Anda di halaman 1dari 53

MAKALAH MANAJEMEN LINGKUNGAN AKUAKULTUR

“BASIC TEORI ALKALINITAS DAN KESADAHAN DALAM AKUAKULTUR”

Oleh:

Kelompok 1:

Rahmatulloh Arifin C1501211010


Dwi Indah Pratiwi C1501211021
Zulfana Fikru Sifa C1501211024

PROGRAM STUDI ILMU AKUAKULTUR


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBARiv
DAFTAR TABEL
1. Pendahuluan..........................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang...............................................................................................................1
1.2. Tujuan.............................................................................................................................1
1.3. Rumusan masalah...........................................................................................................1
2. Pembahasan...........................................................................................................................1
2.1. Alkalinitas dan Kesadahan.............................................................................................2
2.1.1. Definisi Alkalinitas Total....................................................................................2
2.1.2. Kesadahan total...................................................................................................3
2.1.3. Sumber Alkalinitas dan Kesadahan.....................................................................3
2.1.4. Reaksi CO2 dalam Air........................................................................................4
2.1.5. Kelarutan CaCO3................................................................................................4
2.1.6. Reaksi CO2 dan CaCO3.......................................................................................5
2.1.7. Reaksi CaCO3 dengan asam kuat.......................................................................6
2.1.8. Sumber Alkalinitas dan Kesadahan Lainnya.......................................................7
2.1.9. Analisis Alkalinitas.............................................................................................7
2.1.10.Bentuk Alkalinitas...............................................................................................9
2.1.11.Analisis Kesadahan...........................................................................................10
2.1.12.Kit Alkalinitas dan Kesadahan..........................................................................10
2.1.13.Konsentrasi Alkalinitas dan Kesadahan............................................................11
2.2. Peran Alkalinitas dan Kesadahan di Akuakultur..........................................................14
2.2.1. Alkalinitas, CO2, dan pH...................................................................................14
2.2.2. Sistem Penyangga (Buffer)...............................................................................15
2.2.3. Alkalinitas, Kesadahan, dan Komunitas Fitoplankton......................................17
2.2.4. Polusi Atmosfer, pH, dan Alkalinitas................................................................20
2.2.5. Alkalinitas, kesadahan, dan Produksi Budidaya...............................................21
2.2.6. Alkalinitas, pH, dan Nitrogen Anorganik.........................................................22
2.2.7. Alkalinitas, pH, dan Toksisitas Amonia............................................................26
2.2.8. Interaksi dengan Logam Terlarut......................................................................27

ii
2.2.9. Kesadahan dan Fisiologi Hewan Akuatik.........................................................29
2.2.10. Kesadahan dan Flokulasi Partikel Tanah Liat Tersuspensi.............................30
2.2.11.Kesadahan dan pH Tinggi di Kolam.................................................................31
2.2.12.Pelepasan CO2 dari sistem Budidaya................................................................31
2.2.13.Pengapuran........................................................................................................32
2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alkalinitas dan Kesadahan...................................35
2.3.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alkalinitas...............................................35
2.3.2. Faktor yang Mempengaruhi Kesadahan...........................................................38
2.4. Studi Kasus Alkalinitas dan Kesadahan.......................................................................39
3. Kesimpulan..........................................................................................................................47
Daftar Pustaka.....................................................................................................................48

iii
iv
I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Air sebagai lingkungan tempat hidup organisme perairan harus mampu mendukung
kehidupan dan pertumbuhan organisme tersebut. Masing-masing faktor penentu kualitas air
saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain. Variabel kualitas air yang dapat
mempengaruhi kehidupan organisme akuatik diantaranya adalah alkalinitas dan kesadahan
( Yulfiperius, 2006).
Alkalinitas dan kesadahan adalah variabel kualitas air umum yang penting dalam
produktivitas ekosistem perairan, dan produksi akuakultur (Boyd, 2016). Alkalinitas berperan
sebagai penyangga (buffer) perubahan pH air dan indikasi kesuburan yang diukur dengan
kandungan karbonat. Kesadahan juga dapat berperan sebagai penjaga kestabilan nilai pH agar
tidak mengganggu keseimbangan di perairan Sifat pH yang fluktuatif dapat dikendalikan
dengan penyangga (buffer), salah satunya melalui metode pengapuran. Pengapuran akan
meningkatkan konsentrasi kesadahan dan/atau alkalinitas sebagai penyangga pH di perairan
(Boyd, 1982) dalam Nirmala et al., (2005). Oleh karena itu, konsep alkalinitas dan
kesadahan, interpretasi berbagai konsentrasi, efek atau peran dari variabel-variabel ini pada
aspek lain dari kualitas air maupun biota budidaya, dan metode untuk mempertahankan
konsentrasi dalam kisaran yang optimum harus dipelajari (Boyd, 2016).
I.2. Tujuan
Materi ini bertujuan untuk mengkaji akalinitas dan kesadahan meliputi basic teori
hingga pengaplikasiannya yang secara khusus dalam lingkungan akuakultur.
I.3. Rumusan masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini yaitu :
1. Apa saja serta bagaimanakah basic teori mengenai alkalinitas dan kesadahan?
2. Bagaimanakah peran alkalinitas dan kesadahan dalam lingkungan akuakultur?
3. Apa sajakah faktor-faktor yang mempengaruhi alkalinitas dan kesadahan?
4. Bagaimanakah studi kasus alkalinitas dan kesadahan terhadap ikan serta kualitas air
berkaitan dengan ammonia, karbon dioksida, serta pH dalam RAS?

1
II. PEMBAHASAN

II.1. Basic Teori Alkalinitas dan Kesadahan


II.1.1. Definisi Alkalinitas Total

Alkalinitas air adalah gambaran kapasitas air untuk menetralkan asam atau kuantitas
anion di dalam air yang dapat menetralkan kation hidrogen. Alkalinitas ini biasanya terukur
sebagai alkalinitas total. Alkalinitas total adalah konsentrasi basa yang dapat dititrasi dalam
air untuk menetralkan ion hidrogen (H+), misalnya, dalam reaksi H+ + OH- = H2O, OH- (ion
hidroksil) adalah basa (Boyd, 2016). Alkalinitas juga diartikan sebagai kapasitas penyangga
terhadap penurunan pH perairan (kemampuan air menetralisir asam). Penyusun alkalinitas
perairan adalah anion bikarbonat (HCO3- ), karbonat (CO32-), dan hidroksida (OH- ). Borat
(H2BO3), silikat (HSiO3- ), fosfat (HPO42- dan H2PO4- ), sulfida (HS- ), dan amonia (NH3)
(Utami, 2021).
Hidroksida (OH− + H+ = H2O)
Karbonat (CO32− + H+ = HCO3−)
Bikarbonat (HCO3− + H+ = H2O +CO2)
Ammonia (NH3 + H+ = NH4+)
Fosfat (PO43− + H+ = HPO42−; HPO4− + H+ = H2PO4−)
Borat (H2BO4− + H+ = H3BO4)
Silikat (H3SiO4− + H+ = H4SiO4)
Organic acids (RCOO− + H+ = RCOOH)
Di sebagian besar perairan alami, hampir semua alkalinitas berasal dari HCO3−, CO32−,
dan OH−. Oleh karena itu, alkalinitas digambarkan sebagai:

Alkalinitas = [ HCO3 −] + 2 [ CO32− ] + [OH−] – [ H+] …. (1)

Misalkan air mengandung : 61 mg/L HCO3 −; 2.81 mg/L CO32−, dan pH = 9.


Karena pH = 9 maka pH = − log[H+], [H+]=10−9 M
[H+][OH−]= Kw =10−14 pada C= 25, [OH−]=10−5. [H+]= 10-9
Berat molar masing-masing HCO3 − dan CO3 2− adalah 61 and 60 g/mol
Dengan demikian (HCO3 −)=0.001 M dan (CO32− )= 0.000047 M.
Dengan substitusi ke dalam Persamaan 1
Alkalinitas = 0,001M + 2 (0,000047M) + 0,00001M - 0,000000001M= 0,0011M.
Jadi, 0,0011 mol H+ akan diperlukan untuk menetralkan alkalinitas dalam 1 L air.

2
Alkalinitas dinyatakan dalam mg/l CaCO3 Supono, (2015). Berat ekivalen CaCO3
adalah setengah dari berat formulanya 100,08 yaitu 50,04 Berat ekivalen CaCO3 adalah
setengah dari berat formulanya 100,08 atau 50,04. Sehingga Alkalinitas sampel air yang
disebutkan di atas adalah :
0,0011 eq/LH+ × 50,04 g CaCO3/eq ×103 mg/g = 55,04 mg/L CaCO3
Keterangan : Berat ekivalen CaCO3 adalah setengah dari berat formulanya 100,08 atau
50,04.

II.1.2. Kesadahan total

Kesadahan total adalah konsentrasi kation divalen dalam air, juga dinyatakan sebagai
CaCO3. Penting untuk dicatat bahwa alkalinitas dan kesadahan dinyatakan dalam satuan yang
sama (mg/L CaCO3) meskipun mereka mengacu pada sifat air yang sangat berbeda. Pada
umumnya kesadahan disebabkan oleh adanya logam-logam atau kation-kation yang
bervalensi dua, seperti Fe , Sr2+, Mn2+, Ca2+, dan Mg2+, tetapi penyebab utama dari
2+

kesadahan adalah kalsium (Ca2+) dan magnesium (Mg2+) (Utami, 2021). Kation tersebut yang
paling melimpah di perairan alami. Beberapa perairan mengandung sejumlah kecil strontium
(Sr2+), dan air yang sangat asam mungkin mengandung konsentrasi besi ferro (Fe 2+) dan
mangan (Mn2+) (Boyd, 2016).
Persamaan untuk menghitung kesadahan :
Hardness ( mg∕L as CaCO3 ) = ( Ca 2+ × 2.5) + ( Mg2+ × 4.12) + ( Sr2+ × 1.14) + ( Fe2+ × 1.79)
+ ( Mn2+ × 1.82) …(2)
Keterangan : Ca2+, Mg2+, Sri2+, Fe2+, dan Mn2+ = konsentrasi terukur (mg/L).
Dalam sampel dengan 20 mg/L Ca2+ dan 4 mg/L Mg2+, kesadahan dihitung dengan
Persamaan 2 akan menjadi 66,48 mg/L CaCO3. Di sebagian besar sampel air, hanya Ca2+ dan
Mg2+ akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kesadahan. Oleh karena itu
kesadahan total dapat ditentukan dengan persamaan (Effendi, 2003):
Kesadahan total = kesadahan kalsium + kesadahan magnesium …(3)

II.1.3. Sumber Alkalinitas dan Kesadahan

Batu kapur adalah sumber utama alkalinitas dan kesadahan. Komposisinya terdiri
mulai dari CaCO3 (kalsit) hingga MgCO3⋅CaCO3 (dolomit), tetapi sebagian besar batu
gamping merupakan campuran CaCO3 dan MgCO3 dimana CaCO3 yang paling melimpah

3
(Bowles 1956). Pelarutan batu gamping di alam sangat bergantung pada konsentrasi CO 2,
sehingga pembahasan kelarutan batu kapur dimulai dengan pelarutan gas CO 2 dalam air.
Menurut Effendi (2003), Alkalinitas dihasilkan dari karbondioksida dan air yang dapat
melarutkan sedimen batuan karbonat menjadi bikarbonat.

II.1.4. Reaksi CO2 dalam Air

Proses pelarutan CO2 di air melalui beberapa tahap mekanisme reaksi yang
melibatkan gas dan CO2 terlarut, asam karbonat H2CO3. ion bikarbonat (HCO3−) dan ion
karbonat (CO32−). Sebagaimana diketahui, ketiga bentuk diatas dan termasuk juga CO2
merupakan penyebab utama dari alkalinitas air. Alkalinitas sendiri dapat didefinisikan
sebagai kemampuan menetralkan asam.
CO2 + H2O = H2CO3 K = 10−2.75 (4)
Asam karbonat terdisosiasi dalam dua langkah:
H2CO3 = H+ + HCO3− K = 10−3.6 (5)
HCO3−= H+ + CO32− K = 10−10.33 (6)
Persamaan diatas dapat digabungkan dengan penambahan untuk mendapatkan reaksi
nyata CO2 dengan air.
CO2 + H2O = H2CO3
+ H2CO3 = H+ + HCO3− (7)
CO2 + H2O = H+ + HCO3−
Alkalinitas dari HCO3− diimbangi oleh keasaman H+, dan CO2 sendiri bukanlah
sumber alkalinitas. Fakta bahwa perubahan konsentrasi CO2 tidak mempengaruhi konsentrasi
alkalinitas dalam sampel merupakan konsep penting dalam kualitas air, karena konsentrasi
CO2 dapat berubah selama pengambilan sampel. Penambahan dan pengurangan CO2
mempengaruhi bentuk alkalinitas, tetapi tidak mempengaruhi konsentrasi alkalinitas secara
keseluruhan.

II.1.5. Kelarutan CaCO3


Batu gamping yang merupakan campuran dari CaCO3 dan MgCO3 dapat larut dengan
cara yang sama, seperti yang ditunjukkan di bawah ini untuk larutnya CaCO3, tetapi
konstanta kesetimbangan untuk campuran CaCO3 dan MgCO3 akan berbeda dari CaCO3
murni.
CaCO3 = Ca2+ + CO32− K= 10-8,3 (8)

4
CO32− menghidrolisis, sehingga hirolisis menghilangkan CO32− dari larutan dan
memungkinkan lebih banyak CaCO3 untuk larut.
CO32− + H2O = OH− + HCO3− (9)
Tabel 1. Kelarutan karbon dioksia di air di beberapa temperature dan salinitas yang berbeda

II.1.6. Reaksi CO2 dan CaCO3

Asam karbonat dalam air bereaksi dengan CaCO3 akan menyebabkan dissolution
(peleburan), tetapi jika CO2 bereaksi dengan CaCO3 akan membentuk reaksi sebagai berikut:
CaCO3 + CO2 + H2O = Ca2+ + 2HCO3− (10)
Limnologi dan tes kualitas air sering menyajikan persamaan tersebut, tetapi kita
belum melihat K untuk reaksi tersebut. K diturunkan dengan membalikkan bentuk aksi massa
dari Eq. 6 (untuk mendapatkan H+ dan CO2− dalam penyebut) dan mengalikannya dengan
bentuk aksi massa dari Eq 7 (Eq 4 x Eq 5) dan Eq 8.
(HCO3 ) × ( H+) (HCO3 ) × ( Ca2+) (CO32−) = 1 × 10−6.35 × 10−8.3
(H+) (CO32− ) (CO2 ) 10−10.33
Disederhanakan menjadi
( Ca2+) (HCO3 )2 = 10−4.32
(CO2 )
Satu mol Ca2+ dan 2 mol HCO3- menghasilkan ketika 1 mol CaCO3 larut dalam sistem
terbuka atmosfer (Persamaan 7) Konsentrasi molar CO2 dalam air yang terpapar atmosfer
adalah 10-4.89 M; mensubstitusi X = (Ca2+), Konsentrasi molar CO2 dalam air yang terpapar
atmosfer adalah 104.89 M; mensubstitusi X = (Ca 2+), 2X = (HCO3-), dan CO2 = 10-4.89 M ke
dalam bentuk aksi massa memberikan :
(X) ( 2X2 ) = 10−4.32; 4X3 = 6.17 × 10−10;
10−4.89
X = 5.37 × 10−4 M.

5
Jadi, Ca2+ = 21,5 mg/L (kesadahan 53,7 mg/L) dan HCO 3 -= 65,5 mg/L (alkalinitas
53,7 mg/L). Konsentrasi ini cukup sesuai dengan konsentrasi yang ditentukan secara
eksperimental sebesar 22,4 mg/L Ca2+ (56 mg/L kesadahan) dan 67,1 mg/L HCO 3-
(alkalinitas 55 mg/L) pada konsentrasi CO2 sekitar 400 ppm (Frear dan Johnston 1929).
Perkiraan kelarutan ini untuk kalsit.
Setengah dari karbon (C) di HCO 3- adalah dari CaCO3 dan setengahnya dari CO2,
tetapi jumlah CaCO3 yang larut di sistem terbuka lebih dari dua kali jumlah CaCO3 yang akan
larut di sistem tertutup (tidak ada CO 2). Hal ini karena penghilangan CO2 terlarut melalui
reaksi dengan CaCO3 memungkinkan lebih banyak CO2 dari atmosfer masuk ke dalam air
dan bereaksi dengan CaCO3 sampai tercapainya keseimbangan.
Adanya CO2 terlarut walaupun berjumlah sedikit sangat berefek pada pelarutan
CaCO3. Ketika CO2 tidak ada, CaCO3 larut untuk menghasilkan konsentrasi kesadahan dan
alkalinitas kurang dari 10 mg/L CaCO3. Ketika air seimbang dengan atmosfer, konsentrasi
CO2 sekitar 0,6 mg/L, dan sejumlah kecil CO2 dapat meningkatkan kelarutan CaCO3 untuk
menghasilkan konsentrasi alkalinitas dan kesadahan lebih dari 50 mg/L.
Meningkatnya konsentrasi CO2 terlarut akibat difusi CO2 dr atmosfer akan
meningkatkan kelarutan CaCO3. Air yang masuk ke tanah mengakumulasi CO 2 dari respirasi
akar dan respirasi mikroba dan dalam formasi tanah yang jenuh, tekanan hydrostatic
meningkat dengan kedalaman memungkinkan air untuk menahan lebih banyak CO 2. Ketika
perairan banyak mengandung karbondioksida (kadar CO2 mengalami saturasi/jenuh) maka
akan mengakibatkan ionisasi asam karbonat sehingga menyebabkan tingginya kadar
bikarbonat. Air tanah dari formasi yang mengandung batugamping mungkin memiliki
alkalinitas yang lebih tinggi daripada yang biasa ditemukan di air permukaan. Karbon
dioksida juga dapat terakumulasi di permukaan air karena dekomposisi bahan organik.
Persamaan 10 dapat dilanjutkan di kedua arah, dan menghilangkan CO2 (karena suhu
meningkat) dari air dapat menyebabkan CaCO3 mengendap.

II.1.7. Reaksi CaCO3 dengan asam kuat

Kelarutan CaCO3 seperti yang dijelaskan di atas adalah untuk situasi normal di mana
CO2 dan asam lemah adalah sumber keasaman. Beberapa perairan mengandung asam kuat
seperti H2SO4 dari oksidasi belerang dioxid di atmosfer atau oksidasi pirit besi yang
terkandung dalam tanah.
CaCO3 +H2SO4 = Ca2+ + SO4 2- + CO2 + H2O

6
Asam kuat bereaksi dengan CaCO3 menghasilkan kesadahan, tetapi bukan alkalinitas.

II.1.8. Sumber Alkalinitas dan Kesadahan Lainnya

CO2 terlarut juga bereaksi dengan kalsium silikat (mineral batuan vulkanik,
kandungan paling tinggi pada batu apung) dan feldspar (mineral pada batuan granit) seperti
olivin, ortoklas, dan lainnya. Reaksi reaksinya adalah
Calcium silicate CaSiO3 + 2CO2 + 3H2O → Ca2+ + 2HCO3 + H4SiO3
Olivine Mg2SiO4 + 4CO2 + 4H2O → 2Mg2+ + 4HCO3 + H4SiO3
Orthoclase KAlSi3O8 + 2CO2 + 11H2O → Al2Si2O5 (OH)4 + 4H4SiO4 + 2K+ = 2HCO3 .
Kalsium silikat merupakan sumber utama alkalinitas di perairan alami (Ittekkot 2003),
dan feldspar juga merupakan sumber penting di daerah dengan tanah asam. Gipsum
(CaSO4⋅2H2O) adalah mineral umum yang terbentuk ketika air laut atau air danau menguap.
Hal ini sering ditemukan dalam lapisan dasar dengan batu kapur dan batuan sedimen lainnya
atau dalam endapan permukaan yang terbentuk di dasar danau yang kering. Pelarutan gipsum
merupakan sumber kesadahan kalsium.
II.1.9. Analisis Alkalinitas

Pengukuran alkalinitas adalah mengukur berapa banyak H+ diperlukan untuk titrasi


sampel ke titik akhir metil orange (sekitar pH 4,5). PH pada titik akhir titrasi sesuai dengan
titik di mana sejumlah H+ telah ditambahkan untuk bereaksi dengan semua OH-, CO32− dan
HCO3 dalam sampel dan menghasilkan CO2 dan H2O.
Titik Akhir Titrasi

Gambar 1. Kurva titrasi untuk 100 mL sampel air yang mengandung 30 mg/L alkalinitas total

Pada Gambar 1, pH menurun secara bertahap saat titrasi berlangsung, dan titik belok
pada kurva titrasi pada titik akhir tidak tajam seperti yang diilustrasikan untuk titrasi sampel

7
dengan alkalinitas sekitar 30 mg/L. Kurva titrasi dihentikan pada pH yang telah ditentukan,
ditandai dengan perubahan warna suatu indikator atau respon elektroda pH.
Titik akhir untuk titrasi HCO3 secara teoristis tampaknya berada pada pH yang sama
dengan pH sampel air tawar dalam kesetimbangan dengan CO 2 atmosfer (pH = 5,62) . Pada
kesetimbangan, konsentrasi CO2 pada 25 ˚C adalah 0,57 mg/L (10−4.89 M), konsentrasi HCO3
dan H+ akan sama, dan H+ dapat disubstitusi HCO3. Namun, titik akhir pH ini terlalu besar,
karena CO2 diproduksi dalam sampel dan HCO3- dinetralisir.
HCO3- + H+ = CO2 + H2O
Titik akhir titrasi tergantung pada konsentrasi CO 2 terlarut. Jika CO2 terlarut
dihasilkan selama titrasi dengan cepat menghilang karena difusi ke atmosfer, titik akhir pH
akan tajam dan mendekati pH 5,6 seperti yang dijelaskan sebelumnya. Tetapi dalam kondisi
laboratorium, CO2 terlarut yang diproduksi lebih cepat selama titrasi daripada yang hilang
melalui difusi dari sampel ke atmosfer, sehingga CO 2 terakumulasi dalam sampel dan
menggeser titik akhir pH ke yang lebih rendah.
Cooper (1941) menyatakan bahwa titrasi larutan natrium karbonat (Na2CO3) dan
natrium bikarbonat (NaHCO3) dengan konsentrasi berbeda, titik akhir yang diperkirakan pada
bagian paling curam dari infleksi dalam kurva titrasi. Hal tersebut digunakan untuk
menunjukkan hubungan antara konsentrasi alkalinitas dan titik akhir pH (Gambar 2).
Alkalinitas meningkat dari 17,56 menjadi 167,24 mg/L, jumlah CO2 dilepaskan selama titrasi
meningkatkan dan titik akhir pH turun dari 4,98 menjadi 4,63.

Gambar 2. Hubungan titik akhir pH dan konsentrasi alkalinitas

Cooper (1994), merekomendasikan penggunaan indikator bromocresol green-methyl


red (BCG-MR) dalam titrasi alkalinitas total, indikator ini masih umum digunakan sampai

8
sekarang. Warna indikator ini menggambarkan pH berikut: ≥5.2, biru kehijauam; 5.0, biru
muda dengan abu-abu lavender; 4.8, abu-abu merah muda muda dengan warna biru; 4.6,
merah muda muda. Selain itu indikator yang sering digunakan adalah methyl orange (MO).
Eaton et al., (2005), memberikan rekomendasi titik akhir alkalinitas-pH sebagai
berikut: 30 mg/L, pH 4,9; 150 mg/L, pH 4,6; 500 mg/L, pH 4,3. Pada pH 4,5 dapat digunakan
sebagai titik akhr pH untuk analisis alkalinitas semua sampel.
Tabel 3. Pengaruh titik akhir dua pH (4,5 dan 5,0) pada pengukuran konsentrasi alkalinitas.

II.1.10. Bentuk Alkalinitas


Sampel air dengan pH di atas 8,3 mengandung: HCO3- dan CO32−, dan beberapa pH
yang sangat tinggi mengandung OH-. Titrasi alkalinitas dapat dilakukan dalam dua langkah,
titrasi karbonat dan titrasi bikarbonat. Titrasi karbonat dilakukan dengan menurunkan pH
sampel dari pH sampel awal menjadi pH 8,3. Titik akhir tersebut biasanya ditunjukkan
dengan perubahan warna indikator fenolftalein dari merah muda pada nilai pH di atas 8,3 dan
tidak berwarna di bawahnya. Bagian titrasi ini disebut alkalinitas fenolftalein; reaksinya
adalah OH- + H+ = H2O jika pH sangat tinggi, dan CO32− + H+ = HCO3. Bikarbonat awalnya
dalam sampel tidak tertitrasi sampai pH turun di bawah 8,3.
Bagian kedua (titrasi bikarbonat) dilakukan dengan mengambil pH sampel dari pH 8,3
menjadi pH 4,5 (titik akhir lain yang dipilih) untuk menyelesaikan netralisasi HCO-3. Pada
langkah ini, baik HCO3- yang terbentuk dari titrasi karbonat dan HCO3- yang awalnya sudah
berada dalam sample akan dititrasi. Alkalinitas fenolftalein diperkirakan dari volume titrasi
pada langkah pertama, dan alkalinitas total diperkirakan dari seluruh volume titrasi seperti
biasa (titrasi 1 dan 2). Dua langkah titrasi memungkinkan estimasi alkalinitas yang dihasilkan
dari HCO3-, CO2− dan OH- (Eaton et al., 2005). Dalam akuakultur, jarang diperlukan untuk
menentukan alkalinitas fenolftalein karena bentuk alkalinitas berubah sepanjang hari sebagai
respons terhadap perubahan diurnal dalam laju penghilangan CO2 terlarut selama fotosintesis

9
dan respirasi. Interpretasi dari perubahan dalam bentuk alkalinitas ini biasanya tidak berarti
untuk tujuan budidaya.
Rumus Alkalinitas Total (mg/CaCO3) : N titran x V titran x 50 x 1000
(Utami, 2021), V sampel

2.1.11.Analisis Kesadahan
Secara sederhana kesadahan air dapat diketahui dengan penambahan sabun dalam
sampel, dari sabun tersebut akan menghasilkan busa yang banyak, namun pada air sadah
kation divalent dalam air akan membentuk garam yang tidak larut dalam sabun sebingga
menghasilkan busa yang sedikit. Mulai tahun 1950, dikembangkan metode pengukuran
kesadahan air dengan menggunakan larutan standar asam etilen diamin tetra asetat (EDTA)
sebagai zat titrasi.
Kation divalen penyusun kesadahan ditentukan dengan mentitrasi sampel air dengan
0,01 M EDTA untuk membentuk kompleks dengan kation divalen (Eaton et al. 2005). Titik
akhir titrasi biasanya ditandai dengan perubahan warna indikator eriochrome black-T.
Eriochrome black-T adalah indikator yang berwarna merah ketika dikomplekskan dengan
kation divalen. Selama titrasi, EDTA ditambahkan untuk mengkhelat ion logam, dan
menghilangkannya dari kompleks kation pewarna. Setelah sampel menjadi tidak kompleks,
indikator akan berubah warna menjadi biru yang menandakan sebagai titik akhir titrasi.

Rumus Kesadahan (mg/CaCO3) : 1000 x V EDTA x M EDTA x 100


(Utami, 2021), V sampel

Kesadahan Ca sampel dapat ditentukan secara terpisah jika pH sampel dinaikkan


menjadi 12 atau 13 untuk mengendapkan Mg2+ sebagai magnesium hidroksida. Sampel
dititrasi dengan EDTA standar ke kompleks Ca2+, tetapi indikator yang berbeda, murexide,
diperlukan karena eriochrome black-T tidak stabil pada pH setinggi itu. Kesadahan kalsium
dihitung dari volume titrasi persis seperti yang dilakukan untuk perhitungan kesadahan.
Sebagian besar air juga memiliki kesadahan Mg:
Kesadahan Mg = kesadahan total – kesadahan Ca.

2.1.12.Kit Alkalinitas dan Kesadahan


Alkalinitas dan kesadahan juga dapat diukur dengan beberapa merek kit analisis air.
Salah satu kit sebelumnya yang memiliki metode untuk melakukan titrasi dengan buret kecil

10
cukup akurat (Boyd 1977). Beberapa kit modern memiliki titrator digital yang meningkatkan
akurasi pengukuran volume titran.

Gambar 3. Macam-macam kit alkalinitas dan kesadahan serta pengukur alkalinitas dan
kesadahan digital
2.1.13. Konsentrasi Alkalinitas dan Kesadahan

Alkalinitas dan kesadahan air permukaan tergantung pada geologi DAS, iklim, dan
cuaca. Konsentrasi berkisar dari kurang dari 5 hingga lebih dari 500 mg/L CaCO3 dan sering
kali berbeda karena berasal dari basa karbonat dan logam alkali tanah dalam batu kapur yang
berbeda. Air dari berbagai ekosistem memiliki perbedaan yang besar dalam kandungan
konsentrasi alkalinitas dan kesadahan. Air tanah sering kali memiliki alkalinitas dan
kesadahan yang lebih tinggi karena diperkaya dengan CO2 yang meningkatkan daya larut air
dan mendukung konsentrasi alkalinitas dan kesadahan yang lebih tinggi. Namun, ada banyak
pengecualian untuk generalisasi perairan ini apakah akuifer yang tersusun dari pasir atau
batuan silikat sehingga akan memiliki alkalinitas rendah dan bahkan nilai kesadahan yang
lebih rendah. Alkalinitas perairan muara dipengaruhi oleh pencampuran aliran sungai dan air
laut. Air laut memiliki alkalinitas sekitar 120 mg/L CaCO3 dan kesadahan sekitar 6300 mg/L
CaCO3. Konsentrasi alkalinitas dan kesadahan bervariasi menurut wilayah dan kedalaman di
dalam lautan.
Kolam air tawar yang diisi oleh air permukaan cenderung memiliki alkalinitas dan
kesadahan rendah di daerah lembab di mana curah hujan melebihi penguapan, tanah leaching

11
dan asam. Di daerah lembab dengan tanah yang lebih subur terutama di mana tanah
mengandung karbonat, air kolamnya memiliki alkalinitas dan kesadahan yang lebih besar.
Tanah di daerah Piedmont Plateau di Alabama sangat leaching dan asam, rata-rata
konsentrasi alkalinitas dan kesadahan air kolamnya masing-masing adalah 11,6 dan 12,9
mg/L. Namun, di wilayah Blackland Prairie di Alabama di mana tanahnya mengandung batu
kapur, memiliki rata-rata konsentrasi alkalinitas 51,1 mg/L dan kesadahan 55,5 mg/L (Arce
dan Boyd 1980).
Kolam produksi ikan lele di Blackland Prairie of Alabama memiliki rata-rata
alkalinitas dan kesadahan masing-masing 107 mg/L dan 103 mg/L (Silapajarn et al. 2004).
Alkalinitas dan kesadahan yang lebih tinggi di kolam produksi ikan lele daripada di kolam
yang sudah disebutkan sebelumnya, kemungkinan disebabkan oleh kolam produksi ikan lele
yang menerima masukan bahan organik yang besar dalam pakan yang menyebabkan
ketersediaan CO2 dan meningkatkan pelarutan batu kapur (gamping) di tanah dasar.
Air sungai sering kali memiliki alkalinitas dan kesadahan yang lebih besar daripada
air kolam (Boyd dan Walley 1975). Aliran dari empat provinsi (Dataran Tinggi Piedmont,
Punggungan, Dataran Tinggi Appalachian, dan Dataran Rendah Interior) di Alabama
memiliki rata-rata konsentrasi alkalinitas 70,5 mg/L dan kesadahan 70,6 mg/L; dan rata-rata
pada air kolamnya masing-masing adalah 25,4 dan 24,0 mg/L. Hal ini dikarenakan hasil dari
sebagian besar aliran sungai, terutama saat cuaca kering aliran air yang masuk tanah
seringkali menjadi lebih termineralisasi daripada air limpasan permukaan. Kolam yang airnya
diisi dari air sungai mungkin setidaknya pada awalnya memiliki alkalinitas dan kesadahan
yang lebih tinggi daripada kolam yang diisi dari air limpasan permukaan.
Alkalinitas dan kesadahan pada air tanah lebih bervariasi daripada air permukaan.
Sebagai contoh, empat sumur yang terletak di Blackland Prairie of Alabama dalam radius 50
km memiliki rentang alkalinitas dan kesadahan yang luas serta perbedaan yang besar antara
konsentrasi dua variabel dalam sampel yang sama dalam tabel 4. Sementara di air kolam,
kation air dapat bertukar dengan kation di tanah dasar, keasaman di tanah dasar dapat
menetralkan alkalinitas, batu kapur di tanah dasar dapat larut, atau CaCO 3 dapat mengendap
dari air. Konsentrasi alkalinitas dan kesadahan di kolam mungkin sangat berbeda dari sumber
air (Li et al. 2013).
Tabel 4. Total alkalinitas dan total kesadahan air dari 4 sumur yang berasal dari empat sumur
dalam radius 50 m di Alabama

12
Berdasarkan hasil Tabel 4, jenis air yang ditemukan di beberapa akuifer di daerah
pantai yang telah mengalami pelunakan alami (Renick 1925; Hem 1985). Di daerah ini pada
periode geologi sebelumnya, akuifer (lapisan air) mengandung air laut, tetapi karena adanya
pengangkatan tanah secara bertahap, air laut di akuifer digantikan oleh air tawar. Namun,
padatan akuifer masih banyak mengandung Na+. Jika tanah di atas akuifer tersebut
mengandung batu gamping, air yang meresap ke dalam akuifer akan mengandung HCO 3- dan
Ca2+ yang cukup besar. Kalsium dalam air infiltrasi tersebut akan ditukar dengan Na+ pada
padatan akuifer, dan air tanah akan memiliki alkalinitas tinggi tetapi kesadahan rendah.
Misalnya, pasokan air untuk pembenihan ikan di Meridian, Mississippi mengandung
alkalinitas 136 mg/L dan kesadahan 22 mg/L, sementara sumur yang memasok kolam di
Wiggins, Carolina Selatan memiliki alkalinitas 313 mg/ L dan kesadahan 37 mg/L. (Boyd et
al. 1978).
Air sumur di salah satu tambak udang Alabama memiliki alkalinitas sekitar 275 mg/L
dan kesadahan sekitar 325 mg/L, tetapi rata-rata alkalinitas dan kesadahan lima kolam sekitar
1 bulan setelah pengisian dari sumur masing-masing adalah 120 mg/L dan 168 mg/L
(McNevin et al. 2004). Air sumur yang diisikan ke kolam memiliki pH 7,9 dan jenuh dengan
CO2. Pada titik kesetimbangan dengan CO2 atmosfer, CaCO3 akan diendapkan sehingga
mengurangi konsentrasi kesadahan dan alkalinitasnya.
Di daerah kering, alkalinitas dan kesadahan biasanya melebihi 100 mg/L. Sebagai
ilustrasi, kolam budidaya yang diisi oleh air permukaan di Faisalabad, Pakistan yang gersang
memiliki rata-rata alkalinitas 355 mg/L dan kesadahan 236 mg/L (Ahmed et al. 2013).
Kejenuhan kalsium karbonat dapat terjadi karena penguapan atau peningkatan pH sebagai
hasil fotosintesis di kolam daerah kering, dan adanya presipitasi dapat mengurangi
alkalinitas. Kesadahan biasanya akan terus meningkat karena sumber kation divalen
nonkarbonat melimpah di daerah kering. Kesadahan dapat melebihi alkalinitas di daerah
kering, kation kesadahan ini dapat diseimbangkan oleh klorida dan sulfat.
Air laut memiliki komposisi ion utama alkalinitas dan kesadahan yang relatif konstan,
konsentrasi rata-ratanya adalah 142 mg/L HCO3-, 412 mg/L Ca2+ dan 1290 mg/L Mg2+
(Brown et al. 1989). Konsentrasi ini setara dengan alkalinitas 116 mg/L dan kesadahan 6345

13
mg/L. Konsentrasi alkalinitas dan kesadahan bervariasi menurut wilayah dan kedalaman
lautan, tetapi lautan memiliki konsentrasi alkalinitas yang sedang, lebih rendah dari
alkalinitas di beberapa konsentrasi air tawar sementara kesadahannya sangat tinggi.
Di muara, konsentrasi kesadahan cenderung menurun sebanding dengan salinitas,
karena lautan mengandung lebih banyak kesadahan daripada sungai yang mengalir. Tentu
saja, alkalinitas di muara dipengaruhi terutama oleh alkalinitas sungai yang mengalir yang
mungkin memiliki alkalinitas lebih atau kurang daripada yang ditemukan di air laut.

II.2. Peran Alkalinitas dan Kesadahan di Akuakultur


II.2.1. Alkalinitas, CO2, dan pH
pH air akan meningkat dengan bertambahnya basa (alkalinitas meningkat). Perubahan
harian dan musiman dalam aktivitas biologis menyebabkan konsentrasi CO2 berubah dan
melalui hubungannya pada sistem alkalinitas bikarbonat, perubahan tersebut menyebabkan
pH berubah. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, CO2 bereaksi dengan air
menghasilkan H2CO3 sehingga menurunkan pH air. Jadi, selama periode ketika respirasi
melebihi fotosintesis (pada malam hari, misalnya), CO2 menumpuk dan pH akan menurun.
Menghilangkan CO2 dari air akan meningkatkan pH. Air pada pH 7, 25 ˚C, dengan 61
mg/L HCO- (alkalinitas 50 mg/L) mengandung 9,85 mg/L CO 2, tetapi jika fitoplankton
menghilangkan setengah dari CO2, pH akan naik menjadi 7,3. Kemudian menghapus
setengahnya lagi dari sisa CO2 akan menyebabkan pH menjadi 7,6.
Banyak tanaman air (Spence dan Maberly 1985) dan sebagian besar fitoplankton air
tawar (Raven et al. 2012) dapat menggunakan CO2 atau HCO3- sebagai sumber karbon untuk
fotosintesis. Spesies yang hanya dapat menggunakan CO2 umumnya terbatas pada perairan
dengan alkalinitas rendah, karena spesies yang dapat menggunakan CO 2 atau HCO3- memiliki
keunggulan pertumbuhan di perairan dengan HCO3- yang melimpah. Efek kualitas air dari
HCO3- digunakan oleh tumbuhan air dapat dijelaskan dengan menambahkan reaksi kebalikan
dari Persamaan 5 dimana HCO3- bereaksi dengan H+ melepaskan CO2 dan disosiasi HCO3-
memberikan CO2− dan H+ (Eq 5).
HCO3− + H+ = CO2 + H2O
HCO3−= H+ + CO32−
Untuk memperoleh :
2HCO3− = CO2 + CO32− + H2O (11)
Karbonat dilepaskan ketika tanaman air menyerap HCO3- menghidrolisis (Eq. 5)
menyebabkan pH naik. Dua HCO3- dihapus untuk masing-masing membentuk CO32−

14
(Persamaan 11), dan hanya sebagian kecil menghidrolisis CO32−. Jadi, HCO3- berkurang
sedangkan CO32− dan OH- meningkat menyebabkan pH naik saat fotosintesis berlangsung.
Adanya Ca2+ membatasi kenaikan pH dengan mengendapkan CO32− sebagai CaCO3. Tanaman
yang mentolerir pH sangat tinggi dapat mendorong pH ke 12 atau lebih dengan menyerap
HCO3- untuk fotosintesis (Ruttner 1963). Nilai pH terbesar dihasilkan di perairan di mana
anion alkalinitas diseimbangkan sebagian besar oleh Na+ dan K+ daripada Ca2+ dan Mg2+
(Mandal dan Boyd 1980).

Gambar 4. Hubungan antara pH dan fraksi mol sumber inorganic karbon di air

Hubungan ketersediaan asam karbonat, karbon dioksida, karbonat dan


bikarbonat pada suatu perairan tambak tergantung pada pH. Dalam perairan yang pH-nya
lebih rendah dari 7, reaksi keseimbangan akan bergeser ke arah kiri. Ini berarti bahwa
senyawa CO2 bebas lebih banyak terdapat dalam air dibandingkan dengan senyawa HCO 3
atau CO3. Sedangkan dalam perairan yang pH-nya lebih tinggi dari 7, senyawa karbon
dioksida umumnya tidak terdapat dalam bentuk bebas, tetapi terikat dalam bentuk bikarbonat
(HCO3). Oleh karena air laut mempunyai pH lebih besar dari 7, maka senyawa karbon
dioksida yang terdapat dalam air laut sebagian besar berada dalam bentuk bikarbonat dan
karbonat, namun jika pH di atas 10 maka hanya karbonat saja yang tersedia pada perairan
tersebut. (Supriatna, 2020).
Selain menjelaskan dan mengukur efek CO2 pada penambahan dan penguragan pada
pH, hubungan antara CO2, alkalinitas, dan pH juga biasa digunakan untuk mengukur
konsentrasi CO2 dalam air (Eaton et al. 2005). Pengukuran pH air, konsentrasi bikarbonat
(diperkirakan sebagai alkalinitas total untuk sebagian besar air), suhu, dan konsentrasi total
padatan terlarut dapat digunakan dalam nomograph untuk menghitung CO2.
Tabel 5. Estimasi kadar CO2 dengan menggunakan pH dan temperature
15
II.2.2. Sistem penyangga (buffer)
Amplitudo perubahan harian pH di kolam akuakultur yang menghasilkan penambahan
dan penghilangan CO2 oleh proses biologis dan pengaruhnya terhadap pH, sumber keasaman
alami bergantung pada konsentrasi alkalinitas (Gbr. 4). Air dengan alkalinitas yang lebih
tinggi memiliki amplitudo pH yang lebih rendah karena memiliki kapasitas buffer yang lebih
besar. Buffer terdiri dari campuran asam lemah dan basa konjugasinya (garam) atau basa
lemah dan asam konjugasinya. Misalnya, penyangga asam dapat dibuat dari asam asetat dan
basa konjugasinya natrium asetat, sedangkan penyangga basa dapat dibuat dari amonium
hidroksida dan asam konjugasinya amonium klorida.

Gambar 5. Effect waktu pada pH di air dengan alkalinitas rendah dan sedang

HCO3-, dan CO32−, merupakan buffer air terhadap perubahan pH mendadak. Air
dengan alkalinitas rendah akan menunjukkan fluktuasi pH yang lebih besar, selama periode
24 jam sebagai akibat dari fluktuasi konsentrasi CO 2− yang disebabkan oleh fotosintesis dan
respirasi daripada air yang mengandung alkalinitas sedang (lebih tinggi). Jika ion H+

16
meningkat, maka ion ini bereaksi dengan HCO3- membentuk CO2− dan H2O sehingga
perubahan pH hanya sedikit. Jika ion OH- meningkat akan mengurangi konsentrasi H+, tetapi
CO2 terlarut dan air bereaksi untuk membentuk lebih banyak ion H+, sehingga
meminimalkan perubahan pH.
Sistem penyangga bikarbonat:
pH = pK1 + log (HCO3-)
(Total CO2)
Alkalinitas merupakan indikator kapasitas penyangga, dan air tambak budidaya
dengan alkalinitas rendah menunjukkan fluktuasi harian yang besar dalam pH sebagai akibat
dari fotosintesis dan respirasi, sedangkan fluktuasi harian yang rendah terjadi di perairan
dengan alkalinitas sedang hingga tinggi. Namun demikian, pH yang diukur di pagi hari ketika
laju fotosintesis rendah cenderung lebih besar pada alkalinitas yang lebih tinggi. Semakin
tinggi alkalinitas, maka semakin tinggi kemampuan air untuk menyangga sehingga fluktuasi
pH semakin rendah (Utami, 2021).

II.2.3. Alkalinitas, Kesadahan, dan Komunitas Fitoplankton


Fitoplankton adalah komunitas tumbuhan dominan yang ditemukan di sebagian besar
kolam budidaya. Fitoplankton merupakan dasar dari rantai makanan dalam budidaya yang
mengandalkan produksi makanan alami daripada pakan buatan. Dengan demikian, tingkat
pertumbuhan fitoplankton mengontrol produksi hewan. beberapa komunitas fitoplankton
tertentu juga lebih atau kurang diinginkan di kolam budidaya. Secara khusus, beberapa
spesies Blue-green algae (cyanobacteria) menyebabkan masalah yang berdampak pada
kesehatan hewan atau mengurangi keuntungan. Blue-green algae yang mengalami Kematian
dapat Berdampak negatif pada kualitas air, dalam Beberapa kondisi Spesies tertentu
menghasilkan racun dan beberapa Blue-green algae menghasilkan senyawa berbau yang
memberikan rasa tidak enak pada Hewan budidaya (Paerl dan Tucker 1995; Boyd dan Tucker
2014).

Produktivitas komunitas fitoplankton secara keseluruhan tergantung pada


ketersediaan cahaya, karbon, dan nutrisi lainnya. Keberhasilan spesies atau tergantung pada
kemampuan untuk mengumpulkan sumber daya tersebut lebih baik daripada spesies pesaing.
Ketersediaan karbon anorganik dapat menjadi pengatur penting produktivitas fitoplankton
dan susunan taksonomi komunitas fitoplankton. Kalsium dan magnesium sendiri merupakan

17
nutrisi tanaman yang penting, dan kalsium juga dapat mempengaruhi ketersediaan fosfor
yang merupakan nutrisi utama tanaman.

Sebagian besar kolam budidaya diperkaya dengan nutrisi tanaman utama, baik secara
sengaja dengan pemupukan atau sebagai produk sampingan yang tidak disengaja dari
pemberian pakan dan mengandung banyak fitoplankton yang membutuhkan karbon
anorganik dalam jumlah besar untuk pertumbuhannya. Penyerapan karbon oleh fitoplankton
di perairan yang sangat produktif dapat melebihi 10 g C/m2 per hari, yaitu 20 kali lebih
banyak dari jumlah CO2 dalam air sedalam 1 m pada kesetimbangan dengan atmosfer. Tentu
saja, CO2 diperoleh dari atmosfer saat dikeluarkan dari air, tetapi tingkat pengisiannya lambat.
CO2 atmosfer ke dalam air selama periode angin ringan hingga sedang kurang dari 0,3 g C/m 2
per hari, sumber karbon anorganik selain CO2 atmosfer harus tersedia untuk mendukung laju
fotosintesis yang cepat di kolam budidaya.

Sistem alkalinitas merupakan salah satu sumber potensial karbon anorganik untuk
melengkapi ketersediaannya dari atmosfer. Alkalinitas (khususnya HCO 3-) meningkatkan
Pasokan karbon anorganik dengan dua cara. Pertama, Sebagai CO 2 dihilangkan, HCO3-
dehidrasi menjadi membentuk lebih banyak CO2 dan menyebabkan pH meningkat. Kedua,
banyak fitoplankton dapat berasimilasi HCO3- langsung, secara katalitik mengeringkannya di
dalam sel melalui enzim karbonat anhidrase, dan mengkonsentrasikan CO2 yang dihasilkan
dekat aparatus fotosintesis sel (Raven et al. 2012).

Meskipun bikarbonat menawarkan cadangan karbon anorganik yang signifikan untuk


pertumbuhan tanaman di perairan dengan total alkalinitas tinggi, pasokan di sebagian besar
perairan tetap tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan plankton selama lebih dari
beberapa hari ketika tingkat produksi primer tinggi. Schroeder (1987) memperkirakan bahwa
karbon tersedia dari HCO3- di kolam ikan yang memiliki total alkalinitas sekitar 250 mg/L
(nilai yang cukup tinggi) cukup untuk memenuhi kebutuhan produksi primer fitoplankton
hanya selama 3 hari.

Seringkali, sumber karbon anorganik terpenting di badan air produktif adalah CO 2


dihasilkan ketika bahan organik terurai. Bahan organik dapat diproduksi di luar badan air dan
diangkut ke dalam contoh sederhana daun dari pepohonan di sekitar kolam, bahan organik
diproduksi oleh tanaman air, biasanya fitoplankton di badan air. Artinya, sebagian dari
karbon anorganik yang awalnya difiksasi menjadi bahan organik oleh tanaman didaur ulang
kembali ke air ketika CO2 diproduksi dalam respirasi sel atau selama dekomposisi ketika

18
tanaman mati. Spesies fitoplankton (dan bahkan strain dalam spesies) berbeda dalam
kemampuan relatif mereka untuk menggunakan substrat karbon anorganik, ini menyebabkan
spekulasi tentang peran pasokan karbon anorganik atau alkalinitas sebagai faktor yang
mungkin memberikan keuntungan pertumbuhan untuk satu spesies ( atau sekelompok
spesies) di lingkungan yang berbeda.

Fitoplankton air tawar di kelas Chrysophyceae dan Synurophyceae, dan beberapa


spesies di Chlorophyceae, mengandalkan masuknya CO2 secara difusi dan tidak dapat
langsung menggunakan HCO3 - (Raven et al. 2012). Alga ini sering ditemukan di perairan
dengan pH rendah dan alkalinitas rendah di mana CO 2 terlarut adalah satu-satunya sumber
karbon anorganik. Di sisi lain, kebanyakan fitoplankton lain dapat mengasimilasi CO 2 atau
HCO 3- untuk digunakan dalam fotosintesis. Blue-green algae diketahui memiliki mekanisme
pemekatan karbon yang sangat efektif untuk kedua CO 2 dan HCO3- (Raven et al. 2012) dan
karena itu sangat baik dalam memperoleh karbon anorganik ketika persediaan rendah
(Saphiro 1990). Seperti dijelaskan di atas, konsentrasi CO 2 terlarut bisa menjadi sangat
rendah ketikaterrjadinya fotosintesis fitoplankton dan mendorong pH naik dan HCO 3-
menjadi satu-satunya sumber karbon anorganik. King (1970), Talling (1976), menunjukkan
bahwa Blue-green algae lebih kompetitif daripada algae lain untuk karbon anorganik di mana
pH tinggi dan kontsentrasi CO2 terlarut rendah. Ketersediaan karbon anorganik total mungkin
terbatas di perairan beralkalinitas rendah dan pengamatan pada tambak lele dengan air
beralkalin rendah (10–15 mg/L) cenderung memiliki kelimpahan alga biru-hijau yang lebih
banyak daripada tambak lele dengan salinitas air 70 –150 mg/L alkalinitas (Boyd et al. 1983)
tampaknya setuju bahwa ketersediaan karbon rendah mendukung alga biruhijau dalam
beberapa kondisi.

Kemungkinan alkalinitas yang relatif kurang penting dalam membentuk komposisi


komunitas fitoplankton di kolam akuakultur dengan muatan nutrisi yang sangat tinggi karena
faktor pendorong ekologi lainnya ikut mempengaruhi (Paerl dan Tucker 1995). Misalnya,
ketika komunitas fitoplankton yang melimpah berkembang sebagai respons terhadap tingkat
pemuatan nutrisi yang tinggi, kekeruhan yang dihasilkan membatasi penetrasi cahaya ke
kedalaman yang dangkal. Beberapa Blue green algae memiliki sifat yang memberi mereka
keunggulan dibandingkan kelompok lain dalam kondisi cahaya rendah. Ciri-ciri ini termasuk
kepemilikan pigmen aksesori unik yang mengumpulkan energi cahaya dalam panjang
gelombang yang tidak digunakan oleh alga lain dan kemampuan untuk mengubah kepadatan
sel dan mengapung ke permukaan di mana cahaya lebih besar. Kemampuan Blue green algae

19
(terutama spesiesMikrosistis, Anabaena, danplanktotriks) untuk mengungguli kelompok alga
lain untuk cahaya terbatas mungkin lebih penting daripada sumber daya karbon dalam
menjelaskan kemunculan dan dominasi mereka di lingkungan yang kaya nutrisi (Scheffer et
al. 1997).

Ca2+ dan Mg2+ adalah nutrisi penting untuk semua organisme. Konsentrasi kedua ion
ini yang diperlukan untuk pertumbuhan optimal fitoplankton. Menurut Gerloff dan Fishbeck
(1969), konsentrasi optimum Ca2+ dan Mg2+ untuk enam spesies alga masing-masing berkisar
antara 0,01 hingga 0,95 mg/L dan 0,08 hingga 1,56 mg/L. Menariknya, konsentrasi Mg2+
yang optimal biasanya lebih besar dari Ca2+. Kalsium memiliki banyak fungsi pada tanaman,
tetapi sangat penting sebagai komponen dinding sel (White dan Broadley 2003). Magnesium
juga memiliki fungsi yang bervariasi, tetapi sangat penting karena merupakan bagian dari
molekul klorofil (Bose et al. 2011). Fitoplankton didukung oleh air dan tidak memerlukan
dinding sel yang kaku seperti tumbuhan tingkat tinggi, dan fitoplankton memiliki klorofil
dalam jumlah besar. Kemungkinan ini adalah alasan fitoplankton membutuhkan Mg 2+ yang
relatif lebih besar terhadap Ca2+ daripada tumbuhan tingkat tinggi. Sebagian besar perairan
mengandung Ca2+ yang cukup dan Mg2+ untuk memenuhi kebutuhan fitoplankton, dan
ketersediaannya jarang membatasi produktivitas primer di alam (Reynolds 1984).

II.2.4. Polusi Atmosfer, pH, dan Alkalinitas


Alkalinitas dan kesadahan tidak dapat dimanipulasi di sebagian besar jenis budidaya
seperti di kolam dan sistem rsirkulasi. Namun, faktor-faktor yang mempengaruhi alkalinitas
dan kesadahan sumber air yang digunakan dalam sistem budidaya menjadi perhatian, karena
mempengaruhi kualitas air dalam sistem budidaya. Curah hujan asam dapat mengurangi
alkalinitas badan air dari waktu ke waktu (Haines 1981). Ada beberapa contoh di Amerika
Serikat bagian timur di mana curah hujan dengan pH rendah telah mengakibatkan pH yang
terlalu rendah dalam air sungai yang digunakan di media pembenihan ikan trout (Boyd dan
Tucker 1998).

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa hujan asam telah mempercepat pada


pelapukan dan meningkatkan alkalinitas air sungai di banyak wilayah terutama di mana
terdapat batu kapur (Kaushal et al. 2013). Pengamatan ini pada awalnya tampaknya tidak
masuk akal, karena peningkatan keasaman akan diharapkan untuk menurunkan alkalinitas.
Namun, efek keasaman menyebabkan batugamping pecah menjadi potongan-potongan yang
lebih kecil untuk meningkatkan luas permukaan dan mempercepat pelapukan.

20
Meningkatnya konsentrasi CO2 di atmosfer meningkatkan kelarutan CaCO3. Pada
perkiraan, Konsentrasi CO2 pra revolusi industri atmosfer 280 ppm, dihitung kelarutan CO2
dalam air murni pada 25 C dan 760 mm Hg adalah 0,37 mg/L (10 -5.07 M). Konsentrasi CO2
padaatmosfer saat ini sekitar 400 ppm. Peningkatan CO2 di atmosfer yang berkelanjutan
diprediksi untuk masa depan dapat meningkatkan sedikit kelarutan batu kapur, tetapi
peningkatan alkalinitas dalam budidaya air tawar tidak signifikan terutama ketika dilakukakn
pengapuran.

Konsentrasi CO2 di laut meningkat karena CO2 atmosfer yang lebih besar, dan dan
terjadi penurunan pH laut. Menurut Caldeira dan Wickett (2003), pH rata-rata air permukaan
laut telah berkurang 0,1 unit pH sejak revolusi industri, dan telah diprediksi penurunan lain
sebesar 0,3-0,4 unit pada tahun 2100 (Feely et al. 2004). Penurunan pH laut menyebabkan
saturasi CaCO3 menurun, dan ini meningkatkan kelarutan aragonit dan kalsit yang terdiri
dari cangkang organisme laut. Cangkang yang lebih tipis akan mempengaruhi kelangsungan
hidup dan pertumbuhan organisme ini (Orr et al. 2005). sehingga, pengasaman laut
merupakan ancaman potensial bagi budidaya moluska.

II.2.5. Alkalinitas, kesadahan, dan Produksi Budidaya

Produktivitas fitoplankton dan produksi ikan di perairan alami cenderung meningkat


pada alkalinitas yang lebih besar (Moyle 1946; Ball 1948; Geagan dan Allen 1960; Turner
1960; Hayes dan Anthony 1964). Hubungan positif antara alkalinitas dan produksi ikan
diamati di perairan alami yang relatif tidak tercemar dan zat anorganik terlarut dan sebagian
besar nutrien berasal dari alam. Moyle (1946) menunjukkan bahwa air dengan alkalinitas
yang lebih tinggi memiliki konsentrasi ion (dan nutrisi tanaman) yang lebih besar daripada air
dengan alkalinitas yang lebih rendah. Dengan demikian, produktivitas yang lebih besar dari
perairan dengan alkalinitas yang lebih tinggi tidak sepenuhnya berpengaruh meningkatkan
ketersediaan karbon. Hipotesis ini didukung oleh fakta bahwa di kolam budidaya tanpa
masukan pakan, produksi primer dan produksi ikan meningkat sebagai respons terhadap
pemupukan di berbagai alkalinitas dan kesadahan, tetapi responsnya berbeda dengan tingkat
alkalinitas dan kesadahan (Boyd dan Tucker 1998). Fitoplankton di kolam yang dipupuk
dengan alkalinitas rendah dan tanah dasar yang asam dapat dibatasi oleh kekurangan C
anorganik (Boyd 1972), dan fluktuasi pH harian yang luas dapat terjadi karena kapasitas
buffer yang rendah. Selain itu, tanah dasar yang masam sangat menyerap fosfat (Boyd dan

21
Tucker 2014). Pengapuran dapat meningkatkan alkalinitas dan kesadahan dan meningkatkan
produksi ikan di kolam asam (Hickling 1962; Arce dan Boyd 1975).

Kolam ikan yang dipupuk memiliki biomassa ikan yang lebih besar daripada kolam
sportfish, serta alkalinitas dan kesadahan di atas 40 mg/L. Pendapat ini didukung oleh data
dari budidaya ikan nila di Bangladesh di mana rata-rata alkalinitas 34, 51, 65, dan 94 mg/L
diamati di kolam ulangan (n = 9), dan rata-rata produksi ikan mencapai 4199, 4643, 5339,
dan 5175 kg/ha (Boyd dan Tucker 1998). Data ini menunjukkan bahwa sekitar 60–70
mg/Lmerupakan alkalinitas yang optimal saat mengapur kolam ikan. Namun, seringkali
pembudiddaya melakukan pengapuran secara rutin tanpa memperhatikan alkalinitas. Di
kolam nila di Thailand tengah di mana tanah secara alami asam biasanya diberi kapur selama
setiap panen. Alkalinitas dan kesadahan di kolam ini biasanya di atas 100 mg/L dan beberapa
dasar kolam mengandung karbonat bebas dari CaCO3 yang tidak larut. (Thunjai et al., 2004;
Wudtisin dan Boyd 2006).

Kesadahan bisa berlebihan di kolam; kombinasi pH tinggi dan konsentrasiCa 2+ yang


tinggi menyebabkan pengendapan fosfor dari pupuk (Hepher 1958, 1966). Di Israel di mana
air kolam memiliki kesadahan tinggi (>300 mg/L), Hepher (1962) merasa perlu untuk
menerapkan pupuk fosfat pada 11 kg/ha P2O5 setiap 2 minggu untuk mempertahankan tingkat
produktivitas fitoplankton yang sama yang dicapai oleh Swingle dan Smith (1947)
menggunakan aplikasi bulanan 9 kg/ha P2O5 di kolam Alabama dengan pH lebih rendah dan
<10 mg/L Ca2+ lebih dari dua kali lipat pupuk fosfat dibutuhkan di Israel.

II.2.6. Alkalinitas, pH, dan Nitrogen Anorganik


Nitrogen merupakan nutrisi utama tanaman dan kolam sering dilakukan pemupukan
dengan bahan yang mengandung nitrogen untuk meningkatkan produksi primer. Dalam
budidaya yang dilengkapi dengan pakan buatan, nitrogen merupakan konstituen dari protein
pakan, dan sejumlah besar limbah nitrogen dihasilkan sebagai produk sampingan dari
pemberian pakan. Bentuk nitrogen anorganik yang ditemukan dalam sistem akuakultur
adalah gas nitrogen (N2), amonia (atau NH4+ atau NH3 tergantung pH dan suhu alami), nitrit
(NO2 ), dan nitrat (NO3-). Pasangan asam-basa amonium-amonia memiliki pKa 9,3 dan dapat
berkontribusi langsung terhadap alkalinitas jika pH air tinggi. Namun, konsentrasi total
amonia-nitrogen rendah dalam sistem akuakultur sehingga kontribusi amonia terhadap
alkalinitas adalah sepele. Bentuk lain dari nitrogen anorganik tidak berkontribusi langsung
terhadap alkalinitas; namun, proses biologis yang mengubah satu bentuk nitrogen ke bentuk

22
lain dapat menghasilkan atau mengkonsumsi proton (ion hidrogen), dan dengan demikian
mempengaruhi alkalinitas (Ebeling et al. 2006; Wolf-Gladow et al. 2007).

Sebagian besar amonia metabolik yang dihasilkan oleh hewan air diekskresikan
secara pasif sebagai NH3 mealui insang. Beberapa fraksi juga dapat diekskresikan sebagai
NH4 +, terutama oleh ikan laut (Ip dan Chew 2010). Amonia yang tidak terionisasi
dikeluarkan dari insang bereaksi dengan air menghasilkan NH4+ dan OH-, yang berkontribusi
terhadap alkalinitas:

NH3+ H2O = NH4+ + OH-

Jumlah maksimum alkalinitas yang dihasilkan oleh ekskresi amonia terjadi ketika
semua amonia diekskresikan sebagai NH3 dan pH air relatif rendah sehingga semua NH3
diekskresikan terionisasi setelah di eksresikan melalui insang. Dalam kondisi tersebut, setiap
ekuivalen amonia yang diekskresikan akan menghasilkan 1 ekuivalen alkalinitas.

Amonia yang diekskresikan oleh hewan dalam sistem akuakultur dapat segera
dikeluarkan dari unit budidaya, hilang ke atmosfer melalui difusi, teradsorpsi pada tempat
pertukaran kation dalam sedimen kolam dan danau untuk budidaya keramba, diasimilasi oleh
tanaman air dan alga, atau dioksidasi menjadi nitrat oleh bakteri dalam proses nitrifikasi).
Alga dan tanaman air lainnya mengasimilasi amonia sebagai NH 4+. Untuk menjaga
keseimbangan muatan, NH4+ dibuang dari air digantikan oleh H+, yang mempengaruhi
alkalinitas (Wolf-Gladow et al. 2007).

Satu ekuivalen alkalinitas hilang untuk setiap ekivalen NH4+ berasimilasi dengan
tanaman. Begitu juga ketika NO3 diasimilasi oleh tanaman, keseimbangan muatan
dipertahankan oleh pelepasan OH- ke dalam air (Uusitalo 1996). Setiap ekivalen nitrat yang
diasimilasi meningkatkan alkalinitas sekitar satu ekivalen.

23
Sejumlah besar detritus organik yang mengandung nitrogen diproduksi dalam
budidaya. Tergantung pada jenis sistem budidaya, detritus organik terdiri dari tanaman mati
dan ganggang, kotoran, pakan yang tidak dimakan, dan komunitas bakteri detrital terkait.
Penguraian bahan organik menghasilkan alkalinitas dengan cara yang sama seperti alkalinitas
yang dihasilkan ketika amonia dikeluarkan oleh ikan. Protein yang dibebaskan selama
dekomposisi dipecah menjadi asam amino. Oksidasi enzimatik asam amino membebaskan
amonia dalam proses yang disebut amonifikasi:

R-CH (NH2) -COOH + ½ O2 → R-CO-COOH + NH3

NH3 terhidrolisis menurut Persamaan. 14, berpotensi menghasilkan satu ekuivalen alkalinitas
untuk setiap ekuivalen NH3 diproduksi dalam amonifikasi (Conyers et al. 1995).

Nitrifikasi adalah proses yang dimediasi bakteri dimana NH 4+ teroksidasi menjadi


NO3- :

NH4+ + 2O2 → NO3 + 2H+ + H2O

Dalam nitrifikasi biologis dua ekuivalen H+ (100 mg CaCO3 setara) hasil dari oksIdasi
satu ekuivalen NH4+ menjadi NO3- . Ini merupakan rasio 100 mg CaCO3:14 mg N atau 7,14
mg/L. Setiap miligram NH4+ -N teroksidasi dapat menyebabkan netralisasi 7,14 mg/L
alkalinitas.

Kebanyakan pupuk yang mengandung nitrogen , termasuk pupuk kandang adalah


pembentuk asam karena nitrifikasi. Dalam penelitian laboratorium, penurunan alkalinitas
yang disebabkan pupuk kimia berkisar antara 0,87 mg/L untuk monoamonium fosfat hingga
1,67 mg/L untuk urea (Hunt and Boyd 1981).

Pengaruh pupuk pembentuk asam dapat menjadi signifikan di kolam dengan air
alkalinitas rendah. Air hujan yang dikumpulkan selama tahun 1984 di Auburn, Alabama
berkisar pada pH 3,52 hingga 5,61 dengan rata-rata 4,51, tetapi potensi keasaman pupuk
nitrogen yang diterapkan pada kolam sportfish setiap tahun adalah 15–30 kali lebih besar
daripada masukan keasaman dalam curah hujan (Boyd 1985).

Pakan juga bersifat asam, karena nitrogen amonia yang dihasilkan dari metabolisme
ikan dan dekomposisi feses dan pakan yang tidak dimakan. Potensi keasaman dari umpan
relatif besar berkisar antara sekitar 0,3 hingga 0,5 kg CaCO3/kg pakan (Boyd dan Tucker
2014) dan dapat diperkirakan dari persamaan

24
LRfeed = [ Nf – (FCE × Na)] × 7.14

dimana feed adalah kebutuhan kapur pakan (kg CaCO3/kg pakan); FCE adalah efisiensi
konversi pakan (kg pertumbuhan hewan÷ kg pakan); Nf dan Na masing-masing adalah fraksi
desimal nitrogen dalam spesies pakan dan budidaya; 7.14 adalah rasio CaCO 3: amonia
nitrogen teroksidasi dalam nitrifikasi.

Hubungan antara alkalinitas, CO2 terlarut dan asam yang dihasilkan oleh nitrifikasi
sangat penting dalam sistem resirkulasi akuakultur, karena volume air yang kecil ditambah
dengan penambahan pakan yang besar dan aktivitas biologis tingkat tinggi dapat
menyebabkan perubahan pH yang cepat dan berbahaya. Karbon dioksida yang dihasilkan
oleh ikan dan mikroorganisme dapat menekan pH ke tingkat yang berbahaya (< pH 6) di
perairan dengan alkalinitas rendah, tetapi hal ini dapat dihindari dengan mempertahankan
tingkat alkalinitas yang memadai (50-100 mg/L) dan dengan menghilangkan CO 2 terlarut dari
air daur ulang menggunakan aerasi yang kuat. Amonia yang dihasilkan oleh spesies budidaya
dikeluarkan dari air daur ulang menggunakan biofilter yang secara cepat mennitrifikasi
amonia menjadi nitrat tidak beracun. Alkalinitas terus-menerus dihancurkan oleh asam yang
dihasilkan dalam nitrifikasi, dan ketika kapasitas penyangga air habis, pH akan turun dengan
cepat ke tingkat yang akan membunuh ikan atau udang. Alkalinitas dalam sistem resirkulasi
harus terus dipulihkan dari sumber luar baik dari alkalinitas dalam air atau dengan seringnya
penambahan basa, seperti natrium bikarbonat (Loyless dan Malone 1997).

Asimilasi nitrat (NO3-) atau nitrit (NO2- ) oleh tanaman air dan denitrifikasi oleh
bakteri menyebabkan alkalinitas meningkat. Denitrifikasi adalah reduksi NO3- menjadi gas
dinitrogen (N2) atau gas nitrogen lainnya (Boyd dan Tucker 2014). Proses terjadi ketika
konsentrasi oksigen terlarut sangat rendah dan bakteri heterotrofik umum menggunakan NO 3-
bukannya oksigen sebagai akseptor elektron terminal dalam respirasi. Ketika nitrifikasi dan

25
denitrifikasi digabungkan, seperti yang sering terjadi dalam sistem akuatik dan akuakultur,
denitrifikasi berpotensi mengembalikan sekitar setengah alkalinitas yang dihancurkan oleh
asam yang dihasilkan dalam nitrifikasi.

Beberapa proses biologis lainnya mempengaruhi alkalinitas. Salah satu proses


oksidasi bakteri belerang di tanah asam-sulfat dibahas kemudian, di bagian pengapuran.
Oksidasi belerang dapat memiliki efek dramatis pada alkalinitas dan pH. Proses lain relatif
tidak penting dalam sistem akuakultur, meskipun mereka dapat memiliki efek besar pada
keseimbangan alkalinitas global jangka panjang (Wolf-Gladow et al. 2007). Contoh proses
lain yang dapat mempengaruhi alkalinitas termasuk asimilasi fosfat oleh tanaman dan alga
(meningkatkan alkalinitas sebesar 1 mol per mol P yang diasimilasi), pelepasan fosfat selama
dekomposisi dan mineralisasi bahan organik (menurunkan alkalinitas sebesar 1 mol per mol P
yang dilepaskan) , asimilasi sulfat oleh tanaman dan alga (meningkatkan alkalinitas sebesar 2
mol per mol S yang diasimilasi), dan pelepasan sulfat selama dekomposisi dan mineralisasi
bahan organik (menurunkan alkalinitas sebesar 2 mol per mol S yang dilepaskan).

II.2.7. Alkalinitas, pH, dan Toksisitas Amonia


Kolam yang diberi pakan biasanya dapat menyebabkan kepadatan fitoplankton, dan di
mana alkalinitas rendah, perubahan pH harian yang luas terjadi (Boyd dan Tucker 2014). Hal
ini tidak diinginkan karena pH tinggi menyebabkan stress pada ikan. Kolam yang diberi
pakan juga mungkin mengalami peningkatan konsentrasi total amonia nitrogen (TAN)
(Tucker et al. 1984; Zhou dan Boyd 2014). Pada pH tinggi, sebagian besar nitrogen amonia
bersifat racun, amonia (NH3) membentuk amonium yang tidak beracun (NH4+

NH3 + H+ = NH4+

Kolam dengan alkalinitas yang lebih tinggi memiliki penyangga yang lebih baik
terhadap perubahan pH yang ekstrim, tetapi kolam akuakultur seringkali memiliki tingkat
fotosintesis yang tinggi. Zhou dan Boyd (2014) melaporkan bahwa konsentrasi NH3 pada
sore hari di kolam lele ictalurid Alabama yang memiliki alkalinitas 100-150 mg/L sering
berada di atas tingkat yang telah dilaporkan mengurangi pertumbuhan ikan dalam penelitian
laboratorium. Namun demikian, situasinya akan lebih merugikan jika kolam memiliki
alkalinitas rendah.

26
Desain dan daya dukung melalui sistem kultur air mengalir (raceways) juga
dipengaruhi oleh interaksi antara alkalinitas dan amonia (Colt dan Orwicz 1991; Colt et al.
2009). Berapa kali air dapat digunakan kembali dalam serangkaian jalur dan daya dukung
akhir dari flow-through awalnya dibatasi oleh ketersediaan oksigen terlarut. Jika keterbatasan
tersebut diatasi dengan memberikan aerasi atau oksigenasi, produksi ikan pada akhirnya akan
dibatasi baik oleh akumulasi CO2 terlarut atau amonia. Jika sumber air memiliki alkalinitas
total rendah (<10 mg/L), CO2 yang dihasilkan oleh ikan dapat dengan cepat menurunkan pH
ke tingkat yang membatasi daya dukung kecuali jika gas dihilangkan secara efisien dalam
proses aerasi. Jika sumber air memiliki alkalinitas total yang tinggi (>100 mg/L), pH awal
akan berada di atas 8,3 dan air akan tersangga dengan baik terhadap penurunan pH seiring
meningkatnya CO2 terlarut. PH awal yang tinggi akan menyebabkan sebagian besar amonia
yang dihasilkan oleh ikan berada dalam bentuk tidak terionisasi yang lebih beracun, dan hasil
akhirnya adalah akumulasi amonia membatasi daya dukung.

II.2.8. Interaksi dengan Logam Terlarut


Alkalinitas mempengaruhi konsentrasi logam dalam air. Salah satu alasannya adalah
bahwa kelarutan ion logam meningkat seiring penurunan pH, dan air dengan alkalinitas
rendah sering kali memiliki pH yang lebih rendah. Alasan lain adalah bahwa ion logam
dalam larutan membentuk pasangan ion terlarut dengan HCO3-, CO32− dan OH- (Schindler
1967; Pintar dan Johnston 1980; Boyd 2015) seperti yang diilustrasikan untuk Cu2+ di bawah:
Cu2+ + HCO3- = CuHCO3+
Cu2+ + CO32- = CuCO30
Cu2+ + 2CO32- = Cu (CO3)22-
Cu 2+ + OH− = CuOH+
Cu2+ + 2OH = Cu (OH)20

Jumlah tembaga terlarut (atau logam lainnya) yang terikat dalam pasangan ion
biasanya melebihi konsentrasi ion logam bebas, misalnya, Cu 2+. Tentu saja, ion logam juga
membentuk kompleks dengan bahan organik terlarut, dan terlarut bahan organik sering kali
berada pada konsentrasi tinggi di perairan asam dibandingkan dengan air yang lebih basa.
Tumbuhan air dapat memperoleh tembaga dan logam hara lainnya dari pasangan ion dan
kompleks organik, karena ketika mereka mengeluarkan ion dari air, keseimbangan akan
terganggu dan pasangan ion akan terdisosiasi (Gbr. 1). Pasangan ion dan kompleks organik
juga melindungi organisme dari keracunan ion logam, karena ion logam biasanya lebih
beracun daripada bentuk logam terlarut lainnya (Davies et al. 1976). Selain itu, ion kalsium

27
juga melindungi terhadap toksisitas ion logam karena mengganggu penyerapan ion logam di
insang (Barron dan Albeke 2000). Toksisitas logam cenderung menurun seiring dengan
meningkatnya alkalinitas dan kesadahan . Tetapi, situasinya bahkan lebih kompleks karena
beberapa variabel kualitas air lainnya dapat mengubah toksisitas logam. Misalnya, kriteria
tembaga untuk kehidupan akuatik yang diterbitkan oleh EPA pada tahun 1984 (USEPA 1985)
hanya mempertimbangkan efek kesadahan pada toksisitas tembaga.

Gambar 1. Schematic showing the relationships among dissolved copper ion (Cu2+) and
other forms of copper in water and sediment.

Ada banyak data tentang LC50 logam 96-jam untuk ikan di perairan dengan
kesadahan dan alkalinitas yang berbeda, tetapi dua contoh sudah cukup. Inglis dan Davis
(1972) melaporkan LC50 tembaga ke bluegill 96 jam sebesar 0,25 mg/L pada kesadahan 52
mg/L, 0,44 mg/L pada kesadahan 280 mg/L, dan 0,64 mg/L pada kesadahan 365 mg/L .
Straus dan Tucker (1993) menemukan nilai LC50 96 jam tembaga untuk menyalurkan ikan
lele sebesar 0,051–0,065 mg/L pada kesadahan 16 mg/L dan 1,04–1,88 mg/L pada kesadahan
287 mg/L. Dalam kedua studi ini, alkalinitas dan kesadahan kira-kira sama dengan
kebanyakan studi lainnya. Tetapi Wurts dan Perschbacher (1994) melaporkan bahwa
toksisitas konsentrasi Cu total yang sama menurun dengan alkalinitas yang lebih besar, dan
kematian pada alkalinitas konstan cenderung menurun sebagai Ca2+ konsentrasi meningkat
temuan ini menunjukkan bahwa pengaruh kimia air dari alkalinitas pada toksisitas melebihi
pengaruh biologis Ca2+ pada toksisitas. Perschbacher dan Wurts (1999) juga melakukan studi
di mana Mg2+ menggantikan Ca2+ sebagai sumber kesadahan, dan kesadahan Mg tidak
mengurangi toksisitas pada konsentrasi Cu total yang sama. Laurén dan McDonald (1986),
bagaimanapun, melaporkan bahwa dalam rainbow trout, kehilangan natrium adalah penyebab
utama kematian pada ikan yang terpapar konsentrasi Cu yang tinggi, tetapi mereka
menemukan bahwa peningkatan alkalinitas mengurangi kehilangan natrium.

Dalam budidaya ikan lele di Amerika Serikat, tembaga sulfat biasanya digunakan
untuk mengendalikan Blue green algae yang menyebabkan rasa tidak enak, dan bahan kimia

28
ini juga digunakan sebagai pengobatan untuk beberapa parasit ikan (Tucker 1996; Boyd dan
McNevin 2015). Tingkat aplikasi tembaga sulfat harus disesuaikan dengan alkalinitas dan
kesadahan air, karena seperti dijelaskan di atas, tembaga lebih beracun bagi ikan di air yang
asam daripada di air yang lebih basa. Tingkat aplikasi biasa tembaga sulfat di kolam lele
adalah 0,01 kali konsentrasi alkalinitas (Boyd dan Tucker 1998).

II.2.9. Kesadahan dan Fisiologi Hewan Akuatik


Spesies akuakultur memiliki jumlah Ca yang cukup besar dalam tubuhnya khususnya
ikan, karena tulang sebagian besar terbuat dari kalsium fosfat. Jumlah Mg lebih sedikit
daripada Ca (Davis dan Boyd 1978; Boyd dan Teichert-Coddington 1995). Sulit untuk
menilai konsentrasi minimum Ca dan Mg yang dibutuhkan dalam air untuk spesies
akuakultur, karena mereka memperoleh dua nutrisi ini dari air dan makanan mereka (Wurts
dan Stickney 1989; Lovell 1998). Faktanya, Lovell (1998) berpendapat bahwa dalam sistem
akuakultur dengan makan, hewan bisa mendapatkan semua Ca (dan mungkin Mg) dari air.
Namun, Wurts dan Stickney (1989) menemukan bahwa red drum – spesies laut yang dapat
dibudidayakan di air tawar – membutuhkan setidaknya 9 mg/L Ca 2+ bila dibudidayakan di air
tawar. Selain itu, Howells et al. (1983) menyimpulkan bahwa populasi ikan alami
membutuhkan Ca2+ konsentrasi sekitar 1 mg/L untuk bertahan hidup.

Kalsium penting dalam perkembangan dan penetasan telur ikan. Telur ikan trout
coklat yang baru dibuahi membutuhkan minimal 10 mg/L Ca2+ untuk bertahan hidup dan
menetas (Brown dan Lynam 1981). Tucker dan Steeby (1993) menyarankan bahwa 4 mg/L
Ca2+ adalah konsentrasi minimum yang dapat diterima dalam air yang dipasok untuk
pembenihan ikan lele. Namun, Chatakondi dan Torrans (2012) menemukan bahwa
keberhasilan penetasan telur lele lebih besar pada Ca 2+ konsentrasi 30 mg/L dari pada 10 dan
20 mg/L. Magnesium juga penting pada semua tahap kehidupan hewan air.

Pasokan air pembenihan ikan dengan pH dan konsentrasi Ca2+ yang rendah diatasi
dengan berbagai tingkat keberhasilan dengan mengukur bahan pengapuran ke dalam aliran
masuk dengan berbagai perangkat (Boyd 1990). Di Universitas Auburn, pembenihan untuk
program pemuliaan ikan lele dipasok oleh aliran kecil yang awalnya memiliki alkalinitas dan
kesadahan rata-rata masing-masing sekitar 10 dan 12 mg/L. Satu truk (≅25 t) batu kapur
pertanian telah ditaburkan ke kolam kecil di hulu sungai setiap tahun selama lebih dari satu
dekade, dan air sungai sekarang rata-rata alkalinitas dan kesadahan sekitar 35 mg/L
(Soongsawang dan Boyd 2012), tetapi curah hujan yang tinggi mencairkan konsentrasi Ca 2+

29
dalam aliran. Kadang-kadang, perlu untuk mengolah air yang masuk ke tempat penetasan
dengan larutan kalsium klorida.

II.2.10.Kesadahan dan Flokulasi Partikel Tanah Liat Tersuspensi


Air di kolam budidaya sering menjadi keruh dengan partikel tanah tersuspensi
terutama partikel tanah liat koloid yang tetap tersuspensi karena muatan negatifnya menolak,
mencegah flokulasi, dan pengendapan. Ion divalen terlarut cenderung menetralkan muatan
pada partikel yang memungkinkan flokulasi dan pengendapan sehingga mengurangi
kekeruhan (Boyd dan Tucker 2014). Alkalinitas tidak memiliki efek langsung pada
pengendapan partikel, tetapi kesadahan berpengaruh dan air yang kesadahannya lebih
tinggicenderung lebih jernih. Untuk mengilustrasikan hal ini, sampel air dengan konsentrasi
dan rasio alkalinitas:kesadahan yang berbeda dicampur dengan sedimen kolam untuk
mencapai kekeruhan 85–90 NTU. Sampel dibiarkan berdiri di silinder sedimentasi selama 12
jam dan persentase kekeruhan awal yang tersisa setelah 12 jam diukur (Tabel 8). Pada
konsentrasi alkalinitas dan kesadahan yang kira-kira sama, sedimentasi meningkat dengan
jumlah yang lebih besar dari kedua variabel. Namun, peningkatan konsentrasi alkalinitas
tidak berpengaruh pada tingkat sedimentasi, tetapi kesadahan berpengaruh.

Pengapuran terkadang akan mengakibatkan pengendapan partikel lempung


tersuspensi dari air dengan meningkatkan konsentrasi ion divalen untuk mengkoagulasi
lempung koloid (Boyd dan Tucker 2014). Namun, cara yang lebih efektif untuk
menghilangkan kekeruhan adalah dengan menerapkan gipsum (kalsium sulfat). Tingkat
aplikasi gipsum yang diperlukan untuk membersihkan air dari kekeruhan biasanya adalah
500-1500 mg/L. Gypsum juga diterapkan pada perairan di mana Ca2+ konsentrasi dianggap
terlalu rendah untuk spesies budaya.

30
2.2.11.Kesadahan dan pH Tinggi di Kolam
Kolam dengan kesadahan rendah dan alkalinitas tinggi seringkali memiliki pH tinggi.
Seperti dijelaskan di atas, fenomena ini terkait dengan produksi CO32− ketika CO2 dihilangkan
dengan cepat dari air oleh tanaman selama fotosintesis ditambah dengan kelarutan yang
tinggi dari garam kation monovalen CO32- . Salah satu cara untuk memoderasi efek dari
fotosintesis pada pH adalah untuk meningkatkan konsentrasi kalsium dengan menerapkan
kalsium sulfat. Tingkat perawatan yang biasa adalah menerapkan kalsium sulfat yang cukup
untuk meningkatkan kesadahan ke konsentrasi yang sama dengan alkalinitas. Rasio gipsum
murni terhadap kesadahan adalah 1,72:1, tetapi gipsum pertanian tidak 100% CaSO 4⋅2H2O,
dan umumnya digunakan rasio 2:1.

2.2.12.Pelepasan CO2 dari sistem Budidaya


Akuakultur menyadari bahwa air tambak cenderung jenuh dengan oksigen terlarut
pada siang hari dan jenuh dengan gas ini pada malam. Namun, secara umum tidak disadari
bahwa air tambak dapat kehabisan CO2 di siang hari dan sangat jenuh dengan CO2 malam
hari. Misalnya, di kolam air tawar pada suhu 30 C, konsentrasi oksigen terlarut mungkin 18
mg/L (saturasi 239%) di sore hari tetapi hanya 3 mg/L (saturasi 38%) saat fajar. Di kolam
yang sama, konsentrasi CO2 mungkin habis (0% saturasi) di sore hari tetap pada pagi hari 12
mg/L (saturasi 2400%) . Karbon dioksida tidak berdifusi dengan cepat ke udara bahkan dari
air yang sangat jenuh dengan CO 2 (Moore dan Boyd 1984). Dengan demikian, konsentrasi
CO2 yang tinggi padapagi hari cenderung bertahan sampai fitoplankton menggunakan CO2
(dan lepaskan O2) melalui fotosintesis.

Tingginya kadar CO2 saat fajar mengganggu pengambilan oksigen oleh ikan dan
hewan air lainnya. Oleh karena itu, pada masa awal budidaya berbasis pakan, para
pembudidaya sering menerapkan kapur [Ca(OH)2 atau CaO)] ke kolam di pagi hari pada
harihari ketika konsentrasi oksigen terlarut sangat rendah untuk menghilangkan CO 2 dan
memungkinkan penggunaan oksigen terlarut yang lebih efisien.

Jika CaO diaplikasikan,CO2 diubah menjadi Ca(OH)2 segera [CaO+H2O = Ca(OH)2],


dan reaksi antara CO2 dan Ca(OH)2 terjadi dalam dua langkah.

CO2 + Ca (OH)2 = CaCO3 + H2O


CaCO3 + CO2 + H2O = Ca2+ + 2HCO3-

31
Langkah kedua dalam reaksi lambat, dan laju perlakuan didasarkan pada langkah
pertama 1,7 mg/L Ca(OH)2 untuk setiap miligram per liter CO2. Perlakuan ini jarang
digunakan saat ini, karena aerasi mekanis digunakan untuk mencegah konsentrasi oksigen
terlarut yang rendah pada kolam.

Karbon dioksida terlarut sulit dipisahkan dari air karena gasnya sangat larut dalam air
dan tekanan parsialnya di atmosfer rendah. Konsentrasi karbon dioksida terlarut mungkin
beberapa ribu persen dari konsentrasi air dalam kesetimbangan dengan atmosfer, sehingga
sejumlah besar gas dapat hilang dari air selama aerasi. Ketika air jenuh karbon dioksida
menguap melewati udara atau ketika gelembung melewati air, gas yang hilang dari air
terakumulasi dalam fase gas dan tekanan parsial karbon dioksida dapat dengan cepat naik
jauh di atas itu di udara normal, terutama jika volume fase gas rendah dibandingkan dengan
volume dari fase cair. Ketika ini terjadi, gradien tekanan parsial karbon dioksida antara air
dan udara menghilang dan tidak ada lagi gas yang dapat dikeluarkan dari air. Agar efektif
perombakan pada CO2 terlarut , aerator harus beroperasi sehingga volume udara besar
bersentuhan dengan volume air kecil. Sebagian besar aerator yang digunakan dalam budidaya
tambak beroperasi pada rasio gas-cair menengah. Mereka menyediakan oksigen terlarut yang
cukup untuk ikan dengan menambahkan sejumlah kecil oksigen ke volume air yang besar.
Karena rasio gas-cair tidak tinggi, aerator yang biasanya digunakan dalam budidaya tambak
tidak terlalu efektif untuk menghilangkan CO2 terlarut. (Eshchar et al., 2003). Akumulasi
karbon dioksida adalah masalah umum dalam sistem budidaya intensif flowthrough dan
resirkulasi karena tingkat respirasi yang tinggi dalam sistem tersebut. CO 2 yang paling umum
perangkat degassing yang digunakan dalam sistem akuakultur intensif adalah aerator kolom
yang dikemas di mana air dipecah menjadi film tipis yang menetes di atas media pengepakan
yang memiliki luas permukaan yang besar. Air mengalir melalui kolom dengan gravitasi dan
ventilasi udara arus balik yang dipaksakan digunakan untuk menghilangkan CO 2 dengan
cepat.

2.2.13. Pengapuran

Pentingnya alkalinitas dan kesadahan dalam budidaya jelas dari diskusi sebelumnya.
Faktanya, mengelola alkalinitas, kesadahan, atau keduanya adalah praktik manajemen yang
umum dalam akuakultur. Beberapa praktik ini dijelaskan di atas. Beberapa contoh adalah
menambahkan natrium bikarbonat ke sirkulasi air sistem akuakultur untuk mengimbangi
ketidakseimbangan alkalinitas pada nitrifikasi, menambahkan kalsium klorida ke air

32
penetasan untuk meningkatkan daya tetas telur ikan, dan menambahkan gipsum ke flokulasi
tanah liat atau mengurangi pH. Namun, kolam pengapuran adalah praktik manajemen
alkalinitas dan kesadahan yang paling umum di akuakultur. Bahkan, ini mungkin yang paling
umum dari semua praktik pengelolaan kualitas air.

Keasaman di kolam dinetralkan dan alkalinitas dan kesadahan meningkat dengan


pengapuran seperti yang dilakukan di pertanian untuk memulihkan tanah asam. Bahan
pengapuran yang paling umum adalah batu kapur pertanian (batu kapur yang dihancurkan
halus), tetapi kapur juga digunakan. Kapur dibuat dengan membakar batu kapur dalam
tungku untuk menghasilkan CaO yang biasa disebut kapur bakar

CaCO3 → Δ CaO + CO 2 ↑

Kapur yang terbakar dapat dihidrasi (diperas) menjadi memberikan kalsium


hidroksida [Ca(OH)2] dikenal sebagai kapur terhidrasi atau kapur mati. Kalsium silikat dan
NaHCO3 juga kadang-kadang digunakan untuk pengapuran. Kapasitas penetralan bahan
pengapuran didasarkan pada jumlah keasaman yang akan dinetralkan dibandingkan dengan
CaCO3 murni dimana nilai penetral ditetapkan 100%. Nilai penetral dari senyawa pengapuran
umum lainnya adalah: NaHCO3, 59%; CaSiO3, 86%; CaCO3⋅MgCO3, 109%; Ca(OH)2, 135%;
CaO, 179%. Karena CaCO3⋅MgCO3 memiliki nilai penetral 109%, hanya membutuhkan
100/109 dari 0,917 g CaCO3⋅MgCO3 untuk menetralkan keasaman sebanyak 1,0 g CaCO3,
dll. Bahan pengapuran komersial bukanlah senyawa murni, dan nilai penetralnya akan sedikit
lebih rendah daripada senyawa murni dan harus diukur dengan analisis kimia (Boyd dan
Tucker 1998).

Batu kapur pertanian dan bahan pengapuran lainnya kecuali NaHCO3 yang sangat
larut mengendap dengan cepat ke dasar tambak di mana mereka larut perlahan dan bereaksi
dengan keasaman tanah. Untuk mengilustrasikan fakta ini dengan jelas, kami mengukur laju
disolusi batu kapur pertanian dengan menempatkan 10 g dalam 4 L air suling, mencampur
perlahan dengan batu udara kecil yang dipasok oleh pompa udara akuarium, dan mengukur
alkalinitas total selama 15 minggu (Gbr. 2 ). Alkalinitas mencapai keseimbangan sekitar 60
mg/L setelah 11 minggu. Batu kapur pertanian berasal dari banyak sumber, dan kemungkinan
ada variabilitas dalam kelarutan bahan dari sumber yang berbeda.

33
Gambar 2. Dissolution rate of a calcium carbonate sample in fresh water at 25oC

Keasaman tanah biasanya dihasilkan dari pertukaran ion aluminium (Al 3+) dipegang
oleh muatan negatif (tempat pertukaran kation) di tanah koloi. Kesetimbangan terjadi antara
kation yang dapat dipertukarkan dalam tanah dan Al3+ di air sekitarnya, tetapi ion aluminium
terhidrolisis dan mengendap sebagai aluminium hidroksida [Al(OH3)] menghasilkan
keasaman. Bahan pengapuran menetralkan keasaman dalam fase air yang menyebabkan
pelepasan Al3+ yang lebih dapat ditukar. Ion kalsium dari reaksi bahan pengapuran dengan
keasaman menggantikan Al3+ pada tempat pertukaran kation untuk meningkatkan pH tanah.
Reaksi-reaksi ini diringkas sebagai berikut:

Bahan pengapuran lebih dari yang diperlukan untuk menetralkan keasaman tanah
harus diterapkan untuk memiliki residu yang dapat larut dan meningkatkan alkalinitas.
Dengan kata lain, mengurangi alkalinitas air dari alkalinitas target tidak akan memberikan
tingkat pengapuran yang andal. Misalnya, untuk meningkatkan alkalinitas dari 10 menjadi 40
mg/L di kolam seluas 1 ha dengan kedalaman rata-rata 1 m menunjukkan peningkatan
alkalinitas sebesar 30 mg/L atau 300 kg CaCO3. Di kolam di Alabama, peningkatan
alkalinitas seperti itu akan membutuhkan 1000 hingga 4000 kg/ha CaCO3. Tentu saja, ada
sumber keasaman di kolam, dan pengapuran biasanya harus diulang pada interval 1 hingga 3
tahun.

34
Tingkat pengapuran sering didasarkan pada pengalaman atau "trial and error", tetapi
metode berdasarkan analisis tanah dasar memungkinkan penentuan jumlah bahan pengapuran
yang diperlukan dalam suatu kolam tertentu (Pillai dan Boyd 1985; Han et al. 2014).
Kesulitan sering dijumpai dalam upaya meningkatkan alkalinitas dan kesadahan di atas 50-60
mg/L dengan pengapuran karena kelarutan batugamping yang rendah. Bahan terkadang
diterapkan ke kolam pada saat pengapuran untuk meningkatkan jumlah CO 2 terlarut dan
meningkatkan kelarutan batu kapur (Boyd dan Tucker 2014). Pada kolam dengan pemberian
makan, terdapat CO2 terlarut yang besar masukan dari respirasi ikan dan dekomposisi feses
dan pakan yang tidak dimakan; tampaknya logis bahwa ini juga akan mendukung kelarutan
bahan pengapuran.

Alkalinitas dan pH yang menurun sangat merepotkan dalam sistem sirkulasi air dalam
ruangan dengan biofilter nitrifikasi (Timmons dan Ebeling 2010) dan di kolam berlapis
plastik tanpa tanah yang sering digunakan dalam budidaya yang sangat intensif (Avnimelech
2012). Karena pelarutan yang lambat dari bahan pengapuran tradisional, natrium bikarbonat
sering ditambahkan untuk menetralkan keasaman.

Kolam udang diisi dengan air dari muara atau air laut. Air laut biasanya mendekati
saturasi dengan CaCO3; tetapi di daerah dengan pertumbuhan plankton, air mungkin jenuh
dengan CaCO3 dan area lain mungkin kurang jenuh (Chave dan Suess 1970; Chierici dan
Fransson 2009). Namun, begitu dimasukkan ke tambak udang, pH air sering meningkat
karena fotosintesis fitoplankton yang mengarah ke kejenuhan CaCO 3-. Tambak udang laut
biasanya dikapur secara rutin tanpa memperhatikan konsentrasi alkalinitas total, tetapi bahan
pengapuran yang ditambahkan ke tambak sering tidak larut, karena air sudah jenuh dengan
CaCO3.

Kalsium hidroksida dan oksida lebih mudah larut daripada batu kapur, tetapi
menyebabkan peningkatan pH yang nyata pada awalnya dan tidak dapat digunakan dalam
jumlah besar di mana ikan atau hewan budidaya lainnya ada. Juga, jika diterapkan pada tanah
dasar di antara tanaman, kedua senyawa tersebut bereaksi dengan CO 2terlarut membentuk
CaCO3.

2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alkalinitas dan Kesadahan

2.3.1.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alkalinitas

35
Alkalinitas sangat berhubungan erat dengan pH, karena pada saat pH air menurun maka
kapasitas buffer air akan menurun juga (Murphy (2007) dalam Muslim (2014). Alkalinitas air
juga memainkan peran penting dalam meningkatkan pH, proses fotosintesis oleh ganggang
dan tanaman menggunakan hydrogen dapat meningkatkan pH badan air. Nilai pH di bawah
7,4 merupakan zone korosi/acidosis yang dapat merugikan udang/ikan karena terjadi acidosis.
Nilai ph 7,4-7,7 merupakan pH ideal untuk alkalinitas 100 ppm sebagai CaCO 3. Nilai pH
diatas 7,7 merupakan zone karbonat/kalsifikasi dimana nilai alkalinitas akan jatuh dan
terbentuk presipitasi CaCO3. Perubahan pH dikendalikan oleh beberapa faktor:
a) Tanah yang bersifat asam
b) sumber air yang bersifat asam
c) Hujan dan air limpasan dari sisi kolam
d) air yang nilai buffer (kadar alkalinitas) rendah
e) kepadatan tebar
f) pakan dan laju pembentukan lumpur di dasar kolam
g) adanya aktivitas bakteri dan fitoplankton
h) kuantitas respirasi organisme akuatik

Derjata keaasaman (pH) tinggi biasanya terjadi saat input pakan tinggi dan kepadatan
fitoplankton tinggi. Selain itu, ph biasanya naik pada saat siang atau sore akibat dari aktivitas
fotosintesis fitoplankton yang mengambil CO2 dari air dan menghasilkan O2. Kapasitas
buffer, menunjukkan ketahanan terhadap perubahan pH melalui asam atau basa, tergantung
pada alkalinitas influen. Faktor pertama adalah tergantung pada kedua sifat influen dan
parameter proses seperti waktu penahanan, aerasi,beban lumpur, suhu. Di sisi lain, pH
mengontrol lagi jalannya proses menghasilkan asam atau basa; pH tinggi, misalnya, dapat
membatasi nitrifikasi atau pengurangan BOD. Pada umumnya, komponen utama yang
memegang peran dalam menentukan alkalinitas perairan adalah ion bikarbonat, ion karbonat
dan ion hidroksil (Agusnar,2007).
Fotosintesis mengambil CO2 dari badan air berupa gas CO2 terlarut dan mengubahnya
menjadi sel plankton dan cairan sel berupa karbohidrat, lemak dan protein beserta pelepasan
oksigen di siang hari saat terdapat cukup cahaya matahari. Aktifitas plankton yang
mempengaruhi alkalinitas adalah saat plankton mensintesis protein di dalam selnya. Ketika
memanfaatkan ion ammonium sebagai sumber nitrogen plankton akan mengkonsumsi
alkalinitas hingga alakalinitas turun. Jika menggunakan ion nitrat sebagai sumber
nitrogennya, plankton berkontribusi menaikkan alkalinitas.

36
Respirasi dan dekomposisi dapat juga menurunkan kadar pH, sebagian besar badan air
dapat menyangga perubahan ini karena alkalinitas badan air tersebut sehingga fluktuasi kecil
atau besar dapat diubah (Muslim, 2014). Jika kadar karbondioksida di perairan meningkat
maka akan menyebabkan nilai alkalinitas menurun, menurut Lukito dan Prayugo (2007) nilai
alkalinitas menurun jika terjadi pengendapan padatan suspense dari bahan organic sehingga
akan meningkatkan kandungan CO2 bebas. Karbondioksida (CO2) membentuk asam lemah
H2CO3 yang dapat terdisosiasi dengan melepaskan 1 H+ hingga 2H+ yang dapat
menurunkan ph dan membawa system ke zona korosi atau acidosis jika jumlah CO 2 terlarut
dalam air tinggi. Dalam jumlah yang cukup, CO2 dapat menurunkan ph sehingga berpengaruh
terhadap alkalinitas.
Menurut Effendi (2003), selain bergantung pada pH, alkalinitas juga dipengaruhi oleh
komposisi mineral, suhu, dan kekuatan ion. Kation utama yang mempengaruhi air tawar
adalah kalsium dan magnesium, sedangkan pada perairan laut adalah sodium dan magnesium.
Anion utama pada perairan tawar adalah bikarbonat dan karbonat, sedangkan pada perairan
laut adalah klorida (Barnes (1989) dalam Bintoro dan Abidin (2013).
Nilai alkalinitas juga dipengaruhi oleh kesadahan dan toksisitas logam berat pada
perairan. Air yang memiliki nilai alkalinitas rendah memiliki kadar kesadahan yang rendah
karena miskin akan unsur-unsur mineral didalamnya. Beberapa ion logam berat seperti
copper (Cu), zinc (Zn), cadmium (Cd), nikel (Ni) dan aluminium (Al) bersifat sangat toksik
pada kondisi perairan yang asam dan memiliki kadar alkalinitas rendah (Ariadi, 2021).
Kalsium (Ca2+) dalam konsentrasi tinggi akan menurunkan alkalinitas air laut/payau dengan
jalan melangsungkan proses :
OH- + HCO3-  CO32- + H2O
Ca2+ + CO32-  CaCO3 (solid)
Terlihat pada persamaan reaksi di atas, bahwa kalsifikasi akan mengakibatkan efek
ganda berupa turunnya alkalinitas (HCO3-) dan kesadahan (Ca2+). Magnesium menghambat
prose kalsifikasi yang dilangsungkan oleh kalsium dengan proses pengikatan OH- menjadi
Mg(OH)2 pada pH > 9.
Aktifitas bakteri kimia juga dapat mempengaruhi alkalinitas, bakteri yang paling kuat
dalam menurunkan alkalinitas adalah bakteri Nitrifikasi karena memproduksi asam kuat
berupa HNO2 dan HNO3 serta berperan dalam menurunkan pH. Pada pemupukan air kolam
dengan ammonium, terjadi triple impact penurunan alkalinitas dari air kolam dimana pupuk
tersebut menstimulasi pertumbuhan bakteri Nitosomonas dan Nitrobacter yang akan
menurunkan alkalinitas (Hidayat, 2018).

37
Penambahan aerasi pada sistem air laut/payau yang terdapat banyak CO 2 baik berasal
dari sedimen, aktifitas oksidasi bakteri organotroph, respirasi plankton dan biota budidaya
(ikan/udang) akan menyebabkan pH naik tanpa merubah nilai alkalinitas dengan mekanisme
pelapasan ekse CO2 ke atmosfir dan menggantikannya dengan lebih banyak gas nitrogen dan
oksigen terlarut dalam air. Alkalinitas dan kesadahan tidak terlalu dipengaruhi oleh aktivitas
biologis atau operasi akuakultur, dan konsentrasi awal di kolam ditentukan oleh tingkat
pasokan air; setiap perubahan sebagian besar merupakan hasil dari curah hujan dan
penguapan.

2.3.2.Faktor yang Mempengaruhi Kesadahan


Kesadahan dalam air disebabkan oleh adanya kandungan garam-garam kalsium dan
magnesium, kadang-kadang besi dan mangan. Di dalam analisa air, kandungan kesadahan
dinyatakan sebagai mg/l sebagai CaCO3. Dipilih kalsium karbonat sebagai basis analisa
karena senyawa ini mempunyai beratmolekul 100 dan berat ekuivalen 50 sehingga mudah
untuk dikonversi balik ke masing-masing ion yang ada di dalam air (Nugroho, 2006)
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi nilai kesadahan yaitu disebabkan oleh
adanya ion –ion (kation) logam valensi. Ion-ion semacam itu mampu bereaksi dengan sabun
membentuk kerak air. Kesadahan air disebabkan oleh banyaknya mineral dalam air yang
berasal dari batuan dalam bentuk tanah, baik dalam bentuk ion maupun ikatan molekul.
Element terbesar yang terkandung dalam air adalah kalsium, magnesium, natrium, kalium.
Kandungan mineral inilah yang menentukan parameter kesadahan air. Air laut, air hujan,
maupun air tanah/air tawar mengandung mineral. Macam-macam mineral yang terkandung
dalam air tawar bervariasi tergantung struktur tanah di mana air itu berasal. Sebagai contoh
yang terkandung dalam air itu bukan melalui suatu rekasi kimia melainkan terlarut dari suatu
substansi misalnya dari batu andesit (batu dari vulkanis) (Gabriel, 2011). Derajat kesadahan
menggunakan nilai standar yang dinyatakan oleh kadar Ca2+, Mg2+ dalam bentuk CaC03
atau CaO dan MgO dengan satuan mg/L air. Hanya saja yang umum digunakan adalah kadar
kalsium karena signifikan dan jumlahnya biasanya lebih banyak dibandingkan magnesium.
Menurut Zhou (2018), faktor-faktor yang mempengaruhi hardness adalah sebagai
berikut:
 Kandungan ion kalsium,
 Kandungan ion magnesium,
 Kandungan garam-garam bikarbonat,

38
 Kandungan garam-garam karbonat,
 Kandungan garam-garam klorida,
 Kandungan garam-garam sulfat,
 Dan ion logam lainnya.
Kesadahan air merupakan hal yang sangat penting bagi penyediaan air bersih. Air
dengan kesadahan tinggi memerlukan sabun lebih banyak sebelum terbentuk busa. Air sadah
mengandung Karbonat dan sulfat, atau klorida dan nitrat,dan kalsium atau
magnesium,disamping besi dan aluminium. Kesadahan air sementara disebabkan keberadaan
Kalsium dan Magnesium bikarbonat yang dapat dihilangkan dengan didihkan atau
menambahkan kapur dalam air. Kesadahan tetap akibat adanya Kalsium atau Magnesium
sulfat, clorida, dan nitrat. Dapat dilunakkan dengan perlakuan khusus. Kesadahan ini
dinyatakan dalam mg/liter berat kalsium karbonat. (Sutrisno.1997)

2.4. Studi Kasus Alkalinitas dan Kesadahan


Alkalinitas mempunyai arti penting terutama dalam masalah-masalah yang berkait
dengan proses pengolahan air ataupun masalah-masalah kimia dan biologi dari perairan
alami. Dengan mengetahui alkalinitas suatu badan air seringkali permasalahan jumlah zat-zat
kimia yang harus ditambahkan ke dalam badan air dapat diatasi serta memprediksi
kandungan padatan yang terlarut dalam badan air tersebut, sehingga hal ini membantu
penentuan kegunaannya. Sebagai contoh badan air yang alkalinitasnya tinggi pada umumnya
mengandung padatan yang cukup tinggi pula. Badan air seperti ini tidak baik digunakan
untuk pengisi ketel uap, pengolahan makanan ataupun sisten saluran air perkotaan.
Alkalinitas juga merupakan parameter dari kandungan karbon anorganik suatu badan air yang
memegang peranan penting dalam mendukung pertumbuhan ganggang dan biota akuatik
lainnya. Oleh karena itu alkalinitas sering digunakan oleh para ahli biologis sebagai ukuran
kesuburan air.
Adanya ion kalsium (Ca) dan Magnesium (Mg) di dalam air akan menyebabkan sifat
kesadahan terhadap air tersebut. Air akan mempunyai tingkat kesadahan terlalu tinggi sangat
merugikan karena beberapa hal diantaranya dapat menimbulkan karat/korosi pada alat-alat
yang terbuat dari besi, menyebabkan sabun kurang berbusa sehingga meningkatkan konsumsi
sabun, dan dapat menimbulkan endapan atau kerak-kerak di dalam wadah-wadah pengolahan
(Agusnar,2007).

39
Penelitian tentang alkalinitas dan kesadahan telah banyak dilakukan, salah satunya
adalah penelitian dari Liu (2021) yang berjudul Pengaruh kesadahan/alkalinitas air dan zat
humat terhadap toksisitas asam perasetat terhadap embrio ikan zebra dan isolat pathogen.
Penggunaan PAA (asam perasetat) memiliki masalah lingkungan yang minimal karena
konsentrasi efektif yang rendah, peluruhan spontan dan residu yang tidak berbahaya.
Profilaksis PAA yang berhasil adalah konsentrasi PAA yang tepat dan efektif untuk
menghambat pertumbuhan patogen sekaligus aman bagi hewan akuakultur. Banyak uji
toksisitas telah menunjukkan bahwa hewan budidaya, kebanyakan ikan, umumnya lebih
toleran terhadap PAA daripada pathogen. Berdasarkan data ini, umumnya direkomendasikan
untuk menerapkan 1-2 mg/L PAA untuk tujuan profilaksis bila ada ikan; namun, sebagian
besar uji toksisitas ini dilakukan dengan uji standar. Kenyataannya, fasilitas budidaya
menunjukkan kondisi air yang beragam dari kesadahan/alkalinitas, bahan organik, dan/atau
parameter lain yang relevan.
Uji toksisitas paparan tunggal dari produk berbasis PAA, dilakukan secara terpisah
pada Danio rerioembrio, Yersinia ruckeri dan Saprolegnia parasitica. Penambahan PAA ke
dalam air menyebabkan penurunan pH dan peningkatan ORP (Oksidasi Reduksi Potensi).
Derajat penurunan pH dan peningkatan ORP lebih rendah dan lebih linier terkait dengan
konsentrasi PAA pada tingkat kesadahan/alkalinitas yang lebih tinggi (Gambar 1). Pada
kondisi kesadahan/alkalinitas yang lebih rendah, penurunan pH yang lebih kuat mulai
mempengaruhi nilai ORP secara aditif (James et al.,, 2004; Syarif, 2017). Akibatnya,
penurunan pH dan peningkatan ORP secara logaritmik berhubungan dengan konsentrasi PAA
(Gambar 1). Efek antimikroba PAA pada Y. ruckeri dan S. parasitica, seperti yang diwakili
oleh nilai EC50, juga secara signifikan lebih rendah pada kesadahan/alkalinitas tinggi daripada
kesadahan/alkalinitas rendah. Nilai LC50 dan LC5 pada kesadahan/alkalinitas tinggi dan
sedang berhubungan dengan pH yang berbeda, tetapi nilai ORP serupa; sekitar 370 mV di
LC50 nilai dan sekitar 350 mV pada LC5 nilai (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa
kematian D. rerio embrio pada kesadahan/alkalinitas sedang dan tinggi kemungkinan
disebabkan oleh ORP daripada penurunan pH. Namun, pada kesadahan/alkalinitas rendah,
LC50 dan LC5 nilai sesuai dengan ORP yang berbeda, tetapi nilai pH yang sama. Hal ini
menunjukkan bahwa penurunan pH, daripada peningkatan ORP, memainkan peran yang
menentukan dalam toksisitas PAA terhadap D. Rerio embrio pada kesadahan/alkalinitas
rendah. Demikian pula Marchand et al., (2012) melaporkan bahwa produk PAA yang
menyebabkan penurunan pH yang lebih besar pada kondisi kesadahan rendah juga lebih
beracun bagi D. rerio embrio. Penambahan HS menetralkan penurunan pH yang diinduksi

40
PAA dan peningkatan ORP. Efek ini sangat kuat pada kesadahan/alkalinitas rendah (Gambar
1). Toksisitas PAA terhadap D. rerio embrio sebagian besar berkurang ketika HS
ditambahkan, seperti yang diwakili oleh LC50 yang lebih rendah secara signifikan setelah
menambahkan HS pada kesadahan/alkalinitas rendah dan sedang (95% CI dari RMP = 0,615-
0,948 dan 0,535-0,869, masing-masing; Tabel 1).Efek serupa dari pengurangan toksisitas
dengan penambahan HS diamati pada D.rerio embrio dalam penelitian sebelumnya dengan
racun lain. Efek serupa dari penambahan HS pada pengurangan efektivitas antimikroba PAA
diamati dalam penelitian ini, tetapi secara statistik tidak signifikan. Paparan Huminfeed saja
pada 25-500 mg / L DOC sebelumnya telah ditemukan untuk menghambat pertumbuhan
vegetative S. parasitica sebesar 10–50% (Meinelt et al., 2007). Dalam penelitian ini,
konsentrasi Huminfeed adalah 10 mg/L, sesuai dengan sekitar 4 mg/L DOC, yang mungkin
terlalu rendah untuk menginduksipengurangan pertumbuhan yang terlihat. Selain itu, H2S
dapat bertindak secaraberbeda dalam larutan.

41
Toksisitas PAA terhadap D. rerio embrio dan efek antimikrobanya terhadap patogen
dilemahkan oleh kesadahan/alkalinitas yang lebih tinggi dan penambahan HS. Oleh karena
itu, dosis PAA untuk desinfeksi profilaksis harus lebih tinggi pada air kesadahan/alkalinitas
yang lebih tinggi dan air HS (atau DOC) terlarut. Faktor penentu efek bakterisida dan
fungistatik PAA kemungkinan adalah ORP, yang pada gilirannya, dapat digunakan untuk
memprediksi efektivitas disinfeksi PAA. Demikian juga, faktor penentu toksisitas PAA pada
ikan kemungkinan besar adalah ORP pada pH netral (di air dengan kesadahan/alkalinitas
yang lebih tinggi), tetapi penurunan pH mengambil alih faktor ini dalam kondisi asam
kesadahan/ alkalinitas rendah (pH<5). H2S terlarut kemungkinan akan membentuk agregat
secara instan pada kondisi kesadahan air yang tinggi, dan perlekatan bakteri selanjutnya pada
agregasi ini dapat mengurangi efektivitas antimikroba PAA. Akhirnya, desinfeksi PAA
berulang direkomendasikan untuk mencapai efek profilaksis yang berkelanjutan.
Penelitian lainnya telah dilakukan oleh Summerfelt (2015) tentang Pengaruh
alkalinitas pada pengurangan amonia, pelepasan karbon dioksida, dan pH dalam sistem
akuakultur resirkulasi air skala semi-komersial yang dioperasikan dengan bioreactor.

Pengontrol pH mempertahankan alkalinitas yang relatif konstan untuk setiap ulangan


perlakuan (yaitu, untuk 10, 70, dan 200 mg/L) selama penelitian (table 2). Misalnya, untuk
mempertahankan perlakuan alkalinitas dosis rendah, pH dikontrol pada 6,66± 0,13 dan 6,43 ±
0,01 di bawah CO2 kolom pengupasan di RAS #1 dan RAS #2, sementara alkalinitas di
perlakuan yang sama rata-rata 11 ± 1 mg/L dan 9 ± 1 mg/L sebagai CaCO3 sedangkan pada
perlakuan alkalinitas dosis tinggi dipertahankan sama menggunakan kontrol pH.

Perbedaan yang signifikan ditemukan antara konsentrasi TAN keadaan quasi-steady


yang diukur antara konsentrasi alkalinitas pada saluran masuk MBBR, saluran keluar MBBR,
dan sump degasser (Tabel 3). Konsentrasi TAN rata-rata yang memasuki MBBR berkurang
dari 0,65± 0,08 mg/L pada perlakuan alkalinitas nominal 10 mg/L menjadi 0,39± 0,06 mg/L,

42
dibandingkan dengan 0,43 ± 0,04 mg/L dan 0,39 ± 0,05 mg/L TAN masing-masing pada
perlakuan alkalinitas nominal 70 mg/L dan 200 mg/L turun menjadi 0,22 ± 0,03 mg/L dan
0,23 ± 0,04 mg/L TANpada 70 mg/L dan 200 mg/L sebagai CaCO3 perawatan alkalinitas.
Hasil ini menunjukkan bahwa MBBR (moving bed biological reactor) mampu
mempertahankan konsentrasi TAN yang lebih rendah ketika konsentrasi alkalinitas yang
memasuki MBBR dipertahankan pada nominal 70 atau 200 mg/L sebagai CaCO3
dibandingkan dengan alkalinitas berkelanjutan hanya 10 mg/L sebagai CaCO3 alkalinitas.
Tidak ada perbedaan konsentrasi TAN antara perlakuan alkalinitas 70 mg/L dan 200 mg/L
sebagai CaCO3. Dalam RAS untuk salmon Atlantik, konsentrasi TAN yang relatif rendah
dipertahankan, bahkan serendah 0,2 mg/L (Dalsgaard et al.,, 2013). Oleh karena itu dalam
RAS seperti itu, konsentrasi substrat TAN tidak akan jenuh. Oleh karena itu harus dicatat
bahwa dalam RAS yang dioperasikan untuk spesies ikan lain, pada intensitas yang lebih
tinggi dan tingkat TAN yang jauh lebih tinggi.

Tingkat nitrifikasi areal rata-rata di seluruh MBBR berkisar antara 0,09 hingga 0,14
g/d/m2 (Tabel 4). Ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata tingkat nitrifikasi areal di
MBBR, yaitu 0,14± 0,02 g/d/m2 dan 0,09 ± 0,02 g/d/m2, dihitung pada perlakuan alkalinitas
10 mg/L dan 200 mg/L sebagai CaCO3. Tidak ada perbedaan dalam efisiensi pengurangan
TAN di seluruh MBBR dalam satu lintasan, dengan efisiensi pengurangan berkisar antara 41
hingga 50% penghilangan untuk setiap perlakuan (Tabel 4). Hasil ini menunjukkan bahwa
rata-rata tingkat nitrifikasi areal secara signifikan lebih tinggi pada alkalinitas nominal 10
mg/L sebagai CaCO3 dibandingkan dengan 200 mg/L sebagai CaCO3, yang merupakan
kebalikan dari hipotesis. Dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, tingkat nitrifikasi
areal dilaporkan serupa dengan laju areal yang diukur pada MBBR yang sama atau lebih
besar di fasilitas yang sama, kecuali dalam penelitian lain ini ketiga ruang MBBR digunakan

43
(Terjesen et al., 2013)., pada perlakuan alkalinitas terendah, 10 mg/L, konsentrasi outlet
MBBR lebih tinggi (Tabel 3), yaitu pada tingkat alkalinitas rendah ini konsentrasi TAN
keluaran rendah yang sama tidak dipertahankan. Hal ini ditunjukkan juga oleh efisiensi
penyisihan yang tidak berubah (Tabel 4), dan efeknya kemungkinan mengarah ke tingkat
TAN yang lebih tinggi pada 10 mg/L, seperti yang dibahas di atas. pada alkalinitas di atas 70
mg/L, laju penghilangan pada konsentrasi saluran masuk yang lebih rendah lebih tinggi,
daripada pada alkalinitas rendah. Tingkat nitrifikasi areal saat ini sebanding dengan tingkat
yang dilaporkan oleh Rusten et al., (2006). Namun, seperti yang ditunjukkan pada Gambar.
8B dari Terjesen et al., (2013), lajupenyisihan terukur dalam jenis RAS yang sama seperti
dalam penelitian ini, lebih tinggi pada konsentrasi TAN limbah terendah, daripada yang dapat
diprediksi dari Rusten et al., (2006). Sebagai kesimpulan, studi masa depan harus menyelidiki
hipotesis bahwa MBBR ini sangat efisien pada konsentrasi TAN masuk yang sangat
rendah, tetapi pada konsentrasi substrat yang rendah seperti alkalinitas harus
pada atau di atas 70 mg/L sebagai CaCO3.

44
Pada semua perlakuan, penghilangan TIC dari RAS rata-rata hanya 0,2-0,3 g/menit
karena nitrifikasi dan 1,1-1,9 g/menit (Tabel 5). Dengan demikian, hilangnya TIC
menjadi nitrifikasi dalam CO2 dalam praktiknya dapat diabaikan dibandingkan dengan
kerugian akibat CO2 pengupasan. Konsentrasi CO 2 terlarut yang masuk ke degasser tidak
berbeda nyata antara perlakuan alkalinitas, dan rata-rata 6,8 ± 0,7 mg/L (dihitung dari TIC),
dan 7 ± 0 mg/L (diukur dengan probe). Penghapusan mutlak TIC (Tabel 5) lebih besar pada
alkalinitas tertinggi (1,65 mg/L TIC dihilangkan) dibandingkan pada dua perlakuan
alkalinitas yang lebih rendah (0,97 dan 0,93 mg/L TIC dihilangkan). Moran (2010)
melaporkan bahwa CO2 efisiensi pengupasan rata-rata 75-77% pada kedalaman pengepakan
1,65 m (mirip dengan penelitian ini) pada konsentrasi inlet 10 mg/L (sedikit lebih tinggi dari
penelitian ini) di air tawar bila diukur dengan CO2 menguji. Hasil efisiensi penyisihan rata-
rata sebanding dengan penelitian sebelumnya dalam RAS ini yang dirancang untuk
menghindari kadar di atas 10 mg/L (Terjesen et al., 2013), konsentrasi yang mungkin
memiliki efek buruk pada kinerja salmon Atlantik, kesehatan dankesejahteraan (Fivelstad,
2013).

45
Ketika air RAS masuk ke CO2kolom stripping pada 10 mg/L alkalinitas, sebanyak
38% dari sistem karbontelah dihapus. Sebaliknya, pada dua alkalinitas yang lebih tinggi
hanya 4% dari TIC yang hilang saat melewati degasser (Gambar 3).

Saat mengganti perlakuan alkalinitas, laju penurunan pH dipercepat dari alkalinitas


200 mg/L, menjadi 70 mg/L, dan khususnya cepat turun ke pH tipikal dari perlakuan 10 mg/L
(Gambar 4). Tren ini analog dengan situasi yang akan terjadi selama malfungsi dosis
alkalinitas. Oleh karena itu, dalam RAS yang dioperasikan pada alkalinitas yang sangat
rendah, waktu yang tersedia untuk mengganti peralatan dosis, sebelum efek merugikan pada
ikan terjadi dari CO2 tinggi akan jauh lebih sedikit daripada saat beroperasi pada alkalinitas
70 atau 200 mg/L.
Saat mengoperasikan sistem resirkulasi air (RAS) dengan tingkat pembilasan air yang
tinggi di lokasi yang memiliki alkalinitas rendah dalam air baku, seperti Norwegia,
pengetahuan tentang konsentrasi alkalinitas RAS yang diperlukan sangat penting. Pembilasan
RAS dengan air make-up yang mengandung alkalinitas rendah menghilangkan basa berharga
yang ditambahkan ke RAS (seperti bikarbonat, hidroksida, atau karbonat), yang
meningkatkan biaya operasi pertanian ketika konsentrasi alkalinitas tinggi dipertahankan;
namun, alkalinitas tidak boleh terlalu rendah sehingga mengganggu nitrifikasi atau stabilitas
pH. Untuk alasan ini, sebuah penelitian dirancang untuk mengevaluasi efek alkalinitas pada
kinerja biofilter, dan CO2 pengupasan selama aerasi kaskade, dalam dua ulangan semi-
komersial salmon Atlantik smolt RAS dioperasikan dengan filter biologis. Perlakuan
alkalinitas adalah 10, 70, dan 200 mg/L sebagai CaCO3 dipertahankan menggunakan
pengontrol pH dan pompa dosis kimia yang memasok natrium bikarbonat (NaHCO)3).
Masing-masing dari ketiga perlakuan tersebut diulang tiga kali pada setiap RAS. Kedua RAS
dioperasikan pada setiap tingkat pengobatan selama 2 minggu; Pengambilan sampel kualitas

46
air dilakukan pada akhir minggu kedua. Pemberian pakan konstan 23 kg/hari/RAS diberikan
setiap 1-2 jam, dan pencahayaan terus menerus, yang meminimalkan fluktuasi diurnal dalam
kualitas air. Waktu retensi hidrolik RAS dan suhu air adalah 4,3 hari dan 12,5± 0,5 ◦C,
masing-masing, khas RAS produksi smolt di Norwegia. Ditemukan bahwa alkalinitas rendah
(10 mg/L sebagai CaCO3) menyebabkan kondisi konsentrasi TAN yang jauh lebih tinggi,
dibandingkan dengan saat alkalinitas 70 atau 200 mg/L digunakan. Tingkat nitrifikasi areal
rata-rata lebih tinggi pada alkalinitas terendah; namun, efisiensi penyisihan TAN rata-rata di
seluruh MBBR tidak dipengaruhi secara signifikan oleh perlakuan alkalinitas. CO2 efisiensi
pengupasan hanya menunjukkan kecenderungan efisiensi yang lebih tinggi
pada alkalinitas terendah. Sebaliknya, fraksi relatif dari total karbon anorganik yang
dihilangkan dari RAS selama CO2 stripping jauh lebih tinggi pada alkalinitas rendah (10
mg/L) dibandingkan dengan alkalinitas yang lebih tinggi (70 dan 200 mg/L sebagai CaCO3).
Meskipun demikian, ketika menghitung total kehilangan karbon anorganik dari RAS,
ditemukan bahwa kehilangan harian kira-kira sama pada 10, dan 70 mg/L, sedangkan yang
tertinggi pada alkalinitas 200 mg/L. hasil pH menunjukkan bahwa perlakuan alkalinitas 10
mg/L menghasilkan pH sistem terendah, peningkatan [H] terbesar+] di seluruh
tangki budidaya ikan, serta memberikan sedikit waktu respons jika terjadi malfungsi dosis
alkalinitas. Perubahan pH yang cepat di bawah kondisi yang relatif asam pada alkalinitas 10
mg/L pada akhirnya dapat menimbulkan masalah kesehatan ikan karena misalnya CO2 atau
jika ada aluminium atau logam lain. Kesimpulannya, produsen smolt salmon Atlantik yang
menggunakan sumber air lunak harus menargetkan alkalinitas 70 mg/L mengingat hilangnya
karbon anorganik yang relatif rendah dibandingkan dengan alkalinitas 200 mg/L, dan
peningkatan stabilitas pH serta pengurangan konsentrasi TAN, dibandingkan dengan
konsentrasi alkalinitas yang lebih rendah.

III. KESIMPULAN

Alkalinitas dan kesadahan merupakan salah satu variabel kualitas air yang penting
karena memiliki banyak peran bagi akuakultur, diantaranya adalah sebagai penyangga, dapat
mempengaruhi fisiologi hewan air, dan dapat mengurangi efek tosisitas amonia. Konsentrasi
alkalinitas dan kesadahan optimum akan menunjang produksi akuakultur. Alkalinitas di
perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pH, suhu, hujan, pakan dan respirasi

47
organisme akuati, sedangkan kesadahan diantaranya dipengaruhi oleh ion kalsium,
magnesium, garam bikarbonat, garam karbonat.

Daftar Pustaka

Ariadi, H. 2021. Oksigen Terlarut dan Siklus Ilmiah pada Tambak Intensif. Guepedia.

Bintoro, A., Abidin, M. 2013. Pengukuran Total Alkalinitas di Perairan Estuari Sungai
Indragiri Provinsi Riau. BTI. Vol 11 (1).

Boyd, C. E., Craig S. T. dan Benjaporn S. 2016. Alkalinity and Hardness: Critical but Elusive
Concepts in Aquaculture.Journal Of The World Aquaculture Society. 24(1):6-41.

Chatakondi, N. G. dan E. L. Torrans. 2012. The effect of calcium hardness on hatching


success of channel catfish × blue catfish hybrid catfish eggs. North American
Journal of Aquaculture 74:306–309.

Effendi. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius: Yogyakarta

48
Farchan,M., Mulyono, M. 2011. Dasar-Dasar Budidaya. STP. Press: Jakarta.

Hidayat, I. 2018. Dinamika Alkalinitas pada Kolam Budidaya Air Laut/ Payau

Kordi, M, G, H. 2009. Budi Daya Perairan. PT. Citra Aditya Bakti.

Lukito, A., Prayugo, S. 2007. Panduan Lengkap Lobster Air Tawar. Penebar Swadaya:
Jakarta
McNevin, A., C. E. Boyd, O. Silapajarn, dan K. Silapajarn. 2004. Ionic supplementation of
pond waters for inland culture of marine shrimp. Journal of the World Aquaculture
Society 35:460–467.

Muslim, A., 2014. Merkuri dan Keberadaannya. Syiah Kuala Univercity Press: Banda Aceh.
Raven, J. A., M. Giordano, J. Beardall, dan S. C. Maberly. 2012. Algal evolution in relation
to atmospheric CO : carboxylases, carbon-concentrating mechanisms and carbon
oxidation cycles. Philosophical Transactions of the Royal Society B 367:493–507.

Utami, D.P. dan Inna N. 2021. Pengukuran Kualitas Sumber Air Media Pemeliharaan Ikan Di
Balai Riset Pemuliaan Ikan. Buletin Teknik Litkayasa Akuakultur. 19(1): 19-24.

Yulfiperius, M.R. Toelihere, R. Affandi dan D.S. Sjafei. 2006. Pengaruh Alkalinitas terhadap
kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Ikan Lalawak (Barbodes sp.). Biosfera. 23
(1) : 38-43.

49

Anda mungkin juga menyukai