12 bulan [Usia (bulan) + 9] : 2
1-6 tahun [Usia (tahun) x 2 + 8]
6-12 tahun [Usia (tahun) x 7 - 5] : 2

c) Tinggi Badan

Tinggi badan merupakan antropometri yang

menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Dalam

keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersamaan dengan

pertumbuhan umur. Pertumbuhan tinggi badan, tidak seperti

berat badan, relatif kurang sensitif terhadapa masalah

defisiensi gizi dalam waktu pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi

terhadap tinggi badan baru akan tampak pada saat yang cukup

lama. Tinggi badan merupakan parameter yang penting bagi

keadaan yang telah lalu dan keadaan skarang jika umur tidak

diketahui dengan tepat (Nusi, 2019).

Tabel 2.6 Rumus Perkiraan Tinggi Badan


Usia Tinggi Badan (cm)
Lahir 50
-1 tahun 75
2-12 tahun Usia (tahun) x 6 + 77
47

d) Lingkar Kepala

Lingkar kepala memeriksa keadaan patologi dari besarnya

kepada / peningkatan ukuran kepala contohnya yang sering

terjadi adalah kepala besar (hidrosefalus) dan kepala kecil

(microsefalus). Lingkar kepala terutama dihubungkan dengan

ukuran otak dan tulang tengkorak. Lingkar kepala juga

digunakan sebagai informasi tambahan dalam pengukuran

umur (Setyawati, 2018).

e) Lingkar Dada

Biasanya dilakukan pada anak usia 2-3 tahun, karena

rasio lingkar kepala dan lingkar dada sama pada umur 6 bulan.

Setelah umur ini, tulang tengkorak tumbuh secara lambat dan

pertumbuhan dada lebih cepat. Umur antara 6 bulan dan 5

tahun, rasio antara lingkar kepala dan dada adalah kurang dari

satu, hal ini dikarenakan akibat kegagalan perkembangan dan

pertumbuhan / kelemahan otot dan lemak pada dinding dada.

Ini dapat digunakan sebagai indikator untuk menentukan KEP

pada balita. Masalah yang sering ditemukan dalah akurasi

pengukuran (pembacaan), karena pernafasan anak yang tidak

teratur (Setyawati, 2018).

f) Lingkar lengan atas

Selama tahun pertama kehidupan, pertambahan otot dan

lemak di lengan berlangsung cepat. Pada anak berusia 5

tahun, pertumbuhan nyaris hampir tidak terjadi, dan ukuran

lengan tetap konstan di angka 16 cm. Apabila anak mengalami

malnutrisi, otot akan mengecil, lemak menipis, dan ukuran

lingkar lengan akan susut. Pengukuran lingkar lengan berguna


48

untuk mendeteksi malnutrisi anak balita, terutama bila usia

yang tepat tidak diketahui dan alat timbang tidak ada

(Setyawati, 2018).

2) Klinis

Metode ini biasanya digunakan untuk mendeteksi

kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang berhubungan

dengan kekurangan atau kelebihan gizi. Metode ini biasa

menggunakan pendekatan riwayat medis dan pemeriksaan

fisik (Setyawati, 2018).

3) Biokimiawi

Beberapa tahapan masalah gizi dapat diketahui dengan

metode laboratorium, penyimpanan zat gizi dalam jaringan

tubuh mengalami perubahan secara perlahan sesuai dengan

status gizi seseorang (Setyawati, 2018).

4) Biofisik

Metode penilaian status gizi yang cara kerjanya melihat

kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan meliaht

perubahan struktur dari jaringan (Setyawati, 2018).

2. Metode Penilaian Status Gizi Secara Tak Langsung

1) Survei Konsumsi

Survei konsumsi adalah suatu metode penialaian status gizi

dengan melihat dan menghitung jumlah dan jenis makanan yang

dikonsumsi oleh individu. Akan tetapi, survei konsumsi juga bisa

dilakukan pada tingkat rumah tangga. Tujuan dilaksanakannya

survei konsumsi makanan adalah untuk mengetahui kebiasaan

makan, dan gambaran tingkat kecukupan bahan makanan dan zat


49

gizi pada tingkat, kelompok, rumah tangga dan perorangan serta

faktor-faktor yang mempengaruhinya (Setyawati, 2018).

2) Statistik Vital

Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan

menganalisis data beberapa statistic kesehatan seperti angka

kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat

penyakit tertentu, dan data lainya yang berhubungan dengan gizi

(Setyawati, 2018).

3) Faktor Ekologi

Ekologi merupakan suatu pengetahuan yang mengkaji

tentang hubungan timbal balik antara organisme hidup dengan

lingkungan atau dapat dikatakan juga ekologi adalah ilmu mengenai

jaringan hubungan antara zat-zat organisme dengan unsur-unsur

yang hidup dan mati dalam lingkungannya (Setyawati, 2018).

2.3.4.3 Kebutuhan Gizi Balita

Proses tumbuh kembang pada masa balita berlangsung sangat

pesat yaitu pertumbuhan fisik dan perkembangan psikomotorik, mental

dan sosial. Pertumbuhan fisik balita perlu memperoleh asupan zat gizi

dari makanan sehari- hari dalam jumlah yang cukup dan berkualitas baik

untuk mendukung pertumbuhan. Kebutuhan gizi pada anak diantaranya

energi, protein, lemak, air, hidrat arang, vitamin, dan mineral (Adriani

dan Wirjatmadi, 2012).

1. Energi

Kebutuhan energi pada masa balita dalam sehari untuk tahun

pertama sebanyak 100-200 kkal / kg BB. Setiap tiga tahun

pertambahan umur, kebutuhan energi turun 10 kkal / kg BB. Energi

yang digunakan oleh tubuh adalah 50% atau 55 kkal / kg BB per hari
50

untuk metabolisme basal, 5-10% untuk Specific Dynamic Action, 12%

atau 15-25 kkal/kg BB per hari untuk aktifitas fisik dan 10% terbuang

melalui feses. Zat gizi yang mengandung energi terdiri atas

karbohidrat, lemak, dan protein. Jumlah energi yang dianjurkan di

dapat dari 50-60% karbohidrat, 25-35% lemak dan 10-15% protein.

2. Protein

Pemberian protein disarankan sebanyak 2-3 g / kg BB bagi

bayi dan 1,5-2 g / kg BB bagi anak. Pemberian protein dianggap

adekuat apabila mengandung semua asam amino esensial dalam

jumlah cukup, mudah dicerna, dan diserap oleh tubuh. Protein yang

diberikan harus sebagian berupa protein berkualitas tinggi seperti

protein hewani.

3. Air

Air merupakan zat gizi yang sangat penting bagi bayi dan

anak karena sebagian besar dari tubuh terdiri dari air, kehilangan air

melalui kulit, dan ginjal pada bayi dan anak lebih besar daripada

orang dewasa sehingga anak akan lebih mudah terserang penyakit

yang menyebabkan kehilangan air dalam jumlah yang banyak.

Tabel 2.7 Kebutuhan air sehari pada anak


Umur Kebutuhan sehari
(ml/kg/BB/hari)
12 bulan 120-135
2-3 tahun 115-125
4-5 tahun 100-110
4. Lemak

Kebutuhan lemak tidak dinyatakan dalam angka mutlak, namun

dianjurkan 15-20% energi total basal berasal dari lemak. Konsumsi

lemak umur 6 bulan sebanyak 35% dari jumlah energi seluruhnya

masih dianggap normal, akan tetapi seharusnya tidak lebih rendah.


51

5. Hidrat arang

Konsumsi hidrat arang dianjurkan 60-70 energi total basal.

Pada ASI dan sebagian susu formula bayi 40-50% kandungan kalori

berasal dari hidrat dan tidak ada ketentuan tentang kebutuhan

minimal, karena glukosa dalam sirkulasi dapat dibentuk dari protein

dan gliserol. Konsumsi yang optimal adalah 40-60% dari jumlah

energi.

6. Vitamin dan mineral

Anak sering mengalami kekurangan vitamin A, B dan C

sehingga anak perlu mendapatkan 1-1½ mangkuk atau 100-150

gram sayur per hari. Pilih buah yang berwarna kekuningan atau

jingga seperti pepaya, pisang, nanas dan jeruk.

7. Kebutuhan gizi mineral mikro

Kebutuhan gizi mineral mikro yang lebih dibutuhkan saat usia

balita antara lain:

1) Zat besi (Fe)

Zat besi sangat berperan dalam tubuh karena zat besi

terlibat dalam berbagai reaksi oksidasi reduksi. Balita usia satu

tahun dengan berat badan 10 kg harus mengkonsumsi 30% zat

besi yang berasal dari makanan.

2) Yodium

Yodium merupakan bagian integral dari hormon tiroksin

triiodotironin dan tetraiodotironim yang berfungsi untuk mengatur

perkembangan dan pertumbuhan. Yodium berperan dalam

perubahan karoten menjadi bentuk aktif vitamin A, sintesis protein,

dan absobsi karbohidrat dari saluran cerna. Yodium juga berperan

dalam sintesis kolesterol darah. Angka kecukupan yodium untuk


52

balita 70-120 µg/kg BB.

3) Zink

Zat berperan dalam proses metabolisme asam nukleat dan

sintesis protein. Selain itu zink berfungsi sebagai pertumbuhan sel,

replikasi sel, mematangkan fungsi organ reproduksi, penglihatan,

kekebalan tubuh, pengecapan, dan selera makan. Balita

dianjurkan mengkonsumsi zink 10 mg/hari.

2.3.4.4 Klasifikasi Status Gizi

Dalam menentukan status gizi pada balita harus ada ukuran baku

yang sering disebut references atau patokan sebuah penilaian.

Pengukuruan baku antropometri yang sekarang digunakan di Indonesia

adalah WHO-NCHS. Menurut Kemenkes RI (2017) di dalam buku saku

pemantauan status gizi, klasifikasi status gizi dapat dibedakan menjadi

empat, yaitu:

1. Status gizi lebih (over weight)

Gizi lebih (Over weight) Gizi lebih terjadi bila tubuh

memperoleh zat-zat gizi dalam jumlah berlebihan sehingga

menimbulkan efek toksis atau membahayakan (Almatsier, 2011).

Kelebihan berat badan pada balita terjadi karena ketidakmampuan

antara energi yang masuk dengan keluar, terlalu banyak makan,

terlalu sedikit olahraga atau keduanya. Kelebihan berat badan anak

tidak boleh diturunkan, karena penyusutan berat akan sekaligus

menghilangkan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan (Rahim,

2014).
53

2. Status gizi baik (well nourished)

Status gizi baik adalah dimana keadaan tubuh memperoleh

cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien sehingga

memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan

kerja dan kesehatan secara umum meningkat, atau bisa disebut juga

status gizi optimal (Khan et al, 2017).

3. Status gizi kurang (under weight)

Status gizi kurang pada dasarnya merupakan gangguan

kesehatan yang disebabkan oleh kekurangan asupan energi dan

protein dalam waktu tertentu. Status gizi kurang terjadi bila tubuh

mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat esensial (Almatsier,

2011).

4. Status gizi buruk

Gizi buruk adalah suatu kondisi di mana seseorang dinyatakan

kekurangan nutrisi, atau dengan ungkapan lain status nutrisinya

berada di bawah standar rata-rata. Nutrisi yang dimaksud bisa

berupa protein, karbohidrat dan kalori. Di Indonesia, kasus KEP

(Kurang Energi Protein) adalah salah satu masalah gizi utama yang

banyak dijumpai pada balita (Yadav et al, 2016).

2.3.5 Konsep Tingkat Pendidikan

2.3.5.1 Definisi Tingkat Pendidikan

Pendidikan menurut undang-undang Nomor 20 Tahun 2003

adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar

dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,


54

serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan

negara (Yuliana, 2019).

Tingkat pendidikan merupakan suatu proses yang sengaja

dilakukan untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuannya

melalui pendidikan formal yang berjenjang. Tingkat pendidikan

mempengaruhi pola konsumsi makan melalui cara pemilihan bahan

makanan dalam hal kualitas dan kuantitas. Tingkat pendidikan juga

berkaitan dengan pengetahuan gizi yang semakin tinggi pendidikan ibu

maka semakin baik pula pemahaman dalam memilih bahan makanan

(Yuliana, 2019).

2.3.5.2 Tingkat Pendidikan

Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional, jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan

yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik,

tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan.

Jenjang pendidikan dibagi menjadi dua yakni formal dan informal.

Jenjang pendidikan formal sesuai dengan pasal 14 bab VI UU Nomor.

20 tahun 2003 yakni pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan

pendidikan tinggi.

1. Pendidikan Dasar

Pendidikan dasar yaitu jenjang pendidikan yang melandasi

jenjang pendidikan menengah. Pendidikan yang dilaksanakan selama

9 (sembilan) tahun pertama masa sekolah. Pendidikan dasar dapat

berbentuk Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk

lainnya yang sederajat, serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan

Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau bentuk lainnya yang sederajat.

Pendidikan dasar pada prinsipnya memberikan bekal dasar


55

bagaimana kehidupan baik untuk diri sendiri maupun bermasyarakat.

2. Pendidikan Menengah

Pendidikan menengah merupakan pendidikan lanjutan

pendidikan dasar. Pendidikan menengah dilaksanakan selama 3

(tiga) tahun. Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan umum atau

kejuruan. Pendidikan menengah dapat berbentuk Sekolah Menengah

Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan

(SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang

sederajat. Pendidikan menengah berfungsi untuk mempersiapkan

peserta didik untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi atau untuk

mempersiapkan memasuki dunia pekerjaan.

3. Pendidikan Tinggi

Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah

pendidikan menenngah yang mencakup program pendidikan diploma,

sarjana, magiser, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan

tinggi. Pendidikan tinggi berfungsi untuk menyiapkan peserta didik

untuk menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan

akademik atau profesional yang dapat menerapkan atau

mengembangkan ilmu pengetahuan teknologi dan kesenian.

Bagi peserta didik yang tidak sempat mengikuti ataupun

menyelesaikan pendidikan pada jenjang tertentu dalam pendidikan

formal disediakan pendidikan informal atau nonformal. Pendidikan

informal atau non formal sebagai mitra pendidikan formal yang

semakin berkembang. Pendidikan informal dapat berupa Paguyuban,

Kursus-kursus, Kejar Paket dan lain sebagainya.


56

2.3.5.3 Indikator Pendidikan atau Tolak Ukur

Menurut UU SISDIKNAS No. 20 (2003), indikator tingkat

pendidikan terdiri dari jenjang pendidikan dan kesesuaian jurusan.

Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan

berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan

dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan, yaitu terdiri dari:

a. Pendidikan dasar: Jenjang pendidikan awal selama 9 (sembilan)

tahun pertama masa sekolah anak-anak yang melandasi jenjang

pendidikan menengah.

b. Pendidikan menengah: Jenjang pendidikan lanjutan pendidikan

dasar.

c. Pendidikan tinggi: Jenjang pendidikan setelah pendidikan

menengah yang mencakup program sarjana, magister, doktor, dan

spesialis yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.

2.3.5.4 Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Pendidikan

1. Motivasi Individu

Motivasi menurut Sumadi Suryabrata adalah keadaan yang

terdapat dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk melakukan

aktivitas tertentu guna pencapaian suatu tujuan. Sementara itu Gates

dan kawan-kawan mengemukakan bahwa motivasi adalah suatu

kondisi fisiologis dan psikologis yang terdapat dalam diri seseorang

yang mengatur tindakannya dengan cara tertentu (Djali, 2008).

2. Kondisi Sosial

Kondisi sosial keadaan yang berkenaan dengan berarti

kondisi kemasyarakatan yang selalu mengalami perubahan-perubahan

melalui proses sosial. Proses sosial terjadi karena adanya interaksi


57

sosial. Interaksi sosial dapat membentuk suatu norma-norma sosial

tertentu dalam kelompok masyarakat. Hal ini ditegaskan oleh Sherif,

bahwa interaksi sosial antaranggota suatu kelompok dapat

menimbulkan suatu norma sosial dalam masyarakat yang berlaku

dalam masyarakat tersebut (Gerungan, 2009).

3. Kondisi Ekonomi

Ekonomi dalam dunia pendidikan memegang peranan yang

cukup menentukan. Karena tanpa ekonomi yang memadai dunia

pendidikan tidak akan bisa berjalan dengan baik. Hal ini, menunjukkan

bahwa meskipun ekonomi bukan merupakan pemegang peranan

utama dalam pendidikan, namun keadaan ekonomi dapat membatasi

kegiatan pendidikan (Pidarta, 2007).

Faktor ekonomi keluarga banyak menentukan dalam belajar

anak. Misalnya anak dalam keluarga mampu dapat membeli alat-alat

sekolah lengkap, sebaliknya anak-anak dari keluarga miskin tidak

dapat membeli alat-alat itu. Dengan alat serba tidak lengkap inilah

maka hati anak-anak menjadi kecewa, mundur, putus asa sehingga

dorongan belajar mereka kurang (Ahmadi, 2007).

4. Budaya

Kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan, tindakan dan

hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dapat

dijadikan milik diri manusia dengan belajar artinya bahwa hampir

seluruh tindakan manusia adalah kebudayaan, karena hanya sedikit

tindakan manusia dalam kehidupan masyarakat yang tidak dibiasakan

dengan belajar (Koentjaraningrat, 2009).

Perlu kepada anak ditanamkan kebiasaan-kebiasaan yang

baik, agar mendorong semangat anak untuk belajar. Di dalam


58

menempuh jenjang pendidikan, seseorang juga akan mempelajari

keadaan yang ada pada dirinya dan lingkungannya. Sehingga ketika

lingkungan di sekitarnya memiliki budaya dengan pendidikan yang

rendah dan sudah merasa cukup, maka hal tersebut akan dilakukan

kembali ke generasi berikutnya. Hal semacam ini dapat belangsung

secara turun-temurun bahkan dapat berkembang menjadi suatu tradisi

dalam masyarakat.
BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

Kerangka konseptual merupakan gambaran dan arahan asumsi

mengenai variabel-variabel yang akan diteliti, atau memiliki arti hasil sebuah

sintesis dari sebuah proses berfikir deduktif (Hidayat, 2018)

Faktor penyebab
Stunting: 1. 1: Pendek
1. Praktek Z- score -3 SD
pengasuhan yang sampai dengan
kurang baik. < - 2 SD.
Stunting 2: Sangat Pendek
2. Masih terbatasnya
< -3 SD.
layanan kesehatan (Rehena, 2020)
3. Kurangnya akses
ke air bersih dan 2.
Stunting merupakan
sanitasi. bentuk kegagalan
pertumbuhan
1. Jenis Kelamin (growth faltering)
2. Pola Pemberian akibat akumulasi
Makan ketidakcukupan gizi
3. Status Gizi yang berlangsung
4. Status Imunisasi lama mulai dari
5. Tingkat Pendidikan kehamilan sampai
usia 24 bulan
(Yosephin, 2019)

Keterangan :

: Tidak diteliti

: Diteliti

: Hubungan / Terjadinya

Bagan 3.1 : Kerangka konseptual penelitian Analisa Faktor Penyebab


Terjadinya Stunting Pada Balita Usia 24-60 Bulan Di Desa
Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo.
1

Berdasarkan bagan 3.1 dapat dijelaskan stunting terjadi pada masa

anak mulai periode 24 bulan. Periode ini merupakan periode yang

menentukan kualitas kehidupan sehingga disebut dengan periode emas.

Periode ini merupakan periode yang sensitive karena akibat yang ditimbulkan

terhadap bayi pada masa ini akan bersifat permanen dan tidak dapat

dikoreksi. Kondisi anak dengan kekurangan nutrisi dapat menyebabkan

gangguan pertumbuhan yakni tinggi badan anak menjadi lebih rendah atau

pendek dari standart usianya. Terjadinya stunting dapat disebabkan beberapa

faktor penyebab yaitu antara lain praktek pengasuhan yang kurang baik,

masih terbatasnya layanan kesehatan, kurangnya akses ke air bersih dan

sanitasi, jenis kelamin, pola pemberian makan, status imunisasi, status gizi,

dan tingkat pendidikan.

3.2 Hipotesis

Hipotesis berasal dari kata hypo dan thesis, hypo artinya sementara

kebenarannya dan thesis artinya pernyataan atau teori. Jadi hipotesis adalah

pernyataan sementara yang akan diuji kebenarannya. Hipotesis ini

merupakan jawaban sementara berdasarkan pada teori yang belum

dibuktikan dengan data atau fakta. Pembuktian dilakukan dengan pengujian

hipotesis melalui uji statistik. Dalam hal ini, hipotesis menjadi panduan dalam

menganalisis hasil penelitian, sementara hasil penelitian harus dapat

menjawab tujuan penelitian terutama tujuan khusus, jadi sebelum

merumuskan hipotesis harus dilihat dulu tujuan penelitiannya. Hasil pengujian

yang diperoleh dapat disimpulkan benar atau salah, berhubungan atau tidak,

diterima atau ditolak. Hasil akhir penelitian tersebut merupakan kesimpulan


2

penelitian sebagai generalisasi dan representasi dari populasi secara

keseluruhan (Masturoh, 2018).

Adapun hipotesis pada penelitian ini adalah :

H1: ada hubungan antara faktor jenis kelamin, pola pemberian makan, status

imunisasi, status gizi dan tingkat pendidikan dengan terjadinya stunting di

Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo.


3
1

BAB 4

METODELOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Desain penelitian merupakan suatus strategi untuk mencapai tujuan

penelitian yang telah ditetapkan dan berperan sebagai pedoman atau

penuntun peneliti pada seluruh proses penelitian (Nursalam, 2016). Jenis

penelitian yang digunakan adalah metode analitik korelasional dengan

pendekatan cross sectional.

Jenis penelitian yang digunakan adalah metode analitik korelasional

dengan pendekatan cross sectional, yang bertujuan mengungkapkan

hubungan korelatif antar variabel (Nursalam, 2016). Dalam hal ini adalah

“Analisa Faktor Penyebab Terjadinya Stunting Balita Usia 24-60 Bulan di

Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo”.

Penelitian cross sectional adalah jenis penelitian yang menekankan

waktu pengukuran/observasi data variabel independent dan dependent

hanya satu kali. Pada jenis variabel dependent dan independent dinilai

secara simultan pada suatu saat, jadi tidak ada tindak lanjut. Tentunya tidak

semua subyek penelitian harus diobservasi pada hari atau pada waktu yang

sama, akan tetapi baik variabel independent ataupun dependent dinilai

hanya satu kali saja. Dengan studi ini, akan diperoleh prevalensi atau efek

suatu fenomena (variabel dependent) dihubungkan dengan penyebab

(Nursalam, 2016).
2

4.2 Kerangka Kerja Penelitian

Kerangka kerja penelitian adalah tahapan dalam suatu penelitian

yang menyalurkan alur penelitian terutama variabel yang di gunakan dalam

penelitian (Nursalam, 2016).

Analisa Faktor Yang Mempengaruhi Harga Diri Lansia Di Desa Sumbersecang


Kecamatan Gading Kabupaten Probolinggo

Populasi
Lansia Di Desa Sumbersecang Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo
sebanyak 71 orang.

Teknik Sampling
Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling

Sampel
Sebagian ibu yang memiliki anak balita stunting usia 24-60 bulan Di Desa
Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo sebanyak 60 orang.

Desain Penelitian
Rancangan Penelitian : desain studi analitik korelasional dengan
pendekatan cross sectional.

Pengumpulan Data
Kuesioner , lembar observasi

Pengolahan Data
Editing, coding, scoring, tabulating

Analisa Data
Analisis regresi logistik

Kesimpulan
H1 di terima jika p value ≤ α dengan α = 0,05
Hο di terima jika p value > α dengan α = 0,05

Bagan 4.2 : Kerangka Kerja Penelitian Analisa Faktor Penyebab


Terjadinya Stunting Pada Balita Usia 24-60 Bulan Di Desa
Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo.
3

4.3 Populasi dan Sampel

4.3.1 Populasi

Populasi merupakan seluruh subjek atau objek dengan karakteristik

tertentu yang akan diteliti, bukan hanya objek atau subjek yang dipelajari

saja tetapi seluruh karakteristik atau sifat yang dimiliki subjek atau objek

tersebut, atau kumpulan orang, individu, atau objek yang akan diteliti sifat –

sifat atau karakteristiknya (Hidayat, 2018).

Populasi dalam penelitian ini seluruh jumlah anak balita stunting

usia 24-60 bulan yang terdata di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton

Kabupaten Probolinggo sejumlah 71 orang.

4.3.2 Sampel

Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang

dimiliki oleh populasi yang secara nyata diteliti dan ditarik kesimpulan.

Penelitian dengan menggunakan sampel lebih menguntungkan

dibandingkan dengan penelitian menggunakan populasi karena penelitian

dengan menggunakan sampel lebih menghemat biaya, waktu, dan

tenaga. Dalam menentukan sampel, langkah awal yang harus ditempuh

adalah membatasi jenis populasi atau menentukan populasi target

(Masturoh, 2018).

Penentuan besar sampel yang dirawat diruang inap

mengguanakan rumus menurut Slovin (Nursalam, 2016) :

N
n= 2
1+ N ( d )

Keterangan :

n : Besar Sample

N : Besar populasi
4

d : Tingkat signifikan

jadi:

n= 71

1 + 71 (0,05)²

= 71

1 + 71 (0,0025)

= 71

1 + 0,1775

= 71 = 60,29 = 60

1,1775

Tekhnik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik

purposive sampling. Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian anak

anak yang mengalami stunting di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton

Kabupaten Probolinggo sejumlah 60 responden.

Kriteria sampel dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu inklusi dan

eksklusi :

1. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah kriteria yang akan menyaring anggota

populasi menjadi sampel yang memenuhi kriteria secara teori yang

sesuai dan terkait dengan topik dan kondisi penelitian atau dengan kata

lain, kriteria inklusi merupakan ciri-ciri yang perlu dipenuhi oleh setiap

anggota populasi yang dapat diambil sebagai sampel.

Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah :

a. Bersedia menjadi responden.

b. Ibu yang memiliki anak balita stunting usia 24-60 bulan. .

c. Mempunyai buku KIA/ status kesehatan (surat keterangan lahir

dan dokumentasi atau data bidan desa).


5

d. Ibu yang bertempat tinggal di Desa Sumberanyar Kecamatan

Paiton Kabupaten Probolinggo.

2. Kriteria Eksklusi

Eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subyek

yang memenuhi kriteria inklusi dari studi karena berbagai sebab

(Nursalam, 2016).

Kriteria eksklusi pada penelitian ini yaitu:

a. Anak balita stunting pada usia 24 – 60 bulan yang tidak memiliki

orang tua (yatim piatu).

b. Anak balita stunting pada usia 24 – 60 bulan yang tidak tinggal

dengan ibu.

c. Anak balita stunting pada usia 24 – 60 bulan dengan yang tidak di

asuh langsung oleh ibunya.

d. Ibu dari anak balita stunting pada usia 24 – 60 bulan yang tidak bisa

baca tulis.

4.3.3 Teknik Sampling Penelitian

Teknik sampling merupakan cara-cara yang ditempuh dalam

pengambilan sampel, agar memperoleh sampel yang benar-benar sesuai

dengan keseluruhan subjek penelitian (Nursalam, 2016).

Teknik sampling dilakukan agar sampel yang diambil dari populasinya

representatif (mewakili), sehingga dapat diperoleh informasi yang cukup.

Penelitian ini dilakukan dengan teknik purposive sampling yaitu salah satu

teknik sampling dimana peneliti menentukan pengambilan sampel dengan

cara menetapkan ciri-ciri khusus yang sesuai atau sesuai dengan kriteria

peneliti. Adapun jumlah sampel yang akan diambil oleh peneliti dengan

teknik purposive sampling adalah sebagian penderita stunting sebanyak 60

orang di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo.


6

4.4 Variabel

Variabel merupakan seseorang atau obyek yang mempunyai variasi

sebagai pembeda atau penciri antara satu orang dengan yang lainnya atau

satu obyek dengan obyek yang lain (Masturoh, 2018).

4.4.1 Variabel Independent (Bebas)

Variabel independent adalah variabel yang dapat mempengaruhi

variabel lain, apabila variabel independent berubah maka dapat

menyebabkan variabel lain berubah. Nama lain dari variabel independent

atau variabel bebas adalah prediktor, risiko, determinan, kausa (Masturoh,

2018). Dalam penelitian ini variabel independent yang digunakan pada

penelitian ini adalah jenis kelamin, pola pemberian makan, status

imunisasi, status gizi, dan tingkat pendidikan.

4.4.2 Variabel Dependent (terikat)

Variabel dependent adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel

independen, artinya variabel dependent berubah karena disebabkan oleh

perubahan pada variabel independen (Masturoh, 2018). Variabel dalam

penelitian ini adalah terjadinya stunting.

4.5 Lokasi dan Waktu Penelitian

4.5.1 Lokasi

Penelitian ini dilakukan di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton

Kabupaten Probolinggo.

4.5.2 Waktu

Waktu penelitian dilaksanakan pada tanggal 06 -10 Mei 2021.


7

4.6 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah definisi variabel-variabel yang akan

diteliti secara operasional di lapangan. Definisi operasional dibuat untuk

memudahkan pada pelaksanaan pengumpulan data dan pengolahan serta

analisis data. Pada saat akan melakukan pengumpulan data, definisi

operasional yang dibuat mengarahkan dalam pembuatan dan

pengembangan instrumen penelitian. Sementara pada saat pengolahan dan

analisis data, definisi operasional dapat memudahkan karena data yang

dihasilkan sudah terukur dan siap untuk diolah dan dianalisis. Dengan

definisi operasional yang tepat maka batasan ruang lingkup penelitian atau

pengertian variabel-variabel yang akan diteliti akan lebih fokus (Masturoh,

2018).

Tabel 4.6. Definisi Operasional Analisa Faktor Penyebab Terjadinya


Stunting Balita Usia 24-60 Bulan Di Sumberanyar Kecamatan
Paiton Kabupaten Probolinggo

Definisi
Variabel Indikator Alat ukur Skala Skor
operasional
Variabel Perbedaan laki-laki Laki-laki Lembar Nominal 1:Laki-laki
independent: dan perempuan Perempuan observasi 2:Perempuan
Jenis kelamin yang tampak
secara penampilan
dari luar maupun
secara biologis.
Variabel Perilaku seseorang 1. Jenis Kusioner Nominal 1=Tidak
independent: yang dapat Makanan Child Pernah
Pola mempengaruhi 2. Jumlah Feeding 2=Jarang
Pemberian pertumbuhan dan Makanan Questionnai 3= Sering
Makan pemenuhan 3. Jadwal re (CFQ) 4= Sangat
asupan gizi dengan Makan. yang Sering
memperhatikan (Kemen dimodifikasi Kategori pola
pola makannya. kes, 2014) dari Camci, makan di
Bas & interpretasikan
Buyukkarag dengan
oz ( 2014). kategori
1= Tepat: 55
%-100%
2= Tidak tepat:
<55%
(Arikunto,
8

2014)

Variabel Ukuran mengenai Status gizi Alat ukur Nominal 1= Gizi baik
independent: keadaan tubuh 1. BB timbangan (Z-score ≥3,0
Status Gizi seseorang yang 2. Usia berat badan s.d Z-score < -
dilihat dari merek GEA 2,0)
makanan dan yang sudah 2= Gizi kurang
penggunaan zat terkalibrasi (Z-score ≥-2,0
gizi di dalam tubuh s.d Z-score
<=2,0)
(Hidayat,2013)

Variabel Suatu cara untuk Ketepatan Lembar Nominal 1=Imunisasi


independent: meningkatkan jadwal dan observasi Lengkap
Status kekebalan tubuh imunisasi yang yang dilihat 2=Imunisasi
Imunisasi berdasarkan sudah diterima dari buku Tidak
kelengkapan anak balita KIA Lengkap
pemberian usia 24-60 (Dillyana,2019)
imunisasi yang bulan
dianjurkan

Variabel Suatu proses yang 1. Pendidikan Lembar Nominal 1:Pendidikan


independent: dilalui untuk dasar Observasi Awal (SD-
Tingkat meningkatkan 2. Pendidikan SMP)
Pendidikan kemampuan sesuai menengah 2:Pendidikan
dengan jenjang 3. Pendidikan Lanjutan
yang akan tinggi (SMA-
ditempuh dalam Sekolah
melanjutkan tinggi)
pendidikannya. (Notoatmodjo,
2008)
9

Variabel Keadaan gizi anak Tinggi badan Alat ukur Nominal1. 1:Pendek
dependent: yang ditentukan menurut tinggi badan Z- score -3
Stunting secara umur (TB/U). merek GEA SD sampai
antropometri pada yang sudah dengan < -
balita umur 24- 60 terkalibrasi 2 SD.
bulan berdasarkan 2: Sangat
indek TB/U Pendek
< -3 SD.
(Rehena,
2020)

2.

4.7 Prosedur Penelitian

4.7.1 Prosedur Administratif

Mendapatkan surat izin penelitian dari Ketua Sekolah Tinggi Ilmu

Kesehatan Hafshawaty Jurusan S1 Keperawatan, Kemudian peneliti

mengajukan permohonan izin, peneliti juga mengajukan ijin kepada

Bankes Bangpol, kepala Dinas kesehatan Kabupaten Probolinggo,

Puskesmas Paiton untuk memperoleh izin penelitian di daerah kerja

Puskesmas Paiton

4.7.2 Prosedur Teknis atau Alur Penelitian

1. Peneliti meminta izin dan mendapatkan izin dari Bankes Bangpol

Kabupaten Probolinggo.

2. Peneliti meminta izin kepada kepala Pukesmas Paiton.

3. Peneliti meminta izin Kepala Dinas kesehatan Kabupaten Probolinggo.

4. Peneliti datang ke Puskesmas Paiton untuk menjelaskan maksud dan

tujuan penelitian.

5. Peneliti datang ke Puskesmas Paiton untuk mendapatkan data

stunting.
10

6. Peneliti datang dan mengikuti posyandu di desa Sumberanyar untuk

mendapatkan data stunting pada anak balita usia 24-60 bulan

didapatkan sebanyak 71 orang.

7. Peneliti mengidentifikasi setiap responden yang memenuhi kriteria

inklusi dan kriteria ekslusi, sehingga didapatkan sebanyak 60

responden.

8. Peneliti datang dengan door to door dan perkumpulan skala kecil untuk

res[ponden yang berumahnya berdekatan, karena adanya pandemi

Covid-19.

9. Peneliti memberikan Informed Consent pada ibu anak balita usia 24-60

bulan yang setuju menjadi responden untuk menanda-tangani.

10. Peneliti mengukur tinggi badan menggunakan alat microtoise merek

GEA yang sudah terkalibrasi.

11. Peneliti mengukur berat badan menggunakan timbangan berat badan

merek GEA yang sudah terkalibrasi.

12. Peneliti memasukkan data yang didapat dari hasil pengukuran

kedalam rumus Z-score untuk menentukan hasilnya.

13. Peneliti melakukan pengambilan data dengan memberikan kuisioner

pola pemberian makan kepada responden untuk diisi oleh responden

dan melakukan pengamatan langsung untuk menilai faktor penyebab

terjadinya stunting di Desa Sumberanyar Kecamatan Kabupaten

Probolinggo.

14. Peneliti mendampingi responden pada saat mengisi kuesioner pola

pemberian makan dan memberikan penjelasan pada responden jika

ada poin dari kuesioner yang tidak dimengerti.

15. Peneliti mengumpulkan data untuk di uji menggunakan SPSS 20.


11

4.8 Pengumpulan Data

4.8.1 Instrument pengumpulan data

Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh

peneliti dalam mengumpulkan data agar penelitiannya lebih mudah dan

hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap, dan sistematis

sehingga lebih mudah diolah. Kuesioner merupakan cara pengumpulan

data melalui pemberian kusioner dengan beberapa pertanyaan kepada

responden ( Hidayat & Aziz, 2018).

Instrumen dalam penelitian ini adalah menggunakan kuesioner

digali dari pertanyaan tentang pola pemberian makan meliputi jenis

makanan, jumlah makan, dan jadwal makan yang terdiri dari masing-

masing indikator 5 pertanyaan sehingga jumlah total pertanyaan yaitu 15

pertanyaan dengan skala likert sangat sering, sering , jarang, dan tidak

pernah dinyatakan dalam skor, menggunakan lembar observasi status

imunisai dengan melihat buku KIA dan status gizi yaitu menggunakan

pengukuran langsung menggunakan microtoise dan tingkat pendidikan

menggunakan lembar observasi serta terjadinya stunting menggunakan

observasi dengan mengkur z-score tinggi badan menurut umur.

4.8.2 Uji validitas dan Uji realibilitas

1. Uji Validitas

Prinsip validitas adalah pengukuran dan pengamatan yang

berarti prinsip keandalan instrumen dalam mengumpulkan data.

Instrumen harus dapat mengukur apa yang seharusnya diukur

(Nursalam, 2016).

Uji validitas dilakukan untuk mengetahui sejauh mana ketepatan

suatu alat ukur dalam mengukur suatu data. Untuk mengetahui validitas
12

suatu instrumen (dalam hal ini kuesioner) dilakukan dengan cara

melakukan korelasi antar skor masing-masing variabel dengan skor

totalnya. Teknik korelasi yang digunakan korelasi Pealson product

moment. Suatu variabel (pernyataan) dinyatakan valid bila skor variabel

tersebut berkorelasi secara signifikan dengan skor totalnya dengan cara

membandingkan nilai r tabel dengan nilai r hitung bila r hasil (hitung) > r

tabel maka pertanyaan tersebut valid (Nursalam, 2016).

Pada uji validitas kuesioner pola pemberian makan terdapat 15

pertanyaan dan seluruh item pertanyaan tersebut dinyatakan valid.

Dimana diperoleh r hitung minimal 0,552 dan nilai maksimal 0,889

dengan r tabel (n:15) = 0,482.

2. Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah kesamaan hasil pengukuran atau

pengamatan bila fakta atau kenyataan hidup tadi diukur atau diamati

berkali-kali dalam waktu yang berlainan. Alat dan cara mengukur atau

mengamati sama-sama memegang peranan yang penting dalam waktu

yang bersamaan. Perlu diperhatikan bahwa reliabel belum tentu akurat

(Nursalam, 2016).

Uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui sejauh mana hasil

pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama dengan aIat

ukur yang sama. Dinyatakan realiabel bila skor variabel tersebut

berkorelasi secara signiflkan dengan skor totalnya dengan cara

membandingkan nilai r tabel dengan nilai r hitung. Bila r (Alpha) > r

Tabel, maka pernyataan tersebut reliabel.


13

Hasil uji reliabilitas kuesioner pemberian pola pemberian makan

didapatkan Cronbach’s Alpha sebesar 0,764 lebih besar dari 0,482

dengan r tabel (n:15) maka dinyatakan reliabel.

4.8.3 Teknik Pengumpulan Data

1. Editing

Editing yaitu upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data

yang diperoleh atau dikumpulkan. Editing data dilakukan pada tahap

pengumpulan data atau setelah data terkumpul.

Dalam hal ini, dilakukan pemeriksaan data, hasil data harus

dilakukan penyuntingan (editing) terlebih dahulu.

a. Apakah lengkap, dalam arti semua pertanyaan sudah terisi

b. Apakah jawaban atau tulisan masing-masing pertanyaan cukup

jelas atau terbaca.

c. Apakah jawabannya relevan dengan pertanyaannya.

d. Apakah jawaban-jawaban pertanyaan konsisten dengan jawaban

pertanyaan yang lainnya (Notoatmodjo, 2012)

Kuesioner yang telah diisi pada saat pengumpulan data,

perlu dilihat kembali apakah semua jawaban terbaca, semua

pertanyaan terjawab, hasil isian sesuai tujuan yang diinginkan

peneliti.

2. Coding

Coding adalah mengubah data berbentuk kalimat atau huruf

menjadi data angka atau bilangan (Notoatmodjo, 2012).

Kode untuk data Umum:

a. Jenis kelamin: 1: Laki-laki, 2: Perempuan

b. Pendidikan 1 : Tidak Tamat, 2 : SD, 3 : SMP, 4 : SMA,


14

5 : Perguruan Tinggi

c. Pekerjaan 1: IRT, 2 : Petani, 3 : Wiraswasta, 4: PNS

Kode untuk data khusus :

a. Pola pemberian makan

1: Tepat: 56 %-100%

2: Tidak tepat: 0-55%

b. Status Gizi

1: Gizi baik (Z-score ≥3,0 s.d Z-score < -2,0)

2: Gizi kurang (Z-score ≥-2,0 s.d Z-score <=2,0)

c. Status Imunisasi

1: Lengkap

2: Tidak Lengkap

d. Tingkat Pendidikan

1. Pendidikan Awal (SD-SMP)

2. Pendidikan Lanjutan (SMA-Perguruan Tinggi)

e. Stunting

1. Pendek : Z- score -3 SD sampai dengan < - 2 SD.

2. Sangat Pendek: < -3 SD.

3. Scoring

Scoring merupakan memberikan penilaian terhadap item-item

yang perlu diberikan penilaian atau skor. Untuk variabel independent,

pada pola pemberian makan di ukur menggunakan kuisioner scoring

SN
X 1 00 % SN=Score yang didapat, SM= score maksimal,
SM

dinyatakan dalam Kategori: Tepat = 56-100%, tidak tepat=0-55%,

Untuk variabel dependen di ukur menggunakan observasi tinggi

badan menurut umur menggunakan grafik tinggi badan anak menurut


15

umur dinyatakan dalam kategori: Pendek: Z- score -3 SD sampai

dengan < - 2 SD dan Sangat Pendek < -3 SD (Rehena, 2020)

4. Tabulating

Tabulating adalah menampilkan data yang diperoleh dalam

bentuk tabulasi. Proses ini merupakan tahapan akhir pengolahan

data yang sangat berguna untuk kegiatan selanjutnya yaitu tehnik

penyajian data. Penelitian ini datanya berbentuk numerik, maka

setelah data dikumpulkan dan diperiksa, kemudian akan dilakukan

analisa data dengan komputerisasi untuk menguji hipotesis yang

akan dilakukan. Untuk menguji hipotesisi yang menyatakan analisa

faktor penyebab stunting pada balita usia 24-60 bulan di Desa

Sumberanyar Kecamatan paiton Kabupaten probolinggo. Tabulasi

menggunakan microsoft office excel 2007.

4.9 Analisa Data

Analisa data merupakan suatu proses atau analisa yang dilakukan secara

sistematis terhadap data yang dikumpulkan dengan tujuan supaya trend dan

relationship bisa dideteksi (Nursalam, 2016).

4.9.1 Analisis Univariat

Analisis univariat adalah analisis yang dilakukan untuk satu

variabel dan atau per variabel dengan demikian teknik analisa data dapat

diartikan sebagai cara melaksanakan analisis terhadap data, dengan

tujuan mengelolah data tersebut menjadi informasi sehingga karakteristik

atau sifat-sifat datanya dapat dengan mudah dipahami dan bermanfaat

untuk menjawab masalah-masalah yang berkaitan dengan deskripsi data

maupun untuk membuat induksi, atau menarik kesimpulan tentang


16

karakteristik populasi ( parameter) berdasarkan data yang diperoleh dari

sampel( statistic) ( Harsono, 2010).

Dalam penelitian ini analisis univariat pada variabel dependent

yaitu terjadinya stunting dan variabel independent memakai tabel

distribusi frekuensi, distribusi frekuensi adalah suatu daftar atau tabel

yang membagi data dalam beberapa kelas.

4.9.2 Analisis Bivariat

Analisis data ini digunakan untuk mengetahui hubungan variabel

bebas dan variabel terikat. Pengolaan data menggunakan media

komputer program “windows SPSS 20” kemudian peneliti menyimpulkan

hasil penelitian sebagai berikut:

Apabila p value ≤0,05 maka H1 diterima, H0 ditolak arinya ada

hubungan dari dari variable independent dan dependent ( Harsono,

2010). Analisis bivariat pada penelitian ini bertujuan untuk menguji

hipotesis yang menyatakan adanya hubungan jenis kelamin dengan

penyebab terjadinya stunting di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton

Kabupaten Probolinggo, untuk menguji hipotesis yang menyatakan

adanya hubungan pola pemberian makan dengan penyebab terjadinya

stunting di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten

Probolinggo, untuk menguji hipotesis yang menyatakan adanya hubungan

status gizi dengan dengan penyebab terjadinya stunting di Desa

Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo, untuk menguji

hipotesis yang menyatakan adanya hubungan status imunisasi dengan

penyebab terjadinya stunting di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton

Kabupaten Probolinggo, dan untuk menguji hipotesis yang menyatakan

adanya hubungan tingkat pendidikan dengan penyebab terjadinya

stunting di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo


17

dengan uji statistik “Chi-square”. Hal ini dikarenakan skala data pada lima

variabel independent adalah nominal, dan skala data variabel dependent

adalah nominal. Pengolaan data menggunakan media komputer program

“windows SPSS 20” kemudian peneliti menyimpulkan hasil penelitian

sebagai berikut:

Dalam penelitian ini apabila angka probabilitas lebih kecil dari 0,05

maka H0 ditolak yang berarti ada hubungan kelima variabel independent

dan variabel dependent, sebaliknya jika lebih besar dari atau sama

dengan 0,05 maka H0 diterima yang berarti tidak ada hubungan dari

kelima variabel independent dan variabel dependent.

4.9.3 Multivariat

Analisis multivariat adalah merupakan analisis perluasan atau

perkembangan dari analisis melihat hubungan atau keterkaitan dua

variabel, maka analisis multivariate bertujuan melihat atau mempelajari

hubungan variabel ( lebih dari 1 variabel ) independent dengan 1 atau

beberapa variablel dependent ( umumnya 1 variabel dependent) (Setiadi,

2013).

Proses analisis multivariate dengan menghubungkan beberapa

variabel independent dengan satu variabel dependent pada waktu yang

bersamaan. Jumlah sample dalam analisis multivariate sangat penting

diperhatikan, sebaiknya jangan terlalu sedikit (Setiadi, 2013).

Analisis yang digunakan untuk mengetahui faktor yang

mempengaruhi derajat stunting yaitu Uji Analisis Regresi Logistik

menggunakan media komputer program windows SPSS 20 kemudian

peneliti menyimpulkan hasil penelitian sebagai berikut “ apabila nilai

p<0,05 maka H1 diterima, H0 ditolak apabila p>0,05.


18

4.10 Etika Penelitian

Dalam penelitian kesehatan yang menjadikan manusia sebagai

objek yang diteliti harus memperhatikan hubungan antara peneliti dan

yang diteliti dan yang diteliti masing-masing memiliki hak dan kewajiban

yang sama harus di akui dan dihargai oleh masing-masing pihak

(Notoatmodjo, 2012). Untuk menentukan standart atau kriteria pengambilan

keputusan persetujuan kelayakan etik atas usulan protokol penelitian yang

melibatkan manusia sebagai subjek penelitian maka Komisi Etik Penelitian

dan Pengembangan Kesehatan Nasional (KEPPKN) menetapkan 7

standart universal yang harus terpenuhi dalam sebuah protokol penelitian,

berikut hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan penelitian

(KEPPKN, 2017):

4.10.1 Nilai Sosial atau Nilai Klinis

Parameter nilai sosial adalah adanya kebaruan fenomena

(novelty) dan upaya mendiseminasikan hasil (KEPPKN, 2017). Penelitian

memiliki nilai keterbaruan karena informasi yang didapatkan valid dari

jurnal dan buku terbaru, relevansi dengan masalah yang sedang menjadi

fenomena kesehatan, serta berguna untuk menambah wawasan baru

tentang faktor penyebab terjadinya stunting.

4.10.2 Nilai Ilmiah

Suatu penelitian dapat diterima secara etis apabila berdasar pada

metode ilmiah yang valid (KEPPKN, 2017). Penelitian ini dilengkapi

dengan desain penelitian yang jelas, memberikan informasi yang valid

karena di dasarkan pada penelitian-penelitian terbaru sebelumnya.


19

4.10.3 Pemerataan Beban dan Manfaat

Penelitian dapat diterima secara etik apabila telah meminimalisir

dampak negatif yang mungkin terjadi dan manfaat dari penelitian lenih

besar dibandingkan risiko yang ditimbulkan (KEPPKN, 2017). Dalam

penentuan subjek penenlitian harus di dasarkan oleh pertimbangan

ilmiah, kekhpususan subjek dengan menggunakan kriteria inklusi dan

eksklusi.

Prinsip keadilan menjamin bahwa semua subjek penelitian

memperoleh perlakuan dan keuntungan yang sama tanpa membedakan

gender, agama, etnis, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2012). Peneliti tidak

membeda-bedakan antara responden satu dengan yang lainnya.

4.10.4 Potensi Risiko dan Manfaat

Hampir semua penelitian mengikutsertakan subjek manusia yang

akan memberikan beberapa konsekuensi misalnya risiko

ketidaknyamanan, pengorbanan waktu atau biaya maka diperlukan

beberapa manfaat untuk keseimbangan penelitian (KEPPKN, 2017).

Sebuah penelitian harus memberikan manfaat yang maksimal bagi

masyarakat terutama bagi responden penelitian, maka peneliti hendaknya

mengurangi risiko atau dampak negatif yang merugikan responden

seperti cedera, stres dan lain sebagainya (Notoatmodjo, 2012).

4.10.5 Kerahasiaan (Confidentiality) atau Privasi

Kerahasiaan adalah hak responden untuk tetap terjaga privasi

terkait informasi dirinya yang didapat selama penelitian berlangsung

(Notoatmodjo, 2012). Hanya kelompok data tertentu saja yang disajikan

dalam laporan penelitian. Peneliti tidak dibenarkan untuk menyampaikan


20

informasi kepada pihak lain diluar kepentingan pencapaian tujuan

penelitian. Peneliti juga menggunakan anonym (tanpa nama) untuk

merahasiakan identitas responden dan diganti dengan memberikan tanda

atau kode pada lembar pengumpulan data.

4.10.6 Persetujuan setelah Penjelasan (PSP) atau Informed Consent (IC)

Informed consent merupakan bentuk persetujuan anatara peneliti

dengan responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan

informed consent tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan

memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden (Notoatmodjo,

2012).

4.10.7 Bujukan (Inducements)

Penelitian harus dihindari dari kecurigaan atas klaim adanya

“eksploitatif” terhadap subjek yang berkaitan dengan aspek manfaat dan

bahaya (benefit and harm) kerentanan (vulnerability) dan persetujuan

(consent). Secara etis penelitian dapat diterima apabila peneliti mengganti

biaya apapun untuk individu yang berhubungan dengan keikutsertaan

dalam penelitian, termasuk biaya transport, pengasuhan anak (child

care), kehilangan penghasilan saat mengikuti penelitian dan mengganti

waktu yang dipakai saat mengikuti penelitian (KEPPKN, 2017).


21
BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN ANALISA DATA

5.1 Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian ini dengan Analisa Faktor Penyebab

Terjadinya Stunting Pada Balita Usia 24-60 Bulan Di Desa Sumberanyar

Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo. Penelitian ini di lakukan pada 06-

10 Mei 2021 dengan menggunakan purposive sampling. Untuk mendapatkan

data peneliti menggunakan lembar persetujuan sebagai responden kepada

ibu dari anak yang mengalami stunting. Setelah itu responden diberikan

kuesioner yang berisi pertanyaan tentang pola pemberian, riwayat imunisasi

dengan melihat buku KIA dan mengobservasi jenis kelamin, status gizi, serta

status pendidikan.

Untuk mengetahui Analisa Faktor Penyebab Terjadinya Stunting Pada

Balita Usia 24-60 Bulan di Desa Sumberanyar Kecamatann Paiton

Kabupaten Probolinggo dilakukan pengukuran. Setelah data terkumpul,

maka data dikelompokkan menjadi 2 bagian yaitu data umum dan data

khusus. Data umum yakni penampilan karakteristik responden yang terdiri

dari: pekerjaan ibu dan pendidikan terakhir ibu. Data tersebut di tampilkan

dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Data khusus yang terdiri dari jenis

kelamin, pola pemberian makan, status imunisasi, status gizi, dan tingkat

pendidikan.
2

5.1.1 Data Umum

Data umum dari penelitian ini meliputi karakteristik responden pada

ibu dari anak stunting yang terdiri dari Data umum yakni penampilan

karakteristik responden yang terdiri dari: pekerjaan ibu, dan pendidikan

terakhir ibu, yaitu sebagai berikut:

1. Karakteristik Responden Ibu Dari Anak Stunting Berdasarkan

Pendidikan

Tabel 5.1: Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden


Berdasarkan Pendidikan Ibu Dari Anak Stunting Di
Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten
Probolinggo Pada Bulan Mei 2021.
No Pendidikan Frekuensi (F) Prosentase (%)
1 SD 1 1,7
2 SMP 30 50,0
3 SMA 29 48,3
Jumlah 60 100
Sumber: Data Primer, lembar observasi penelitian 2021

Berdasarkan tabel 5.1 didapatkan mayoritas pendidikan

responden adalah SMP yaitu sejumlah 30 (50%). Minoritas SD yaitu

sejumlah 1 responden (1,7%).

2. Karakteristik Responden Ibu Dari Anak Stunting Berdasarkan

Pekerjaan

Tabel 5.2: Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden


Berdasarkan Pekerjaan Ibu Dari Anak Stunting Di
Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten
Probolinggo Pada Bulan Mei 2021.
No Pekerjaan Frekuensi (F) Prosentase (%)
1 IRT 12 20,0
2 Petani 3 5,0
Wiraswasta/
3 45 75,0
Swasta
Jumlah 60 100
Sumber: Data Primer, Data Primer, lembar observasi penelitian 2021

Berdasarkan tabel 5.2 didapatkan mayoritas pekerjaan

responden adalah wirawasta/swasta yaitu sejumlah 35 (70%).

Minoritas petani yaitu sejumlah 3 responden (6%).


3

5.1.2 Data Khusus

1. Identifikasi Jenis Kelamin

Tabel 5.3 : Distribusi Jenis Kelamin Stunting Pada Balita Usia 24-
60 Bulan Di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton
Kabupaten Probolinggo Pada Bulan Mei 2021.
No Jenis Kelamin Frekuensi (F) Prosentase (%)
1 Laki-laki 32 53,3

2 Perempuan 28 46,7

Jumlah 60 100
Berdasarkan tabel 5.3 didapatkan jumlah responden sebanyak 60

orang dengan mayoritas jenis kelamin laki-laki 32 responden (53,3%).

Minoritas jenis kelamin perempuan yaitu sejumlah 28 responden

(46,7%).

2. Identifikasi Pola Pemberian Makan

Tabel 5.4 : Distribusi Pola Pemberian Makan Stunting Pada


Balita Usia 24-60 Bulan Di Desa Sumberanyar
Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo Pada
Bulan Mei 2021.
Pola Pemberian
No Frekuensi (F) Prosentase (%)
Makan
1 Tepat 28 46,7

2 Tidak Tepat 32 53,3

Jumlah 60 100
Data Primer, kuesioner penelitian 2021

Berdasarkan tabel 5.4 didapatkan jumlah responden sebanyak

60 orang dengan mayoritas pola pemberian makan tidak tepat 32

responden (53,3%). Minoritas pola pemberian makan tepat yaitu

sejumlah 28 responden (46,7%).


4

3. Identifikasi Status Imunisasi

Tabel 5.5 : Distribusi Status Imunisasi Stunting Pada Balita Usia


24-60 Bulan Di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton
Kabupaten Probolinggo Pada Bulan Mei 2021.
No Status Imunisasi Frekuensi (F) Prosentase (%)
1 Lengkap 29 48,3

2 Tidak Lengkap 31 51,7

Jumlah 60 100
Data Primer, lembar observasi penelitian 2021

Berdasarkan tabel 5.5 didapatkan jumlah responden sebanyak

60 orang dengan mayoritas status imunisasi kategori tidak lengkap 31

responden (51,7%). Minoritas status imunisasi kategori lengkap yaitu

sejumlah 29 responden (48,3%).

4. Identifikasi Status Gizi

Tabel 5.6 : Distribusi Status Gizi Stunting Pada Balita Usia 24-60
Bulan Di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton
Kabupaten Probolinggo Pada Bulan Mei 2021.
No Status Gizi Frekuensi (F) Prosentase (%)
1 Baik 26 43,3

2 Kurang 34 56,7

Jumlah 60 100
Data Primer, lembar observasi penelitian 2021

Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan jumlah responden

sebanyak 60 orang dengan mayoritas status gizi kategori kurang 34

responden (56,7%). Minoritas status gizi kategori baik yaitu sejumlah

26 responden (43,3%).
5

5. Karakteristik Tingkat Pendidikan

Tabel 5.7 : Distribusi Stunting Pada Balita Usia 24-60 Bulan Di


Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten
Probolinggo Pada Bulan Mei 2021.
Tingkat
No Frekuensi (F) Prosentase (%)
pendidikan
Pendidikan Awal
1 31 51,7
Pendidikan
2 29 48,3
Lanjutan

Jumlah 60 100
Data Primer, lembar observasi penelitian 2021

Berdasarkan tabel 5.7 didapatkan jumlah responden sebanyak

60 orang dengan mayoritas tingkat pendidikan ibu dari anak stunting

kategori pendidikan awal 31 responden (51,7%). Minoritas tingkat

pendidikan ibu dari anak stunting kategori pendidikan lanjutan 29

responden (48,3%).

6. Karakteristik Stunting

Tabel 5.8 : Distribusi Stunting Pada Balita Usia 24-60 Bulan Di


Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten
Probolinggo Pada Bulan Mei 2021.
No Stunting Frekuensi (F) Prosentase (%)

1 Sangat pendek 14 23,3

2 Pendek 46 76,7

Jumlah 60 100
Data Primer, lembar observasi penelitian 2021

Berdasarkan tabel 5.8 didapatkan jumlah responden sebanyak

50 orang dengan mayoritas stunting pendek 46 responden (76,7%).

Minoritas stunting sangat pendek yaitu sejumlah 14 responden

(23,3%).
6

5.2 Analisis Data

5.2.1 Analisis Bivariat

Hasil analisis bivariat antara variabel independent dengan variabel

dependen adalah sebagai berikut :

A. Hubungan Antara Jenis Kelamin Dengan Penyebab Terjadinya

Stunting Pada Balita Usia 24-60 Bulan

Tabel 5.9:Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan


Hubungan Antara Jenis Kelamin Stunting Pada
Balita Usia 24-60 Bulan Di Desa Sumberanyar
Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo Pada
Bulan Mei 2021
Jenis Kelamin Stunting Total
Pendek Sangat Pendek

Laki-laki 20 26 46
Perempuan 12 2 14
Total 32 28 60

P value = 0,006 ; α = 0,05


Berdasarkan tabel 5.9 didapatkan hasil hubungan jenis

kelamin dengan stunting adalah p = 0,005 dengan tingkat signifikan

nilai p < 0,05 sehingga dapat dinyatakan bahwa H1 diterima yang

artinya ada hubungan antara jenis kelamin dengan penyebab

terjadinya stunting pada balita usia 24-60 bulan di Desa Sumberanyar

Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo Pada Bulan Mei 2021.

Sehingga variabel tersebut diatas memenuhi syarat untuk dilakukan

analisis multivariat.
7

B. Hubungan Antara Pola Pemberian Makan Dengan Stunting Pada

Balita Usia 24-60 Bulan

Tabel 5.10: Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan


Hubungan Antara Pola Pemberian Makan Dengan
Stunting Pada Balita Usia 24-60 Bulan Di Desa
Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten
Probolinggo Pada Bulan Mei 2021

Pola Stunting Total


Pemberian Pendek Sangat
Makan Pendek

Tepat 18 28 46
Tidak Tepat 10 4 14
Total 28 32 60

P value = 0,034 ; α = 0,05


Data Primer, kuisioner penelitian 2021

Berdasarkan tabel 5.9 didapatkan hasil hubungan antara pola

pemberian makan dengan stunting adalah p = 0,034 dengan tingkat

signifikan nilai p < 0,05 sehingga dapat dinyatakan bahwa H1 diterima

yang artinya ada hubungan antara pola pemberian makan dengan

penyebab terjadinya stunting pada balita usia 24-60 bulan di Desa

Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo Pada Bulan

Mei 2021. Sehingga variabel tersebut diatas memenuhi syarat untuk

dilakukan analisis multivariat.


8

C. Hubungan Antara Status Gizi Dengan Stunting Pada Balita Usia

24-60 Bulan

Tabel 5.11: Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan


Hubungan Antara Status Gizi Dengan Stunting
Pada Balita Usia 24-60 Bulan Di Desa
Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten
Probolinggo Pada Bulan Mei 2021

Status Gizi Stunting Total


Pendek Sangat
Pendek

Baik 24 22 46
Kurang 2 12 14
Total 26 34 60

P value = 0,012 ; α = 0,05

Data Primer, lembar observasi penelitian 2021

Berdasarkan tabel 5.10 didapatkan hasil hubungan antara

status gizi dengan stunting adalah p = 0,012 dengan tingkat

signifikan nilai p < 0,05 sehingga dapat dinyatakan bahwa H1 diterima

yang artinya ada hubungan antara status gizi dengan penyebab

terjadinya stunting pada balita usia 24-60 bulan di Desa Sumberanyar

Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo Pada Bulan Mei 2021.

Sehingga variabel tersebut diatas memenuhi syarat untuk dilakukan

analisis multivariat.
9

D. Hubungan Antara Status Imunisasi Dengan Stunting Pada Balita

Usia 24-60 Bulan

Tabel 5.12: Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan


Hubungan Antara Status Imunisasi Dengan
Stunting Pada Balita Usia 24-60 Bulan Di Desa
Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten
Probolinggo Pada Bulan Mei 2021.

Status Stunting Total


Imunisasi Pendek Sangat
Pendek

Lengkap 18 28 46
Tidak Lengkap 11 3 14
Total 29 31 60

P value = 0,010 ; α = 0,05

Data Primer, lembar observasi penelitian 2021

Berdasarkan tabel 5.11 didapatkan hasil hubungan antara

status gizi dengan stunting adalah p = 0,010 dengan tingkat signifikan

nilai p < 0,05 sehingga dapat dinyatakan bahwa H1 diterima yang

artinya ada hubungan antara status gizi dengan penyebab terjadinya

stunting pada balita usia 24-60 bulan di Desa Sumberanyar

Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo Pada Bulan Mei 2021.

Sehingga variabel tersebut diatas memenuhi syarat untuk dilakukan

analisis multivariat.
10

E. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Dengan Stunting Pada

Balita Usia 24-60 Bulan

Tabel 5.13: Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan


Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Dengan
Stunting Pada Balita Usia 24-60 Bulan Di Desa
Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten
Probolinggo Pada Bulan Mei 2021

Tingkat Pendidikan Stunting Total


Pende Sangat
k Pendek

Pendidikan Awal 20 11 31
Pendidikan Lanjutan 26 3 29
Total

P value =0,021 ; α = 0,05


Data Primer, lembar observasi penelitian 2021

Berdasarkan tabel 5.11 didapatkan hasil hubungan antara

tingkat pendidikan dengan penyebab terjadinya stunting pada balita

usia 24-60 bulan Di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten

Probolinggo adalah p = 0,021 dengan tingkat signifikan nilai p < 0,05

sehingga dapat dinyatakan bahwa H1 diterima yang artinya ada

hubungan antara tingkat pendidikan dengan penyebab terjadinya

stunting pada balita usia 24-60 bulan di Desa Sumberanyar

Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo Pada Bulan Mei 2021.

Sehingga variabel tersebut diatas memenuhi syarat untuk dilakukan

analisis multivariat.
11

5.2.2 Analisis Multivariat

Tabel 5.14 Analisa Faktor Penyebab Terjadinya Stunting

Koefisien S.E Wald df Nilai OR lK95%


Min Max
Jenis Kelamin 2,302 0,925 6,195 1 0,013 9,996 1,63 61,25
Status Imunisasi -1,679 0,927 3,280 1 0,070 0,187 0,030 1,148
Status Gizi 2,016 0,833 5,860 1 0,015 7,560 1,468 38,38
Konstanta -3,488 1,074 10,553 1 0,001 0,031
Sumber: Data primer lembar observasi penelitian Mei 2021

Berdasarkan tabel 5.14 dari hasil uji statistik dengan menggunakan

Windows SPSS 20 dengan menggunakan uji regresi logistik didapatkan

faktor yang paling dominan mempengaruhi penyebab terjadinya stunting

pada balita usia 24-60 bulan di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton

Kabupaten Probolinggo Pada Bulan Mei 2021 adalah faktor jenis kelamin

dengan nilai nilai exponen sebesar 9,996.


12
BAB 6

PEMBAHASAN

6.1 Identifikasi Faktor Jenis Kelamin, Pola Pemberian Makan, Status Gizi,

Status Imunisasi, Tingkat Pendidikan Di Desa Sumberanyar

Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo

6.1.1 Identifikasi Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil penelitian ini yang diperoleh tabel 5.3

didapatkan jumlah responden sebanyak 60 orang. Mayoritas berjenis

kelamin laki-laki sebanyak 32 responden (53,3%) dan minoritas yang

mengalami stuntiing berjenis kelamin perempuan yaitu sejumlah 28

responden (46,7%). Jenis kelamin adalah perbedaan biologis laki-laki dan

perempuan yang berkaitan dengan alat dan fungsi reproduksinya. Laki-

laki memiliki penis, testis, jakun dan sperma, sedangkan perempuan

memiliki rahim, indung telur dan payudara (Azisah, 2016).

Dalam proses bihologis, laki-laki menghasilkan hormone

testosteron dan progesterone diduga mampu mempengaruhi peningkatan

agresifitas, sehingga laki-laki cenderung stabil dalam beraktivitas.

Perempuan menghasilkan hormon estrogen yang dapat mempengaruhi

psikis dan perasaan. Hal ini berdampak bahwa laki-laki lebih rasional

dibandingkan perempuan, tetapi perempuan lebih sensitif, lebih perasa

dibandingkan laki-laki (Suhardi, 2016). Selain itu, anak laki-laki

memerlukan kebutuhan energi dan protein lebih banyak sehingga lebih

berisiko untuk mengalami kekurangan gizi apabila kebutuhannya tidak

terpenuhi (Bahmat, 2015).


2

6.1.2 Identifikasi Pola Pemberian Makan

Berdasarkan tabel 5.4 didapatkan jumlah responden sebanyak 60.

Mayoritas pola pemberian makan tidak tepat 32 responden (53,3%).

Minoritas pola pemberian makan tepat yaitu sejumlah 28 responden

(46,7%). Pola makan merupakan perilaku paling penting yang dapat

mempengaruhi keadaan gizi yang disebabkan karena kualitas dan

kuantitas makanan dan minuman yang dikonsumsi akan mempengaruhi

tingkat kesehatan individu. Selain itu, pola makan dan perilaku orang tua

seperti memonitor asupan nutrisi, membatasi jumlah makanan, respon

terhadap pola makan dan memperhatikan status gizi anak harus

disesuaikan dengan usia anak supaya tidak menimbulkan masalah

kesehatan .

Pola makan pada balita sangat berperan penting dalam proses

pertumbuhan pada balita, karena dalam makanan banyak mengandung

gizi. Gizi menjadi bagian yang sangat penting dalam pertumbuhan. Gizi

ini sangat berpengaruh pada nafsu makan. Jika pola makan tidak tercapai

dengan baik pada balita, maka pertumbuhan balita akan terganggu, tubuh

kurus, pendek bahkan bisa terjadi gizi buruk pada balita (Purwani, 2013).

6.1.3 Identifikasi Status Gizi

Berdasarkan hasil penelitian ini yang diperoleh tabel 5.6

didapatkan jumlah responden sebanyak 60 orang dengan kebanyakan

mayoritas status gizi kategori kurang 34 responden (56,7%). Minoritas

status gizi kategori baik yaitu sejumlah 26 responden (43,3%). Status gizi

merupakan ekspresi dari keseimbangan zat gizi dengan kebutuhan tubuh,

yang diwujudkan dalam bentuk variabel tertentu. Ketidakseimbangan


3

(kelebihan dan kekurangan) antara zat gizi dengan kebutuhan tubuh akan

menyebabkan kelainan patologi bagi tubuh manusia (Hidayati, 2019).

6.1.4 Identifikasi Status Imunisasi

Berdasarkan hasil penelitian ini yang diperoleh tabel 5.5

didapatkan jumlah responden sebanyak 60 orang dengan kebanyakan

mayoritas status imunisasi kategori tidak lengkap 31 responden (51,7%).

Minoritas status imunisasi kategori lengkap yaitu sejumlah 29 responden

(48,3%). Imunisasi merupakan salah satu cara untuk memberikan

kekebalan pada bayi dan anak terhadap berbagai penyakit, sehingga

dengan imunisasi diharapkan bayi dan anak tetap tumbuh dalam keadaan

sehat. Imunisasi merupakan salah satu upaya efektif dalam mencegah

terjadinya penyakit infeksi melalui proses memberikan kekebalan anak

dari penyakit (Rahmad dan Miko, 2016).

Imunisasi merupakan suatu upaya untuk menimbulkan /

meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit,

sehingga bila suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan

sakit atau hanya mengalami sakit ringan (Kemenkes, 2013). Selain itu,

imunisasi dilakukan dalam bentuk memberikan vaksin dalam upaya

menimbulkan antibodi atau kekebalan spesifik / khusus yang efektif

mencegah penularan penyakit tertentu. Jika imunisasi tidak lengkap,

maka bisa saja anak mengalami infeksi yang berakibat menderita suatu

penyakit yang menghambat pertumbuhannya, sehingga lama kelamaan

menimbulkan terjadinya stunting.


4

6.1.5 Identifikasi Tingkat Pendidikan

Berdasarkan tabel 5.7 didapatkan jumlah responden sebanyak

60 orang dengan kebanyakan mayoritas tingkat pendidikan ibu dari anak

stunting kategori pendidikan awal 31 responden (51,7%). Minoritas

tingkat pendidikan ibu dari anak stunting kategori pendidikan lanjutan 29

responden (48,3%). Tingkat pendidikan merupakan suatu proses yang

sengaja dilakukan untuk mengembangkan kepribadian dan

kemampuannya melalui pendidikan formal yang berjenjang.

Tingkat pendidikan seseorang dapat dilihat berdasarkan lamanya

atau jenis pendidikan yang dialami baik formal maupun nonformal.

Tingkat pendidikan seseorang umumnya dapat mempengaruhi sikap

dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari seperti halnya

mempengaruhi pola konsumsi makan melalui cara pemilihan bahan

makanan dalam hal kualitas dan kuantitas. Tingkat pendidikan juga

berkaitan dengan pengetahuan gizi yang semakin tinggi pendidikan ibu

maka semakin baik pula pemahaman dalam memilih bahan makanan

(Yuliana, 2019). Umumnya ibu dengan pendidikan tinggi mempunyai

pengetahuan yang lebih luas tentang praktik perawatan anak serta

mampu menjaga dan merawat lingkungannya agar tetap bersih. Orang

tua terutama ibu yang mendapatkan pendidikan lebih tinggi dapat

melakukan perawatan anak dengan lebih baik daripada orang tua

dengan pendidikan rendah (Hardini, 2017).


5

6.2 Analisa Jenis Kelamin Dengan Penyebab Terjadinya Stunting Pada

Balita Usia 24-60 Bulan Di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton

Kabupaten Probolinggo

Berdasarkan tabel 5.9 didapatkan hasil hubungan jenis kelamin

dengan stunting pada balita usia 24-60 bulan di Desa Sumberanyar

Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo adalah p = 0,006 dengan

tingkat signifikan nilai p < 0,05 sehingga dapat dinyatakan bahwa H1

diterima yang artinya ada hubungan antara jenis kelamin dengan stunting

di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo Pada

Bulan Mei 2021. Sehingga variabel tersebut diatas memenuhi syarat

untuk dilakukan analisis multivariat.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Dewi

(2016) menyatakan bahwa sebesar 45% anak balita berjenis kelamin

perempuan dan 55% anak balita berjenis kelamin laki-laki. Hal ini dapat

dikarenakan anak laki-laki cenderung memiliki proporsi tubuh yang lebih

besar dan pola aktivitasnya lebih berat di banding anak perempuan oleh

karena itu kebutuhan nutrisinya juga lebih banyak. Selain itu, aktivitas

anak laki- laki yang memerlukan lebih banyak energi tanpa disertai

asupan makanan yang cukup akan memperbesar terjadinya stunting

pada anak.

Hal ini sesuai dengan Zian (2018) bahwa jenis kelamin laki-laki

(64,5%) menjadi faktor penyebab tertadinya stunting. Penelitian yang

dilakukan (García Cruz et al., 2017) menunjukkan bahwa jenis kelamin

merupakan faktor penyebab kejadian stunting dengan faktor resiko lebih

besar dimiliki oleh anak laki-laki. Anak perempuan memiliki resiko lebih

rendah terhadap stunting dibandingkan anak laki- laki. Hal ini diduga

karena adanya faktor kecemasan ibu terhadap anak perempuan yang


6

dianggap lebih lemah sehingga cenderung memberi perhatian lebih

dibandingkan anak laki-laki yang dianggap lebih kuat.

Hasil penelitian di dapatkan data tentang jenis kelamin anak

stunting sebagai berikut sebagian besar responden berjenis kelamin laki-

laki sejumlah 32 (53,3%) dan perempuan sejumlah 28 (46,7%). Jenis

kelamin menenentukan besarnya kebutuhan gizi seseorang sehingga

terdapat keterkaitan antara status gizi dengan jenis kelamin. Perbedaan

besarnya kebutuhan gizi tersebut dipengaruhi karena adanya perbedaan

komposisi tubuh antara laki-laki dan perempuan. Sehingga jumlah asupan

yang harus dikonsumsi pun lebih banyak (Agung, 2018).

Berdasarkan uraian diatas, peneliti berpendapat bahwa jenis

kelamin menentukan besar kecilnya kebutuhan gizi untuk seseorang.

Anak perempuan memiliki resiko lebih rendah terhadap stunting

dibandingkan anak laki- laki. Hal ini diduga karena adanya faktor

kecemasan ibu terhadap anak perempuan yang dianggap lebih lemah

sehingga cenderung memberi perhatian lebih dibandingkan anak laki-laki

yang dianggap lebih kuat. Selain itu, kebutuhan gizi dan nutrisi anak laki-

laki lebih besar dibandingkan dengan anak perempuan dikarenakan laki-

laki memiliki aktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak

perempuan. Anak laki-laki lebih sanggup mengerjakan pekerjaan berat

yang tidak biasanya dilakukan anak perempuan. Pada masyarakat awam,

anak perempuan memiliki status lebih rendah daripada perempuan.

Selain itu, hal ini diduga karena adanya faktor pola pemberian makan ibu

terhadap anak perempuan yang dianggap lebih memberikan perhatian

yang lebih besar karena dainggap lemah dibandingkan anak laki-laki

yang dianggap lebih kuat.


7

6.3 Analisa Pola Pemberian Makan Dengan Penyebab Terjadinya

Stunting Pada Balita Usia 24-60 Bulan Di Desa Sumberanyar

Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo

Berdasarkan tabel 5.10 didapatkan hasil hubungan antara pola

pemberian makan dengan penyebab terjadinya stunting pada balita usia

24-60 bulan di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten

Probolinggo adalah p = 0,034 dengan tingkat signifikan nilai p < 0,05

sehingga dapat dinyatakan bahwa H1 diterima yang artinya ada

hubungan antara pola pemberian makan dengan penyebab terjadinya

stunting di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten

Probolinggo Pada Bulan Mei 2021. Sehingga variabel tersebut diatas

memenuhi syarat untuk dilakukan analisis multivariat.

Hal ini sejalan dengan penelitian Latifah (2020), praktik pola

pemberian makan merupakan salah satu faktor yang berhubungan

dengan status gizi balita. Responsive feeding merupakan kemampuan

pengasuh untuk memberi makan anak secara aktif dan responsif

termasuk di dalamnya cara pemberian makan sesuai umur, memberikan

contoh kebiasaan yang sehat, mendorong anak untuk makan, merespon

terhadap nafsu makan yang kurang, memberi makan di lingkungan yang

aman, dan menggunakan interaksi yang positif. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa sebagian besar ibu dengan perilaku tepat pada

responden yang mempunyai anak stunting yaitu sebanyak 12 (66,7%),

sedangkan ibu dengan perilaku tidak tepat terdapat pada responden

yang tidak mempunyai anak stunting sebanyak 8(80%). Hasil analisis

terdapat hubungan yang bermakna antara perilaku responsive feeding

dengan kejadian stunting. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ibu dengan


8

perilaku tepat mempunyai risiko lebih rendah 0,15 anak mengalami

stunting dibandingkan ibu dengan perilaku tidak tepat.

Penelitian ini juga didukung oleh penelitian sebelumnya yang

dilakukan (Nabuasa, et.al, 2016) bahwa pola makan mencakup jenis

makanan, frekuensi makanan, dan jumlah makanan. Hasil penelitian ini

menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara pola makan terhadap

kejadian stunting. Perilaku yang salah dalam menerapkan pola makan

pada balita merupakan faktor yang menyebabkan stunting, dan semakin

baik pola makanya maka balita akan tercegah dari kejadian stunting.

Semakin buruk pola makan yang diterapkan pada balita, maka balita

berisiko 3,16 kali lebih besar mengalami stunting.

Menurut peneliti bahwa dengan pola makan sehari – hari yang

seimbang, berguna untuk mencapai dan mempertahankan status gizi dan

kesehatan yang optimal. Pola makan yang baik adalah yang mengandung

makanan sumber energi, zat pembangun, dan zat pengatur, karena

semua zat gizi dibutuhkan untuk pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh

serta perkembangan otak dan produktifitas. Untuk itu semakin baik pola

makan maka akan semakin sulit balita terserang penyakit. Sehingga

balita terhindar dari masalah kesehatan gizi yaitu stunting.

Berdasarkan hasil penelitian di dapatkan data tentang kategori

pola pemberian makan pada anak stunting sebagai berikut sebagian

besar responden kategori tidak tepat sejumlah 32 (53,3%) dan kategori

tepat sejumlah 28 (46,7%). Pola pemberian makan yang kurang

memperhatikan kebutuhan anak balita dapat mengalami defisiensi

asupan gizi dalam tubuh. Apabila keadaan ini berlangsung lama dapat

mengakibatkan anak balita lebih sering mudah mengalami penyakit


9

infeksi dan frekuensi yang sering berakibat mengganggu proses

pertumbuhan anak (Purwanti dan Mariyam, 2013).

Berdasarkan uraian diatas, peneliti berpendapat bahwa pola

pemberian makan merupakan perilaku penting yang mempengaruhi

keadaan gizi karena makanan yang dikonsumsi akan mempengaruhi

tingkat kesehatan individu. Selain itu, pola pemberian makan pada balita

sangat berperan penting dalam proses pertumbuhan pada balita, karena

dalam makanan banyak mengandung gizi. Apabila pola makan tidak

tercapai dengan baik pada balita, maka pertumbuhan balita akan

terganggu sehingga memicu terjadinya gizi buruk dan menyebabkan

gangguan pertumbuhan terhambat seperti tubuh pendek.

6.4 Analisa Status Gizi Dengan Penyebab Terjadinya Stunting Pada

Balita Usia 24-60 Bulan Di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton

Kabupaten Probolinggo

Berdasarkan tabel 5.12 didapatkan hasil hubungan antara status

gizi dengan penyebab terjadinya stunting pada balita usia 24-60 bulan di

Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo adalah p =

0,012 dengan tingkat signifikan nilai p < 0,05 sehingga dapat dinyatakan

bahwa H1 diterima yang artinya ada hubungan antara status gizi dengan

stunting di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo

Pada Bulan Mei 2021. Sehingga variabel tersebut diatas memenuhi

syarat untuk dilakukan analisis multivariate.

Penelitian ini sejalan dengan Qolbi (2020) bahwa status gizi salah

satu faktor yang mempengaruhi terjadinya stunting. Hasil penelitian

didapatkan bahwa ada hubungan antara status gizi dengan pencegahan

stunting pada balita usia 24 – 59 bulan di Puskesmas Jatiasih Kelurahan


10

Jatimekar Kota Bekasi Tahun 2020 dan responden yang memiliki gizi

normal berpeluang 3,3 kali untuk mencegah stunting. Penelitian ini

didukung oleh teori yang menyatakan bahwa Status gizi adalah keadaan

keseimbangan antara asupan dan kebutuhan zat gizi yang diperlukan

tubuh untuk tumbuh kembang terutama untuk anak balita, aktivitas,

pemeliharan kesehatan, penyembuhan bagi mereka yang menderita sakit

dan proses biologis lainnya di dalam tubuh.

Selain itu, hal ini didukung oleh penelitian oleh Azmy dan

Mundiastusti pada tahun 2018 dengan melakukan analisa tentang

hubungan status gizi pada balita stunting dan non stunting di kabupaten

bangkalan. Didapatkan hasil bahwa status gizi merupakan salah satu

faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita usia 24

-59 bulan sehingga hasil menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang

bermakna antara status gizi dengan stunting. Hal ini menunjukkan

bahwa semakin baik status gizi pada balita, maka semakin mudah pula

mencegah terjadinya stunting. Semakin kurang status gizi balita, maka

berisiko 4,048 kali lebih besar mengalami stunting.

Menurut peneliti bahwa status gizi merupakan salah satu indikator

dalam mengukur pencegahan stunting pada balita. Hal ini untuk

mengetahui kondisi kesehatan seseorang. Status gizi memberikan

gambaran keseimbangan antara masuknya energi dan keluarnya energi

yang akan menghasilkan status gizi normal. Pada balita status gizi

penting terhadap pencegahan stunting.

Berdasarkan hasil penelitian di dapatkan data tentang kategori

status gizi pada anak stunting sebagai berikut sebagian besar

responden kategori gizi baik sejumlah 26 (43,3%) dan kategori gizi

buruk sejumlah 34 (51,7%). Gizi yang normal akan menjadikan balita


11

memiliki tubuh sehat serta tumbuh kembang yang baik sehingga dapat

tercegah dari masalah kesehatan gizi yaitu stunting. Oleh karenanya,

makanan yang dikonsumsi balita hendaknya mengandung semua zat

gizi yang berbeda. Apabila balita kurang mendapat asupan zat gizi,

maka balita tersebut berisiko mengalami stunting (Mundiastuti,2018).

Berdasarkan uraian diatas, peneliti berpendapat bahwa status gizi

menentukan baik atau kurangnya asupan energi di dalam tubuh

seseorang. Sesuai dengan hasil pengisian lembar kuesioner mayoritas

pola pemberian makan ibu kepada anak kebanyakan berkategori kurang

tepat sehingga mempengaruhi status gizi anak. Semakin baik asupan

energi pada balita maka semakin baik status gizinya, sebaliknya

semakin buruk asupan energi pada balita maka semakin buruk pula

status gizinya. Balita yang memiliki asupan energi rendah berisiko

stunting.

6.5 Analisa Status Imunisasi Dengan Penyebab Terjadinya Stunting

Pada Balita Usia 24-60 Bulan Di Desa Sumberanyar Kecamatan

Paiton Kabupaten Probolinggo

Berdasarkan tabel 5.11 didapatkan hasil hubungan antara status

gizi dengan penyebab terjadinya stunting pada balita usia 24-60 bulan di

Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo adalah p =

0,010 dengan tingkat signifikan nilai p < 0,05 sehingga dapat dinyatakan

bahwa H1 diterima yang artinya ada hubungan antara status gizi dengan

penyebab terjadinya stunting di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton

Kabupaten Probolinggo Pada Bulan Mei 2021. Sehingga variabel tersebut

diatas memenuhi syarat untuk dilakukan analisis multivariat.


12

Penelitian ini sejalan dengan Agustia (2018) bahwasanya hasil

dalam penelitian ini menujukkan bahwa imunisasi merupakan merupakan

faktor risiko terhadap kejadian stunting. Hal ini menunjukkan bahwa balita

yang tidak mendapat imunisasi dasar lengkap berisiko 3,850 kali besar

untuk menderita stunting dibandingkan dengan balita yang mendapatkan

imunisasi dasar lengkap. Selain itu, hal ini juga sejalan dengan penelitian

(Aridiyah, Rohmawati, & Ririanty, 2015) yang dilakukan di Semarang

bahwa terdapat hubungan antara pemberian imunisasi dasar dengan

kejadian stunting pada balita di Kelurahan Langensari Kabupaten

Semarang. Pemberian imunisasi pada anak adalah hal yang sangat

penting, karena dapat meningkatkan daya tahan tubuh anak. Apabila

adanya penyakt infeksi, nafsu makan anak menjadi rendah, dan

gangguan dalam absorpsi zat gizi menyebabkan kebutuhan zat gizi anak

semakin tinggi. Kebutuhan zat gizi baik makro maupun mikro sangat

tinggi pada 2 tahun pertama kehidupan untuk mendukung fase

pertumbuhan pesat.

Hasil penelitian di dapatkan data tentang status imuniasi pada

anak stunting di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten

Probolinggo sebagai berikut sebagian besar responden kategori lengkap

sejumlah 29 (48,3%) dan tidak lengkap sejumlah 31 (51,7%). Imunisasi

merupakan salah satu upaya efektif dalam mencegah terjadinya penyakit

infeksi melalui proses memberikan kekebalan anak dari penyakit. Pada

saat peneliti melakukan observasi tentang kelengkapan imunisasi dasar

lengkap pada balita di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton banyak

faktor yang menyebabkan balita tidak memiliki status imunisasi lengkap

yakni disebabkan karena ibu lupa anaknya sudah diimunisasi atau belum
13

dan juga biasanya ibu menganggap bahwa imunisasi tidak penting dan

masih beranggapan bahwa balita yang telah diimunisasi biasanya

mengalami demam. Apabila anak balita tidak mendapat imunisasi dasar

lengkap maka akan berisiko lebih besar mengalami stunting.

6.6 Analisa Tingkat Pendidikan Ibu Dengan Penyebab Terjadinya

Stunting Pada Balita Usia 24-60 Bulan Di Desa Sumberanyar

Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo

Berdasarkan tabel 5.13 didapatkan hasil hubungan antara tingkat

pendidikan dengan penyebab terjadinya stunting pada balita usia 24-60

bulan di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo

adalah p = 0,021 dengan tingkat signifikan nilai p < 0,05 sehingga dapat

dinyatakan bahwa H1 diterima yang artinya ada hubungan hubungan

antara tingkat pendidikan dengan stunting di Desa Sumberanyar

Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo Pada Bulan Mei 2021.

Sehingga variabel tersebut diatas memenuhi syarat untuk dilakukan

analisis multivariat.

Penelitian ini sejalan dengan Husnaniyah (2020) mengatakan

bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian

stunting. Tingkat pendidikan khususnya tingkat pendidikan ibu

mempengaruhi derajat kesehatan. Hal ini terkait dengan peranan ibu

yang paling banyak pada pembentukan kebiasaan makan anak, karena

ibulah yang mempersiapkan makanan mulai mengatur menu, berbelanja,

memasak, menyiapkan makanan dan mendistribusikan makanan.

Selain itu, hal ini juga sejalan dengan penelitian Nurmalasari

(2020) hasil penelitian terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat


14

pendidikan ibu dengan kejadian stunting dengan stunting pada anak usia

6-59 bulan di Desa Mataram Ilir Kecamatan Seputih Surabaya Lampung

Tengah. Pendidikan ibu yang rendah berisiko 3,313 kali lebih tinggi untuk

mengalami stunting (<-2SD) dibandingkan dengan ibu dengan pendidikan

tinggi.

Berdasarkan hasil penelitian di dapatkan data tentang kategori

tingkat pendidikan dari ibu anak stunting sebagai berikut sebagian besar

responden kategori pendidikan awal sejumlah 31 (51,7%) dan kategori

pendidikan lanjutan sejumlah 29 (48,3%). Tingkat pendidikan ibu yang

rendah dapat menyebabkan resiko terjadinya stunting lebih besar. Tingkat

pendidikan terutama tingkat pendidikan ibu memiliki pengaruh terhadap

kesehatan keluarganya, salah satunya adalah status gizi dari anggota

keluarga. Pendidikan ibu juga mempengaruhi pola asuh pada anak,

karena ibu sebagai pembina pertama dan utama terhadap kesehatan

anak, pengelola makanan dalam keluarga serta memiliki peranan besar

dalam meningkatkan status gizi anggota keluarga (Noviyanti,

Rachmawati, & Sutajo, 2020).

Berdasarkan uraian diatas, peneliti berpendapat bahwa tingkat

pendidikan ibu tersebut berkaitan erat dengan penerimaan informasi

tentang gizi dan kesehatan dari luar. Dilihat dari data umum pendidikan

terakhir ibu didapatkan SD yaitu sejumlah 1 responden (1,7%), SMP yaitu

sejumlah 30 (50%) dan SMA 29 responden (48,3). Pendidikan formal ibu

mempengaruhi tingkat pengetahuan dimana semakin tinggi tingkat

pendidikan ibu, maka semakin tinggi pula tingkat pengetahuan ibu dalam

menerima informasi terkait gizi dan kesehatan dari berbagai media

massa. Selain itu, peneliti beranggapan bahwa ibu yang memiliki


15

pendidikan akan tahu bagaimana mengolah makanan, mengatur menu

makanan dengan baik.

6.7 Analisa Faktor Dominan Dengan Penyebab Terjadinya Stunting Pada

Balita Usia 24-60 Bulan Di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton

Kabupaten Probolinggo Penyebab Terjadinya Stunting Di Desa

Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo

Hasil analisa statistik analisa didapatkan faktor yang paling

dominan penyebab terjadinya stunting pada balita usia 24-60 bulan di

Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo adalah

faktor jenis kelamin dengan nilai p value 0,013.

Menurut Christin (2018) berpendapat bahwa balita laki-laki pada

umumnya lebih aktif daripada balita perempuan. Bayi laki-laki pada lebih

aktif bermain di luar rumah, seperti berlarian, sehingga mereka lebih

mudah bersentuhan dengan lingkungan yang kotor dan menghabiskan

energi yang lebih banyak sementara asupan energinya terbatas. Selain

itu, anak laki-laki pada umumnya lebih menyukai permainan dengan

banyak gerakan seperti lari, melompat dan menendang. Sementara itu,

anak perempuan lebih menyukai permainan yang santai seperti bermain

boneka, membaca, bermain bekel dan permainan bongkar pasang.

Permainan anak laki-laki lebih banyak membutuhkan tenaga daripada

permainan anak perempuan (Khobir, 2009).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dari semua faktor

yang menjadi penyebab terjadinya stunting pada balita usia 24-60 bulan

di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo adalah


16

jenis kelamin. Jenis kelamin memberikan kontribusi dalam hal kebutuhan

gizi. Anak laki-laki membutuhkan asupan gizi (zat tenaga dan protein)

yang lebih besar dari pada anak perempuan dikarenakan laki-laki memilki

aktivitas yang cukup tinggi daripada perempuan. Selain itu, komposisi

jaringan tubuh pada laki-laki dan perempuan berbeda. Laki-laki memiliki

lebih banyak otot dan lemak, sementara perempuan lebih banyak

lemaknya daripada ototnya. Otot lebih aktif daripada lemak sehingga otot

memerlukan energi yang lebih banyak daripada lemak. Hal ini

menyebabkan perbedaan kebutuhan energi laki-laki dan perempuan.

Kebutuhan energi laki-laki relatif lebih tinggi daripada kebutuhan energi

perempuan. Kebutuhan energi harus dipenuhi supaya tidak menyebabkan

masalah pada gizi sehingga menyebabkan resiko terjadinya stunting.

Sementara itu dilihat dari kebiasaan bermain pada anak laki-laki dan

perempuan dapat menentukan besarnya kebutuhan gizi anak. Kebutuhan

energi anak laki-laki lebih banyak daripada anak perempuan. Kondisi ini

memungkinkan asupan gizi anak laki-laki rentan tidak bisa terpenuhi.

6.8 Keterbatasan Penelitian

Adapun keterbatasan atau hambatan peneliti dalam penyusunan

skripsi ini diantaranya yaitu:

1. Adanya keterbatasan penelitian yaitu setelah peneliti melakukan survei

langsung di lapangan terdapat faktor lain yang ditemukan yang dapat

menyebabkan terjadinya stunting yaitu faktor pola asuh orang tua

kepada anaknya.
17

6.9 Implikasi Terhadap Pelayanan, Pendidikan, dan Kesehatan

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa implikasi yang

dapat digunakan untuk peningkatan dalam berbagai bidang, yaitu:

1. Pelayanan

Diharapkan hasil penelitian ini akan berdampak pada upaya

peningkatan pelayanan terutama pelayanan kesehatan oleh tenaga

medis untuk lebih meningkatkan pengetahuan tentang pencegahan

stunting guna menghindari keterlambatan tumbuh kembang anak

2. Pendidikan

Sebagai dokumen dan bahan bacaan untuk menambah

pengetahuan bagi para pelajar mengenai faktor penyebab terjadinya

stunting .

3. Kesehatan

Harus ditingkatkan upaya penyuluhan tentang pencegahan

stunting agar dapat mencegah dan dapat meningkatkan kesehatannya,

sehingga penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk diadakannya

program penyuluhan tentang pencegahan stunting dan memberikan

dukungan terhadap penderita stunting.


18
BAB 7
PENUTUP
7.1 Kesimpulan

Berdasarkan tujuan dan hasil penelitian Analisa Faktor Penyebab

Terjadinya Stunting Pada Balita Usia 24-60 Bulan Di Desa Sumberanyar

Kecamatann Paiton Kabupaten Probolinggo didapatkan:

1. Faktor jenis kelamin terhadap penyebab terjadinya stunting pada balita

usia 24-60 bulan di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten

Probolinggo dengan nilai p value = 0,006 < α = 0,05

2. Faktor pola pemberian makan terhadap penyebab terjadinya stunting

pada balita usia 24-60 bulan di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton

Kabupaten Probolinggo dengan nilai p value = 0,012 < α = 0,05

3. Faktor status gizi terhadap penyebab terjadinya stunting pada balita usia

24-60 bulan di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten

Probolinggo dengan nilai p value = 0,034 < α = 0,05

4. Faktor status imunisasi terhadap penyebab terjadinya stunting pada balita

usia 24-60 bulan di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten

Probolinggo dengan nilai p value = 0,010 < α = 0,05

5. Faktor tingkat pendidikan terhadap penyebab terjadinya stunting pada

balita usia 24-60 bulan di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton

Kabupaten Probolinggo dengan nilai p value = 0,021 < α = 0,05

6. Faktor dominan penyebab terjadinya stunting pada balita usia 24-60

bulan di Desa Sumberanyar Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo

dengan nilai p value = 0,013.


2

7.2 Saran

7.2.1 Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan untuk mengembangkan ilmu keperawatan

bahwasanya penyebab terjadinya stunting dipengaruhi oleh beberapa

faktor yaitu jenis kelamin, pola pemberian makan, status gizi, status

imunisasi, dan tingkat pendidikan.

7.2.1 Bagi Profesi Perawat

Dari hasil penelitian diharapkan demi pengembangan profesi

keperawatan bahwasanya faktor jenis kelamin merupakan faktor yang

paling mempengaruhi terjadinya stunting.

7.2.3 Bagi Lahan Penelitian

Diharapkan kepada pihak puskesmas dapat mengembangkan dan

memberikan promosi kesehatan berupa informasi secara continue melalui

para kader atau pemasangan pamflet sehingga dapat di perhatikan oleh

halayak umum. bahwasanya, terjadinya stunting dipengaruhi oleh

beberapa faktor yaitu jenis kelamin, pola pemberian makan, status gizi,

status imunisasi, dan tingkat pendidikan. Dan jenis kelamin merupakan

faktor yang paling mempengaruhi terjadinya stunting sehingga asupan

makanan yang cukup akan memperkecil terjadinya stunting pada anak.

7.2.4 Bagi Responden

Diharapkan bagi responden untuk menghindari terjadinya stunting

dengan cara memberikan anak nutrisi sesuai kebutuhan dan anjuran

petugas kesehatan saat posyandu.

7.2.5 Bagi Peneliti

Diharapkan demi mengurangi terjadinya stunting semakin naik

peneliti dapat memberikan pengetahuan bagi masyarakat khususnya

pada ibu yang memiliki anak stunting untuk membiasakan pola pemberian
3

makan dengan tepat dan memberikan anak cukup gizi serta melakukan

imunisasi dasar sesuai jadwal yang telah ditetapkan .

7.2.6 Bagi Peneliti Selanjutnya

1. Dari penelitian ini didapatkan faktor yang paling dominan penyebab

terjadinya stunting adalah jenis kelamin. Sehingga diharapkan peneliti

selanjutnya agar dapat melihat terkait faktor lain yaitu pola asuh orang

tua kepada anak untuk diteliti lebih detail.

2. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan agar dapat menggunakan variabel

lain yaitu pola asuh orang tua dengan penyebab terjadinya stunting.
DAFTAR PUSTAKA

Adriani, M. dan Wirajatmadi, B. (2012). Peranan Gizi dalam Siklus Kehidupan.


Jakarta: Edited by P. Group.

Agustia,Resti, Rahman, Nurdin, Hermiyanty. 2019. Faktor Resiko Kejadian


Stunting Pada Balita Usia 12-59 Bulan di Wilayah Tambang Poyoba, Kota
Palu. Ghidza: Jurnal Gizi dan Kesehatan, 2 (2), 2018, 59-62

Ahmadi, Abu. 2007. Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.

Almatsier, S. 2011. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka.

Ames GE, Heckman MG, Dieh NN, Grothe KB & Clark MM. 2015. Futher
Statistical And Clinical Validity For The Weight Efficacy Lifestyle
Questionnarie-Short From. Eat Behav 18: 115-119.

Aridiyah, F. O., Rohmawati, N., & Ririanty, M. (2015). Faktor-faktor yang


Mempengaruhi Kejadian Stunting pada Anak Balita di Wilayah Pedesaan
dan Perkotaan (The Factors Affecting Stunting on Toddlers in Rural and
Urban Areas). Pustaka Kesehatan, 3(1), 163- 170.

Arikunto, S. 2014. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:


Rineka Cipta.

Atmarita, Zahrani, Bappenas. Situasi Balita Pendek (Stunting) di Indonesia.


Jakarta: Jakarta Pusat Data dan Informasi.

Auliya,C, Handayani, O.W.& Budiono L. 2015. Profil Status Gizi Balita Ditinjau
dari Topografi Wilayah Tempat Tinggal. Umes Journal of Public Health,
4(2):108-16.

Azisah, Siti. 2016. Buku Saku Konstektualisasi Gender Islam dan Budaya.
Samata: Seri Kemitraan Universitas Masyarakat (KUM) UIN Alauddin
Makasar.

Bahmat, D.O., Bahar, H. dan Jus’at, I. 2015. Hubungan Asupan Seng, Vitamin
A, Zat Besi dan Kejadian Pada Balita (24 – 59 Bulan) dan Kejadian
Stunting di Kepulauan Nusa Tenggara (RISKESDAS 2010). Jakarta: UPT.
Perpustakaan Universitas Esa Unggul.

Booth, D. A. and Booth, P. (2011) Targeting Cultural Changes Supportive Of


The Healthiest Lifestyle Patterns. A Biosocial Evidence-Base For
Prevention Of Obesity’, Appetite. Elsevier Ltd, 56(1), pp. 210–221.
https://doi.org/10.1016/j.appet.2010.12.003.

Camci, Nurdan. Bas, Murat. Buyukkaragoz, Hasbay, Aylin. 2014. The


Psychotmeric Properties Of the Child Feeding Qustionnaire (CFQ) In
Turkey. Appetite 78 C 49-54.

Candra, A. 2020. Patofisiologi Stunting. JHN (Journal Of Nutrion and Health)


,vol.8, no 2, pp. 74-78, May. 2020. https://doi.org/10.14710/jhn.8.2.2020.74-
78.
2

Demsa, Simbolon. 2019. Hulu Hilir Penanggulangan Stunting Di Indonesia.


JPI: Journal Of Political Issues Vol 1 No 1 Juli 2019.

Depkes.RI. 2019. Situasi Balita Stunting. Info Datin. Jakarta

Dewi, I.A., dan Kadek Tresna A. (2016). Pengaruh Konsumsi Protein dan Seng
serta Riwayat Penyakit Infeksi terhadap Kejadian Stunting pada Anak Balita
Umur 24-59 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Nusa Penida III Jurnal Gizi
dan Pangan Vol.3 No.1, Juni 2016: 36-46.

Djali. 2008. Psikologis Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara

Dillyana, Anisca, Tri. Nurmala, Ira. 2019. Hubungan Pengetahuan, Sikap dan
Persepsi Ibu dengan Status Imunisasi Dasar di Wonokusomo. Jurnal
Promkes Vol.7 No 1. https://doi.org/10.20473/jpk.V78.I1.2019.68-782.

Doni, Windra, Alsri, Yusefni, Elda, Susanti, Dewi, Wulandari, Kartika, Putri.
2020. Hubungan Panjang Badan Lahir dan Riwayat Imunisasi Dasar
Dengan Kejadian Stunting Balita. Jurnal Kesehatan. Vol 14, No. 2. 2020.

Fikawati, S, Syafiq, A & Veretamala, A. 2017. Gizi Anak dan Remaja. Depok:
PT. Raja Grafindon Persada.

Erni, Purwarni, Mariyam. 2013. Pola Pemberian Makan Dengan Status Gizi
Anak Usia 1 Sampai 5 Tahun Di Kabupaten Taman Pemalang. Jurnal
Keperawatan Anak. Volume.1, No. 1 , Mei 2013; 30-36.

Gerungan, W.A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Gunawan, Gregorius, Mannopo J.I.CH, dan W. Rocky. 2018. Hubungan


Stunting dengan prestasi Belajar Anak Di Kecamatan Tikala Manado.
Jurnal e-Clinic. 6(2):171-185.

Helmyanti, S., E. Yuliaati, N.P. Pamungkas dan N.Y. Hendarta. 2018. Fortifikasi
Pangan Berbasis Sumber Daya Nusantara Upaya Mengatasi Masalah
Defisiensi Zat Gizi Mikro Indonesia. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.

Hidayat, Alimul, Aziz. 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Salemba
Medika.

Hidayat, Alimul, Aziz. 2018 Metodologi Penelitian Keperawatan Dan


Kesehatan.Jakarta : Salemba Medika.

Hidayata, Syarif Tjepjep. Fuada, Noviati. 2013. Hubungan Sanitasi Lingkungan,


Morbiditas dan Status Gizi Balita di Indonesia. PGM 34(2):104-113.

Husnaniyah, Dedeh, Yulyanti, Depi, Rudiansyah. 2020. Hubungan Tingkat


Pendidikan Ibu dengan Kejadian Stunting. The Indonesian Journal of
Health Science Volume 12, No.1, Juni 2020

IDAI. 2013. Pedoman Imunisasi di Indonesia.Jakarta: Badan Penerbit Ikatan


Dokter Anak Indonesia.

Khan, GNT, Ali,MI, Khan A, Rizvi F, Ahmed, Yaqoob S. 2017. Prevalence and
associated factor of malnutrision among children under-five years in Sindh,
3

Pakistan: a cross sectional study. BMC Nutrions, 1-7.


https://doi.org/10.1168/s40795-016-0112-4.

Kasim, Elshaday, Malona, Nancy, Amisi, Marsela. 2019. Hubungan Antara


Riwayat Pemberian Imunisasi dan Penyakit Infeksi dengan Status Gizi
Pada Anak Usia 24-59 Bulan di Kecamatan Ratahan Kabupaten Minahasa
Tenggara.

Kementrian Kesehatan. 2010. Peratutan Menteri Kesehatan Tentang Standar


Antropometri. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI

Kementrian Kesehatan. 2012. Pelatihan Stimulasi, Deteksi dan Intervensi


Tumbuh Kembang Anak di Tingkat Pelayanan Dasar. Jakarta: Kemenkes
RI

Kementrian Kesehatan. 2017. Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia.


Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Pedoman Gizi Seimbang


2014. Direktoral Jendral Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Direktorat
Bina Gizi.diakses di htttp://gizi.depkes.go.id/pgs-2014-2 pada 9 Januari
2020.

Khoeroh, H.Indriyani, D. 2017. Evaluasi Penatalaksanaan Gizi Balita Stunting


di Wilayah Kerja Pukesmas Sirampog. Unnes Journal Of Public Health.
Volume 6 no 3. Hal 189-195.

Koentjoroningrat. 209. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Kusuma, E.K. 2013. Faktor Rsiiko Kejadian Stunting Pada Anak Usia 2-3 Tahun
Di Kecamatan Semarang Timur. Program Studi Ilmu Gizi Fakultas
Kedokteran Universitas Dipenegoro Semarang.

Latifah, Ulfatul, Prastiwi,Ratih Sakti, Baroroh, Umi. 2020. The Responsive


Feeding Behavior and Stunting Incident on Toddlers. Jurnal Kebidanan p-
ISSN: 2089-7669 ; e-ISSN: 2621-2870.

Masturoh, Imas, T. Nuri, Anggita. 2018. Metodologi Penelitian


Kesehatan.Jakarta: Pusat Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan.

Mustamin. 2018. Tingkat Pendidikan Ibu dan Pemberian Asi Ekslusif Dengan
Kejadian Stunting Balita Di Provinsi Sulawesi Selatan, Media Gizi Pangan,
Vol.25, Edisi 1.

Niken, Widiastuti, Rosalita. 2019. Bersama Perangi Stunting. Jakarta: Direktorat


Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementrian Komunikasi dan
Informatika.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2008. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta:


Rineka Cipta.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2012. Metodelogi Penelitian Kesehatan.Jakarta: Rineka


Cipta.

Noviyanti, L.A., Rachmawati, D.A. and Sutejo, I.R., 2020. An Analysis of


Feeding Pattern Factors in Infants at Kencong Public Health Center.
4

JOURNAL AMS, 6(1), pp.14-18

Nurhasanah,N.2018. Hubungan Asupan Energi dan Protein Dengan Kejadian


Stunting Pada Anak Usia 12-24 bulan Di desa Plerean Sumberjambe
Jember. [Skripsi]. Jember: Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Jember.

Nurlaeli, Hesti. 2019. Stunting Pada Anak Usia 0-59 Bulan di Posyandu Lestari,
Desa Ciporos, Karangpucung, Cilacap. Jurnal Studi Islam, Gender dan
Anak. Vol.14. No 1 Juni 2019.

Nurmalasari, Yesi, Anggunan, Febriany, Tya Wihelmia. 2020. Hubungan Tingkat


Pendidikan Ibu Dan Pendapatan Keluarga Dengan Kejadian Stunting Pada
Anak Usia 6-59 Bulan. Jurnal Kebidanan Volume 6, Nomor 2, April 2020.

Nusi, Iswan, A. 2019. Buku Ajar Diet Hati. Surabaya: Airlangga University Press

Oktaviana, Z., dan T. Sudiarti. 2013. Faktor Risiko Stunting Pada Balita (24-59
Bulan) Di Sumatera. Jurnal Gizi dan Pangan, November 2013, 8(3):175-
180.

Pidarta, Made. 2007. Landasan Kependidikan , Stimulus Ilmu Pendidikan


Bercorak Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta

Qolbi, Aini, Puti, Munawaroh, Madinah, Jayatmi, Irma. 2020. Hubungan Status
Gizi Pola Makan dan Peran Keluarga terhadap Pencegahan Stunting pada
Balita Usia 24 – 59 Bulan. Vol.10. No.4, Desember 2020.

Rahmawati. 2017. Dampak Stunting dalam Pembangunan SDM. Jurnal


Kesehatan SDM. Hal.1

Ramayulis,Rita. Kresnawan Truyani, Sri Iwaningsih, Nur Aini susilo Rohyani.


2017. Stop Stunting dengan Konseling Gizi. Penebar plus. Yogyakarta

Ranuh, dkk. 2017. Buku Imunisasi di Indonesia. Jakarta: Satgas Imunisasi IDAI

Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). 2018. Badan Penelitian dan


Pengembangan Kesehatan Kementrian RI.

Sandjojo, Eko, Putro. 2017. Buku Saku Dalam Penanganan Stunting.Jakarta:


Rajawali Pers.

Swathma D Lestari, H & Ardiansyah, R.T. 2016. Analisis Faktor Resiko BBLR,
Panjang Badan Bayi Saat Lahir dan Riwayat Imunisasi Dasar Terhadap
Kejadian Stunting Pada Balita Usia 12-36 Bulan Di Wilayah Kerja
Pukesmas Kandai Kota Kendari. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan
Masyarakat 1(3), hal 1-10.

Soetjiningsih, IG.N.G. Ranuh. 2015. Tumbuh Kembang Anak Edisi 2. EGC:


Jakarta.

Setyawati Veria Ana Vilda, Hartini Eko. 2018. Buku Ajar Dasar Ilmu Gizi
Kesehatan Masyarakat.Sleman: Deepublish Publisher.

Septiana, R., Djannah, R.S.N. dan Djamil , M.D. 2010.Hubungan Antara Pola
Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) dan Status Gizi Balita Usia
5

6-24 Bulan. KESMAS, 4(2), pp. 76-143.

Septiari, Betty. Bea. 2012. Mencetak Balita Cerdas dan Pola Asuh Orang Tua .
Yogyakarta: Nuha Medika .

Suhardi. 2016. Pengaruh Perbedaan Jenis Kelamin dan Pengetahuan Tentang


Konsep Dasar Ekologi Terhadap Kepedulian Lingkungan. Jurnal Penelitian
Pendidikan Agama dan Keagamaan. Volume 14, Nomor 1, April 2016.

Supariasia,.I Dewa Nyoman. Bakri Bchyar. 2010 Penilaian Status Gizi. EGC :
Jakarta.

Taguri, A.E., I. Betilmal., S.M Mahmud., A.M., Ahmed., O. Goutlet., P. Galan.,


dan S. Hercberg. 2009. Risk Faktor For Stunting Among Under Five in
Libya. Public Health Nutrition, 12 (8): 1141-1149.

TNP2K. 2017. 100 Kabupaten/Kota Prioritas Untuk Intervensi Anak Kerdil


(Stunting) Ringkasan. Sekretariat Wakil Presiden RI. Jakarta.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem


Pendidikan Nasional. Semarang: Aneka Ilmu.

Azmy,Ulul, Mundiastuti,Luki. 2018. Konsumsi Zat Gizi pada Balita Stunting dan
Non-Stunting di Kabupaten Bangkalan.. Amerta Nutr (2018) 292-298. DOI :
10.2473/amnt.v2i3.2018.292-298

Waryono. 2010. Pemberian Makanan, Suplemen dan Obat Pada Anak. Jakarta:
EGC.

Willy. 2011. Pola asuh Makan. Jakarta : EGC

Yadav, Anderson. Sofro, M.A. 2017. Associated Factor Of Malnutrision Among


Children In Ghana. Journal Of Psychiatroi, 15,340-345.
https://dx.doi.org/10.4314/ajypsy.

Yosephin, Betty,. 2019. Buku Pegangan Petugas KUA: Sebagai Konselor 1000
HPK Dalam Mengedukasi Calon Pengantin Menuju Bengkulu Bebas
Stunting. Sleman: Deepublish Publisher.

Yuliana, Wahida, Bawonul Hakim. 2019. Darurat Stunting dengan Melibatkan


Keluarga. Sulawei Selatan: Yayasan Ahmar cendikia Indonesia.

Yunitasari, Esti. Winasis,Puji,Nur. Suarilah, Ira. 2020. The Analysis of Stunting


Event Factors in Children 24-59 month based on transcultural Nursing.
EurAsian Journal Of Biosciences. 2715-2720.

Anda mungkin juga menyukai