Analisis ini disusun untuk memenuhi tugas matakuliah filsafat ilmu dan pendidikan yang
diampu oleh :
Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A.
Dr. Anantawikrama Tungga Atmadja, S.E., Ak., M.Si.
Oleh:
Kade Sathya Gita Rismawan
2039011002
ISBN : 978-602-1586-82-2
1. ISI BUKU
BAB 1
Pendidikan Karakter Sebagai Strategi
Mengatasi Tantangan Kebangsaan
A. Latar Belakang Pendidikan Karakter
Dengan berpegang pada asa rwa bhineda tantangan tidak saja berdampak positif atau
sesuai dengan yang diidealkan, tetapi bisa pula berdampak negatif. Magnis – Suseno (2008)
menejukan ada empat tantangan terhadap perasaan kebangsaan, yaitu :
1. Globalisasi
Globalisasi adalah proses menjadi menggelobal sehingga negara-negara di dunia
seolah-olah menjadi satu, yakni kampong global. Globalisasi berlangsung di bidang
kehidupan yakni, ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya pertahanan dan keamanan.
Globalisasi ekonomi tidak dapat lepas dari bidang lainnya.
2. Egoisme dan Kepicikan Perasaan Kedaerahan
Bangsa Indonesia mengalami egoisme dan kipicikan perasaan kedaerahan atau
etnisitas. Hal ini sejalan dengan kondisi bangsa Indonesia bercorak multicultural. Otonomi
daerah lebih mengukuhkan perasaan kedaerahan sehingga melahirkan hiperotonomi.
Akibatnya jabatan pada struktur birokrasi, sumber daya alam, peluang kerja dan lain-lain,
hanya diperuntukan bagi etnik senditi atau orang kita. Gerakan ajeg Bali pada masyarakat
Bali merupakan kasus menarik dilihat dari segi politik identitas kesukubangsaan. Gerakan ini
memiliki latar belakang yang terkait dengan keinginan memperkuat identitas kebudayaan
Bali guna melawan kuatnya pengaruh kebudayaan global. Gerakan Ajeg Bali amat penting
bagi pemertahanan identitas orang Bali, namun dibalik itu bisa memunculkan masalah jika
gerakan Ajeg Bali diwarnai dengan egoisme dan kipicikan perasaan kedaerahan.
3. Konsumerisme dan Hedonisme
Globalisasi tidak saja berkaitan dengan aspek ekonomi, tetapi berkaitan pula dengan
penanaman ideologi global, yakni ideologi pasar atau agama. Ideologi pasar merupakan
seperangkat gagasan yang melihat pasar sebagai sumber kesejahteraan sehingga manusia
bergantung pada pasar dalam memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Dalam rangka
menumbuhkembangkan pasar maka hakikat manusia sebagai homo consumer sengaja
dipupuk dan dilembagakan sehingga melahirkan budaya konsumen atau masyarakat
konsumsi. Kesemuanya ini tidak bisa lepas dari hedonisme, yakni manusia yang selalu
mengejar kenikmatan atau takluk pada kama, hasrat atau keinginan. Namun dibalik
kesemuanya itu maka sasaran akhir yang dituju adalah menjadikan manusia sebagai makhluk
serakah. Keserakahan merupakan persyaratan utama bagi keberlangsungan hidup pasar
sebagai representasi ideologi pasar.
4. Ideologi-ideologi Totaliter
Tantangan lainnya adalah ideologi-ideologi totaliter, baik ideologi sekuler maupun
agamis. Ideologi agamis kecap kali muncul sebagai respon atas dampak yang tidak
diinginkan dari adanya globalisasi atau Amerikanisasi dan atau kebijakan Negara yang tidak
berpihak kepada kelompok-kelompok terpinggirkan sehingga mereka menjadi orang-orang
yang lebih terpinggirkan lagi. Dalam kondisi seperti ini muncul kelompok-kelompok
fundamentalis yang menempatkan dirinya sebagai sekumpulan orang yang memiliki
kebenaran mutlak. Setiap orang yang menolak harus disingkirkan. Dalam kehidupan
berbangsa Indonesia yang semestinya memposisikan dirinya memberikan sesuatu untuk
kejayaan negaranya, namun karena kuatnya konsumerisme dan hedonism, maka banyak
orang bukannya memberi, melainkan selalu meminta atau bahkan menguras dari Negara
sehingga korupsi sulit diberantas.
Gagasan ini dapat dibandingkan dengan paparan suyanto (2010) bahwa pendidikan
karakter sangat mendesak, dengan alas an pertama, disorientasi dan belum dihayatinya nila
Pancasila sebagai filosofi dan ideologi bangsa. Kedua, keterbatasan perngkat kebijakan
terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai esensi Pancasila. Ketiga, bergesernya nilai-nilai etika
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keempat, memudarnya kesadaran terhadap nilai-
nilai budaya bangsa. Kelima, ancaman disintegrasi bangsa. Keenam, melemahnya
kemandirian bangsa.
Wajah bangsa Indonesia sulit dikenal terlihat pada kasus masyarakat Bali. Menurut
Atmadja (2010) dalam bukunya berjudul “ Ajeg Bali: Gerakan, Identitas Kultural, dan
Globalisasi”, wajah kebudayaan Bali tidak lagi sama dengan keadaan kebudayaan Bali pada
tahun 1950-an. Perubahan label ini secara mudah bisa disaksikan dala kehidupan sehari-hari.
Misalnya, Bali sebagai pulau surge, karena kebudayaannya yang menawan dan kehidupan
masyarakatnya yang damai, akhir-akhir ini mulai goyah, tercermin dari adanya konflik
antarsesama orang Bali.
Dengan demikian tidak berlebihan jika disimpulkan bahwa semakin lama wajah
keindonesiaan bangsa Indonesia begitu pula wajah kebalian orang Bali. Semakin sulit dikenal
seperti disaksikan pada ruang publik atau tayangan TV – korupsi membudaya dan kekerasan
dipakai sebagai alat mencapai tujuan. Kondisi seperti ini bersifat menyeluruh, dalam arti,
tidak saja berlaku pada etnik Bali, tetapi juga pada etnik-etnik lain di Indonesia. Globalisasi
menuntut kualitas sumber daya manusia (modal SDM) yang tidak sekedar bisa bekerja sesuai
dengan hakikat manusia sebagai homo faber, tetapi lebih daripada iu, yakni kualitas SDM
yang kaya akan modal intelektual dan keterampilan yang jelas kompetensinya agar mampu
bersaing pada pasar tenaga kerja modal. Kondisi ini mengakibatkan, meminjam gagasan
Keraf (2002) terbentuk manusia yang menganut paradigm etika antroposenterisme, bukan
paradigm holistic atau meminjam Robbins dan Judge (2008) budaya kolektif berubah
menjadi budaya individualistik sehingga manusia menjadi egois, serakah atau lebih
mengutamakan keakuan, kesayaan atau kekelompokkan, buka kekitaan atau orang lain.
B. Hakikat dan Tujuan Pendidikan Karakter
Menurut Suyanto (2010:46) karakter adalah nilai yang unik-baik (tahu nilai kebaikan,
mau berbuat baik, dan nyata berkehidupan baik) yang terpatri dalam diri dan terejawantahkan
dalam prilaku. Karakter merupakan ciri khas sesorang atau sekolompok orang yang
mengandung nilai, kemampuan, kapasitas moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan
dan tantangan.
Dengan demikian pendidikan karakter bangsa ialah meng-Indonesiakan orang Indonesia
atau proses Indonesiaisasi agar melahirkan manusia Indonesia yang betul-betul
berkepribadian Indonesia yang tercermin pada dasar Negara Pancasila. Megawangi ( dalam
Elmubarok, 2009) menyatakan bahwa pendidikan karakter bertumpu pada sembilan pilar
yaitu : (1) Cinta Tuhan dan Kebenaran, (2) Tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian,
(3) Amanah, (4) Hormat dan santun, (5) Kasih saying, kepedulian, dan kerejasama, (6)
Percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah, (7) Keadilan dan kepemimpininan, (8) Baik dan
rendah hati, dan (9) Toleran dan cinta damai.
C. Pendekatan dan Model Pembelajaran
Sekolah merupakan salah satu agen pendidikan karakter bangsa yang sangat penting.
Hal ini tidak bisa dilepaskan dari hakikat sekolah sebagai lembaga yang sengaja dibentuk
oleh negara bisa pula lembaga swasta atas izin negara, dengan tujuan mereproduksi manusia
guna mewujudkarr citra manusia yang ideal. Dengan berpegang pada gagasan Tim Penyusun
Pengembangan Karakter di Perguruan Tinggi (2010) pendidikan karakter bangsa
membutuhkan pendekatan. Adapun pendekatannya, antara lain sebagai berikut: (1)
Pendekatan keteladanan, (2) Pendekatan berbasis kelas, (3) Pendekatan integrasi, (4)
Pendekatan pengembangan kultur sekolah, dan (5) Pendekatan pendidikan karakter berbasis
komunitas. Pendekatan ini bisa berwujud mengajak siswa untuk belajar tentang bagaimana
suatu komunitas, misalnya yang bercorak multiagama dan atau multietnik mepraktikkan
nilai-nilai pendidikan karakter toleransi dalam kehidupan bermasyarakat.
Pendekakan pembelajaran tidak bisa dilepaskan dari model pembelajaran. Namun,
apapun model pembelajaran yang digunakan dalam pendidikan karakter bangsa, ada beberapa
prinsip dasar yang perlu diperhatikan, yakni:
1) Pendidikan karakter yang berbasis nilai-nilai dan moral tidak bisa dibelajarkan hanya
dengan pendekatan nilat-nilai atau pengetahuanmoral.
2) Pendidikan karakter yang terfokus pada penanaman nilai membutuhkan perumusan
secara lebih utuh dan bermakna yang mengintegrasikan segi-segi konsep
pengetahuan, nilainilai, sikap, norma dan keputusan moral.
3) Pendidikan karakter bangsa merupakan rangkaian kegiatan bersinergi, yakni
mengetahui nilai-nilai, belajar mempertimbangkan nilai-nilai, belajar membuat
keputusan atas nilai dan moral yang ditanamkan, belajar mempraksiskan nilat nilai,
belajar membuat dan mengembangkan norma-norma kehidupan, dan belajar
membiasakan diri bersikap dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai. Kontrol sosial
internal dan eksternal
4) Pendidikan nilai secarg ideal menekankan pada gagasan pendidikan kritis. Artinya,
dalam penanaman nilai-nilai karakter bangsa maka model. pendidikan gaya bank
tidak relevan.
5) Pendidikan karakter tidak lagi hanya menekankan pada otak kiri pengetahuan yang
harus dihafal, tetapi menjangkau pula Otak kanan menekankan pada merasakan,
menghayati dan mengubah perilaku.
6) Dengan mengacu kepada Russell Williams (dalam Megawangi, 2007) pendidikan
karakter dapat diibaratkan sebagai “otot”, di mana “otot-otot” karakter akan menjadi
lembek apabila tidak pernah dilatih, dan akn kuat dan kokoh kalau sering dipakai.
Seperti halnya binarawan yang terus-menerus berlatih membentuk ototnya, maka
“otot-otot” karakter juga akan terbentuk dengan praktik-praktik latihan yang akhirnya
menjadi. kebiasaan atau habit.
7) Penanaman pendidikan karakter bangsa memerlukan penguatan dan dukungan dari
berbagai pihak secara bersinergi. Penyelenggaraan pendidikan karakter tidak saja
dilakukan oleh sekolah, tetapi juga agen-agen pendidikan lainnya secara bersineri,
yakni keluarga, masyarakat, media massa, teman sepermainan, dll.
D. Pendidikan Karakter dan Era Postmodern
Gagasan di atas menunjukkan bahwa saat ini kita berada pada era globalisasi. Kondisi
ini tidak saja mengakibatkan berbagai dampak, tetapi memunculkan pula sebutan baru bagi
perubahan kebudayaan yang melanda masyarakat dunia, termasuk Indonesia, yakni dari
masyarakat modern berubah menjadi masyarakat postmodern. Dengan mengacu kepada
gagasan Bachtra dan Saifuddin (2015) gejala ini mangakibatkan pendidikan karakter secara
ideal sangat perlu mempertimbangkan pengadopsian berbagai paham seperti : (1) Post-
antroposentric, (2) Postcompetitive, (3) Post-militaristic, (4) Post-patriarchal, (5) Post-
scientistic, dan (6) Post-nasionalistic.
BAB 2
Kajian Sosiobudaya Terhadap Pendidikan Karakter
BAB 4
Inkulkasi Agama, Pancasila, dan Kearifan Lokal Sebagai Fondasi Membangun
Karakter Bangsa
A. Membentuk Manusia Berkarater Pancasila
Pada aspek esoterik menyatukan keragaman pada Aspek eksoterik menunjukkan
bagaimana langkah penting yang dapat digunakan untuk menyehatkan masyarakat Indonesia
yaitu membentuk manusia Indonesia yang berkarakter. Manusia yang dapat dikatakan
berkarakter mulia jika manusia tersebut mengaktualisasikan sila-sila dalam Pancasila atau
homo Pancasila. Dalam pembentukan homo Pancasilasis dapat menyinergikan tiga modal
kultural dan atau modal spiritual yaitu Pancasila, kearifan lokal dan agama. Tiga modal ini
dapat membentuk manusia Pancasilasis yang berintikan kasih sayang.
B. Belas Kasih Inti Agama-Agama
Menurut Nurcholish dan Dja’far (2015) belas adalah inti sari agama-agama adalah
samudra belas kasih atau samudra cinta sehingga agama disebut agama cinta. Maka dari itu
wajar saja jika agama-agama di dunia menandatangani Piagam Belas Kasih pada tahun 2008.
Penandatanganan ini diwakili oleh individu dari semua agama dan dari individu yang
terkemuka yaitu Yudaisme, Kristen, Islam, Hindu, Buddha dan Konghucu. Dimana piagam
ini diluncurkan pada tanggal 12-11-2009 di enam puluh lokasi di seluruh dunia sehingga
keberadannya mengglobal (Armastrong, 2013:12-14). Lickona (2012:57) menyatakan bahwa
“…bagi banyak orang agama adalah motif utama dalam menjalankan kehidupan moral”.
Dalam hal ini kedudukan nilai agama sangat kuat dan berada pada peringkat atas. Sehingga
homo Pancasilasis yang berintikan kasih sayang dapat dikatakan sangat relevan karena sesuai
dengan ajaran agama.
C. Nirkekerasan Fondasi Agama
Dalam hal ini agama hindu sangat berpegang teguh pada ajaran ahimsa atau
antikekerasan. Manusia jika memiliki rasa ketamakan maka akar dari kekerasan akan muncul
yaitu ingin selalu terlihat lebih kaya. Manusia yang memiliki sifat serakah akan melakukan
segala cara untuk mendapatkan hal yang ia inginkan sehingga kekerasan tidak dapat
dihindarkan. Yang termasuk ke dalam kekerasan atau himsa adalah memperlakukan diri
sendiri berbeda dengan orang lain, tidak menyadari kesatuan mendasar dari segala sesuatu
dan hal lain yang bersifat kekerasan. Fondasi dari ahmisa adalah Tat Twam Asi yaitu
kewajiban manusia membangun persaudaraan bukan hanya dengan sesama manusia tetapi
juga dengan semua makhluk. Mengacu pada Galtung (2003) kekerasan dilawan dengan
kedamaian. Yang artinya manusia melakukan ahimsa maka sasarannya yaitu harus
mewujudkan kedamaian. Kedamaian tidak hanya tujuan dari agama Hindu saja, melainkan
agama-agama lain juga bertujuan sama. Agama merupakan interaksi sosial manusia dimana
bertujuan untuk mewujudkan kedamaian.
D. Ahimsa Fondasi bagi Kasih Sayang
Prasad (2012) menyatakan bahwa kasihan artinya melihat manusia lain dengan rasa
simpati sedangkan belas kasih artinya kasih sayang kepada siapa saja tidak melihat dari status
ekonomi atau sosialnya. Welas asih atau belas kasihan dipaparkan pada Bhagavad Gita yaitu
pada Darmayasa (2012:33). Selain itu terdapat pula pada Sara-samuccaya, 47 (dalam
Krishna, 2015: 47) yang menyatakan bahwa “Janganlah memperlakukan orang lain dengan
cara yang tidak menyenangkan dari dirimu sendiri. Inilah intisari dharma atau kebajikan.
Segala sesuatu yang lain bersumber dari karma atau nafsu”. Agama Hindu secara tegas
menunjukkan bahwa inti atau titik pusat yang menyatukan manusia sehingga membentuk
jalinan memusat adalah atman. Umat manusia menganut asa Bhineka Tunggal Ika yaitu
berbeda secara ketubuhan dan kebudayaan, tetapi terdapat titik pusat yang mengikatnya yaitu
atman. Cinta kasih antar sesama manusia tidak hanya pada agama Hindu saja tetapi berlaku
pula untuk seluruh agam (Pecceidan dan Ikeda, 1988; Fromm, 2014; Nurcholish dan Dja’far,
2015).
E. Om Shanti, Shanti, Shanti
Ketika orang Hindu berpidato maka setiap dalam membuka pidato akan mengucapkan
“Om Swasti Astu” yang artinya “Semoga baik/selamat/Rahayu atas Karunia Tuhan”.
Sedangkan jika orang Hindu akan menutup pidato ia akan mengucapkan “Om Shanti, Shanti,
Shanti” yang bermakna “Kedamaian, kedamaian, kedamaian atas Karunia Tuhan”. Dalam hal
ini dapat dikatakan baik agama Islam maupun agama Hindu memiliki cita-cita yang sama
yaitu mewujudkan kedamaian. Agama Hindu mengenal kata Om yaitu tiga huruf A, U, M. A
= Brahma = Pencipta, U = Wisnu = Pemelihara, dan M = Siwa = Pelebur. Kedamaian tidak
hanya dapat terjadi antara manusia dengan manusia tetapi bisa juga dengan binatang terutama
binatang yang berbulu tengkuk dan para dewa. Agama Hindu mengidealkan kedamaian antar
manusia, binatang, dewa, bumi, langit, dan surga.
F. Pancasila Bermuatan Belas Kasih
Latif (2014) memaparkan tentang perilaku orang Indonesia yang mengamalkan sila
pertama Ketuhanan Yang Maha Esa yang berwujud tindakan “Berketuhanan yang welas asih
dan toleran”. Welas asih merupakan implikasi dari manusia sebagai mahkluk beragama yang
berintikan keyakinan pada Tuhan. Agama Hindu melihat belas kasih melekat pada Tuhan.
Pemodelan Tuhan sebagai guru welas asih dilakukan dengan cara ber-ahimsa terhadap diri
sendiri, antar sesama manusia dan mahkluk lainnya. Latif (2014) dalam bukunya yang
berjudul “Mata Air Keteladanan Pancasila dalam Perbuatan” memberikan contoh beberapa
tokoh sejarah yang menerapkan kasih sayang dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan
bernegara. Misalnya Mohammad Natzir sebagai tokoh Islam bersahabat dengan tokoh
Katolik dan Protestan. Ini merupakan contoh yang sangat baik jika seseorang
mempraktikkannya.
G. Belas Kasih pada Kearifan Lokal
Pillang (2011) menunjukkan etnik-etnik di Indonesia menghasilkan apa yang disebut
narai kecil Redfield (1985) menyebutnya tradisi kecil. Narasi kecil yaitu mencangkup tentang
mitos, legenda, dongeng, hikayat, epik, sejarah, tragedi, komedi, lukisan, sinema, komik, dan
percakapan. Narasi kecil dapat berwujud kearifan lokal. Kearifan lokal berkontribusi bagi
pembentukan homo Pancasilasis yang berintikan pada belas kasih. Dalam hidup manusia
berpegang pada tepaselera. Artinya jika seseorang merasa sakit kalau dicubit maka sebaiknya
jangan mencubit orang lain. Terdapat pula ilmu kantong bolong yang memuat salah satunya
tempat untuk menaruh sesuatu yang artinya ajakan untuk mengosongkan tubuh sebagai
wadah dari berbagai sifat. Kasih sayang diterjemahkan dalam kearifan lokal bali yaitu sikut
ada di awake yang berarti apa yang kita lakukan pada orang lain haus memakai ukuran atau
patokan (sikut) pada diri sendiri (ada di awake) bermakna sama denga tepa selira. Maka hal
ini merupakan ukuran untuk perasaan orang lain.
H. Aspek Esoteris dan Eksoteris Karakter Bangsa
Kemajemukan yang melekat pada kehidupan bangsa Indonesia bisa menyangkut
aspek agama, estrisitas, kebudayaan, kelas sosial, lokalitas dan gender. Pada tataran eksoteris
berwujud perbedaan tindakan sosial dan artefak yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Terjadi krisis ke-kita-an dominasi ke-kami-an itulah yang tengah melanda jiwa bangsa.
Kondisi ini memerlukan strategi yang tepat dalam pengelolannya. Keragaman secara
eksoteris merupakan keniscayaan karena Tuhan menciptakan isi alam semesta ini dalam
bentuk keragaman. Nilai-nilai esoteris yang menyatukan keragaman adalah kasih sayang-
esensi homo pancasila. Kasih sayang manusia terhadap dirinya artinya manusia menyayangi
dirinya sendiri baik secara lahiriah maupun batiniah. Kasih sayang manusia terhadap manusia
lainnya yang berarti kasih sayang antar sesama manusia. Kasih sayang terhadap binatang dan
tumbuhan dan kasih kepada alam semesta. Kebutuhan akan kasih sayang tidak saja karena
pergaulan adalah keniscayaan, tetapi juga bergaul dengan orang lain ada dalam situasi
keberagaman.
I. Nirkekerasan Memutus Lingkaran Kekerasan
Usaha memutus kekerasan dengan cinta kasih umat penting dilengkapi dengan etika
keutamaan lainnya, sebab kekerasan tidak bisa dilawan dengan kekerasan. Jika kekerasan
dilawan dengan kekerasan maka muncul lingkaran kekerasan. Lingkaran kekerasan bisa
putus lewat kasih sayang atau kelembutan.
J. Inkulkasi ; Strategi Pembangunan Karakter Bangsa
Inkulkasi berarti penanaman nilai-nilai karakter yang bersumberkan pada kebudayaan
lokal, pancasila dan agama melalui sosialisasi yang melibatkan berbagai agen pendidikan,
misalnya sekolah inkulkasi. Ciri-ciri manusia memiliki keterampilan berpikir kritis yaitu
mencari kejelasan atas suatu pertanyaan dan pernyataan, mencari alasan, mencoba
memperoleh informasi yang benar dan lainnya. Dengan mengacu kepada Abdullah (2010)
pola ini diharapkan mampu membentuk bangunan kultural yang berfondasikan agama,
Pancasila dan kearifan lokal.
K. Pluralisme Menjadi Multikulturalisme
Paparan di atas menunjukkan bahwa kondisi bangsa Indonesia yang bercorak
pluralitas etnik, agama, adat istiadat, budaya lokal, dan bahasa. Fakta ini memunculkan istilah
masyarakat plural, yakni tatanan masyarakat yang di dalamnya terdapat berbagai unsur
masyarakat yang memiliki ciri-ciri budaya yang berbeda satu sama lain. Tidak mengherankan
jika pluralisme dianggap memiliki kelemahan yaitu salah satunya pluralisme berpeluang bagi
adanya hubungan dominatif, hegemonik dan diskriminatif yang dilakukan oleh tuan rumah
terhadap pendatang. Kelemahan pluralisme tradisional mengakibatkan muncul gerakan baru,
yakni multikultularisme. Ciri pluralisme modern adalah masyarakat mengembangkan
kemampuan psikis dan etis yang ditandai oleh kehidupan sehari-hari.
Multikultulturalisme adalah paham yang mengakui pluralisme budaya sebagai
keniscayaan bagi umat manusia hakikat manusia adalah sebagai homo pluralis. Agama Islam
sangat menghargai perbedaan keagamaan dan intelektual. Sedangkan Agama Hindu tidak
saja mengakui keragaman, tetapi juga asas multikulturalisme. Ini menunjukkan
multikulturalisme berlaku dalam Agama Hindu. Perbedaan tidak perlu dipertentangkan tetapi
harus menyikapi perbedaan sebagai keniscayaan dalam masyarakat guna mewujudkan
kedamaian ( Munawar-Rachman, 2016; Phillips, 206).
BAB 5
Dewataisasi Insani: Pemaknaan
Pendidikan Filsafat Pendidikan Hindu
A. Agama Hindu adalah Bahan Ajar Pendidikan Agama
Tuhan yang memberikan label Maha Tahu dan Maha Pencipta, selain menciptakan
manusia dan alam semesta Tuhan memberikan pula agama wahyu yang terkodifikasi dalam
bentuk kitab suci Veda sehingga melahirkan seperangkat ajaran agama yang bersifat
kontekstual. Agama Hindu sangat kaya akan ide-ide filsafat tidak saja tercermin pada
ajarannya tetapi juga pada munculnya aneka aliran filsafat dalam agama Hindu. Walaupun
kaya akan filsafat, namun agama Hindu tidak mengenal istilah filsafat, tetapi memakai istilah
darshana. Kata darshana berarti melihat atau mengalami, pemaknaan ini menunjukkan berarti
filsafat dalam konteks agama Hindu tidak hanya spekulasi metafisika, tetapi didasari pula
oleh data langsung. Walaupun filsafat agama Hindu sangat menghargai olah pikiran dan
pengalaman, namun ada aspek penting yang membedakannya yakni penghargaan terhadap
intuisi. Jadi dalam rangka mendapatkan pengetahuan filsafat Hindu tidak hanya bermuatan
oleh pikiran (rasionalisme) dan olah pengalaman (empirisme) atau memadukan wadah
rasional dan empiris sebagaimana yang lazim berlaku pada filsafat Barat. Agama Hindu
adalah kebenaran berdimensi kewahyuan sehingga kualitasnya bersifat absolute dan tak
tercampuri (murni).
Teks suci Veda dan tafsirnya tidak saja memuat tentang tata kelakuan keagamaan
tetapi memuat pula aneka tata kelakuan sosial antara lai tentang pendidikan. Bertolak dari
kenyataan ini tidak berlebihan jika dikatakan bahwa agama Hindu mengenal filsafat
pendidikan atau secara lebih spesifik bisa disebut filsafat pendidikan Hindu. Adapun gagasan
filsafat pendidikan Hindu tentang hakikat pendidikan adalah sebagai berikut:
B. Pendidikan adalah Dewataisasi Insani
Manusia adalah makhluk pendidikan (homo educadum) sebab berkemampuan
mendidik dan dididik. Realitas ini disadarai oleh agama Hindu, terbukti dari kenyataan agama
Hindu banyak mengkaji masalah pendidikan. Hal ini telah berlangsung sejak awal, terlihat
pada ungkapan-ungkapan teks kuno sebagai berikut:
1. Sa vidya ya vimuktaye
(Pembelajaran adalah yang membebaskan manusia)
2. Vidya tritiyo netrah
(Pembelajaran seperti mata ketiga)
3. Vidya yam rihta mashnute
(Pembelajaran membuat manusia abadi)
4. Na hi jnanen sadrisnham pavitramih vidyate
(Tidak ada yang lebih murni di dunia ini daripada pengetahuan)
5. Vidya balam Chandra balam stathaiva
(Mudah-mudahan kekuatan pengetahuan dan kekuatan bulan menganugrahi kalian
semua)
6. Vidya gurunam guruh
(Pengetahuan merupakan gurunya guru)
7. Kim kim na sadhyati kalpalateva vidya
(Apa yang tidak dijumpai oleh pembelajaran itu? Ia merupakan sebuah tumbuhan
magis atau pohon kebijaksanaan)
8. Vidya vihinah pashuh
(Seseorang yang tanpa pembelajaran adalah binatang)
Ungkapan-ungkapan ini menunjukkan agama Hindu sangat menghargai pentingnya
pengetahuan bagi kehidupan manusia. Perolehan pengetahuan didapat melalui pembelajaran,
kemampuan belajar merupakan aspek penting bagi eksistensi manusia, tidak hanya karena
belajar adalah pintu gerbang bagi pengetahuan. Agama Hindu menyebut pendidikan dengan
istilah aguron-aguron atau asewakadharma. Apapun nama lembaga pendidikan baik asrama
maupun sekolah, pasti memiliki tuuan dan hakikat manusia sebagai makhluk teleologis.
C. Ciri-ciri Divine Human
Pemaknaan pendidikan sebagai dewataisasi insane atau deraksasanisasi insane guna
membentuk daiwisampat atau divine human, gagasan ini tentang tujuan hidup manusia yakni
mencari nikmat dan menghindarkan rasa sakit. Pengaktualisasian hasrat atau kama selalu
dibayangi oleh sattwa guna – tendensi-tendensi benar dan patut dan tamas guna – tidak bisa
dilenyapkan karena keduanya melekat pada tubuh manusia. Manusia selalu berpeluang untuk
selalu berbuat kebajikan (sattwa guna) atau sebaliknya, yakni berbuat kejahatan (tamas guna)
baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Kemunculan perbuatan baik atau
buruk dalam memenuhi hasrat selain karena kemelekatan sattwa guna dan tamas guna pada
tubuh manusia , bergantung pada pengendalian pikiran (manah) dan kecerdasan (budhi).
Tubuh dan pancaindra sebagai sumber hasrat selalu menuntut kenikmatan optimal, gagasan
ini berimplikasi bahwa pendidikan sebagai dewataisasi insani secara ideal diarahkan kepada
pembentukan manusia berkarakter ideal. Walaupun berpihak pada daya manah dan budhi,
sattwa guna, pandawaisme atau divine human, namun tidak berarti bahwa daya tahan tubuh,
pancaindra, hasrat,tamas guna, korawaisme atau demonic human, karena secara substansial
tidak bisa dilenyapkan, bahkan harus ada dalam konteks kehidupan manusia.
Unsur-unsur ini tidak bisa dinolkan tidak saja karena sattwa guna dan tamas guna
melekat secara psikogenetik dalam tubuh manusia. Walaupun agama Hindu menganut asa
opsisi biner namun tak ada manusia yang sempurna tetapi selalu ada cacatnya, kondisi
bivalensia dalam logika samar menyatu dengan sang diri mengikuti rentangan waktu atau
sang kala, dengan demikian sepanjang hidupnya jika bukan pada hari ini maka baik dimasa
lalu mauoin dimasa depan manusia selalu berpeluang untuk berbuat salah/buruk atau
sebaliknya berbuat kebajikan-manusia tidak bisa dilihat secara hitam putih yang abadi.
Berkenaan dengan itu maka dewataisasi insane sebagai proses dan tujuan pendidikan,
arahnya bukan melenyapkan daya tubuh, pancaindra, hasrat, tamas guna, melainkan
mengendalikannya agar melahirkan manusia yang berpihak pada daya manah, budhi, sattwa
guna. Dalam konteks inilah maka pendidikan sebagai dewataisasi insane harus menanamkan
berbagai indikator tindakan yang mencerminkan divine human. Agama Hindu menyediakan
tata kelakuan atau resep bertindak yang amat kaya guna mewujudkan divine human melalui
dewataisasi insani. Orang Hindu tidak saja sebagai orang yang memiliki agama Hindu tetapi
juga sebagai warga negara dan masyarakat sedangkan agama Hindu disebut dharma Negara.
Kondisi ini berimplikasi bahwa pendidikan sebagai dewataisasi dalam konteks mewujudkan
divine human, namun apapun resep divine human maka penanamannya dilakukan pada
pikiran manusia. Gagasan ini berkaitan dengan filsafat Vedanta dan Katha Upanisad tentang
hakikat manusia yang terdiri dari tubuh dan roh (atman).
Berkenaan dengan itu maka pendidikan sebagai dewataisasi insane tidak cukup hanya
menanamkan resep-resep divine human dalam pikiran, melainkan membutuhkan pula
peningkatan kecerdasan. Dalam konteks ini teori-teori kecerdasan yang mencangkup
kecerdasan emosional, intelektual, spiritual dan sosial tidak bisa diabaikan guna mewujudkan
divine human. Agama Hinduamat kaya akan resep divine human tidak kalah daripada agama
yang lain maupun teori-teori sosial budaya. Divine human tidak saja menuntut perubahan
pada pikiran – kaya aspek kognitif dan evaluative, melainkan menuntut pula konsistensi pada
ucapan dan tindakan atau Tri Kaya Parisudha membentuk suatu kesatuan. Jika manusia
berhasil mengendalikan pikiran dengan menggunakan idea yang ada didalam pikirannya, baik
sebagai peta kognisi maupun aspek evaluative yang berlanjut pada penguasaan alat-alat
indria, tubuh dan hasrat, maka peluang bagi kemunculan divine human sangat besar.
Gagasan agama Hindu tentang kemanunggaan tubuh dengan sattwa guna dan tamas
guna, gagasan ini berimplikasi bahwa pendidikan sebagai proses mendewasakan atau
mendewatakan manusia. Usaha mewujudkan kedewasaan secara sosiobudaya tidak mudah,
baik karena factor psikogenetik – manusia memiliki tubuh, pancaindra, hasrat dan tamas guna
maupun karena pengaruh lingkungan sehingga sepanjang perjalanan hidupnya manusia selalu
berpeluang untuk berbuat kejahatan. Gagasan ini sangat cocok dengan filsafat pendidikan
Hindu yang melihat bahwa manusia adalah multivalensi yang terkait dengan logika samar
sehingga tidak ada manusia yang murni ataupun sebaliknya. Jika dewataisasi berhenti maka
hasrat yang menyatu dengan virus tamas guna akan memunculkan penyakit.
BAB 6
Nilai-Nilai Perjuangan Dan Wayang Sebagai Inspirator Guna Mewujudkan Pemuda
Berkarakter Kebangsaan
A. Sejarah sebagai Kontestan Nilai
Penjajahan pasti menimbulkan penderitaan bagi bangsa Indonesia. Gagasan ini
berkaitan dengan pola berfikir penjajah yakni bercorak opsisi biner rwa bhineka. Pola berfikir
seperti ini mengakibatkan penjajah merasa berhak menjajah dan mengambil keuntungan yang
sebnanyak-banyaknya lewat kebijakan yang eksploitatif atas bangsa Indonesia. Akibatnya
motif untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya merupakan kewajiban bagi penjajah
terhadap jajahannya. Dengan adanya kenyataan in bangsa Indonesia melakukan perjuangan
melawan penjajah, tidak hanya sekedar melawan melainkan dilandasi oleh nilai-nilai yang
mendorong atau yang ingin mereka tegakkan. Adapun nilai-nilai yang dimaksud : nilai
kemanusiaan, kemerdekaan, emansipatoris, agama, dan juga kebudayaan barat yang
tercangkup pada berbagai system politik. Nilai-nilai tersebut bisa saja berpengaruh atau
secara tumpang tindih diant oleh orang-orang tertentu dalam melakukan perjuangan melawan
Belanda.
B. Nilai Sejarah sebagai Habitus
Kemerdekaan mengakibatkan penjajahan berkhir dari bumi Nusantara, nilai-nilai
tersebut memerlukan konstektualisasi agar bersesuaian dengan kondisi yang dihadapi oleh
bangsa Indonesia yakni tidak lagi dijajah tapi sudah memasuki alam kemerdekaan. Nilai
humanisasi tetap dibutuhkan mengingat bahwa nilai-nilai kemanusiaan tidak saja menyatu
dengan diri manusia tetapi merpakan pula asas bagaimana seseorang memperlakukan orang
lain. Gagasan ini tidak bisa dilepaskan dari hakikat pendidikan sebagai humanisasi. Generasi
muda memiliki kewajiban untuk melakukan humanisasi lewat pendidikan, arah humanisasi
adalah menciptakan manusia yang berkarakter pancasila – kemanusiaan yang adil dan
beradab tanpa mengabaikan karakter yan digariskan oleh agama dan kebudayaan local.
Nilai kemerdekaan memerlukan refleksi secara kritis mengingat Indonesia memang
merdeka tidak lagi dijajah oleh negara lain, gejala ini dapat dicermati dengan kuatnya
dominasi kebudayaan barat atas kebudayaan nasional dan local. Betapa kuatnya pengaruh
kebudayaan amerika pada Negara kita, anda bisa merenungkan diri sendiri dengan
mengkritisi apa yang anda konsumsi bahwa bisa dipastikan hanya sebagian kecil merupakan
produk Indonesia. Dengan adanya kenyataan ini maka tantangan yang dihadapi oleh generasi
muda adalah bagaimana melawan imperialism budaya dengan cara memperkuat karakter
bangsa agar kita tidak tenggelam pada arus kebudayaan global sebagai suatu keniscayaan.
Emansipasi, generasi muda tidak boleh mengembangkan karakter penjajah melainkan
sebaliknya yakni mampu mengembangkan karakter yang mengakui adanya persamaan dalam
berbagas]I bidang kehidupan kepada siapapun tanpa membedakan latar belakang agama, ras,
etnik, dan jenis kelamin. Begitu pula memperlakukan wanita sebagai kelas bawah tidak
sesuai emansipasi. Nilai agama, yakni dicarikan titik temu antar agama agar agama bisa
berfungsi sebagai modal spiritual guna membangunketahanan bangsa, untuk mewujudkan
sasaran ini pengakuan akan keberagaman yang inklusif, dialogis dan pluralistic amat penting
bagi generasi muda. Nilai kebudayaan barat, walaupun banyak kajian menyebutkan bahwa
kebudayaan barat tidak selamanya membawa kemaslahatan bagi umat manusia tetapi banyak
pula yang membawa kemudharatan, namun era globalisasi mengakibatkan kita tidak mungkin
menutup diri dari kebudayaan barat. Dalam konteks ini nilai-nilai pancasila berkedudukan
strategis, yakni tidak saja sebagai tolak ukur dan sekaligus filter budaya guna
mempertahankan kepribadian bangsa dari pengaruh kebudayaan global, tetapi sekaligus bisa
pula diposisikan sebagai ideologi negara. Gagasan ini tidak bisa dilepaskan dari adanya
kenyataan bahwa pancasila tidak saja memuat nilai-nilai barat, yakni demokrasi,
nasionalisme dan sosialisme tetapi juga mengakomodasikan nilai-nilai agama dan kearifan
lokal.
Pancasila sebagai ideology Negara tetap diyakini amat tepat bagi kelangsungan hidup
bangsa Indonesia yang bercorak pluralistik. Gagasan ini mencerminkan bahwa pancasila
tetap dianggap berposisi penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara pancasila wajib
hukumnya bagi bangsa Indonesia. Perjuangan melawan penjajahan Belanda sebagaimana
disinggung diatas mendapat pula inspirator dari wayang terutama di kalangan orang jawa dan
bali. Dengan demikian wayang berkedudukan sangat penting bagi masyarakat, yakni habitus
guna mewujudkan kehidupan duniawih maupun batiniah yang terkait dengan konsep
manunggaling kawula gusti. Gagasan ini terkait dengan esensi wayang sebagai peretunjukan
tradisional yang tidak hanya menghibur, tetapi memuat pula nilai-nilai kepahlawanan dan
kebangsaan.
C. Wayang Inspirator Tindakan Kepahlawanan
Wayang memiliki makna yang sangat dalam bagi masyarakat jawa karena wayang
tidak hanya menyentuh aspek tontonan dan tuntunan, melainkan memberikan pula inspirasi
bagi ajaran kebatinan. Dengan demikian wayang berkedudukan sangat penting bagi
masyarakat jawa. Yakni habitus guna mewujudkan kehidupan duniawiah maupun batiniah
yang terkait dengan konsep manunggaling kawula-gusti.gagasan ini terkait dengan esensi
wayang sebagai pertunjukan tradisional yang tidak hanya menghibur melainkan memuat pula
nilai-nilai kepahlawanan dan kebangsanaan yang terlihat pada alur cerita dan pemodelan
yang dilakukan oleh aktor wayang. Beberapa contoh pahlawan dalam cerita wayang adalah
diponegoro dalam cerita mahabrata dan tokoh arjuna, sukarno dalam mahabrata sebagai
bima, dan kumbakarna dan bisma yang diibaratkan sebagai nasionalis sejati.
D. Wayang Wanita Idola bagi Wanita Jawa
Wayang tidak hanya terdiri laki-laki tetapi juga wanita. Kaitan antara wayang wanita
dengan tipe ideal wanita dalam budaya jawa memposisikan tokoh Suprabha, Dewi Kunti,
Drupadi, ddan Gandari. Suprabha berperan aktif membantu arjuna untuk mengalahkan
musuhnya yaitu raksasa niwata kawaca. Hal ini sering kali dipakai model istri yang ideal
adalah cantik dan aktif membantu dan mendampingi suami dalam mengelola rumahtangga
dan memecahkan masalah yang dihadapi. Dewi kunti adalah istri pandu kunti dimadu oleh
pandu namun kunti tidak menolaknya. Bahkan ketika pandu dan madri wafat, kunti tetap
mengasuh anak mereka berdua. Kunti dianggap wanita ideal yang berkarakter nerima, penuh
kasih ssayang tidak hanya kepada anak kandungnya melainkan kepada anak tirinya. Dengan
melihat ini citra ibu tiri menjadi lebih positif. Drupadi adalah istri panca pandawa. Drupadi
contoh wanita yang sangat setia terhadap suaminyasebab pandawa mengalami masala
pengasinangan selama 12 tahun. Ini menjadi model wanita yang patut ditiru karena
kesetiannya. Gendari menampilkan karakter yang patut dihindarkan mengingat beliau
merupakan ibu yang lebih menkanakna kuantitas anak daripada kualitas anak. Hal ini patut
digunakan sebagai contoh untuk tidak melakukan hal tersebut ketika menjadi seorang istri.
BAB 7
Lokalisasi Etika Keutamaan Hindu Berbentuk Kearifan Lokal
Konsep-konsep etika keutamaan Hindu dikenal secara terbatas pada kelompok elite
agama. Walaupun demikian bukan berarti umat Hindu sama sekali tidak mengenalnya, tapi
mengenalnya dengan formulasi lain. Kondisi ini berkaitan dengan daya kreatif dan daya
adaptif yang dimiliki oleh agen budaya dalam masyarakat yang disebut local genius atau
lokalisasi (Mulder, 1999), sinkretisme atau akulturasi (Koentjaraningrat, 1985). Dalam
perspektif teori-teori postmodern dikenal berbagai konsep sejenis, seperti hibridisasi budaya
Agama Hindu, Pancasila, dan Kearifan Lokal Fondasi Pendidikan Karakter dan glokalisasi
(Atrmadja 2015, Darmawan, 2014, Ritzer, 2006, 2014: Ritzer dan Goodman, 2004). Namun,
apapun konsep yang digunakan secara esensial adalah sama. Artinya, proses pengolahan Ini
terkait dengan hakikat manusia sebagai makhluk rasional empirik sehingga mereka bisa
memaknai dan mengolah pengalaman ekologis, pengalaman kewaktuan, dan pengalaman
sosial budaya menjadi kumpulan kognisi. Kumpulan kognisi ini merupakan modal dasar
untuk melakukan lokalisasi terhadap etika keutamaan Hindu. Etika keutamaan Hindu tidak
diterima secara tekstual memakai Istilah-istilah baku berbahasa Sansekerta seperti, tapi
diolah, diserap, dan dicangkokkan ke dalam kebudayaan lokal. Hal ini melahirkan konsep-
konsep atau bahkan proposisi yang cocok dengan kepribadian mereka.
Aneka konsep etika keutamaan Hindu merupakan konsekuensi dari gagasan Tat
Twam Asi. Tat Twam Asi dan etika keutamaan Hindu tidak saja sebagai sarana orientasi bagi
usaha manusia untuk bertindak secara etis, tetapi juga melegitmasinya. Artinya, ada
argumentasi yang dapat dipertangungjawabkan dilihat dari filsafat manusia dan etika Hindu
dalam konteks mengapa manusia bertindak etis. Pertanyaan ini dijawab oleh gagasan Tat
Twam Asi dan etika keutamaan Hindu yang mengiringinya. Lokalisasi terhadap konsep-
konsep etika keutamaan Hindu melahirkan kearifan lokal.
Etika keutamaan Hindu lain adalah kasih sayang berkaitan erat dengan ahimsa
(Shastri dan Shaatri, 2005). Kajian Atmadja (2014) menunjukkan belas kasih dapat
dirumuskan melalui dua cara, pertama, Kaidah Emas Negatif, “Jangan berbuat terhadap orang
lain apa yang Anda sendiri tidak diinginkan akan diperbuat terhadap diri Anda”. Atau,
“Jangan kaulakukan terhadap orang lain apa yang tidak kaumaui dilakukan terhadapmu”.
Kedua, Kaidah Emas Positif, yakni “Iakukan apa yang ingin orang lain lakukan untuk Anda”.
“Hendaknya memperlakukan orang lain sebagaimana Anda sendiri ingin diperlakukan”
(Shastri dan Shastri, 2005: 115). “Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri” (Atmadja,
2014: 209).
Betapa pentingnya belas kasih dijelaskan Swami Chinmayananda (dalarn Bhalla,
2010: 4) yang menyatakan bahwa “Kasih adalah dasar dari agama Hindu. Bila Anda tahu
cara mengasihi, Anda adalah seorang Hindu. Semua orang-orang hebat menjadi hebat
karenarasa kasih mereka untuk sesama. Mereka menjadi hebat karena mereka belajar untuk
mengasihi”. Kahril Gibran, kelahiran Libanon 6-1-1883, seorang penyair ternama yang
karya-karyanya mencerminkan perpaduan budaya Timur dan Barat, sangat disukai di
seantero dunia memberikan penilaian amat tinggi terhadap kasih sayang. Ide ini dapat
dicermati pada ungkapan.
Etika keutamaan Hindu yang berintikan pada pencapaian suaty tata kehidupan
masyarakat yang harmoni atau menurut penganut teori fungsionalisme struktural disebut
masyarakat yang integratif atay egualibrium (Ritzer, 2012). Gagasan kehidupan masyarakat
yang harmonj dipayungi dengan kearifan lokal, yakni Tri Hita Karana (THK). THK tidak saja
kearifan lokal Bali, tetapi juga filsafat hidup, bahkan ideologi pada masyarakat Bali
(Atmadja, 1998, 2010, 2010a, 2014). THK sebagai kearifan lokal bermakna bahwa THK
adalah habitus guna mewujudkan tindakan arif dan bijaksana konteks hubungan antara
manusia dan manusia (sila Pawongan), hubungan antara manusia dan lingkungan alam (sila
Palemahan) dan hubungan antara manusia dengan Tuhan (sila Parhyangan). Gagasan ini
mencerminkan bahwa sila Pawongan, Palemahan dan Parhyangan yang tercakup pada THk
secara esensial mengidealkan harmoni sosial, ekologis, dan teologis, Hubungan hamonis pada
tiga komponen ini memberikan jaminan bagi terwujudnya kesejahteraan dan/atau
kebahagiaan hidup manusia lahir batin dan di alam sini maupun alam sana. Gagasan ini
sesuai pula dengan tujuan agama Hindu dan agama-agama lainnya, yakni mewujudkan
kesejahteraan lahir batin dan mencapai kebahagiaan akhir agama Hindu menyebutnya
moksha.
Pencapaian harmoni sosial atau kedamaian mutlak membutuhkan etika keutamaan.
Kedamaian adalah kondisi yang tidak saja harmoni atau integratif, tetapi meminjam gagasan
Gaitung (2003) bisa pula berarti bebas dari konflik maupun kekerasan. Jikalau pun terjadi
konflik masih dapat dikendalikan sehingga sistem sosial tidak hancur harmoni dalam kondisi
dinamis ke arah keseimbangan. Agama Hindu sangat menekankan kedamaian tercermin pada
ucapan. Om Shanti, Shanti, Shanti, Om semoga damai, damai, damai atas karunia Tuhan
Yang Maha Esa.
Pencapaian masyarakat harmoni membutuhkan etika keutamaan, misalnya
persaudaraan. Persaudaraan tidak saja mengacu kepada persaudaraan dalam arti kerabat
dan/atau sesama etnis, tetapi juga dengan orang lain di luar kerabat saya dengan dia, kita
dengan mereka, orang Bali dengan non-Bali. Bahkan lebih luas lagi dengan dengan sesama
manusia implikasi dari tat twam asi. Dalam konteks ini orang Bali mengenal istilah nyama
Selam yang berarti saudara beragama Islam Sebaliknya, orang Islam menyebut orang Bali
dengan istilah nyama Bali.
Etika keutamaan Hindu menarik untuk dicermati, yakni “Apakah berlaku pada
masyarakat Jawa? Pertanyaan ini penting mengingat, walaupun masyarakat Jawa saat ini
telah berubah menjadi masyarakat Islam, namun di masa lalu, dia merupakan masyarakat
Hindu. Untuk menunjukkan apakah etika keutamaan Hindu berlaku pada masyarakat Jawa,
sangat menarik dicermati paparan Syuropati (2015) dan Hariwijaya (2014) dalam bukunya
berjudul “Kumpulan Mutiara Kearifan Jawa”.
BAB 8
Dewataisasi: Humanisme Religius Sasaran Pendidikan Hindu
BAB 9
Esensi Karakter Mulia Berfondasi Agama (Hindu), Pancasila, dan Kearifan Lokal
A. Kearifan Lokal Berwajah Ganda
Gagasan ini bisa dicermati pada kearifan lokal Tri Hita Karana. Kearifan lokal ini
memuat ide antara lain kesejahteraan hidup manusia ditentukan oleh sejauh mana manusia
mampu menciptakan hubungan harmonis atau harmoni sosial dengn manusia lainnya
(Pawongan). Gagasan ini tentu saja amat baik. Namun, dibalik itu dia bisa digunakan oleh
orang yang mempunyai modal kuasa dan/atau kelompok mayoritas untuk menindas orang
lain yang dikuasai dan/atau kelompok kecil. Hal ini berkaitan dengan pola piki sebagai
berikut, (1) harmoni sosial : disharmoni sosial, (2) rukun : tidak rukun, (3) damai : tidak
damai, (4) benar : salah, (5) normal : abnormal, (6) orang banyak : orang sedikit, (7)
mayoritas : minoritas.
Gagasan lain adalah pepatah berbunyi “dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung”.
Pepatah ini amat bangus karena memberikan pedoman bagi pendatang yang bertempat
tinggal diwilayah orang lain agar bisa menyesuaikan diri. Gagasan ini dapat dicemati pada
pola pikir sebagai berikut, (1) penduduk asli : pendatang, (2) tuan rumah : tamu, (3) pemilik
teritorial : tidak pemilik teritorial, (4) budaya mainstrem : budaya nonmainstrem, (5) baik
:buruk, (6) benar : salah, (7) mendominasi : didominasi, (8) menghegemoni : dihegemoni.
Kearifan lokal lainnya adalah semboyan jele melah gumi gelah sama maknanya
dengan pepatah right or wrong, my country, baik buruk adalah bumi miliki kita sendiri.
Adapula varian lainnya, yakni jele melah nyame gelah, baik buruk adalah saudara sendiri.
Daerah tempat kita berada adalah tempat kita hidup, mencari makan atau melakukan aktivitas
apasaja, bahkan suatu ketika jika kita mati, kita pun akan dikuburkn pada daerah tempat
tinggal kita.
Gagasan lain pada masyarakat jawa adalah jargon “rawe-rawe rantas malang-malang
putung, artinya niat yang kuat untuk mencapai tujuan mengakibatkan seseorang mengambil
tindakan semua yang menghalangi harus disingkirkan, segala yang merintangi dibuang
(Hariwijaya, 2005:77). Kearifan ini sangat bagus karena memberikan dorongan bagi
seseorang untuk bertindak tegas melenyapkan segala rintangan yang menghalanginya.
Namun ketegasan dapat tergelincir menjadi kekerasan dengan dalih melenyabkan segala hal
yang menghalangi pencapaian tujuan.
B. Epistemologi Kebenaran Lokal Komunitas Lokal
Dekontruksi terhadap kearifan lokal terikat pada sudut pandang benar/salah. Secara
epistermologis benar/salah atau positif/negatif sebagaimana dipaparkan diatas adalah
problimatik. Susetya (2016) bahwa masyarakat jawa misalnya, mengenal tiga bentuk dan
sumber kebenaran yakni, (1) benere dewe (benarnya sendiri), (2) benere wong (kebenaran
umum, benarnya banyak orang), (3) bener kang sejati (benar yang sejati, benar yang hakiki).
Jika gagasan ini dikaitkan dengan posisi seseorang yang diangga bertindak
disharmonis seperti dipaparkan diatas , maka merka adalah seseorang yang bertindak atas
dasar benere dewe (benar sendiri) menyalahi benere wong akeh. Pembelaan ini bisa faktual
terbukti bahwa dia memang benere dewe. Walaupun demikian secara epistemologi tetap ada
kemungkinan, yakni benere wong akeh yang dipakai aturan untuk menyalahkan benere dewe
adalah bermuatan kepentingan dan/atau kekuasaan.
Bertolak dari pemikiran ini pemakaian dari kearifan lokal untuk membenarkan suatu
tindakan seperti dipaparkan diatas memerlukan ukuran kebernaran yang jelas. Hal ini sangat
penting guna menghindarkan tafsir kebenaran atas kearifan lokal yang bersifat subjektif, baik
berbasis kepentingan individu benere dewe maupun kepentingan kelompok benere wong
akeh.
Berkenaan dengan itu maka patokan bagi kebenaran harus dikembalikan pada
fondasinya, agama, ideologi negara pancasila dan berbagai aturan lain sebagai
penjabarannya.
C. Kita Butuh Intelektual
Sikap kritis pada kearfan lokal sangat penting, karena ada sisi negatif yang bisa
digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk menekan orang lain dengan dalih demi
menegakkan semangat kearifan lokal, misalnya kedamaian, kerukunan, harmoni, dll. Hatta
(1983) dan Latif (2013) bahwa kaum intelektual memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Intelektual bertanggung jawab mengembangkan ilmu dan moral.
b. Intelektual menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan tercermin dari komitmen
mereka untuk mewujudkan kebenaran, keadilan, kebaikan, kebahagiaan,
kesejahteraan, perdamaian, kemerdekaan, persaudaraan di dunia fana ini.
c. Intelektual dapat berada dalam pimpinan negara dan masyarakat maupun tidak,
namun tetap berkomtmen terhadap intelektualitasnya dalam bingkai manusia susila
dan demokratis.
d. Intelektual siap menerima kebenaran dan menentang perbuatan salah yang merugikan
masyarakat dan negara dengan cara menunjukkan perbaikan menurut keyakinan, jika
tidak, berarti dia menghianati dasar kemanusiaan sebagai komitmennya (hatta, 1983).
D. Kita Butuh Etika Kepemimpinan Hindu
Kaum intelektual dapat berperan sebagai pemimpin baik negara maupun masyarakat.
Berkenaan dengan itu kaum intelektual sudah sewajarnya menguasai etika kepemimpinan.
Agama hundu memberikan resep bertindak tentang bagaimana menjadi pemimpin yang benar
dan baik sebagaimana tercermin pada Asta Brata. Asta Brata adalah etika kepemimpinan dan
meneladani delapan dewa dalam agama hindu yakni:
1) Indra Brata: memberikan kesejahteraan kepada masyarakat.
2) Yama Brata: penegakan hukum.
3) Surya Brata: memberikan semangat kehidupan.
4) Candra Brata: memberikan penerangan dan bimbingn terhadap rakyat dalam
kegelapan.
5) Bayu Brata: teliti dan bijaksana dan menjalanin kehidupan masyarakat.
6) Kuwera Brata: kemampuan untuk mengendalikan diri.
7) Baruna Brata: berpandangan luas dan mampu menerima segala persoalan.
8) Agni Brata:bertindak adil, disiplin, dan tegas dalam bertindak (Sudibya, 1997:8).
Etika kepemimpinan yang lain adalah Gajah Mada. Dia adalah tokoh Hindu sehingga
falsafah kepemimpinan dapat disebut filsafat hindu. Dengan mengacu pada Kriyantono
(2014:365) etika kepemimpinan gajah mada sebagai berikut
1) Spiritual yang terdiri dari berbagai aspek, yakni, wijaya, masihi samasta bhuana, dan
prasaja
2) Moral terdiri dari berbagai aspek yakni, mantriwira, sarjawa upasama, tan satrisna,
sumantri, sih samasta bhuana, nagara gineng pratijna.
3) Manajerial terdiri dari berbagai aspek yakni, natangguan, satya bakti prabhu,
wagmiwag, wicaksenengnaye, dhirotsaha, dibyacitta, nayaken musuh, ambek
paramartha, waspada purwartha.
Asta brata dikenal dimasyarakat Jawa. Asta brata delapan ajaran, mengacu kepada
“delapan butir ajaran tentang kehidupan dan kepemimpinan, sesuai dengan filsafah bumi, air,
api, angin, matahari, bulan, bintang dan awan. Bumi sabar, air tenang, api memberi semangat,
angin dinamis, matahari memberi keadilan, bulan menyejukkan, bintang rendah hati, dan
awan merahmati” (Hariwijaya, 2014:15-16).
Gagasan ini sangat penting karena merupakan model bagi kepemimpinan yang mirip
dengan asta brata dengan kepemimpinan hindu. Asta Brata versi jawa mengacu pada kondisi
alam atau benda-benda alam yang secara esensial disifatkan dengan dewa-dewa. Pemimpin
tidak sekedar untuk memimpin orang lain , tatapi diawali dengan kemampuan mengatur diri
sendiri dan keluarga disertai dengan aneka kemampuan lainnya. Dalam konteks ini ada
baiknya merenungkan gagasan ajaran besar atau Thay hak sebagai mana dikutip Jusuf
Susanto (2011) sebagai berikut.
“Orang zaman dulu yang hendak memperbaiki dunia, lebih berusaha dulu mengatur
negerinya. Untuk mengatur negerinya, ia lebih dulu membrikan rumah tangganya. Untuk
membereskan rumah tangganya, ia lebih dulu membina dirinya. Unuk membina dirinya, ia
lebih dulu meluruskan hatinya. Untuk meluruskan hatinya, ia lebih dulu memantapkan
tekadnya. Untuk memantapkan tekad, ia lebih dulu mencukupkan pengetahuannya. Untuk
mencukupkan pengetahuannya, ia meniliti hakikat tiap perkara. Dengan meneliti tiap hakikat
perkara, maka cukuplah pengetahuannya. Dengan cukup pengetahuannya, ia dapat
meluruskan hatinya. Dengan hati yang lurus, ia akan dapat membina dirinya sendiri sehingga
ia bisa membereskan rumah tangganya. Dan setelah itu mengatur negerinya sendiri sehingga
tercapilah damai di dunia. Karena itu dari raja sampai rakyat jelata ada satu kewajiban yang
sama yaitu mengutanakan pembianaan diri sebagai pokok. Dari pokok yang kacau tidak
pernah dihasilkan penyelesaian yang teratur baik. Karena hal itu seperti menipiskan benda
yang harusnya tebal dan menebalkan yang seharusnya tipis. Hal ini sesuatu hal yang belum
pernah terjadi” (Ajaran Besar/Thay Hak dalam Jusuf Susanto, 2011: 148).
Gagasan ini sangat menarik karena memberikan petunjuk bahwa siapa pun yang
menjadi pemimpin tidak saja mampu mengatur orang lain, tatapi diawali dengan mengatur
diri sendiri dan keluarganya. Kemampuan ini membutuhkan pengetahuan yang memadai baik
tentang etika kepemimpinan maupun asas moralitas karena pemimpin pada dasarnya adalah
kepala dan sekaligus sebagai model bagi rakyata atau anak buah yang dipimpinnya.
BAB 10
Pendidikan Hindu Pada Era Globalisasi: Membalikkan Karakter Keraksasaan
Menjadi Kedewataan
A. Kelengkapan materi
Buku ini secara umum membahas tentang agama hindu, pancasila, dan kearifan lokal
sebagai landasan pendidikan karakter. Dikaitkan dengan matakuliah Filsafat Ilmu dan
Pendidikan, maka buku ini dinilai sangat bermanfaat. Hal ini dikarenakan buku ini
memberikan oerbendaharaan poengetahuan mengenai ilmu dan pendidikan.
Berfilsafat berarti tidak percaya begitu saja dengan segala sesuatunya. Berfilsaffat
membutuhkan banyak sudut pandang untuk membentuk sebuah kesimpulan. Dalam
buku ini dibahas mengenai pendidikan karakter sebagai strategi, mengatasi tantangan
kebangsaan, kajian sosiobudaya terhadap pendidikan karakter, local genius dan
kearifan lokal dua sisi mata uang yang sama, inkulkasi agama, pancasila, dan kearifan
lokal sebagai fondasi membangun karakter bangsa, dewataisasi insani (pemaknaan
pendidikan dalam perspektif pendidikan filsafat pendidikan hindu), nilai-nilai
perjuangan dan wayang sebagai inspirator guna mewujudkan pemuda berkarakter
kebangsaan, lokalisasi etika keutamaan hindu berbentuk kearifan lokal, dewataisasi
( humanisme religius sasaran pendidikan hindu), esensi karakter mulia berfondasi
agama (hindu), pancasila, dan kearifan lokal, pendidikan hindu pada era globalisasi
(membalikkan karakter keraksasaan menjadi kedewataan). Keseluruhan materi ini
akan memberikan wawasan yang sangat luas dan mendalam dalam mempelajari
filsafat ilmu dan pendidikan. Selain itu, secara umumdengan membaca dan
memahami buku ini, pembaca mendapatkan pengetahuan tentupaya mengaplikasikan
pendidikan karakter pada segala jenis pendidikan.Untuk memiliki kemampuan dalam
berfilsafat, disarankan untuk memiliki bacaan selain dari buku ini. Alasan utamanya
adalah, buku ini terfokus untuk membahas agama, pancasila dan kearifan lokal
berdasarkan agama hindu dan budaya bali saja. Terdapat beberapa bahasan budaya
jawa namun tidak begitu lengkap. Membaca buku ini tanpa didampingi bacaan yang
lain akan memberikan pemahaman yang kurang universal.
B. Kedalaman materi
Ditinjau dari kedalaman materi, bahasan dalam buku ini dengan berbagai sub materi
yang dicantumkan memberikan pemahaman yang sangat menyeluruh. Artinya,
penulis membahas buku ini sangat mendalam. Sudut pandang terkait dengan sub tema
dari buku ini dibahas sangat lengkap sehingga pembaca menjadi memiliki
pemahaman yang menyeluruh terkait dengan judul buku secara umum dan submateri
secara khusus. Penulis mengaitkan banyak aspek-aspek yang menjadi kaitan dengan
subtema dari buku ini. Sebagai contoh, pada bab 8 dibahas tentang dewataisasi
humanisme religius sasaran pendidikan hindu. Pada bab ini selain membahas tentang
proses dan tujuan pendidikan, karakter ilahi dalam tubuh, peran gutu, pemodelan
dewataisasi, religius humanisme, dibahas juga tentang manusia pasca indonesia dan
pasca einstein. Pembahasan tentang materi ini memberikan pemahaman yang lebih
mendalam terkait dengan dewataisasi dalam pendidikan. Pembaca akan memiliki
pemahaman tambahan terkait paradigma manusi pasca Einstein didalam pendidikan.
Selain itu dibahas juga tentang kearifan lokal yang menjadi bahan tambahan
pengetahuan dalam memahami dewataisasi dalam pendidikan.
C. Ketepatan bahasa
Bahasa yang digunakan dalam buku ini sudah cukup tepat. Tetapi terdapat beberapa
bahasa yang tidak baku. Beberapa kalimat kurang terstruktur (SPOK). Beberapa
kalimat dalam buku buku ini cukup sulit untuk dipahami. Jika ditinjau dari subjek
tujuan pembaca buku ini, maka buku ini ditujukan untuk masyarakat berpendidikan
minimal (S1). Beberapa kalimat yang digunakan dalam buku ini membutuhkan
pengalaman membaca yang mumpuni. Selain dari isi buku yang tidak umum, bahasa
yang digunakan juga masih kurang umum. Untuk menyentuh seluruh masyarakat,
hendaknya kalimat ditulis lebih terstruktur dan bahasa yang digunakan hendaknya
adalah bahasa yang lebih umum.
D. Penggunaan istilah
Terdapat beberapa istilah yang tidak umum diketahuai oleh masyarakat didalam buku
ini. Seperti dewataisasi, penyerbukan silang antarbudaya, personifikasi tuhan, resep-
resep devine human, pelembagaan nilai-nilai, dan lain sebagainya. Istilah istilah ini
tidaklah salah dalam kosa kata baku bahasa indonesia. Namun, akan tidak mudah
untuk dipahami oleh masyarakat pada umumnya. Pembaca harus memiliki
pemahaman dan pengetahuan yang mumpuni untuk bisa memahami istilah-istilah
tersebut. Oleh karena itu, istilah istilah yang tidak umum tersebut hendaknya diganti
dengan istilah-istilah yang lebi definitif sehingga pemahaman pembaca terhadap isi
buku sesuai dengan yang seharusnya.
E. Keruntutan dan keterpaduan paragraf
Buku ini membahas berbagai hal terkait dengan fondasi pendidikan karakter.
Walaupun begitu, secara umum buku ini hanya membahas agama hindu, pancasila,
dan kearifan lokal. Namun, keterkaitan antara paragram satu dengan yang lainnya
menjadikan buku ini mudah dipahami dan tidak terkesan membahas suatu hal diluar
dari konsep judul buku ini. Bahasan buku ini sangat luas dan mendalam tetapi antara
paragraf tersusun dengan sangat runtun dan terpadu.
F. Keruntutan dan keterpaduan bab
Pembahasan antara bab satu dengan yang lainnya sudah disusun dengan runtun dan
terpadu. Pembaca diberikan pemahaman awal tentang pendidikan karakter secara
umum terlebih dahulu sehingga pembaca mendapatkan pengetahuan awal tentang
maksud dan tujuan pendidikan karakter sebagai strategi mengatasi masalah.
Selanjutnya dengan pemahaman tersebut pembaca diajak untuk masuk kedalam kajian
soiobudaya terhadap pendidikan karakter. Dalam bahasan ini pembaca akan paham
pilar pendidikan karakter dan indikator pendidikan karakter, pendidikan karakter
dalam perspektif sosiobudaya dan bagaimana penyelenggaraan pendidikan karakter.
Setelah memiliki pemahaman yang cukup tentang pendidikan karakter, maka penulis
mulai masuk dalam pembahasan bagaimana membangun pendidikan kareakter
tersebut. Penulis mulia membahas terkait kearifan lokal, pancasila, dan agama sebagai
fondasi dari pelaksanaan pendidikan karakter. Pembahasan selanjutnya penulis mulai
masuk lebih dalam terkait dengan agama kearifan lokal dn pancasila. Pembacapun
sudah memiliki pemahaman yang cukup untuk memahami bahasan selanjutnya. Hal
ini menandakan bahwa buku ini memiliki keruntutan dan keterpaduan yang sangat
baik.
G. Tidak mengandung unsur SARA,HAKI, pornografi, dan bias (
Pembahasan materi dialam buku ini ditinjau dari bahasa yang digunakan, judul dan
subjudul, serta isi dari materi ditulis secara universal. Universal yang dimaksudkan
disini adalah peruntukannya bagi seluruh komponen masyarakat. Buku ini dapat
dibaca oleh berbagai kalangan suku, agama, dan ras. Pembahasan agama, keyakinan
serta budaya dalam buku ini memang terfokus pada ajaran agama hindu dan budaya
bali, namun pembahasan tidak bersifat ofensif terhadap perbedaan yang ada antar
agama dan budaya yang ada. Seluruh kutipan dalam buku ini sudah di tulis sesuai
dengan aturan penulisan. Seluruh kutipan juga sudah tercantum pada daftar pustaka.
Tidak ada bahasanberupa kalimat, istilah, ataupun gambar yang bersifat pornografi
serta tidak terjadi bias pembahasan di seluruh bahasan.
(Atmadja et al., 2017)
Daftar Pustaka
Atmadja, N. B., Atmadja, A. T., & Maryati, T. (2017). Buku Agama Hindu, Pancasila, dan
Kearifan Lokal Fondasi Pendidikan Karakter. Pustaka Larasan.