1 Regis Machdy, Loving the Wounded Soul: Alasan dan tujuan depresi hadir di hidup manusia, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2019), 5.
dengan kondisi latar belakang keluarga, seperti ekonomi yang kurang baik, perceraian, atau
juga hal lainnya. Tidak berhenti di situ, memasuki quarter life, mereka akan dibuat stres oleh
karena pekerjaan, kebingungan akan masa depan, juga tuntutan-tuntutan dari sosial media,
keluarga, ataupun lingkungan pergaulannya. Bahkan, hingga usia lanjut pun, seseorang
punya potensi yang besar untuk mengalami stres dengan tingkat kecemasan yang meningkat
serta kondisi keluarga yang mungkin jauh secara fisik ataupun kedekatan. Dalam situasi
yang demikian, dibutuhkan wadah atau support system yang dapat menolong mereka untuk
mengelola stres yang dialami.
Dalam hal ini, gereja menjadi salah satu support system yang seharusnya memainkan
peran penting. Pada dasarnya kita tahu bahwa gereja bukanlah wadah untuk saling
berkumpul dan beribadah. Akan tetapi, ada tanggung jawab lain yang dimiliki oleh gereja.
Gereja sebagai sebuah komunitas memiliki tanggung jawab untuk saling merangkul satu
sama lain. Terlebih di era disrupsi dimana isu kesehatan mental semakin meningkat, gereja
dituntut untuk memainkan perannya secara lebih serius.
Akan tetapi, persoalannya, gereja seringkali masih menganggap isu kesehatan mental
sebagai sesuatu yang tidak mendesak. Bahkan tidak jarang juga, ketika ada orang yang
mengalami stres, kita, sebagai gereja, justru menghakimi orang tersebut sebagai yang
kurang beriman. Dalih yang digunakan adalah bahwa setiap orang yang percaya penuh dan
beriman kepada Tuhan, tidak akan mengalami stres. Namun, benarkah demikian? Apakah
isu kesehatan mental selalu disebabkan karena hidupnya yang tidak beriman atau tidak
berserah kepada Tuhan? Lalu bagaimana kita sebagai gereja, harus bersikap di tengah isu
kesehatan mental yang semakin meningkat ini?
Komunitas Sahabat
Sebagai sesama manusia yang juga memiliki potensi yang sama untuk merasakan
stres ataupun isu kesehatan mental lainnya, tentu kita tidak dapat lepas tangan begitu saja.
Tindakan nyata dibutuhkan untuk menghadirkan pertolongan bagi saudara-saudara kita yang
sedang dalam pergumulan tersebut.
Jika mengacu pada tulisan Rasul Paulus dalam 1 Korintus 12:12-31, gereja sebagai
sebuah persekutuan persahabatan menjadi gambar diri yang bisa kita hadirkan. Ada prinsip
dasar dalam sebuah relasi persahabatan, yaitu penerimaan dan kehadiran.
Sebagai seorang sahabat, sudah seharusnya kita bisa menerima sabahat kita apapun
keadaannya. Jika kita hanya mau menerima orang tersebut dalam keadaan tertentu, maka
konsep persahabatan yang kita bangun haruslah kita rekonstruksi. Bahkan seorang sahabat
haruslah bisa menerima yang lain seperti dirinya sendiri. Seperti yang dituliskan dalam 1
Korintus 12:23 bahwa siapapun dan seperti apapun bagian tubuh yang lain itu, kita harus
bisa menerimanya sebagai bagian yang utuh dari diri kita.
Selain penerimaan, seorang sahabat juga harus bisa menunjukkan kehadirannya
ketika sahabatnya sedang berada dalam pergumulan tertentu. Paulus mengatakan jika ada
seorang anggota yang menderita, semua anggota harus juga merasakannya (lih. ay. 26).
Bisa merasakan apa yang dirasakan oleh sahabat kita adalah bentuk dari sebuah kehadiran.
Tanpa sebuah kehadiran, persahabatan hanya akan terasa kosong dan tak bermakna.
Ada seorang pendeta bernama Dane Dea Kumala yang menangkap kebutuhan akan
situasi isu kesehatan mental ini. Ia kemudian mengembangkan sebuah komunitas dimana
setiap orang di dalamnya dapat saling berbagi tentang pergumulan kesehatan mentalnya.
Komunitas ini ia dirikan bersama-sama dengan beberapa jemaat yang ia gembalakan.
Komunitas ini terbentuk atas kegelisahan yang sama perihal kebutuhan wadah bagi mereka
yang mengalami pergumulan kesehatan mental. Dimulai sejak 26 Oktober 2021, komunitas
ini diberi nama Komunitas Berpulih. Komunitas Berpulih ini menjadi salah satu bentuk nyata
dari penerimaan dan kehadiran.
Semangat persahabatan yang mau menerima dan hadir bagi sahabatnya haruslah kita
wujudkan. Isu perihal kesehatan mental bukanlah isu yang berada jauh di luar diri gereja.
Akan tetapi, situasi itu adalah realitas yang kita alami. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita
memberikan perhatian dan fokus yang lebih terhadap isu tersebut. Terlebih di tengah konteks
kehidupan yang terus berubah dengan berbagai tuntutan di baliknya, mungkin akan semakin
banyak orang yang mengalami ketertekanan dan merasakan pergumulan dalam kesehatan
mentalnya. Bahkan kita sendiripun mungkin sedang dan akan mengalami situasi tersebut.
Dengan demikian, sikap yang mau menerima dan hadir satu sama lain, menjadi nafas
bergereja yang harus senantiasa kita hembuskan.
Selain terkait dengan gambar diri dan hakikat sebagai gereja, spirit komunitas sahabat
itupun harus terlebih dahulu kita hidupi dalam lingkup yang lebih dekat, yaitu keluarga.
Realitas yang terjadi saat ini adalah banyak orang yang melupakan nilai dari sebuah
keluarga itu sendiri. Pada dasarnya, keluarga adalah komunitas yang paling dekat dengan
diri setiap orang. Orang dilahirkan dan bertumbuh di dalam sebuah keluarga, baik itu
keluarga sedarah ataupun bukan. Dalam perspektif ini, keluarga seharunya dapat menjadi
sebuah wadah terbuka untuk mau menerima dan hadir bagi setiap anggota keluarganya
yang lain.
Keluarga sebagai komunitas sahabat adalah keluarga yang dapat menjadi tempat bagi
setiap anggotanya untuk saling terbuka dengan keberadaan diri masing-masing. Terbuka
dengan segala pergumulan yang dimiliki. Setiap anggota yang lain haruslah juga dapat
menerima situasi tersebut. Menerima bahwa keluarganya sedang menghadapi pergumulan
dan sedang tidak baik-baik saja. Dengan adanya penerimaan tersebut, maka diharapkan
setiap anggota keluarga bisa saling hadir bagi satu sama lain. Layaknya seorang sahabat,
kita pun harus mau untuk menerima dan hadir bagi anggota keluarga kita yang lain. Bukan
justru menjauhi dan menolak ketika mereka sedang bergumul, termasuk dalam hal
kesehatan mentalnya.
Merayakan Natal bukan hanya tentang sukacita menyambut Sang Juru Selamat.
Merayakan Natal berarti juga memaknai kehadiran Sang Manusia Natal dalam rupa
kerapuhan kemanusiaan-Nya. Kita adalah bagian dari kemanusiaan tersebut. Sebagai
manusia yang rapuh, kita harus secara terbuka menerima kerapuhan itu. Dengan mau untuk
menerima kerapuhan dalam diri, kita pun dalam jalur yang tepat untuk bisa menerima
kerapuhan sahabat kita yang lain.