Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

“SAKRAL DAN PROFAN”


(Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kulliah Antropologi Agama)

Dosen pengampu: Dr. Hasbullah S.Ag M.Si

Disusun oleh :
Paruntungan Hasibuan (12030315873
Dinar (12030326398)

STUDI AGAMA-AGAMA
KELAS 3A
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SULTAN SYARIF KASIM
RIAU
2021

i
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang, Puji
syukur kita ucapkan kehadirat-Nya karena dengan Rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-
Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Sakral dan Profan” ini dengan
baik dan tepat pada waktunya. Tak lupa pula kita hadiahkan shalawat serta salam kepada
Nabi junjungan alam Rasulullah Muhammad SAW. Semoga syafaatnya mengalir pada kita
semua di akhirat kelak.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari bapak “Dr.
Hasbullah S.Ag M.Si pada mata kuliah “Antropologi Agama”. Penulis juga mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami dan berguna bagi siapapun yang
membacanya termasuk juga penulis. Penulis menyadari makalah yang ditulis ini masih jauh
dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun akan penulis nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.

Pekan baru, 16 November 2021

ii
Penulis

DAFTAR ISI

Kata pengantar .......... ...........................................................................................................II


Daftar isi ..................................................... .......................................................................III
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang .........................................................................................................IV
B. Rumusan masalah ....................................................................................................IV
C. Tujuan ..................................... .................................................................................V
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sakral dan Profan ....................................................................................V
B. Pengertian Simbol ...................................................................................................VI
C. Hubungan Simbol Dengan Agama............................................................................VII
D. Agama Sebagai Fenomena Simbolik.........................................................................VII
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ..............................................................................................................VIII
B. Saran ........................................................................................................................VIII
DAPTAR PUSTAKA...........................................................................................................IX

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengamalan bersama dalam kepercayaan dan ritus-ritus menunjukan bahwa
hubungan antara anggota-anggota kelompok dengan hal-hal yang sakral dalam
beberapa hal erat sekali hubungannya dengan nilai-nilai moral kelompok tersebut.
Hubungan erat ini kelihatan jelas dalam sikap para anggota kelompok pemeluk agama
tertentu yang memantang makanan tertentu atau tidak menyembelih binatang tertentu.
Pemujaan terhadap lembu adalah nilai keagamaan yang dimiliki bersama oleh seluruh
penganut Hindu. Dengan demikian lembu merupakan sesuatu yang sakral bagi umat
Hindu dan keharusan untuk tidak memakan dagingnya adalah nilai-nilai moral yang
bersumber pada fakta tersebut. Dan hal itu membantu mempersatukan pada pemeluk
agama Hindu serta membedakan mereka dari orang Muslim dan Yahudi yang makan
daging sapi dan tidak makan daging babi. Untuk itu, perlu dicermati konsep Emile
Durkheim tentang agama yang mengklaim bahwa agama adalah “sesuatu yang amat
bersifat moral”. Sumber agama adalah masyarakat itu sendiri yang akan menilai
sesuatu itu bersifat sakral atau profan. Durkheim menemukan karakteristik paling
mendasar dari setiap kepercayaan agama bukanlah terletak pada elemen-elemen
“supernatural”, melainkan terletak pada konsep tentang “yang sakral” (secred),
dimana keduanya yaitu supernatural.
Dapat dipahami yang sakral berkaitan dengan hal-hal yang penuh misteri baik
yang sangat mengagumkan maupun yang sangat menakutkan. Sebab bukan benda-
benda itu sendiri yang merupakan tanda dari yang sakral, tetapi justru berbagai sikap
dan perasaan (manusianya) yang memperkuat kesakralan benda-benda itu. Dengan
demikian kesakralan terwujud karena sikap mental yang didukung oleh perasaan.
Perasaan kagum itu sendiri sebagai emosi sakral yang paling nyata, adalah gabungan
iv
antara pemujaan dan ketakutan. Perasaan kagum itu menyebabkan daya tarik dari rasa
cinta dan penolakan terhadap bahaya. Demikian juga sebaliknya hal-hal yang biasa
tidak mengandung misteri atau mengagumkan di sebut sebagai profan.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas penulis pada makalah ini antara
lain ialah :
1. Bagaimana yang dimaksud dengan Sakral dan Profan ?
2. Apa pengertian Simbol ?
3. Bagaimana hubungan simbol dengan agama ?
4. Kenapa agama dikatakan fenomena simbolik ?
B. Tujuan
Adapun tujuan dari rumusan masalah diatas ialah :
1. Untuk mengetahui makna dari Sakral dan Profan.
2. Untuk mengetahui pengertian simbol.
3. Untuk mengetahui hubungan simbol dengan agama.
4. Untuk mengetahui pengertian fenomena simbolik
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sakral dan Profan
Sakral dan Profan,lazim di jumpai dalam berbagai kajian ilmu sosial, filsafat dan
agama. Secara populer sakral artinya suci,di sucikan atau di anggap suci sedangkan
profan bermakna sebaliknya. Bagi muslim, bangunan kakbah dan batu hitam (hajar
Aswad) yang melekat di tembok kakbah, mekkah, dianggap sakral, suci, bukan
bangunan sembarangan dan bukan sembarang batu. Kakbah itu bahkan disebut
baitullah dan hajar aswad itu simbol kudrat tuhan.
Secara tekstual, baitullah berarti rumah Allah. Apakah berarti rumah milik
Allah,ataukah Allah bertempat di situ? Tentu bukan begitu maknanya. Semua langit
dan bumi seisinya adalah milik Allah. Disitu terkandung konsep sakral,sesuatu yang
dianggap suci. Dan Kakbah memiliki derajat kesucian istimewa karna semua
bangunan masjid juga di sebut bangunan suci. Tempat agama lain seperti gereja juga
di pandang tempat suci. Tempat khusus untuk memuji tuhan.
Contoh lain yang sakral dan yang profan misalnya gerakan salat dan senam.
Keduanya sama-sama gerak tubuh secara teratur dan terstruktur, tetapi senam tubuh
diposisikan sebagai budaya yang bersifat profan. Jadi yang disebut sakral selalu
dikaitkan dengan keyakinan dan ritual keagamaan, sedangkan yang profan masuk
pada kategori kebudayaan. Keduanya secara teori dan konsep bisa dibedakan, tetapi
pada praktik dan kenyataannya sesungguhnya tidak bisa dipisahkan antara yang sakral
dan yang profan, antara agama dan budaya. Bangunan masjid, misalnya, sejak dari
bahan, arsitektur, karpet, menara, dan seluruh wujud fisiknya adalah fenomena
budaya tak ubahnya bangunan rumah. Hanya saja oleh masyarakat disepakati sebagai
masjid, tempat suci, di mana entitas budaya tadi disakralkan sebagai instrumen
keagamaan. Begitu pun bahasa Arab adalah bahasa budaya. Tapi ketika dipinjam atau
v
dipilih Tuhan untuk mewadahi wahyu yang diterima Nabi Muhammad, bahasa Arab
itu lalu disakralkan. Terjadi sakralisasi budaya. Tapi proses sakralisasi ini kadang
melewati batas proporsinya. Misalnya model pakaian budaya Arab yang dikenakan
Nabi juga oleh sebagian orang disakralkan, dianggap sebagai pakaian keagamaan.
Mengenakan gamis model Arab diidentikkan dengan mengikuti sunah Rasulullah,
padahal sejatinya adalah fenomena budaya, bukan agama. Wilayah profan, bukan
sakral. Dulu orang-orang kafir yang memusuhi Rasulullah juga sama pakaiannya. Jadi
bagi mereka yang menganut paham sekularisme, semua yang ada ini profan, sekuler,
duniawi, tak ada kualitas ilahi di dalamnya. Tapi ada pula yang membedakan antara
entitas sakral, yang suci atau disucikan, dan entitas yang duniawi, sekuler, yang
masuk ranah budaya. Makanya ada ungkapan, yang agama jangan dibudayakan, yang
budaya jangan diagamakan. Lebih ekstrem lagi, sesungguhnya yang suci secara
absolut itu hanyalah Allah semata. Selain Allah dianggap suci atau disucikan karena
menjadi instrumen dalam peribadatan untuk memuji dan menyucikan Allah. Meski
begitu, jika ditarik pada tataran kesadaran dan perilaku batin orang beriman, semua
tindakan yang diniati sebagai sujud dan berserah diri kepada Tuhan adalah suci.
Bekerja mencari rezeki (uang) juga tindakan sakral karena menjalankan perintah
Tuhan. Apa pun kegiatannya yang dimaksudkan dan diarahkan sebagai amal saleh
adalah suci, sebagai ibadah, tidak semata salat.
B. Pengertian Simbol
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, simbol diartikan sebagai lambang ,
sedangkan simbolesme diartikan dengan prihal pemakaian simbol (lambang)  untuk
mengekspresikan ede-ede (masalah sastra dan seni). secara termenologis,
sebagaimana dikatakan oleh leach, simbol merupakan penyampaian makna dan
sebuah kombinasi. Leach berpegangan bahwa “kode-kode” dalam berbagai budaya
nempunyai potensi  untuk mentransformasikan kode-kode lainnya, menunjukan pesan
yang sama agar dapat menguraikan  pesan dari bentuk bentuk budaya dan menetapkan
apa makna yang terbuat dalam adat kebiasaan. Berbeda dengan leach,
caisier  memandang bahwa antara tanda dan simbol memiliki dua dunia  wacana yang
berbeda. Tanda terdapat dalam dunia yang bersifat fisik ia sebagai “operator” yang di
dalam nya terdapat hubungan “enterinsik” atau “natural” antara tanda dan apa yang
ditandai ‘ simbol merupakan “artifisial”,”penunjuk” dan termasuk dalam makna mana
manusia. Dalam pengertian ini, pengetahuan manusia pada dasar-nya simbolik.
Penting di perhatikan dalam pernyataan leach adalah gagasan bahwa simbolik tidak
dapat di pahami secara terpisah dan tidak ada simbolk universal,meskipun ada
beberpa tema simbolik umum. Setiap simbolik punya potensi poliseme.ia memiliki
makna hanya ketika di pertentangkan engan simbol-simbol lainny sebagai bagian dari
suatu ketuhanan.
Dalam setiap upacar yang di selengarakan , akan tampak adanya sesuatu yang
memberi di anggap sakral, suci atau sacred, yang berbeda dengan yang alami, empiris
atau yang propan ,dalam sestem keyakinan mereka bahwa pemberian pada kekuatan
ghoib berbeda dengan pemberian terhadap yang lain. jadi mereka tidak asal tetapi
berangkap dari sestem kognitif yang telah di peroleh dari para pendahulunya. Saya
kira dalam kehidupan bermasyarakat beragama , makna simbol-simbol agama yang di
vi
gunakan dalam kehidupan dan tradisi masyarakat tidak selalu sama dengan apa yang
dimaksud oleh agamanya, sebab penggunaan simbol hanya merupakan klaim dan
dakwaan yang tidak seluhur apa yang di maksud agamanya. Penggunaan simbol-
simbol dalam sebuah tradisi tak jarang menghipnotis masyarakat yang tidak
menyadari dan memahami makna dari simbol yang digunakan nya. Dengan
pandangan tersebut, saya stuju dengan levi-stauss yang berpandangan bahwa
diseluruh dunia manusia menghadapi masalah intlektual berupa kontraksi dalam
eksestensinya , seperti masalah hidup dan mati,sifat ganda,dikotomi jiwa dan raga ,
dan kontradiksi yang meliputi keturunannya. Begitupun mitos juga di gunakan terus
menerus untuk mengolah kontrdiksi dengan mengaturnya dalam simbol.
C. Hubungan Simbol dan Agama
Agama sebagai sebuah institusi sistem kepercayaan yang mengandung
keyakinan serta imajinasi manusia tentang keberadaan yang gaib, yaitu tentang
hakikat hidup dan maut dan tentang wujud dewa-dewa dan makhluk halus lainnya
yang mendiami alam gaib. Keyakinan-keyakinan seperti itu biasanya diajarkan
kepada manusia dari kitab-kitab suci agama yang bersangkutan atau dari mitologi dan
dongeng-dongeng suci yang hidup dalam masyarakat. Sistem kepercayaan sangat erat
hubungannya dengan sistem upacara-upacara keagamaan dan menentukan tata cara
dari unsur-unsur, acara, serta keyakinan alat-alat yang dipakai dalam sebuah upacara.
Tujuan sistem upacara keagamaan adalah untuk digunakan sebagai media
hubungan manusia dengan Tuhan, dewa-dewa atau mahkluk halus yang mendiami
alam gaib. Sistem upacara keagamaan ini melambangkan konsep-konsep yang
terkandung dalam sistem kepercayaan. Seluruh sistem upacara keagamaan terdiri dari
aneka macam upacara. yang terdiri dari kombinasi berbagai macam unsur upacara,
misalnya berdo’a, bersujud, sesaji, berkurban, dan sebagainya.
Kedudukan simbol dalam agama sebagaimana dapat dilihat dalam kegiatan
atau upacara keagamaan. Tindakan simbolis dalam upacara keagamaan merupakan
bagian sangat penting karena tindakan simbolis ini melambangkan komunikasi
manusia dengan Tuhan. Simbolisme dalam agama dapat dilihat pada segala bentuk
upacara keagamaan dalam bentuk-bentuk kisah nabi, mulai dari Nabi Adam as sampai
dengan nabi Muhammad SAW.
Cara-cara berdo’a manusia dari dulu dampai sekarang selalu diikuti dengan
tingkah laku simbolis, misalnya mengucapkan do’a sambil menengadahkan kedua
telapak tangan dan seraya mendongakkan kepala ke atas, seolah siap menerima
sesuatu dariTuhan.
Dalam hal inilah persepsi tentang penggunaan simbol menjadi sebagai salah
satu ciri signifikan manusia yang akan menjadi sasaran penting dalam sosioligi dan
disiplin lainnya.Dalam dunia antropologi, istilah simbol sudah semenjak lama
dinyatakan baik secara ekpresif implicit. Edward tylor, perintis antropologi pada abad
ke-19, misalnya menilis kekuatan penggunaan kata-kata sebagai tanda untuk
mengekspresikan pikiran, yang dengan ekspresi itu bunyi tidak secara langsung
menghubungkannya, sebenarnya sebagai simbol-simbol arbiter, adalah tingkat
kemampuan khusus manusia yang tertinggi dalam bahasa yang keadirannya mengikat
bersama semua ras manusia dalam kesatuan mental.
vii
D. Agama Sebagai Fenomena Simbolik
Berbagai fenomena simbolik yang lahir dari sebuah kepercayaan, dari
berbagai ritual dan etika agama merupakan ungkapan simbolis yang bermakna agama.
Pada aspek kepercayaan symbol menetapkan tanda realitastransenden didalam
hubungan dengan kebenaran (wujud)-Nya Yang kudus, sehingga manusia dapat
sampai pada pengenalan yang kudus dan trasenden. Dan fenomena yang kultus
terdapat didalam agama-agama, adalah salah satu bentuk interpretative dari sebuah
kepercayaan atau keyakinan agama yangdi repleksikan dalam berbagai bentuk
persembahan dan pemujaan. Apabila dalam islam system kepercayaan berintikan
kepada pemujaan zat yang maha Esa(tauhid) sebagai simbolis Tuhan Allah yang
disembah, maka dalam agama lain pun juga demikian.
Contohnya dalam simbol adalah Bulan dan bintang, Simbol ini secara
realitasnya koheren dengan Islam, bulan bintang adalah simbolisme dari nabi atau
rasul, yang melambangkan hati yang peka. Nabi dan rasul sebagai penghambar,
sebagai atasan, penterjemah bahasa Ilahiyah dan lain-lain, tidak mungkin ia jalankan
secara kekerasan kecuali dengan hati yang terbuka, sehingga mereka di simbolkan
dengan orang yang terpilih seperti bulan. Bulan sabit dikaitkan dengan hati, berarti
hati yang responsive terhadap cahaya Ilahi, cahaya Ilahi sendiri di simbolkan dengan
bintang segi lima. Di sebutkan dengan bintang segi lima karena ketika cahaya itu
terang ia mempunyai segi lima, ketika di pantulkan menjadi segi empat. Pada
pembentukan pertama memberi makna pencipta sedangkan bentuk yang lainnya
membri makna ketiadaan. Sebagai wujud alami manusia yang di mulai dari ada ke
tiada.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara populer sakral artinya suci,di sucikan atau di anggap suci
sedangkan profan bermakna sebaliknya. Bagi muslim, bangunan kakbah dan batu
hitam (hajar Aswad) yang melekat di tembok kakbah, mekkah, dianggap sakral, suci,
bukan bangunan sembarangan dan bukan sembarang batu. Kakbah itu bahkan disebut
baitullah dan hajar aswad itu simbol kudrat tuhan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, simbol diartikan sebagai
lambang , sedangkan simbolesme diartikan dengan prihal pemakaian simbol
(lambang)  untuk mengekspresikan ede-ede (masalah sastra dan seni). secara
termenologis, sebagaimana dikatakan oleh leach, simbol merupakan penyampaian
makna dan sebuah kombinasi.
Agama sebagai sebuah institusi sistem kepercayaan yang mengandung
keyakinan serta imajinasi manusia tentang keberadaan yang gaib, yaitu tentang
hakikat hidup dan maut dan tentang wujud dewa-dewa dan makhluk halus lainnya
yang mendiami alam gaib. Keyakinan-keyakinan seperti itu biasanya diajarkan

viii
kepada manusia dari kitab-kitab suci agama yang bersangkutan atau dari mitologi dan
dongeng-dongeng suci yang hidup dalam masyarakat.
Pada aspek kepercayaan symbol menetapkan tanda realitastransenden
didalam hubungan dengan kebenaran (wujud)-Nya Yang kudus, sehingga manusia
dapat sampai pada pengenalan yang kudus dan trasenden. Dan fenomena yang kultus
terdapat didalam agama-agama, adalah salah satu bentuk interpretative dari sebuah
kepercayaan atau keyakinan agama yangdi repleksikan dalam berbagai bentuk
persembahan dan pemujaan.
B. Saran
Pentingnya pengetahuan tesakral dan profan dalam kehidupan kita sehari-
hari, Karena mempelajari sakral dan profan kita bisa tahu mana yang layak dikatakan
tempat suci dan mana yang tidak layak dikatakan tempat suci.
Dengan kerendahan hati penulis, Penulis merasa tulisan makalah ini
masih jauh dari kata sempurna, Kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca sangat
dibutuhkan untuk membantu makalah ini melangkah menuju makalah yang sempurna.

DAFTAR PUSTAKA
Hakim El Taufiq. Bercinta di Antara Ruang Sakral dan Profan. Jakarta.2003, mitra
pustaka
https://myrepro.wordpress.com/2015/11/09/simbol-dan-agama
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,Kamus Bahasa
Indonesia.Jakarta.1998. Balai Pustaka
Brian Moris, Ntropologi Agama. Yogyakarta, 2003. AK Group

ix

Anda mungkin juga menyukai