Anda di halaman 1dari 36

ANALISIS KRITIS

BUKU AGAMA HINDU, PANCASILA, DAN KEARIFAN LOKAL


FONDASI PENDIDIKAN KARAKTER

Analisis ini disusun untuk memenuhi tugas matakuliah filsafat ilmu dan pendidikan yang
diampu oleh :
Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A.
Dr. Anantawikrama Tungga Atmadja, S.E., Ak., M.Si.

Oleh:
Kade Sathya Gita Rismawan
2039011002

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
2021
DESKRIPSI BUKU

Judul : Buku Agama Hindu, Pancasila, dan


Kearifan Lokal Fondasi Pendidikan
Karakter
Penulis : Nengah Bawa Atmadja
Ananta Tungga Atmadja
Tuty Maryati
Penerbit : Pustaka Larasan

ISBN : 978-602-1586-82-2

Tahun terbit : 2017

1. ISI BUKU

BAB 1
Pendidikan Karakter Sebagai Strategi
Mengatasi Tantangan Kebangsaan
A. Latar Belakang Pendidikan Karakter
Dengan berpegang pada asa rwa bhineda tantangan tidak saja berdampak positif atau
sesuai dengan yang diidealkan, tetapi bisa pula berdampak negatif. Magnis – Suseno (2008)
menejukan ada empat tantangan terhadap perasaan kebangsaan, yaitu :
1. Globalisasi
Globalisasi adalah proses menjadi menggelobal sehingga negara-negara di dunia
seolah-olah menjadi satu, yakni kampong global. Globalisasi berlangsung di bidang
kehidupan yakni, ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya pertahanan dan keamanan.
Globalisasi ekonomi tidak dapat lepas dari bidang lainnya.
2. Egoisme dan Kepicikan Perasaan Kedaerahan
Bangsa Indonesia mengalami egoisme dan kipicikan perasaan kedaerahan atau
etnisitas. Hal ini sejalan dengan kondisi bangsa Indonesia bercorak multicultural. Otonomi
daerah lebih mengukuhkan perasaan kedaerahan sehingga melahirkan hiperotonomi.
Akibatnya jabatan pada struktur birokrasi, sumber daya alam, peluang kerja dan lain-lain,
hanya diperuntukan bagi etnik senditi atau orang kita. Gerakan ajeg Bali pada masyarakat
Bali merupakan kasus menarik dilihat dari segi politik identitas kesukubangsaan. Gerakan ini
memiliki latar belakang yang terkait dengan keinginan memperkuat identitas kebudayaan
Bali guna melawan kuatnya pengaruh kebudayaan global. Gerakan Ajeg Bali amat penting
bagi pemertahanan identitas orang Bali, namun dibalik itu bisa memunculkan masalah jika
gerakan Ajeg Bali diwarnai dengan egoisme dan kipicikan perasaan kedaerahan.
3. Konsumerisme dan Hedonisme
Globalisasi tidak saja berkaitan dengan aspek ekonomi, tetapi berkaitan pula dengan
penanaman ideologi global, yakni ideologi pasar atau agama. Ideologi pasar merupakan
seperangkat gagasan yang melihat pasar sebagai sumber kesejahteraan sehingga manusia
bergantung pada pasar dalam memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Dalam rangka
menumbuhkembangkan pasar maka hakikat manusia sebagai homo consumer sengaja
dipupuk dan dilembagakan sehingga melahirkan budaya konsumen atau masyarakat
konsumsi. Kesemuanya ini tidak bisa lepas dari hedonisme, yakni manusia yang selalu
mengejar kenikmatan atau takluk pada kama, hasrat atau keinginan. Namun dibalik
kesemuanya itu maka sasaran akhir yang dituju adalah menjadikan manusia sebagai makhluk
serakah. Keserakahan merupakan persyaratan utama bagi keberlangsungan hidup pasar
sebagai representasi ideologi pasar.
4. Ideologi-ideologi Totaliter
Tantangan lainnya adalah ideologi-ideologi totaliter, baik ideologi sekuler maupun
agamis. Ideologi agamis kecap kali muncul sebagai respon atas dampak yang tidak
diinginkan dari adanya globalisasi atau Amerikanisasi dan atau kebijakan Negara yang tidak
berpihak kepada kelompok-kelompok terpinggirkan sehingga mereka menjadi orang-orang
yang lebih terpinggirkan lagi. Dalam kondisi seperti ini muncul kelompok-kelompok
fundamentalis yang menempatkan dirinya sebagai sekumpulan orang yang memiliki
kebenaran mutlak. Setiap orang yang menolak harus disingkirkan. Dalam kehidupan
berbangsa Indonesia yang semestinya memposisikan dirinya memberikan sesuatu untuk
kejayaan negaranya, namun karena kuatnya konsumerisme dan hedonism, maka banyak
orang bukannya memberi, melainkan selalu meminta atau bahkan menguras dari Negara
sehingga korupsi sulit diberantas.
Gagasan ini dapat dibandingkan dengan paparan suyanto (2010) bahwa pendidikan
karakter sangat mendesak, dengan alas an pertama, disorientasi dan belum dihayatinya nila
Pancasila sebagai filosofi dan ideologi bangsa. Kedua, keterbatasan perngkat kebijakan
terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai esensi Pancasila. Ketiga, bergesernya nilai-nilai etika
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keempat, memudarnya kesadaran terhadap nilai-
nilai budaya bangsa. Kelima, ancaman disintegrasi bangsa. Keenam, melemahnya
kemandirian bangsa.
Wajah bangsa Indonesia sulit dikenal terlihat pada kasus masyarakat Bali. Menurut
Atmadja (2010) dalam bukunya berjudul “ Ajeg Bali: Gerakan, Identitas Kultural, dan
Globalisasi”, wajah kebudayaan Bali tidak lagi sama dengan keadaan kebudayaan Bali pada
tahun 1950-an. Perubahan label ini secara mudah bisa disaksikan dala kehidupan sehari-hari.
Misalnya, Bali sebagai pulau surge, karena kebudayaannya yang menawan dan kehidupan
masyarakatnya yang damai, akhir-akhir ini mulai goyah, tercermin dari adanya konflik
antarsesama orang Bali.
Dengan demikian tidak berlebihan jika disimpulkan bahwa semakin lama wajah
keindonesiaan bangsa Indonesia begitu pula wajah kebalian orang Bali. Semakin sulit dikenal
seperti disaksikan pada ruang publik atau tayangan TV – korupsi membudaya dan kekerasan
dipakai sebagai alat mencapai tujuan. Kondisi seperti ini bersifat menyeluruh, dalam arti,
tidak saja berlaku pada etnik Bali, tetapi juga pada etnik-etnik lain di Indonesia. Globalisasi
menuntut kualitas sumber daya manusia (modal SDM) yang tidak sekedar bisa bekerja sesuai
dengan hakikat manusia sebagai homo faber, tetapi lebih daripada iu, yakni kualitas SDM
yang kaya akan modal intelektual dan keterampilan yang jelas kompetensinya agar mampu
bersaing pada pasar tenaga kerja modal. Kondisi ini mengakibatkan, meminjam gagasan
Keraf (2002) terbentuk manusia yang menganut paradigm etika antroposenterisme, bukan
paradigm holistic atau meminjam Robbins dan Judge (2008) budaya kolektif berubah
menjadi budaya individualistik sehingga manusia menjadi egois, serakah atau lebih
mengutamakan keakuan, kesayaan atau kekelompokkan, buka kekitaan atau orang lain.
B. Hakikat dan Tujuan Pendidikan Karakter
Menurut Suyanto (2010:46) karakter adalah nilai yang unik-baik (tahu nilai kebaikan,
mau berbuat baik, dan nyata berkehidupan baik) yang terpatri dalam diri dan terejawantahkan
dalam prilaku. Karakter merupakan ciri khas sesorang atau sekolompok orang yang
mengandung nilai, kemampuan, kapasitas moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan
dan tantangan.
Dengan demikian pendidikan karakter bangsa ialah meng-Indonesiakan orang Indonesia
atau proses Indonesiaisasi agar melahirkan manusia Indonesia yang betul-betul
berkepribadian Indonesia yang tercermin pada dasar Negara Pancasila. Megawangi ( dalam
Elmubarok, 2009) menyatakan bahwa pendidikan karakter bertumpu pada sembilan pilar
yaitu : (1) Cinta Tuhan dan Kebenaran, (2) Tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian,
(3) Amanah, (4) Hormat dan santun, (5) Kasih saying, kepedulian, dan kerejasama, (6)
Percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah, (7) Keadilan dan kepemimpininan, (8) Baik dan
rendah hati, dan (9) Toleran dan cinta damai.
C. Pendekatan dan Model Pembelajaran
Sekolah merupakan salah satu agen pendidikan karakter bangsa yang sangat penting.
Hal ini tidak bisa dilepaskan dari hakikat sekolah sebagai lembaga yang sengaja dibentuk
oleh negara bisa pula lembaga swasta atas izin negara, dengan tujuan mereproduksi manusia
guna mewujudkarr citra manusia yang ideal. Dengan berpegang pada gagasan Tim Penyusun
Pengembangan Karakter di Perguruan Tinggi (2010) pendidikan karakter bangsa
membutuhkan pendekatan. Adapun pendekatannya, antara lain sebagai berikut: (1)
Pendekatan keteladanan, (2) Pendekatan berbasis kelas, (3) Pendekatan integrasi, (4)
Pendekatan pengembangan kultur sekolah, dan (5) Pendekatan pendidikan karakter berbasis
komunitas. Pendekatan ini bisa berwujud mengajak siswa untuk belajar tentang bagaimana
suatu komunitas, misalnya yang bercorak multiagama dan atau multietnik mepraktikkan
nilai-nilai pendidikan karakter toleransi dalam kehidupan bermasyarakat.
Pendekakan pembelajaran tidak bisa dilepaskan dari model pembelajaran. Namun,
apapun model pembelajaran yang digunakan dalam pendidikan karakter bangsa, ada beberapa
prinsip dasar yang perlu diperhatikan, yakni:
1) Pendidikan karakter yang berbasis nilai-nilai dan moral tidak bisa dibelajarkan hanya
dengan pendekatan nilat-nilai atau pengetahuanmoral.
2) Pendidikan karakter yang terfokus pada penanaman nilai membutuhkan perumusan
secara lebih utuh dan bermakna yang mengintegrasikan segi-segi konsep
pengetahuan, nilainilai, sikap, norma dan keputusan moral.
3) Pendidikan karakter bangsa merupakan rangkaian kegiatan bersinergi, yakni
mengetahui nilai-nilai, belajar mempertimbangkan nilai-nilai, belajar membuat
keputusan atas nilai dan moral yang ditanamkan, belajar mempraksiskan nilat nilai,
belajar membuat dan mengembangkan norma-norma kehidupan, dan belajar
membiasakan diri bersikap dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai. Kontrol sosial
internal dan eksternal
4) Pendidikan nilai secarg ideal menekankan pada gagasan pendidikan kritis. Artinya,
dalam penanaman nilai-nilai karakter bangsa maka model. pendidikan gaya bank
tidak relevan.
5) Pendidikan karakter tidak lagi hanya menekankan pada otak kiri pengetahuan yang
harus dihafal, tetapi menjangkau pula Otak kanan menekankan pada merasakan,
menghayati dan mengubah perilaku.
6) Dengan mengacu kepada Russell Williams (dalam Megawangi, 2007) pendidikan
karakter dapat diibaratkan sebagai “otot”, di mana “otot-otot” karakter akan menjadi
lembek apabila tidak pernah dilatih, dan akn kuat dan kokoh kalau sering dipakai.
Seperti halnya binarawan yang terus-menerus berlatih membentuk ototnya, maka
“otot-otot” karakter juga akan terbentuk dengan praktik-praktik latihan yang akhirnya
menjadi. kebiasaan atau habit.
7) Penanaman pendidikan karakter bangsa memerlukan penguatan dan dukungan dari
berbagai pihak secara bersinergi. Penyelenggaraan pendidikan karakter tidak saja
dilakukan oleh sekolah, tetapi juga agen-agen pendidikan lainnya secara bersineri,
yakni keluarga, masyarakat, media massa, teman sepermainan, dll.
D. Pendidikan Karakter dan Era Postmodern
Gagasan di atas menunjukkan bahwa saat ini kita berada pada era globalisasi. Kondisi
ini tidak saja mengakibatkan berbagai dampak, tetapi memunculkan pula sebutan baru bagi
perubahan kebudayaan yang melanda masyarakat dunia, termasuk Indonesia, yakni dari
masyarakat modern berubah menjadi masyarakat postmodern. Dengan mengacu kepada
gagasan Bachtra dan Saifuddin (2015) gejala ini mangakibatkan pendidikan karakter secara
ideal sangat perlu mempertimbangkan pengadopsian berbagai paham seperti : (1) Post-
antroposentric, (2) Postcompetitive, (3) Post-militaristic, (4) Post-patriarchal, (5) Post-
scientistic, dan (6) Post-nasionalistic.

BAB 2
Kajian Sosiobudaya Terhadap Pendidikan Karakter

A. Tujuan Pendidikan Karakter


Menurut UU RI Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Bab 2 Dasar,
Fungsi dan TUJUAN, Pasal 2 dan 3 ) dijelaskan bahwa”... Pendidikan Nasional berdasarkan
Pancasila dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945” yaitu Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang berimam dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Apapun substansi dan
bentuk pengorganisasian pendidikan karakter, dilihat dari segi tujuannya harus menunjang
pencapaian tujuan pendidikan nasional. Tujuannya, membentuk manusia yang memiliki sifat-
sifat kejiwaan, akhlak dan budi pekerti luhur, ditandai oleh tabiat atau watak beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, sehat, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
B. Pilar Karakter Mulia dan Indikatornya
Tujuan pendidikan nasional mencakup pendidikan karakter pada UU RI Nomor
20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memakai ungkapan bersifat umum. Berkenaan
dengan itu maka menarik dikemukakan gagasan sukhan (2010) tentang indikator pendidkan
karakter yang dikaitkan dengan jejak perilaku Rasulullah Muhammad. Gagasan ini dapat
dibandingkan dengan Misi dan Visi Guru Spritual Bhagawan Sri Satya Sai Baba yang
dipaparkan Tiong (2000). Pemikiran Sri Satya Sai Baba merupakan model pendidikan
karakter menurut versi hindu. Dalam hal ini Sru Satya Sai Baba mengemukakan gagasan
ideal tentang karakter manusia dikaitkan dengan jenjang umur dan mengenal lima karakter
yakni, kebenaran, kebaikan, kasih sayang, kedamaian, dan tanpa kekerasan. Gagasan lain
sebagai perbandingan dapat di cermati Ide Ratna Megawangi, salah satu pencetus pendidikan
karakter di Indonesia. Dia menyatakan bahwa ada sembilan pilar karakter mulia yang
selayaknya diajarkan kepada peserta didik yakni: (1) Cinta Tuhan dan kebenaran, (2)
Tanggung jawab kedisiplinan dan kemandirian, (3) Amanah, (4) Hormat dan santun, (5)
Kasih sayang, (6) Percaya diri, kreatif dan pantang menyerah, (7) Keadiln dan
kepemimpinan, (8) Baik dan rendah hati, (9) Toleransi dan cinta damai.
C. Pendidikan Karakter Perspektif Sosiobudaya
Dalam konteks pendidikan karakter yang bercorak keindonesiaan maka timbul
pernyataan, yakni, “ bagaimana rumusan ideal yang ditanamkan lewat pendidikan karakter?”.
Dengan mengacu pada Sirozi (2005) jawaban atas pertanyaan ini sangat pada poltik yang
diterapkan negara. Brooks dan Goble dalam Galus (2008:19) yang menyatakan “agar
pendidikan moral tidak lagi memikirkan tentang nilai-nilai siapa yang akan diajarkan pada
siswa disekolah. Dengan demikian di Indonesia adalah terikt pada filsafat Pancasila pada
zaman Orde Baru lazim di sebut membentuk manusia pancasila sejati. Namun realita bangsa
Indonesia bersifat multikultur atau bhineka tunggal ika. Gejala ini tercermin pada keragaman
sistem budaya yang menyangkut ideologi (lokal) nilai, norma, dan pengetahuan atau
meminjam Geertz (1999) aspek kognisi dan evaluatif yang mereka miliki. Apapun karakter
ideal dan indikatornya harus memberikan peluang bagi pembentukan manusia Indonesia
berkarakter majemuk. Pembentukan manusia yang multikarakter tidak hanya yang satu
memperkuat yang lannya tetapi bisa juga bersifat transformatif. Artinya, nilai-nilai lokal yang
tidak sesuai atau bahkan mengganggu nilai-nilai nasional atau pun global harus
ditransformasikan.
D. Penyelenggaraan Pendidikan Karakter
Penyelenggaraan pendidikan karakter secara ideal bersifat multiparadigma , yakni
mengkombinasikan berbagai paradigma , yakni paradigma sistematik-organik, paradigma
holistik-integralistik, paradigma humanistik, paradigma idealistik-transformatif, dan
paradigma kulturalisme (Maksum dan Ruhendi, 2004). Bertolak belakang dengan gagasan ini
penyelenggaraan pendidikan karakter sebaiknya mengikuti alur pemikiran Faucaultian yang
melihat pendiikan sebagai salah satu proses yang terdiri dari klarifikasi, normalisasi, dan
disiplinisasi (subjektivikasi) (Faucault, 2002, Karim 2009) dipadukan dengan hbitualisasi
dan praksis sebagaimana yang diidealkan dalam teori kritis (Hardiman, 2005; Lubis 2006;
Barker,2004; Kelner,2004.)
Pendidikan karakter mulia yang melibatkan sekolah dan keluarga harus saling melengkapi
dan/atau bekerjasama secara bersinergis. Dengan demikian rumah tangga dan keluarga
sebagai pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan
keluarg hendaknya kembali menjadi school of love, sekolah untuk kasih sayang, sedangkan
pendidikan karakter melalui sekolah, tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan semata,
tetapi lebih dari itu, yaitu penanaman moral nilai-nilai etika, estetka, budi pekerti yang luhur,
dan lain sebagainya.pemberian penghargaan kepada yang berprestasi dan hukuman kepada
yang melanggar, menumbuhsuburkan nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan
mencegah berlakunya nilai-nilai yang buruk. Selanjutnya menerapkan pendidikan
berdasarkan karakter dengan menerapkan setiap pelajaran yang ada pada masing mata
pelajaran khusus untuk mendidikan karakter seperti pelajaran agama, sejarah, moral pancasila
dan sebagainya. (Suyanto, 2010:52-53).
BAB 3
Local Genius dan Kearifan Lokal Dua Sisi Mata Uang yang Sama

A. Makna Local Genius


Konsep Local Genius muncul dan pertama kali digunakan oleh H.G. Quaricth Wales
(1948) dalam artikel berjudul “Culture Change in Greater India” pada Journal of Royal
Asiatic Society. Artikel tersebut membicarakan penyebaran pengaruh Hindu dari India ke
kawasan Asia Tenggara. Kawasan tersebut dibagi menjadi dua zona yaitu zona barat yang
terdiri dari Sri Langka, Siam Tengah, Semenanjung Melayu, dan Sumatra, sedangkan zona
timur terdiri dari Jawa, Champa, dan Kamboja. Pengaruh India pada kedua zona ini berbeda.
Zona barat terjadi extreme acculturation sedangkan zona timur terjadi Local Genius yakni
factor-faktor yang menyebabkan perubahan bentuk, sifat dan konsepsi pada unsur-unsur
kebudayaan dan kesenian India.
Beberapa istilah yang memiliki kesetaraan makna dengan konsep local genius. Bosch
(1952) menggunakan istilah bakat dan kemampuan luar biasa. Soediman (1986) menyamakan
local genius dengan cultural identity. Asmar (1986:142) menyamakan local genius dengan
“daya-olah tinggi”. Berdasarkan beberapa istilah yang ada, maka local genius terkait dengan
daya olah tinggi dan kemampuan luar biasa dari komunitas local untuk melokalisasi
kebudayaan dari luar sehingga sesuai dengan kepribadian bangsanya. Dengan demikian local
genius dapat disamakan dengan lokalisasi
B. Local Genius dan Kearifan Lokal
Local genius bermakna sebagai daya olah tinggi atau kemampuan luar biasa untuk
melokalisasi kebudayaan dari luar. Daya olah tinggi bisa berlanjut dengan aneka proses
antara lain pembentukan kearifan local guna menjaga eksistensi suatu komunitas.
Kearifan local wujud ungkapan tradisional yang memiliki persyaratan, antara lain
1) Bersifat beku, bentuk unsur kata yang membentuknya tidak boleh diganti dan
ditambah dengan kata lain.
2) Memiliki kata kunci
3) Proposi bukan sekedar rangkaian kata yang spontan, melainkan hasil pemikiran
mendalam atas dasar fakta empiric yang teruji kebenarannya.
4) Proposi yang terkait dengan kearifan local secara dekonstruktif memuat ide,bilai serta
norma atau ideology yang berlaku di masyarakat.
5) Kata yang membentuk proposisi berdayatarik, mudah diingat dan berdaya provokatif
untuk diaktualkan dalam kehidupan bermasyarakat
Kearifan lokal berfungsi sebagai resep bertindak guna mewujudkan manusia arif dan
bijaksana yang diwariskan dan dipelihara, sehingga mewujudkan masyarakat yang harmonis.
Kearifan lokal pada komunitas lokal merupakan local genius atau lokalisasi terhadap ajaran
agama ataupun kebudayaan asing. Lokalisasi mengakibatkan asingnya suatu budaya tidak
ketara dan terlihat sebagai sesuatu yang asli. Misal, ajaran agama hindu yaitu hokum karma
Phala yang merupakan komponen Panca Sraddha (lima keyakinan) agama hindu. Karma
Phala dilokasikan sesuai dengan kondisi lingkungan alam orang Bali (Pertanian), sehingga
melahirkan proposi kearifan lokal berbunyi “apa ane kapula, keto ane kalap” yang artinya apa
yang ditanam, itulah yang akan dipetik (Atmadja, 2010). Dapat disimpulkan bahwa local
genius tidak persis sama dengan kearifan lokal. Local Genius adalah kegeniusan lokal untuk
melokalisasi budaya luar yang didalamnya melibatkan kreativitas sekaligus kearifan untuk
menghasilkan budaya khas yang berbentuk kearifan lokal.
C. Penyerbukan Silang Antarbudaya (PSA)
Indonesia merupakan negara multietnik dimana setiap etnik pasti memiliki unsur-
unsur budaya yang bersifat unggul. Unsur-unsur budaya yang unggul pada etnik-etnik
tersebut dapat diserbuksilangkan untuk menghasilkan kebudayaan Indonesia yang berwatak
unggul. Tak terkecuali dengan budaya luar yang bisa saja memiliki keunggulan tersendiri
yang tentunya dapat juga kita serbuksilangkan. PSA tidak dapat terjadi dengan sendirinya
akan tetapi melalui proses yaitu mengolah, memelihara, dan memupuk kebudayaan unggul
dari luar agar tumbuh subur dan memberikan manfaat yang optimal bagi komunitas yang
bersangkutan. Pengolahan ini dibutuhkan bakat luar dan usaha melokalkan kebudayaan
unggul dari luar sehingga sesuai dengan kepribadiannya. Hal ini mengakibatkan PSA
berkaitan dan dapat disamakan dengan local genius atau lokalisasi.
Kebudayaan unggul yang diserbuksilangkan/dicangkokkan/dilocal
geniuskan/dilokalisasikan tidak berarti sama persis dengan bibit asalnya, tetapi bercampur
dengan kultur komunitas yang dicengkokinya dengan demikian terbentuk hibriditas. Dengan
demikian istilah PSA walaupun tak sama persis namun pada batas tertentu bisa disamakan
dengan hibriditas atau dipersempit menjadi hibriditas budaya. Keduanya mencampurkan
budaya guna menghasilkan suatu budaya baru, dimana keduanya juga memerlukan local
genius dalam menghasilkan budaya baru. Keduanya juga terkait dengan kearifan lokal,
dimana keduanya melibatkan local genius bisa menghasilkan beberapa bentuk budaya
campuran baru antara lain kearifan lokal sebagai teks budaya lengkap dengan aneka praktik
sosial dan artefak yang melengkapinya.
D. Sistem Pengetahuan dan Teknologi Lokal (SPTL)
SPTL disebut juga dengan Sistem Pengetahuan dan Teknologi Tradisional (SPTT)
atau hanya disebut Pengetahuan Tradisional. SPTL adalah abstraksi pengalaman manusia
dalam berinteraksi antarmanusia dan interaksi manusia dengan lingkungan alam memakai
daya tubuh dan pancaindra, pikiran (manah), budi (buddhi), dan roh (atman), pengetahuan
manusia tidak hanya berbentuk kognisi, tetapi juga berbentuk teknologi guna memberikan
kenyamanan dan kemudahan terkait dengan kedamaian masyarakat.
Ilmu rakyat, pengetauan lokal, pengetauan teknis asli, yang diartikan sebagai
pengetauan berkembang pada komunitas di suatu komunitas pedesaan mencakup berbagai
pengetauan baik sejara, nila luur, budaya, tradisi, dan ajaran penting masyarakat, dimana
pengetauan ini kekuatan masyarakat dalam mengadapi perubaan. Pengetauan rakyat
pedesaan butu alat dan cara agar nilai guna lebi optimal untuk mecapai kesejarteraan, SPLT
secara emplisit menyatu dengan pengetauan rakyat pedesaan. Kearifan lokal adala komponen
dari SPLT. Kearifan lokal adala ide, ide tidak bisa lepas dari penerapannya dalam tindakan
sosial atau teknologi.
E. Pancasila sebagai Local Genius
Pancasila conto dari lokal genius yang digunakan sebagai dasar negara. Perumusan
pancasila tak lepas dari took-toko pendiri bangsa yang terdiri dari tiga kelompok (islamis,
nasionalis dan sosialis) yang berasal dari kelompok etnis tertentu yang pastinya mereka
terikat pada kebudayaan etniknya. Meskipun etnik mereka berbeda pada kirnya memiliki titik
temu pada nila tertentu seprti gotong royong, kerukunan, armoni, dll. Atta (dalam
Latif,2013:581) pengolaan berbagai gagasan ini melalui suatu proses local genius seingga
melairkan paam sosialisme ala Indonesia. Pancasila mampu mengatasi primordial atas dasar
etnis,agama, kebudayaan, dan kedaeraan
F. Beberapa Kasus Kearifan Lokal
1. Alas Duwe: Kearifan Ekologi Melestarikan utan
Luas ideal utan di Bali tidak dapat terwujudkan karena adanya penggundulan utan.
Namun demikian, beberapa utan di kawasan suatu desa dapat terjaga kelestariannya lantaran
utan tersebut merupakan Alas Duwe yang artinya hutan milik dewa. Alas duwe diyakini
angker atau tenget. Tengetnya utan tersebut membuat utan menjadi tetap lestari.
Dewa pemilik utan adala niskala, dewa menjadi sekala karena disimbolkan ole pura yang
dibangun pada kawasan utan. Komunitas lokal melakukan ritual keagamaan secara berkala
seingga mereka terus diingatkan bawa utan tersebut adala alas duwe=alas tenget. Contonya
adala utan sange, utan kedaton, utan kera padangtegal ubud tetap lestari, bukan anya karena
utan tersebut alas duwe tetapi juga destinasi wisata. Alas duwe sebagai modal natural yang
dijadikan bernilai ekonomi. Nampak di Bali banyak pohon besar dipinggir jalan raya yang
dibaluti dengan kain puti, kuning bakan poleng dimana dibawahnya kerap berisi bangunan
suci yang disebut dengan pelinggih. Gejala tersebut terkait dengan keyakinan bawa pohon
tersebut angker, tentunya pola ini memberi efek pada pelestarian pohon lantaran tidak ada
yang berani mengganggunya.
2. Ngasuba Ngerarung Bikul: Mengendalikan Hama Tikus
Ritual yang berasal dari desapakraman Julah, Tejakula, Buleleng ini diintikan dengan
upacara pembakaran banyak tikus seperti ritual ngaben bikul di Tabanan, Bali. Walaupun
tikus merupakan ama potensial namun warga Julah tidak berani membunuh tikus lantaran
tikus merupakan kendaraan dewa Ganesha. Tindakan membunuh tikus dianggap melawan
dewa Ganesha. Selain itu agama Hindu juga melarang umatnya membunuh tikus karena
dianggap tidak benar dan bertentangan dengan aima (nirkekerasan). Warga Jula dilema
lantaran tikus dianggap sebagai ama potensial namun tidak diperkenankan membununya
maka muncula ritual ngusaba ngerarung bikul yang membantai tikus akan tetapi dengan tidak
sewenang-wenang. Taapan upacaranya yaitu pertama mengembalikan roh tikus ke asalnya
segala hama (laut). Kedua, roh tersebut diarapkan meningkat evolusi ronya dan berinkarnasi
menjadi makluk yang lebi tinggi kedudukannya. Adanya upacara ini tidak membuat mereka
merasa berdosa dan dewa Ganesha marah.
3. Teba: Kearifan Ekologi Penataan Rumah Tinggal
Teba yakni ruang paling belakang dalam penataan karang peumahan.Keberadaan teba
berbasis filsafat Tri Angga atau Tri Loka, yakni pembagian tubuh manusia (mikrokosmos)
atau alam semesta (makrokosmos) menjadi tiga bagian, yakni kepala, badan dan kaki. Atau
swah, bwah dan bhur. Areal untuk menempatkan Paryangan adala bagian kepala, hulu, luan
atau swah yang berkiblat ke ara kaja gunung atau kangin (matahari terbit). Kawasan tersebut
bernilai sakral sebagai penempatan parhyangan. Bagian kaki, bhur atau tebben yang mengara
kelod atau laut terdapat tanah kosong yakni teba. Fungsi teba yakni: tanah cadangan
pembangunan rumah tinggal jika pada areal tengah badan sesak hunian. Tempat
pembuangan sampah rumah tangga dan sampah dapur, tempat memelihara ternak,tempat
menanam aneka tanaman, tempat buang air besar.
G. Tri Hita Karana Bersifat Universal
Etnik Bali sangat bangga akan kearifan lokal yang dimilikinya yaitu tri hita karana
(THK), sebuah filsafat atau pandangan hidup yang menggariskan bahwa kesejarteraan hidup
manusia mampu mengembangkan harmoni teologis (Pawongan), harmoni ekologis
(Palemahan) dan harmoni teologis (Parhyangan). Akan tetapi mengingat ide tentang THK
dikenal berbagai etnis di Indonesia, maka THK bersifat universal.
H. THK Berakar pada Kultur Bali
Benih THK bukan barang baru bagi etnis Bali, melainkan telah dikenal sejak era pra-
Hindu. Benih-benih THK tumbuh subur setelah mengalami Penyerbukan Silang Antarbudaya
(PSA), local genius dengan kebudayaan Hindu dari India.THK teridiri dari parahyangan
pawongan dan palemahan. THK bersifat universal karena keberlakuannya di berbagai etnik
maupun agama yang ada di indonesia. THK tumbuh subur melalui pengayaan agam hindu.
Walaupun terjadi gabungan THK hindu dan THK lokal Bali, namun yang terjadi adalah
leklaisasi sehingga THK berkarakter khas bali. Bali memberikan THK secara total tidak
hanya konseptual.
I. Kearifan Lokal dan Pendidikan Karakter
Karakter yang mencakup karakter ideal yakni religious, jujur, toleransi, disiplin,
kerjakeras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tau, semangat kebangsaan, cinta tana air,
mengargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan,peduli
sosial dan tanggungjawab. al tersebut dapat diwujudkan lewat kearifan lokal sebagai modal
budaya. Salah satu contoh pada nilai kejujuran yang artinya tidak berbohong baik secara
pikiran, perkataan, serta tindakan yang berpatokan pada agama dan tata aturan lainnya.
Seorang koruptor contonya, cepat atau lambat akan mendapatkan bua dari apa yang tela ia
perbuat (pala negatif) seperti penjara dan juga neraka. Penanaman gagasan ini dapat melalui
kearifan lokal seperti “ape ane kapula,keto ane kalap”, “ ngundu woing pakerti” atau “sapa
wonge nandur bakal ngundu”. Posisi dari kearifan lokal sangat strategis bagi kelangsungan
idup suatu komunitas. Bukan anya sebagai modal budaya untuk membentuk karakter, akan
tetapi juga terkat dengan kekuatan mempertahankan identitas etnik bahkan bangsa.
Sistem Pembelajaran Tradisional Kearifan Lokal
Kearifan lokal sebagai modal budaya bagi sebua komunitas sesuai makna yang
terkandung didalamnya sangat penting bagi dunia pendidikan karakter. Apabila nilai
padakearidan lokal dikelola secara baik maka dapat memberikan sumbangan yang penting
bagi penanaman nilai pendidikan karakter yang ideal. Perlu disadari nilai, gagasan atau ide
pada kearifan lokal tidak ada artinya jika tidak disertai dengan abitualisasi dan praktis sosial.
Pendidikan bisa berlangsung di sekola, materi yang diajarkan tidak anya kearifan lokal akan
tetapi diperluas menjadi pengetauan lokal. Sedangkan metode pembelajaran yang digunakan
adala yang inovatif dan trend saat ini seperti: melajar sambilang masatua (belajar sambil
bercerita), melaja sambilang mapalalian (belajar sambil bermain), melaja sambilang
megending (belajar sambil bernyanyi), melaja sambilang megar (belajar sambil bekerja).

BAB 4
Inkulkasi Agama, Pancasila, dan Kearifan Lokal Sebagai Fondasi Membangun
Karakter Bangsa
A. Membentuk Manusia Berkarater Pancasila
Pada aspek esoterik menyatukan keragaman pada Aspek eksoterik menunjukkan
bagaimana langkah penting yang dapat digunakan untuk menyehatkan masyarakat Indonesia
yaitu membentuk manusia Indonesia yang berkarakter. Manusia yang dapat dikatakan
berkarakter mulia jika manusia tersebut mengaktualisasikan sila-sila dalam Pancasila atau
homo Pancasila. Dalam pembentukan homo Pancasilasis dapat menyinergikan tiga modal
kultural dan atau modal spiritual yaitu Pancasila, kearifan lokal dan agama. Tiga modal ini
dapat membentuk manusia Pancasilasis yang berintikan kasih sayang.
B. Belas Kasih Inti Agama-Agama
Menurut Nurcholish dan Dja’far (2015) belas adalah inti sari agama-agama adalah
samudra belas kasih atau samudra cinta sehingga agama disebut agama cinta. Maka dari itu
wajar saja jika agama-agama di dunia menandatangani Piagam Belas Kasih pada tahun 2008.
Penandatanganan ini diwakili oleh individu dari semua agama dan dari individu yang
terkemuka yaitu Yudaisme, Kristen, Islam, Hindu, Buddha dan Konghucu. Dimana piagam
ini diluncurkan pada tanggal 12-11-2009 di enam puluh lokasi di seluruh dunia sehingga
keberadannya mengglobal (Armastrong, 2013:12-14). Lickona (2012:57) menyatakan bahwa
“…bagi banyak orang agama adalah motif utama dalam menjalankan kehidupan moral”.
Dalam hal ini kedudukan nilai agama sangat kuat dan berada pada peringkat atas. Sehingga
homo Pancasilasis yang berintikan kasih sayang dapat dikatakan sangat relevan karena sesuai
dengan ajaran agama.
C. Nirkekerasan Fondasi Agama
Dalam hal ini agama hindu sangat berpegang teguh pada ajaran ahimsa atau
antikekerasan. Manusia jika memiliki rasa ketamakan maka akar dari kekerasan akan muncul
yaitu ingin selalu terlihat lebih kaya. Manusia yang memiliki sifat serakah akan melakukan
segala cara untuk mendapatkan hal yang ia inginkan sehingga kekerasan tidak dapat
dihindarkan. Yang termasuk ke dalam kekerasan atau himsa adalah memperlakukan diri
sendiri berbeda dengan orang lain, tidak menyadari kesatuan mendasar dari segala sesuatu
dan hal lain yang bersifat kekerasan. Fondasi dari ahmisa adalah Tat Twam Asi yaitu
kewajiban manusia membangun persaudaraan bukan hanya dengan sesama manusia tetapi
juga dengan semua makhluk. Mengacu pada Galtung (2003) kekerasan dilawan dengan
kedamaian. Yang artinya manusia melakukan ahimsa maka sasarannya yaitu harus
mewujudkan kedamaian. Kedamaian tidak hanya tujuan dari agama Hindu saja, melainkan
agama-agama lain juga bertujuan sama. Agama merupakan interaksi sosial manusia dimana
bertujuan untuk mewujudkan kedamaian.
D. Ahimsa Fondasi bagi Kasih Sayang
Prasad (2012) menyatakan bahwa kasihan artinya melihat manusia lain dengan rasa
simpati sedangkan belas kasih artinya kasih sayang kepada siapa saja tidak melihat dari status
ekonomi atau sosialnya. Welas asih atau belas kasihan dipaparkan pada Bhagavad Gita yaitu
pada Darmayasa (2012:33). Selain itu terdapat pula pada Sara-samuccaya, 47 (dalam
Krishna, 2015: 47) yang menyatakan bahwa “Janganlah memperlakukan orang lain dengan
cara yang tidak menyenangkan dari dirimu sendiri. Inilah intisari dharma atau kebajikan.
Segala sesuatu yang lain bersumber dari karma atau nafsu”. Agama Hindu secara tegas
menunjukkan bahwa inti atau titik pusat yang menyatukan manusia sehingga membentuk
jalinan memusat adalah atman. Umat manusia menganut asa Bhineka Tunggal Ika yaitu
berbeda secara ketubuhan dan kebudayaan, tetapi terdapat titik pusat yang mengikatnya yaitu
atman. Cinta kasih antar sesama manusia tidak hanya pada agama Hindu saja tetapi berlaku
pula untuk seluruh agam (Pecceidan dan Ikeda, 1988; Fromm, 2014; Nurcholish dan Dja’far,
2015).
E. Om Shanti, Shanti, Shanti
Ketika orang Hindu berpidato maka setiap dalam membuka pidato akan mengucapkan
“Om Swasti Astu” yang artinya “Semoga baik/selamat/Rahayu atas Karunia Tuhan”.
Sedangkan jika orang Hindu akan menutup pidato ia akan mengucapkan “Om Shanti, Shanti,
Shanti” yang bermakna “Kedamaian, kedamaian, kedamaian atas Karunia Tuhan”. Dalam hal
ini dapat dikatakan baik agama Islam maupun agama Hindu memiliki cita-cita yang sama
yaitu mewujudkan kedamaian. Agama Hindu mengenal kata Om yaitu tiga huruf A, U, M. A
= Brahma = Pencipta, U = Wisnu = Pemelihara, dan M = Siwa = Pelebur. Kedamaian tidak
hanya dapat terjadi antara manusia dengan manusia tetapi bisa juga dengan binatang terutama
binatang yang berbulu tengkuk dan para dewa. Agama Hindu mengidealkan kedamaian antar
manusia, binatang, dewa, bumi, langit, dan surga.
F. Pancasila Bermuatan Belas Kasih
Latif (2014) memaparkan tentang perilaku orang Indonesia yang mengamalkan sila
pertama Ketuhanan Yang Maha Esa yang berwujud tindakan “Berketuhanan yang welas asih
dan toleran”. Welas asih merupakan implikasi dari manusia sebagai mahkluk beragama yang
berintikan keyakinan pada Tuhan. Agama Hindu melihat belas kasih melekat pada Tuhan.
Pemodelan Tuhan sebagai guru welas asih dilakukan dengan cara ber-ahimsa terhadap diri
sendiri, antar sesama manusia dan mahkluk lainnya. Latif (2014) dalam bukunya yang
berjudul “Mata Air Keteladanan Pancasila dalam Perbuatan” memberikan contoh beberapa
tokoh sejarah yang menerapkan kasih sayang dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan
bernegara. Misalnya Mohammad Natzir sebagai tokoh Islam bersahabat dengan tokoh
Katolik dan Protestan. Ini merupakan contoh yang sangat baik jika seseorang
mempraktikkannya.
G. Belas Kasih pada Kearifan Lokal
Pillang (2011) menunjukkan etnik-etnik di Indonesia menghasilkan apa yang disebut
narai kecil Redfield (1985) menyebutnya tradisi kecil. Narasi kecil yaitu mencangkup tentang
mitos, legenda, dongeng, hikayat, epik, sejarah, tragedi, komedi, lukisan, sinema, komik, dan
percakapan. Narasi kecil dapat berwujud kearifan lokal. Kearifan lokal berkontribusi bagi
pembentukan homo Pancasilasis yang berintikan pada belas kasih. Dalam hidup manusia
berpegang pada tepaselera. Artinya jika seseorang merasa sakit kalau dicubit maka sebaiknya
jangan mencubit orang lain. Terdapat pula ilmu kantong bolong yang memuat salah satunya
tempat untuk menaruh sesuatu yang artinya ajakan untuk mengosongkan tubuh sebagai
wadah dari berbagai sifat. Kasih sayang diterjemahkan dalam kearifan lokal bali yaitu sikut
ada di awake yang berarti apa yang kita lakukan pada orang lain haus memakai ukuran atau
patokan (sikut) pada diri sendiri (ada di awake) bermakna sama denga tepa selira. Maka hal
ini merupakan ukuran untuk perasaan orang lain.
H. Aspek Esoteris dan Eksoteris Karakter Bangsa
Kemajemukan yang melekat pada kehidupan bangsa Indonesia bisa menyangkut
aspek agama, estrisitas, kebudayaan, kelas sosial, lokalitas dan gender. Pada tataran eksoteris
berwujud perbedaan tindakan sosial dan artefak yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Terjadi krisis ke-kita-an dominasi ke-kami-an itulah yang tengah melanda jiwa bangsa.
Kondisi ini memerlukan strategi yang tepat dalam pengelolannya. Keragaman secara
eksoteris merupakan keniscayaan karena Tuhan menciptakan isi alam semesta ini dalam
bentuk keragaman. Nilai-nilai esoteris yang menyatukan keragaman adalah kasih sayang-
esensi homo pancasila. Kasih sayang manusia terhadap dirinya artinya manusia menyayangi
dirinya sendiri baik secara lahiriah maupun batiniah. Kasih sayang manusia terhadap manusia
lainnya yang berarti kasih sayang antar sesama manusia. Kasih sayang terhadap binatang dan
tumbuhan dan kasih kepada alam semesta. Kebutuhan akan kasih sayang tidak saja karena
pergaulan adalah keniscayaan, tetapi juga bergaul dengan orang lain ada dalam situasi
keberagaman.
I. Nirkekerasan Memutus Lingkaran Kekerasan
Usaha memutus kekerasan dengan cinta kasih umat penting dilengkapi dengan etika
keutamaan lainnya, sebab kekerasan tidak bisa dilawan dengan kekerasan. Jika kekerasan
dilawan dengan kekerasan maka muncul lingkaran kekerasan. Lingkaran kekerasan bisa
putus lewat kasih sayang atau kelembutan.
J. Inkulkasi ; Strategi Pembangunan Karakter Bangsa
Inkulkasi berarti penanaman nilai-nilai karakter yang bersumberkan pada kebudayaan
lokal, pancasila dan agama melalui sosialisasi yang melibatkan berbagai agen pendidikan,
misalnya sekolah inkulkasi. Ciri-ciri manusia memiliki keterampilan berpikir kritis yaitu
mencari kejelasan atas suatu pertanyaan dan pernyataan, mencari alasan, mencoba
memperoleh informasi yang benar dan lainnya. Dengan mengacu kepada Abdullah (2010)
pola ini diharapkan mampu membentuk bangunan kultural yang berfondasikan agama,
Pancasila dan kearifan lokal.
K. Pluralisme Menjadi Multikulturalisme
Paparan di atas menunjukkan bahwa kondisi bangsa Indonesia yang bercorak
pluralitas etnik, agama, adat istiadat, budaya lokal, dan bahasa. Fakta ini memunculkan istilah
masyarakat plural, yakni tatanan masyarakat yang di dalamnya terdapat berbagai unsur
masyarakat yang memiliki ciri-ciri budaya yang berbeda satu sama lain. Tidak mengherankan
jika pluralisme dianggap memiliki kelemahan yaitu salah satunya pluralisme berpeluang bagi
adanya hubungan dominatif, hegemonik dan diskriminatif yang dilakukan oleh tuan rumah
terhadap pendatang. Kelemahan pluralisme tradisional mengakibatkan muncul gerakan baru,
yakni multikultularisme. Ciri pluralisme modern adalah masyarakat mengembangkan
kemampuan psikis dan etis yang ditandai oleh kehidupan sehari-hari.
Multikultulturalisme adalah paham yang mengakui pluralisme budaya sebagai
keniscayaan bagi umat manusia hakikat manusia adalah sebagai homo pluralis. Agama Islam
sangat menghargai perbedaan keagamaan dan intelektual. Sedangkan Agama Hindu tidak
saja mengakui keragaman, tetapi juga asas multikulturalisme. Ini menunjukkan
multikulturalisme berlaku dalam Agama Hindu. Perbedaan tidak perlu dipertentangkan tetapi
harus menyikapi perbedaan sebagai keniscayaan dalam masyarakat guna mewujudkan
kedamaian ( Munawar-Rachman, 2016; Phillips, 206).

BAB 5
Dewataisasi Insani: Pemaknaan
Pendidikan Filsafat Pendidikan Hindu
A. Agama Hindu adalah Bahan Ajar Pendidikan Agama
Tuhan yang memberikan label Maha Tahu dan Maha Pencipta, selain menciptakan
manusia dan alam semesta Tuhan memberikan pula agama wahyu yang terkodifikasi dalam
bentuk kitab suci Veda sehingga melahirkan seperangkat ajaran agama yang bersifat
kontekstual. Agama Hindu sangat kaya akan ide-ide filsafat tidak saja tercermin pada
ajarannya tetapi juga pada munculnya aneka aliran filsafat dalam agama Hindu. Walaupun
kaya akan filsafat, namun agama Hindu tidak mengenal istilah filsafat, tetapi memakai istilah
darshana. Kata darshana berarti melihat atau mengalami, pemaknaan ini menunjukkan berarti
filsafat dalam konteks agama Hindu tidak hanya spekulasi metafisika, tetapi didasari pula
oleh data langsung. Walaupun filsafat agama Hindu sangat menghargai olah pikiran dan
pengalaman, namun ada aspek penting yang membedakannya yakni penghargaan terhadap
intuisi. Jadi dalam rangka mendapatkan pengetahuan filsafat Hindu tidak hanya bermuatan
oleh pikiran (rasionalisme) dan olah pengalaman (empirisme) atau memadukan wadah
rasional dan empiris sebagaimana yang lazim berlaku pada filsafat Barat. Agama Hindu
adalah kebenaran berdimensi kewahyuan sehingga kualitasnya bersifat absolute dan tak
tercampuri (murni).
Teks suci Veda dan tafsirnya tidak saja memuat tentang tata kelakuan keagamaan
tetapi memuat pula aneka tata kelakuan sosial antara lai tentang pendidikan. Bertolak dari
kenyataan ini tidak berlebihan jika dikatakan bahwa agama Hindu mengenal filsafat
pendidikan atau secara lebih spesifik bisa disebut filsafat pendidikan Hindu. Adapun gagasan
filsafat pendidikan Hindu tentang hakikat pendidikan adalah sebagai berikut:
B. Pendidikan adalah Dewataisasi Insani
Manusia adalah makhluk pendidikan (homo educadum) sebab berkemampuan
mendidik dan dididik. Realitas ini disadarai oleh agama Hindu, terbukti dari kenyataan agama
Hindu banyak mengkaji masalah pendidikan. Hal ini telah berlangsung sejak awal, terlihat
pada ungkapan-ungkapan teks kuno sebagai berikut:
1. Sa vidya ya vimuktaye
(Pembelajaran adalah yang membebaskan manusia)
2. Vidya tritiyo netrah
(Pembelajaran seperti mata ketiga)
3. Vidya yam rihta mashnute
(Pembelajaran membuat manusia abadi)
4. Na hi jnanen sadrisnham pavitramih vidyate
(Tidak ada yang lebih murni di dunia ini daripada pengetahuan)
5. Vidya balam Chandra balam stathaiva
(Mudah-mudahan kekuatan pengetahuan dan kekuatan bulan menganugrahi kalian
semua)
6. Vidya gurunam guruh
(Pengetahuan merupakan gurunya guru)
7. Kim kim na sadhyati kalpalateva vidya
(Apa yang tidak dijumpai oleh pembelajaran itu? Ia merupakan sebuah tumbuhan
magis atau pohon kebijaksanaan)
8. Vidya vihinah pashuh
(Seseorang yang tanpa pembelajaran adalah binatang)
Ungkapan-ungkapan ini menunjukkan agama Hindu sangat menghargai pentingnya
pengetahuan bagi kehidupan manusia. Perolehan pengetahuan didapat melalui pembelajaran,
kemampuan belajar merupakan aspek penting bagi eksistensi manusia, tidak hanya karena
belajar adalah pintu gerbang bagi pengetahuan. Agama Hindu menyebut pendidikan dengan
istilah aguron-aguron atau asewakadharma. Apapun nama lembaga pendidikan baik asrama
maupun sekolah, pasti memiliki tuuan dan hakikat manusia sebagai makhluk teleologis.
C. Ciri-ciri Divine Human
Pemaknaan pendidikan sebagai dewataisasi insane atau deraksasanisasi insane guna
membentuk daiwisampat atau divine human, gagasan ini tentang tujuan hidup manusia yakni
mencari nikmat dan menghindarkan rasa sakit. Pengaktualisasian hasrat atau kama selalu
dibayangi oleh sattwa guna – tendensi-tendensi benar dan patut dan tamas guna – tidak bisa
dilenyapkan karena keduanya melekat pada tubuh manusia. Manusia selalu berpeluang untuk
selalu berbuat kebajikan (sattwa guna) atau sebaliknya, yakni berbuat kejahatan (tamas guna)
baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Kemunculan perbuatan baik atau
buruk dalam memenuhi hasrat selain karena kemelekatan sattwa guna dan tamas guna pada
tubuh manusia , bergantung pada pengendalian pikiran (manah) dan kecerdasan (budhi).
Tubuh dan pancaindra sebagai sumber hasrat selalu menuntut kenikmatan optimal, gagasan
ini berimplikasi bahwa pendidikan sebagai dewataisasi insani secara ideal diarahkan kepada
pembentukan manusia berkarakter ideal. Walaupun berpihak pada daya manah dan budhi,
sattwa guna, pandawaisme atau divine human, namun tidak berarti bahwa daya tahan tubuh,
pancaindra, hasrat,tamas guna, korawaisme atau demonic human, karena secara substansial
tidak bisa dilenyapkan, bahkan harus ada dalam konteks kehidupan manusia.
Unsur-unsur ini tidak bisa dinolkan tidak saja karena sattwa guna dan tamas guna
melekat secara psikogenetik dalam tubuh manusia. Walaupun agama Hindu menganut asa
opsisi biner namun tak ada manusia yang sempurna tetapi selalu ada cacatnya, kondisi
bivalensia dalam logika samar menyatu dengan sang diri mengikuti rentangan waktu atau
sang kala, dengan demikian sepanjang hidupnya jika bukan pada hari ini maka baik dimasa
lalu mauoin dimasa depan manusia selalu berpeluang untuk berbuat salah/buruk atau
sebaliknya berbuat kebajikan-manusia tidak bisa dilihat secara hitam putih yang abadi.
Berkenaan dengan itu maka dewataisasi insane sebagai proses dan tujuan pendidikan,
arahnya bukan melenyapkan daya tubuh, pancaindra, hasrat, tamas guna, melainkan
mengendalikannya agar melahirkan manusia yang berpihak pada daya manah, budhi, sattwa
guna. Dalam konteks inilah maka pendidikan sebagai dewataisasi insane harus menanamkan
berbagai indikator tindakan yang mencerminkan divine human. Agama Hindu menyediakan
tata kelakuan atau resep bertindak yang amat kaya guna mewujudkan divine human melalui
dewataisasi insani. Orang Hindu tidak saja sebagai orang yang memiliki agama Hindu tetapi
juga sebagai warga negara dan masyarakat sedangkan agama Hindu disebut dharma Negara.
Kondisi ini berimplikasi bahwa pendidikan sebagai dewataisasi dalam konteks mewujudkan
divine human, namun apapun resep divine human maka penanamannya dilakukan pada
pikiran manusia. Gagasan ini berkaitan dengan filsafat Vedanta dan Katha Upanisad tentang
hakikat manusia yang terdiri dari tubuh dan roh (atman).
Berkenaan dengan itu maka pendidikan sebagai dewataisasi insane tidak cukup hanya
menanamkan resep-resep divine human dalam pikiran, melainkan membutuhkan pula
peningkatan kecerdasan. Dalam konteks ini teori-teori kecerdasan yang mencangkup
kecerdasan emosional, intelektual, spiritual dan sosial tidak bisa diabaikan guna mewujudkan
divine human. Agama Hinduamat kaya akan resep divine human tidak kalah daripada agama
yang lain maupun teori-teori sosial budaya. Divine human tidak saja menuntut perubahan
pada pikiran – kaya aspek kognitif dan evaluative, melainkan menuntut pula konsistensi pada
ucapan dan tindakan atau Tri Kaya Parisudha membentuk suatu kesatuan. Jika manusia
berhasil mengendalikan pikiran dengan menggunakan idea yang ada didalam pikirannya, baik
sebagai peta kognisi maupun aspek evaluative yang berlanjut pada penguasaan alat-alat
indria, tubuh dan hasrat, maka peluang bagi kemunculan divine human sangat besar.
Gagasan agama Hindu tentang kemanunggaan tubuh dengan sattwa guna dan tamas
guna, gagasan ini berimplikasi bahwa pendidikan sebagai proses mendewasakan atau
mendewatakan manusia. Usaha mewujudkan kedewasaan secara sosiobudaya tidak mudah,
baik karena factor psikogenetik – manusia memiliki tubuh, pancaindra, hasrat dan tamas guna
maupun karena pengaruh lingkungan sehingga sepanjang perjalanan hidupnya manusia selalu
berpeluang untuk berbuat kejahatan. Gagasan ini sangat cocok dengan filsafat pendidikan
Hindu yang melihat bahwa manusia adalah multivalensi yang terkait dengan logika samar
sehingga tidak ada manusia yang murni ataupun sebaliknya. Jika dewataisasi berhenti maka
hasrat yang menyatu dengan virus tamas guna akan memunculkan penyakit.

BAB 6
Nilai-Nilai Perjuangan Dan Wayang Sebagai Inspirator Guna Mewujudkan Pemuda
Berkarakter Kebangsaan
A. Sejarah sebagai Kontestan Nilai
Penjajahan pasti menimbulkan penderitaan bagi bangsa Indonesia. Gagasan ini
berkaitan dengan pola berfikir penjajah yakni bercorak opsisi biner rwa bhineka. Pola berfikir
seperti ini mengakibatkan penjajah merasa berhak menjajah dan mengambil keuntungan yang
sebnanyak-banyaknya lewat kebijakan yang eksploitatif atas bangsa Indonesia. Akibatnya
motif untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya merupakan kewajiban bagi penjajah
terhadap jajahannya. Dengan adanya kenyataan in bangsa Indonesia melakukan perjuangan
melawan penjajah, tidak hanya sekedar melawan melainkan dilandasi oleh nilai-nilai yang
mendorong atau yang ingin mereka tegakkan. Adapun nilai-nilai yang dimaksud : nilai
kemanusiaan, kemerdekaan, emansipatoris, agama, dan juga kebudayaan barat yang
tercangkup pada berbagai system politik. Nilai-nilai tersebut bisa saja berpengaruh atau
secara tumpang tindih diant oleh orang-orang tertentu dalam melakukan perjuangan melawan
Belanda.
B. Nilai Sejarah sebagai Habitus
Kemerdekaan mengakibatkan penjajahan berkhir dari bumi Nusantara, nilai-nilai
tersebut memerlukan konstektualisasi agar bersesuaian dengan kondisi yang dihadapi oleh
bangsa Indonesia yakni tidak lagi dijajah tapi sudah memasuki alam kemerdekaan. Nilai
humanisasi tetap dibutuhkan mengingat bahwa nilai-nilai kemanusiaan tidak saja menyatu
dengan diri manusia tetapi merpakan pula asas bagaimana seseorang memperlakukan orang
lain. Gagasan ini tidak bisa dilepaskan dari hakikat pendidikan sebagai humanisasi. Generasi
muda memiliki kewajiban untuk melakukan humanisasi lewat pendidikan, arah humanisasi
adalah menciptakan manusia yang berkarakter pancasila – kemanusiaan yang adil dan
beradab tanpa mengabaikan karakter yan digariskan oleh agama dan kebudayaan local.
Nilai kemerdekaan memerlukan refleksi secara kritis mengingat Indonesia memang
merdeka tidak lagi dijajah oleh negara lain, gejala ini dapat dicermati dengan kuatnya
dominasi kebudayaan barat atas kebudayaan nasional dan local. Betapa kuatnya pengaruh
kebudayaan amerika pada Negara kita, anda bisa merenungkan diri sendiri dengan
mengkritisi apa yang anda konsumsi bahwa bisa dipastikan hanya sebagian kecil merupakan
produk Indonesia. Dengan adanya kenyataan ini maka tantangan yang dihadapi oleh generasi
muda adalah bagaimana melawan imperialism budaya dengan cara memperkuat karakter
bangsa agar kita tidak tenggelam pada arus kebudayaan global sebagai suatu keniscayaan.
Emansipasi, generasi muda tidak boleh mengembangkan karakter penjajah melainkan
sebaliknya yakni mampu mengembangkan karakter yang mengakui adanya persamaan dalam
berbagas]I bidang kehidupan kepada siapapun tanpa membedakan latar belakang agama, ras,
etnik, dan jenis kelamin. Begitu pula memperlakukan wanita sebagai kelas bawah tidak
sesuai emansipasi. Nilai agama, yakni dicarikan titik temu antar agama agar agama bisa
berfungsi sebagai modal spiritual guna membangunketahanan bangsa, untuk mewujudkan
sasaran ini pengakuan akan keberagaman yang inklusif, dialogis dan pluralistic amat penting
bagi generasi muda. Nilai kebudayaan barat, walaupun banyak kajian menyebutkan bahwa
kebudayaan barat tidak selamanya membawa kemaslahatan bagi umat manusia tetapi banyak
pula yang membawa kemudharatan, namun era globalisasi mengakibatkan kita tidak mungkin
menutup diri dari kebudayaan barat. Dalam konteks ini nilai-nilai pancasila berkedudukan
strategis, yakni tidak saja sebagai tolak ukur dan sekaligus filter budaya guna
mempertahankan kepribadian bangsa dari pengaruh kebudayaan global, tetapi sekaligus bisa
pula diposisikan sebagai ideologi negara. Gagasan ini tidak bisa dilepaskan dari adanya
kenyataan bahwa pancasila tidak saja memuat nilai-nilai barat, yakni demokrasi,
nasionalisme dan sosialisme tetapi juga mengakomodasikan nilai-nilai agama dan kearifan
lokal.
Pancasila sebagai ideology Negara tetap diyakini amat tepat bagi kelangsungan hidup
bangsa Indonesia yang bercorak pluralistik. Gagasan ini mencerminkan bahwa pancasila
tetap dianggap berposisi penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara pancasila wajib
hukumnya bagi bangsa Indonesia. Perjuangan melawan penjajahan Belanda sebagaimana
disinggung diatas mendapat pula inspirator dari wayang terutama di kalangan orang jawa dan
bali. Dengan demikian wayang berkedudukan sangat penting bagi masyarakat, yakni habitus
guna mewujudkan kehidupan duniawih maupun batiniah yang terkait dengan konsep
manunggaling kawula gusti. Gagasan ini terkait dengan esensi wayang sebagai peretunjukan
tradisional yang tidak hanya menghibur, tetapi memuat pula nilai-nilai kepahlawanan dan
kebangsaan.
C. Wayang Inspirator Tindakan Kepahlawanan
Wayang memiliki makna yang sangat dalam bagi masyarakat jawa karena wayang
tidak hanya menyentuh aspek tontonan dan tuntunan, melainkan memberikan pula inspirasi
bagi ajaran kebatinan. Dengan demikian wayang berkedudukan sangat penting bagi
masyarakat jawa. Yakni habitus guna mewujudkan kehidupan duniawiah maupun batiniah
yang terkait dengan konsep manunggaling kawula-gusti.gagasan ini terkait dengan esensi
wayang sebagai pertunjukan tradisional yang tidak hanya menghibur melainkan memuat pula
nilai-nilai kepahlawanan dan kebangsanaan yang terlihat pada alur cerita dan pemodelan
yang dilakukan oleh aktor wayang. Beberapa contoh pahlawan dalam cerita wayang adalah
diponegoro dalam cerita mahabrata dan tokoh arjuna, sukarno dalam mahabrata sebagai
bima, dan kumbakarna dan bisma yang diibaratkan sebagai nasionalis sejati.
D. Wayang Wanita Idola bagi Wanita Jawa
Wayang tidak hanya terdiri laki-laki tetapi juga wanita. Kaitan antara wayang wanita
dengan tipe ideal wanita dalam budaya jawa memposisikan tokoh Suprabha, Dewi Kunti,
Drupadi, ddan Gandari. Suprabha berperan aktif membantu arjuna untuk mengalahkan
musuhnya yaitu raksasa niwata kawaca. Hal ini sering kali dipakai model istri yang ideal
adalah cantik dan aktif membantu dan mendampingi suami dalam mengelola rumahtangga
dan memecahkan masalah yang dihadapi. Dewi kunti adalah istri pandu kunti dimadu oleh
pandu namun kunti tidak menolaknya. Bahkan ketika pandu dan madri wafat, kunti tetap
mengasuh anak mereka berdua. Kunti dianggap wanita ideal yang berkarakter nerima, penuh
kasih ssayang tidak hanya kepada anak kandungnya melainkan kepada anak tirinya. Dengan
melihat ini citra ibu tiri menjadi lebih positif. Drupadi adalah istri panca pandawa. Drupadi
contoh wanita yang sangat setia terhadap suaminyasebab pandawa mengalami masala
pengasinangan selama 12 tahun. Ini menjadi model wanita yang patut ditiru karena
kesetiannya. Gendari menampilkan karakter yang patut dihindarkan mengingat beliau
merupakan ibu yang lebih menkanakna kuantitas anak daripada kualitas anak. Hal ini patut
digunakan sebagai contoh untuk tidak melakukan hal tersebut ketika menjadi seorang istri.

BAB 7
Lokalisasi Etika Keutamaan Hindu Berbentuk Kearifan Lokal
Konsep-konsep etika keutamaan Hindu dikenal secara terbatas pada kelompok elite
agama. Walaupun demikian bukan berarti umat Hindu sama sekali tidak mengenalnya, tapi
mengenalnya dengan formulasi lain. Kondisi ini berkaitan dengan daya kreatif dan daya
adaptif yang dimiliki oleh agen budaya dalam masyarakat yang disebut local genius atau
lokalisasi (Mulder, 1999), sinkretisme atau akulturasi (Koentjaraningrat, 1985). Dalam
perspektif teori-teori postmodern dikenal berbagai konsep sejenis, seperti hibridisasi budaya
Agama Hindu, Pancasila, dan Kearifan Lokal Fondasi Pendidikan Karakter dan glokalisasi
(Atrmadja 2015, Darmawan, 2014, Ritzer, 2006, 2014: Ritzer dan Goodman, 2004). Namun,
apapun konsep yang digunakan secara esensial adalah sama. Artinya, proses pengolahan Ini
terkait dengan hakikat manusia sebagai makhluk rasional empirik sehingga mereka bisa
memaknai dan mengolah pengalaman ekologis, pengalaman kewaktuan, dan pengalaman
sosial budaya menjadi kumpulan kognisi. Kumpulan kognisi ini merupakan modal dasar
untuk melakukan lokalisasi terhadap etika keutamaan Hindu. Etika keutamaan Hindu tidak
diterima secara tekstual memakai Istilah-istilah baku berbahasa Sansekerta seperti, tapi
diolah, diserap, dan dicangkokkan ke dalam kebudayaan lokal. Hal ini melahirkan konsep-
konsep atau bahkan proposisi yang cocok dengan kepribadian mereka.
Aneka konsep etika keutamaan Hindu merupakan konsekuensi dari gagasan Tat
Twam Asi. Tat Twam Asi dan etika keutamaan Hindu tidak saja sebagai sarana orientasi bagi
usaha manusia untuk bertindak secara etis, tetapi juga melegitmasinya. Artinya, ada
argumentasi yang dapat dipertangungjawabkan dilihat dari filsafat manusia dan etika Hindu
dalam konteks mengapa manusia bertindak etis. Pertanyaan ini dijawab oleh gagasan Tat
Twam Asi dan etika keutamaan Hindu yang mengiringinya. Lokalisasi terhadap konsep-
konsep etika keutamaan Hindu melahirkan kearifan lokal.
Etika keutamaan Hindu lain adalah kasih sayang berkaitan erat dengan ahimsa
(Shastri dan Shaatri, 2005). Kajian Atmadja (2014) menunjukkan belas kasih dapat
dirumuskan melalui dua cara, pertama, Kaidah Emas Negatif, “Jangan berbuat terhadap orang
lain apa yang Anda sendiri tidak diinginkan akan diperbuat terhadap diri Anda”. Atau,
“Jangan kaulakukan terhadap orang lain apa yang tidak kaumaui dilakukan terhadapmu”.
Kedua, Kaidah Emas Positif, yakni “Iakukan apa yang ingin orang lain lakukan untuk Anda”.
“Hendaknya memperlakukan orang lain sebagaimana Anda sendiri ingin diperlakukan”
(Shastri dan Shastri, 2005: 115). “Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri” (Atmadja,
2014: 209).
Betapa pentingnya belas kasih dijelaskan Swami Chinmayananda (dalarn Bhalla,
2010: 4) yang menyatakan bahwa “Kasih adalah dasar dari agama Hindu. Bila Anda tahu
cara mengasihi, Anda adalah seorang Hindu. Semua orang-orang hebat menjadi hebat
karenarasa kasih mereka untuk sesama. Mereka menjadi hebat karena mereka belajar untuk
mengasihi”. Kahril Gibran, kelahiran Libanon 6-1-1883, seorang penyair ternama yang
karya-karyanya mencerminkan perpaduan budaya Timur dan Barat, sangat disukai di
seantero dunia memberikan penilaian amat tinggi terhadap kasih sayang. Ide ini dapat
dicermati pada ungkapan.
Etika keutamaan Hindu yang berintikan pada pencapaian suaty tata kehidupan
masyarakat yang harmoni atau menurut penganut teori fungsionalisme struktural disebut
masyarakat yang integratif atay egualibrium (Ritzer, 2012). Gagasan kehidupan masyarakat
yang harmonj dipayungi dengan kearifan lokal, yakni Tri Hita Karana (THK). THK tidak saja
kearifan lokal Bali, tetapi juga filsafat hidup, bahkan ideologi pada masyarakat Bali
(Atmadja, 1998, 2010, 2010a, 2014). THK sebagai kearifan lokal bermakna bahwa THK
adalah habitus guna mewujudkan tindakan arif dan bijaksana konteks hubungan antara
manusia dan manusia (sila Pawongan), hubungan antara manusia dan lingkungan alam (sila
Palemahan) dan hubungan antara manusia dengan Tuhan (sila Parhyangan). Gagasan ini
mencerminkan bahwa sila Pawongan, Palemahan dan Parhyangan yang tercakup pada THk
secara esensial mengidealkan harmoni sosial, ekologis, dan teologis, Hubungan hamonis pada
tiga komponen ini memberikan jaminan bagi terwujudnya kesejahteraan dan/atau
kebahagiaan hidup manusia lahir batin dan di alam sini maupun alam sana. Gagasan ini
sesuai pula dengan tujuan agama Hindu dan agama-agama lainnya, yakni mewujudkan
kesejahteraan lahir batin dan mencapai kebahagiaan akhir agama Hindu menyebutnya
moksha.
Pencapaian harmoni sosial atau kedamaian mutlak membutuhkan etika keutamaan.
Kedamaian adalah kondisi yang tidak saja harmoni atau integratif, tetapi meminjam gagasan
Gaitung (2003) bisa pula berarti bebas dari konflik maupun kekerasan. Jikalau pun terjadi
konflik masih dapat dikendalikan sehingga sistem sosial tidak hancur harmoni dalam kondisi
dinamis ke arah keseimbangan. Agama Hindu sangat menekankan kedamaian tercermin pada
ucapan. Om Shanti, Shanti, Shanti, Om semoga damai, damai, damai atas karunia Tuhan
Yang Maha Esa.
Pencapaian masyarakat harmoni membutuhkan etika keutamaan, misalnya
persaudaraan. Persaudaraan tidak saja mengacu kepada persaudaraan dalam arti kerabat
dan/atau sesama etnis, tetapi juga dengan orang lain di luar kerabat saya dengan dia, kita
dengan mereka, orang Bali dengan non-Bali. Bahkan lebih luas lagi dengan dengan sesama
manusia implikasi dari tat twam asi. Dalam konteks ini orang Bali mengenal istilah nyama
Selam yang berarti saudara beragama Islam Sebaliknya, orang Islam menyebut orang Bali
dengan istilah nyama Bali.
Etika keutamaan Hindu menarik untuk dicermati, yakni “Apakah berlaku pada
masyarakat Jawa? Pertanyaan ini penting mengingat, walaupun masyarakat Jawa saat ini
telah berubah menjadi masyarakat Islam, namun di masa lalu, dia merupakan masyarakat
Hindu. Untuk menunjukkan apakah etika keutamaan Hindu berlaku pada masyarakat Jawa,
sangat menarik dicermati paparan Syuropati (2015) dan Hariwijaya (2014) dalam bukunya
berjudul “Kumpulan Mutiara Kearifan Jawa”.

BAB 8
Dewataisasi: Humanisme Religius Sasaran Pendidikan Hindu

Pendidikan adalah proses melibatkan aneka masukan dengan tujuan mereproduksi


manusia ke arah cita-cita ideal dalam kehidupan bermasyarakat bernegara dan beragama.
Filsafat Barat acap kali menggambarkan wujud manusia ideal adalah manusia dewasa.
Gagasan ini tidak bertentangan dengan agama Hindu. Hal ini sejalan dengan pendapat Titib
(2003) bahwa tujuan pendidikan menurut agama Hindu adalah mewujudkan manusia dewasa.
Kata dewasa berasal dari bahasa Sansekerta, yakni dewa # sya (sa). Dewa berarti dewa,
sedangkan sya (sa) berarti memiliki. Dengan demikian hakikat pendidikan dalam perspektif
agama Hindu adalah proses untuk menjadikan peserta didik agar menjadi insan berkarakter
seperti dewa atau dewata. Manusia berkarakter kedewataan ditandai oleh kemampuan
menganut nilai-nilai dalam agama Hindu. Maharaj (2013) menunjukkan ada sejumlah nilai
yang harus ditanamkan lewat pendidikan di sekolah guna membentuk manusia berkarakter
kedewataan sebagai berikut. Berdasarkan kutipan ini jelas terlihat bahwa ciri-ciri manusia
berkarakter kedewataan secara esensial adalah menganut nilai-nilai universal bahkan berlaku
pada agama-agama lain. Kapan pun nilainilai ini tetap relevan hanya saja perlu ditafsirkan
agar berkontekstual sejalan dengan adanya dinamika waktu dan ruang.
Dewataisasi sebagai proses pembentukan manusia berkarakter mulia tak ubahnya
seperti dewa sangat memungkinkan. Hal ini bisa dilihat dari prinsip antroplogis yang
menyatakan sebagai berikut. Berpijak dari dasar antropologis setiap pemikiran tentang
pendidikan karakter adalah keberadaan manusia sebagai penghayat nilai. Keberadaan seperti
ini menggambarkan struktur dasar manusia sebagai makhluk yang memiliki kebebasan,
namun sekaligus sadar akan keterbatasannya. Dinamika struktur manusia yang seperti inilah
yang memungkinkan pendidikan karakter menjadi sebuah pedagogi. Dengannya manusia
menghayati trasendensi dirinya dengan cara membaktikan diri pada nilai-nilai yang
diyakininya sebagai berharga bagi dirinya sendiri serta bagi komunitas di mana individu
tersebut berada (Suyanto, 2010: 38).
Gagasan ini mencerminkan bahwa secara antropologis manusia terikat pada sistem
nilai sebagai habitus dan pemberi makna atas tindakannya. Sistem nilai tidak terberi,
melainkan menjadi milik lewat pendidikan termasuk pendidikan karakter. Gagasan ini dapat
pula dikaitkan dengan hakikat manusia, yakni . melakukan tindakan kebaikan, orang harus
punya pikiran yang idealistik” (Anandamurti, 2010: 229). Kepemilikan pemikiran idealistik
dalam perspektif agama Hindu terikat pada aspek psikogenetik, yakni Tri Guna atau tiga
kualitas. Tri Guna melekat pada materi pembentuk tubuh manusia. Unsur-unsur Tri Guna,
yakni Guna Sattwam, Guna Rajas, Yan Guna Tamas. Tri guna selalu ada pada diri manusia.
Ketiga gung Ini menentukan karakter manusia. Jika manusia dikuasai oleh Gung Sattwam
maka manusia akan berkarakter sebagai dewa. Jika Guna Rajas menguasai manusia maka
manusia akan berkarakter keraksasaan, Ciri manusia berkarakter keraksasaan adalah memiliki
sifat-sifat berlawanar dengan manusia berkarakter kedewataan. Jika manusia dikuasai oleh
Guna Tamas maka manusia akan berkarakter kebinatangan. Cirinya antara lain selalu sibuk
makan, sibuk dalam memenuhi kebutuhan sensual, mencuri, meminta, meminjam untuk
memenuhi kebutuhan sensual, hanya perduli pada tubuhnya sendiri prinsip dasarnya adalah
mereka lebih menekankan pada instink dalam menjalankan kehidupan (Sankaracharya, 2014:
59, Darmayasa, 2012, Ranganathananda, 2000, 2000a, Atmadja, 2014, Ghooi, 2005). Cita-
cita ideal agama adalah menekankan pada manusia yang lebih memposisikan Guna Sattwam
sebagai daya yang menghegemoni Guna Rajas dan Guna Tamas muncul karakter
kedewataan, bukan karakter keraksasaan dan kebinatangan.
Gagasan lain yang bisa memberikan legitimasi bahwa pembentukan insan berkarakter
kedewataan bisa dilakukan, tercermin pula pada gagasan agama Hindu tentang roh. Roh atau
Atman adalah percikan dari Brahman atau Tuhan Brahman yang transendental berimanensi
dalam tubuh manusia. Kondisi ini mengakibatkan manusia tidak saja hidup, tetapi secara
substansial memiliki benih-benih ketuhanan yang memperkuat dan atau berkorelasi dengan
potensi ke-sattwa-an yang melekat pada tubuhnya (Radakrishnan, 2008, 2013). Benih-benih
ketuhanan ini memberikan peluang bagi pembentukan karakter mulia lewat pendidikan
karaktrer.
Vivekananda (1993: 109) memberikan penjelasan yang tdak h berbeda, yakni “set'ap
“wa dalam dri manusia adalah berpotens ke ahwan, dan pend'dikan adalah manifestasi
kesempurnaan yang telah ada dalam diri manusia". Gagasan ini mencerminkan bahwa manus'
bisa rrengembangkan karakter ketuhanan atau kedewataan lewat pendidkan, karena di dalam
dirinya ada Tuhan, yakni Atman yang menabur benih-benih ke-sattwa-an, yakni kebenaran
dan kebaikan, bahkan keilahian. Pendek kata, sasaran pendidikan menurut agama Hndu
adalah untuk memungkinkan manusia memil-ki pandangan diri sejati sesuai dengan kehendak
Tuhan lewat ajaran agama (Wacana Mut'ara Bhagawan Sri Satyha Sai Baba dalam Khandwa,
2007: 74).
Jika dilihat dari Tri Guna pada tubuh manusia, maka hakikat pendidikan bisa pula
dikatakan sebagai usaha menciptakan kondisi agar Guna Sattwa menghegemoni Guna Rajas
dan Guna Tamas bukan melenyapkannya karena manusia tidak bisa hidup tanpa Guna Rajas
dan Guna Tarnas. Jika Guna Sattwam mengendalikan Guna Rajas dan Guna Tamas maka
tercipta manusia berkarakter kedewataan. Pendek kata, hakikat pendidikan, selain bisa
disebut dewataisasi atau dewaisasi, bisa pula disebut Sattwam-isasi proses menjadikan
peserta didik agar mampu memposisikan Guna Sattwa dalam kondisi yang menghegemoni
Guna Rajas dan Guna Tamas.
Pelembagaan Guna Sattwam atau karakter kedewaitaan dalam perspektif agama
Hindu harus menjadi bagian integral pada pikiran dan budi. Sebab, akal budi menentukan
tindakan manusia. Akal budi melandasi tindakan manusia yang tidak saja memakai nalar
maupun akal sehat, tetapi juga memakai asas moralitas (Atmadja dan Atmadja, 2014a). Jika
akal budi penuh dengan resep bertindak yang bersifat Sattwa, maka peluang bagi perilaku
manusia berkarakter Sattwam menjadi lebih besar adanya (Satvic, 2007). Jika Guna Sattwam
dan akal budi (manah buddhi) bersinergi dan menghegemoni daya Guna Rajas dan Guna
Tamas maka manusia akan berkarakter kedewataanbukan berkarakter keraksasaan atau
kebinatangan. Dengan demikian hakikat pendidikan selain bisa disebut dewataisasi,
dewaisasi atau Sattwamiisasi, bisa pula disebut.
Peran guru dalam mewujudkan manusia berkarakter kedewataan sangat penting. Hal
ini tercermin dari makna yang terkandung pada kata guru. Pendidikan sebagai proses
dewataisasi agar berhasil dengan baik memerlukan berbagai cara antara lain pemodelan.
Pemodelan dilakukan oleh guru, mengingat guru tidak saja sebagai pemimpin, tetapi juga
sebagai pendidik. Guru sebagai pendidik berkewajiban melakukan reproduksi siswa ke arah
manusia yang berkarakter kedewataan. Pencapaian sasaran ini tidak hanya lewat kegiatan
mengajar, tetapi juga mendidik. Kegiatan mendidik membutuhkan pemodelan dari guru.
Gagasan ini tidak saja terkait dengan pendidikan sebagai proses yang melibatkan kegiatan
meniru atau memetik sesuai pula dengan hakikat manusia sebagai makhluk peniru, tetapi
terkait pula dengan kultur masyarakat Indonesia yang bercorak paternalisme. Artinya, dalam
mengadopsi suatu sikap dan keterampilan anak lazim memakai orang yang berada pada posisi
di atas (atasan) guru sebagai pusat orientasi, model atau panutannya.
Penempatan guru sebagai model bagi siswa mengharuskan guru untuk terlebih dahulu
menjadikan dirinya sebagai manusia berkarakter kedewataan. Gagasan ini menimbulkan
implikasi bahwa label guru yang berarti membebaskan dari kegelapan, tidak hanya tertuju
pada siswa, tetapi terlebih dahulu pada dirinya. Gurulah yang terlebih dahulu membebaskan
diri dari kegelapan guna menuju kondisi yang terang terang berarti guru berkarakter dewa
kata dewa bermakna pula sinar terang. Gagasan ini penting mengingat guru tidak bisa
memposisikan dirinya sebagai model dalam pendidikan karakter, jika dia tidak mampu
memanunggalkan dirinya dengan nilai-nilai karakter kedewataan karakter yang terang baik
bersih suci. Pencapaian sasaran ini tentu amat berat, sebab guru sebagai manusia terikat pula
dengan Tri Guna, Begitu pula daya tarik faktor eksternal kelimpahan barang di pasar yang
merangsang hasrat manusia untuk mengonsumsinya.
Gagasan ini diperkuat oleh Bhagavadgita yang menekankan tentang peran pemimpin
sebagai model bagi penegakan nilai kebajikan. Sebab, “... Apapun yang dilakukan oleh
seorang pemimpin, maka masyarakat akan mengikutinya. Masyarakat akan meniru sama
kaidahkaidah yang dilaksanakan oleh pemimpin itu” (Bhagavadgita, III. 21 dalam Vaswani,
2007: 70). Pemimpin tidak hanya elite politik, tetapi juga guru di sekolah. Guru sebagai
pemimpin siswa di sekolah menurut Bhagavad Gita berkewajiban memposisikan dirinya
sebagai model bagi siswa dalam menanamkan nilai-nilai karakter yang berbasis kedewataan.
Pemodelan disertai pemberian peluang bagi siswa untuk mempraktikkan nilai-nilai
karakter yang diajarkan kepada siswa. Pola ini terlihat misalnya pada Canakya (1995)
Nitisastra yang menyatakan bahwa “. pengetahuan tanpa dipraktikkan akan hilang, orang
yang tanpa pengetahuan, hidupnya bagaikan mati”. Begitu pula pendidikan yang diterapkan
Drona ketika mengajarkan murid-muridnya keterampilan memanah melalui keteladanan
disertai dengan praktik (Pasaribu ed, 2009).
Gagasan ini memberikan petunjuk bahwa guru berkewajiban memberikan bimbingan
kepada siswanya, sebab mereka adalah insan yang masih dalam proses menjadi sehingga
belum berpengalaman guna menemukan sendiri apa yang menjadi tujuan hidupnya. Peran
guru sebagai pemandu berarti, tidak menentukan segala-galanya, melainkan tetap
memberikan peluang bagi siswa untuk menemukan sendiri apa yang ingin diketahuinya
secara kreatif memakai akal budinya (Bose, 1999).
Masyarakat Bali terikat pada ideologi Tri Hita Karana. Inti sari Ideologi ini adalah
keharmonisan pada tiga arena, yakni sosial, ekologis, dan teologis. Gagasan ini berimplikasi
bahwa seseorang harus mampu mengendalikan emosi jika berhadapan dengan orang lain.
Begitu pula konflik sosial secara terbuka sedapat mungkin harus dihindarkan. Orang lebih
suka lari dari konflik dengan cara menghindar atau melakukan langkah strategis, yakni puik
atau tidak bertegur sapa. Jika konflik memuncak maka sesorang bisa menggunakan magi
hitam atau black magic, misalnya ilmu pangliyakan. Dengan cara ini seseorang yang sedang
berkonflik dapat menyelesaikan permusuhannya menyakiti atau bahkan membunuh lawannya
tanpa diketahui secara nyata. Konflik terselesaikan dan harmoni, walaupun di permukaan,
tampak terjaga secara baik (Atmadja, Sendratari, dan Rai, 2015).
Pola ini dapat dibandingkan dengan kultur Jawa. Dengan mengacu kepada Magnis-
Suseno (2003) dan Geertz (1981), Lestari (2014), Newberry (2013), dan Permanadeli (2015)
orang Jawa sangat menekankan pada harmoni dan rukun. Berkenaan dengan itu tidak
mengherankan jika orang Jawa sangat menekankan pada pola hidup yang samadya. Untuk
itu, orang Jawa mengenal berbagai unen-unen yang berfungsi sebagai habitus agar orang
Jawa hidup samadya.

BAB 9
Esensi Karakter Mulia Berfondasi Agama (Hindu), Pancasila, dan Kearifan Lokal
A. Kearifan Lokal Berwajah Ganda
Gagasan ini bisa dicermati pada kearifan lokal Tri Hita Karana. Kearifan lokal ini
memuat ide antara lain kesejahteraan hidup manusia ditentukan oleh sejauh mana manusia
mampu menciptakan hubungan harmonis atau harmoni sosial dengn manusia lainnya
(Pawongan). Gagasan ini tentu saja amat baik. Namun, dibalik itu dia bisa digunakan oleh
orang yang mempunyai modal kuasa dan/atau kelompok mayoritas untuk menindas orang
lain yang dikuasai dan/atau kelompok kecil. Hal ini berkaitan dengan pola piki sebagai
berikut, (1) harmoni sosial : disharmoni sosial, (2) rukun : tidak rukun, (3) damai : tidak
damai, (4) benar : salah, (5) normal : abnormal, (6) orang banyak : orang sedikit, (7)
mayoritas : minoritas.
Gagasan lain adalah pepatah berbunyi “dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung”.
Pepatah ini amat bangus karena memberikan pedoman bagi pendatang yang bertempat
tinggal diwilayah orang lain agar bisa menyesuaikan diri. Gagasan ini dapat dicemati pada
pola pikir sebagai berikut, (1) penduduk asli : pendatang, (2) tuan rumah : tamu, (3) pemilik
teritorial : tidak pemilik teritorial, (4) budaya mainstrem : budaya nonmainstrem, (5) baik
:buruk, (6) benar : salah, (7) mendominasi : didominasi, (8) menghegemoni : dihegemoni.
Kearifan lokal lainnya adalah semboyan jele melah gumi gelah sama maknanya
dengan pepatah right or wrong, my country, baik buruk adalah bumi miliki kita sendiri.
Adapula varian lainnya, yakni jele melah nyame gelah, baik buruk adalah saudara sendiri.
Daerah tempat kita berada adalah tempat kita hidup, mencari makan atau melakukan aktivitas
apasaja, bahkan suatu ketika jika kita mati, kita pun akan dikuburkn pada daerah tempat
tinggal kita.
Gagasan lain pada masyarakat jawa adalah jargon “rawe-rawe rantas malang-malang
putung, artinya niat yang kuat untuk mencapai tujuan mengakibatkan seseorang mengambil
tindakan semua yang menghalangi harus disingkirkan, segala yang merintangi dibuang
(Hariwijaya, 2005:77). Kearifan ini sangat bagus karena memberikan dorongan bagi
seseorang untuk bertindak tegas melenyapkan segala rintangan yang menghalanginya.
Namun ketegasan dapat tergelincir menjadi kekerasan dengan dalih melenyabkan segala hal
yang menghalangi pencapaian tujuan.
B. Epistemologi Kebenaran Lokal Komunitas Lokal
Dekontruksi terhadap kearifan lokal terikat pada sudut pandang benar/salah. Secara
epistermologis benar/salah atau positif/negatif sebagaimana dipaparkan diatas adalah
problimatik. Susetya (2016) bahwa masyarakat jawa misalnya, mengenal tiga bentuk dan
sumber kebenaran yakni, (1) benere dewe (benarnya sendiri), (2) benere wong (kebenaran
umum, benarnya banyak orang), (3) bener kang sejati (benar yang sejati, benar yang hakiki).
Jika gagasan ini dikaitkan dengan posisi seseorang yang diangga bertindak
disharmonis seperti dipaparkan diatas , maka merka adalah seseorang yang bertindak atas
dasar benere dewe (benar sendiri) menyalahi benere wong akeh. Pembelaan ini bisa faktual
terbukti bahwa dia memang benere dewe. Walaupun demikian secara epistemologi tetap ada
kemungkinan, yakni benere wong akeh yang dipakai aturan untuk menyalahkan benere dewe
adalah bermuatan kepentingan dan/atau kekuasaan.
Bertolak dari pemikiran ini pemakaian dari kearifan lokal untuk membenarkan suatu
tindakan seperti dipaparkan diatas memerlukan ukuran kebernaran yang jelas. Hal ini sangat
penting guna menghindarkan tafsir kebenaran atas kearifan lokal yang bersifat subjektif, baik
berbasis kepentingan individu benere dewe maupun kepentingan kelompok benere wong
akeh.
Berkenaan dengan itu maka patokan bagi kebenaran harus dikembalikan pada
fondasinya, agama, ideologi negara pancasila dan berbagai aturan lain sebagai
penjabarannya.
C. Kita Butuh Intelektual
Sikap kritis pada kearfan lokal sangat penting, karena ada sisi negatif yang bisa
digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk menekan orang lain dengan dalih demi
menegakkan semangat kearifan lokal, misalnya kedamaian, kerukunan, harmoni, dll. Hatta
(1983) dan Latif (2013) bahwa kaum intelektual memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Intelektual bertanggung jawab mengembangkan ilmu dan moral.
b. Intelektual menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan tercermin dari komitmen
mereka untuk mewujudkan kebenaran, keadilan, kebaikan, kebahagiaan,
kesejahteraan, perdamaian, kemerdekaan, persaudaraan di dunia fana ini.
c. Intelektual dapat berada dalam pimpinan negara dan masyarakat maupun tidak,
namun tetap berkomtmen terhadap intelektualitasnya dalam bingkai manusia susila
dan demokratis.
d. Intelektual siap menerima kebenaran dan menentang perbuatan salah yang merugikan
masyarakat dan negara dengan cara menunjukkan perbaikan menurut keyakinan, jika
tidak, berarti dia menghianati dasar kemanusiaan sebagai komitmennya (hatta, 1983).
D. Kita Butuh Etika Kepemimpinan Hindu
Kaum intelektual dapat berperan sebagai pemimpin baik negara maupun masyarakat.
Berkenaan dengan itu kaum intelektual sudah sewajarnya menguasai etika kepemimpinan.
Agama hundu memberikan resep bertindak tentang bagaimana menjadi pemimpin yang benar
dan baik sebagaimana tercermin pada Asta Brata. Asta Brata adalah etika kepemimpinan dan
meneladani delapan dewa dalam agama hindu yakni:
1) Indra Brata: memberikan kesejahteraan kepada masyarakat.
2) Yama Brata: penegakan hukum.
3) Surya Brata: memberikan semangat kehidupan.
4) Candra Brata: memberikan penerangan dan bimbingn terhadap rakyat dalam
kegelapan.
5) Bayu Brata: teliti dan bijaksana dan menjalanin kehidupan masyarakat.
6) Kuwera Brata: kemampuan untuk mengendalikan diri.
7) Baruna Brata: berpandangan luas dan mampu menerima segala persoalan.
8) Agni Brata:bertindak adil, disiplin, dan tegas dalam bertindak (Sudibya, 1997:8).

Etika kepemimpinan yang lain adalah Gajah Mada. Dia adalah tokoh Hindu sehingga
falsafah kepemimpinan dapat disebut filsafat hindu. Dengan mengacu pada Kriyantono
(2014:365) etika kepemimpinan gajah mada sebagai berikut
1) Spiritual yang terdiri dari berbagai aspek, yakni, wijaya, masihi samasta bhuana, dan
prasaja
2) Moral terdiri dari berbagai aspek yakni, mantriwira, sarjawa upasama, tan satrisna,
sumantri, sih samasta bhuana, nagara gineng pratijna.
3) Manajerial terdiri dari berbagai aspek yakni, natangguan, satya bakti prabhu,
wagmiwag, wicaksenengnaye, dhirotsaha, dibyacitta, nayaken musuh, ambek
paramartha, waspada purwartha.
Asta brata dikenal dimasyarakat Jawa. Asta brata delapan ajaran, mengacu kepada
“delapan butir ajaran tentang kehidupan dan kepemimpinan, sesuai dengan filsafah bumi, air,
api, angin, matahari, bulan, bintang dan awan. Bumi sabar, air tenang, api memberi semangat,
angin dinamis, matahari memberi keadilan, bulan menyejukkan, bintang rendah hati, dan
awan merahmati” (Hariwijaya, 2014:15-16).
Gagasan ini sangat penting karena merupakan model bagi kepemimpinan yang mirip
dengan asta brata dengan kepemimpinan hindu. Asta Brata versi jawa mengacu pada kondisi
alam atau benda-benda alam yang secara esensial disifatkan dengan dewa-dewa. Pemimpin
tidak sekedar untuk memimpin orang lain , tatapi diawali dengan kemampuan mengatur diri
sendiri dan keluarga disertai dengan aneka kemampuan lainnya. Dalam konteks ini ada
baiknya merenungkan gagasan ajaran besar atau Thay hak sebagai mana dikutip Jusuf
Susanto (2011) sebagai berikut.
“Orang zaman dulu yang hendak memperbaiki dunia, lebih berusaha dulu mengatur
negerinya. Untuk mengatur negerinya, ia lebih dulu membrikan rumah tangganya. Untuk
membereskan rumah tangganya, ia lebih dulu membina dirinya. Unuk membina dirinya, ia
lebih dulu meluruskan hatinya. Untuk meluruskan hatinya, ia lebih dulu memantapkan
tekadnya. Untuk memantapkan tekad, ia lebih dulu mencukupkan pengetahuannya. Untuk
mencukupkan pengetahuannya, ia meniliti hakikat tiap perkara. Dengan meneliti tiap hakikat
perkara, maka cukuplah pengetahuannya. Dengan cukup pengetahuannya, ia dapat
meluruskan hatinya. Dengan hati yang lurus, ia akan dapat membina dirinya sendiri sehingga
ia bisa membereskan rumah tangganya. Dan setelah itu mengatur negerinya sendiri sehingga
tercapilah damai di dunia. Karena itu dari raja sampai rakyat jelata ada satu kewajiban yang
sama yaitu mengutanakan pembianaan diri sebagai pokok. Dari pokok yang kacau tidak
pernah dihasilkan penyelesaian yang teratur baik. Karena hal itu seperti menipiskan benda
yang harusnya tebal dan menebalkan yang seharusnya tipis. Hal ini sesuatu hal yang belum
pernah terjadi” (Ajaran Besar/Thay Hak dalam Jusuf Susanto, 2011: 148).
Gagasan ini sangat menarik karena memberikan petunjuk bahwa siapa pun yang
menjadi pemimpin tidak saja mampu mengatur orang lain, tatapi diawali dengan mengatur
diri sendiri dan keluarganya. Kemampuan ini membutuhkan pengetahuan yang memadai baik
tentang etika kepemimpinan maupun asas moralitas karena pemimpin pada dasarnya adalah
kepala dan sekaligus sebagai model bagi rakyata atau anak buah yang dipimpinnya.
BAB 10
Pendidikan Hindu Pada Era Globalisasi: Membalikkan Karakter Keraksasaan
Menjadi Kedewataan

A. Globalisasi Neoliberal = Ideologi Pasar = Agama Pasar


Pembalikkan karakter manusia disebabkan oleh kondisi internal – secara psikogenetik
dalam tubuh manusia ada benih-benih sifat-sifat keraksasaan (guna rajas), tetapi dirangsang
pula oleh kekuatan eksternal, yakni kedigdayaan globalisasi. Istilah globalisasi memiliki tiga
ciri yakni, pertama, globalisasi dipakai untuk menganggambarkan fenomena ekonomi yang
menunjukkan peningkatan integrasi pasar lintas perbatasan politik – karena alas an politik
maupun kemajuan teknologi informasi dan komunikasi atau teknologi transportasi. Kedua,
globalisasi terkait dengan gejala politik runtuhnya rintangan-rintangan yang dipasang oleh
suatu pemerintah atau negara-negara seolah-olah tanpa batas sehingga barang, jasa, dan
modal dapat berpindah secara bebas dan lintas negara. Ketiga, globalisasi menggambarkan
penyebarluasan kebijakan pembangunan beorientasi pasar. Ketiga ciri globalisasi ini
berkaitan dengan atau berfondasikan kekuatan pasar baik dalam kehidupan bernegara.
Globalisasi neoliberal = globalisasi kapitalisme = idelogi pasar = agama pasar
paradigm pasar berkaitan erat-berfondasikan tiga aspek, yakni investasi, produk, dan
konsumsi. Setiap negara yang menganut paham ini berasumsi agar negara tumbuh secara
sehat berpegang pada tiga aspek, yakni investasi, produksi dan konsumsi. Ketiganya harus
berkaitan dan berlangsung secra terus-menerus. Micklethwait dan Wooldridge (2007)
mengemukakan bahwa globalisasi terkait dengan Tritunggal Suci, yakni computer, telepon
dan televisi. Bertolak dari gagasan ini wajar jika computer, telepon dan televisi dilabeli
Tritunggal Suci. Sebab, ketiganya – beserta keturunannya memiliki kekuatan “magis” yang
mendasari globalisasi.
B. Dari Spritualisme Agama Menjadi Spritualisme Uang
Dengan mengacu pada Kleden (2003) spiritualisme berasal dari kata latin “spiritus”
yang berarti semangat atau ruh. Roh mengacu pada apa yang ada dalam diri dan roh yang ada
di luar diri, yakni Roh Maha Agung – Tuhan Yang Maha Esa. Berkenaan dengan itu maka
spiritualisme dapat bermakna bahwa manusia tidak saja mengakui roh dala diri, tetapi juga
Roh Maha Agung- Tuhan sebagai pusat otientasi diri baik melalui pengabdian diri maupun
ajarannNya yang tertuang dalam agama.
Bertolak dari gagasan ini maka bersamaan dengan penguatan kapitalisme = ideologi
pasar = agama pasar maka manusia mengalami post-spiritualisme. Berarti melewati
spiritualitas yang mengacu pada spirit yang bersumberkan pada Tuhan dan agama –
spiritualitas agama atau Tuhan. Post spiritualitas dapat pula berarti manusia melewati, bukan
melepaskan secara total spiritualitas agama/Tuhan, melainkan menganutnya sehingga terjadi
spiritualitas hybrid atau gado-gado . Artinya terjadinya campuran antara spititualitas agama
dan spiritualitas uang sebagaimana tercermin kehidupan mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Apapun istilah yang digunakan, baik hibriditas maupun translasi budaya secara esensi adalah
sama , yakni budaya luar masuk ke Indonesia – ditiru atau diolah lalu menghasilkan budaya
campuran hibrid.
C. Empat Jenis Nafsu Menurut Serat Dewa Ruci
Dengan mengacu pada Serat Dewa Ruci seperti dipaparkan, nafsu dapat dipilahkan
menjadi empat jenis, yaitu :
1. Nafsu Lawamah, memiliki sifat positif dan negatife
2. Nafsu Amarah, bisa positif atau negatife
3. Nafsu Sufiyah, memiliki aspek positing dan negative
4. Nafsu Mutmainah,
Gagasan ini menarik karena memberikan pemahaman terhadap sifat manusia, misalnya
mengapa manusia bisa marah, disertai dengan tindakan memukul? Jawabannya karena
manusia terdorong oleh nafsu lawamah negaitf dan nafsu amarah negatif , begitu juga
sebaliknya.
Gagasan ini menarik dikaitkan dengan paparan Wahyono (2015) tentang keterjebakan
manusia pada lima nafsu yang disebut Lima Ma, yakni, madat-hasrat minum minuman
kerasdan narkoba, kedua main, misalnya bermain judi, ketiga, maling, keempat madon
artinya hasrat main perempuan, kelima mateni artinya membunuh.
D. Mengapa Spiritualitas Uang Berjaya?
Pasar mutlak membutuhkan uang sehingga manusia memposisikan uang sebagai dewa
(Tuhan) dan pasar sebagai tempat suci-agama pasar/moneytheism. Kedua, jika gagasan ini
diliah dari persspektif Ilmu Kanthong Bolong maka manusia yang semestinya membuat
lubang pada tubuhnya – ibarat kanthong agar aneka penyakit tersebut lenyap, justru bertindak
sebaliknya. Tubuh ibarat kanthong tidak “bolong” sehingga penyakit dalam tubuh tetap
bersarang secara baik. Ketiga, era saat ini adalah era masyarakat kapitalis atau era masyarakat
consumer yang kehidupannya bergantung pada pasar uang dan pengembangbiakan hasrat
pada manusia.
Agama menyadari hal ini sehingga agama apa pun selalu mewajibkan untuk
bersembahyang atau melakukan ritual. Kondisi ritual amat penting secara teologis guna
menyadarkan manusia bahwa Tuhan = sunya = nol, setiap saat bisa dihadirkan secara
simbolik lewat tempat suci. Kondisi ini mengakibatkan muncul manusia mimikri, yakni
secara mudah beralih bentuk seperti bunglon sesuai dengan ruangnya. Kondisi ini pula
dikaitkan dengan empat nafsu manusia yakni, lawamah,amarah,sufiyah, dan mutmainah.
Keterjebakan manusia pada spititualitas pasar/uang benda terkait dengan anutan manusia
pada tiga nafsu yakni, lawamah, amarah dan sufiyah. Nafsu – nafsu ini mengarah pada aspek
negatif. Berkenaan dengan itu maka berarti pula nafsu mutmainah yang dapat mengarahkan
manusia ke tindakan spiritualitas agama/Tuhan menjadi terdesak bahkan bersifat
disfungsional bagi manusia.
E. Dari Spiritualitas Uang Menjadi Spiritualitas Agama
Bertolak dari gagasantersebut timbul pertanyaan, "Apa yang harus dilakukan oleh
manusia?”. Jawabannya, manusia wajib membalikan spritualitasnya, yakni dari post-
spiritualitas bercorak spiritualitas pasar/uang/materi/hasrat menjadi spiritualitas
agama/Tuhan. Hal Ini berkaitan dengan ajaran agama-agarna dan kearifan lokal yang selalu
menganjurkan agar manusia berpegang pada spirit agama dan/atau ketuhanan. Pendek kata,
pada saat Ini era masyarakat konsumer manusia harus mengembalikan post-spiritualitas
spiritualitas pasar/ uang ke spiritualitas agama atau spiritualitas otentik,
Pencapaian sasaran ini membutuhkan berbagai langkah, yakni pelurusan terhadap
pemahaman agama Hindu dalam konteks lokal Bali, Agama Hindu memang mengenal
pemujaan terhadap uang Dewa Rambut Sedana, namun ada perbedaan mendasar dengan
agama pasar atau spiritualitas pasar/uang yang berlaku pada dunia Barat merembes ke
Indonesia termasuk Bali. Letak perbedaannya adalah pemujaan terhadap uang dibingkai
empat tujuan hidup agama Hindu (Catur Purusartha atau Catur Warga), yakni dharma
(kebajikan), artha (arta), karma (hasrat), dan moksha (kebahagiaan sejati). Gagasan tersebut
berimplikasi bahwa orang Hindu boleh mernuja uang (artha) bahkan memuja dewa uang
(Ratu Rambut Sedana) benda apa pun guna memenuhi hasrat (kama), namun tetap harus
berfondasikan pada dharma. Dharma tidak saja mencakup agama (dharma agama), tetapi juga
tata aturan yang berlaku dalam negara dan/atau masyarakat (dharma negara). Fondasi dharma
berlaku pada cara mendapatkan artha dan penggunaannya untuk inemunuhi kama (hasrat).
Spiritualitas seperti inilah yang diperlukan agar post-spiritualitas yang mengutamakan agama
pasar/uang tidak mengakibatkan manusia terjebak pada sifatsifat keraksasaan. Spiritualitas
Hindu tidak menafikan uang dan hasrat, namun fondasinya adalah dharma. Hal ini
merupakan landasan bagi pencapaian kebahagiaan (moksha, surga) secara benar dan baik.
F. Pendidikan Hindu = Dewataisasi = Dewaisasi
Kajian Atmadja (2014) dalam bukunya berjudul “Saraswati dan Ganesha sebagai
Simbol Paradigma Interpretativisme dan Positivisme Visi Integral Mewujudkan Iptek dari
Pembawa Musibah Menjadi Berkah bagi Umat Manusia”, memberikan penggambaran bahwa
agama Hindu memiliki dasar-dasar filosofis tentang pendidikan yang komprehensif. Gagasan
ini dapat dicermati dari beberapa gagasan yang tercakup dalam agama Hindu sebagai berikut.
Pertama, di dalam diri manusia ada Tuhan, yakni Atman. Akibatnya, manusia
memiliki potensi sebagai homo religious. Cirinya, sejak lahir manusia memiliki benih-benih
ketuhanan dalam wujud kesadaran tertinggi yang selalu mengingatkan, mendorong, dan
mengajak agar manusia mendekatkan dirinya dengan Tuhan. Potensi ini dihidupkan lewat
pengagamaan dalam keluarga dan komunitas yang dilanjutkan dengan pendidikan agama
secara khusus dan/atau tindakan-tindakan keberagamaan lainnya secara terus-menerus.
Misalnya, sembahyang, tidak saja manusia memuja Tuhan, tetapi secara latensi berfungsi
pendidikan, yakni memperkuat komitmen manusia akan agamanya agama tidak hanya
sebagai identitas diri, tetapi juga sebagai habitus dalam bertindak sehingga manusia ber-Tri
Kaya Parisudha dalam kehidupan bermasyarakat.
Kedua, agama Hindu menggariskan bahwa manusia yang ideal adalah manusia
berkarakter sebagai dewa (dewata). Citra ini tidak terberi, tapi bisa dibenzuk sesuai dengan
hakikat manusia sebagai homo educadum -bisa mendidik dan dididik guna mewujudkan
manusia yang didealkan.
G. Strategi Mewujudkan Manusia Kedewataan
Gagasan di atas menunjukkan bahwa agama Hindu memiliki dasardasar filosofis yang
jelas tentang pendidikan. Jika gagasan ini, terutama tentang ciri-ciri manusia berkarakter
kedewataan seperti terlihat pada Tabel 10.1, dikaitkan dengan ciri-ciri manusia pada era
global maka secara esensial bertolak belakang, yakni karakter kedewataan versus karakter
keraksasaan. Ujung dari manusia berkarakter keraksaan adalah ketidakjujuran antara lain
kasus korupsi.
H. Hati Nurani, Suara Hati dan Agama
Namun, seperti terlihat pada paparan di atas ketidakjujuran tidak bisa dilepaskan dari
sifat-sifat manusia lainnya, seperti serakah, hedon. ik, akal budi tunduk pada hasrat, boros,
bergaya hidup mewah, mengon. sumi atas dasar nilai simbolik, dan lain-lain. Berkenaan
dengan itu maka pendidikan yang ideal tidak saja melembagakan budaya Jujur, tetapi as. pek-
aspek lain yang terkait dan/atau sebagai sumber dari ketidakjujuran secara berintegrasi.
Pencapaian sasaran ini melibatkan berbagai mat. apelajaran antara lain Pendidikan Agama
Hindu. Dengan demikian posisi Pendidikan Agama Hindu pada era masyarakat global secara
umum ada. lah terkait dengan pendidikan karakter guna menjadikan peserta didik berkarakter
kedewataan paling penting adalah jujur. Dengan mengacu kepada gagasan Magnis-Suseno
(2006) kejujuran terkait dengan manusia yang berkesadaran moral atau kepemilikan suara
hati. Suara hati adalah titik tolak bagi kejujuran dan/atau berbagai tindakan bermoral yang
lainnya. Misalnya, seseorang berpeluang korupsi, namun dia menolaknya karena hati
nuraninya atau kesadarab moralnya membisikan agar yang bersangkutan tidak korupsi. Suara
hati dapat bersifat mutlak, karena selalu mendorong manusia untuk mimilih nilai moral, yakni
apa yang benar, baik, adil, dan jujur. Namun, dalam kenyataannya, walaupun hati nurani
bersifat mutlak, namun manusia sering dihadapkan dengan kenyataan yang bisa
menggoyahkan suara hatinya.
I. Guru Menjadi Model
Pencapaian sasaran ini tidak mudah sehingga memerlukan strategi pendidikan yang
tepat. Dengan mengacu kepada kisah-kisah wiracarita Mahabharata dan Ramayana maka
kunci keberhasilan pendidikan Hindu adalah, pertama terletak pada guru. Guru harus
memiliki kompetensi yang memadai. Bhagawan (guru besar) Drona misalnya, bisa menjadi
guru memanah pada anak-anak Pandawa dan Korawa, karena dia memiliki kompetensi yang
mernadal. Hal Ini tidak saja menyangkut kompeteni panah-memanah Ilmu memanah, tetapi
juga kompetensi lan yang menunjangnya «meminjam Bourdleu (2010) memiliki beberapa
mod antara lain modal kultural dan modal simbolik. Kedua, guru barper penting dalam
bidang pendidikan termasuk Pendidikan Agama Hindu, tidak semata mata karena guru
mampu menransfer Ilmu dan teknologi kepada murid, tetapl juga karena mampu membentuk
karakter siwa dari karakter keraksasaan menjadi karakter kedewataan.
J. Karakter: Praksis Meruang dan Mewaktu
Pendidikan karakter, termasuk Pendidikan Agama Hindu memiliki banyak kelemahan
sehingga apa yang diharapkan belum tentu cocok dengan kenyataan. Pengamatan kancah
menunjukkan tempat suci agama apapun selalu dikunjungi oleh umatnya. Misalnya, pura-
pura di Bali, setiap odalan misalnya, selalu penuh sesak. Begitu pula gaya hidup
keberagamaan orang Bali menunjukkan hal baru, yakni berbentuk kegiatan ma-tirtha yatra.
Kegiatan ini tidak saja dilakukan pada pura-pura atau tempat suci di Bali, tetapi juga di Jawa,
Kalimantan, bahkan sampai ke India. Kegiatan ini amat penting, tidak saja untuk ngalap
berkah, tetapi terkait pula dengan penyadaran diri pasca-tirtha yatra seseorang mampu
meningkatkan kualitas hidup keberagamaan secara memraksis. Namun, sejauh mana hal ini
bisa berdampak positif terhadap perilaku keberagamaan seseorang sangat terbuka untuk
diwacanakan secara kritis.
K. Pola Pendidikan Agama Hindu
Bertolak dari kelemahan ini maka Pendidikan Agama Hindu membutuhkan
pembenahan khususnya dalam pelaksanaannya di sekolah. Dengan mengacu kepada berbagai
pemikiran maka pendidikan agama hindu di sekolah sebaiknya mengikuti langkah-langkah:
1) Kognitivikasi, 2) Internalisasi, 3) eksternalisasi, dan 4) kontrol sosial.
L. Dewataisasi Perspektif Konstruktivisme
Proses dewatalsasi dilakukan lewat kongnitivikasi dan internalisasi. Gagasan ini
menunjukkan manusia diibaratkan sebagai kereta. Hal ini memberikan pamahaman tentang
manusia sebagai insan menubuh dan meroh, dilengkapi pancaindra sebagai sumber hasrat,
pikiran dan budi (asas moralitas) sebagai pengendalinya sasarannya agar kereta berjalan
mengikuti dharma. Gagasan ini dapat dimaknai sebagai dasar untuk menentukan arah
kognitivikasi dan internalisasi dalam konteks dewataisasi. Mengingat pengendali kereta
adalah kusir (budi) dan tali kendali (pikiran) maka Proses kognitivikasi dan internalisasi nilai-
nilai karakter secara ideal dawali pada akal budi.
M. Gagasan Ki Hajar Dewantara Relevan
Model pendidikan karakter yang dikemukakan di atas lebih banyak mengacu kepada
teori-teori Barat. Namun, di balik itu menarik gagasan Ki Hajar Dewantara, Bapak
Pendidikan Indonesia, pendiri Perguruan Taman Siswa. Gagasannya terkenal dengan Panca
Dharma dan daya jiwa manusia. Gagasan ini bisa dikaitkan dengan pendidikan karakter
dalam konteks era kehidupan manusia saat ini, yakni era post-modern.
N. Penanaman Karakter Perspektif Psikologi Positif
Pendidikan karakter bersifat kompleks. Karena itu, proses pendidikan karakter tidak
saja menarik dilihat berdasarkan filsafat konstruktivisme, tetapi juga gagasan lain, misalnya
psikologi positif seperti dipaparkan Arif (2016). Dengan berpegang pada gagasan psikologi
positif dapat dikemukakan tujuan pendidikan karakter mewujudkan manusia berkarakter
seperti dewa (-ta) dapat diposisikan sebagai grit. Artinya, manusia berkarakter dewa adalah
tujuan ideal yang memberikan “gairah, semangat, dan antusianisme (passion) yang sangat
tinggi: disertai ketekunan, ketahanan, konsistensi (perseverance) yang sangat tinggi, untuk
meraih suatu tujuan jangka panjang, tujuan yang pastinya tidak mudah tetapi sangat
bermakna dan layak diperjuangkan” (Arif, 2016: 255). Dengan mengacu kepada Bhagawad
Gita pencapaian manusia berkarakter kedewataan sebagai grit adalah sasaran ideal sehingga
memerlukan titiksa (tahan uji dan ketabahan) dan sankalpa (keinginan dan ketetapan hati)
untuk mewujudkannya (Putra, 2016). Begitu pula kebermaknaan karakter kedewataan sangat
tinggi sehingga layak diperjuangkan. Asumsi masyarakat yang damai (shanty) mutlak
membutuhkan manusia berkarakter kedewataan. Manusia seperti ini tidak hanya sebagai hasil
dari proses psikogenetik sebagaimana diyakini dalam psikologi Yoga, tetapi dapat dibentuk
melalui pendidikan (Anandamurti, 2000) hakikat manusia adalah homo educadum insan yang
bisa dididik dan mendidik.
Penanaman karakter di sekolah tidak bisa dilepaskan dari peran guru. Tugas guru
tidak saja melakukan proses kognitivikasi, tetapi juga melakukan usaha-usaha pembelajaran
agar siswa membatinkan karakter. Keberhasilan ini tercermin pada eksternalisasi karakter
dalam ucapan dan/atau tindakan. Hal ini memerlukan kontrol atau pengendalian.
O. Hidup Menggunakan Manik Asthagina
Manusia ibarat kereta lengkap dengan kudanya butuh makan agar kuda penarik kereta
dan supirnya hidup sehat secara jasmani dan rohani. Dengan demikian pendidikan karakter
yang berfondasi agama (Hindu), Pancasila, dan kearifan lokal membutuhkan modal ekonomi.
P. Karakter Mulla Modal Kebahagiaan di Dunia
Menujukkan bahwa pendidikan karakter berbasis agama, pancasila dan kearifan lokal
memiliki sasaran mewujudkan manusia berkarakter mulia. Pencermatan terhadap tujuan
agamaagama maka manusla barkarakter mulia hanya merupakan terminal antara untuk
mewujudkan tujuan yang lebih tinggi, bahkan finalis, yakni kebahagiaan. Kebahagiaan
adalah Impian semua manusia dalam mengarungi kehidupannya.
Q. Karakter Mulia Modal Kebahagiaan di Alam Baka
Agama-agama dunia memiliki pandangan bahwa pascakematian roh manusia menuju
suatu alam. Misalnya, agama Islam, Kristen, Katolik dan Yahudi meyakini roh masuk ke
alam neraka atau surga, bergantung kepada karma phala. Pencapaian surga adalah kebahagian
finasil bagi agama-agama tersebut. Karakter mulia adalah modal bagi pencapaian surga.
Sebaliknya, agama Hindu menekankan bahwa kebahagiaan finalis bukan surga tapi moksha.
Surga hanya sesaat, yakni roh menikmati surga, setelah itu masuk neraka, dan akhirnya
menjelma kembali berbentuk manusia atau makhluk lain asas karma phala. Agama Hindu
melihat surga bukan kebahagiaan finalis, tapi moksha (Atmadja, Atmadja dan Maryati,
2014). Moksha berarti manunggalnya roh (Atman) dengan asalnya, yakni Brahman. Atman
(roh individu) terbebas dari kelahiran kembali (Madrasuta, 2014: Anandamurti, 2006:
Abhedananda, 2012: Putrawan, 2009) Kejawen menyebutnya dengan istilah manunggaling
Kawula-Gusti.
Paparan ini sangat menarik karena secara tersirat menunjukkan bahwa moksha atau
aparvaga bisa dicapai pada masa kehidupan manusia. Moksha atau kebahagiaan termasuk
surga pada masa hidup dapat diwujudkan jika manusia mampu melenyapkan dosa-dosa,
ketidakjujuran, kemelekatan duniawi sebagai sumber keserakahan, rasa takut, dan kematian
akal budi. Dengan rumusan yang lebih luas SaraSamuccaya, 70 (dalam Krishna, 2015: 58)
yang menyatakan “dengan tidak menyakiti makhluk lain, berkata jujur, bersikap tulus
terhadap semua orang, sabar, dan senantiasa eling/sadar atau waspada dalam segala ucapan,
pikiran, dan tindakan, dan sebagainya niscaya seseorang meraih kebahagiaan”. Pendek kata,
gagasan ini mencerminkan bahwa pada saat manusia masih hidup peluang mencapai moksha,
surga : atau kebahagiaan sangat terbuka. Pencapaian ini adalah pahala dari kemampuannya
membatinkan karakter mulia dalam pikiran, perbuatan dan tindakan dalam masyarakat.
Kemampuan manusia mewujudkan ke-moksha-an pada saat hidupnya akan dapat
memutuskan mnrtyu yang sebenarnya, yakni lingkaran kematian. Dalam kondisi seperti ini
manusia mencapai kebahagiaan tertinggi dan finalis, yakni moksha“penyatuan jiwa individu
dengan Jiwa Agung di mana di sana terdapat cahaya serta kebahagiaan yang sejati” (Maharaj,
2013: 59). Pencapaian tujuan ini amat penting mengingat gagasan agama Hindu sebagai
berikut.
Dengan demikian agama Hindu menggariskan bahwa kebahaglaan “ surga dan/atau
moksha dapat dicapal pada dua tingkatan hidup, yakni kehidupan saat Ini lewat pembentukan
karakter kedewataan antara lain manusia mengendalikan racun atau musuh dalam diri
menunjukkan kasih sayang sesama manusia dan/atau dengan segala makhluk hidup.
Pencapaian Ini merupakan modal dasar bagi pencapalan kebahagiaan Selanjutnya, yakni!
surga dan/atau moksha. Gagasan seperti Ini bisa dibandingkan dengan kebatinan Jawa
sebagai turunan dari agama Hindu dan Budha bercampur dengan Islam kebatinan sebagai
kekayaan budaya Jawa lazim disebut Kejawen, Inti kebatinan Jawa atau Kejawen adalah
mewujudkan kebahagiaan di alarm Ini maupun alam pascakeratlan. Pencapalan sasaran Ini
dilakukan lewat olah batin, yakn! membersihkan batin dari eksistensi fenomenal, seperti
nafsu dan rasionalitas duniawi yang menggiring manusia pada persepsi yang menyesatkan
tentang kebenaran yang sekaligus menjauhkannya dari pribadi yang bijaksana. Olah batin
seperti Ini dilengkapi dengan laku ibadah antara lain samadhi atau meditasi. Dengan cara ini
seseorang akan memiliki pribadi yang luhur atau satria pinadhita sehingga dia tidak saja
teduh secara batiniah tercermin dari lakunya yang arif dan bijaksana, tetapijuga mampu
melakukan suatu tindakan yang melebihi kemampuan orang biasa daya linuwih atau kekuatan
gaib (Endraswara, 2011).
Tujuan akhir dari kebatinan adalah kebahagiaan atau kesempurnaan hidup pada dua
tataran. Pertama, panunggaling kawula Gusti. Artinya, seseorang mencapai kebahagiaanatau
sudah mencicipi nirwana atau surgawi pada masa hidupnya tenang, damai, dan tidak
terobangambing oleh hawa nafsu atau sebagai satria pinandita. Kedua, capaian ini merupakan
modal dasar untuk mewujudkan kebahagiaan tertinggi dan finalis, yakni manunggaling
kawula Gusti, yakni menyatunya roh (Sang Diri, jiwa personal) dengan Tuhan. Dengan cara
ini maka reinkarnasi, cakramanggililingan, hanyakaramanggilingan atau tumimbal lahir akan
terpustus. Capaian ini merupakan kebahagiaan hidup tertinggi dan finalis bagi penganut
kebatinan Jawa (Endraswara, 2011).

2. HASIL KAJIAN BUKU

A. Kelengkapan materi
Buku ini secara umum membahas tentang agama hindu, pancasila, dan kearifan lokal
sebagai landasan pendidikan karakter. Dikaitkan dengan matakuliah Filsafat Ilmu dan
Pendidikan, maka buku ini dinilai sangat bermanfaat. Hal ini dikarenakan buku ini
memberikan oerbendaharaan poengetahuan mengenai ilmu dan pendidikan.
Berfilsafat berarti tidak percaya begitu saja dengan segala sesuatunya. Berfilsaffat
membutuhkan banyak sudut pandang untuk membentuk sebuah kesimpulan. Dalam
buku ini dibahas mengenai pendidikan karakter sebagai strategi, mengatasi tantangan
kebangsaan, kajian sosiobudaya terhadap pendidikan karakter, local genius dan
kearifan lokal dua sisi mata uang yang sama, inkulkasi agama, pancasila, dan kearifan
lokal sebagai fondasi membangun karakter bangsa, dewataisasi insani (pemaknaan
pendidikan dalam perspektif pendidikan filsafat pendidikan hindu), nilai-nilai
perjuangan dan wayang sebagai inspirator guna mewujudkan pemuda berkarakter
kebangsaan, lokalisasi etika keutamaan hindu berbentuk kearifan lokal, dewataisasi
( humanisme religius sasaran pendidikan hindu), esensi karakter mulia berfondasi
agama (hindu), pancasila, dan kearifan lokal, pendidikan hindu pada era globalisasi
(membalikkan karakter keraksasaan menjadi kedewataan). Keseluruhan materi ini
akan memberikan wawasan yang sangat luas dan mendalam dalam mempelajari
filsafat ilmu dan pendidikan. Selain itu, secara umumdengan membaca dan
memahami buku ini, pembaca mendapatkan pengetahuan tentupaya mengaplikasikan
pendidikan karakter pada segala jenis pendidikan.Untuk memiliki kemampuan dalam
berfilsafat, disarankan untuk memiliki bacaan selain dari buku ini. Alasan utamanya
adalah, buku ini terfokus untuk membahas agama, pancasila dan kearifan lokal
berdasarkan agama hindu dan budaya bali saja. Terdapat beberapa bahasan budaya
jawa namun tidak begitu lengkap. Membaca buku ini tanpa didampingi bacaan yang
lain akan memberikan pemahaman yang kurang universal.
B. Kedalaman materi
Ditinjau dari kedalaman materi, bahasan dalam buku ini dengan berbagai sub materi
yang dicantumkan memberikan pemahaman yang sangat menyeluruh. Artinya,
penulis membahas buku ini sangat mendalam. Sudut pandang terkait dengan sub tema
dari buku ini dibahas sangat lengkap sehingga pembaca menjadi memiliki
pemahaman yang menyeluruh terkait dengan judul buku secara umum dan submateri
secara khusus. Penulis mengaitkan banyak aspek-aspek yang menjadi kaitan dengan
subtema dari buku ini. Sebagai contoh, pada bab 8 dibahas tentang dewataisasi
humanisme religius sasaran pendidikan hindu. Pada bab ini selain membahas tentang
proses dan tujuan pendidikan, karakter ilahi dalam tubuh, peran gutu, pemodelan
dewataisasi, religius humanisme, dibahas juga tentang manusia pasca indonesia dan
pasca einstein. Pembahasan tentang materi ini memberikan pemahaman yang lebih
mendalam terkait dengan dewataisasi dalam pendidikan. Pembaca akan memiliki
pemahaman tambahan terkait paradigma manusi pasca Einstein didalam pendidikan.
Selain itu dibahas juga tentang kearifan lokal yang menjadi bahan tambahan
pengetahuan dalam memahami dewataisasi dalam pendidikan.
C. Ketepatan bahasa
Bahasa yang digunakan dalam buku ini sudah cukup tepat. Tetapi terdapat beberapa
bahasa yang tidak baku. Beberapa kalimat kurang terstruktur (SPOK). Beberapa
kalimat dalam buku buku ini cukup sulit untuk dipahami. Jika ditinjau dari subjek
tujuan pembaca buku ini, maka buku ini ditujukan untuk masyarakat berpendidikan
minimal (S1). Beberapa kalimat yang digunakan dalam buku ini membutuhkan
pengalaman membaca yang mumpuni. Selain dari isi buku yang tidak umum, bahasa
yang digunakan juga masih kurang umum. Untuk menyentuh seluruh masyarakat,
hendaknya kalimat ditulis lebih terstruktur dan bahasa yang digunakan hendaknya
adalah bahasa yang lebih umum.
D. Penggunaan istilah
Terdapat beberapa istilah yang tidak umum diketahuai oleh masyarakat didalam buku
ini. Seperti dewataisasi, penyerbukan silang antarbudaya, personifikasi tuhan, resep-
resep devine human, pelembagaan nilai-nilai, dan lain sebagainya. Istilah istilah ini
tidaklah salah dalam kosa kata baku bahasa indonesia. Namun, akan tidak mudah
untuk dipahami oleh masyarakat pada umumnya. Pembaca harus memiliki
pemahaman dan pengetahuan yang mumpuni untuk bisa memahami istilah-istilah
tersebut. Oleh karena itu, istilah istilah yang tidak umum tersebut hendaknya diganti
dengan istilah-istilah yang lebi definitif sehingga pemahaman pembaca terhadap isi
buku sesuai dengan yang seharusnya.
E. Keruntutan dan keterpaduan paragraf
Buku ini membahas berbagai hal terkait dengan fondasi pendidikan karakter.
Walaupun begitu, secara umum buku ini hanya membahas agama hindu, pancasila,
dan kearifan lokal. Namun, keterkaitan antara paragram satu dengan yang lainnya
menjadikan buku ini mudah dipahami dan tidak terkesan membahas suatu hal diluar
dari konsep judul buku ini. Bahasan buku ini sangat luas dan mendalam tetapi antara
paragraf tersusun dengan sangat runtun dan terpadu.
F. Keruntutan dan keterpaduan bab
Pembahasan antara bab satu dengan yang lainnya sudah disusun dengan runtun dan
terpadu. Pembaca diberikan pemahaman awal tentang pendidikan karakter secara
umum terlebih dahulu sehingga pembaca mendapatkan pengetahuan awal tentang
maksud dan tujuan pendidikan karakter sebagai strategi mengatasi masalah.
Selanjutnya dengan pemahaman tersebut pembaca diajak untuk masuk kedalam kajian
soiobudaya terhadap pendidikan karakter. Dalam bahasan ini pembaca akan paham
pilar pendidikan karakter dan indikator pendidikan karakter, pendidikan karakter
dalam perspektif sosiobudaya dan bagaimana penyelenggaraan pendidikan karakter.
Setelah memiliki pemahaman yang cukup tentang pendidikan karakter, maka penulis
mulai masuk dalam pembahasan bagaimana membangun pendidikan kareakter
tersebut. Penulis mulia membahas terkait kearifan lokal, pancasila, dan agama sebagai
fondasi dari pelaksanaan pendidikan karakter. Pembahasan selanjutnya penulis mulai
masuk lebih dalam terkait dengan agama kearifan lokal dn pancasila. Pembacapun
sudah memiliki pemahaman yang cukup untuk memahami bahasan selanjutnya. Hal
ini menandakan bahwa buku ini memiliki keruntutan dan keterpaduan yang sangat
baik.
G. Tidak mengandung unsur SARA,HAKI, pornografi, dan bias (
Pembahasan materi dialam buku ini ditinjau dari bahasa yang digunakan, judul dan
subjudul, serta isi dari materi ditulis secara universal. Universal yang dimaksudkan
disini adalah peruntukannya bagi seluruh komponen masyarakat. Buku ini dapat
dibaca oleh berbagai kalangan suku, agama, dan ras. Pembahasan agama, keyakinan
serta budaya dalam buku ini memang terfokus pada ajaran agama hindu dan budaya
bali, namun pembahasan tidak bersifat ofensif terhadap perbedaan yang ada antar
agama dan budaya yang ada. Seluruh kutipan dalam buku ini sudah di tulis sesuai
dengan aturan penulisan. Seluruh kutipan juga sudah tercantum pada daftar pustaka.
Tidak ada bahasanberupa kalimat, istilah, ataupun gambar yang bersifat pornografi
serta tidak terjadi bias pembahasan di seluruh bahasan.
(Atmadja et al., 2017)

Daftar Pustaka

Atmadja, N. B., Atmadja, A. T., & Maryati, T. (2017). Buku Agama Hindu, Pancasila, dan
Kearifan Lokal Fondasi Pendidikan Karakter. Pustaka Larasan.

Anda mungkin juga menyukai