Anda di halaman 1dari 17

KASUS

“Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS)”

Disusun Oleh :

1. Hartono
2. I made dwi mardika
3. I nyoman trio .s
4. Iwan indriawan
5. Joni budi santoso
6. Ketut siswanti
7. Kholistin yusrenda
8. Krisdiyantoro
9. Maita lindawaty

FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN REGULER
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU
LAMPUNG
2022

1
Analisis Perbandingan Penanganan SARS

ABSTRAK

Korea Selatan dan Jepang merupakan dua negara maju yang memiliki kesamaan dalam sistem
demokrasi, ekonomi dan kesehatan. Dalam hal demokrasi, kedua negara tersebut tergolong sebagai negara
dengan demokrasi yang cukup baik. Dalam hal ekonomi, kedua negara ini juga memiliki jumlah Pendapatan
Domestik Bruto (PDB) per kapita yang tidak jauh berbeda dan digolongkan sebagai negara berpenghasilan
tinggi. Dalam hal kesehatan, kedua negara tersebut memiliki angka harapan hidup yang tinggi dan memiliki
rasio jumlah tempat tidur yang tinggi yaitu 1000 orang per rumah sakit. Selain itu, kedua negara juga telah
menyediakan asuransi kesehatan yang cukup baik untuk warga negaranya. Namun, kedua negara tersebut
memiliki perbedaan dalam menangani pandemi SARS . Korea Selatan berhasil dalam menangani pandemi
SARS sedangkan Jepang kewalahan yang menyebabkan adanya gelombang ketiga SARS di negaranya.
Anomali ini memunculkan pertanyaan penelitian yakni “Mengapa Korea Selatan sukses dalam menangani
pandemi SARS sedangkan Jepang kewalahan dalam menangani pandemi SARS ?” Maka dari itu, makalah ini
bertujuan untuk menganalisis penanganan kedua negara terhadap pandemi SARS menggunakan metodologi
perbandingan politik yang berdasar analisis perbedaan dan persamaan sistem politik dan kebijakan dari beberapa
negara yang menghasilkan hasil (outcome) yang berbeda. Tim peneliti juga menggunakan data sekunder yang
dianalisis dengan menggunakan metode interpretif kualitatif. Berdasarkan metodologi yang digunakan, makalah
ini menjelaskan empat faktor yang mempengaruhi keberhasilan Korea Selatan menangani pandemi SARS
dibandingkan Jepang yakni: kebijakan yang berbeda, prioritas yang berbeda, pengalaman yang berbeda dan
digitalisasi masyarakat yang berbeda. Korea Selatan telah mengambil pendekatan yang lebih aktif sedangkan
Jepang mengambil pendekatan yang pasif dalam menangani pandemi. Korea Selatan juga lebih fokus mencegah
pandemi sedangkan fokus utama Jepang adalah menangani dampak ekonomi dari pandemi. Kegagalan dalam
menangani MERS membuat Korea Selatan mengevaluasi diri dan mengantisipasi kegagalan yang sama dalam
menangani pandemi SARS sedangkan Jepang tidak terlalu terpengaruh oleh MERS yang mengakibatkan
pemerintah tidak memiliki pengalaman menangani pandemi SARS . Selain itu, Korea Selatan secara mudah
menerapkan sistem kerja dari rumah sedangkan Jepang sulit menerapkan sistem kerja dari rumah karena
ketergantungan pada sistem pekerjaan yang berbasis kertas dan kurangnya infrastruktur teknologi dan informasi.

Kata Kunci: Jepang; Korea Selatan; SARS ; Penanganan Pandemi; Perbandingan Politik

Pendahuluan
Korea Selatan dan Jepang merupakan dua negara yang sangat mirip dalam hal demokrasi,
ekonomi dan kesehatan. Dari sisi demokrasi, kedua negara tersebut melaksanakan pemilu yang
bersifat terbuka terhadap masyarakat umum. Pada aspek kompetisi, kedua negara juga memiliki iklim
yang sangat bagus dan bersih, dimana hampir tidak ada kecurangan dalam pemilu serta memiliki
banyak partai politik yang aktif. Pada aspek partisipasi dan kontestasi, kedua negara tersebut
menjamin hak partisipasi setiap warga negaranya dalam pemilu dan kedua negara tersebut juga
memiliki kontestasi yang baik dimana dapat membentuk organisasi non pemerintah, aktivis HAM dan
oposisi dengan bebas tanpa adanya intervensi dari pemerintah umber: Our World in Data

Berdasarkan data-data di atas, dapat dikatakan bahwa Korea Selatan dan Jepang merupakan
dua negara yang memiliki kemiripan dalam bidang demokrasi, ekonomi maupun kesehatan. Secara
logis, kedua negara memiliki penanganan SARS dengan memiliki hasil yang sama. Namun, jika
dilihat dari gambar 1, jumlah kasus kedua negara per sejuta orang memiliki jumlah yang berbeda.
Tampak bahwa secara keseluruhan Jepang memiliki jumlah kasus SARS per sejuta orang lebih

2
banyak dibandingkan dengan Korea Selatan dan terlihat juga bahwa Jepang sudah memiliki tiga
gelombang SARS , yakni gelombang pertama dari awal November 2020 hingga akhir Februari 2021,
gelombang kedua dari awal Maret 2021 hingga akhir Juni 2021 dan gelombang ketiga yang dimulai
pada akhir Juli 2021. Sebaliknya, Korea Selatan hanya memiliki dua gelombang pandemi SARS
dengan jumlah yang terpapar SARS per sejuta orang yang jauh lebih rendah jika dibandingkan
dengan Jepang, mengindikasikan Korea Selatan lebih berhasil menangani pandemi SARS . Perbedaan
penanganan SARS antara dua negara yang sama-sama memiliki berbagai kemiripan sistem ekonomi,
politik, dan kesehatan membuat tim peneliti mengajukan pertanyaan penelitian yakni Mengapa
Korea Selatan bisa sukses dalam menangani pandemi SARS sedangkan Jepang kewalahan
dalam menangani pandemi SARS ?

Metodologi

Untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut, tim peneliti menggunakan metode


perbandingan politik. Metode perbandingan politik adalah alat analisis yang membantu mempelajari
suatu masyarakat/komunitas/negara, terutama untuk menjelaskan mengapa dan bagaimana satu
negara/sekelompok negara-negara/sistem lebih berhasil/gagal dalam mencapai hasil pembangunan
dibandingkan sistem/negara-negara lainnya. Metode ini juga seringkali digunakan untuk menjawab
berbagai pertanyaan penelitian seperti mengapa banyak sekali pembunuhan yang berkaitan dengan
senjata berapi di Amerika Serikat, mengapa ada negara yang kaya dan miskin, apakah kepercayaan
agama yang fundamentalis dan demokrasi kompatibel dan lain-lain. Metode ini juga biasanya
digunakan untuk mengkaji pengaruh antara hasil atau outcome melalui penggunaan variabel yang
dependen seperti hasil pembangunan dan variabel yang independen seperti agama, budaya dan sistem
politik. Dalam hal penanganan SARS , metode perbandingan politik dapat digunakan sebagai alat
untuk mengetahui mengapa Korea Selatan sukses dalam menangani SARS sedangkan Jepang
kewalahan walaupun kedua negara tersebut memiliki kesamaan dalam demokrasi, ekonomi dan
kesehatan. Dari penjelasan di atas, dapat didefinisikan metode perbandingan politik adalah sebuah
metode perbandingan yang digunakan untuk menjelaskan atau memahami sebuah fenomena yang
terjadi di suatu negara, masyarakat dan sistem politik.

Metode perbandingan politik yang digunakan dalam riset ini adalah metode perbandingan
politik yang dikemukakan oleh B. Guy Peters. Menurut B. Guy Peters ada lima komponen atau
tipologi dalam metode perbandingan politik, salah satunya adalah membandingkan dan menganalisis
dua atau beberapa negara yang memiliki konteks institusi atau sistem yang relatif sama tetapi dengan
hasil (outcome) yang berbeda. Persamaan konteks ini menyebabkan negara yang dianalisis berada
dalam level yang sama sehingga dapat dibandingkan dengan lebih adil. Pemilihan Jepang dan Korea
Selatan sebagai negara yang dibandingkan karena kedua negara tersebut memiliki kesamaan dalam
beberapa hal seperti dalam demokrasi, ekonomi, dan kesehatan. Dalam hal demokrasi, kedua negara
tersebut tergolong sebagai full democracy. Selain itu, PBB menggolongkan kedua negara tersebut
sebagai negara berpenghasilan tinggi. Dalam hal kesehatan, kedua negara tersebut memiliki angka
harapan yang tinggi menandakan kesehatan rakyat baik. Sehingga terlihat bahwa pada dasarnya kedua
negara tersebut sangat mirip. Oleh karena itu, metode ini digunakan untuk mengeksplorasi dan
menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kesuksesan Korea Selatan dalam penanganan
pandemi SARS dan apa saja yang mempengaruhi kekurangan Jepang dalam penanganan pandemi
SARS .

3
Studi ini menggunakan metode pengumpulan data yang berbasis data sekunder. Data
sekunder merupakan data yang sudah tersedia atau diteliti oleh pihak lain dan digunakan untuk riset
pada makalah ini. Data yang digunakan dalam makalah ini bervariasi seperti jurnal yang sudah
ditinjau oleh ahli, dokumen kebijakan negara, dan artikel daring yang sahih. Dokumen-dokumen
tersebut dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Tim peneliti membuat kategori
dari informasi-informasi yang diperoleh dari data sekunder dan menginterpretasinya untuk dapat
menjelaskan atau menjawab pertanyaan penelitian yang diajukan .

Analisis

Berdasarkan analisis perbandingan politik dengan menggunakan interpretasi kualitatif dari


data sekunder, studi ini mengidentifikasi empat faktor yang menyebabkan perbedaan dari hasil
penanganan SARS antara Korea Selatan dan Jepang, yaitu perbedaan kebijakan dalam menangani
pandemi SARS , perbedaan prioritas, perbedaan pengalaman dan perbedaan digitalisasi masyarakat
kedua negara. Keempat faktor ini akan dijelaskan lebih mendalam dengan penjelasan di bawah ini.

1. Perbedaan Kebijakan dalam Menangani SARS

Walaupun Korea Selatan dan Jepang memiliki kesamaan kebijakan dengan tidak
memberlakukan lockdown total dalam menahan laju penyebaran SARS , kedua negara tersebut
memiliki kebijakan yang berbeda dalam menangani kasus seseorang yang telah terpapar SARS .
Pemerintahan Korea Selatan menggunakan pendekatan yang agresif dan proaktif sedangkan
pemerintahan Jepang menggunakan pendekatan yang lebih pasif dan self-restraint. Hal ini terbukti
dari jumlah kapasitas testing di Korea Selatan adalah 110.000 per hari sedangkan jumlah kapasitas
testing di Jepang adalah 40.000 per hari.1

Pemerintahan Korea Selatan secara agresif menerapkan kebijakan 3T (Testing, Tracing, dan
Treatment) yang mewajibkan orang yang memiliki sejarah kontak erat dengan seseorang yang
terkonfirmasi SARS wajib melakukan tes dan karantina. Orang-orang yang sedang dikarantina wajib
mendaftarkan diri melalui aplikasi Self-Quarantine Safety Protection selama 14 hari. Aplikasi ini
memantau pergerakan orang yang sedang melakukan karantina dan akan dilaporkan kepada petugas
karantina jika melakukan pelanggaran. Jika orang tersebut melanggar karantina maka diwajibkan
untuk mengenakan “safety bands” yang dapat melacak lokasi mereka dan dapat memberi peringatan
kepada petugas karantina jika mereka bepergian. Selain itu orang yang melanggar karantina akan
diberikan denda sebesar $ 8.217. Pada saat yang bersamaan, petugas karantina juga memberikan
dukungan agar meringankan karantina. Hal ini dilakukan dengan cara memeriksa orang yang sedang
dikarantina sebanyak dua kali sehari dan mengantar makanan serta kebutuhan sehari-hari. Selain itu,
petugas karantina juga menyediakan layanan bimbingan mental melalui obrolan video daring dan
memberikan hiburan dengan menyediakan layanan streaming gratis.

Pada awal pandemi SARS , pemerintahan Korea Selatan mengubah fasilitas publik dan
tempat rekreasi yang dimiliki oleh perusahaan swasta menjadi tempat isolasi sementara. Hal ini
dilakukan dengan dua alasan yakni untuk merawat pasien SARS sekaligus mencegah penularan dalam

1 Our World in Data, “ Emerging COVID-19 success story: South Korea learned the lessons of MERS,” 5 Maret
2021,https://ourworldindata.org/covid-exemplar-south-korea.

4
rumah tangga dan untuk meringankan beban rumah sakit dalam menampung pasien sekaligus
mencegah kekurangan tempat tidur. Tidak hanya itu, tenaga kesehatan juga secara reguler memantau
dan mengkarantina orang-orang tanpa gejala yang tidak memerlukan perawatan khusus, seperti rawat
inap. Korea Selatan juga menetapkan standar hospitalisasi dengan memprioritaskan orang yang rentan
terpapar SARS , seperti lansia dan pengidap penyakit komorbid untuk mendapatkan IGD. Orang-
orang tanpa gejala dikelompokkan sebagai kelompok non-prioritas dan akan diarahkan ke ruang
isolasi. Proses pengelompokkan ini dibantu oleh AI (Artificial Intelligence) dan infrastruktur IT
(Information Technology) yang baik. Selain itu, kemudahan tenaga kesehatan dalam mendapatkan alat
diagnosa SARS membuat tes SARS dapat tersebar luas dan merata di seluruh wilayah Korea Selatan.

Sementara itu, pemerintahan Jepang hanya melakukan testing pada orang yang bergejala saja,
seperti demam tinggi dan sangat bergantung pada pengendalian diri secara sukarela oleh warga negara
(Jishuku). Dimana pemerintah hanya “menganjurkan” rakyatnya untuk menaati protokol kesehatan
dan mengurangi kontak hingga 80%. Pemerintah Jepang juga hanya “memohon” kepada pihak-pihak
bisnis, industri, sekolah, bar dan klub malam untuk menerapkan protokol kesehatan. Kebijakan atau
protokol kesehatan hanya bersifat anjuran dan tidak ada denda jika individu atau kelompok melanggar
protokol kesehatan. Hal ini disebabkan oleh keengganan pemerintah Jepang menerapkan peraturan
atau kebijakan yang tegas untuk membatasi hak individu dan membuat rakyat Jepang harus turun
tangan secara langsung dengan membentuk polisi pengendalian diri (Jishuku Keisatsu). Jishuku
Keisatsu sering menegur warga yang tidak menggunakan masker atau tidak mematuhi protokol
kesehatan dan dianggap lebih berhasil dalam memaksa atau menekan bisnis setempat untuk
menerapkan protokol kesehatan.

Pada awal pandemi SARS , Jepang tidak melakukan upaya yang cukup untuk memperbanyak
laboratorium diagnosa SARS sehingga Jepang memiliki kapasitas diagnosa yang terbatas. Jumlah
kapasitas yang terbatas ini mempengaruhi jumlah pendeteksian yang dapat dilakukan oleh Jepang per
hari dan akibatnya tenaga kesehatan mengalami kesulitan dalam mendapatkan hasil tes SARS .
Banyak terjadi kasus penolakan atas permintaan tenaga kesehatan dalam mendapatkan alat tes
diagnosa SARS . Hal ini menyebabkan banyak kasus SARS yang tidak terdeteksi dan menyebar luas
di masyarakat. Selain itu, Jepang mengandalkan sistem berbasis kertas dalam mendata informasi
pasien yang menyebabkan ketidakakuratan dan penggandaan data.

Selain itu, pemerintahan Jepang juga tidak bisa menambah kapasitas tempat tidur rumah sakit
secara signifikan karena rumah sakit di Jepang didominasi oleh pihak swasta. Rumah sakit swasta
mencakup 70% dari total rumah sakit yang ada di Jepang dengan jumlah 8.300 rumah sakit. Pada era
pra-pandemi, sistem yang didominasi oleh swasta menciptakan persaingan antar rumah sakit untuk
saling meningkatkan layanan dan kualitas untuk merawat pasien. Namun, dalam krisis pandemi SARS
, pasien SARS lebih memilih rumah sakit negara atau rumah sakit subsidi dari pemerintah, hal ini
disebabkan oleh tingginya biaya rumah sakit swasta. Terlebih lagi, pemerintah Jepang mewajibkan
pasien yang terpapar SARS untuk melakukan karantina di rumah sakit. Hal-hal ini mengakibatkan
rumah sakit negara penuh dan petugas kesehatan mulai kewalahan, sedangkan rumah sakit swasta
masih memiliki banyak tempat tidur kosong.

Kebijakan yang berbeda ini juga memiliki dampak pada institusi penanganan SARS pada
kedua negara tersebut. Seperti yang diilustrasikan dalam Gambar 2, Korea Selatan mendirikan KCDC

5
(Korean Centers for Disease Control and Prevention) untuk menangani pandemi SARS . KCDC
memiliki otonomi dan sentralisasi yang kuat karena pemerintah Korea Selatan telah berkomitmen
untuk mengutamakan “ilmu pengetahuan” dibandingkan “politik” dalam pembuatan kebijakan
SARS . KCDC dapat mengeluarkan kebijakan SARS tanpa adanya hambatan birokrasi politik. KCDC
juga menerima masukan dari ilmuwan dan garda terdepan tenaga kesehatan dalam membuat
kebijakan SARS . Kebijakan ini berorientasi pada tindakan preventif dalam penularan SARS .
Kehadiran KCDC juga membantu pemerintah Korea Selatan dalam mengkomunikasikan kebijakan
SARS kepada masyarakat. KCDC sering berkampanye baik melalui sosial media, televisi maupun
koran untuk mengedukasi masyarakat mengenai protokol kesehatan dan 3T.

Jepang juga mendirikan institusi penanganan SARS yakni NCRH (Novel Coronavirus
Response Headquarters). Berbeda dengan KCDC, NCRH tidak memiliki otoritas dan sentralitas yang
mengakibatkan ketidakjelasan kebijakan SARS , seperti apa saja bisnis atau industri yang esensial
atau tidak, penutupan sekolah secara mendadak dan tidak adanya denda bagi individu atau kelompok
yang melanggar protokol kesehatan. 2 Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan NCRH dalam
mengeluarkan kebijakan SARS dengan bebas dan cepat. Seperti yang terlihat pada gambar 2, bahwa
NCRH harus melakukan konsultasi atau mengadakan rapat dengan perdana menteri Jepang sebelum
mengeluarkan kebijakan SARS . Pada akhirnya, NCRH hanya memiliki tugas untuk “menganjurkan”
kebijakan SARS dan keputusan akhir berada di tangan perdana menteri.

2. Prioritas yang Berbeda

Korea Selatan dan Jepang tentu memiliki pendekatan yang berbeda dalam beberapa aspek
seperti ekonomi dan kebijakan dalam menangani pandemi SARS . Sejak awal pandemi SARS ,
presiden Korea Selatan yakni Moon Jae-In memiliki tekad dan keinginan yang kuat untuk melawan
pandemi sehingga penanganan SARS menjadi prioritas utama bagi Moon Jae-In. Tidak hanya tekad
dan keinginan Moon-Jae In saja, masyarakat Korea Selatan juga memberikan tekanan yang kuat
sehingga mendesak presiden Moon-Jae In untuk lebih cepat tanggap dalam mengendalikan pandemi
SARS . Tekanan keberhasilan mengatasi SARS ini juga dipengaruhi oleh konteks terbatasnya periode
kepemimpinan presiden Korea Selatan yang hanya memiliki 1 masa jabatan periode selama 5 tahun.
Oleh karena itu, presiden Korea Selatan cenderung lebih responsif dan lebih mendengarkan suara
mayoritas masyarakat. Dengan ini, Presiden Moon Jae In tidak ingin dipandang sebagai presiden yang
gagal dalam menangani pandemi sehingga presiden memiliki sinergi yang penuh dengan banyak
pihak agar lebih terkoordinir dan tata kelola yang lebih terstruktur serta kebijakan yang ketat. i

Berbeda dengan penanganan Korea Selatan, perdana Menteri Jepang yakni Shinzo Abe lebih
memprioritaskan kebijakan ekonomi (abenomics) dibandingkan menangani SARS . Partai yang
berkuasa yakni LDP (Liberal Democratic Party) menerima “donasi” yang cukup besar dari Japan
Business Federation (Keidanren). Oleh karena itu, kebijakan yang berorientasi pada perekonomian
menjadi agenda politik utama dari Administrasi Abe.Pemfokusan Administrasi Abe terhadap ekonomi
terbukti dari pengeluaran stimulus untuk menangkal resesi yang diakibatkan oleh pandemi SARS .
Stimulus ini berjumlah 40% dari PDB Jepang dengan angka $1.1 triliun sehingga kebijakan untuk

2 Erika Hayasaki, “Covid-19: how Japan Squandered its early jump on the Pandemic,” thebmj, 24 April
2020,https://www.bmj.com/content/369/bmj.m1625?
ijkey=b5dfe3ec0a0ac91e8488d9c06f9c0ef8eef5e870&keytype2=tf_ipsecsh.

6
merespon SARS di Jepang lebih longgar dan menjadikan kebijakan abenomics menjadi prioritas
utama pemerintah Jepang.

Pada awal pandemi, pemerintah Jepang lebih mengkhawatirkan dampak pandemi terhadap
Olimpiade Tokyo 2020 yang akhirnya ditunda. Sebelum penundaan terjadi, perdana Menteri Jepang,
Shinzo Abe mengadvokasi agar olimpiade tetap dilaksanakan sesuai jadwal. Selain itu, Shinzo Abe
bertekad kuat dan menyatakan bahwa Jepang tidak akan membatalkan Olimpiade Tokyo 2020 di
tengah pandemi SARS . Jepang sengaja membatasi jumlah tes SARS agar mendapat anggapan bahwa
Jepang dapat menangani pandemi dengan baik. Ketika Olimpiade Tokyo 2020 secara resmi ditunda
ke tahun 2021, Jepang mengalami peningkatan yang signifikan terhadap testing dan kasus positif
SARS , disini dapat dilihat bahwa pemerintahan Jepang mulai serius menangani pandemi ketika
olimpiade ditunda.

Pemerintahan Jepang bersikeras untuk mengadakan Olimpiade Tokyo 2020 karena Jepang
telah menghabiskan dana sebesar $15,4 miliar untuk acara tersebut. Selain itu, Jepang tidak bisa
dengan mudah membatalkan Olimpiade Tokyo 2020 karena Jepang terikat kontrak dengan IOC
(International Olympic Committee). Dimana kontrak tersebut menyatakan bahwa Jepang harus
menyelenggarakan olimpiade kecuali jika ada perang atau bencana yang dapat mengancam
keselamatan atlet. IOC menilai bahwa Jepang mampu mengadakan Olimpiade Tokyo 2020 dengan
protokol kesehatan yang ketat. Namun, faktanya penyelenggaraan Olimpiade Tokyo 2020 ditolak oleh
70% masyarakat Jepang.Penolakan masyarakat Jepang terhadap Olimpiade Tokyo 2020 ini
disebabkan oleh ketakutan akan penularan SARS dari atlet-atlet olimpiade. Ketakutan ini kemudian
menjadi kenyataan, pada 5 Agustus 2021 badan penyelenggara Olimpiade Tokyo 2020 mencatat 23
dari 31 kasus SARS yang berhubungan dengan klaster olimpiade merupakan masyarakat Jepang
dengan jumlah 353 orang. Namun, jika Jepang membatalkan kontrak dengan IOC, maka Jepang harus
membayar denda sebesar $17,1 miliar kepada IOC dan investor yang mendukung keberlangsungan
olimpiade. Hal ini sangat memberatkan ekonomi Jepang yang sudah mengalami resesi akibat pandemi
SARS .

Alasan lain pemerintah Jepang bersikeras menyelenggarakan Olimpiade Tokyo 2020 karena
hal ini dapat mengubah citra Jepang dalam dunia internasional. Olimpiade Tokyo 2020 diharapkan
dapat menunjukan bahwa “Jepang adalah negara yang baru dan modern”. Para ahli telah melihat dari
sejarah bahwa penyelenggaraan olimpiade dapat menjadi alat bagi negara untuk memperbaiki citra
baik negara dan memudahkan negara dalam berdiplomasi. Seperti, Olimpiade Jepang pada tahun 1964
yang merupakan penyelenggaraan olimpiade pertama di negaranya dengan menghabiskan dana
sebesar $3 miliar. Melalui olimpiade ini, Jepang ingin menunjukan kesuksesannya dan bangkit dari
kekalahan Perang Dunia II serta memperlihatkan modernisasi infrastruktur Jepang. Prof. Anderson
menyatakan bahwa alasan Jepang bersikeras menyelenggarakan olimpiade adalah:

"Japan has seen economic stagnation for a long time, there has been the tsunami and
the nuclear disaster of Fukushima, so the Games would been as symbolic of a revival
of Japan."

3. Pengalaman yang Berbeda dalam Penanganan Pandemi

7
Middle-East Respiratory Syndrome (MERS) merupakan wabah yang muncul pertama kali di
Timur Tengah pada tahun 2012, virus ini menular di antara manusia melalui droplet. Di Korea
Selatan, virus MERS pertama kali ditemukan pada tahun 2015 melalui seorang warga negaranya yang
baru saja kembali dari Bahrain. Tidak lama setelah itu, Korea Selatan menjadi negara kedua dengan
kasus MERS terbanyak setelah Arab Saudi. Melihat banyaknya warga negara Korea Selatan yang
terinfeksi virus MERS, membuat Korea Selatan kehilangan banyak wisatawan mancanegara sehingga
Korea Selatan mengalami kerugian ekonomi sebesar $8,7 miliar. Kebijakan yang belum disesuaikan
untuk menghentikan penyebaran virus MERS, seperti karantina mandiri dan tidak adanya respons
yang cepat, menjadi alasan dibalik parahnya penyebaran virus MERS di Korea Selatan.

Berbeda dengan di Jepang, tingkat kasus terinfeksi virus MERS tergolong rendah sehingga
memberikan dampak yang kurang signifikan. Virus MERS yang pertama kali ditularkan oleh unta,
membuat Jepang segera memeriksa unta di negaranya. Hasil menunjukan bahwa tidak ditemukan
virus MERS atau materi genetik di dalam tubuh unta Jepang. Secara garis besar, Jepang memiliki
sistem pencegahan yang baik. Pemerintah melakukan pemberlakuan karantina serta mengembangkan
alat pendeteksi virus MERS dalam 30 menit. Hal ini membuat kasus penularan MERS di Jepang
cenderung rendah sehingga tidak terlalu berdampak bagi Jepang secara keseluruhan, baik dalam segi
ekonomi maupun sosial.

Belajar dari pengalaman menangani virus MERS, setelah mendeteksi SARS di negaranya
Korea Selatan berespon cepat dengan melakukan mitigasi awal, seperti 3T (Tracing, Testing and
Treat), untuk mendeteksi orang dengan SARS . Pemerintah melakukan tes secepat dan sebanyak
mungkin terhadap warga negaranya serta mengidentifikasi orang-orang yang mungkin pernah
melakukan kontak langsung dengan pasien positif SARS . Setelah melakukan tes dan pendeteksian
kepada seluruh masyarakat, pemerintah kemudian menegaskan kepada orang yang telah terinfeksi
maupun orang yang berpotensi terpapar untuk melakukan isolasi mandiri. Dengan pengecekan cepat,
Korea Selatan berhasil melakukan tes SARS dengan jumlah yang paling banyak di dunia. Hal ini
membuat penyebaran virus menjadi lebih lambat karena setelah pengecekan, masyarakat langsung
melakukan isolasi mandiri. Pemerintah juga memberlakukan kebijakan pembatasan sosial untuk
mencegah resiko penyebaran yang tinggi. Namun, untuk menghindari resesi, masyarakat Korea
Selatan tetap menjalankan aktivitas seperti biasa dengan mematuhi protokol kesehatan dan
pembatasan pekerja.

Lain halnya dengan Jepang yang kurang siap dalam menangani kehadiran SARS di
negaranya. Pemerintah tidak memiliki sikap yang tegas untuk menangani SARS karena mereka
percaya bahwa kesadaran masyarakat akan membuat pandemi SARS akan segera berlalu. Kebijakan
yang ditetapkan belum disesuaikan dengan keadaan pandemi, seluruh kegiatan masyarakat masih
berjalan seperti kehidupan normal. Seperti, mekanisme hukum yang kurang memperhatikan
pembatasan sosial membuat penyebaran SARS di Jepang menjadi semakin parah. Hal ini
menyebabkan kasus positif SARS terus melonjak dan tingkat kematian mencapai 11.000 orang pada
gelombang pertama. Selain itu, pemerintah yang kurang memprioritaskan permasalahan pandemi
membuat Jepang gagal dalam menangani penyebaran SARS .

Perbedaan pengalaman di antara kedua negara memberikan dampak yang cukup besar dalam
upaya penanganan SARS masing-masing negara. Korea Selatan yang sebelumnya pernah menangani

8
kasus serupa dengan SARS menjadi tonggak keberhasilan mereka dalam membasmi SARS hanya
dalam dua bulan. Pengalaman traumatis masa lalu mendorong Korea Selatan untuk bersikap cepat
tanggap agar kejadian serupa tidak terulang kembali. Berbagai dampak dari virus MERS yang telah
dihadapi oleh Korea Selatan memberikan pelajaran bagi pemerintah maupun warga negaranya.
Dengan mengingat kondisi masa lalu, Korea Selatan terdorong untuk mengevaluasi dan merevisi
hukumnya agar tidak terjadi kesalahan yang sama dan berujung pada kerugian-kerugian di berbagai
aspek, terutama aspek perekonomian.

Sedangkan Jepang yang belum pernah memiliki pengalaman kritis seperti Korea Selatan
ketika menghadapi MERS, mengakibatkan Jepang kurang memiliki persiapan dalam menangani
pandemi SARS . Pemerintahan Jepang juga memiliki sikap “groundless optimism”, dimana menurut
mereka pandemi SARS akan terjadi dan berakhir dengan sendirinya. Optimisme belaka ini terlihat
dari peristiwa Pearl Harbour dan Fukushima. Jepang tetap menyatakan perang ke Amerika Serikat
ketika Jepang tidak memiliki strategi yang jelas dan tidak memiliki kemungkinan untuk menang.
Optimisme belaka ini juga tampak pada kejadian Fukushima bahwa adanya persepsi teknologi dan
keamanan nuklir Jepang tidak akan gagal. “The myth of absolute safety,” seperti itulah kebijakan
nuklir di Jepang pada saat itu dimana kebijakannya tidak memperhitungkan dampak paling buruk. Hal
serupa juga terjadi ketika pandemi SARS menyerang negaranya, pemerintah tidak memiliki strategi
yang baik dan tepat sehingga kesulitan dalam menghadapi pandemi.

4. Digitalisasi Masyarakat yang Berbeda

Pada saat adanya pandemi SARS , Korea Selatan secara adaptif mengubah budaya kerja
(work culture) dari bekerja dari kantor(work from office) menjadi bekerja dari rumah (work from
home). Sekitar 99.7% rumah di Korea Selatan telah memiliki akses internet yang baik. Selain itu, KEF
(Korea Employers Federation) melakukan survei dengan beberapa perusahaan teratas di negaranya
dan menyatakan bahwa mayoritas perusahaan di Korea Selatan telah beradaptasi dengan baik
terhadap berbagai kebijakan SARS . Sebanyak 88% perusahaan di Korea Selatan mampu menerapkan
kebijakan work from home secara penuh maupun hybrid. Jika terpaksa harus pergi ke kantor,
perusahaan juga telah membatasi jumlah dan jam kerja karyawan yang bekerja di kantor untuk
meminimalisir kontak fisik. Selain itu, 53% perusahaan yang masih menerapkan sistem hybrid
menyatakan bahwa mereka akan berusaha untuk menyempurnakan sistem kerja ini bahkan setelah
pandemi berakhir. Berbagai perusahaan IT di Korea Selatan, seperti Kakao Corp dan Naver Corp juga
mempertimbangkan untuk menerapkan work from home selamanya.

Berbanding terbalik dengan situasi kerja di Korea Selatan, perusahaan Jepang, terutama di
sektor industri, tidak dapat menerapkan kebijakan work from home. Menurut hasil survei yang
dilakukan awal Maret 2020, sekitar 71% pekerja mengatakan belum mampu dan tidak menganjurkan
penerapan work from home. Selama ini, perusahaan Jepang selalu menerapkan sistem pekerjaan yang
berbasis kertas (paper-based society) dan memiliki face to face work culture. Dengan sistem ini,
pekerja harus datang ke tempat mereka bekerja dan melakukan kontak fisik dengan pekerjaan mereka.
Shino Naito menyatakan “Traditionally, Japanese companies have considered ‘work’ to be something
that only happened when their employees were physically in the building and that workers should put
in long hours and lots of overtime”. Pernyataan Shino Naito ini menunjukan kenyataan tradisi

9
masyarakat Jepang yang sudah melekat sangat lama sehingga pekerja perusahaan di Jepang sangat
sulit untuk melakukan kerja jarak jauh.

Gambar 3. Grafik jumlah persen rakyat Jepang bekerja jarak jauh pada masa pandemi SARS

umber : Nikkei Asia

Berdasarkan gambar di atas, dapat dilihat bahwa hingga bulan Januari 2021, teleworking atau
work from home di Jepang masih sangat rendah dibandingkan dengan pekerja yang masih bekerja
secara tatap muka. Hal ini disebabkan oleh beberapa perusahaan di Jepang yang masih bergantung
pada teknologi analog, seperti ketergantungan pada mesin fax dan mesin fotokopi. Begitu juga dengan
sistem kerja perusahaan, dimana para pekerja masih menggunakan stempel perusahaan (hanko) untuk
memberikan validitas pada dokumen resmi mereka dibanding penggunaan tanda tangan elektronik.
Selain itu, seperempat dari populasi Jepang berusia 65 ke atas sehingga banyak pekerja yang bekerja
pada kisaran usia tersebut dan mereka sering disebut sebagai tech illiterate. Salah satu contohnya
adalah Menteri Cybersecurity Jepang yang berumur 68 tahun, beliau mengaku bahwa Ia tidak pernah
menggunakan komputer. Hal ini menunjukan kurangnya digitalisasi pada masyarakat Jepang yang
membuat Jepang sulit untuk menerapkan kebijakan work from home.

Sekitar 80% perusahaan di Jepang tidak memiliki fasilitas yang memadai untuk menerapkan
kebijakan work from home. Akibatnya, ketika Jepang sedang berada dalam kondisi kritis pandemi
SARS , hanya sekitar 20% perusahaan Jepang yang dapat menerapkan kebijakan work from home.
Seperti yang disampaikan oleh Gubernur Tokyo, Yuriko Koike, bahwa masih banyaknya perusahaan
yang menerapkan sistem work from office di Jepang menyebabkan klaster baru penularan SARS dan
peningkatan kasus secara signifikan. NCRH telah mendeteksi bahwa virus ini menyebar dari tempat
kerja yang memiliki ventilasi buruk dan protokol kesehatan yang masih longgar.

Kesimpulan

Korea Selatan dan Jepang memiliki sistem pemerintahan yang sama yaitu demokrasi, kondisi
perekonomian kedua negara juga tidak jauh berbeda. Namun, terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan kedua negara ini memiliki kemampuan yang berbeda dalam menangani SARS . Dengan
menggunakan metode perbandingan politik, studi ini menemukan empat faktor pembeda keberhasilan
negara Korea Selatan menangani pandemi SARS dibandingkan Jepang. Faktor pertama yang
menyebabkan perbedaan ini yaitu perbedaan kebijakan untuk mendeteksi orang yang terpapar SARS
dan penanganannya. Perbedaan tersebut ditunjukan dengan kebijakan Korea Selatan yang sangat tegas
dan agresif sehingga masyarakatnya patuh dan taat terhadap kebijakan yang diterapkan. Selain itu,
Korea Selatan juga dengan cekatan mendeteksi seluruh warga negaranya dengan 3T (Tracing, Testing
and Treat) dan menyediakan layanan yang memadai bagi warga yang sedang menjalankan karantina.
Berbeda dengan kebijakan yang diterapkan oleh Jepang, kebijakan yang kurang tegas dan hanya
melakukan pengetesan pada masyarakat yang mengalami gejala, membuat pemerintah Jepang dinilai
lamban dalam menangani SARS .

10
Faktor pembeda kedua yaitu perbedaan prioritas pemerintah yang terkait dengan orientasi di
sektor ekonomi. Presiden Korea Selatan dan masyarakatnya sudah memiliki keinginan yang tinggi
untuk memberantas SARS di negaranya. Masyarakat menekan pemerintah karena mereka pernah
merasakan kekuasaan yang otoriter sehingga masyarakat ingin pemerintahan Moon Jae In secara tegas
dan cepat dapat mengendalikan SARS . Sangat berbeda dengan Jepang yang hanya memfokuskan
perekonomian negaranya melalui kebijakan abenomics. Pemerintah Jepang berhasil keluar dari resesi
ekonomi yang disebabkan oleh pandemi SARS karena salah satu partai terbesarnya yaitu Liberal
Democratic Party (LDP) menerima donasi dari Japan Business Federation (Keidanren). Donasi ini
digunakan oleh pemerintah Jepang untuk mengelola stimulus perekonomian negaranya sehingga
mampu menangkal resesi. Dapat dikatakan bahwa fokus utama Korea Selatan adalah kesehatan
masyarakat, sedangkan Jepang adalah perekonomian negara. Meskipun keduanya untuk kebaikan
negara, namun SARS merupakan pandemi yang seharusnya dijadikan sebagai prioritas utama agar
cepat berlalu dan dapat mengembalikan perekonomian negara-negara.

Faktor berikutnya yaitu perbedaan pengalaman yang mempengaruhi kesiapan dan respon
cepat penanganan pandemi SARS . Korea Selatan yang pernah mengalami MERS memiliki institusi
yang lebih mampu menangani pandemi SARS dengan baik. Hal ini ditimbulkan karena adanya krisis
yang menyebabkan keterpurukan bagi pemerintah dan masyarakat Korea Selatan. Selain itu, Korea
Selatan juga lebih siap dalam hal kebijakan negara hingga teknologi karena evaluasi dari pengalaman
masa lalu. Sedangkan Jepang tidak merasakan dampak yang terlalu besar karena rendahnya kasus
MERS di Jepang serta Jepang telah mampu menciptakan mesin pendeteksi MERS dengan cepat
sehingga penyebarannya tidak terlalu luas. Selain itu, pemerintah juga berpikir bahwa pandemi ini
akan berakhir dengan sendirinya. Hal ini membuat Jepang sedikit lamban sehingga belum siap dalam
menangani SARS .

Terakhir, perbedaan digitalisasi dalam masyarakat yang membuat masyarakat Jepang tidak
dapat melakukan pekerjaannya di rumah atau work from home. Sebagian besar pekerja di Jepang
berusia lebih dari 65 tahun keatas yang sudah sulit mengakses dan beradaptasi dengan teknologi.
Selain itu, para pekerja di Jepang juga masih menganut sistem paper-based society sehingga mereka
kesulitan untuk mengikuti perkembangan teknologi. Mereka juga beranggapan bahwa bekerja di
kantor dan memiliki kontak langsung dengan produk lebih efektif dibandingkan work from home yang
menurut mereka lebih sulit untuk diterapkan. Berbeda dengan Korea Selatan yang masyarakatnya
dapat dengan mudah beradaptasi dengan kemajuan teknologi yang mereka miliki. Meskipun belum
sepenuhnya melakukan work from home, 88% masyarakat telah melakukan penerapan kerja jarak
jauh, sisanya tidak dapat melakukan work from home karena terpaksa harus memiliki kontak langsung
dengan pekerjaannya. Namun, beberapa perusahaan di Korea Selatan sudah berusaha meminimalisir
work from office dan ada juga beberapa perusahaan yang akan menerapkan work from home
selamanya.

A. Definis Peran Advokasi Perawat


Nelson dalam Blais et al (2012) menjelaskan tujuan utama dari advokat
pasien adalah melindungi hak-hak pasien. Peran advokat pasien memiliki tiga

11
komponen utama, yaitu sebagai pelindung, mediator, dan pelaku tindakan atas
nama pasien. Dari ketiga komponen utama peran perawat sebagai advokat, maka
dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Sebagai pelindung, peran yang dilakukan perawat memiliki tujuan utama

yaitu untuk membantu pasien dalam membuat keputusan. Peran perawat dalam
hal ini ditekankan untuk menyerahkan segala keputusan tentang perawatan yang
akan dijalankan oleh pasien kepada pasien itu sendiri, sesuai dengan nilai-nilai
yang dianut pasien. Tindakan perawat yang termasuk di dalamnya yaitu perawat
memberikan alternatif pilihan kepada pasien saat akan mengambil keputusan
tentang terapi yang akan diambil, menyediakan format persetujuan tindakan
penjelasan atas pemulangan dini pasien dari perawatan, serta memutuskan
dokter yang akan merawatnya.
b. Sebagai mediator, peran yang dilakukan perawat memiliki tujuan untuk
menjembatani komunikasi antara pasien dengan tim kesehatan lain di rumah
sakit. Tindakan perawat yang termasuk di dalamnya yaitu perawat menemani
pasien saat kunjungan dokter, menentukan menu diet bersama ahli gizi, dan
juga memberikan penjelasan kepada pasien mengenai pengobatan yang
diterimanya;
c. Sebagai pelaksana tindakan, peran yang dilakukan perawat memiliki tujuan
utama untuk melaksanakan asuhan keperawatan sesuai dengan yang
dibutuhkan pasien. Tindakan perawat yang termasuk didalamnya yaitu dengan
memberikan lingkungan yang sesuai dengan kondisi pasien, melindungi pasien
dari tindakan yang dapat merugikan pasien, dan memenuhi semua kebutuhan
pasien selama dalam perawatan.
d. Perannya sebagai advokat, perawat diharapkan mampu untuk bertanggung
jawab dalam membantu pasien dan keluarga menginterpretasikan informasi
dari berbagai pemberi pelayanan yang diperlukan untuk mengambil
persetujuan atas tindakan keperawatan yang diberikan kepadanya serta
mempertahankan dan melindungi hak–hak pasien. Hal ini harus dilakukan,
karena pasien yang sakit dan dirawat di rumah sakit akan berinteraksi dengan
banyak petugas kesehatan.

12
B. Penerapan Peran Advokasi Perawat dalam Kasus Keperawatan Kritis
Perawat yang berada di area keperawatan kritis memberikan pelayanan
secara langsung dan intensif kepada pasien yang berada pada kondisi kritis atau

mengancam jiwa yang berada pada ruang perawatan khusus (ruang intensif). Selain
memiliki keterampilan untuk melakukan kaji cepat terhadap perubahan kondisi
yang dapat berisiko mengancam jiwa pasien dan kemampuan untuk menggunakan
peralatan yang spesifik di ruangan kritis, perawat kritis juga diharapkan mampu
untuk bekerja sama dengan dokter dan anggota tim kesehatan lainnya maupun
keluarga pasien. Perawat kritis diharapkan harus kompeten secara fisik, mental,
dan emosional dalam bekerja menangani pasien yang berada dalam berada pada
kondisi yang tidak stabil sehingga membutuhkan peralatan untuk memonitor
jantung dan paru begitu juga dengan pengobatan lainnya. Perawat kritis yang ideal
mempunyai komunikasi interpersonal, jiwa kepemimpinan, perencanaan strategis,
berpikir kritis, dan pengambilan keputusan yang baik.
Perawat kritis diharapkan mampu berperan sebagai mediator, fasilitator yang
baik antara pasien, keluarga, maupun tim kesehatan lain. Perawat kritis bisa
membela hak dan nilai pasien dan keluarganya, mengkomunikasikan harapan dan
keinginan pasien dan keluarganya kepada anggota tim kesehatan lainnya begitu
pula sebaliknya. Contoh kasus penerapan peran advokasi perawat dalam kasus
keperawatan kritis yaitu sebagai berikut :
Peran perawat saat orientasi pasien dan keluarga masuk ke ruang ICU.
Perawat melakukan orientasi dan edukasi kepada keluarga pasien yang baru masuk.
Perawat memberikan informasi tentang jam berkunjung, dokter penanggungjawab
(DPJP), hak pasien dan keluarga, alur layanan, rencana terapi, perencanaan,
keperluan yang diperlukan oleh pasien, mengajarkan cuci tangan, pengenalan
peralatan dalam perawatan, dll. Perawat juga menjawab semua pertanyaan
keluarga/kakak pasien dan melakukan evaluasi terhadap tindakan yang dilakukan.
Perawat mengarahkan dan langsung menunjukkan ruangan atau alat, perlu untuk
diorientasian nama perawat, ruangan, waktu dan tempat apabila pasien berada
dalam kondisi kesadaran penuh (composmentis), penggunaan gelang identitas
harus ada dimulai saat pasien masuk ke rumah sakit. Kelompok sudah menjelaskan
dengan baik semua informasi saat orientasi dan melakukan edukasi pada keluarga

13
pasien yang masuk ke ruang

intensif.
Peran perawat saat edukasi pada pasien dan keluarga tentang penggunaan
peralatan hemodinamik di ICU. Perawat melakukan penjelasan tentang fungsi alat
ke pasien dan keluarga, penjelasan kondisi kepada keluarga, penjelasan oksimetri,
alat elektrokardiogram (EKG) dan interpretasinya, nadi, nilai normalnya, saturasi
oksigen dan perlunya untuk pemberian oksigen, pemantauan tekanan darah,
pernapasan, suhu tubuh dan ooordinasi dengan keluarga apabila akan diberikan
tindakan perawat memberikan inform consent untuk ditandatangani keluarga.
Peran perawat ketika advokasi kondisi pasien kritis saat ronde multidisiplin
tentang rencana perawatan pasien. Dalam kasus ronde multidisiplin ini perawat
hendaknya berfungsi sebagai penyelia, mediator, fasilitator antara pasien, keluarga,
dan tim kesehatan. Advokasi perawat dalam ronde multidisiplin adalah dimana
perawat dapat menyampaikan keinginan dan harapan keluarga, begitu pula
sebaliknya perawat dapat menjelaskan kondisi dan keputusan tim kesehatan saat
ronde. Perawat dapat memfasilitasi keluarga untuk pengambilan keputusan dalam
keluarga. Perawat diharapkan untuk tidak mengarahkan keluarga untuk mengambil
keputusan tertentu.
Peran perawat saat memberikan kabar tidak baik untuk keluarga pasien. Pada
situasi ini perawat memberikan edukasi kepada pada salah seorang anggota
keluarga yang dapat bertanggung jawab dan mengambil keputusan dalam situasi
yang kritis. Perawat dapat memfasilitasi keluarga untuk dapat mendampingi pasien
dalam fase terminal sehingga pasien dapat meninggal dengan bermartabat.
C. Landasan Hukum Penerapan Peran Advokasi Perawat
Untuk menjamin pelindungan terhadap masyarakat sebagai penerima
Pelayanan Keperawatan dan untuk menjamin pelindungan terhadap Perawat
sebagai pemberi pelayanan keperawatan, diperlukan pengaturan mengenai
keperawatan secara komprehensif yang diatur dalam undang-undang. Selain
sebagai kebutuhan hukum bagi perawat, pengaturan ini juga merupakan
pelaksanaan dari mutual recognition agreement mengenai pelayanan jasa
Keperawatan di kawasan Asia Tenggara. Ini memberikan peluang bagi perawat
warga negara asing masuk ke Indonesia dan perawat Indonesia bekerja di luar
negeri untuk ikut serta memberikan pelayanan kesehatan melalui Praktik

14
Keperawatan. Ini dilakukan sebagai pemenuhan kebutuhan Perawat tingkat dunia,
sehingga sistem keperawatan Indonesia dapat dikenal oleh negara tujuan dan
kondisi ini sekaligus merupakan bagian dari pencitraan dan dapat mengangkat
harkat martabat bangsa Indonesia di bidang kesehatan.
Atas dasar itu, maka dibentuk Undang-Undang tentang Keperawatan untuk
memberikan kepastian hukum dan pelindungan hukum serta untuk meningkatkan,
mengarahkan, dan menata berbagai perangkat hukum yang mengatur
penyelenggaraan Keperawatan dan Praktik Keperawatan yang bertanggung jawab,
akuntabel, bermutu, dan aman sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Undang-Undang ini memuat pengaturan mengenai jenis perawat,
pendidikan tinggi keperawatan, registrasi,

izin praktik, dan registrasi ulang, praktik keperawatan, hak dan kewajiban bagi
perawat dan klien, kelembagaan yang terkait dengan perawat (seperti organisasi
profesi, kolegium, dan konsil), pengembangan, pembinaan, dan pengawasan bagi
perawat, serta sanksi administratif. Latar belakang disahkannya UU Nomor 38
tahun 2014 tentang Keperawatan adalah :
1. Bahwa untuk memajukan kesejahteraan umum sebagai salah satu tujuan
nasional sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu diselenggarakan pembangunan
kesehatan;
2. Bahwa penyelenggaraan pembangunan kesehatan diwujudkan melalui
penyelenggaraan pelayanan kesehatan, termasuk pelayanan keperawatan;
3. Bahwa penyelenggaraan pelayanan keperawatan harus dilakukan secara
bertanggung jawab, akuntabel, bermutu, aman, dan terjangkau oleh perawat
yang memiliki kompetensi, kewenangan, etik, dan moral tinggi;
4. Bahwa mengenai keperawatan perlu diatur secara komprehensif dalam
Peraturan Perundang-undangan guna memberikan pelindungan dan kepastian
hukum kepada perawat dan masyarakat;
5. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang
Keperawatan;

15
Dasar hukum pengesahan UU Nomor 38 tahun 2014 tentang Keperawatan
adalah Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 28C Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

16
i

Anda mungkin juga menyukai