Makalah Budidaya Udang Vaname Litopenaeu
Makalah Budidaya Udang Vaname Litopenaeu
Oleh:
ANISA NURLATU
NRP. 53174211942
PROGRAM DIPLOMA IV
JAKARTA
2019
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
lingkungan yang disebabkan limbah organik dari sisa pakan dan kotoran, limbah
tersebut umumnya didominasi oleh senyawa nitrogen anorganik yang beracun.
Oleh karena itu dibutuhkan suatu solusi untuk mengatasi masalah dalam
keterbatasan lahan, air dan pakan(Soedirman & Tengah, 2019).
3
dibudidayakan pada tahun 1999 dan menunjukkan hasil yang baik, sehingga telah
menggairahkan kembali usaha pertambakan di Indonesia, udang vaname
mempunyai keunggulan komparatif dibanding jenis udang budidaya lainnya,
sintasan udang tinggi (>70%), ketersediaan benur berkualitas, Spesific Phatogen
Free (SPF), dapat dibudidayakan dengan kepadvanatan tebar tinggi, tahan
penyakit, dan konversi pakan rendah (Gunarto, Suwoyo, & Tampangallo, 2016)
Adanya penurunan dari kualitas air sebagai akibat akumulasi bahan organik baik
yang berasal dari limbah metabolisme dan bahan organik lainnya merupakan salah
satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan produksi ikan
budidaya. Teknologi bioflok menjadi salah satu alternatif peme- cahan masalah
limbah budidaya yang paling menguntungkan, karena dapat menurunkan limbah
nitrogen anorganik (Yuniasari, 2009 dalam Masithah at al, 2016a)
1.2 TUJUAN
4
3. Mengetahui Pengaruh bioflok dalam kegiatan budidaya udang vaname
(Litopenaeus vanamei).
4. Mengetahui tingkat kehidupan udang dalam kegiatan budidaya dengan
menggunakan bioflok
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
Sedangkan P. vannamei sering disebut dengan whiteleg shrimp atau sering
disebut dengan udang putih atau vaname . Penaeus vannamei sering pula disebut
dengan Litopenaeus vannamei yang merujuk pada subgenus Litopenaeus.
Penaeus monodon banyak ditemukan di Indonesia, Thailand, India, Vietnam,
Filipina, China, Bangladesh dan Taiwan, sementara udangvaname banyak
ditemukan di perairan Ekuador, Mexico, Panama, dan Honduras.
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Subfilum : Crustacea
Kelas : Malacostraca
Subkelas : Eumalacostraca
Superordo : Eucarida
Ordo : Decapodas
Subordo : Dendrobrachiata
Familia : Penaeidae
Menurut Haliman dan Adijaya (2005), tubuh udang vaname dibentuk oleh
dua cabang (biramous), yaitu exopodite dan endopodite, vaname memiliki tubuh
berbuku-buku dan aktivitas berganti kulit luar atau eksoskeleton secara periodik
(moulting). Bagian tubuh udang vaname sudah mengalami modifikasi, sehingga
dapat digunakan untuk keperluan sebagai berikut :
6
1. Makan, bergerak, dan membenamkan diri ke dalam lumpur (burrowing)
7
Udang vaname adalah udang asli dari perairan Amerika Latin yang kondisi
iklimnya subtropics di habitat alaminya suka hidup pada kedalaman kurang lebih
70 meter, udang vaname bersifat nocturnal, yaitu aktif mencari makan pada
malam hari proses perkawinan pada udang vaname ditandai dengan loncatan
betina secara tiba-tiba pada saat meloncat tersebut, betina mengeluarkan sel-sel
telur pada saat yang bersamaan udang jantan mengeluarkan sperma sehingga sel
telur dan sperma bertemu, proses perkawinan berlangsung kira-kira satu menit,
sepasang udang vaname berukuran 30-45 gram dapat menghasilkan telur
sebanyak 100.000-250.000 butir selanjutnya, dinyatakan siklus hidup udang
vaname sebelum ditebar ditambak yaitu stadia naupli, stadia zoea, stadia mysis,
dan stadia post larva. Pada stadia naupli larva berukuran 0,32-0,59 mm, sistim
pencernaanya belum sempurna dan masih memiliki cadangan makanan berupa
kuning telur. Stadia zoea terjadi setelah larva ditebar pada bak pemeliharaan
sekitar 15-24 jam, larva sudah berukuran 1,05-3,30 mm dan pada stadia ini benur
mengalami 3 kali moulting pada stadia ini pula benur sudah bisa diberi makan
yang berupa artemia siklus hidup udang vaname dapat di lihat pada Gambar
berikut.
Pada stadia mysis benur udang sudah menyerupai bentuk udang yang
dicirikan dengan sudah terlihatnya ekor kipas (uropoda) dan ekor (telson).
Selanjutnya, udang mencapai stadia post larva dimana, udang sudah menyerupai
8
udang dewasa. Hitungan stadianya sudah menggunakan hitungan hari misalnya,
PL1 berarti post larva berumur satu hari pada stadia ini udang sudah mulai
bergerak aktif (Haliman dan Adijaya, 2005)
9
10. Diberikan fermentasi mini- mal satu kali pemberian dengan bahan
fermentasi probiotik (super media 1) yang terdiri atas katul 10 kg, saponin
10 kg, ragi tape 250 g/ha, direndam dalamair tawar 24--36 jam tanpa
aerasi
2.2.3 Biosecurity
a) Degradasi lingkungan
10
a) Barrier
b) Isolasi (quarantine)
c) Water Filtration
e) Water sterilization
f) Equipment sterilization
g) SPF Fry
b) Immunostimulant
2.2.4 Bioflok
11
sel mati dengan ukuran bervariasi dengan kisaran 100 - 1000 µm selain flok
bakteri, berbagai jenis organisme lain juga ditemukan dalam bioflok scperti
protozoa, rotifer dan oligochaeta komposisi organisme dalam flok akan
mempengaruhi struktur bioflok dan kandungan nutrisi bioflok( (Avnimelech,
2006; deSchryver et al., 2008 dalam.Ekasari, 2009).
1. Manfaat bioflok
12
produktivitas, peningkatan efisiensi pakan serta penurunan biaya produksi dan
penurunan biaya pakan kemampuan bioflok dalam mengontrol konsentrasi
ammonia dalam sistem akuakultur secara teoritis maupun aplikasi telah terbukti
sangat tinggi (Ekasari, 2009).
2. Kekurangan bioflok
13
efisiensi penggunaan lahan dan air, sementara input energi, kebutuhan bahan dan
peralatan lainnya dalam penerapan teknologi bioflok juga berpotensi
menyumbang dampak lingkungan (Ma'in e.t all, 2013).
14
dalam budidaya perairan menekankan pada penumbuhan bakteri pada kolam
untuk menggantikan komunitas autotrofik yang didominasi oleh fitoplankton.
Bioflok terdiri atas partikel serat organik yang kaya selulosa, partikel
anorganik kalsium karbonat hidrat, biopolymer, bakteria, protozoa, detritus, ragi,
jamur, dan zooplankton Selanjutnya menurut Tacon et al. 2002 dalam Gunarto et
al., 2016 , bioflok kaya akan threonin, valin, isoleusin, dan phenilalanin juga
tirosin. Sedangkan menurut (McIntosh 2000 dalam Gunarto et al., 2016)
kandungan asam amino bioflok terdiri atas arginin, lisin, dan
methionin.mendapatkan 15 jenis asam amino yang terkandung dalam bioflok,
dengan persentase yang tinggi yaitu: leusin (2,32%), lisin (1,79%), dan valin
(1,17%). Bioflok juga mengandung vitamin yang fungsinya dapat menggantikan
vitamin yang disuplai melalui pakan komersial dan enzim yang dapat membantu
proses pencernaan pakan pada udang, sehingga udang menjadi tumbuh lebih cepat
Dengan demikian, apabila dalam tambak telah terbentuk bioflok dan bioflok
tersebut dimakan oleh udang, maka akan menghemat pakan yang diberikan pada
udang,bioflok mudah terbentuk pada tambak yang menggunakan plastik High
Density Polyethylene (HDPE) (Saenphon et al. 2005 dalam Gunarto et al., 2016).
Pada teknologi budidaya udang pola intensif agar dapat terbentuk bioflok,
maka rasio C/N harus ditingkatkan >10:1, kemudian sedikit atau tidak sama sekali
dilakukan penggantian air dan diberi aerasi yang kuat dan merata, sehingga
oksigen tidak pernah lebih rendah dari 4 mg/L ((Samocha et al., 2006 dalam
Masithah et al., 2016a). Untuk meningkatkan rasio C:N, maka beberapa sumber
C-karbohidrat dapat ditambahkan, di antaranya molase tepung tapioka (Hari et
al., 2004 dalam Masithah et al., 2016a), glukosa dan gliserol sukrosa.
Pembentukan bioflok oleh bakteri terutama bakteri heterotrof secara umum
bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatan nutrien. menghindari stress
lingkungan dan predasi. Flok bakteri tersusun atas campuran berbagai jenis
mikroorganisme bakteri pembentuk flok, bakteri filamen, fungi, partikel-partikel
tersuspensi, berbagai koloid dan polimer organik, berbagai kation dan sel-sel mati
dengan ukuran bervariasi dengan kisaran 100 - 1000 µm Selain flok bakteri,
berbagai jenis organisme lain juga ditemukan dalam bioflok scperti protozoa,
15
rotifer dan oligochaeta . Komposisi organisme dalam flok akan mempengaruhi
struktur bioflok dan kandungan nutrisi bioflok . bahan pembentuk bioflok biasa di
gunakan probiotik dan molase .Bahan yang digunakan dalam pembuatan bioflok
yaitu (Masithah et al., 2016a)
4. Molase
16
2.4.1 Penebaran Benur
1. Pengujian visual
Pengujian visual (kasat mata) benur meliputi aktivitas, kondisi sirip dan
ekor, kecepatan pertumbuhan serta keseragaman. Benur yang baik berwarna benig
memanjag kecoklatan, benur yang tidak sehat dicirikan dengan warna putih
coklat, hitam dan kemerahan pada bagian tertentu.
2. Pengujian mikroskopis
3. Aklimatisasi suhu
17
4. Aklimatisasi salinitas
Sumber utama nutrien pakan udang adalah protein, karbohidrat, dan lemak
atau lipid kandungan protein pakan merupakan faktor yang sangat penting dalam
mendukung keberhasilan budidaya udang. Protein merupakan faktor pembatas
pertumbuhan dan berpengaruh besar terhadap harga pakan Kebutuhan protein
pada pakan berkisar antara 30-40% sedangkan menurut Kureshy dan Davis2002,
18
kebutuhan protein pakan untuk udang L. vanamei sebesar 30-35%. Kebutuhan
protein dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: spesies, ukuran, kualitas
protein, energi:protein rasio serta faktor lingkungan seperti suhu dan salinitas.
Protein selain untuk pertumbuhan, berfungsi sebagai sumber energi,sedangkan
fungsi utama karbohidrat dan lipid adalah sebagai sumber energi. Idealnya protein
hanya digunakan untuk pertumbuhan, sedangkan sumber energi berasal dari
karbohidrat dan lipid. Kandungan energi protein sebesar 4,3 kkal/g, sedangkan
lipid dan karbohidrat mengandung 9,3 kkal/g dan 4,1 kkal/g. Kandungan energi
(gross energy) pakan sekitar 3-4 kkal/g pakan dengan rasio energi:protein sebesar
12 Protein yang terkandung dalam tubuh ikan/udang terdiri dari
miofibril,sarkoplasma, dan stroma. Miofibril larut dalam garam, sementara
sarkoplasma mudah larut dalam air. Miofibril terdiri dari tiga jenis, yaitu miosin,
aktin, dan aktomiosin. Miofibril protein merupakan penyusun utama protein (65-
75%) pada ikan.Benih udang yang sudah ditebar pada petakan tambak selang 6
jam diberi pakan pellet. Pakan (pellet) dengan kadar protein 35 – 40 % diberikan
dengan cara ditebar merata pada pinggir tambak dan dosis pakan 3 – 10 % dari
berat tubuh per hari dengan frekuensi pemberian 4 kali. Untuk mengetahui nafsu
makan udang dilakukan kontrol pakan melalui anco yang diberi pakan sebanyak 1
% dari total pakan yang diberikan.(Subyakto at all, 2009) Pakan yang digunakan
selama kegiatan berupa pellet komersial udang dengan kandungan protein 30%.
Pemberian pakan dilakukan 4 (empat) kali sehari yaitu 7.00 wita, 11.00 wita,
15.00 wita dan 18.00 wita. Total pakan yang diberikan berkisar 3-4% dari berat
total biomasa benur. Kemudian jumlah sumber karbon yang ditambahkan
sebanyak 25% dari berat total pakan yang diberikan dan dilakukan pada setiap
harinya(Amir et al., 2018b). Pakan komersial yang mengandung protein sekitar
35% di- berikan sejak awal setelah penebaran dengan dosis 100% dari total
biomassa udang, kemudian pakan yang diberikan persentasenya diturunkan setiap
dua minggu sekali hingga mencapai 2,5% dari bobot biomassa udang setelah
masuk periode pemeliharaan bulan ke-IV.
Pada budidaya yang semi intensif apalagi intensif, pakan buatan sangat
diperlukan, karena dengan padat penebaran yang tinggi, pakan alami yang ada
tidak akan cukup yang mengakibatkan pertumbuhan udang terhambat dan akan
19
timbul sifat kanibalisme udang.Pelet udang dibedakan dengan penomoran yang
berbeda sesuai dengan pertumbuhan udang yang normal.
Umur 55 hingga panen pakan 04, jika pada umur 85 hari size rata-rata
mencapai 50, digunakan Pemberian pakan disesuaikan dengan kebutuhan udang
tertentu sesuai pertumbuhannya.
Kebutuhan pakan awal untuk setiap 100.000 ekor adalah 1 kg, selanjutnya
tiap 7 hari sekali ditambah 1 kg hingga umur 30 hari. Mulai umur tersebut
dilakukan pengecekan menggunakan ancho dengan jumlah pakan di ancho 10%
dari pakan yang diberikan. Waktu angkat ancho untuk ukuran 100-166 adalah 3
jam, ukuran 166-66 adalah 2,5 jam, ukurane 66-40 adalah 2,5 jam dan kurang dari
40 adalah 1,5 jam dari pemberian. Juga digunakan bahan untuk meningkatkan
pertumbuhan udang berupa penambahan nutrisi lengkap dalam pakan
(100%).Untuk itu, pakan juga dicampur dengan bahan yang mengandung mineral-
mineral penting,protein, lemak dan vitamin dengan dosis 5 cc/kg pakan untuk
umur di bawah 60 hari dan setelah itu 10 cc/kg pakan hingga panen (Utara, 2015)
Kriteria pakan
1. Syarat fisik , pakan udang memiliki syarat fisik tertentu antara lain :
a) Seragam
b) Tidak berdebu
20
c) Tidak mengapung
d) Tidak berjamur
Kualitas air tambak pada budidaya udang vaname haruslah dalam keadaan
optimal, utamanya salinitas dan pH air. Udang vaname memiliki toleransi yang
cukup besar antara 3 ‰ sampai 48 ‰ udang vaname mempunyai toleransi yang
cukup tinggi terhadap salinitas, akan tetapi di bawah 10 ‰ dan di atas 43
‰ dapat menyebabkan kematian yang cukup tinggi oleh sebab itu, salinitas
dalam keadaan optimal yaitu 18 ‰ sampai 30 ‰, dalam budidaya udang vaname
juga diperhatikan adalah derajat keasaman atau pH air, pH atau derajat keasaman
yang baik bagi budidaya udang vaname adalah 7,5 sampai 8,5 (Mujiman dan
Suyanto, 1990). Dalam budidaya udang vaname , sistem budidaya mempunyai
kreteria tersendiri salah satunya adalah luas tambak. Luas petakan semi intensif 1
hektar sampai 3 hektar dan pada tambak intensif 0,2 sampai 0,5 hektar, makin
kecil petakan tambak makin mudah dalam pengelolaan airnya.
21
Pengukuran parameter kualitas air dilakukan sehari dua kali pada waktu pagi dan
sore hari(Untara et al., 2018).
Manajemen kualitas Air beberapa variabel kualitas air baik fisika, kimia
maupun biologi air perlumendapat perhatian yang serius dalam budidaya udang
dan seharusnya dijaga agar nilainya tetap dalam kisaran yang optimal bagi
pertumbuhan udang selama proses budidaya berlangsung. Variabel kualitas air
tersebut adalah :
1. Suhu
Suhu merupakan faktor fisika air yang sulit dikontrol karena dipengaruhi
oleh lokasi dan cuaca. Daerah dengan intensitas hujan yang tinggi akan
menyebabkan suhu air turun. turunnya suhu air akan menyebabkan penurunan
metabolisme dan nafsu makan udang. suhu dibawah 26oC sudah membawa
dampak penurunan nafsu makan udang. Suhu air yang rendah mempengaruhi
daya tahan atau imunitas udang. Udang sering menunjukkan gejala klinis ketika
terjadi hujan dalam jangka waktu lama. Upaya untuk mengurangi efek negatif
22
penurunan suhu air adalah dengan mengoptimalkan kincir air dan melakukan
pergantian air jika memungkinkan.
2. Oksigen terlarut
Oksigen terlarut atau Dissolved Oxygen (DO) yang rendah < 4 mg/l dalam
air menyebabkan gangguan pada udang, mulai dari penurunan nafsu makan,
timbulnya penyakit sampai terjadi kematian. Secara ringkas pengaruh DO
terhadap udang.
3. Derajat keasaman
4. BOD
5. Alkalinitas
23
Ca(OH)2. Dalam air senyawa tersebut akan bereaksi dengan karbondioksida
menghasilkan bikarbonat (HCO3-) sebagai ion utama pembentuk alkalinitas.
6. Amonia
7. Fitoplankton
24
Laju pertumbuhan harian udang vaname yang diperoleh pada penelitian ini
berada pada kisaran 6,278%-6,382% (Suryanto & Mangampa, 2008).
4. ABW (g/ekor) = Berat yang ditimbang (g) / Jumlah udang yang ditimbang
(ekor)
25
7. Jumlah pakan = FCR x biomassa
26
Gambar 6. Flok yang diperoleh pada umur pemeliharaan udang 70 hari (A)
dan flok yang diperoleh pada umur 105 hari (B)
27
petambak mencegah kemungkinan serangan penyakit ini antara lain dengan selalu
secara periodik membersihkan dasar tambak melalui penyiponan, pemantauan
gerakan udang dan keaktifan udang selama pemeliharaan, terutama saat
pemberian pakan. Kemungkinan penyakit udang yang akan ada antara lain adalah
penyakit bintik putih, penyakit bintik hitam, kotoran putih, insang merah dan
nekrosis.(Utara, 2015)
Penyakit pada udang sangat bervariasi baik yang disebabkan karena virus,
bakteri, jamur, protozoa maupun penyakit karena kekurangan nutrisi. Beberapa
penyakit yang sering menyerang udang serta menimbulkan kerugian yang besar
adalah :
Penyakit White Spot Syndrome Virus (WSSV) sering disebut juga dengan
SEMBV menyebabkan kegagalan utama pada budidaya udang terutama udang
windu di Indonesia. Udang yang terserang penyakit WSSV akan menunjukkan
gejala klinis seperti : berenang di permukaan, kondisi lemah, menempel di
dinding tambak, serta muncul tanda bintik putih pada tubuhnya terutama pada
carapace dan ekor. Kematian udang akan terjadi secara masal dalam waktu 1-3
hari setelah menunjukkan gejala klinis. Udang yang terserang penyakit ini tidak
bisa diselamatkan.Jika udang sudah terinfeksi WSSV dan menunjukkan gejala
klinis serta sudah berukuran konsumsi harus segera dipanen. Penularan penyakit
WSSV dapat melalui : kontak langsung dengan udang lain yang terinfeksi, air
tambak, maupun melaui carrier (udang, kepiting, dll.). Contoh udang yang
terinfeksi White Spot Syndrom Virus .
28
Gambar 7. Udang yang terinfeksi (WSSV)
29
3. Infectious Hypodermal and Hematopoietic Necrosis Virus (IHHNV)
Myo Necrosis Virus (IMNV) atau sering disebut Mio merupakan penyakit
yang sering menyerang udang putih. Udang yang terserang IMNV akan
mengalami kerusakan jaringan sehingga terjadi perubahan warna tubuh menjadi
putih kapas. Penyakit ini dipicu oleh kondisi lingkungan yang buruk seperti kadar
oksigen rendah dan kepadatan udang terlalu tinggi. Disamping itu Perubahan suhu
dan salinitas diduga sebagai penyebab merebaknya penyakit ini, Udang yang
terinfeksi oksigen rendah dan kepadatan udang terlalu tinggi. Disamping itu
Perubahan suhu dan salinitas diduga sebagai penyebab merebaknya penyakit ini,
udang yang terinfeksi IMNV akan mengalami nafsu makan turun sampai terjadi
kematian secara perlahan-lahan. Kematian udang dapat mencapai 40-70% serta
30
meningkatnya konversi pakan (FCR).Penularan penyakit IMNV dapat terjadi
melalui kanibalisme (udang memakan udang), air tambak, dan penularan vertikal
dari induk (brood stock). Pencegahan penyakit IMNV dapat dilakukan dengan
menggunakan benih SPF (specific pathogen free) dan penerapan biosecurity pada
fasilitas budidaya (Gunarto at all, 2012)
White Feces Disease (WFD) atau kotoran putih merupakan salah satu
penyakit yang sering menyerang udang vaname . Penyakit ini diduga disebabkan
bakteri dari jenis Vibrio, antara lain : Vibrio parahaemolyticus, Vibrio fluvialis,
dan Vibrio alginolyticus serta dari golongan protozoa yaitu gregarins. Vibrio dan
gregarins tersebut banyak ditemui pada saluran pencernaan udang yang terinfeksi
WFD. Gejala yang ditimbulkan dari WFD antara lain : nafsu makan udang turun,
muncul kotoran udang berwarna putih di permukaan air, saluran pencernaan
kosong sampai terjadi kematian di dasar tambak.
31
Gambar.10 Kotoran udang yang terinfeksi (WFD)
Kram pada udang sering dijumpai oleh petambak dengan penyebab yang
belum jelas. Beberapa penelitian menduga kram pada udang terjadi karena
kekurangan mineral (Johnson, 1995). Meskipun sering dijumpai di tambak,
namun penyakit ini bukan masalah yang serius dalam budidaya udang vaname .
32
Gambar 11. Udang Kram
7. Black Gill
Black Gill atau insang hitam sering menyerang udang windu maupun
vaname .Insang udang berwarna hitam. Ada dua tipe black gill pada udang yaitu
(1) terjadi pada saat proses budidaya yang disebabkan oleh organisme penempel
(fouling organism, protozoa dan bakteri yang menempel pada permukaan insang
menyebabkan inflamantasi pada jaringan dan (2) terjadi pada saat proses panen
berlangsung. Black gill yang terjadi pada saat panen disebabkan kondisi udang
yang tidak sehat serta penanganan panen yang buruk. Kondisi ini dapat
menurunkan harga udang di pasaran. Fusarium dan Aspergillus flavus banyak
ditemukan pada insang udang yangterserang black gill. Udang yang terserang
balck gill kan mengalami kesulitan bernafas, nafsu makan turun dan dapat
menyebabkan kematian. Penyebab munculnya penyakit ini diduga karena
beberapa faktor antara lain : kondisi dasar tambak yang kotor, kualitas air yang
jelek, serta over feeding. Metode yang tepat dalam mencegah munculnya black
gill antara lain : persiapan dasar tambak yang baik, manajemen pakan yang tepat,
manajemen kualitas air serta manajemen dasar tambak. Tanah tambak yang
berubah menjadi hitam biasanya mengandung hidrogen sulfida (H2S) memicu
tumbuhnya agen penyakit seperti jamur, protozoa, bakteri dan virus.material
tersebut harus dibersihkan sebelum pengisian air. Pada proses budidaya hindari
pemberian pakan yang berlebih (over feeding) dan lakukan penyiponan secara
rutin unutk membuang limbah yang terakumulasi di dasar tambak.
33
Gambar 12. Udang normal (A) dan terserang black gill (B)
34
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
35
DAFTAR PUSTAKA
Amir, S., Setyono, B. D. H., Alim, S., & Amin, M. (2018a). Aplikasi teknologi
bioflok pada budidaya 1, 23–25.
Amir, S., Setyono, B. D. H., Alim, S., & Amin, M. (2018b). Aplikasi teknologi
bioflok pada budidaya udang vaname (Litopenaeus vannamei). Prosiding
PKM-CSR ,1, 23–25.
Cholik, F. dan R. Arifudin. 1989. Desain, Tata letak, dan Konstruksi Tambak
Udang. Pusat Penelitian danPengembangan Perikanan, Jakarta. 32 pp.
Crab, R., Kochva, M., Verstraete, W., Avnimelech, Y., 2009. Bio-Flocs
Technology Application In Over Wintering Of Tilapia. Aquaculture
Engineering 40, 105–112.
Diana, James S. 2009. Aquaculture Production and Biodiversity Conservation.
BioScience Vol.59 No. 1.
Ekasari, J. (2009). Teknologi Biotlok : Teori dan Aplikasi dalam Perikanan
Budidaya Sistem Intensif Bioflocs Technology : Theory and Application in
Intensive Aquaculture System. Jumal Akuakultur Indonesia, 8(2): 117-126
(2009, 8(2), 117–126.
Gunarto & Hendrajat, E.A. 2008. Budidaya udang vanamei, Litopenaeus vanamei
pola semi intensif dengan aplikasi beberapajenis probiotik komersial.
J.Ris.Akuakultur, 3(3): 339-349.
Gunarto, Hidayat Suryanto Suwoyo, dan B. R. T. (2012). Budidaya udang
vaname pola intensif dengan sistem bioflok di tambak Gunarto,. 393–405.
36
Gunarto, G., Suwoyo, H. S., & Tampangallo, B. R. (2016). Budidaya Udang
Vaname Pola Intensif Dengan Sistem Bioflok Di Tambak. Jurnal Riset
Akuakultur, 7(3), 393. https://doi.org/10.15578/jra.7.3.2012.393-405
Haliman, R.W. dan D.S. Adijaya. 2005. Udang vaname Seri Agribisnis:
Pembudidayaan dan prospek pasar udang putih yang tahan penyakit. Penebar
Swadaya. Jakarta. 74 pp.
Kureshy N. and D. A.Davis, 2002. Protein Requirement for Maintenance and
Maximum Weight Gain for the Pacific White Shrimp, Litopenaeus vannamei.
Aquaculture 204 : 125-143.
Ma’in, Sutrisno Anggoro( Setia Budi Sasongko (2013). Kajian dampak
lingkungan penerapan teknologi bioflok pada kegiatan budidaya udang
dengan metode life cycle assessment hal 1–10.
Masithah, E. D., Dwi, Y., & Manan, A. (2016a). Effect of Different Commercial
Probiotics to the C : N and N : P Ratio of Media Culture Biofloc at Tubs Trial
media kultur bioflok pada bak perco. 5(3), 1–8.
Masithah, E. D., Dwi, Y., & Manan, A. (2016b). Effect of Different Commercial
Probiotics to the C : N and N : P Ratio of Media Culture Biofloc at Tubs Trial
media kultur bioflok pada bak perco. 5(3).
Mustafa, A. (2016). Desain, Tata Letak, Dan Konstruksi Tambak. Media
Akuakultur, 3(2), 166. https://doi.org/10.15578/ma.3.2.2008.166-174
Mook, W.T., Chakrabarti, M.H., Aroua, M.K., Khan, G.M.A., Ali, B.S., Islam,
M.S., Abu Hassan, M.A,. 2012. Removal Of Total Ammonia Nitrogen
(TAN), Nitrate And Total Organic Carbon (TOC) From Aquaculture
Wastewater Using Electrochemical Technology: A Revie w. Desalination
285, 1–13
Mulyono, M dan Lusiana , Br .Ritonga (2019) Kamus aquaculture budidaya
perikanan.STP PRES Jakarta.
Nugraha ,Erick dan Mulyono,M (2017) Laut Sumber Kehidupan.STP PRES
jakarta
Rangka, N. A. dan G. (2012). Pengaruh Penumbuhan Bioflok Pada Budidaya
Udang Vaname Pola Intensif Di Tambak. Jurnal Imiah Perikanan Dan
Kelautan, 4(2), 141–149.
37
Subyakto, S., Sutende, D., Afandi, M., & Sofiati. (2009). Budidaya Udang
vaname (Litopanaeus vannmei) Semi intensif Dengan Metode Sirkulasi
Tertutup Untuk Menghindari Serangan Virus. Jurnal Ilmiah Perikanan Dan
Kelautan, 1(2), 121–127.
38
39