Anda di halaman 1dari 6

Analisa Bahaya Perubahan Iklim (Studi Kasus Pulau Lombok, 

NTB)

Iklim merupakan rata – rata kejadian cuaca disuatu daerah yang luas dalam
waktu lama yang menurut World Meteorology Organization (WMO) badan PBB
yang mengurusi bidang pengkajian iklim, rentang waktu klimatologis adalah 30
tahun. Kajian tentang iklim di dunia saat ini lebih banyak membahas tentang isu
perubahan iklim. Penelaahan tentang perubahan iklim sendiri biasa dilihat dengan
mengkaji data historis iklim 30 tahun terakhir, identifikasi ini dilakukan dengan
melihat perubahan dari nilai rerata atau variansi atau kombinasi keduanya. Namun
demikian kajian semacam ini  masih termasuk dalam pengkajian variabilitas
iklim. Kecenderungan (pola) perubahan dari nilai rerata atau variansi untuk mengkaji
perubahan iklim saat ini setidaknya diperlukan data historis selama 60 tahun
kebelakang (Kajian Risiko dan Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim Pulau Lombok
Provinsi Nusa Tenggara Barat : Analisis dan Proyeksi Curah Hujan dan temperatur)

Gambar 1. Identifikasi perubahan iklim secara statistik dari (a)perubahan nilai rerata
(mean), (b)perubahan variansi, dan (c)perubahan nilai rerata dan variansi.
Sumbu vertikal menyatakan peluang dan sumbu horizontal menyatakan nilai
parameter (iklim). (Diadaptasi dari Meehl, 2000 dala assets.wwfid.panda.org/…/
analisis_dan_proyeksi_curah_hujan_dan_temperatur. pdf).
  Perbincangan tentang perubahan iklim di dunia telah sampai pada batasan
yang sangat luas. Batasan ini tidak hanya terfokus pada satu sektor atau bidang 
kehidupan manusia. Bidang – bidang yang sangat dipengaruhi iklim ini pun sangat
mempengaruhi kelangsungan makhluk hidup di dunia ini seperti misalnya pertanian.
Sudah lebih dari banyak kasus kelaparan yang terjadi pada beberapa wilayah di dunia
ini yang disebabkan oleh kekeringan dan gagalnya panen akibat cuaca ekstrem yang
jika ditarik benang merahnya berujung pada perubahan iklim.
Perubahan iklim sering juga dikaitkan dengan kenaikan temperatur muka bumi.
Namun demikian tidak benar jika selanjutnya perubahan iklim disebut sebagai
pemanasan global seperti yang banyak di sebut oleh beberapa kajian dalam media
cetak atau bahkan aparat pemerintahan. Hal ini dikarenakan perubahan iklim yang
terjadi di suatu daerah tidak hanya berdampak pada peningkatan suhu pada daerah
tersebut. Namun ada juga beberapa daerah yang bahkan mengalami penurunan suhu
dari rata – ratanya.

Gambar 2. Estimasi kenaikan temperatur rata-rata global dari data pengukuran


dengan analisis tren untuk periode 150 (merah), 100 (ungu), 50 (orange), dan 25
(kuning) tahun terakhir.
(Sumber : IPCC, 2007 dala assets.wwfid.panda.org/…/
analisis_dan_proyeksi_curah_hujan_dan_temperatur.pdf)
  Peningkatan suhu muka bumi merupakan salah satu parameter perubahan
iklim yang banyak dikaji. Hal ini berhubungan dengan berbagai masalah yang
diakibatkan olehnya. Masalah seperti kekeringan yang berujung pada ancaman
kelaparan disuatu daerah atau masalah kebakaran hutan yang banyak terjadi di
negara – negara berkembang. Pada kenyataannya masalah peningkatan suhu muka
bumi tidak hanya menjadi momok bagi negara – negara berkembang, negara maju
seperti sebagian besar negara Uni Eropa juga mengalami dampak kenaikan suhu
muka bumi karena adanya perubahan iklim.

Peningkatan jumlah mortalitas selama tahun 2003 di Eropa menggambarkan


bagaimana perubahan iklim menimbulkan dampak yang begitu besar pada kehidupan
manusia.

Gambar 3. Anomali iklim berdampak juga terhadap Negara maju : pada tahun 2003
menewaskan lebih dari 70.000 ribu orang di Eropa
(Robine and others, 2008 dalam World Development Report, 2010)

Telah diketahui bahwa saat suhu muka bumi meningkat, jumlah kejadian
manusia yang terjangkit malaria dan demam berdarah pun ikut meningkat. Suhu
udara yang tinggi juga menyebabkan peningkatan penyakit cardiovascular yang
biasanya terjadi pada negara – negara lintang rendah, namun juga banyak ditemukan
pada negara – negara lintang tinggi yang merupakan negara – negara maju yang kaya
(World Development Report, 2010).

Dampak perubahan iklim juga mangacam ketersediaan air bersih bagi


masyarakat dunia. Menurut World Health Organization (WHO) dan UNICEF, 1.1
milyar penduduk dunia (17% dari jumlah total penduduk dunia) mengalami kesulitan
untuk mengakses sumberdaya air. WHO juga memperkirakan bahwa 1.7 juta orang
meninggal dunia setiap tahunnya akibat ketidaktersediaan suplai air, sanitasi dan
kehigienisan air yang buruk (IPCC, 2008).

Di Indonesia sendiri sebagai negara berkembang yang saat ini sedang 


melangkah menjadi sebuah negara maju dampak perubahan iklim juga tidak dapat
dihindari. Perubahan panjang musim hujan dan kemarau di Indonesia ditengarai
karena adanya perubahan iklim. Kasus semacam ini menurut suatu kajian pengaruh
perubahan iklim terhadap curah hujan dan temperatur di Pulau Lombok, Nusa
Tenggara Barat sudah terjadi. Hasil dari kajian menyebutkan jika perubahan iklim
membuat anomali curah hujan di daerah tersebut, dimana curah hujan tinggi di bulan
Desember kemudian menghilang di Januari lalu tinggi kembali pada bulan Februari.
Hal semacam ini tidak biasa terjadi pada tahun normal, dimana pada bulan Januari
curah hujan seharusnya masih tinggi (Kajian Risiko dan Adaptasi Terhadap
Perubahan Iklim Pulau Lombok Provinsi Nusa Tenggara Barat: Analisis dan
Proyeksi Curah Hujan dan temperatur).

Gambar 4. Grafik curah hujan harian total untuk seluruh Pulau Lombok yang diamati
dalam periode 1 Desember 2006 sampai dengan 19 Februari 2007.
(assets.wwfid.panda.org/…/analisis_dan_proyeksi_curah_hujan_dan_temperatur.pdf
)
  Anomali curah hujan yang terjadi di wilayah Pulau Lombok tentu saja akan
mempengaruhi ketersediaan air bagi tanaman pertanian. Menurut kajian Muhammad
(2007) dalam Kajian Risiko dan Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim Pulau Lombok
Provinsi Nusa Tenggara Barat : Analisis dan Proyeksi Curah Hujan dan temperatur ,
pada tahun 2007  terjadi gagal panen tanaman padi di Pulau Lombok karena terjadi
kekeringan pada bulan Januari yang seharusnya musim penghujan.  Kajian lebih
lanjut menyebutkan bahwa panjang musim penghujan akan menjadi semakin pendek
dengan musim peralihan (Oktober, November, Maret, April) yang semakin panjang.

Perubahan panjang musim penghujan karena adanya anomali curah hujan di


Pulau Lombok bukanlah satu – satunya dampak dari adanya perubahan iklim.
Kenaikan suhu muka bumi rata- rata terjadi antara selang 0.50C pada belahan bumi
selatan sampai 20C pada belahan bumi utara (IPCC, 2008). Kenaikan suhu muka
bumi ini kemudian menyebabkan kenaikan muka air laut. Sektor pertama yang akan
merasakan langsung akibat kanaikan muka air laut tentu saja ada pada manusia dan
ekosistem daerah pesisir. Kajian tentang dampak perubahan iklim terhadap wilayah
pesisir di Pulau Lombok menyatakan bahwa perubahan iklim seperti yang dijelaskan
di atas menyebabkan  perubahan fisik lingkungan berupa: genangan pada lahan
rendah dan rawa, erosi pantai, gelombang ekstrim dan banjir, intrusi air laut ke
sungai dan air tanah, kenaikan muka air sungai, perubahan kisaran pasut dan
gelombang serta perubahan endapan sedimen. Perubahan iklim dan perubahan fisik
lingkungan ini akan memberi dampak yang signifikan terhadap : morfologi pantai,
ekosistem alami, pemukiman, sumber daya air, perikanan, pertanian dan pariwisata
bahari (Kajian Risiko dan Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim Pulau Lombok
Provinsi Nusa Tenggara Barat : Sektor Pesisir dan Laut).
Gambar 5. Keterkaitan antara satu bahaya dengan bahaya lain yang dipicu oleh
perubahan iklim terhadap sektor pesisir dan laut
(assets.wwfid.panda.org/downloads/sektor_pesisir_dan_laut.pdf)

Perubahan iklim yang terjadi kemudian diklaim menjadi penyebab kenaikan


muka air laut. Fluktuasi muka laut ini berpotensi menimbulkan dampak yang
disebabkan oleh hantaman energi gelombang dan genangan air laut di pantai. Tinggi
hantaman dan genangan air laut di pantai akan semakin bertambah secara signifikan,
bila fenomena bahaya-bahaya di atas bekerja sekaligus dalam kurung waktu tertentu
sehingga menimbulkan fluktuasi muka laut yang sangat ekstrim, Namun disamping
itu perlu dicermati adanya perubahan muka laut terhadap permukaan tanah yang
bersifat lokal pada lokasi tertentu. Sebagai contoh aktivitas tektonik seperti kejadian
gempa, bisa berdampak pada penurunan muka tanah (subsidence) di Pulau Banyak,
Sumatera Utara dan atau pengangkatan muka tanah (uplift) di kepulauan Mentawai
(Kajian Risiko dan Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim Pulau Lombok Provinsi
Nusa Tenggara Barat : Sektor Pesisir dan Laut).

Anda mungkin juga menyukai