Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH

Budidaya Udang Vaname (litopenaeus


vannamei) Pola Intensif dengan sistem Bioflok

Oleh:

ANISA NURLATU

NRP. 53174211942

PROGRAM DIPLOMA IV

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI AKUAKULTUR

JURUSAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERAIRAN

SEKOLAH TINGGI PERIKANAN

JAKARTA

2019

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam The State of Fisheries and Aquaculture 2008, FAO melaporkan


bahwa akuakultur merupakan salah satu sektor produksi pangan yang memiliki
laju pertumbuhan tertinggi di dunia, mencapai 8,7% per tahun sejak tahun 1970
Kontribusi akuakultur terhadap produksi perikanan dunia juga terus menunjukkan
peningkatan pada tahun 2006 sektor ini telah memberikan kontribusi mencapai
47% dibandingkan tahun 1950 yang hanya 3%, Seiring dengan menurunnya
produksi perikanan tangkap maka tidaklah mengherankan jika sektor akuakultur
kemudian diharapkan dapat menjadi suplier utama produk-produk perikanan
dunia (Rangka, 2012)

Budidaya perikanan adalah usaha pemeliharaan dan pengempbangbiakan


ikan atau organisme air lainnya budidaya perikanan disebut juga sebagagai
budidaya perairan atau akuakultur (Mulyono dan Ritonga 2019).

Sektor perikanan budidaya saat ini telah memberikan kontribusi nyata


dalam ketahanan pangan baik dari segi peningkatan produksi, konsumsi protein
hewani, penyediaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan danpengembangan
wilayah, salah satu bukti nyata adalah pengembangan usaha perikanan budidaya
utamanya oleh kelompokpembudidaya ikan (Pokdakkan), intensifikasi merupakan
pilihan yang memungkinkan dalam meningkatkan produksi budidaya dengan
keterbatasan lahan dan sumber air yang terjadi saat ini ,sistem budidaya intensif
dicirikan dengan adanya peningkatan kepadatan ikan dan pakan tambahan dari
luar, hal tersebut dapat menimbulkan permasalahan berupa penurunan kualitas

2
lingkungan yang disebabkan limbah organik dari sisa pakan dan kotoran, limbah
tersebut umumnya didominasi oleh senyawa nitrogen anorganik yang beracun.
Oleh karena itu dibutuhkan suatu solusi untuk mengatasi masalah dalam
keterbatasan lahan, air dan pakan(Soedirman & Tengah, 2019).

Indonesia merupakan Negara yang memeiliki wilayahlaut sangat luas


,sekitar 2/3wilayah ini berupa lautan. Dengan cakupan wilayah laut yang begit
luasnya maka Indonesia sebagai Negara maritim yang di tetapkan dalam
UNCLOS 1982 (Nugraha dan mulyono 2017)

Populasi penduduk dunia pertengahan 2012 mencapai 7,058 milyar dan


diprediksi akan meningkat menjadi 8,082 milyar pada tahun 2025,meningkatnya
populasi penduduk dunia akan meningkatkan eksploitasi sumberdaya alam,
diantaranya untuk pemenuhan bahan pangan,udang dan produk perikanan lainnya
berpotensi menjadi sumber bahan pangan karena memiliki nilai protein tinggi,
micronutrient penting untuk kesehatan manusia menurunnya hasil perikanan
tangkap akibat overfishing dan pembatasan tangkapan lestari mengkondisikan
sektor perikanan budidaya tumbuh agresif dengan pertumbuhan rata-rata 8,8% per
tahun sejak tahun 1980. Produksi perikanan budidaya dari jenis crustacea (jenis
udang-udangan) pada tahun 2010 terdiri dari 29.4% pada perairan tawar dan
70,6% dari perairan laut,produksi komoditi spesies air laut didominasi oleh udang
putih (Litopenaeus vanamei), 77% diantaranya diproduksi negara-negara Asia
termasuk Indonesia. (FAO,2012). Perkembangan teknologi budidaya udang
intensif disinyalir ikut memberi kontribusi terhadap kerusakan lingkungan, karena
proses budidaya menghasilkan limbah yang bersumber dari pakan yang tidak
termakan dan sisa metabolisme. Penggunaan lahan, air, konversi hutan mangrove,
berkurangnya biodeversity dan penggunaan energi fosil menjadi perhatian dalam
kegiatan usaha budidaya udang (Diana, 2009). Untuk mengurangi dampak negatif
limbah budidaya terhadap lingkungan, budidaya udang dapat dilakukan dengan
sistem zero exchange water sehingga dapat mengurangi resiko pencemaran oleh
limbah budidaya Pengendalian jumlah ammonia dapat dilakukan dengan
penerapan teknologi bioflok (Avnimelech, 1999 dalam Crab, et al. 2009).

Udang putih (Litopenaeus vannamei) mulai diintroduksi dan

3
dibudidayakan pada tahun 1999 dan menunjukkan hasil yang baik, sehingga telah
menggairahkan kembali usaha pertambakan di Indonesia, udang vaname
mempunyai keunggulan komparatif dibanding jenis udang budidaya lainnya,
sintasan udang tinggi (>70%), ketersediaan benur berkualitas, Spesific Phatogen
Free (SPF), dapat dibudidayakan dengan kepadvanatan tebar tinggi, tahan
penyakit, dan konversi pakan rendah (Gunarto, Suwoyo, & Tampangallo, 2016)
Adanya penurunan dari kualitas air sebagai akibat akumulasi bahan organik baik
yang berasal dari limbah metabolisme dan bahan organik lainnya merupakan salah
satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan produksi ikan
budidaya. Teknologi bioflok menjadi salah satu alternatif peme- cahan masalah
limbah budidaya yang paling menguntungkan, karena dapat menurunkan limbah
nitrogen anorganik (Yuniasari, 2009 dalam Masithah at al, 2016a)

Budidaya pola intensif dan super intensif udang putih (Litopenaeus


vannamei) di Indonesia hingga kini telah berkembang dan menggunakan berbagai
jenis tambak yaitu tambak tanah, tambak semen dan tambak HDPE. Masing-
masing jenis tambak tersebut mempunyai keunggulan dan kelemahan secara
teknis dan ekonomis. Dalam kaitannya dengan teknologi produksi bioflok,
menyatakan bahwa bioflok mudah terbentuk pada tambak yang menggunakan
plastik HDPE. Komoditas yang umum dibudidayakan di tambak Indonesia adalah
udang dan ikan bandeng. Dalam pelaksanaan program revitalisasi di bidang
akuakultur udang windu, Penaeus monodon dan udang vaname (Litopenaeus
vannamei) dan ikan bandeng (Chanos chanos) telah ditetapkan sebagai komoditas
unggulan untuk dikembangkan. Dalam upaya meningkatkan produksi udang
tersebut, maka salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah peningkatan
produksi melalui budidaya tambak baik melalui intensifikasi maupun
ekstensifikasi(Saenphon et al. 2005 dalam Mustafa, 2016)

1.2 TUJUAN

Adapun tujuan dalam pembuatan paper ini adalah :


1. Mengetahui perkembangan budidaya udang vaname (Litopenaeus
vanamei).
2. Mengetahui teknik pembesaran udang vaname (Litopenaeus vanamei)

4
3. Mengetahui Pengaruh bioflok dalam kegiatan budidaya udang vaname
(Litopenaeus vanamei).
4. Mengetahui tingkat kehidupan udang dalam kegiatan budidaya dengan
menggunakan bioflok

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biologi Udang vaname (L. vannamei)

Pengetahuan tentang biologi udang sangat penting dalam


rangkapengembangan sistem budidaya masa depan baik pembenihan maupun
pembesaran. Biologi udang yang perlu dipahami antara lain : taksonomi,
morfologi, distribusi, bionomik, dan siklus hidup (Affandi e.t all ,2002).

2.1.1. Klasifikasi dan Morfologi Udang vaname (L. vannamei)

Berdasarkan data WHO, terdapat 343 jenis udang yang mempunyai


nilaiekonomis dan 110 spesies berasal dari famili Penaeidae, saat ini baru
delapan jenis udang yang bisa dikembangkan untuk akuakultur antara lain :
Penaeus chinensis, P. indicus, P. japonicus, P. merguensis, P. monodon, P.
stylirostris, P.vannamei, dan Metapenaeus merguensis (Rosenberry, 1989).Spesies
udang yang banyak dibudidayakan di Indonesia saat ini adalah P.Monodon dan P.
vanamei,Penaeus monodon mempunyai nama lain giant tiger prawn dan di
Indonesia disebut dengan udang windu.

5
Sedangkan P. vannamei sering disebut dengan whiteleg shrimp atau sering
disebut dengan udang putih atau vaname . Penaeus vannamei sering pula disebut
dengan Litopenaeus vannamei yang merujuk pada subgenus Litopenaeus.
Penaeus monodon banyak ditemukan di Indonesia, Thailand, India, Vietnam,
Filipina, China, Bangladesh dan Taiwan, sementara udangvaname banyak
ditemukan di perairan Ekuador, Mexico, Panama, dan Honduras.

Menurut Haliman dan Adijaya (2005), klasifikasi udang putih (Litopenaeus


vannamei) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Sub kingdom : Metazoa

Filum : Arthropoda

Subfilum : Crustacea

Kelas : Malacostraca

Subkelas : Eumalacostraca

Superordo : Eucarida

Ordo : Decapodas

Subordo : Dendrobrachiata

Familia : Penaeidae

Sub genus : Litopenaeus

Spesies : Litopenaeus vannamei

2.1.2 Morfologi Udang vaname (L. vannamei)

Menurut Haliman dan Adijaya (2005), tubuh udang vaname dibentuk oleh
dua cabang (biramous), yaitu exopodite dan endopodite, vaname memiliki tubuh
berbuku-buku dan aktivitas berganti kulit luar atau eksoskeleton secara periodik
(moulting). Bagian tubuh udang vaname sudah mengalami modifikasi, sehingga
dapat digunakan untuk keperluan sebagai berikut :

6
1. Makan, bergerak, dan membenamkan diri ke dalam lumpur (burrowing)

2. Menopang insang karena struktur insang udang mirip bulu unggas.

3. Organ sensor, seperti pada antena dan antenula. Kepala (thorax).

Selanjutnya, kepala udang vaname terdiri dari antenula, antena,


mandibula, dan dua pasang maxillae. Kepala udang vaname juga dilengkapi
dengan tiga pasang maxillipied dan lima pasang kaki berjalan (periopoda) atau
kaki sepuluh (decapoda). Maxillipied sudah mengalami modifikasi dan berfungsi
sebagai organ untuk makan. Endopodite kaki berjalan menempel pada
chepalothorax yang dihubugka oleh coxa. Morfologi udang vaname Bentuk
periopoda beruas-ruas yang berujung di bagian dactylus. Dactylus ada yang
berbentuk capit (kaki ke-1, ke-2, dan ke-3) dan tanpa capit (kaki ke-4 dan ke-5).
Di antara coxa dan dactylus, terdapat ruang berturut-turut disebut basis,ischium,
merus, carpus, dan cropus. Pada bagian ischium terdapat duri yang bisa digunakan
untuk mengidentifikasi beberapa spesies penaeid dalam taksonomi (Haliman dan
Adijaya, 2005)

Gambar 1.Morfologi Udang vaname

2.1.3 Habitat dan Siklus Hidup

7
Udang vaname adalah udang asli dari perairan Amerika Latin yang kondisi
iklimnya subtropics di habitat alaminya suka hidup pada kedalaman kurang lebih
70 meter, udang vaname bersifat nocturnal, yaitu aktif mencari makan pada
malam hari proses perkawinan pada udang vaname ditandai dengan loncatan
betina secara tiba-tiba pada saat meloncat tersebut, betina mengeluarkan sel-sel
telur pada saat yang bersamaan udang jantan mengeluarkan sperma sehingga sel
telur dan sperma bertemu, proses perkawinan berlangsung kira-kira satu menit,
sepasang udang vaname berukuran 30-45 gram dapat menghasilkan telur
sebanyak 100.000-250.000 butir selanjutnya, dinyatakan siklus hidup udang
vaname sebelum ditebar ditambak yaitu stadia naupli, stadia zoea, stadia mysis,
dan stadia post larva. Pada stadia naupli larva berukuran 0,32-0,59 mm, sistim
pencernaanya belum sempurna dan masih memiliki cadangan makanan berupa
kuning telur. Stadia zoea terjadi setelah larva ditebar pada bak pemeliharaan
sekitar 15-24 jam, larva sudah berukuran 1,05-3,30 mm dan pada stadia ini benur
mengalami 3 kali moulting pada stadia ini pula benur sudah bisa diberi makan
yang berupa artemia siklus hidup udang vaname dapat di lihat pada Gambar
berikut.

Gambar.2 Siklus Hidup Udang vannme

Pada stadia mysis benur udang sudah menyerupai bentuk udang yang
dicirikan dengan sudah terlihatnya ekor kipas (uropoda) dan ekor (telson).
Selanjutnya, udang mencapai stadia post larva dimana, udang sudah menyerupai

8
udang dewasa. Hitungan stadianya sudah menggunakan hitungan hari misalnya,
PL1 berarti post larva berumur satu hari pada stadia ini udang sudah mulai
bergerak aktif (Haliman dan Adijaya, 2005)

2.2 Persiapan Wadah Pemiliharaan

2.2.1 Pengeringan dan Pembersihan Tambak

Kegiatan usaha budidaya di tambak merupakan proses produksi yang


memerlukan kendali dan keberhasilannya akan sangat tergantung pada faktor
teknis maupun non teknis. Faktor teknis, seperti perencanaan terpadu sangat
penting dalam mata rantai kegiatan budidaya tambak dengan demikian,
perencanaan harus diarahkan pada kemampuan untuk menciptakan kondisi yang
sesuai dengan keadaan alami yang dituntut oleh organisme akuatik yang
dibudidayakan (Mustafa, 2016).

Persiapan tambak untuk budidaya udang vaname secara intensif dilakukan


berurutan (Utojo & Tangko, 2016) sebagai berikut:

1. Penjemuran tanah dasar tambak hingga kering

2. Pembersihan dan perbaikan peralatan seperti kincir, kabel,saringan, pipa


paralon, dan lain-lain;

3. Pengolahan tanah dengan membuang lumpur 10 cm di bagian atas


pelataran tambak dan pemberian desinfektan kaporit 20-- 30 mg/L

4. Perbaikan bocoran pematang dan perataan tanah dasar tambak;

5. Pengecekan potensial redoks hingga ± 50 mV, penghitungan kebutuhan


kapur tergantung dari kondisi tanah dasar tambak

6. Pemasangan saringan pada pintu-pintu tambak

7. Pengisian air setinggi 20 cm atau macak-macak di pelataran tambak;

8. Diberikan saponin 15--20 mg/L (150--200 kg/ha)

9. Dimasukkan air setinggi 100--120 cm pada tambak

9
10. Diberikan fermentasi mini- mal satu kali pemberian dengan bahan
fermentasi probiotik (super media 1) yang terdiri atas katul 10 kg, saponin
10 kg, ragi tape 250 g/ha, direndam dalamair tawar 24--36 jam tanpa
aerasi

11. Setelah air sesuai standar, kemudian benur ditebar

2.2.3 Biosecurity

Biosecurity adalah tindakan untuk mengeluarkan pathogen tertentu dari


kultivan yang dibudidayakan di kolam induk, pembenihan maupun kolam
pembesaran dari suatu wilayah atau negara dengan tujuan untuk pencegahan
penyakit,penyakit merupakan penyebab terbesar kegagalan budidaya udang (viral
and bacterial disease) penyakit yang menyerang udang dapat disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain :

a) Degradasi lingkungan

b) Rendahnya pengetahuan tentang penyakit

c) Pemilihan benur yang tidak baik

d) Transfer udang (nasional dan internasional)

Biosecuriry dalam penerapannya memiliki beberapa tingkatan/level, yaitu :

a) Ultra high level , misalnya dalam unit penghasil induk SPF

b) High level, misalnya pada hatcery, tambak intensif

c) Medium level, misalnya pada tambak semi intensif

d) Low level , misalnya pada tambak semi intensif

e) None , misalnya pada tambak ekstensif/tradisional

Penerapan Biosecurity dalam budidaya udang terbagi menjadi dua, yaitu


first line of defense dan second line of defense.

1. First line of defense terdiri dari :

10
a) Barrier

b) Isolasi (quarantine)

c) Water Filtration

d) Zero water exchange

e) Water sterilization

f) Equipment sterilization

g) SPF Fry

2. Sementara Second line of defense terdiri dari

a) Specific Pathogen Resistant(SPR) dan

b) Immunostimulant

2.2.4 Bioflok

Teknologi bioflok merupakan salah satu alternatif baru dalam mengatasi


masalah kualitas air dalam akuakultur yang diadaptasi dari teknik pcngolahan
limbah domestik secara konvensional Prinsip utama yang diterapkan dalam
teknologi ini adalah manajemen kualitas air yang didasarkan pada kemampuan
bakteri heterotrof untuk memanfaatkan N organik dan anorganik yang terdapat di
dalam air,teknologi bioflok sering disebut juga dengan teknik suspensi aktif
(activated suspension technique AST), menggunakan aerasi konstan untuk
memungkinkan terjadinya proses dekomposisi secara aerobik dan menjaga flok
bakteri berada dalam suspensi dalam sistem ini, bakteri heterotrof yang tumbuh
dengan kepadatan yang tinggi berfungsi sebagai bioreaktor yang mengontrol
kualitas air terutama konsentrasi N serta sebagai sumber protein bagi organisme
yang dipelihara pembentukan bioflok oleh bakteri terutama bakteri heterotrof
secara umum bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatan nutrien menghindari
stress lingkungan dan predasi flok bakteri tersusun atas campuran berbagai jenis
mikroorganisme yaitu bakteri pembentuk flok, bakteri filamen, fungi, partikel-
partikel tersuspensi, berbagai koloid dan polimer organik, berbagai kation dan sel-

11
sel mati dengan ukuran bervariasi dengan kisaran 100 - 1000 µm selain flok
bakteri, berbagai jenis organisme lain juga ditemukan dalam bioflok scperti
protozoa, rotifer dan oligochaeta komposisi organisme dalam flok akan
mempengaruhi struktur bioflok dan kandungan nutrisi bioflok( (Avnimelech,
2006; deSchryver et al., 2008 dalam.Ekasari, 2009).

Teknologi bioflok merupakan teknologi yang dikembangkan dengan


memadukanpenanganan buangan limbah hasil budidaya dan mereduksi jumlah
penggunaan air secara umum, kelebihan dari teknologi ini adalah biaya
operasional yang lebih kecil tingkat kelangsungan hidup yang tinggi dan nilai
FCR (feed convertion ratio) yang lebih rendah prinsip teknologi ini adalah
mengkonversi limbah budidaya yang mengandung unsur nitrogen yang cukup
tinggi menjadi pakan tambahan bagi udang selama proses peliharaan (Crab et al,
2009). Proses konversi tersebut terjadi jika jumlah kandungan nitrogen dan
karbon dalam media budidaya seimbang, sumber nitrogen dalam perairan
diperoleh dari pakan yang diberikan dengan kandungan protein tinggi berdasarkan
SNI kandungan protein yang diberikan untuk budidaya udang adalah 28%.
Pemberian protein yang cukup tinggi ini tidak diimbangi dengan pemberian
karbon yang seimbang dalam pakan untuk itu, perlu upaya penambahan sumber
karbon untuk meyeimbangakn jumlah nitrogen dalam peraiaran budidaya(Amir at
al, 2018a).

Teknologi bioflok telah banyak diaplikasikan pada berbagai komoditas


perikanan budidaya seperti ikan nila, ikan mas, lobster air tawar udang windu dan
udang vaname Secara umum pengaplikasian tekologi tersebut dapat menghemat
penggunaan air karena tidak terjadi penggantian air selama masa pemeliharaan
(zero water exchange) karena kemampuan sistem tersebut mengkonversi limbah
khususnya amoniak dan nitrit menjadi pakan tambahan dalam bentuk bioflok hal
tersebut dapat berdampak pada efisiensi pakan yang meningkat atau nila rasio
konversi pakan yang kecil (Sahu et al., 2013 dalam Amir et al 2018b).

1. Manfaat bioflok

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa aplikasi teknologi bioflok


berperan dalam perbaikan kualitas air, peningkatan biosekuriti, peningkatan

12
produktivitas, peningkatan efisiensi pakan serta penurunan biaya produksi dan
penurunan biaya pakan kemampuan bioflok dalam mengontrol konsentrasi
ammonia dalam sistem akuakultur secara teoritis maupun aplikasi telah terbukti
sangat tinggi (Ekasari, 2009).

Gambar.3. Kandungan Nutrisi Boflok (Ekasari, 2009)

2. Kekurangan bioflok

Teknik bioflok dapat menyebabkan masalah lingkungan lain yang


berkaitan dengan akumulasi nitrat (Mook, et al, 2012). Menurut Bunting dan
Pretty (2007) mengungkapkan dalam hal penggunaan energi, jejak karbon pada
kegiatan budidaya udang meliputi penggunaan langsung, seperti konsumsi bahan
bakar fosil dan konsumsi tidak langsung seperti energi listrik. Klaim ramah
lingkungan teknologi bioflok masih terbatas pada berkurangnya dampak
lingkungan perairan, seperti pencemaran bahan organik, penyebaran patogen dan

13
efisiensi penggunaan lahan dan air, sementara input energi, kebutuhan bahan dan
peralatan lainnya dalam penerapan teknologi bioflok juga berpotensi
menyumbang dampak lingkungan (Ma'in e.t all, 2013).

2.3 Persiapan Media

2.3.1 Pengisian Air

1. pemasukan air ke tandon

Dalam proses budidaya pemasukan air tandon merupakan salah satu


langkah awal persiapan air Pemasukan air kepetakan tandon dengan menggunakan
pompa 8 inch dan pada ujung pipa saluran pemasukan diberi saringan kasa
(saringan hijau) agar kotoran yang ikut terhisap tidak langsung masuk ke bak
tandon. Kemudian dilakukan perlakuan dengan pemberian kaporit. Pemberian
kaporit pada air tandon merupakan langkah untuk mambunuh mikro dan makro
organisme dengan dosis 10 ppm dengan luas tandon 500 m2.

2. Pemasukan air ke wadah pemeliharaan

Pemasukan air ke wadah pemeliharaan secara bertahap hingga ketinggian


air mencapai sekitar 100 cm. Pemasukan air ke wadah pemeliharaan sama halnya
dengan peamasukan air ke petak tandon, juga menggunakan pompa celup 8 inch
yang diujung pipa dipasangi dengan saringan plankton net 250 mikron dan
saringan kasa (saringan hijau) yang berfungsi mencegah hama masuk ke dalam
wadah pemeliharaan namun, air yang digunakan yaitu air yang telah diendapkan
dan ditreatment menggunakan kaporit dengan dosis 10 ppm selanjutnya, air di
aduk dengan menggunakan kincir hingga airnya terlihat menjadi jernih.

2.3.2. Aplikasi Bioflok

Konsep dasar biofloc adalah mengubah senyawa organik dan anorganik


yang mengandung senyawa karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O), nitrogen (N)
dan sedikit fosfor (P) menjadi masa sludge berupa biofloc dengan menggunakan
bakteri pembentuk floc (floc forming bacteria) yang mensintesis biopolymer
sebagai ikatan biofloc,tujuan utama teknologi biofloc dalam budidaya perairan
adalah memanfaatkan limbah nitrogen anorganik dalam kolam budidaya menjadi
nitrogen organik yang tidak bersifat toksik ,sistem biofloc (heterotrophicsystem)

14
dalam budidaya perairan menekankan pada penumbuhan bakteri pada kolam
untuk menggantikan komunitas autotrofik yang didominasi oleh fitoplankton.

Bioflok terdiri atas partikel serat organik yang kaya selulosa, partikel
anorganik kalsium karbonat hidrat, biopolymer, bakteria, protozoa, detritus, ragi,
jamur, dan zooplankton Selanjutnya menurut Tacon et al. 2002 dalam Gunarto et
al., 2016 , bioflok kaya akan threonin, valin, isoleusin, dan phenilalanin juga
tirosin. Sedangkan menurut (McIntosh 2000 dalam Gunarto et al., 2016)
kandungan asam amino bioflok terdiri atas arginin, lisin, dan
methionin.mendapatkan 15 jenis asam amino yang terkandung dalam bioflok,
dengan persentase yang tinggi yaitu: leusin (2,32%), lisin (1,79%), dan valin
(1,17%). Bioflok juga mengandung vitamin yang fungsinya dapat menggantikan
vitamin yang disuplai melalui pakan komersial dan enzim yang dapat membantu
proses pencernaan pakan pada udang, sehingga udang menjadi tumbuh lebih cepat
Dengan demikian, apabila dalam tambak telah terbentuk bioflok dan bioflok
tersebut dimakan oleh udang, maka akan menghemat pakan yang diberikan pada
udang,bioflok mudah terbentuk pada tambak yang menggunakan plastik High
Density Polyethylene (HDPE) (Saenphon et al. 2005 dalam Gunarto et al., 2016).

Pada teknologi budidaya udang pola intensif agar dapat terbentuk bioflok,
maka rasio C/N harus ditingkatkan >10:1, kemudian sedikit atau tidak sama sekali
dilakukan penggantian air dan diberi aerasi yang kuat dan merata, sehingga
oksigen tidak pernah lebih rendah dari 4 mg/L ((Samocha et al., 2006 dalam
Masithah et al., 2016a). Untuk meningkatkan rasio C:N, maka beberapa sumber
C-karbohidrat dapat ditambahkan, di antaranya molase tepung tapioka (Hari et
al., 2004 dalam Masithah et al., 2016a), glukosa dan gliserol sukrosa.
Pembentukan bioflok oleh bakteri terutama bakteri heterotrof secara umum
bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatan nutrien. menghindari stress
lingkungan dan predasi. Flok bakteri tersusun atas campuran berbagai jenis
mikroorganisme bakteri pembentuk flok, bakteri filamen, fungi, partikel-partikel
tersuspensi, berbagai koloid dan polimer organik, berbagai kation dan sel-sel mati
dengan ukuran bervariasi dengan kisaran 100 - 1000 µm Selain flok bakteri,
berbagai jenis organisme lain juga ditemukan dalam bioflok scperti protozoa,

15
rotifer dan oligochaeta . Komposisi organisme dalam flok akan mempengaruhi
struktur bioflok dan kandungan nutrisi bioflok . bahan pembentuk bioflok biasa di
gunakan probiotik dan molase .Bahan yang digunakan dalam pembuatan bioflok
yaitu (Masithah et al., 2016a)

1. ProbiotikB(mengandung bakteri Lactobacillus,Rhodopseudomonas,


Saccarhomyces)
2. Probiotik C (mengandung bakteri Lactobacillus, Nitrosomonas, Bacillus
subtilis, Bacillus sp.), air tawar, molase, dedak, pellet ikan, kaporit, pupuk
ZA dan

3. kapur kaptan atau dolomit.

4. Molase

Berikut cara pembutan bioflok untuk media pemeliharaan udang di tambak.

1. Strerilisasi air yaitu dengan pemberian kaporit sebanyak 4 gram/20 liter


air. Kemudian dilakukan aerasi selama dua hari sampai bau kaporit hilang

2. Pembuatan bioflok dilakukan dengan memasukkan 20 liter air tawar ke


dalam akuarium berukuran 40 cm x 20 cm x 35 cm yang diberi aerasi,
kemudian memasukkan dua macam probiotik ke masing-masing akuarium
sebanyak 0,1 g/20 liter/hari masing-masing perlakuan (Rangka dan
Gunarto, 2012). Selanjutnya, memasukkan pakan ikan, molase dan dedak.
Kapur kaptan atau dolomite 1 mg/liter ditambahkan untuk stabilitas pH
(Gunarto dan Suwoyo, 2011 dalam Masithah et al., 2016a ) Pemberian
molase pada pembuatan bioflok.

3. Bioflok diberikan sebanyak 84 g/20 liter air pada seluruh perlakuan.


Sedangkan untuk pemberian dedak sebanyak 1 kg/20 liter air (Rangka dan
Gunarto, 2012). Pemberian pupuk ZA sebagai sumber N ditambahkan
sebanyak 10g/20 liter setiap lima hari sekali seperti disarankan oleh
(Gunarto dan Suwoyo 2011 dalam Masithah et al., 2016a).

2.4 Pemeliharaan Udang Vaname

16
2.4.1 Penebaran Benur

Benur memang berperan penting pada keberhasilan budidaya udang


vaname karena akan menentukan kualitas setelah dipanen. Bila kualitas benurnya
bagus kemungkinan hasil panennya juga bagus. Benur vaname untuk
dibudidayakan harus dipilih yang terlihat sehat. Kriteria benur sehat dapat
diketahui dengan melakukan observasi berdasarkan pengujian visual mikroskopik
dan ketahanan benur. Hal tersebut dapat dilihat dari warna ,ukuran panjang dan
bobot sesuai umur PL. Kulit dan tubuh bersih dari organisme parasit dan patogen
tidak cacat tubuh, tidak pucat, gesit, merespon cahaya, bergerak aktif, dan
menyebar di dalam wadah. Kriteria benur yang sehat dapat diketahui dengan
melakukan observasi berdasarkan :

1. Pengujian visual

Pengujian visual (kasat mata) benur meliputi aktivitas, kondisi sirip dan
ekor, kecepatan pertumbuhan serta keseragaman. Benur yang baik berwarna benig
memanjag kecoklatan, benur yang tidak sehat dicirikan dengan warna putih
coklat, hitam dan kemerahan pada bagian tertentu.

2. Pengujian mikroskopis

Secara mikroskopis benur berkualitas baik pada seluruh permukaan


kulitnya terlihat bersih. Hal tersebut menunjukan bahwa benur mengalami
moulting secara periodik. Benur yang berkualitas jelek terlihat lemah dan pada
permukaan kulitnya berwarna coklat keputihan. Hal tersebut disebabkan infeksi
jamur yang menempel pada permukaan kulit benur vanamei. Selanjutnya,sebelum
benur ditebar kedalam tambak perlu dilakukan aklimitisasi (adaptasi), terhadap
lingkungan baru. Secara umum ada 2 aklimitasi yanng bisa dilakukan yaitu :

3. Aklimatisasi suhu

Aklimatisasi suhu air petakan udang vanamei dilakukan dengan cara


meletakan plastik pengemas yang berisi benur ke dalam tambak. Tindakan
tersebut dilakukan hingga suhu air dalam kemasan plastik mendekati atau sama
dengan suhu air petakan yang dicirikan dengan munculnya embum di dalam
plastik.

17
4. Aklimatisasi salinitas

Aklimatisasi salinitas air petakan tambak dilakukan setelah aklimatisasi


suhu selsai. Aklimatisasi salinitas dilakukan dengan cara air tambak dimasukan
sebanyak 1-2 liter ke dalam kemasan benur udang vanamei. Aktivitas tersebut
dihentikan hingga salinitas air dalam kemasan plastik mendekati sama dengan
salinitas air di petakan.Benur udang yang biasa diguanakan didalam kegiatan
budidaya menurut beberapa peneliti berbeda karna banyaksistem dan tehnik yang
di gunakan dalam kegiatan budidaya udang dengan sistem bioflok .Benih yang
ditebar di tambak adalah benih udang vanamei PL-12 SPF hasil pemuliaan
(breeding program) BBAP Situbondo dengan berat rata-rata 0,008 gr. Penebaran
dilakukan pada pagi hari yang tujuannya untuk mengurangi tingkat stres, tingkat
teknologi yang digunakan adalah semi intensif dengan padat tebar 60 ekor/m 2
(Untara dan Agus, 2018).

Adapun beberapa penelitian yang menggunakan padat tebar yang berbeda


di karenakan sistem pemiliharaan yang digunakan misalnya budidaya udang
vaname dengan aplikasi beberapa jenis probiotik dengan padat tebar 25 ekor/m2
yang benurnya diambil dari panti benih di Takalar yang lokasinya hanya dua jam
transportasi untuk mencapai tambak, dengan lama pemeliharaan 98 hari men-
dapatkan sintasan 91%-96,5% (Gunarto & Hendrajat, 2008).

Selanjutnya pada budidaya udang vaname dengan dosis probiotik berbeda


dengan padat tebar 50 ekor/m2, benih juga diambil dari panti benih yang sama di
Takalar dengan lama pemeliharaan 98 hari diperoleh sintasan 75%-86% adapun
pemeliharaan udang sistem bioflok dengan ukuran tambak 3.520 m2 dengan
padat penebaran 75 ekor/m2 (Gunarto et al., 2016).

2.4.2 Pengelolaan Pakan

Sumber utama nutrien pakan udang adalah protein, karbohidrat, dan lemak
atau lipid kandungan protein pakan merupakan faktor yang sangat penting dalam
mendukung keberhasilan budidaya udang. Protein merupakan faktor pembatas
pertumbuhan dan berpengaruh besar terhadap harga pakan Kebutuhan protein
pada pakan berkisar antara 30-40% sedangkan menurut Kureshy dan Davis2002,

18
kebutuhan protein pakan untuk udang L. vanamei sebesar 30-35%. Kebutuhan
protein dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: spesies, ukuran, kualitas
protein, energi:protein rasio serta faktor lingkungan seperti suhu dan salinitas.
Protein selain untuk pertumbuhan, berfungsi sebagai sumber energi,sedangkan
fungsi utama karbohidrat dan lipid adalah sebagai sumber energi. Idealnya protein
hanya digunakan untuk pertumbuhan, sedangkan sumber energi berasal dari
karbohidrat dan lipid. Kandungan energi protein sebesar 4,3 kkal/g, sedangkan
lipid dan karbohidrat mengandung 9,3 kkal/g dan 4,1 kkal/g. Kandungan energi
(gross energy) pakan sekitar 3-4 kkal/g pakan dengan rasio energi:protein sebesar
12 Protein yang terkandung dalam tubuh ikan/udang terdiri dari
miofibril,sarkoplasma, dan stroma. Miofibril larut dalam garam, sementara
sarkoplasma mudah larut dalam air. Miofibril terdiri dari tiga jenis, yaitu miosin,
aktin, dan aktomiosin. Miofibril protein merupakan penyusun utama protein (65-
75%) pada ikan.Benih udang yang sudah ditebar pada petakan tambak selang 6
jam diberi pakan pellet. Pakan (pellet) dengan kadar protein 35 – 40 % diberikan
dengan cara ditebar merata pada pinggir tambak dan dosis pakan 3 – 10 % dari
berat tubuh per hari dengan frekuensi pemberian 4 kali. Untuk mengetahui nafsu
makan udang dilakukan kontrol pakan melalui anco yang diberi pakan sebanyak 1
% dari total pakan yang diberikan.(Subyakto at all, 2009) Pakan yang digunakan
selama kegiatan berupa pellet komersial udang dengan kandungan protein 30%.
Pemberian pakan dilakukan 4 (empat) kali sehari yaitu 7.00 wita, 11.00 wita,
15.00 wita dan 18.00 wita. Total pakan yang diberikan berkisar 3-4% dari berat
total biomasa benur. Kemudian jumlah sumber karbon yang ditambahkan
sebanyak 25% dari berat total pakan yang diberikan dan dilakukan pada setiap
harinya(Amir et al., 2018b). Pakan komersial yang mengandung protein sekitar
35% di- berikan sejak awal setelah penebaran dengan dosis 100% dari total
biomassa udang, kemudian pakan yang diberikan persentasenya diturunkan setiap
dua minggu sekali hingga mencapai 2,5% dari bobot biomassa udang setelah
masuk periode pemeliharaan bulan ke-IV.

Pada budidaya yang semi intensif apalagi intensif, pakan buatan sangat
diperlukan, karena dengan padat penebaran yang tinggi, pakan alami yang ada
tidak akan cukup yang mengakibatkan pertumbuhan udang terhambat dan akan

19
timbul sifat kanibalisme udang.Pelet udang dibedakan dengan penomoran yang
berbeda sesuai dengan pertumbuhan udang yang normal.

 Umur 1-10 hari pakan 01zUmur 11-15 hari campuran 01 dengan 02

 Umur 16-30 hari pakan 02

 Umur 30-35 campuran 02 dengan 03

 Umur 36-50 hari pakan 03

 Umur 51-55 campuran 03 dengan 04 atau 04S. (jikamemakai 04S,


diberikan hingga umur 70 hari).

Umur 55 hingga panen pakan 04, jika pada umur 85 hari size rata-rata
mencapai 50, digunakan Pemberian pakan disesuaikan dengan kebutuhan udang
tertentu sesuai pertumbuhannya.

Kebutuhan pakan awal untuk setiap 100.000 ekor adalah 1 kg, selanjutnya
tiap 7 hari sekali ditambah 1 kg hingga umur 30 hari. Mulai umur tersebut
dilakukan pengecekan menggunakan ancho dengan jumlah pakan di ancho 10%
dari pakan yang diberikan. Waktu angkat ancho untuk ukuran 100-166 adalah 3
jam, ukuran 166-66 adalah 2,5 jam, ukurane 66-40 adalah 2,5 jam dan kurang dari
40 adalah 1,5 jam dari pemberian. Juga digunakan bahan untuk meningkatkan
pertumbuhan udang berupa penambahan nutrisi lengkap dalam pakan
(100%).Untuk itu, pakan juga dicampur dengan bahan yang mengandung mineral-
mineral penting,protein, lemak dan vitamin dengan dosis 5 cc/kg pakan untuk
umur di bawah 60 hari dan setelah itu 10 cc/kg pakan hingga panen (Utara, 2015)

 Kriteria pakan

Pakan udang memiliki kriteria tertentu sesuai dengan kebutuhan


dankarakteristik udang. Kriteria pakan udang yang baik memiliki kriteria sebagai
berikut :

1. Syarat fisik , pakan udang memiliki syarat fisik tertentu antara lain :

a) Seragam

b) Tidak berdebu

20
c) Tidak mengapung

d) Tidak berjamur

e) Aroma baik, tidak apek

f) Kering (kadar air maks 10%)

2. Stabilitas dalam air

a) Tahan dalam air 2-3 jam

b) Stabilitas rendah : pakan boros, limbah organik

c) Stabilitas tinggi : sulit dicerna

d) Stabilitas tergantung binder atau perekat yang digunakan

3. Daya rangsang (attractability)

a) Daya rangsang kuat, pakan cepat dikonsums

2.4.3 Pengelolaan Kualitas Air

Kualitas air tambak pada budidaya udang vaname haruslah dalam keadaan
optimal, utamanya salinitas dan pH air. Udang vaname memiliki toleransi yang
cukup besar antara 3 ‰ sampai 48 ‰ udang vaname mempunyai toleransi yang
cukup tinggi terhadap salinitas, akan tetapi di bawah 10 ‰ dan di atas 43
‰ dapat menyebabkan kematian yang cukup tinggi oleh sebab itu, salinitas
dalam keadaan optimal yaitu 18 ‰ sampai 30 ‰, dalam budidaya udang vaname
juga diperhatikan adalah derajat keasaman atau pH air, pH atau derajat keasaman
yang baik bagi budidaya udang vaname adalah 7,5 sampai 8,5 (Mujiman dan
Suyanto, 1990). Dalam budidaya udang vaname , sistem budidaya mempunyai
kreteria tersendiri salah satunya adalah luas tambak. Luas petakan semi intensif 1
hektar sampai 3 hektar dan pada tambak intensif 0,2 sampai 0,5 hektar, makin
kecil petakan tambak makin mudah dalam pengelolaan airnya.

Pengelolaan kualitas air yang baik dapat membantu pertumbuhan dan


kelangsungan hidup udang. Parameter kualitas air yang sering diamati dalam
kegiatan peliharaan udang vaname yaitu suhu, oksigen terlarut, pH, dan salinitas.

21
Pengukuran parameter kualitas air dilakukan sehari dua kali pada waktu pagi dan
sore hari(Untara et al., 2018).

Gambar 4. Standar kualitas air (Azhar, 2018)

Manajemen kualitas Air beberapa variabel kualitas air baik fisika, kimia
maupun biologi air perlumendapat perhatian yang serius dalam budidaya udang
dan seharusnya dijaga agar nilainya tetap dalam kisaran yang optimal bagi
pertumbuhan udang selama proses budidaya berlangsung. Variabel kualitas air
tersebut adalah :

1. Suhu

Suhu merupakan faktor fisika air yang sulit dikontrol karena dipengaruhi
oleh lokasi dan cuaca. Daerah dengan intensitas hujan yang tinggi akan
menyebabkan suhu air turun. turunnya suhu air akan menyebabkan penurunan
metabolisme dan nafsu makan udang. suhu dibawah 26oC sudah membawa
dampak penurunan nafsu makan udang. Suhu air yang rendah mempengaruhi
daya tahan atau imunitas udang. Udang sering menunjukkan gejala klinis ketika
terjadi hujan dalam jangka waktu lama. Upaya untuk mengurangi efek negatif

22
penurunan suhu air adalah dengan mengoptimalkan kincir air dan melakukan
pergantian air jika memungkinkan.

2. Oksigen terlarut

Oksigen terlarut atau Dissolved Oxygen (DO) yang rendah < 4 mg/l dalam
air menyebabkan gangguan pada udang, mulai dari penurunan nafsu makan,
timbulnya penyakit sampai terjadi kematian. Secara ringkas pengaruh DO
terhadap udang.

3. Derajat keasaman

Derajat keasaman (pH) mempengaruhi toksisitas amonia dan hidrogen


sulfida.Keberadaan karbondioksida merupakan faktor utama yang mempengaruhi
nilai pH air. Dalam kolam budidaya, pH tinggi sering dijumpai terutama pada
kolam intensif dengan input pakan dan kepadatan fitoplankton tinggi. Aktivitas
fotosintesis fitoplankton membutuhkan karbondioksada sehingga keberadaan
karbondioksida terbatas menyebabkan derajat keasaman meningkat.pH tinggi
dalam kolam dapat diatasi dengan menaikkan alkalinitas melalui pengapuran
untuk meningkatkan kemampuan penyangga air (buffer). Penurunan densitas
fitoplankton juga membantu menurunkan pH air.

4. BOD

Biological oxygen demand (BOD) merupakan total oksigen yang


digunakan oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik. Tingginya
nilai BOD mengindikasikan banyaknya limbah organik di kolam. Tindakan yang
bisa dilakukan untuk menurunkan BOD antara lain ganti air dan penyiponan dasar
kolam.

5. Alkalinitas

Alkalinitas berperan sebagai penyangga (buffer) perairan terhadap


penambahan asam dan basa.Alkalinitas dibutuhkan oleh bakteri nitrifikasi
maupun fitoplankton untuk pertumbuhannya.Alkalinitas juga berperan dalam
molting udang. Tindakan yang bisa dilakukan untuk meningkatkan
alkalinitasadalah pengapuran dengan CaCO3, CaMg(CO3)2, CaMg(CO3)2, dan

23
Ca(OH)2. Dalam air senyawa tersebut akan bereaksi dengan karbondioksida
menghasilkan bikarbonat (HCO3-) sebagai ion utama pembentuk alkalinitas.

6. Amonia

Amonia merupakan hasil samping metabolisme protein yang dikeluarkan


oleh ikan melalui insang dan hasil dekomposisi sisa pakan, feses, plankton yang
mati dan lain-lainnya yang dilakukan oleh bakteri proteolitik. Tindakan yang
dapat dilakukan untuk mengontrol keberadaan amonia antara lain : ganti air jika
memungkinkan, aplikasi bakteri nitrifikasi, penambahan sumber karbon (misalnya
molase) untuk merangsang pertumbuhan bakteri heterotrof, menurunkan pH air
untuk menurunkan proporsi amonia bebas, serta aerasi untuk meminimalisir
dampak negatif terhadap udang.

7. Fitoplankton

Fitoplankton dalam jumlah tertentu dibutuhkan untuk meningkatkan


produktivitas kolam, namun dalam jumlah yang besar (blooming) menimbulkan
dampak buruk bagi ekosistem kolam. Oksigen terlarut dan pH air akan
berfluktuasi, bahkan beberapa jenis fitoplankton menghasilkan racun bagi ikan.
Jika kecerahan air kurang dari 30 cm, perlu ada treatmen untuk memperbaiki
kondisi kolam. Beberapa tindakan yang dapat dilakukan antara lain : ganti air,
turunkan feeding rate, optimalkan aerasi untuk mencegah die off fitoplankton, dan
gunakan ikan herbivora/pemakan plankton seperti ikan nila.

2.4.4 Monitoring Pertumbuhan Udang

Hasil pengamatan pertumbuhan bobot udang vaname selama 60 hari


pemeliharaan semakinmeningkat seiring dengan lama waktu pemeliharaan untuk
semua perlakuan. Pada Tabel 1, tampak bahwa bobot akhir rata-rata udang
vaname paling tinggi (0,646 ± 0,057 g/ekor) dijumpai pada perlakuan B,
kemudian disusul perlakuan D (0,636 ± 0,029 g/ekor), C (0,620 ± 0,010 g/ekor)
dan terendah pada perlakuan A (0,606 ± 0,039 g/ekor). Namun berdasarkan hasil
analisis ragam diperoleh bahwa pertumbuhan mutlak dan laju pertumbuhan harian
yang diperoleh pada penelitian ini berbeda tidak nyata (P<0,05) antar perlakuan.

24
Laju pertumbuhan harian udang vaname yang diperoleh pada penelitian ini
berada pada kisaran 6,278%-6,382% (Suryanto & Mangampa, 2008).

Gambar 5. Sintasan Pertumbuhan Udang

Data sampling ditabulasikan dan dianalisis sesuai kepentingannya, Dari


hasil sampling yang telah dilakukan, dapat diduga biomasa udang, populasi,
pertumbuhan harian, maupun konversi pakan.

1. jumlah tebar = L. Tambak x Padat tebar


2. SR = Jumlah benur yang hidup x 100% / Jumlah benur awal 100%
3. Populasi (ekor) = Biomasa (g) / ABW (g/ekor)

4. ABW (g/ekor) = Berat yang ditimbang (g) / Jumlah udang yang ditimbang
(ekor)

5. FCR = Pakan kumulatif (kg) x 100 % / Biomasa (kg)

6. Biomasa = ABW x populasi

25
7. Jumlah pakan = FCR x biomassa

2.4.5. Monitoring Pertumbuhan Bioflok

Pengukuran kepadatan bioflok diukur setiap 10 hari sekali dengan metode


yang digunakan.kepadatan bioflok dianalisis secara deskriptif(Avnimelech 2009
dalam Untara et al., 2018). Hasil monitoring terhadap produksi bioflok di tambak,
nampak bahwa pada akhir bulan sebetulnya bioflok sudah terbentuk di tambak,
namun ukurannya masih kecil Pada akhir bulan ketiga struktur dan ukuran bioflok
sudahmulai membesar dan banyak dijumpai protozoa yang mengonsumsi bioflok.
Menurut Zhi et al. 2008 dalam Gunarto et al., 2016, komponen alga penyusun
bioflok terdiri atas diatom, klorofita, sianobakteri, dinoflagelata, dan kriptofita
setelah satu bulan pemeliharaan, maka di air tambak mulai ditambahkan molase
sebagai sumber C-karbohidrat dengan tujuan untuk meningkatkan rasio C:N
hingga pada kisaran 12:1. Rasio C:N pakan yang diberikan ke udang dijadikan
dasar berapa seharusnya penambahan molase. Apabila jumlah pakan yang dibe-
rikan pada hari ke-60 sebanyak 20 kg/ petak/hari dengan N pakan = 5,6%; maka
jumlah N sebanyak 1.120 g. C dalam pakan 45%, maka total C dalam pakan =
9.000 g. Dengan demikian rasio C:N dalam pakan = 8,035:1. Maka untuk
menjadikan CN rasio dalam air tambak menjadi 12:1, maka sumber C karbohidrat
yang ditambahkan ke air tambak yaitu sebanyak (N) x (12-8,035) x (100/45) =
1.120 g x 3,964 x 2,2 = 9.767 kg. Selanjutnya apabila jumlah pakan yang
diberikan ke udang telah berubah, maka jumlah molase juga akan berubah dite
tukan oleh jumlah pakan yang diberikan ke udang dan rasio C:N yang diharapkan
di air tambak. Setelah bioflok tumbuh, maka harus diper tahankan kelimpahannya
yaitu dengan carapemberian sumber C karbohidrat tidak rutin dilakukan setiap
hari, tetapi diperlebar selang waktunya menjadi setiap tiga hingga empat hari
sekali. Penambahan air dari tandon ke tambak dilakukan hanya untuk mengganti
air yang hilang akibat rembesan, evaporasi, atau air yang dibuang. Konsentrasi
oksigen terlarut diupayakan selalu di atas 4 mg/L, dengan menambah jumlah
kincir apabila diperlukan dan juga di lakukan perlakuan penambahan probiotik 2
hari sekali setelah pemberian pakan (Untara et al., 2018).

26
Gambar 6. Flok yang diperoleh pada umur pemeliharaan udang 70 hari (A)
dan flok yang diperoleh pada umur 105 hari (B)

2. 5 Pengendalian Hama dan Penyakit

Keberhasilan budidaya udang ditentukan oleh beberapa faktor antara lain


tingkatkesehatan udang. Beberapa kasus menunjukkan bahwa penyakit menjadi
penyebab utama kegagalan budidaya udang. Penyakit telah menyerang udang di
Indonesia dan menyebabkan kerugian yang besar secara ekonomi antara lain
White Spot Syndrome Virus (WSSV), Infectious Myonecrosis Virus (IMNV),
maupun Taura Syndrome Virus (TSV). Salah satu penyebab utama merebaknya
penyakit tersebut adalah terjadinya degradasi lingkungan kolam. Penyakit pada
udang akan muncul jika terjadi interaksi antara kondisi lingkungan yang jelek,
keberadaan patogen, dan kondisi ikan lemah. Menurunnya kualitas lingkungan
akan menyebabkan patogen dan plankton berbahaya (harmful plankton) seperti
Dinoflagellata dan blue green algae (BGA) berkembang dengan pesat. Limbah
organik yang dihasilkan dalam budidaya udang akan mempengaruhi kualitas air
lainnya. Suhu, pH, polutan, salinitas, amoniak,hidrogen sulfida dan oksigen
terlarut selain mempengaruhi populasi patogen dalam kolam juga mempengaruhi
ketahanan udang terhadap infeksi penyakit.

Penyakit pada udang sangat bervariasi baik yang disebabkan karena


virus,bakteri, jamur, protozoa maupun penyakit karena kekurangan nutrisi.
Beberapa penyakit yang sering menyerang udang serta menimbulkan kerugian
yang besar adalah adanya serangan penyakit pada udang yang dipelihara. Para

27
petambak mencegah kemungkinan serangan penyakit ini antara lain dengan selalu
secara periodik membersihkan dasar tambak melalui penyiponan, pemantauan
gerakan udang dan keaktifan udang selama pemeliharaan, terutama saat
pemberian pakan. Kemungkinan penyakit udang yang akan ada antara lain adalah
penyakit bintik putih, penyakit bintik hitam, kotoran putih, insang merah dan
nekrosis.(Utara, 2015)

Penyakit pada udang sangat bervariasi baik yang disebabkan karena virus,
bakteri, jamur, protozoa maupun penyakit karena kekurangan nutrisi. Beberapa
penyakit yang sering menyerang udang serta menimbulkan kerugian yang besar
adalah :

1. White Spot Syndrome Virus

Penyakit White Spot Syndrome Virus (WSSV) sering disebut juga dengan
SEMBV menyebabkan kegagalan utama pada budidaya udang terutama udang
windu di Indonesia. Udang yang terserang penyakit WSSV akan menunjukkan
gejala klinis seperti : berenang di permukaan, kondisi lemah, menempel di
dinding tambak, serta muncul tanda bintik putih pada tubuhnya terutama pada
carapace dan ekor. Kematian udang akan terjadi secara masal dalam waktu 1-3
hari setelah menunjukkan gejala klinis. Udang yang terserang penyakit ini tidak
bisa diselamatkan.Jika udang sudah terinfeksi WSSV dan menunjukkan gejala
klinis serta sudah berukuran konsumsi harus segera dipanen. Penularan penyakit
WSSV dapat melalui : kontak langsung dengan udang lain yang terinfeksi, air
tambak, maupun melaui carrier (udang, kepiting, dll.). Contoh udang yang
terinfeksi White Spot Syndrom Virus .

28
Gambar 7. Udang yang terinfeksi (WSSV)

Penyakit Bintik Putih (White Spot), yang menjadi penyebab sebagian


besar kegagalan budidaya udang. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi virus
SEMBV (Systemic Ectodermal Mesodermal Baculo Virus).Serangannya sangat
cepat, dalam beberapa jam saja seluruh populasi udang dalam satu kolam dapat
mati.Gejalanya : jika udang masih hidup, berenang tidak teratur di permukaan dan
jika menabrak tanggul langsung mati, adanya bintik putih di cangkang (Carapace),
sangat peka terhadap perubahan lingkungan. Virus dapat berkembang biak dan
menyebar lewat inang, yaitu kepiting dan udang liar, terutama udang putih.
Kestabilan ekosistem tambak juga harus dijaga agar udang tidak stress dan daya
tahan tinggi, sehingga walaupun telah terinfeksi virus, udang tetap mampu hidup
sampai cukup besar untuk dipanen (Gunarto at all, 2012).

2. Taura Syndrome Virus

Penyakit Taura Syndrome Virus (TSV) pertama kali ditemukan di sungai


Taura di Ekuador pada tahun 1992 kemudian menyebar secara pesat ke seluruh
Amerika Latin dan Utara dalam tiga tahun (Briggs et al., 2004). Penyakit ini
menyebabkan kematian masal pada udang serta menginfeksi juvenil 0.15 – 5 g
atau udang umur 1 – 45 hari. Gejala klinis udang yang terserang TSV antara lain :
seluruh permukaan tubuh berwarna kemerahan terutama bagian kipas ekor,
saluran pencernaan kosong dan tubuh udang lemah serta kulit udang menjadi
lembek dan mati saat terjadi molting. Penularan penyakit TSV melalui kontak
langsung, air, maupun melaui carrier.

29
3. Infectious Hypodermal and Hematopoietic Necrosis Virus (IHHNV)

Penyakit Infectious Hypodermal dan Hematopoietic Necrosis Virus


(IHHNV) menyerang udang namun tidak menimbulkan kematian. Udang yang
terinfeksi IHHNV menyebabkan pertumbuhan lambat dan variasi ukuran tinggi
yang dapat menyebabkan penurunan produksi udang dan konversi pakan tinggi
(Masithah at all, 2016b).

Gambar.8 Udang yang terserang Virus (IHHNV)

4. Infectious Myo Necrosis Virus Infectious (IMNV)

Myo Necrosis Virus (IMNV) atau sering disebut Mio merupakan penyakit
yang sering menyerang udang putih. Udang yang terserang IMNV akan
mengalami kerusakan jaringan sehingga terjadi perubahan warna tubuh menjadi
putih kapas. Penyakit ini dipicu oleh kondisi lingkungan yang buruk seperti kadar
oksigen rendah dan kepadatan udang terlalu tinggi. Disamping itu Perubahan suhu
dan salinitas diduga sebagai penyebab merebaknya penyakit ini, Udang yang
terinfeksi oksigen rendah dan kepadatan udang terlalu tinggi. Disamping itu
Perubahan suhu dan salinitas diduga sebagai penyebab merebaknya penyakit ini,
udang yang terinfeksi IMNV akan mengalami nafsu makan turun sampai terjadi
kematian secara perlahan-lahan. Kematian udang dapat mencapai 40-70% serta

30
meningkatnya konversi pakan (FCR).Penularan penyakit IMNV dapat terjadi
melalui kanibalisme (udang memakan udang), air tambak, dan penularan vertikal
dari induk (brood stock). Pencegahan penyakit IMNV dapat dilakukan dengan
menggunakan benih SPF (specific pathogen free) dan penerapan biosecurity pada
fasilitas budidaya (Gunarto at all, 2012)

Gambar.9 Udang yang terserang Virus (IMNV)

5. White feces disease

White Feces Disease (WFD) atau kotoran putih merupakan salah satu
penyakit yang sering menyerang udang vaname . Penyakit ini diduga disebabkan
bakteri dari jenis Vibrio, antara lain : Vibrio parahaemolyticus, Vibrio fluvialis,
dan Vibrio alginolyticus serta dari golongan protozoa yaitu gregarins. Vibrio dan
gregarins tersebut banyak ditemui pada saluran pencernaan udang yang terinfeksi
WFD. Gejala yang ditimbulkan dari WFD antara lain : nafsu makan udang turun,
muncul kotoran udang berwarna putih di permukaan air, saluran pencernaan
kosong sampai terjadi kematian di dasar tambak.

31
Gambar.10 Kotoran udang yang terinfeksi (WFD)

Pencegahan dan penanggulangan penyakit penyakit WFD ini dapat


dilakukan dengan beberapa tindakan antara lain : mengurangi kandungan
bahan/limbah organik terutama di dasar kolam serta menekan populasi vibrio dan
protozoa penyebab munculnya WFD. Kandungan limbah organik dapat diatasi
dengan penyiponan dasar tambak, sementara populasi vibrio dan protozoa dapat
ditekan dengan penggunaan probiotik dan bahan herbal yang sudah terbukti
sebagai anti bakteri.

6. Udang Kram (Cramped Shrimp)

Kram pada udang sering dijumpai oleh petambak dengan penyebab yang
belum jelas. Beberapa penelitian menduga kram pada udang terjadi karena
kekurangan mineral (Johnson, 1995). Meskipun sering dijumpai di tambak,
namun penyakit ini bukan masalah yang serius dalam budidaya udang vaname .

32
Gambar 11. Udang Kram

7. Black Gill

Black Gill atau insang hitam sering menyerang udang windu maupun
vaname .Insang udang berwarna hitam. Ada dua tipe black gill pada udang yaitu
(1) terjadi pada saat proses budidaya yang disebabkan oleh organisme penempel
(fouling organism, protozoa dan bakteri yang menempel pada permukaan insang
menyebabkan inflamantasi pada jaringan dan (2) terjadi pada saat proses panen
berlangsung. Black gill yang terjadi pada saat panen disebabkan kondisi udang
yang tidak sehat serta penanganan panen yang buruk. Kondisi ini dapat
menurunkan harga udang di pasaran. Fusarium dan Aspergillus flavus banyak
ditemukan pada insang udang yangterserang black gill. Udang yang terserang
balck gill kan mengalami kesulitan bernafas, nafsu makan turun dan dapat
menyebabkan kematian. Penyebab munculnya penyakit ini diduga karena
beberapa faktor antara lain : kondisi dasar tambak yang kotor, kualitas air yang
jelek, serta over feeding. Metode yang tepat dalam mencegah munculnya black
gill antara lain : persiapan dasar tambak yang baik, manajemen pakan yang tepat,
manajemen kualitas air serta manajemen dasar tambak. Tanah tambak yang
berubah menjadi hitam biasanya mengandung hidrogen sulfida (H2S) memicu
tumbuhnya agen penyakit seperti jamur, protozoa, bakteri dan virus.material
tersebut harus dibersihkan sebelum pengisian air. Pada proses budidaya hindari
pemberian pakan yang berlebih (over feeding) dan lakukan penyiponan secara
rutin unutk membuang limbah yang terakumulasi di dasar tambak.

33
Gambar 12. Udang normal (A) dan terserang black gill (B)

34
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Budidaya udang menggunakan sistem bioflok dapat mengatasi masalah


pada kualitas air dan pakan.

2. Teknologi Bioflok dapat diaplikasikan untuk budidaya udang vaname


menggunakan semua jenis wadah budidaya

3. Teknologi bioflok dan probiotik dapat meningkatkan performa sistem


imun udang.
4. Dengan menggunakan teknologi bioflok dapat mengurangi pemberian
pakan buatan

35
DAFTAR PUSTAKA

Affandi, R. dan U. M. Tang. 2002. Fisiologi Hewan Air.Badan Penerbit


Universitas Riau (Unri Press), Pekanbaru.217 hal

Amir, S., Setyono, B. D. H., Alim, S., & Amin, M. (2018a). Aplikasi teknologi
bioflok pada budidaya 1, 23–25.

Amir, S., Setyono, B. D. H., Alim, S., & Amin, M. (2018b). Aplikasi teknologi
bioflok pada budidaya udang vaname (Litopenaeus vannamei). Prosiding
PKM-CSR ,1, 23–25.

Azhar, F. (2018). Aplikasi Bioflok yang dikombinasikan dengan Probiotik untuk


Pencegahan Infeksi Vibrio parahaemolyticus pada Pemelihaaran Udang
vaname ( Litopenaeus vanamei ) Application of Bioflocs Combined with
Probiotics for Prevention of Vibrio parahaemolyticus Infec. 3(April), 128–
137.
Briggs, M., F.F. Smith, R. Subasinghe, and M. Phillips. 2004. Introduction and
Movement of Penaeus vannamei and Penaeus stylirostris in Asia and The
Pacific. RAP Publication 2004/10.
Bunting, Stuart W and Pretty, Jules. 2007 Aquaculture Development and Global
Carbon Budgets: Emissions, Sequestration and Management Options. Centre
for Environment and Society Occasional Paper 2007-1, University of Essex,
Colchester UK.

Cholik, F. dan R. Arifudin. 1989. Desain, Tata letak, dan Konstruksi Tambak
Udang. Pusat Penelitian danPengembangan Perikanan, Jakarta. 32 pp.
Crab, R., Kochva, M., Verstraete, W., Avnimelech, Y., 2009. Bio-Flocs
Technology Application In Over Wintering Of Tilapia. Aquaculture
Engineering 40, 105–112.
Diana, James S. 2009. Aquaculture Production and Biodiversity Conservation.
BioScience Vol.59 No. 1.
Ekasari, J. (2009). Teknologi Biotlok : Teori dan Aplikasi dalam Perikanan
Budidaya Sistem Intensif Bioflocs Technology : Theory and Application in
Intensive Aquaculture System. Jumal Akuakultur Indonesia, 8(2): 117-126
(2009, 8(2), 117–126.
Gunarto & Hendrajat, E.A. 2008. Budidaya udang vanamei, Litopenaeus vanamei
pola semi intensif dengan aplikasi beberapajenis probiotik komersial.
J.Ris.Akuakultur, 3(3): 339-349.
Gunarto, Hidayat Suryanto Suwoyo, dan B. R. T. (2012). Budidaya udang
vaname pola intensif dengan sistem bioflok di tambak Gunarto,. 393–405.

36
Gunarto, G., Suwoyo, H. S., & Tampangallo, B. R. (2016). Budidaya Udang
Vaname Pola Intensif Dengan Sistem Bioflok Di Tambak. Jurnal Riset
Akuakultur, 7(3), 393. https://doi.org/10.15578/jra.7.3.2012.393-405

Haliman, R.W. dan D.S. Adijaya. 2005. Udang vaname Seri Agribisnis:
Pembudidayaan dan prospek pasar udang putih yang tahan penyakit. Penebar
Swadaya. Jakarta. 74 pp.
Kureshy N. and D. A.Davis, 2002. Protein Requirement for Maintenance and
Maximum Weight Gain for the Pacific White Shrimp, Litopenaeus vannamei.
Aquaculture 204 : 125-143.
Ma’in, Sutrisno Anggoro( Setia Budi Sasongko (2013). Kajian dampak
lingkungan penerapan teknologi bioflok pada kegiatan budidaya udang
dengan metode life cycle assessment hal 1–10.
Masithah, E. D., Dwi, Y., & Manan, A. (2016a). Effect of Different Commercial
Probiotics to the C : N and N : P Ratio of Media Culture Biofloc at Tubs Trial
media kultur bioflok pada bak perco. 5(3), 1–8.
Masithah, E. D., Dwi, Y., & Manan, A. (2016b). Effect of Different Commercial
Probiotics to the C : N and N : P Ratio of Media Culture Biofloc at Tubs Trial
media kultur bioflok pada bak perco. 5(3).
Mustafa, A. (2016). Desain, Tata Letak, Dan Konstruksi Tambak. Media
Akuakultur, 3(2), 166. https://doi.org/10.15578/ma.3.2.2008.166-174
Mook, W.T., Chakrabarti, M.H., Aroua, M.K., Khan, G.M.A., Ali, B.S., Islam,
M.S., Abu Hassan, M.A,. 2012. Removal Of Total Ammonia Nitrogen
(TAN), Nitrate And Total Organic Carbon (TOC) From Aquaculture
Wastewater Using Electrochemical Technology: A Revie w. Desalination
285, 1–13
Mulyono, M dan Lusiana , Br .Ritonga (2019) Kamus aquaculture budidaya
perikanan.STP PRES Jakarta.
Nugraha ,Erick dan Mulyono,M (2017) Laut Sumber Kehidupan.STP PRES
jakarta
Rangka, N. A. dan G. (2012). Pengaruh Penumbuhan Bioflok Pada Budidaya
Udang Vaname Pola Intensif Di Tambak. Jurnal Imiah Perikanan Dan
Kelautan, 4(2), 141–149.

Rosenberry, R. 1989. World Shrimp Farming 1989. Aquaculture Digest, CA., 28


hal.
Soedirman, U. J., & Tengah, J. (2019). Produksi budidaya ikan nila ( Oreochromis
niloticus ) sistem bioflok Program Studi Budidaya Perairan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan , Sektor perikanan budidaya saat ini telah
memberikan kontribusi nyata dalam ketahanan pangan baik dari segi nyata
ad. (April).

37
Subyakto, S., Sutende, D., Afandi, M., & Sofiati. (2009). Budidaya Udang
vaname (Litopanaeus vannmei) Semi intensif Dengan Metode Sirkulasi
Tertutup Untuk Menghindari Serangan Virus. Jurnal Ilmiah Perikanan Dan
Kelautan, 1(2), 121–127.

Suryanto, H., & Mangampa, M. (2008). Aplikasi Probiotik Dengan Konsentrasi


Berbeda Pada Pemeliharaan Udang Vaname ( Litopenaeus vannamei ).
Aplikasi Probiotik Dengan Konsentrasi Berbeda Pada Pemeliharaan Udang
vaname (Litopenaeus vannamei) Abstrak, 239–247.
Untara, L. M., Agus, M., Studi, P., Perairan, B., & Pekalongan, F. P. (2018).
Kajian Tehnik Budidaya Udang vaname ( Litopenaeus vannamei ) Pada
Tambak Busmetik Supm Negeri Tegal Dengan Tambak Tuvami 16
Universitas Pekalongan.17(1), 76–88.
Utara, J. (2015). Adopsi Teknologi Budidaya Udang Secara Intensif Di Kolam
Tambak. 1–9.
Utojo, U., & Tangko, A. M. (2016). Status, Masalah, Dan Alternatif Pemecahan
Masalah Pada Pengembangan Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus
vannamei) Di Sulawesi Selatan. Media Akuakultur, 3(2), 118.
Https://Doi.Org/10.15578/Ma.3.2.2008.118-125

38
39

Anda mungkin juga menyukai