Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

SEJARAH SISTEM TINGGI INDONESIA

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Geodesi Fisik

Yang diampu oleh : Aning Haryati, S.T., M.T

Disusun Oleh :

Alya Sekar Hapsari

NPM: 4122.3.22.13.0023

PROGRAM STUDI S1 TEKNIK GEODESI

FAKULTAS TEKNIK, PERENCANAAN DAN ARSITEKTUR

UNIVERSITAS WINAYA MUKTI

BANDUNG

2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha

Penyayang. Puji Syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah-

nya, sehingga tugas makalah sejarah sistem tinggi Indonesia dapat terselesaikan.

Penulis ucapakan terimakasih keapda seluruh akademisi Teknik Geodesi

Winayamukti terkhususnya kepada Ibu Aning Haryati, S.T., M.T selaku dosen

pengampu mata kuliah Geodesi fisik yang secara keseleruhan telah memberikan waktu,

ilmu, tenaga dan pikiran untuk membimbing kami dalam menghadirkan tulisan ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada banyak hal yang dapat

dioptimalkan. Oleh karenanya, penulis berusaha menerima saran dan masukan akan

makalah ini dapat menjadi lebih baik dikemudia hari. Akhir kata penulis ucapkan

terimakasih dan mohom maaf bila ada kata dan penulisan yang masih salah.

Dengan hormat,

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................1

DAFTAR ISI.....................................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................3

1.1. Latar Belakang....................................................................................................3

1.2. Rumusan Masalah...............................................................................................4

1.3. Tujuan.................................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................5

2.1. Sistem Tinggi......................................................................................................5

2.2. Sejarah Sistem Tinggi.........................................................................................9

2.2.1. Datum Lokal..............................................................................................10

2.2.2. Datum Indonesia 1974...............................................................................12

2.2.3. Datum Geodesi Nasional 1995..................................................................12

2.2.4. Sistem Referensi Geospasial 2013 (SRGI 2013).......................................13

BAB III PENUTUP.........................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................16

2
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Berdasarkan dengan Undang-undang Republik Indonesia nomor 4 tentang

Informasi Geospasial, Jaring Kontrol Vertikal Nasional (JKVN) adalah suatu titik

control geodesi vertikal yang terhubung satu sama lain dalam satu kerangka referensi

yang sama. JKVN juga dijadikan sebagai acuan kerangka posisi untuk Informasi

Geospasial (IG). Berdasarkan Pasal 9 Nomor 3 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2011,

Tinggi JKVN ditentukan dengan metode pengukuran geodetik tertentu dinyatakan

dalam datum vertikal tertentu, sistem tinggi tertentu, dan diwujudkan dalam bentuk

tanda fisik.

Penentuan tinggi orthometrik pada bidang geodesi selalu mengacu pada datum

tinggi sebagai bidang level atau permukaan tinggi, yaitu Mean Sea Level (MSL) yang

realisasinya dapat juga menggunakan Geoid. Geoid merupakan suatu bidang

equipotensial yang mendekati permukaan laut rata-rata. Bidang equipotensial

merupakan bidang permukaan dimana titik-titik yang membentuk permukaaan tersebut

memiliki nilai potensial gaya berat yang sama. Untuk keperluan praktis, pada umumnya

geoid dianggap berhimpit dengan muka air laut rata-rata Mean Sea Level = MSL (Sai,

2010).

Di Indonesia penentuan JKVN berdasarkan beberapa metode. Dan pengadaan

jaring kontrol vertikal nasional (JKVN) saat ini dilaksanakan dengan metode sipatdatar.

JKVN sebagai jaring kontrol vertikal pemetaan di Indonesia diklasifikasikan secara

berjenjang dalam kelas dan orde pengukuran. Namun kondisi JKVN di Indonesia masih

dalam kategori kurang akurat dan teliti.

3
1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dapat ditarik rumusan masalah sebagai

berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan sistem tinggi ?

2. Bagaimana sejarah sistem tinggi di Indonesia?

1.3. Tujuan

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah dapat ditarik tujuan sebagai

berikut:

1. Mengetahui pengertian sistem tinggi.

2. Mengetahui sejarah sistem tinggi di Indonesia.

4
BAB II PEMBAHASAN

2.1. Sistem Tinggi

Tinggi adalah jarak vertikal atau jarak tegak lurus dari suatu bidang referensi

tertentu terhadap suatu titik spenajang garis vertikalnya. Untuk suatu wilayah biasanya

Mean Sea Level ( MSL) ditentukan sebagai suatu bidang referensi dan perluasannya

kedaratan akan disebut dengan datum atau geoid (Anjasmara, 2005).

Gambar 1. Tinggi Terhadap Bidang Referensi

Sumber : (Anjasmara, 2005)

Pada Gambar 1. dijelaskan tinggi terhadap bidang referensi. Informasi tinggi

yang ada di permukaan bumi ada umumnya terdapat empat jenis utama tinggi, yaitu :

1.      Tinggi Ellipsoid

Tinggi ellipsoid adalah tinggi yang diperoleh tanpa ada hubungannya dengan

gravitasi bumi. Sistem tinggi ini digunakan oleh sistem pengamatan yang dilakukan

menggunakan GPS. Tinggi ellipsoid adalah jarak garis lurus yang diambil sepanjang

bidang ellipsoid normal dari permukaan geometris yang diambil dari referensi ellipsoid

ke titik tertentu (E W Featherstone , 2006)

5
Ketinggian titik yang diberikan oleh GPS adalah ketinggian titik di atas

permukaan ellipsoid, yaitu ellipsoid WGS (World Geodetic System) 1984. Tinggi

ellipsoid (h) tersebut tidak sama dengan tinggi orthometrik (H) yang umum digunakan

untuk keperluan praktis sehari-hari yang biasanya diperoleh dari pengukuran sipat datar

(levelling). Tinggi orthometrik suatu titik adalah tinggi titik tersebut di atas geoid diukur

sepanjang garis gaya berat yang melalui titik tersebut, sedangkan tinggi ellipsoid suatu

titik adalah tinggi titik tersebut di atas ellipsoid dihitung sepanjang garis normal

ellipsoid yang melalui titik tersebut. Tinggi ellipsoid dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Tinggi Ellipsoid

Sumber: (E W Featherstone , 2006).

2.      Tinggi Dinamis

Sistem tinggi dinamik memiliki hubungan yang sangat kuat dengan sistem

geopotensial, sistem ini pernah dikembangkan oleh Helmert,1884. Pada tinggi dinamis,

gaya berat rata – rata diambil suatu harga berat normal standar bagi daerah yang

bersangkutan, yaitu harga gaya berat normal yang dekat dengan nilai harga gaya berat

rata –rata di daerah itu. Untuk tinggi dinamis global, biasanya diambil harga gaya berat

6
normal pada lintang 45o. Untuk Indonesia bisa ditentukan harga gaya berat normal di

ekuator dengan sistem referensi GRS – 1967 yaitu: 978.032 gal. (Irawan Syafri, 1990)

Nilai geopetensial didefinisikan sebagai nilai konstanta. Tinggi dinamis

menyerap karakter yang sama, hal yang membedakannya adalah tinggi dinamis

memiliki dimensi jarak. Dengan kata lain tinggi dinamis tidak memiliki nilai geografis,

melainkan hanya memiliki nilai kuantitas fisik bumi (Physical Quantity).

3.      Tinggi Orthometrik

Tinggi ortometris suatu titik adalah jarak geometris yang diukur sepanjang

unting – unting (Plumbline) antara geoid ke titik tersebut (Irawan Syafri, 1990).Tinggi

ortometris ini merupakan tinggi yang umumnya dimengerti dan paling banyak

digunakan. Lain halnya dengan tinggi dinamis, tinggi ortometrik ini memiliki nilai

geometris. Permukaan geoid referensi sangat unik hal ini dikarenakan satu bidang

equipotensial yang merupakan bidang yang memiliki nilai gravitasi tunggal sama

dengan permukaan laut di lautan terbuka. Dalam praktis nya tinggi ortometrik sangat

sulit direalisasikan, karena untuk merealisasikannya hal yang perlu diketahui adalah

arah tegak lurus dari percepatan gravitasi terhadap permukaan disemua titik yang berada

sepanjang jarak tersebut.

Untuk mendapatkan tinggi orthometrik dari tinggi ellipsoid diperlukan data

tambahanlain yaitu undulasi geoid (N), dengan adanya undulasi maka tinggi

orthometrik dapatdihitung dari tinggi ellipsoid dengan Persamaan H = h - N (ketinggian

orthometrik adalahselisih antara ketinggian elipsoid dengan undulasi geoid). Ada

beberapa metoda untuk mendapatkan harga undulasi geoid diantaranya

metodageometrik dan metoda gravimetrik. Pada metoda geometrik undulasi geoid

7
dihitung darikombinasi data ketinggian posisi satelit dengan ketinggian dan pengukuran

sipat datar (levelling).

Tinggi orthometrik suatu titik dipermukaan bumi dapat didefinisikan sebagai

jarak geometrik antara titik tersebut dipermukaan bumi dengan titik pasangannya di

permukaan geoid dan diukur sepanjang garis untung – unting (Plumbline). Tinggi

Orthometrik dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Tinggi Orthometrik

Sumber : (Featherstone, 2006)

4.      Tinggi Normal

Tinggi notmal pada awalnya dihitung untuk menghindari masalah dalam

menentukan nilai rata – rata integral gravitasi pada gravitasi aktual sepanjang garis

untung unting (Plumbline). Pemodelan pertama kali di perkenalkan oleh Molodensky

pada tahun 1945. Yang membedakan tinggi normal dengan tinggi ortometrik adalah

untuk mencegah terjadinya hipotesis untuk menentukan medan gravitasi pada topografi.

Tinggi normal dapat dilihat pada Gambar 4.

8
Gambar 4. Tinggi Normal

Sumber :  (E W Featherstone , 2006)

2.2. Sejarah Sistem Tinggi

Posisi dari suatu titik biasanya dinyatakan dalam bentuk koordinat, baik

koodinat secara dua dimensi maupun koordinat secara tiga dimensi yang mengacu pada

suatu sistem koordinat tertentu. Sistem koordinat itu sendiri didefinisikan dengan

menspesifikasikan dari tiga parameter yaitu :

1. Lokasi titik nol dari sistem koordinat

2. Orinetasi dari sumbu-sumbu koordinat

3. Besaran yang digunakan untuk mendefinisikan posisi suatu titik dalam

sistem koordinat tersebut.

Sistem referensi koordinat sebagai sebuah sistem, yang termasuk teori, konsep,

deskripsifisis dan geometris serta standar dan parameter digunakan dalam

mendefinisikan koordinat dari suatu atau beberapa titik dalam ruang. Sedangkan

kerangka referensi koordinat merupakanrealisasi praktis dari sistem referensi, sehingga

9
sistem tersebut dapat digunakan untuk pendeskripsian secara kuantitatif dari posisi dan

pergerakan titik-titik, baik yang ada di permukaan bumi maupun di luar bumi.

Berdasarkan orientasi sumbu dan lokasi titik asal, sistem referensi koordinat

dibagimenjadi 2 jenis, yaitu yang terikat ke langit (CIS) dan terikat ke bumi(CTS).

Untuk sistem CTS, biasanya digunakan untuk mendefinisikan posisi dari titik-titik yang

ada di permukaan bumi.Sedangkan CIS biasanya digunakan untuk mendefinisika posisi

dari objek-objek yang ada di luarangkasa seperti satelit.

Dengan semakin sadarnya masyarakat Indonesia akan kepentingan dunia

Geodesi yangmemang sangat dinamis dan harus selalu diperbarui tiap saat, serta

teknologi yang masih belummemadai untuk dilakukan proses pembaruan tersebut, maka

beralihlah kita menuju sistem yangsemi-dinamis. Sistem ini adalah sistem yang selalu

mengacu pada suatu epoch tertentu sebagai acuan mendefinisikan titik yang ada di

Bumi.Terlihat bahwa perjalanan peralihan sistem referensi di Indonesia tidaklah mulus,

kitaharus melewati beberapa masa yang cukup merepotkan. Berikut ini adalah jejak

rekam dari perjalanan peralihan sistem referensi tinggi di Indonesia.

2.2.1. Datum Lokal

Sejak tahun 1870 (oleh Pemerintah Kolonial Belanda tahun 1870) sampai

dengan tahun 1974, Datum Geodetik yang digunakan adalah Ellipsoid Bessel 1841 (a =

6.377.563 m, f = 1/299,3) dengan sistem koordinat relatif dan posisi ellipsoid

bermacam-macam. Di Indonesia pernah menggunakan beberapa jenis datum lokal

sebagai berikut:

a. Datum Geneok (a = 6.377.397, f = 1/298.15)

10
Pada tahun (1862-1880), Indonesia telah melakukan penentuan posisi pertama

kalidi Pulau Jawa dengan metode triangulasi. Penentuan posisi ini menggunakan

ellipsoid Bessel 1841 sebagai ellipsoid referensi, dan meridian Jakarta sebagai meridian

nol, dan titik awal beserta sudut azimuthnya diambil dari titik triangulasi di puncak

Gunung Genoek.

b. Datum Moncong Lowe (a = 6.377.397, f = 1/298.15)

Pada tahun 1911 pengukuran jarring triangulasi di Pulau Sulawesi dimulai.

Ellipsoid yang digunakan adalah Bessel 1841, meridian yang melalui Kota Makassar

dianggap sebagai meridian nol, dan titik awal beserta sudut azimutnya ditentukan dari

titik triangulasi di puncak Gunung Moncong Lowe.

c. Datum Bukit Rimpah (a = 6.377.397, f = 1/298.15)

Digunakan untuk kepulauan Bangka Belitung dan sekitarnya. Datum ini

menggunakan sistem referensi ellipsoid Bessel 1841 dan meridian utama Greenwich.

Bukit Rimpah adalah datum geodetik untuk pemetaan topografi.

d. Datum Gunung Serindung (a = 6.377.397, f = 1/298.15)

Digunakan sebagai datum untuk pemetaan wilayah Kalimantan Barat.

Pengukuran triangulasi dimulai pada sekitar tahun 1958-1959. Seperti halnya Datum

Genoek dan Datum Bukit Rimpah, pada Datum Gunung Serindung ini ditetapkan

bahwa ellipsoid referensi berhimpit dengan geoid di titik datum.

e. Datum Gunung Segara (a = 6.377.397, f = 1/298.15)

Datum ini digunakan untuk pemetaan wilayah Kalimantan Timur. Pengukuran

triangulasi dilaksanakan sekitar tahun 1937. Titik datum ditetapkan di Gunung Segara.

Pada titik datum ditetapkan bahwa ellipsoid berimpit dengan datum. Ellipsoid referensi

yang digunakan adalah Bessel 1841.

11
f. Datum T21 Sorong (a = 6.378.388, f = 1/297)

2.2.2. Datum Indonesia 1974

Dalam program pemetaan Dasar Nasional yang dimulai pada masa Repelita I

(1960-1974) yang bertepatan dengan dibentuknya Badan Koordinasi Survey dan

Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) pada tahun 1969, dan dimulainya progam penyatuan

sistem referensi. Padamasa ini teknologi pun telah berkembang dengan munculnya

penentuan posisi dengansatelit, yang pada waktu itu dinamakan sistem Satelit Doppler

dari US Navy NavigationSatelite system (NNSS) Dengan teknologi ini, seluruh datum

Indonesia yang terpisahtelah disatukan dalam satu sistem Lalu Bakosurtanal

memutuskan untuk memilih satu titik triangulasi di Padang sebagai titik awal sistem dan

dinamakan Datum Padang. Selanjutnya Datum Padang ini dinamakan dengan nama

baku yang terkait dengan tahun penetapannya yaitu Datum Indonesia 1974 (Indonesia

Datum, 1974 atau ID-74 ) dan mengganti Ellipsoid Bessel 1841 dengan GRS 1967.

2.2.3. Datum Geodesi Nasional 1995

Setelah berkembangnya GPS (Global Positionng System) penentuan posisi

yang lebih akurat dicapai setiap saat dan tepat. Agar peta-peta Indonesia tetap bisa

digunakan, maka perlu mengubah datum yang digunakan dari ID-74 ke datum yang

sesuai dengan sistem GPS. Datum baru ini dinamakanDatum Geodesi Nasional

Indonesia 1995 (DGN 1995) dengan Ellipsoid acuan WGS 1984 (a = 6.378.137 m dan

kegepengan f = 1/295.34 ) yang juga digunakan secara internasional serta sistem

12
koordinat geosentrik. Datum ini mengadopsi sistem datum geodetik absolut dengan

mengatur pusat Ellipsoid Referensi berimpit dengan pusat massa bumi.

2.2.4. Sistem Referensi Geospasial 2013 (SRGI 2013)

Pada 17 Oktober 2013, Sistem Referensi Geospasial Indonesia 2013

(SRGI2013) ditetapkan sebagai referensi tunggal pemetaan di Indonesia. SRGI adalah

sistem koordinat nasional yang konsisten dan kompatibel dengan sistem koordinat

global. SRGI mempertimbangkan perubahan koordinat berdasarkan fungsi waktu,

karena adanya dinamika bumi. Secara spesifik, SRGI2013 adalah sistem koordinat

kartesian 3-dimensi (X,Y,Z) yang geosentrik. Implementasi praktis di permukaan bumi

dinyatakan dalam koordinat geodetik lintang, bujur, tinggi, skala, gayaberat, dan

orientasinya beserta nilai laju kecepatan dalam koordinat planimetrik (toposentrik).

SRGI2013 menggunakan sistem referensi ITRS dengan kerangka referensi ITRF

2008Epoch 2012. Pilar tertua yang dibangun adalah pilar JKVN. Pembangunan pilar

JKVN pertama kali dilaksanakan pada tahun 1981, diikuti pembangunan pilar JKHN

pertama kali pada tahun 1990. Pada tahun 1996 dilaksanakan pembangunan 3 Ina-

CORS pertama, sampai saat ini pembangunan Ina-CORS masih terus berjalan.

Sedangkan pembangunan pilar Gaya Berat Utama pertama kali dilaksanakan pada tahun

2017.

13
BAB III PENUTUP

Tinggi adalah jarak vertikal atau jarak tegak lurus dari suatu bidang referensi

tertentu terhadap suatu titik spenajang garis vertikalnya. Untuk suatu wilayah biasanya

Mean Sea Level (MSL) ditentukan sebagai suatu bidang referensi dan perluasannya

kedaratan akan disebut dengan datum atau geoid (Anjasmara, 2005).

Informasi tinggi yang ada di permukaan bumi ada umumnya terdapat empat

jenis utama tinggi, yaitu:

1. Tinggi ellipsoid

2. Tinggi dinamis

3. Tinggi ortometrik

4. Tinggi normal

Indonesia memiliki sistem tinggi yang beraneka ragam. Berikut ini adalah jejak

rekam dari perjalanan peralihan sistem referensi tinggi di Indonesia :

A. Datum Lokal

Datum Geneok (a = 6.377.397, f = 1/298.15)

Datum Moncong Lowe (a = 6.377.397, f = 1/298.15)

Datum Bukit Rimpah (a = 6.377.397, f = 1/298.15)

Datum Gunung Serindung (a = 6.377.397, f = 1/298.15)

14
Datum Gunung Segara (a = 6.377.397, f = 1/298.15)

Datum T21 Sorong (a = 6.378.388, f = 1/297)

B. Datum Indonesia 1974

C. Datum Geodesi Nasional 1995

D. Sistem Referensi Geospasial 2013 (SRGI 2013)

15
DAFTAR PUSTAKA

Anjasmara, I. M. (2005). Sistem Tinggi. Surabaya: Pendidikan dan Pelatihan (DIKLAT)

Teknis Pengukuran dan Pemetaan Kota Surabaya.

E W Featherstone . (2006). Height Systems and Vertical Datums. Australia: A Review

In The Australian Context.

Irawan Syafri. (1990). Kondisi Datum Ketinggian Wilayah SUngai di Pulau Jawa.

Pusair.

Sai, S. (2010). Studi Penentuan Tinggi Orthometrik Menggunakan Metode GPS

Heighting Bandara Abdurahman Saleh . Malang.

16

Anda mungkin juga menyukai