Anda di halaman 1dari 13

(Dimuat dalam Prosiding Seminar Keindonesiaan II – Universitas

PGRI Semarang 2017)

PENDIDIKAN NILAI GOTONG-ROYONG


SEBAGAI STRATEGI KETAHANAN NASIONAL
Dr. Agustinus Wisnu Dewantara, S.S., M.Hum
STKIP Widya Yuwana Madiun
dewacm@yahoo.com

Abstrak
Soekarno pernah mengusulkan Pancasila sebagai dasar negara Soekarno bahkan
merangkum Pancasila dalam satu nilai: “gotong-royong” atau yang disebutnya sebagai Ekasila.
Keanekaragaman menjadi modal dan potensi yang luar biasa untuk kemajuan bersama jika
dikelola dalam semangat gotong-royong, akan tetapi yang mengemuka dewasa ini justru konflik
bernuansa SARA yang bisa menghantam ketahanan nasional. Di titik ini diperlukan suatu
pendalaman akan pentingnya gotong-royong sebagai nilai bersama.
Nilai gotong-royong memerlukan jembatan untuk tampil lewat pendidikan nilai.
Pendidikan gotong-royong bisa ditampilkan dalam bentuk pengetahuan kognitif, tetapi yang jauh
lebih penting dari itu adalah bagaimana gotong-royong sungguh menjadi etos dan praktek
bersama dari sebuah bangsa. Nilai gotong-royong merupakan kenyataan objektif dari sejarah
bangsa Indonesia yang ditemukan Soekarno, maka pendidikan gotong-royong dengan demikian
harus membuka ruang bagi siapa saja untuk mengembangkan kemampuannya dalam rangka
menemukan nilai itu. Pendidikan nilai gotong-royong menjadi semakin efektif bila diuji dengan
pengalaman konkret segenap manusia Indonesia yang hidup berdampingan dengan aneka
perbedaan, akrab dengan bencana yang kerap secara spontan memunculkan semangat untuk
bahu-membahu, dan biasa diuji dengan peristiwa politik (baik itu Pilpres, Pilkada, bahkan
Pilkades) yang kadang-kadang menjadi biang pertentangan masyarakat.
Model penelitian yang akan digunakan dalam menggali tema ini ialah penelitian
kualitatif bidang filsafat. Penelitian ini menggunakan metode analisis hermeneutika. Nilai gotong-
royong akan dikaji dalam perspektif teori nilai Max Scheler, sehingga ditemukan maknanya bagi
Indonesia dewasa ini. Peneliti menjadi instumen utama dalam penemuan makna seperti ini.
Konsep gotong-royonglah yang memungkinkan semua unsur yang berbhinneka di tanah
air Indonesia diakui keberadaannya. Konsep gotong-royong pulalah yang membuat pluralisme
mekar dengan subur. Gotong-royong memiliki dimensi kemanusiaan yang justru bisa menjadi
pengikat kebersamaan. Bangsa ini harus meminati nilai gotong-royong lewat pendidikan
kegotong-royongan, dan mewujudkan diri sebagai bangsa yang utama dalam menghadapi
tantangan yang hendak merongrong ketahanan nasional.

Kata kunci : gotong-royong, pendidikan, nilai

1. PENDAHULUAN
Indonesia diwarnai oleh kemajemukan di segala bidang. Tilaar (2004:114)
mengatakan bahwa ada enam ratus suku bangsa yang hidup dan mendiami
wilayah Indonesia. Letak Indonesia yang strategis membuat banyak agama dan
kepercayaan masuk sejak berabad-abad yang lampau. Kemajemukan bangsa
seharusnya menjadi modal dan potensi yang luar biasa bagi kemajuan bersama,
akan tetapi dewasa ini mengemuka justru aneka fenomena yang merongrong
ketahanan bangsa (Wahyono, 2006:17-18). Sutarto (2004:163) merangkum semua

1
permasalahan di atas dengan mengatakan bahwa bangsa Indonesia saat ini
mengalami dua macam ancaman, yakni: ancaman dari luar berupa globalisasi, dan
ancaman dari dalam berupa krisis pemaknaan terhadap nilai-nilai khas Indonesia
itu sendiri, yaitu nilai gotong-royong. Semua hal itu bisa berimplikasi dalam
membangun ketahanan nasional sebagai sebuah bangsa.
Semua hal di atas mendorong peneliti untuk meneropong apakah nilai
gotong-royong (Ekasila) yang dahulu didengungkan oleh Soekarno sebagai
perasan dari Pancasila bisa menjadi nilai pijakan (core value) dalam rangka
membangun ketahanan nasional. Nilai gotong-royong juga harus bisa
dipertanggungjwabkan secara objektif dalam perspektif teori nilai Max Scheler
serta tahan uji menghadapi tantangan zaman ini dalam bingkai keindonesiaan.
Pendekatan Max Scheler diperlukan untuk meneropong segi aksiologis dari nilai
gotong-royong ini.

2. ANALISIS/PEMBAHASAN
2.1. NILAI GOTONG-ROYONG
Negara Indonesia hendak didirikan di atas dasar nilai khas Indonesia.
Soekarno tidak mengimpor paham asing dan mengendaki agar Indonesia didirikan
buat semua warga serta dimiliki oleh semua warga Indonesia ketika mengusulkan
Pancasila. Negara gotong-royong dengan demikian ialah negara yang
dipondasikan atas semangat kerjasama dan saling bantu khas Indonesia. Gotong-
royong bagi Soekarno menjadi saripati, ringkasan, dan jiwa Pancasila itu sendiri
(Darmaputera, 1989: 132).
Gotong-royong bukan istilah yang asing bagi masyarakat Indonesia.
Koentjaraningrat (1974:61) mengatakan bahwa sebenarnya kata “gotong-royong”
tidak ditemukan dalam kesusasteraan Jawa Kuno, prasasti masa lalu, dan sejarah
kebudayaan suku bangsa lainnya di Indonesia. Lebih lanjut Koentjaraningrat
(1974:56) menjelaskan bahwa meskipun istilah gotong-royong adalah istilah yang
relatif baru, namun sebenarnya hakikat dari konsep gotong-royong telah berakar
cukup lama dalam kehidupan masyarakat di pedesaan Indonesia, terutama di
pedesaan Jawa. Sejak ratusan tahun lalu masyarakat pedesaan di Jawa mengenal
berbagai istilah yang mengacu kepada prinsip gotong-royong ini.
Kata “gotong royong” terutama mulai dikenal pada masa pendudukan
Jepang, yaitu ketika Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) pertama kali mengunakan istilah tersebut (Koentjaraningrat,
1974:61). Gotong-royong menjadi istilah yang populer ketika Soekarno
memperkenalkannya sebagai nilai khas Indonesia yang harus menjadi jiwa dan
mendasari kehidupan bermasyarakat dan bernegara, bahkan pada masa Soekarno
ada kabinet pemerintahan yang diberi nama Kabinet Gotong Royong.
Koentjaraningrat (1974:60) mendefinisikan gotong-royong sebagai
pengerahan tenaga manusia tanpa bayaran untuk suatu proyek atau pekerjaan yang

2
bermanfaat bagi umum atau yang berguna bagi pembangunan. Kehidupan gotong-
royong banyak ditemukan pada masyarakat yang berakar pada tradisi pertanian
pedesaan atau agraris. Tradisi pertanian mengharuskan masyarakat petani untuk
saling bekerja sama sejak mulai menyemai bibit, menanam, merawat, hingga
memanennya. Gotong royong menjadi cara hidup dalam masyarakat agraris yang
berbentuk paguyuban, atau dalam istilah Tonnies disebut dengan gemeinschaft
(Soekanto, 1982: 116).
Bintarto (1980:11) mengatakan bahwa gotong royong merupakan perilaku
sosial yang konkrit. Prinsip tersebut dalam istilah Scott disebut sebagai prinsip
moral timbal balik antarindividu yang tidak dilandasi oleh uang dan materi,
melainkan pada harapan untuk memperoleh pertolongan balik di saat kelak
mereka memerlukannya (Scott, 1988:255). Prinsip ini menurut Scott dilandasi
sebuah gagasan yang sederhana, yakni semua orang harus membantu mereka yang
pernah membantunya (Scott, 1988:255). Lebih lanjut Scott (1988:255)
mengemukakan bahwa prinsip moral resiprositas dalam masyarakat pedesaan
Jawa inilah yang disebut dengan gotong royong. Geertz (1983:154) dalam The
Javanese Family mengatakan bahwa nilai gotong-royong dalam masyarakat Jawa
dipengaruhi oleh dua nilai besar yang menjadi jiwa dalam kehidupan
kesehariannya, yaitu nilai “urmat” (hormat) dan “rukun”. Nilai “urmat” dan
“rukun” inilah yang akhirnya membentuk manusia Jawa sebagai pribadi yang
mengutamakan harmoni, keselarasan sosial, serta menghindari konflik.
Kata “gotong-royong” bernuansa budaya Jawa, akan tetapi praktek hidup
masyarakat yang diresapi oleh semangat kerjasama ini terdapat pula di berbagai
tempat di Indonesia. Masyarakat Aceh mengenal nilai gotong royong yang
terwujud dalam tradisi “khanduri,” yaitu ritual yang dilakukan secara kolektif
untuk memohon berkah, keselamatan, serta mengucap syukur kepada Tuhan
(Prasetyo, 2009:83). Masyarakat Bali melakukan aktivitas gotong-royong dalam
berbagai upacara keagamaan dan subak (Bintarto, 1980:15). Subak merupakan
lembaga tradisional yang memiliki fungsi untuk mempersatukan para petani
dalam upaya mengurus pengairan sawah dan memanfaatkannya secara bersama-
sama. Bintarto (1980:16) juga mengatakan bahwa tradisi gotong royong terdapat
pula pada masyarakat Dayak di Kalimantan ketika mereka membuka ladang.
Gotong royong juga dapat ditemukan dalam tradisi masyarakat Bugis di Sulawesi
Selatan dalam sebuah pranata sosial yang disebut sebagai minawang (Ahimsa,
2007:2). Aneka praktik kebersamaan (dengan berbagai nama yang berbeda) di
berbagai lapisan tersebut memberi ciri khas tertentu pada masyakat Indonesia.
Masyarakat Indonesia ternyata dijiwai oleh nilai kegotong-royongan.
Pendalaman akan nilai gotong-royong, sebagaimana dikatakan Sudjito
berikut ini, amat diperlukan bagi pemekaran semangat nasionalisme di tengah
pluralitas Indonesia:

3
“Gotong-royong mengandaikan leburnya benteng ego personal ke
dalam ego kolektif untuk saling menopang demi kemajuan
bangsa…. Para founding fathers meletakkannya sebagai prinsip
nilai bangsa yang tidak lagi bisa ditawar… Karena itu sudah
saatnya kita kembali menyemai nilai gotong-royong untuk
menjawab ancaman yang dapat meruntuhkan pondasi berbangsa
kita (Sudjito, 2014:4).”

2.2. NILAI MENURUT MAX SCHELER


Max Scheler mengatakan bahwa nilai merupakan suatu kenyataan yang
tersembunyi di balik fakta dan kenyataan-kenyataan lain (Scheler, 1973:12).
Kenyataan-kenyataan lain menurut Scheler merupakan pembawa nilai,
sebagaimana suatu benda bisa menjadi pembawa nilai merah, indah, dan nilai
lainnya. Ada hubungan antara nilai dan pembawanya:
There exist a priori interconnections between values and their
bearers…. First, all aesthetic values are in essence values of
object. Second, they are values of objects whose posited reality
(of any form) has been suspended; such objects are there as
‘appeareance,’ even if the reality-phenomenon is a partial
content of the given ‘picturelike’ appearing object, as is the
case in a historical drama. Third, they are values of object
because of their ‘instituted picturelike’ (in contrast to merely
‘thougt’ objects” (Scheler 1973: 85-86).

Nilai memang harus dicari dibalik kenyataan-kenyataan yang lain yang


selalu berubah, namun demikian aneka nilai yang ada bukanlah ciptaan manusia.
Scheler selanjutnya mengatakan bahwa penangkapan akan nilai terjadi secara
intuitif:
“The values itself always must be intuitively given or must refer
back to that kind of givenness. Just as it is senseless to ask for the
common properties of all blue or red things, since they have noting
in common except their blueness or redness, so it is senseless to
ask for the common properties of good or evil deeds, moral tenors,
men, etc” (Scheler, 1973: 14-15).

Max Scheler berpendapat bahwa nilai sungguh merupakan kenyataan yang


benar-benar ada, dan bukan hanya “dianggap ada.” Ada dunia nilai yang amat
kaya yang tersembunyi di balik dunia yang tampak ini. Nilai merupakan suatu
kualitas apriori yang tidak tergantung kepada pembawanya. Nilai dengan
demikian tidak mengalami perubahan, tetap, dan tidak bersifat relatif.
Scheler menolak semua argumentasi mengenai relativisme nilai. Nilai
tidak bergantung pada pemahaman subjek, bahkan keberadaan nilai tidak
bergantung sama sekali pada kemampuan manusia untuk merasakan dan

4
menangkapnya. Scheler juga menolak relativisme historis yang mengatakan
bahwa nilai bergantung kepada sejarah dan perkembangan zaman. Nilai, bagi
Scheler, harus dimengerti sebagai hal yang absolut dan tidak bergantung kepada
aneka pembawanya, seperti: zaman, orang, benda, perasaan subjektif, perasaan,
dan pelbagai pengalaman indrawi.
Manusia memahami nilai dengan hatinya, dan bukan dengan akal budinya
(Scheler, 1973:98-99). Benar bahwa konsep mengenai nilai dibentuk oleh pikiran
yang didapat melalui pengalaman fenomenologis (bukan hasil pengindraan), tetapi
pengalaman akan nilai bukan lagi soal pikiran. Konsep tentang nilai adalah hal
yang berbeda dengan nilai itu sendiri. Scheler dengan demikian membedakan
antara konsep tentang nilai dan nilai itu sendiri, misalnya: seorang anak yang
belum memiliki konsep keadilan bisa saja merasakan nilai keadilan yang
dilakukan oleh orang tuanya.
Nilai dan objek bernilai, menurut Scheler, juga harus dibedakan.
Penyamaan antara nilai dan objek bernilai terjadi dalam pemikiran Immanuel
Kant. Objek bernilai bagi Scheler adalah pengemban/pembawa nilai, sedangkan
nilai adalah kualitas yang bisa terwujud dalam objek tersebut dan juga tidak
identik dengan benda tersebut (Scheler 1973:100). Suseno (2014:16) menulis
bahwa penyamaan antara keduanya akan menimbulkan kerancuan pemikiran
ketika berbicara mengenai kualitas dari nilai.
“Seperti warna merah selalu muncul pada sebuah realitas
berwarna: ada dinding merah, baju merah, dan sebagainya, begitu
pula nilai nilai selalu muncul pada suatu benda, perbuatan, atau
orang. Ada makanan enak, perasaan sehat, tindakan benar, orang
jujur, atau tempat kudus. Wahana nilai: makanan, perasaan, orang,
tempat: bersifat aposteriori, yakni bisa ada, bisa juga tidak ada;
maka hanya pengalaman dapat mengajar apakah sebuah nilai
terealisasi dalam dunia atau tidak. Tetapi kebernilaian nilai itu
sendiri mendahului segala pengalaman. Apakah makanan tertentu
enak atau tidak, harus kita coba dulu. Tetapi bahwa “yang enak”
merupakan sesuatu yang positif, sebuah nilai, dan bahwa yang
bernilai adalah “yang enak” atau bukan “yang tak enak” itu tidak
perlu kita coba dulu. Begitu pula dengan apakah ada orang jujur,
hanya kita ketahui dari pengalaman. Tetapi bahwa kejujuran itu
sendiri merupakan sebuah nilai, kita ketahui secara langsung
begitu kita menyadari apa itu kejujuran (Suseno, 2014:16-17).”

Scheler berpendapat bahwa kualitas nilai tidak akan berubah ketika objek
yang mengembannya berubah. Nilai baru menjadi nyata bila terwujud dalam
objek yang bernilai. Nilai menjadi nyata dan sekaligus objektif dalam suatu objek
yang bernilai.

5
2.3. NILAI GOTONG-ROYONG DALAM PERSPEKTIF MAX SCHELER
Alur pikir Scheler dalam hal ini mengatakan bahwa penemuan nilai
gotong-royong bukan hasil reaksi psikis atau psikofisik Soekarno, dan bukan pula
hasil perasaan subjektif Soekarno. Nilai kegotong-royongan ada bahkan tanpa
Soekarno berpidato tentangnya, dan melekat pada manusia Indonesia. Scheler
menolak imanensi hakikat pada subjek. Hakikat itu disajikan dan diberikan dari
luar subjek, merupakan realitas otonom, yang tidak diasalkan dari aktivitas
subjek. Hakikat nilai dengan demikian tidak bergantung pada subjek. Nilai
gotong-royong dengan demikian dihayati secara objektif oleh bangsa ini, ada
secara apriori, bukan buatan subjektif Soekarno, bahkan bukan pula aktivitas
subjektif Soekarno.
Scheler mengatakan bahwa nilai-nilai bukanlah ciptaan manusia, dan tugas
manusia hanyalah menemukan nilai tersebut. Argumentasi Scheler ini membawa
kepada pemahaman bahwa Pancasila tidak diciptakan oleh Soekarno dan para
pendiri negara. Soekarno, dalam bahasa Scheler, hanya menemukan nilai-nilai
Pancasila dan gotong-royong yang telah dihayati sekian lama di bumi Indonesia.
Soekarno hanya menggali dan mensistematisasinya. Soekarno dengan demikian
bukanlah pencipta nilai gotong-royong ketika mengumandangkan Negara
Indonesia sebagai negara gotong-royong.
Scheler berpendapat bahwa nilai adalah suatu kualitas yang tidak
tergantung kepada pembawanya. Kualitas suatu nilai tidak akan berubah jika
pembawanya berubah, dan juga tidak rusak ketika pembawanya dihancurkan.
Nilai gotong-royong, sebagai suatu kualitas, juga tidak tergantung kepada
pembawanya, yakni segenap manusia Indonesia. Jika sekarang dan suatu saat
nanti yang ada di bumi Indonesia ini adalah manusia-manusia yang makin
individual, hal itu tidak membuat nilai gotong-royong berubah kualitasnya.
Gotong-royong tetaplah bernilai bahkan jika suatu saat nanti tidak ada lagi
manusia di bumi Indonesia.
Bagaimana teori Scheler dapat menjawab persoalan krisis kegotong-
royongan dewasa ini? Kalaupun nilai gotong-royong itu ada, lalu mengapa
dewasa ini seakan-akan nilai ini hilang? Apakah gotong-royong ternyata tunduk
pada zaman (seolah-olah pada zaman dahulu nilai ini dijunjung begitu agung dan
kini sudah layaknya dimuseumkan karena ketinggalan zaman)? Scheler
berpendapat bahwa nilai merupakan kualitas yang tidak bergantung kepada hal
apapun, tidak berubah seiring perubahan barang, bukan sesuatu yang relatif,
bersifat absolut, dan tidak bergantung kepada zaman.
Nilai gotong-royong dengan demikian sama tingginya baik pada zaman
dulu maupun sekarang dan tidak bergantung kepada siapa manusia yang
menghayatinya. Dunia memang terus berubah dan sejarah dunia terus bergulir,
tetapi bagi Scheler suatu nilai tidak berubah seturut perubahan zaman. Tendensi

6
dewasa ini memudarkan nilai gotong-royong (terutama di kota-kota besar), akan
tetapi dalam kacamata Scheler yang terjadi sebenarnya nilai kegotong-royongan
tetap agung, karena keagungannya tidak digantungkan kepada situasi, tempat,
orang, dan zaman tertentu.
Scheler mengatakan bahwa nilai tersembunyi di balik kenyataan lain,
karena nilai itu ada jika ada yang membawa atau mengembannya. Bagaimana hal
ini diterapkan kepada nilai-nilai Pancasila dan kegotong-royongan itu sendiri?
Nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan yang
disaripatikan ke dalam nilai gotong-royong dengan demikian juga tersembunyi di
balik kenyataan lain. Manusia Indonesia ternyata tidak bisa menemukan nilai
gotong-royong pada dirinya sendiri. Nilai gotong-royong dengan demikian harus
dicari pada kenyataan-kenyataan lain dalam praktek hidup bangsa Indonesia yang
mengemban nilai ini (baik itu di masa lampau, masa kini, maupun masa
mendatang). Nilai gotong-royong hadir ketika segenap warga bangsa bekerja
bersama mewujudkan keadilan, bersatu, menghargai kemanusiaan manusia lain,
bermusyawarah demi mencapai mufakat, dan menyadari relasinya dengan Tuhan
dan sesama. Pancasila dan nilai gotong-royong menjadi bernilai jika itu semua
tidak berhenti sebatas rumusan dan pidato Soekarno, melainkan diemban oleh
segenap manusia Indonesia dalam pratek hidupnya yang baik.
Penjelasan tersebut mengundang bahaya karena bisa saja orang
berpendapat bahwa nilai gotong-royong tidak sungguh-sungguh ada. Alur pikir
Scheler memberi pondasi berpikir bahwa nilai gotong-royong benar-benar ada
meskipun membutuhkan pengemban bagi realisasinya. Nilai gotong-royong hanya
bisa ditemukan di balik kenyataan lain dan tidak berubah seturut zaman.
Penjelasan ini membawa konsekuensi kepada penerimaan realisasi kegotong-
royongan di berbagai tempat dan manusia. Pancasila dan nilai kegotong-
royongannya memang khas Indonesia dan diakui sebagai nilai-nilai fundamental
bangsa, meskipun tidak selalu dapat diwujudkan secara serupa oleh berbagai
kelompok dan di setiap tahap sejarah bangsa. Alur pikir Max Scheler membuka
kemungkinan seluas-luasnya bagi pelaksanaan nilai gotong-royong di masa depan
yang mungkin lain sama sekali dari praktek dahulu dan sekarang, karena yang
terpenting adalah nilai gotong-royong bersifat absolut dan dijunjung tinggi di
setiap zaman.
Scheler berpendapat bahwa manusia memahami nilai dengan hatinya.
Keterbukaan hati membuat manusia mampu menangkap nilai, hingga akhirnya
manusia mampu mengalami dan mewujudkan nilai itu. Nilai gotong-royong
dengan demikian ditangkap dan dialami oleh bangsa Indonesia dengan hati,
artinya: bangsa ini sudah sejak dulu kala (meski dengan budi yang belum terasah
dan belum mengecap pendidikan sampai ke tingkat yang tinggi) sudah
menghayati nilai gotong-royong dengan kedalaman hatinya. Soekarno pun dengan

7
demikian menangkapnya dengan hati dan kemudian menyistematisasikannya
secara runtut dan logis dalam pidatonya. Pendidikan mengenai nilai kegotong-
royongan dalam alur pikir Scheler akan menjadi efektif jika melibatkan hati
daripada sekedar rasio belaka.
Scheler berpendapat bahwa hanya manusia yang membawa sifat baik dan
buruk. Perbuatan dikatakan baik atau buruk karena dihubungkan dengan manusia,
dan demikian pula dengan suatu kelompok bangsa menjadi bernilai atau tidak
karena di dalamnya terdapat manusia. Nilai yang dijunjung bersama oleh suatu
kelompok bisa menjadi pedoman tingkah laku bagi kelompok manusia tersebut.
Scheler menyebutnya dengan ethos. Ethos sebagai rangkaian dari nilai-nilai yang
diwujudkan oleh kelompok tertentu bisa berubah dari setiap zaman walaupun
nilai-nilai itu sendiri tetap adanya. Ethos menunjukkan kemampuan suatu
kelompok dalam mengambil bagian dalam mewujudkan dunia nilai yang tak
terbatas itu secara terbatas dalam kelompok itu. Scheler di titik mengatakan
perlunya ada tokoh panutan yang mampu mewujudkan nilai-nilai tak terbatas itu
dalam kehidupan yang terbatas secara meyakinkan. Penjelasan semacam ini
menjadi penting untuk memahami nilai dan ethos gotong-royong.
Gotong-royong ternyata menjadi ethos bersama segenap manusia
Indonesia. Bangsa ini sudah sejak lama menjunjung tinggi nilai gotong-royong
dan menjadikannya pedoman tingkah laku bersama. Scheler berpendapat bahwa
sejarah perkembangan ethos merupakan pusat sejarah dari suatu bangsa, maka
Indonesia perlu selalu mengembangkan dan memperdalam ethos gotong-royong
dalam sejarahnya. Gotong-royong sebagai sebuah nilai memang bersifat tetap dan
objektif adanya, tetapi praktik gotong-royong yang diejawantahkan dalam ethos
bersama ternyata harus selalu diperjuangkan. Ethos yang buruk dari bangsa ini
memang tidak akan menghapus nilai-nilai Pancasila dan gotong-royong, akan
tetapi tentu membuat nilai-nilai luhur tersebut tidak teraktualisasi. Pertumbuhan
ethos yang baik menjadi mungkin bila ada tokoh panutan yang selalu
mewujudkan kegotong-royongan secara meyakinkan dalam keterbatasannya
sebagai manusia.

2.4. PENDIDIKAN NILAI GOTONG-ROYONG SEBAGAI STRATEGI


KETAHANAN NASIONAL
Scheler berpendapat bahwa nilai ada secara objektif. Manusia melihat dan
menghayatinya lewat suatu tindakan peminatan. Peminatan atas nilai-nilai
menurut Scheler merupakan tindakan apriori. Hal merasakan dan menempatkan
suatu nilai di atas nilai lainnya amat bergantung pada tindakan peminatan ini.
Fakta bahwa dewasa ini ada berbagai fenomena krisis gotong-royong membuat
teori peminatan nilai Scheler layak dikaji. Pertanyaan yang dapat diajukan di sini
adalah: Apakah masyarakat Indonesia bisa diajak untuk kembali meminati nilai

8
gotong-royong? Apakah tindakan meminati gotong-royong itu bisa dicapai lewat
pendidikan nilai?
Pendidikan gotong-royong tentu tidak dapat diartikan secara sempit
dengan mengambil bentuk seperti Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila) seperti pada zaman Orde Baru. Tindakan peminatan
seperti yang dimaksudkan Scheler mengandaikan ada perbedaan sikap hidup
dalam menghayati suatu nilai, termasuk nilai gotong-royong. Ada kelompok yang
sudah memahami dan melaksanakan dengan benar, tetapi ada pula kelompok yang
mungkin belum memahaminya secara baik. Pendidikan nilai di titik ini menjadi
amat penting, bukan untuk menyeragamkan nilai, tetapi untuk menyikapi
perbedaan pemahaman secara lebih arif.
Pendidikan gotong-royong dapat dilakukan dengan banyak cara. Scheler
berpendapat bahwa nilai merupakan sesuatu yang objektif, maka pendidikan nilai
seharusnya merupakan suatu objektivikasi dari suatu nilai yang abstrak menjadi
sesuatu yang kelihatan dan dapat dialami. Pengalaman akan kegotong-royongan
dengan demikian menjadi amat penting untuk menunjukkan sisi objektif tersebut.
Pengalaman ini menyangkut juga pengelihatan akan adanya tokoh panutan yang
dapat dijumpai tiap hari. Scheler juga menekankan perlunya tokoh panutan.
Objektivasi nilai gotong-royong dengan demikian akan menjadi semakin mudah
ketika para tokoh yang kerap dilihat, didengar, dan dialami oleh masyarakat
mengungkapkannya secara meyakinkan.
Tokoh panutan bisa menjelma dalam berbagai profesi (bergantung ruang
lingkupnya), misalnya: presiden, guru, pemuka agama, ataupun pamong desa.
Ruang lingkup yang makin luas (dalam konteks bernegara misalnya)
membutuhkan tokoh panutan yang muncul setiap hari dalam pemberitaan, dan
mempunyai pengaruh yang signifikan pada kehidupan bernegara. Pendidikan nilai
sebenarnya secara sederhana bisa dilakukan oleh para pejabat publik, politikus,
dan pemangku kebijakan negara. Rakyat akan lebih melihat objektivasi nilai
gotong-royong ketika pejabat publik, politikus, dan pemangku kebijakan
merealisasikannya dalam aktivitas hidup setiap hari. Aneka intrik, politik uang,
saling jegal, dan tindakan kotor yang dipertontonkan tentu menjadi batu
sandungan bagi objektivasi nilai gotong-royong. Rakyat akan lebih mudah
menerima pendidikan gotong-royong ketika para tokoh panutan tersebut
merealisasikannya secara tepat.
Pendidikan (termasuk di dalamnya pendidikan nilai) mempunyai dua
tujuan, yaitu membina pribadi sang manusia itu sendiri, dan sekaligus memajukan
masyarakat. Dua tujuan itu tidak dapat dipisahkan karena manusia itu hidup di
dalam suatu kelompok masyarakat, sehingga aktivitas mendidik manusia dengan
demikian juga turut mendidik masyarakat. Sebaliknya, jika dalam satu kelompok

9
masyarakat tidak ada satu pun manusia di dalamnya yang berpendidikan maka
keterbelakanganlah yang mewarnai masyarakat tersebut.
Wells (1953:81) mengatakan bahwa tanpa pendidikan, bangsa yang
bersangkutan akan hancur, sedangkan bangsa yang jaya adalah bangsa yang
mengutamakan pendidikan. Pendapat tersebut memberi indikasi bahwa
pendidikan memegang peranan penting bagi kelangsungan hidup suatu bangsa.
Dengan kata lain, berhasil tidaknya suatu bangsa dalam mencapai tujuannya amat
bergantung pada pendidikan warganya. Driyarkara (1980:72-74) mengatakan
bahwa pendidikan merupakan proses untuk memanusiawikan manusia, karena
manusiawi adalah suatu kondisi manusia yang terdidik, berbudaya, mandiri,
berkemampuan, serta sadar akan diri sendiri dan lingkungannya. Pendidikan nilai
dengan demikian memegang peranan penting bagi pembentukan karakter
manusia, yang berimbas pada karakter suatu masyarakat.
Kolthoff (2007:39) berpendapat bahwa nilai merupakan sesuatu yang
berharga bagi suatu kelompok masyarakat yang berupa standar perilaku atau dasar
moral untuk mengarahkan tindakan bersama. Pendidikan nilai tidak bisa lepas dari
pembentukan kebiasaan yang baik melalui aneka latihan, pembiasaan, dan
pengalaman. Pendidikan nilai dengan demikian adalah soal obyektivasi nilai
dalam tindakan konkret. Pendidikan memang mencakup di dalamnya pemberian
pengetahuan mengenai nilai tersebut, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana
pengetahuan itu dilaksanakan dan menjadi obyektif. Haryatmoko dalam Kompas
(30 September 2015) mengatakan:
“Pendidikan nilai bukan hanya masalah tahu tentang apa yang baik.
Orang mengira “mengetahui” seakan-akan dengan “sudah
melakukan.” Padahal, masih ada jarak antara tahu dan tindakan.
Arah pendidikan nilai seharusnya fokus pada modalitas, yaitu
bagaimana menjembatani agar nilai-nilai menjadi tindakan
nyata….. Dengan prioritas “melakukan” atau “bertindak” nilai-
nilai yang dipraktikkan atau bentuk moral yang dibatinkan bisa
lebih efektif mengatur perilaku sehari-hari untuk membentuk etos.”
Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Scheler. Suatu nilai akan
tampil jika para pengembannya mempraktikkanya secara meyakinkan lewat
tindakan konkrit. Nilai membutuhkan pengemban. Nilai gotong-royong juga tidak
akan tampil jika para pengemban tidak merealisasikannya secara konkrit.
Nilai menurut Scheler merupakan kenyataan yang tidak berubah,
walaupun diemban oleh aneka kenyataan lain yang dapat berubah. Pendidikan
gotong-royong dengan demikian harus dilakukan untuk membuat manusia
Indonesia meminatinya, meskipun dengan aneka cara yang bisa saja berubah
bergantung situasi dan kondisi. Nilai gotong-royong dalam hal ini tidak bisa
diubah, dan harus diaktualkan dengan cara-cara yang bisa saja berubah. Nilai
gotong-royong merupakan kenyataan objektif dari sejarah bangsa Indonesia yang

10
ditemukan Soekarno, maka pendidikan gotong-royong dengan demikian harus
membuka ruang bagi siapa saja untuk mengembangkan kemampuannya dalam
rangka menemukan nilai itu. Pendidikan gotong-royong dan nilai-nilai Pancasila
dengan demikian tidak efektif jika dilakukan dengan cara menghafal butir-
butirnya, sebagaimana telah dilakukan pada zaman Orde Baru lewat Penataran P4.
Haryatmoko dalam Kompas (30 September 2015) selanjutnya mengatakan
bahwa perkembangan kesadaran akan nilai tumbuh bukan hanya melalui
informasi/pengetahuan, melainkan dengan pengalaman dan perjumpaan.
Pendidikan nilai gotong-royong dengan demikian menjadi semakin efektif bila
diuji dengan pengalaman konkret segenap manusia Indonesia yang hidup
berdampingan dengan aneka perbedaan (suku, agama, budaya, ras, pendapat, dan
seterusnya), akrab dengan bencana yang kerap secara spontan memunculkan
semangat untuk bahu-membahu, dan biasa diuji dengan peristiwa politik (baik itu
Pilpres, Pilkada, bahkan Pilkades) yang kadang-kadang menjadi biang
pertentangan masyarakat.
Scheler juga berpendapat bahwa manusia menangkap nilai dengan hati.
Pendidikan gotong-royong, segaris dengan pendapat Scheler dan argumentasi
Haryatmoko, dengan demikian harus bisa menggugah hati segenap manusia
Indonesia. Pelajaran Pancasila dalam hal ini harus lebih banyak menggugah hati
daripada sekedar memberikan informasi. Pendidikan Pancasila dan gotong-royong
harus pula menumbuhkan keterbukaan hati. Penangkapan hati akan nilai ini
kemudian semakin diteguhkan ketika dikonkretkan dalam realitas. Max Scheler
mengenai hal ini mengatakan bahwa hati manusia memahami suatu nilai ketika
mulai mewujudkan dalam perbuatannya (Scheler 1973:87). Pendidikan Pancasila
dan gotong-royong dengan demikian terutama harus diberikan melalui praktek
hidup sehari-hari langkah demi langkah.
Pengemban nilai gotong-royong adalah semua warga negara, sehingga
semua warga akan berlomba menampilkan nilai ini dalam aneka tindakan konkrit
untuk menjadikan gotong-royong sebagai etos bersama. Scheler, mengenai hal ini,
mengatakan bahwa pembentukan etos akan menjadi makin efektif jika masyarakat
bisa melihatnya secara meyakinkan dalam diri para tokoh panutan. Pendidikan
nilai di titik ini ternyata menyentuh pula para pemangku kebijakan, pendidik,
orang tua, pejabat, anggota DPR, artis, dan siapa saja yang menjadi sorotan dan
panutan.
Pendidikan gotong-royong menjadi efektif melalui kesaksian hidup
pribadi, praktik kelembagaan, dan juga dalam aktivitas kenegaraan. Pendidikan
gotong-royong menjadi relevan jika para tokoh teladan menampilkan dialog yang
beradab, kemauan untuk bekerjasama meski berbeda aliran politik, menampilkan
rasa tanggungjawab berbangsa dalam setiap karya, menghargai kemajemukan,
peduli pada yang lemah, dan mengutamakan kepentingan bersama daripada

11
kepentingan pribadi/kelompok. Kompas (2 Oktober 2015) menulis bahwa para
elite politik, tokoh masyarakat, dan agamawan mempunyai tanggung jawab besar
dalam mendorong aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa.

3. KESIMPULAN
Suatu bangsa seperti Indonesia tersusun dari aneka kelompok yang
kemudian melebur ke dalam suatu kewargaan, oleh karena itu Indonesia
membutuhkan nilai-nilai yang dapat mengatasi aneka perspektif yang
melemahkan sendi hidup bersama. Pancasila dengan nilai kegotong-royongannya
dapat memberikan sumbangan yang dapat dijadikan sebagai nilai dan pilar utama
bagi mekarnya nasionalisme dan ketahanan nasional di Indonesia.
Gotong-royong memang merupakan nilai yang sudah dijunjung sejak
lama, tetapi nilai ini tidak akan tampil jika para pengembannya tidak melakukan
apa-apa bagi realisasi gotong-royong. Pendidikan gotong-royong di titik ini
diperlukan oleh bangsa Indonesia. Nilai gotong-royong memerlukan jembatan
untuk tampil lewat pendidikan nilai. Pendidikan gotong-royong bisa ditampilkan
dalam bentuk pengetahuan kognitif, tetapi yang jauh lebih penting dari itu adalah
bagaimana gotong-royong sungguh menjadi etos dan praktek bersama dari sebuah
bangsa. Hal semacam ini, seperti dikatakan oleh Scheler, memerlukan tindakan
nyata.

DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa, Heddy Shri. (2007). Patron Klien di Sulawesi Selatan: Sebuah Kajian
Fungsional Struktural. Yogyakarta: Keppel Press.
Bintarto, R. (1980), Gotong Royong: Suatu Karakteristik Bangsa Indonesia,
Surabaya: PT Bina Ilmu
Darmaputera, Eka. (1989). Pancasila: Identitas dan Integritas Bangsa Indonesia,
Jakarta: Gunung Mulia
Driyarkara. (1980). Driyarkara tentang Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius
Geertz, Hildreed. (1983). Keluarga Jawa, Jakarta: Grafiti Press
Haryatmoko. (2015), “Modalitas Pendidikan Nilai,” dalam KOMPAS 30
September 2015
Koentjaraningrat. (1974). Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta:
Gramedia
Kolthoff, Emille. (2007). Ethics and New Public Management, Den Haag: BJU
Prasetyo, Kuncoro Bayu. (2009). “Menjadi Aceh di Panti Asuhan: Studi tentang
Sosialisasi Anak Aceh di Panti Asuhan Pasca Bencana,” Yogyakarta:
Pascasarjana Antropologi Universitas Gadjah Mada
Redaksi KOMPAS. (2015). “Asa Menuju 100 Tahun Indonesia,” dalam KOMPAS
2 Oktober 2015
Scheler, Max. (1973). Der Formalismus in de Erthik und die materiale Wertethik,
(translated by. Manfred S. Frings & Roger C. Funk) Bern: Francke, Verlag

12
Scott, James. (1988). Moral Ekonomi Petani, Jakarta: LP3ES
Soekanto, Soerjono. (1982) Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Grafindo
Sudjito, Gatot. (2014). “Reinventing Gotong-Royong” dalam JAWA POS, Sabtu
15 Nopember 2014
Sutarto, Ayu. (2004). Menguak Pergumulan antara Seni, Politik, Islam, dan
Indonesia, Jember: Kompyawisda
Tilaar, HAR. (2004). Multikulturalisme (Tantangan-tantangan Global Masa
Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional), Jakarta: PT Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Wahyono, Sugeng Bayu (2006). “Prospek Pendidikan Multikultural di Indonesia”
dalam Pendidikan Multikultural yang Berkeadilan Sosial, Yogyakarta:
Dinamika Edukasi Dasar.
Wells, H.G. (1953). “Kapita Selecta Pendidikan” dalam Wanita dan Pancasila,
Yogyakarta: Yayasan Pancasila

13

Anda mungkin juga menyukai