Anda di halaman 1dari 10

EVIDENCE BASED POLICY MAKING DALAM KONTEKS KEBIJAKAN ASKESKIN

Laksono Trisnantoro

Isi: - Pengantar - Bagian 1: Prinsip-prinsip Evidence Based Policy Making - Bagian 2: Sejarah kebijakan untuk askeskin - Bagian 3: Pembahasan dari perspektif Evidence Based Policy Making - Bagian 4: Perbandingan dengan Thailand - Penutup: Diskusi tentang analisis stakeholder untuk prospek penggunaan Evidence Based Medicine di program askeskin. Pengantar Pengambilan Keputusan untuk kebijakan di sektor kesehatan masyarakat merupakan hal yang sudah beratus tahun dilakukan di berbagai negara. Keputusan yang diambil dapat tepat ataupun tidak tepat, atau sama sekali salah. Di berbagai negara, proses keputusan kebijakan di sektor kesehatan diusahakan dilakukan berdasarkan kajian bukti yang tepat (evidence based policy making). Dalam hal ini berlaku prinsip-prinsip translational research, dimana hasil penelitian dipergunakan sebagai dasar untuk pengambilan kebijakan di sektor kesehatan masyarakat. Sementara itu di berbagai negara lain, keputusan dilakukan sebaliknya, tidak berdasarkan kajian atau lebih merupakan keputusan berdasarkan tekanan politik atau naluri belaka. Pengambilan kebijakan di Indonesia menunjukkan gejala yang belum memberikan tempat bagi evidence based policy making. Contoh paling mencolok adalah kebijakan mengenai jaminan kesehatan untuk keluarga miskin. Kebijakan mengenai jaminan keluarga miskin sudah di mulai sejak adanya program Dana Sehat di tahun 1980an sampai dengan sistem askeskin di tahun 2000an. Sampai sekarang, sistem jaminan askeskin masih belum jelas dan belum banyak penelitian yang menjadi dasar keputusan. Keadaan ekstrim terjadi pada tahun 2008. Terjadi keputusan yang menarik: Program askeskin tidak lagi menggunakan mekanisme asuransi. Pada tahun 2006 dan 2007, program dilakukan melalui PT Askes Indonesia. Namun di awal tahun ini Departemen Kesehatan memutuskan bahwa program dilakukan melalui mekanisme langsung. Dana dari Departemen Kesehatan langsung dikirim ke rumahsakit, tanpa melalui PT Askes Indonesia. Kebijakan ini menyerupai model di masa 4-5 tahun yang lalu, dimana Departemen Kesehatan menggunakan Paket Pelayanan Esensial (PPE) untuk pembayaran bagi rumahsakit. Dengan demikian dalam waktu 5 tahun, terjadi perubahan yang menarik. Dari model PPE, pindah ke PT Askes Indonesia dan kembali ke model yang lama, dengan menggunakan DRG-INA. Apakah benar kebijakan ini tidak memberikan tempat bagi evidence based policy making? Makalah ini berusaha membahas kebijakan askeskin ini dari perspektif evidence based policy making. Pembahasan dimulai dari pemahaman mengenai Evidence Based Policy Making, yang akan dipergunakan untuk menganalisis sejarah kebijakan jaminan kesehatan bagi keluarga miskin. Selanjutnya, perbandingan dengan negara tetangga, Thailand, akan dibahas. Perbandingan ini dilakukan sebagai salah satu bahan untuk memproyeksikan mada depan penggunaan Evidence Based Policy Making dalam program askeskin, dan peran perguruan tinggi di dalamnya. Bagian 1: Prinsip-prinsip Evidence Based Policy Making Apa persamaan dan perbedaan antara Evidence Based Medicine (EBM) dan Evidence Based Policy-Making (EBP)? Sackett dkk1 mendefinisikan EBM sebagai: the conscientious, explicit, and judicious use of current best evidence in making decisions about the case of individual patient. Untuk EBP, Cookson2 memberikan definisi yang serupa, namun berfokus pada keputusan public tentang kelompok atau masyarakat, bukan sebuah keputusan tentang individu pasien. Lebih lanjut Cookson menggambarkan hubungan antara Bukti ilmiah dengan keputusan (Lihat Diagram di bawah).

Diagram 1. Evidence Based Policy Making Sumber: Cookson, 2005 Diagram ini menggambarkan sebuah kondisi dimana keputusan berupa kebijakan public dapat dipengaruhi oleh berbagai hal yaitu (1) kepercayaan; (2) nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat; dan (3) berbagai hal lain seperti aspek politik, ekonomi, hukum, dan etik. Peran bukti ilmiah adalah mempengaruhi kepercayaan pengambil keputusan tentang hal yang harus ditetapkan. Akan tetapi kepercayaan ini dipengaruhi pula oleh pengalaman, bukti anekdot, ataupun opini yang didengar dan dibaca oleh pengambil kebijakan. Apabila tidak ada bukti ilmiah, dapat dipahami bahwa pengambilan keputusan dipengaruhi oleh kepercayaan yang berasal dari opini misalnya. Situasi pengambilan keputusan Berdasarkan konsep EBP saat ini ada dua golongan besar pengambilan keputusan: (1) pengambilan keputusan dilakukan tanpa tersedianya dukungan bukti ilmiah; (2) pengambilan keputusan dilakukan dalam situasi tersedianya dukungan bukti ilmiah. Situasi A: Tidak Ada bukti Ilmiah.

Situasi A menunjukkan bahwa sebenarnya pengambil keputusan mau tidak mau harus menetapkan kebijakan walaupun belum ada bukti ilmiah. Keputusan didasarkan pada kepercayaan yang bersumber dari pengalaman, bukti anekdot, atau bahkan opini belaka, dalam kombinasi dengan nilainilai dan hambatan dalam melakukan keputusan. Situasi B: Ada bukti Ilmiah. Pada situasi ini ada bukti ilmiah yang sebenarnya dapat dipergunakan sebagai dasar untuk mengambil kebijakan seperti yang tergambar di Diagram di bawah.

Dalam situasi B ini ada beberapa kemungkinan: B1. Ada Bukti Ilmiah dari riset dasar dan klinik, dan proses Evidence Based Policy dilakukan. Contoh adalah: - Program TB DOTS - Program IMCI B2. Ada Bukti Ilmiah dari Riset Dasar namun Proses Evidence based Policy tidak berjalan, misalnya: - Kebijakan penyemprotan DHF (fogging) - Pembelian test diagnostic AIDS melalui saliva oleh Pemda DKI - Pemberian makanan tambahan - Kebijakan obat-obat kanker - Kebijakan Obat AIDS. Mengapa ada kelompok B2? Pada situasi ini, pengambil keputusan dipengaruhi oleh factor-faktor lain yang lebih kuat dibanding bukti ilmiah. Faktor-faktor ini dapat mengalahkan kepercayaan yang didukung oleh bukti ilmiah. Berbagai hambatan yang dapat terjadi adalah: Hambatan Politik (termasuk politik uang): Sebagai contoh adalah penyemprotan DHF. Kegiatan ini sudah terbukti tidak bermanfaat, namun masih dilakukan karena memang ada kepentingan politik dan ekonomi di dalamnya. Hambatan Ekonomi. Sebuah kebijakan yang didasari riset ilmiah mungkin tidak dapat dilakukan karena terlalu mahal kalau dilakukan. Contoh adalah terapi kanker dengan obat tertentu. Hambatan Hukum: misalnya kriminalisasi pengguna narkoba sehingga penelitian sulit berkembang. Hambatan dalam Etika misal Cloning. Bagian 2. Perkembangan Askeskin dipandang dari sejarah Sampai akhir abad XIX, pada dasarnya rumah sakit di Indonesia merupakan rumah sakit militer yang secara eksklusif ditujukan kepada anggota kesatuan militer dan pegawai VOC. Sementara itu, orang sipil yang berhak mendapat pelayanan rumah sakit hanya orang Eropa atau penduduk non-Eropa yang secara yuridis formal disamakan dengan orang Eropa. Hal ini berhubungan dengan kebijakan kesehatan penguasa pada waktu itu yang tidak mengindahkan penduduk pribumi. Apabila penduduk pribumi mendapat pelayanan kesehatan, hal itu hanya dilakukan sebagai bagian dari upaya melindungi kepentingan orang Eropa. Sebagai catatan, dimasa kolonial para dokter diperbolehkan melakukan praktek swasta 3. Dengan gaji pemerintah dan tambahan pendapatan dari praktek swasta, maka para dokter jaman Belanda adalah profesional yang relatif kaya, dan mempunyai gaya hidup kelas atas. Dapat dikatakan bahwa sejak jaman Belanda pengaruh pasar sudah tertanam pada dokter. Pada tahun 1934 Pemerintah Hindia Belanda mengatur mekanisme pembiayaan pelayanan kesehatan gaji pegawai pemerintah Hindia Belanda. Sistem yang dianut adalah restitusi (reimburstment). Landasan hukumnya adalah: (1) Staaats Regeling No.1 tahun 1934 yang menyatakan bahwa Peserta : hanya pegawai negeri sipil dengan status Eropah / disamakan; Pemberi pelayanan kesehatan adalah rumah sakit pemerintah. Paket santunan yang diberikan adalah pelayanan komprehensif ditanggung / gratis. (2) Staats Regeling No.110 Tahun 1938. Peserta adalah semua Pegawai Negeri Sipil dan anggota keluarganya. Pemberi Pelayanan Kesehatan adalah rumah sakit pemerintah. Paket santunan berupa pelayanan komprehensif yang ditanggung / gratis. (3) Staatblad No.104 tahun 1948 (Restitusi Regeling 1948) yang merupakan periode Revolusi dimana peserta adalah: Golongan berhak (derech hebbenden) yaitu Pegawai yang berhak dengan gaji kurang dari f.420/bln. Pemberi pelayanan adalah rumah sakit pemerintah. Paket santunan berupa pelayanan dasar merupakan pelayanan gratis. Rawat inap membutuhkan co payment 3% dari pokok. Golongan tidak berhak (de niet rech hebbeden)4 yaitu pegawai yang mempunyai gaji > f..420 / bln. Pemberi pelayanan kesehatan adalah rumah sakit pemerintah dengan pelayanan dasar gratis. Rumah sakit swasta harus melakukan reimbursement. Rawat inap : co payment 3% dari gaji pokok. Di masa pasca revolusi, praktis tidak ada pembangunan Sistem Kesehatan yang menganggap pelayanan kesehatan sebagai public goods. Setelah kemerdekaan, kepemilikan rumah sakit banyak berubah. Berbagai rumah sakit militer, keagamaan, dan pemerintah kolonial Belanda berubah menjadi rumah sakit militer milik TNI, pemerintah daerah, atau pemerintah pusat. Sebagai gambaran, di Jawa Tengah ada sembilan rumah sakit zending yang berubah menjadi rumah sakit daerah yaitu di Blora, Purwodadi, Surakarta (Jebres), Magelang (Tidar), Purworejo, Kebumen, Purwokerto, Purbalingga (Trenggiling), dan Wonosobo5.

Periode perpindahan kepemilikan dari lembaga keagamaan Kristen menjadi milik pemerintah merupakan masa penurunan subsidi yang berasal dari luar negeri. Sementara itu, subsidi dalam negeri sangat rendah dan tidak berkesinambungan. Walaupun terdapat UU No. 18 tahun 1953 tentang Merawat Orang-Keluarga miskin dan Orang-Orang Yang Kurang Mampu serta UU No. 48 tahun 1953 yang menjadi dasar hukum tentang penunjukan rumah sakit-rumah sakit swasta yang merawat keluarga miskin dan orang-orang kurang mampu, tetapi kedua UU ini tidak jelas pelaksanaannya. Perkembangan kebijakan asuransi kesehatan Setelah Indonesia merdeka aturan jaman pemerintah Hindia Belanda berlaku terus bagi pegawai negeri, dimana anggaran biaya pelayanan kesehatan ini dibebankan pada anggaran pemerintah dalam hal ini masuk pada anggaran Departemen Kesehatan. Sistem yang dianut adalah restitusi. Dasar hukum : Restitusi Regeling 1948. Peserta adalah golongan berhak yaitu pegawai yang gajinya < Rp.850,-/bulan. Pemberi pelayanan kesehatan adalah rumahsakit pemerintah dan swasta. Paket santunan: Pelayanan dasar bila dilakukan di rumahsakit pemerintah akan gratis. Sedangkan bila RS swasta akan ada reimbursement. Rawat inap mempunyai co payment 3% dari gaji pokok. Sistem restitusi dilakukan dengan skema: klaim dilakukan verifikasi oleh Inspektur Kesehatan (level propinsi). Berkas kemudian di bawa ke Kantor reimburtsment di Departemen Kesehatan untuk pengesahan 6. Selanjutnya klain akan dibawa ke Kas Negara untuk dibayarkan ke Departemen Kesehatan. Masalah yang timbul adalah: a. Kurang adanya rasa tanggung jawab dari peserta (moral hazards). b. Sering ditemukan penyelewengan (moral hazards). c. Kurang rasa keadilan. d. Tidak menanggung pelayanan kesehatan bagi pensiun. e. Memberatkan anggaran belanja pemerintah dan beban administrasi yang besar f. Reimbursement makan waktu yang lama sampai 1 3 tahun. Pada tahun 1960 di Jakarta dilakukan suatu pilot project dimana semua peserta tanpa memandang kepangkatan mendapatkan pelayanan yang sama. Pemberi Pelayanan Kesehatan yang dipergunakan adalah RS pemerintah dan RS swasta dengan ketentuan pelayanan pada RS pemerintah gratis, sedangkan pada RS swasta dengan ketentuan RS pemerintah gratis. Jika ada perawatan pada RS swasta maka biaya konsultasi dokter/bidan dibayar sendiri oleh peserta (out of pocket) sedangkan biaya obat dan perawatan akan diberi reimbursement. Tagihan klaim oleh PPK bukan oleh peserta. Masalah yang muncul dalam pelaksanaan Jakarta Pilot Project ini adalah: a. Tetap ditemukan banyak penyelewengan termasuk oleh PPK (moral hazards). b. Tetap ditemukan kekurangadilan. c. Tetap memberatkan anggaran belanja pemerintah. Periode BPDPK (1968 1984): Bersamaan dengan kebijakan pemerintah tentang sistem penggajian PNS melalui PGPS tahun 1968, maka pemerintah mengeluarkan peraturan baru tentang pembiayaan pelayanan kesehatan bagi PNS. Sistem yang dianut : asuransi. Landasan hukum : Kepres No.230 tahun 1968. Peserta : PNS, Pensiunan PNS dan ABRI beserta keluarganya. Besaran premi : a. Kepres No.122 / 1968 : 5% gaji pokok dan pensiunan pokok. b. Kepres No.36 / 1969 : 5% gaji pokok dan pensiunan pokok. c. Kepres No.22 / 1970 : 3,8% gaji pokok dan 5% pensiunan pokok. d. Kepres No.56 / 1974 : 2,75% gaji pokok dan 5% pensiunan pokok. e. Kepres No.7 / 1977 : 2% gaji pokok dan 5% pensiunan pokok. PPK yang dipergunakan adalah fasilitas kesehatan milik pemerintah dan beberapa RS swasta. Paket santunan bila dilakukan di RS pemerintah akan gratis sedangkan bila RS swasta dilakukan reimbursement. Sebagai penyelenggara dari program ini oleh Menteri Kesehatan dibentuk suatu Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK) di lingkungan departemen Kesehatan. Prof.dr. G. Siwabessy sebagai Menkes pada waktu itu mengharap bahwa program ini merupakan embrio lahirnya program asuransi kesehatan nasional (national health insurance). Namun program ini tidak diikuti oleh badan-badan lain. Dalam penyelenggaraan program ini juga ditemukan beberapa masalah sebagai berikut: a. Program kurang dikelola dengan baik, karena pegawai yang bertugas mempunyai tugaas rangkap dengan tugas pokoknya di Depkes. b. Masih ditemukan banyak penyelewengan, baik oleh PPK maupun oleh peserta (moral hazards).

c. Penggunaan pelayanan kesehatan menjadi tidak terkendali, sehingga pada tahun 1969/1970
mengalami defisit, sebulan mencapai Rp.450 juta dan pada waktu itu klaim PPK tidak dapat dibayar. Periode PHB (1984 1992): Menyadari akan masalah yang dihadapi pada masa BPDPK, maka pemerintah menetapkan PP No.22 tahun 1984 tanggal 30 Agustus 1984 tentang Pemeliharaan Kesehatan Bagi PNS, Penerima Pensiun dan anggota keluarganya, serta PP No.23 tahun 1984 tentang perubahan BPDPK menjadi bentuk perusaaan umum yaitu disebut Perum Husada Bakti (PHB). Bentuk penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan sama dengan pada masa BPDPK. Setelah berbentuk Perum memungkinkan pengelolaan secara profesional, karena tidak ada lagi perangkapan tugas dan statusnyapun menjadi jelas yaitu BUMN. Dengan bentuk Perum maka sifat, maksud dan tujuan juga sudah jelas sebagaimana diatur dalam Bab II Pasal 5 PP No.23 Tahun 1984. a. Sifat perusahaan: menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum dan sekaligus menumpuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. b. Maksud perusahaan : memelihara serta meningkatkan kesehatan peserta dan anggota keluarganya dengan jalan: Membantu kelancaran dalam pemberian kemudahan untuk memperoleh pengobatan yang cepat. Turut aktif melaksanakan dan menunjang pelaksaan kebijaksanaan program pemerintah di bidang peningkatan, pencegahan, penyembuhan dan pemeliharaan kesehatan. Melakukan pemupukan dana. c. Tujuan perusahaan : meningkatkan pelayanan pemeliharaan kesehatan bagi peserta dan anggota keluarganya. Periode PT (Persero) Asuransi Kesehatan (1992 sampai sekarang): Pemerintah menetapkan PP no.69 tahun 1991 tentang Pemeliharaan Kesehatan Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun, Veteran dan Perintis Kemerdekaan beserta anggota keluarganya sebagai peserta wajib dan pegawai BUMN, BUMD, badan usaha swasta dan badan-badan lainnya sebagai peserta sukarela. Dengan ditetapkannya peraturan pemerintah tersebut kepesertaan dibagi menjadi dua kelompok yaitu peserta wajib dan peserta sukarela. Untuk mendukung kegiatan tersebut pemerintah menetapkan PP No.6 tahun 1992 tentang perubahan dari bentuk Perum menjadi PT (Persero) yang disebut dengan PT (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia atau disingkat PT. (Persero) Askes. Dengan bentuk PT (Persero) ini dimungkinkan menjaring lebih banyak peserta sukarela diluar peserta wajib dan bergeraknya badan usaha ini juga semakin fleksibel. Karena adanya perubahan bentuk Perum menjadi Persero maka maksud dan tujuan perusahaan maka sifat , maksud dan tujuan perusahaan mengalami perubahan pula. Catatan mengenai kebijakan JPKM Pada penghujung Orde Baru banyak dikeluarkan peraturan mengenai Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat (JPKM). Dalam periode ini terjadi pertentangan antar berbagai pelaku khususnya antara pelaku asuransi kesehatan dengan pengelola Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM). Pertentangan tersebut terjadi akibat berbagai faktor; antara lain: (1) kurang fahamnya para pelaku terhadap persamaan dan perbedaan arti asuransi kesehatan dan jaminan kesehatan; (2) battle of turf untuk lahan kegiatan dalam sistem pembiayaan kesehatan antara DitJen Binkesmas dengan pelaku sistem asuransi kesehatan. Akibatnya pada periode kebijakan JPKM ini ada pengkaburan arti jaminan dan asuransi. Peraturan-peraturan mengenai JPKM berada pada level Keputusan Menteri Kesehatan karena memang merupakan kebijakan untuk DitJen Binkesmas. Akibatnya JPKM tidak memberikan efek luas terhadap masyarakat. JPKM praktis bekerja dengan menggunakan dana Departemen Kesehatan. Berbagai peneliti di bidang jaminan sosial telah mengingatkan Departemen Kesehatan mengenai kekeliruan konsepsual dengan meletakkan JPKM di Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat. JPKM seharusnya merupakan kebijakan pemerintah yang berada pada level UU atau PP yang mencakup urusan berbagai Departemen dan berbagai Direktorat Jendral di Departemen Kesehatan. Akan tetapi usulan ini dikesampingkan oleh Departemen Kesehatan. Hal yang menarik adalah Departemen Kesehatan c.q Direktorat PSM di BinKesmas saat itu menjadi pemberi ijin/regulator lembaga JPKM. Akibatnya terjadi apa yang disebut sebagai kegagalan sistem governance dalam sejarah perkembangan asuransi kesehatan dan jaminan sosial. Pihak regulator tidak mempunyai kemampuan melakukan fungsinya sehingga ada masalah fraud yang terjadi dan secara hukum kurang kuat. Adanya Bapel JPKM di daerah yang stafnya merupakan staf Dinas Kesehatan setempat membuat

governance sektor asuransi kesehatan dan jaminan menjadi tidak terkelola. Tidak jelas siapa pelaku usaha dan siapa pengatur (regulator) sistem asuransi kesehatan. Periode pasca Desentralisasi Periode ini ditandai dengan kebijakan yang menggunakan dana kompensasi BBM. Salahsatu hal penting adalah diundangkannya UU SJSN. Akan tetapi dalam suasana UU baru ini ada kebijakan pemerintah khusus mengenai jaminan pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat miskin yang dilakukan melalui PT Askes Indonesia. Dalam kebijakan pemerintah ini timbul masalah dimana ada konflik antara pusat dan daerah akibat berbagai faktor, termasuk komunikasi yang buruk. Konflik ini dibahas di Mahkamah Konstitusi dengan keputusan yang masih belum tegas. Komunikasi yang buruk antara pemerintah pusat dan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi menunjukkan bahwa belum dilakukan suatu pembinaan, pemberdayaan dan pelatihan yang sistematis untuk staf Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten/Kota agar mampu menjalankan urusannya dalam konteks desentralisasi. Keadaan ini merupakan hal yang terjadi hampir di seluruh aspek di sektor kesehatan 7. Kasus pengkajian UU SJSN di Mahkamah Agung timbul karena situasi saling curiga, komunikasi yang buruk mengenai masalah pembagian urusan. Di dalam kasus ini terkesan ada kompetisi mengenai pihak yang akan mengelola dana kompensasi yang ahirnya menimbulkan konflik. Program Askeskin Kepmenkes No 1241/Menkes/SK/XI/2004, 12 November 2004 yang menugaskan PT. Askes Persero dalam pengelolaan program pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat miskin merupakan sebuah produk hukum yang melibatkan pemerintah dengan BUMN sebagai lembaga usaha. Dipandang dari konsep sistem kesehatan perubahan mekanisme pengelolaan dana keluarga miskin ke PT. Askes Indonesia merupakan sebuah perubahan sistemik. Perubahan sistemik ini sebenarnya sulit dan membutuhkan waktu panjang. Dalam tipologi sistem kesehatan8 Indonesia berubah dari model subsidi langsung ke pelayanan pemerintah menjadi model melalui asuransi seperti yang terdapat pada gambar berikut ini.

Diagram 2. Perubahan di awal tahun 2005 Perkembangan di tahun 2006 dan 2007 Program Askeskin merupakan awal dari pelaksanaan SJSN. Masih banyak yang menjadi masalah. Dalam pelaksanaan Program Askeskin 2005- 2007, Gotawa dan Pardede (2007) 9 menyatakan secara prinsip ada berbagai hal yang sebenarnya perlu diperhatikan dalam pelaksanaan keluarga miskin: Pertama adalah kelompok Sasaran perlu dijamin untuk mencapai kepesertaan semesta. Data dan sistem informasi serta sistem identitas penduduk merupakan hal penting. Strategi untuk menjaring kepesertaan tidak perlu ada aturan baku, tergantung prioritas sasaran, namun perlu pentahapan. Pertimbangan manfaat; dana atau resiko sakit sangat penting untuk diperhatikan. Walaupun demikian adanya kelompok khusus yang secara politis perlu dimasukkan harus menjadi perhatian. Kedua, pernyataan mengenai manfaat perlu diberikan secara komprehensif, ruang lingkup yang jelas secara eksplisit dimana ada daftar positive atau negative yang jelas, dan diperlukan pentingnya proses atau prioritisasi dalam pengembangan paket manfaat, ketersediaan infra struktur pemberi layanan dan pemberian pelayanan dan kualitas. Disamping itu perlu diperhatikan kepesertaan informal; antara financial incentives vs subsidi pemerintah. Perlu pula diperhatikan bagaimana sinergisme dengan paket manfaat yang ada? Pengalaman askeskin menunjukkan berbagai hal yang tidak sesuai dengan harapan. Dalam hal kepesertaan, ada beberapa catatan (Gotawa dan Pardede 2007). Sistem informasi kependudukan

belum memegang peran penting untuk eligibilitas. Targeting masih merupakan kontroversi antara data pusat atau daerah dan implikasi biaya pada mereka yang berada di luar daftar. Comprehensiveness manfaat perlu diperhatikan dengan tersedianya pelayanan kesehatan di daerah. Dalam hal penyelenggaraan askeskin ada beberapa pengalaman dimana ada perbedaan antara Badan (pusat) dengan delegasi otoritas pada cabang tingkat lokal. Kemampuan adminstrative skills dan technical skills pada tingkat lokal yang masih belum memadai. Minimnya pengendalian biaya dan mutu (implementasi prasarat managed care), serta kurangnya estimasi dan proyeksi biaya sebagai bahan perencanaan kebijakan. Dalam pemberian pelayanan kesehatan belum adanya budaya baru pemberi layanan termasuk adanya insentif dan disinsentif untuk jaminan kesehatan, belum adanya kontrak kelembagaan untuk meningkatkan kepatuhan dan kontrak dokter agar individu dokter patuh terhadap standar yang disepakati dalam kontrak. Sementara itu pengendalian badan penyelenggara cenderung sulit dilakukan. Dalam hal mekanisme pembayaran PPK, pembayaran prospektif untuk menjamin efisiensi biaya seperti DRGs, per diem, budget, capitation, dan lain-lain sering sulit dipahami PPK. Belum ada standar pendapatan yang layak untuk PPK yang menjadi dasar penting untuk meningkatkan kepatuhan. Hal ini belum banyak dibahas. Perlunya kebutuhan untuk mencegah pelayanan yang tidak perlu (unnecessary service/ moral hazard) dan belum jelasnya negosiasi besaran biaya oleh PPK. Berbagai masalah tersebut dapat dipergunakan untuk menjelaskan hubungan antara Departemen Kesehatan dan PT Askes Indonesia yang mengalami periode sulit dan sering bertikai di media pada akhir 2007 dan awal 2008. Perkembangan di tahun 2008 Setelah mengalami perdebatan sengit, pada awal tahun 2008 sistem askeskin kembali ke model non-asuransi. Dana langsung mengalir dari DepKes ke RS daerah. Dengan demikian dana tidak melalui PT Askes Indonesia (Lihat Diagram).

Diagram 3. Perubahan di awal tahun 2008 Bagian 3. Pembahasan Perubahan kebijakan mengenai model pembayaran keluarga miskin ini menarik untuk dibahas dari aspek Evidence Based Policy. Sejak puluhan tahun, kebijakan berubah tanpa dasar riset ilmiah yang sudah terbukti sistemnya berjalan di Indonesia. Program JPKM di dekade 1990an berada dalam situasi yang berlayar sambil membangun kapal. Ada suatu daerah uji-coba di Klaten dengan dana dari USAID. Akan tetapi tidak banyak bukti yang dapat ditarik dari model jaminan kesehatan di Klaten. Demikian pula ketika ada periode Bapel JPKM. Tidak banyak studi yang dipergunakan untuk menguji kelayakannya. Ketika terjadi perubahan dari periode Bapel JPKM ke PT Askes Indonesia pada awal tahun 2005, sektor jaminan kesehatan di Indonesia merasa terkejut. Kebijakan Departemen Kesehatan yang berdasarkan Bapel JPKM dengan cepat diubah menjadi berdasarkan kerjasama dengan PT Askes Indonesia, tanpa ada studi yang bersifat sebagai pilot. Sebaliknya di tahun 2008 ketika program berubah, ternyata juga tidak menggunakan penelitian. Pada tahun 2008 terkesan perubahan dilakukan berdasarkan negosiasi. Secara keseluruhan, situasi yang ada dalam Evidence Based Policy untuk sistem jaminan adalah Situasi A dimana Tidak Ada bukti Ilmiah kuat yang dipergunakan sebagai dasar pengambilan keputusan.

Dapat disimpulkan bahwa sebenarnya kebijakan askeskin tidak mempunyai dasar penelitian atau pilot test. Terlihat bahwa penelitian memang belum dipergunakan dalam kebijakan askeskin. Pengalaman subyektif PMPKUGM sebagai lembaga peneliti dan kebijakan menyiratkan bahwa penelitian memang belum dipergunakan secara penuh dalam sejarah program askeskin. Pengalaman dalam pendiri PMPK dalam program Klaten pada awal dekade 1990an, tidak dipergunakan menjadi anggota tim lagi karena mempunyai pendapat yang berbeda. Pada saat kebijakan Bapel JPKM, tidak ada ruang untuk melakukan evaluasi independen terhadap efektifitas kebijakan. Sementara itu pada awal tahun 2005 ketika kebijakan askeskin dilakukan, usulan untuk mengembangkan suatu sistem detil berdasarkan governance yang perlu dicoba secara empirik dengan melibatkan berbagai stakeholder. Namun usulan ini ternyata tidak diperhatikan, dana kegiatan askeskin melalui PT Askes Indonesia berjalan tanpa ada sistem pilot dan evaluasi ilmiah. Perubahan kembali di tahun 2008, adalah kebijakan yang berada di luar jangkauan ilmu pengetahuan. Kebijakan tidak mempergunakan sistem asuransi merupakan negosiasi pragmatis. Apakah kebijakan askeskin merupakan cermin pengambilan keputusan di Indonesia? Mengapa Proses Evidence Based Policy Making tidak digunakan untuk askeskin di Indonesia? Apakah hal ini mencerminkan kebiasaan pemerintah dalam pengambilan keputusan. Berbagai negara di Asia mempunyai cara yang berbeda dalam menyikapi pengambilan keputusan public di bidang kesehatan. Sekelompok peneliti10 menyebutkan bahwa evidence sangat diperhatikan di berbagai negara, sementara negara lainnya tidak begitu memperhatikan. Salahsatu indikatornya adalah jumlah penelitian dan lembaga pengkaji kebijakan yang aktif. Indonesia termasuk negara yang belum banyak peneliti dan penelitian kebijakan dalam konteks Evidence Based Policy. Bagian 4. Perbandingan: Bagaimana keadaan di Thailand dalam program askeskin? Pengalaman di Thailand berbeda dengan di Indonesia. Sistem jaminan kesehatan bagi seluruh Thailand dikenal dengan nama sistem 30 Baht. Sistem ini berhasil dilaksanakan oleh mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra, walaupun masih mempunyai berbagai kekurangan. Berdasarkan buku dari salah satu penggagasnya 11, system ini tidak diciptakan melalui keputusan sesaat. Sistem 30 Baht berakar dari sebuah proyek yang disebut Ayyuddhaya Project di tahun 1989. Proyek ini merupakan kolaborasi antara pemerintah Thailand dan ahli-ahli dari Belgia. Proyek ini mempunyai 3 komponen utama yaitu: (1) reformasi pembiayaan; (2) reformasi pelayanan kesehatan; dan (3) reformasi pada hubungan masyarakat dengan pemberi pelayanan. Proyek yang berada di propinsi Ayyuddhaya ini dikembangkan terus. Dalam perjalanannya, proyek ini diperkuat oleh dua orang Doktor yaitu yaitu Dr. Viroj Tangcharoensathien dan Dr. Supasit Pannarunotai. Kedua orang ini menjadi motor akademik kegiatan ini. Perkembangan selanjutnya di tahun 1993 adalah bergabungnya para ekonom dari Fakultas Ekonomi di Universitas Thammasat dan Chullalongkorn, serta akademisi dari National Economic and Social Development Board. Pertemuan dan diskusi dilakukan berdasarkan pilot studi di provinsi Ayyuddaya. Pada tahun 1991 program ini dimulai di daerah Wat Indra. Prinsip utama dari eksperimen ini adalah mencoba mekanisme-mekanisme pembiayaan. Dengan persetujuan masyarakat, di daerah uji coba dilakukanpembayaran 70 Baht untuk segala keparahan penyakit dengan tindakan dan perawatannya. Dengan bantuan dari European Union di tahun 1995, program ini diperluas ke 6 propinsi. Pada tahun 2002, ketika UU Jaminan Kesehatan Nasional dilaksanakan, berbagai pengalaman dan ketrampilan dari berbagai pilot study membuat UU ini lebih mudah dilaksanakan. Program 30 Baht kemudian diadopsi oleh mantan PM Thaksin Shinawatra menjadi satu agenda politik yang

mempopulerkannya di masyarakat. Tanpa ada dukungan dari politisi puncak, maka program ini sulit untuk menjadi kebijakan nasional. Dalam pengembangan sistem universal ini, pemerintah dan universitas di Thailand melakukan berbagai kerjasama dengan pusat-pusat pengembangan ilmu, antara lain dari London School of Hygiene and Tropical Medicine, Institute of Tropical Medicine in Antwerp, dan dari Harvard University. Secara singkat cerita sukses dari Thailand ini bersumber dari segitiga kekuatan yaitu: (1) penggunaan ilmu pengetahuan untuk mengatasi masalah; (2) minat dan semangat masyarakat untuk membuat gerakan sosial agar masalah pelayanan kesehatan untuk semua dapat diperhatikan; dan (3) dukungan politik di dalam arena legislatif untuk menyelesaikan masalah. Dalam konteks Evidence Based Policy, program 30Baht dengan jelas telah menggunakan berbagai bukti ilmiah yang dapat dipertanggung-jawabkan. Program 30Baht bukanlah keputusan sesaat. Penutup: Pertanyaan untuk Diskusi. Masa depan kebijakan askeskin di Indonesia: Apakah Evidence Based Policy Making akan dipergunakan ataukah semakin tidak digunakan? Setelah mengalami proses 20 tahun terakhir yang tidak menggembirakan, pertanyaan pentingnya adalah bagaimana prospek masa depan kebijakan askeskin terkait dengan Evidence Based Policy? Sebagai catatan: peranan ilmu pengetahuan dalam pengembangan system jaminan kesehatan masih belum dimanfaatkan secara maksimal. Unit-unit riset di perguruan tinggi Indonesia terbukti tidak terlalu banyak dilibatkan. Tidak tercatat suatu proyek pilot yang konsisten dilakukan untuk mendukung kebijakan. Untuk menjawab pertanyaan ini perlu melakukan analisis Stakeholders. Sebagaimana sistem jaminan kesehatan di seluruh dunia, banyak stakeholders yang terlibat. Hal ini tidak mengherankan karena kebijakan ini merupakan salahsatu dari modal politik di sebuah negara demokrasi, serta melibatkan dana yang besar. Tabel berikut menunjukkan pola analisis stakeholder yang ada. Pada makalah ini, masih kosong karena memang belum dilakukan penelitian. Diharapkan para peserta seminar dapat mengisiya. Keinginan untuk melakukan Evidence Based Policy Making dalam menetapkan kebijakan askeskin. Siapa Stakeholdernya? Pemerintah: Departemen Kesehatan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, Menko Kesra, Bappenas, Pemerintah Daerah Perguruan Tinggi ...... Masyarakat: Lembaga Swadaya Masyarakat, Ikatan Profesi, Asosiasi-asosiasi: ARSADA, PERSI, dll Partai politik. ............ Swasta/Usaha: Rumahsakit Pemerintah, Rumahsakit Swasta, Perguruan Tinggi: ............. Donor asing: Bank Dunia, ADB, AusAid, GTZ, ... Dimana letak dukungan mereka?

Referensi

1. Sackett DL, Rosenberg WMC, Muir Gray JA, Haynes RB, Richardson WS. Evidence-based
medicine: what it is and what it isnt. BMJ 1996: 312:71-2 2. Cookson R. Evidence-based policy making in health care: what it is and what it isnt. Journal of Health Service Research Policy. Vol 10 No 2 April 2005. 3. Data mengenai praktek pribadi ini dapat dilihat dari berbagai biografi para dokter di masa kolonial Belanda. Di samping itu berbagai bukti menunjukkan bahwa dokter di masa colonial Belanda merupakan kelompok elite di masyarakat dalam hal ilmu dan kekalyaan. 4. Guadiz-Padmohoedojo. L. 1995. Historical Development. PT Askes Indonesia. 2nd Edition 5. Trisnantoro, L. & Zebua. 2000.Penelitian Mengenai Sejarah Ekonomi RS Bethesda.Mimeo. 6. Guadiz-Padmohoedojo. L. 1995. Historical Development. PT Askes Indonesia. 2nd Edition 7. Kesimpulan ini didapat sebagai hasil pengamatan 4 tahun desentralisasi kesehatan di Indonesia yang dirumuskan di seminar nasional di Makassar, Juni, 2005. 8. Ravi Annand Ilya. 2005. Comparative Health System in Asia Pacific. Equitap 9. Gotawa dan Pardede: Situasi Askeskin saat ini. Seminar 7 Tahun kebijakan desentralisasi di sektor kesehatan. Denpasar. 2007 10. Healy J, Maxwell J, Phua KH, Lin V. Responding to Request for Information on Health System from Policy Maker in Asian Countries. Alliance for Health. 2007. 11. Nitayarumphong Sanguan. Struggling Along the Path to Unversal Health Care for All. Thai National Health Security Office (NHSO). 2006.

Anda mungkin juga menyukai